pulau kangean Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/pulau-kangean/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Fri, 08 Nov 2024 06:17:51 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 pulau kangean Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/pulau-kangean/ 32 32 135956295 Jalan-Jalan ke Kangean (2) https://telusuri.id/jalan-jalan-ke-kangean-2/ https://telusuri.id/jalan-jalan-ke-kangean-2/#respond Fri, 08 Nov 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=43001 Kokok bekisar terdengar sayup di antara samar sinar mentari yang menembus kaca jendela. Tunggu, apa itu bunyi ayam sungguhan? Atau saya masih berada di alam mimpi?  Tidak, suara itu nyata. Tentu saja, ini Kangean, si...

The post Jalan-Jalan ke Kangean (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Kokok bekisar terdengar sayup di antara samar sinar mentari yang menembus kaca jendela. Tunggu, apa itu bunyi ayam sungguhan? Atau saya masih berada di alam mimpi? 

Tidak, suara itu nyata. Tentu saja, ini Kangean, si Pulau Cukir.

Jalan-Jalan ke Kangean (2)
Alun-alun kota Arjasa dan monumen patung bekisar kebanggaan/Asief Abdi

Alun-alun Arjasa

Kebetulan, hotel tempat kami menginap tak jauh dari alun-alun Arjasa. Jadi, di pagi hari kami menyempatkan diri untuk mengunjungi pusat keramaian pulau itu. Meski cuma sepetak alun-alun kecamatan, masyarakat sekitar menyebut kawasan itu sebagai “kota”. “Kota” ini bukan hanya episentrum perekonomian lokal, melainkan juga telah lama menjadi jantung pemerintahan Kangean sejak zaman kolonial. Kantor kecamatan di utara, puskesmas di selatan, bangunan tua milik Perhutani di timur, dan masjid agung di barat.

Begitu melintas di lapangan, banyak mata memerhatikan kami. Jelas mereka tahu kami bukan penduduk sekitar. Kami lurus saja berjalan ke arah bocah-bocah yang tengah asyik bermain di bawah patung bekisar kebanggaan penduduk Kangean. Saat kami mendekat untuk sekadar memotret dan merekam, anak-anak itu malah mengerubungi kami.

“Nanti masuk YouTube, Kak?” kata seorang anak.

“Itu iPhone asli, Kak?” timpal lainnya.

Saya mengangguk dan meminta mereka tetap bermain.

Arjasa bukan kawasan susah sinyal. Sejak tiba lusa lalu, saya bisa internetan sesuka hati, bahkan di Mamburit sekalipun. Walau begitu, bocah-bocah di depan kami tidak berkumpul untuk mabar (main bareng) dengan ponsel masing-masing di genggaman. Alih-alih, mereka memainkan permainan tradisional. 

Rambu, begitu mereka menyebutnya. Permainan itu sederhana saja. Sandal atau sebatang kayu diikat tali, ditautkan, lalu diadu. Pemain yang talinya putus berarti kalah. Tentu tali yang dipakai bukan benang biasa, melainkan senar layangan yang sudah dilabur serbuk kaca.  Setelah bosan, mereka beralih ke permainan lain. Sayang sekali kami tak bisa menonton lebih lama. Sebentar lagi Firman akan menjemput dan mengajak kami menyusuri jalan utama Kangean hingga ujung timur pulau.

Jalan-Jalan ke Kangean (2)
Bocah-bocah bermain di alun-alun/Asief Abdi

Dari Kota ke Rimba

Mobil kami melaju kencang di jalanan Arjasa. Jalur yang kami lintasi merupakan satu-satunya jalan protokol, terbentang sekitar 47 kilometer dari ujung barat ke ujung timur. Toko-toko grosir berjejer di pinggir jalan. Rupanya, Kangean tak seterpencil kelihatannya. Ia memang nun jauh di timur, tetapi fasilitas di sini sudah cukup komplet meski pasti tak selengkap di Madura daratan. Bank, swalayan, apotek, rumah sakit, bengkel mobil, semua ada. Bahkan, jasa pengiriman barang pun sudah beroperasi dan siap menggenapi hasrat belanja masyarakat.

Sepanjang jalan, kami melewati banyak masjid. Wajar, masyarakat pulau ini mayoritas muslim—bahkan mungkin semuanya Islam. Meski begitu, kira-kira pada 1915, pernah ada seorang pendakwah kristen yang hendak menyebarkan ajaran Yesus di Kangean. Diceritakan, orang Belanda itu sudah berlaku amat baik bagi warga sekitar. Ia memberikan pendidikan, beras, obat-obatan, sampai hiburan bagi penduduk dengan harap bisa merekrut pengikut. Namun, apa daya, rupanya ajaran Kristus tak meresap ke benak warga Kangean. Setelah seperempat abad mencoba, menjelang Perang Dunia kedua, dia hengkang dari pulau. Kini, kawasan tempat ia dahulu tinggal dikenal sebagai Kampung Pandita.

Dari pesisir barat, kami bertolak ke pantai utara pulau. Di situ terdapat sebuah sumber air tawar yang langsung bermuara ke laut. Celghung, begitu warga sekitar menyebutnya. Telaga itu menjadi semacam tempat wisata bagi masyarakat setempat. Sayang sekali, ia tampak terbengkalai sehingga saya tak bernafsu menceburkan diri. 

Kami melesat terus ke timur. Aspal kian pudar, berganti jalur makadam yang memaksa kami melaju bak kura-kura. Rupanya, jalur utama pulau ini belum sepenuhnya mulus. Alhasil, butuh waktu lebih lama untuk jarak yang tak seberapa. Pantas saja banyak motor jenis trail berseliweran. Dengan kondisi begini, paling-paling kami hanya bisa melaju sekitar 30 km/jam. Lagi-lagi ada saja yang membuat saya mual. Usai dibuat pening di laut, kini saya dibikin pusing di darat. Saya membuka kaca jendela dan melempar pandang ke luar, ke arah hutan yang dibelah jalan rusak ini.

Sesekali kami berpapasan dengan sapi-sapi milik warga yang dilepas begitu saja. Hewan-hewan itu tampak berbeda dengan lazimnya sapi Madura. Lembu di sini warnanya lebih pucat, tak secokelat saudara-saudara mereka di Madura. Masyarakat Kangean rupanya telah lama beternak sapi dengan cara seperti ini. Dulu, metode semacam itu sempat dilarang lantaran kerap memicu konflik antarwarga perihal kepemilikan sapi. Apalagi kalau binatang itu beranak pinak di hutan dan membingungkan si empunya. 

Akan tetapi, agaknya di daerah pelosok, cara seperti ini masih lestari. Teknik serupa juga dilakukan masyarakat Pulau Gili Genting di sebelah selatan Sumenep. Mungkin, kini para pemilik ternak sudah lebih lihai dalam mengontrol ternaknya. Walau demikian, bukan berarti pencuri ternak tak beraksi di sini sehingga binatang memamah biak itu bebas dilepas. Kadang, ternak warga lenyap di malam hari. 

“Maling sapi biasanya memotong langsung sapi curiannya. Kalau bawa hewan hidup, kelamaan. Keburu kepergok. Mau gendong sapinya juga enggak mungkin,” jelas Firman. Benar juga, di tengah rimba seperti ini, maling bisa menjagal sapi tanpa membangunkan seorang pun di tengah gulita. 

Hutan yang kami lalui cukup luas. Kata Firman, jika beruntung, kami bisa melihat ayam hutan di antara pokok-pokok jati. “Dulu sering nongol, tapi belakangan sudah jarang,” jelasnya. Unggas itu merupakan indukan bekisar. Orang Kangean yakin bahwa merekalah penemu sang bekisar. Lantaran dianggap autentik, bekisar Kangean bisa dihargai sampai puluhan juta. 

Hingga kini, para penangkar masih menangkap ayam hutan dari belantara untuk dikawinkan dengan ayam kampung mereka. Barangkali, satwa liar itu kini masuk lebih dalam ke rimbun belukar, kian waspada dan waswas akan bau manusia. Di tengah perjalanan, kami menyempatkan diri mampir ke rumah seorang penangkar bekisar. Sayang sekali, ia hanya punya ayam hutan induk dan belum menghasilkan bekisar barang seekor.

Bagaimanapun, rimba Kangean merupakan hutan terakhir di kawasan Madura. Tak hanya dihuni ayam hutan (mano’ tarata), belantara Kangean juga rumah bagi berbagai spesies burung. Kepodang dan betet yang langka masih beterbangan di kanopi hutan Kangean. Bahkan, dahulu, sebelum para bandit beraksi, konon ternak warga yang dilepas ke jenggala acap menjadi incaran harimau.

Jalan-Jalan ke Kangean (2)
Olbha’, sumber air tawar di tepi pantai/Asief Abdi

Berhenti di Sendang

Mobil kami menepi. Di tepi jalan, sekelompok pekerja beristirahat. Mereka sedang mengerjakan proyek pembangunan tempat wisata. Rupanya, di situ terdapat sumber air tawar, Olbha’ namanya. Seperti Celghung, sendang tersebut juga langsung mengalir ke laut. Kami turun lalu berjalan mengikuti suara gemericik air.

Pohon-pohon besar macam pule, kepuh, dan keben, menaungi langkah kami. Raksasa-raksasa itu mengadang sinar matahari serta menguarkan nuansa wingit bagi siapa pun yang melintas di bawah naungannya. Tentu kondisinya sangat berbeda di masa silam. Sebelum manusia menjamah jauh ke dalam rimba, vegetasi hutan ini lebih rapat. Wajar jika dulu belantara Kangean membuat manusia gentar.

Ketika belum ada dokter di pulau ini, penduduk lokal percaya bahwa penyakit yang mereka derita ialah ulah demit penunggu alas. Kini, saat orang tak lagi takut, belantara perlahan koyak moyak, tebing-tebing digerogoti, pohon pule raksasa kerap dicuri seenaknya, dan burung-burung ditangkapi untuk dijual ke luar pulau. Seperti biasa, tampaknya belum ada tindakan berarti dari pihak berwenang.

Gemercik air kian nyaring. Kami tiba juga di sendang. Sebuah mata air memancar dari celah bebatuan, tepat di dekat pohon keben. Alirannya membentuk rawa-rawa yang berbatasan langsung dengan hutan bakau. Saya menadahi air dengan kedua telapak tangan dan membasuhkannya ke muka. 

Jalan-Jalan ke Kangean (2)
Pantai Patapan dengan Pulau Paliat di seberangnya/Asief Abdi

Di Ujung Timur 

Usai melibas jalanan selama lebih kurang dua jam, akhirnya kami tiba juga di ujung timur. Patapan, begitu nama daerah itu. Kata tersebut berarti “pertapaan”. Konon, dahulu kala, Arya Jasa, seorang tokoh dalam legenda lokal, bersemadi di kawasan tersebut untuk menemukan keris yang mampu mengangkat wabah di negeri asalnya.

Jalur di depan kami buntung. Ini benar-benar akhir perjalanan. Di depan sana, laut membentang, memisahkan daratan yang kami pijak dengan sebuah pulau, tidak jauh di seberangnya, yaitu Paliat. Rimbun hutan Paliat terlihat dari tempat kami berdiri. Dari pulau kecil itu pula orang-orang bertolak ke Sapeken.

Kangean, Paliat, dan Sapeken hanyalah sebagian kecil dari pulau-pulau yang bertebaran di perairan timur Madura. Kawasan kepulauan Sumenep, selain jarang terekspos media, juga masih tertinggal. Pendidikan di pulau-pulau kecil itu jelas tak sebaik di Madura daratan. Lebih-lebih, orang Madura daratan biasanya enggan jika mendapat tugas mengajar di wilayah kepulauan. Saya pikir, ada baiknya pemerintah setempat memberikan beasiswa khusus kepada warga asli area kepulauan agar kelak mereka dapat kembali dan memajukan pendidikan di daerahnya. 

Mungkin sarana pendidikan yang minim berkorelasi dengan kecenderungan orang Kangean untuk merantau ke Malaysia. Begitulah para istri di sini seringkali harus menjalin hubungan jarak jauh dengan suaminya. Saya teringat film berjudul Istri Orang yang saya tonton empat tahun lalu, tentang seorang perempuan Kangean yang ditinggal suaminya hijrah ke negeri jiran. 

Di pantai Patapan, kami membuka bekal. Istri Firman sudah memasak banyak untuk kami bertiga. Teman saya itu dan istrinya pernah menempuh pendidikan tinggi di universitas top. Mereka tentu sadar kemudahan yang ditawarkan daerah-daerah di luar sana. Kendati begitu, sepertinya mereka tak tergoda dan lebih memilih pulang ke kampung halaman. 

Kami makan di atas pasir dengan deru ombak dan desau angin. Di kejauhan, sebuah kapal merayap lambat ke timur, menuju Sapeken. Sebagai warga Sumenep, baru kali ini saya menyadari betapa luas wilayah kabupaten tempat saya tinggal. Namun, Kangean benar-benar jagat yang lain. Ia adalah Madura sekaligus bukan. Entah ada berapa daratan lagi di sekitarnya. Rasanya mustahil untuk saya menjejaki semua pulau mungil itu.

Saya memandang lepas ke samudra. Kapal yang saya lihat tadi sudah makin jauh ke timur dan terus melaju hingga menjelma titik hitam di horizon.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Jalan-Jalan ke Kangean (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/jalan-jalan-ke-kangean-2/feed/ 0 43001
Jalan-Jalan ke Kangean (1) https://telusuri.id/jalan-jalan-ke-kangean-1/ https://telusuri.id/jalan-jalan-ke-kangean-1/#respond Wed, 06 Nov 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42991 Suara debur ombak mengisi udara saat saya menginjakkan kaki di Pelabuhan Batu Guluk. Aroma segara terbang bersama angin. Di cakrawala, langit dan laut menyatu. Sulit dipercaya, tempat sejauh ini masih bagian dari Jawa Timur. Padahal,...

The post Jalan-Jalan ke Kangean (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Suara debur ombak mengisi udara saat saya menginjakkan kaki di Pelabuhan Batu Guluk. Aroma segara terbang bersama angin. Di cakrawala, langit dan laut menyatu. Sulit dipercaya, tempat sejauh ini masih bagian dari Jawa Timur. Padahal, kalau dilihat di peta, daratan ini bahkan sejajar dengan Bali. Inilah Kangean, pulau berbentuk perkutut yang konon oleh Prapanca disebut sebagai Ngaliyao, jauh di timur Madura, yakni Kangean.

Sebelumnya, saya bersama seorang kawan, Odeng, bertolak dari Pelabuhan Kalianget. Kapal cepat yang akan membawa kami ke Kangean dijadwalkan angkat sauh pukul sembilan pagi. Meski begitu, para penumpang sudah memadati dermaga. Kebetulan, saat itu bertepatan dengan kepulangan jamaah haji dari tanah suci. Alhasil, suasana makin ramai.

“Bawa Antimo?” tanya Odeng.

“Tidak perlu. Aku tak akan tumbang semudah itu,” jawab saya jemawa.

Ada dua opsi penyeberangan ke Kangean. Kapal feri lebih murah, tapi makan waktu setidaknya 10–12 jam. Sementara kapal cepat (speed boat) lebih mahal, sekitar 200 ribuan, tapi waktu tempuhnya hanya empat jam saja. Keduanya biasa berangkat bergantian. Jika kapal cepat berangkat hari ini, kapal feri akan bertolak besok petang dan tiba lusa. Meski begitu, cuaca buruk bisa merusak jadwal kapal-kapal itu. 

Kapal berangkat tepat pukul 09.00. Perlahan, speed boat yang kami tumpangi menjauhi dermaga lalu melesat meninggalkan perairan Sumenep. Pulau Madura perlahan mengecil. Begitu juga Talango yang hanya terpisah beberapa meter dari pelabuhan. Kami terus menuju ke timur, ke tanah yang terendam.

Jalan-Jalan ke Kangean (1)
Menunggu keberangkatan kapal cepat di Pelabuhan Kalianget/Asief Abdi

Tanah yang Terendam

Tempat yang kami tuju merupakan kawasan kepulauan yang terletak sekitar 160 kilometer dari Sumenep. Daratan tersebut diapit Selat Madura, Laut Jawa, dan Laut Bali. Walau sejajar dengan Bali, anehnya, kawasan tersebut masih berzona waktu WIB. Di sekelilingnya, pulau-pulau kecil bertebaran, termasuk Sapeken yang dihuni suku Bajo dan Pagerungan Besar yang kaya gas alam. Letak Kangean yang benar-benar di tengah segara agaknya melahirkan legenda bagi penduduk pulau itu.

Konon, nama Kangean berasal dari kata “kaaengan”, yang dalam bahasa setempat artinya “terendam air” alias “kebanjiran”. Menurut cerita, pulau tersebut dulunya timbul tenggelam di tengah samudra. Ia muncul ketika laut surut, hilang kala pasang. 

Selain “teori” tanah yang terendam, terdapat beberapa versi lain perihal muasal nama Kangean. Salah satunya yaitu kisah tentang orang-orang yang minggat ke pulau itu. Diceritakan, pada masa lampau, beberapa suku kabur dari raja yang lalim. Usai mengarungi lautan, mereka menemukan sebuah pulau lalu memboyong anak istri mereka untuk menetap di daratan baru tersebut. Syahdan, para pengungsi itu berkumpul dan menyepakati nama rumah baru mereka. Kangean, dari kata kaaengan, kangen, dan kangayan.

Perjalanan kami lancar, setidaknya sampai beberapa kilometer dari daratan Sumenep. Saya asyik berbincang dengan Pak Ahmad, seorang penumpang yang duduk di kursi sebelah. Ia orang Kangean yang hendak pulang usai menjenguk kerabatnya di Sumenep. Dia menceritakan beberapa keunikan kampung halamannya itu. 

Jalan-Jalan ke Kangean (1)
Mamajir, adu balap kerbau Kangean/Firman Maulana

“Tahu melon Kangean? Bibitnya sebenarnya dari Sumenep. Tapi entah kenapa saat ditanam di tanah Kangean, rasanya jadi jauh lebih manis ketimbang yang dibudidayakan di tempat asalnya,” kata dia. 

Barangkali Kangean memang berbeda dari Madura, baik secara kultur maupun topografi. Kangean adalah semesta yang lain, kata kawan saya. Meski secara administratif masih wilayah Sumenep, pulau itu punya identitasnya sendiri. Lebih-lebih, orang Kangean tak mau disebut orang Madura. Walau bahasa yang digunakan hampir sama, bahasa Kangean beda.

Jika di Madura menggunakan kata sengko’ (aku) dan ba’na (kamu), orang Kangean menggunakan ako dan kao. Mereka juga punya kata keta yang berarti “kita”, kata yang tidak ada dalam kamus bahasa Madura. Lain dari itu, ketika orang Madura gemar memacu sapi-sapi mereka, masyarakat Kangean malah mengadu lari kerbau-kerbau mereka saat musim padi. Agaknya, perbedaan tersebut lahir dari persinggungan budaya antara suku-suku yang tinggal di pulau tersebut, seperti Bugis, Mandar, Bajo, Arab, juga Tionghoa. Boleh jadi, cerita tentang orang-orang yang kabur itu benar adanya.

Jalan-Jalan ke Kangean (1)
Kerumunan menyambut kedatangan kapal di Pelabuhan Batu Guluk, Kangean/Asief Abdi

Berlabuh di Batu Guluk

Tak terasa, kami sudah jauh sekali dari daratan. Kapal mulai bergoyang. Tampaknya, laut di bawah kami sedang bergolak. Di bulan Juli seperti ini, angin berembus kencang dari timur ke barat. Laju kapal ke arah timur tentu bertabrakan dengan tiupan angin dan gejolak ombak. Sesekali, kapal terangkat. Terdengar seorang penumpang menjerit. Beberapa menyebut nama Tuhan. Saya mulai cemas.

“Ini biasa. Kalau ada yang menjerit kayak tadi, itu lebay,” kata Pak Ahmad. Mungkin dia membaca kekhawatiran di wajah saya. Namun, goyangan kapal benar-benar membuat perut mual. Ketika gejolak ombak menggila, saya perlahan bangkit dari kursi dan menuju toilet. Di dalam kamar kecil, isi perut saya tumpah.  

Akhirnya, setelah empat jam melintasi lautan, tanah yang kami tuju telah menanti di depan haluan. Tepat pukul satu siang, kapal melempar sauh di Pelabuhan Batu Guluk. Dari kaca jendela, tampak gerombolan orang berkerumun di dermaga. Mereka adalah penyambut jamaah haji. Rupanya, masyarakat Kangean sepaham dengan orang Madura yang menyambut jamaah haji bak malaikat.

Beberapa orang merangsek masuk. Suasana di pintu keluar kacau. Nyaris terjadi baku hantam andai awak kapal tak sigap menengahi para penumpang yang hendak turun dan orang-orang yang tak sabaran itu. Perlahan, satu per satu penumpang melangkah keluar.

Di dermaga, seorang kawan lama, Firman, menyambut kami dengan senyum semringah. Ia tampak lebih gemuk dibandingkan lima belas tahun lalu saat kami masih satu SMA. Ia bertanya soal perjalanan kami. Saya mengacungkan jempol.

Kan, sudah kubilang, ini musim angin. Untung kalian duduk di dek bawah. Di dek atas, goyangannya makin gila!” kata Firman. Ia membimbing kami ke mobilnya dan mengantar kami ke hotel.

Walau kapal cepat mampu memangkas waktu tempuh, empat jam melawan ombak masih menyisakan pusing dan mual. Sepanjang sisa hari itu, saya rebahan saja di hotel. Aneh, kasur di bawah punggung saya rasanya bergoyang. Jika orang mengenal jet lag, mestinya juga ada boat lag. Saya mengatupkan mata dan mencoba tidur.

Sorenya, kami menikmati senja di Pantai Pasir Putih di barat pulau. Tak jauh dari tempat kapal bersandar tadi. Lautan di hadapan kami tak berombak. Seorang nelayan mendayung sampan, menebar jaring, berharap menjerat beberapa ekor ikan. Di seberang, sebuah daratan terbentang, dengan mercusuar tegak menjulang. Itu Mamburit, pulau terdekat dari Kangean. 

Jalan-Jalan ke Kangean (1)
Senja di Pantai Pasir Putih/Asief Abdi

Menyeberang ke Mamburit

Lokasi penyeberangan menuju Mamburit terpisah dari dermaga tempat kami berlabuh tempo hari. Meski begitu, keduanya bersebelahan. Mungkin, itu pelabuhan lama yang kini digunakan kapal-kapal tanker dan perahu kecil parkir. Pagi itu, saat matahari belum terlalu tinggi, kami sudah sampai di dermaga.

Dengan cekatan, saya memasukkan motor ke geladak kapal. Di sebelah perahu kami, sebuah kapal tanker besar melego jangkar. Seutas selang panjang menjulur dari lambung kapal menuju ke truk tangki. Di dalamnya, sesuatu mengalir. Sepertinya itu solar. Di Kangean, pembangkit listrik masih menggunakan diesel. Tentu butuh ribuan liter bahan bakar untuk menggerakkan mesin-mesin itu agar seisi pulau tetap menyala.

Usai menaikkan beberapa penumpang, kapal pun beranjak. Tak ada gelombang berarti ketika kami menyeberangi selat sempit yang memisahkan Mamburit dengan Kangean. Di laut inilah pada masa silam kapal-kapal Belanda berpatroli. Walau letaknya nun jauh di timur Madura, nyatanya Kangean turut menjadi panggung sejarah negeri ini. Bahkan, pulau-pulau kecil di sekitarnya macam Sapeken, Saobi, dan Sakala, sempat menjadi basis militer Belanda dan Jepang. 

Jalan-Jalan ke Kangean (1)
Pesisir Pulau Mamburit (kiri) dan mercusuar tua Mamburit/Asief Abdi

Kapal bergerak pelan, melewati tanker-tanker besar berisi minyak yang parkir di pelabuhan. Perlahan, kami mendekati Mamburit. Rakit-rakit apung warga mulai terlihat. Di bawahnya, karamba-karamba penuh ikan milik penduduk setempat tertata rapi. Perahu merapat ke dermaga dan kami pun tiba di pulau mungil itu. Lantaran Mamburit bukanlah spot turisme, barangkali satu-satunya yang bisa kami kunjungi adalah mercusuar tua yang tampak dari seberang sore kemarin.

Menara suar itu sepertinya sudah uzur. Besi-besi penyangganya digerogoti karat. Entah sejak tahun berapa ia telah berdiri di situ. Wajar jika di sampingnya, sebuah mercusuar baru tengah dibangun. Para pekerja berseliweran mengangkut material bangunan. Mereka mempersilakan saya melihat-lihat area konstruksi. Menara tersebut tentu sangat penting bagi lalu lintas laut di perairan Kangean. Tanpa cahaya mercusuar, bisa-bisa banyak kapal kandas atau menabrak karang. 

Meski bukan destinasi wisata, Mamburit punya pantai berpasir putih dan lautnya toska sempurna. Bentangan terumbu karang terlihat saat saya menengok sekeliling dari puncak menara. Kami berkeliling hingga tengah hari lalu menyeberang kembali ke Kangean.

Di jalan menuju hotel, beberapa kali kami menepi dan mengamati bentang alam sisi barat Kangean. Pohon-pohon jati tumbuh subur di sini dan menghasilkan kayu berkualitas top. Sesekali, kami juga menjumpai sawah-sawah subur dan tambak udang. Saya jadi penasaran, bagaimana dengan sisi timur pulau? Ada apa saja di sana?

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Jalan-Jalan ke Kangean (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/jalan-jalan-ke-kangean-1/feed/ 0 42991