pulau sapeken Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/pulau-sapeken/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 25 Jun 2025 14:54:52 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 pulau sapeken Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/pulau-sapeken/ 32 32 135956295 Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (1) https://telusuri.id/dari-bali-ke-banggai-1/ https://telusuri.id/dari-bali-ke-banggai-1/#comments Wed, 05 Feb 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45529 Saya selalu terpikat dengan kisah-kisah menarik yang hidup di setiap sudut negeri ini. Berbekal latar belakang di bidang kesehatan masyarakat, saya punya mimpi sederhana, tetapi besar, untuk dapat memahami lebih dalam tentang pelayanan kesehatan dasar...

The post Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Saya selalu terpikat dengan kisah-kisah menarik yang hidup di setiap sudut negeri ini. Berbekal latar belakang di bidang kesehatan masyarakat, saya punya mimpi sederhana, tetapi besar, untuk dapat memahami lebih dalam tentang pelayanan kesehatan dasar di tempat-tempat yang acap luput dari perhatian.

Kali ini, langkah kaki membawa saya melintasi pulau-pulau di bagian tengah hingga timur Indonesia. Mulai dari Bali, Maluku, sampai Sulawesi. Perjalanan ini adalah upaya saya pribadi menyelami kehidupan di daerah-daerah yang jauh dari ingar-bingar kota. Saya ingin menggali seberapa jauh pelayanan kesehatan dasar dapat menyentuh masyarakat di pulau-pulau terpencil dan terluar, sembari memahami dinamika budaya lokal dan tantangan lingkungan.

Setiap tempat yang saya kunjungi memiliki realitas berbeda. Namun, benang merahnya sama, yakni tantangan aksesibilitas. Pulau-pulau terluar dan terpencil sering kekurangan dokter dan tenaga medis, yang menyebabkan masyarakat harus menempuh perjalanan jauh untuk mendapatkan perawatan medis, terutama dokter spesialis. Minimnya pilihan transportasi medis darurat juga menjadi hambatan besar bagi masyarakat yang ingin berobat. 

Bagi saya, ini bukan sekadar catatan perjalanan, melainkan upaya kecil untuk membawa suara dari mereka yang jauh, tetapi sangat dekat di hati.

Warna-warni kapal nelayan di pesisir pantai utara Bali/Hera Ledy Melindo

Menyisir Pesisir Utara Pulau Bali

Pagi itu, saya berdiri di pantai dan bersiap dengan tas ransel yang terasa berat. Namun, rasa keingintahuan saya jauh lebih besar. Perjalanan pertama kali ini membawa saya ke dua daerah pesisir utara Buleleng. Saya ingin melihat bagaimana masyarakat di sana menjalani kehidupan mereka, khususnya berkaitan dengan kesehatan dan lingkungan yang sering menjadi tantangan di daerah terpencil.

Setibanya di Desa Kayu Buntil Barat, angin laut menyambut saya dengan lembut. Di balik panorama pantai yang memukau, saya mulai melihat tantangan yang dihadapi masyarakat. Saat berbincang dengan Pak Made, seorang warga setempat, ia menunjukkan drainase yang langsung mengalir ke pantai.

“Malaria sering menyerang di sini, apalagi waktu musim hujan,” kata Pak Made menunjuk genangan air di sekitar rumahnya. Bekas gigitan nyamuk di lengannya menjadi saksi nyata perjuangan mereka melawan penyakit ini.

“Kalau sakit, biasanya bagaimana, Pak?” tanya saya penasaran.

“Banyak yang tidak punya BPJS atau Kartu Indonesia Sehat (KIS). Jadi, kalau sakit, ya, [baru] panggil bidan kalau sudah parah. Biayanya Rp50.000 sehari,” jawabnya.

Ia tampak pasrah, tetapi ada rasa bangga saat bercerita tentang puskesmas setempat yang aktif memberikan penyuluhan dan melakukan fogging jika ada laporan demam berdarah. Percakapan kami berakhir di tepi pantai, diiringi deburan ombak. Dari Pak Made, saya belajar tentang ketangguhan dan usaha mereka tetap bertahan meski dalam keterbatasan.

Momen diskusi seputar kesehatan dengan nelayan-nelayan Kayu Buntil Barat dan Celuk Buluh/Adipatra Kenaro Wicaksana & Hera Ledy Melindo

Hari berikutnya, saya melanjutkan perjalanan ke Desa Celuk Buluh. Suasana terasa berbeda. Drainase yang lebih baik, air bersih dari PDAM, dan jamban di setiap rumah menunjukkan kondisi kesehatan lingkungan yang lebih baik dibanding Kayu Buntil Barat. Masyarakat mendapatkan kebutuhan pangan sehari-hari di pasar yang hanya berjarak satu kilometer dari desa.

Di sini saya bertemu Pak Ketut, seorang nelayan yang tengah bersiap melaut. Ia bercerita tentang tradisi unik warga sebelum melaut.

“Sebelum berlayar, kami minum jamu dari kunyit, jahe, dan ayam kampung. Ini untuk stamina, biar kuat di laut,” katanya sambil tersenyum. Saya tertawa kecil, kagum dengan tradisi yang masih bertahan di tengah modernitas. Namun, kehidupan nelayan tidak selalu mulus. “Kalau musim paceklik, kami kerja serabutan, kadang jadi kuli bangunan,” tambahnya. 

Tidak hanya tentang kesehatan, masyarakat Celuk Buluh juga peduli terhadap lingkungan. Tempat pengelolaan sampah reduce, reuse, dan recycle (TPS3R) baru saja dibangun di desa tersebut. Meski belum sepenuhnya beroperasi, fasilitas ini menjadi simbol harapan bagi pengelolaan sampah yang lebih baik.

“Tempat ini bisa menampung hingga 20 ton sampah. Harapannya, desa kami jadi lebih bersih,” ujar seorang petugas yang saya temui.

  • Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (1)
  • Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (1)

Cerita Nelayan hingga Pangan Lokal di Pangkajene Kepulauan

Langkah berikutnya membawa saya ke pesisir barat Sulawesi Selatan. Saya bergerak dari kemegahan tradisi Hindu Pulau Dewata menuju kehidupan sederhana di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep).

Perjalanan membelah laut ini tak hanya tentang keindahan, tetapi juga kenyataan hidup yang keras. Kapal kayu sederhana menjadi satu-satunya alat transportasi menuju Desa Sailus, Kecamatan Liukang Tangaya. Ombak membelai halus perahu, tetapi di kejauhan, langit mendung seakan menjadi pengingat.

Di Desa Sailus, saya bertemu dengan Pak Ali, seorang nelayan yang sedang menyiapkan jaring. “Kami di sini makan apa yang ada, biasanya ikan layang atau makanan sederhana seperti sabal,” katanya sambil tersenyum. Sabal adalah pangan lokal tradisional khas Pangkep yang dibuat dari kelapa parut dan nasi.

Di Pulau Sailus, warga biasa mengolah sabal, pangan lokal khas Pangkep (kiri) dan memilah ikan-ikan hasil tangkapan nelayan untuk makanan sehari-hari/Adipatra Kenaro Wicaksana

Cerita Pak Ali membawa saya ke sisi lain dari kehidupan masyarakat setempat. “Kalau ingin makan daging, harus pesan dari Sumbawa,” lanjutnya, menekankan sulitnya akses pangan di wilayah ini. Jarak ke Sumbawa, Nusa Tenggara Barat memang jauh lebih dekat daripada pusat pemerintahan Pangkep.

Dalam sebuah kunjungan ke Puskesmas Sailus, saya berbincang dengan salah satu petugas kesehatan. Ia menjelaskan bahwa fasilitas di sana sangat terbatas. “Kami hanya punya dua genset untuk listrik, dan ambulans roda tiga yang sering rusak,” keluhnya. Ia juga menyebutkan bahwa pembangunan rumah sakit sedang berjalan, tetapi lokasinya jauh dari permukiman utama, menyulitkan akses bagi masyarakat apabila ingin berobat.

Percakapan dengan warga dan kader kesehatan memberikan gambaran lebih jelas tentang tantangan di Pulau Sailus. Kasus stunting, yang masih menjadi momok, tampak seperti rahasia yang sulit terungkap. “Puskesmas jarang sekali melakukan penyuluhan. Kalau posyandu, paling hanya empat bulan [dalam] setahun,” ungkap seorang kader kesehatan dari Desa Sailus yang terlihat lelah, tetapi masih semangat berbagi cerita.

Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (1)
Kondisi tempat pelayanan kesehatan Pulau Sailus/Adipatra Kenaro Wicaksana

Di pesisir pantai, sampah plastik mengotori permukaan pasir putih. Beberapa pemuda setempat, yang sedang duduk santai, berbicara tentang kebiasaan masyarakat yang masih membuang sampah ke laut. 

“Kadang kami tidak punya pilihan,” katanya, seolah meminta pengertian. Hal ini menjadi pengingat nyata bahwa perubahan perilaku membutuhkan lebih dari sekadar ajakan. Dibutuhkan fasilitas dan edukasi yang berkelanjutan.

Mereka melanjutkan cerita tentang harapan di masa depan. “Saya berharap ada program beasiswa dari desa. Beberapa teman ada yang bercita-cita kuliah jadi apoteker atau guru, karena di sini sangat kurang [orang dengan] profesi tersebut,” ujar seorang pemuda yang saya ajak berdialog. 

Meski tantangan besar masih ada, asa untuk perubahan tampak nyata dalam semangat mereka. Dari sabal yang sederhana hingga perjuangan mengatasi stunting, masyarakat di pulau kecil Sailus mengajarkan perjuangan mereka untuk bertahan dan berkembang di tengah keterbatasan. 

Dari pulau terpencil di Pangkep, saya melanjutkan langkah ke Pulau Sapeken. Pulau di ujung timur Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur.

Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (1)
Pantai pasir putih di Sailus yang sayangnya banyak dijumpai sampah anorganik/Adipatra Kenaro Wicaksana

Melihat Sapeken dari Kacamata Kesehatan

Perjalanan di Pulau Sapeken sebelumnya telah saya ceritakan secara lengkap di TelusuRI dengan judul Sapeken: Pulau Kecil dengan Kisah Besar di Timur Madura. Singkatnya, Sapeken adalah gambaran nyata perjuangan masyarakat kepulauan dalam menjaga kesehatan di tengah keterbatasan.

Di puskesmas utama, saya mendapati permasalahan kesehatan yang mencuat berupa dominasi penyakit-penyakit kronis, seperti stroke, asam lambung, dan kolesterol. Disentri dan tifoid juga menjadi ancaman yang terus muncul. Meski angka stunting relatif rendah, sulitnya akses pangan bergizi, khususnya daging-dagingan, menjadi tantangan tersendiri.

Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (1)
Layanan kesehatan bergerak di atas kapal Gandha Nusantara 02 yang berlabuh di Sapeken/Adipatra Kenaro Wicaksana

Satu satunya harapan adalah pelayanan kesehatan bergerak yang hanya datang empat kali dalam setahun, terutama untuk operasi kecil dan kontrol penyakit. Namun, itu belum cukup. Minimnya fasilitas, kebiasaan membuang sampah ke laut, serta keterbatasan tenaga kesehatan menambah kompleksitas masalah di pulau ini.

Sapeken adalah potret sebuah perjuangan untuk bertahan hidup. Di pulau kecil ini, Sapeken menyimpan kisah-kisah besar penuh kesederhanaan.

(Bersambung)


Terima kasih kepada Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB University (PKSPL IPB) dan Bapak Dadang Herdiansyah, SKM., M.Epid., selaku Tenaga Ahli Kesehatan Masyarakat yang telah memberikan kesempatan saya untuk menjelajahi potret kesehatan dasar di pulau-pulau kecil di Indonesia.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/dari-bali-ke-banggai-1/feed/ 1 45529
Sapeken: Pulau Kecil dengan Kisah Besar di Timur Madura https://telusuri.id/sapeken-pulau-kecil-dengan-kisah-besar-di-timur-madura/ https://telusuri.id/sapeken-pulau-kecil-dengan-kisah-besar-di-timur-madura/#respond Tue, 10 Dec 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=44494 Perjalanan ini bermula dari pelabuhan kecil di ujung timur Madura. Tujuannya jelas, yaitu Pulau Sapeken. Sebuah pulau yang masuk kedalam kriteria pulau terluar dari wilayah Madura. Keingintahuan saya tentang kehidupan di sana membawa saya menyusuri...

The post Sapeken: Pulau Kecil dengan Kisah Besar di Timur Madura appeared first on TelusuRI.

]]>
Perjalanan ini bermula dari pelabuhan kecil di ujung timur Madura. Tujuannya jelas, yaitu Pulau Sapeken. Sebuah pulau yang masuk kedalam kriteria pulau terluar dari wilayah Madura. Keingintahuan saya tentang kehidupan di sana membawa saya menyusuri perjalanan yang tak hanya penuh dengan pesona alam, tetapi juga cerita-cerita masyarakat lokal yang begitu kental.

Ketika pertama kali mendengar nama Pulau Sapeken, saya membayangkan sebuah pulau kecil yang sepi, jauh dari keramaian. Namun, begitu kaki ini menginjak tanahnya, ternyata kenyataannya jauh berbeda. Pulau ini, meskipun hanya seluas sekitar 3,5 kilometer persegi, ternyata penuh dengan kehidupan. Bahkan, beberapa orang yang pernah berkunjung ke Sapeken menyebutnya sebagai “pulau metropolis.”

Saat menyusuri gang-gang kecil di antara rumah-rumah penduduk, saya mendapati betapa berbedanya Sapeken dibandingkan dengan bayangan saya tentang pulau terpencil dan terluar. Penduduk di sini sangat ramah, meskipun banyak dari mereka berasal dari latar belakang yang berbeda.

Sapeken: Pulau Kecil dengan Kisah Besar di Timur Madura
Nelayan mengangkut jala berisi hasil tangkapan di bibir pantai Sapeken/Adipatra Kenaro Wicaksana

Menyelami Dinamika Demografi Sapeken

Kecamatan Sapeken terdiri dari sembilan desa dan 33 pulau kecil lainnya. Bayangkan, dari 33 pulau itu, hanya lima yang tidak berpenghuni. Jadi, sisanya? Penuh dengan cerita dan kehidupan yang tersebar di antara pulau-pulau tersebut. Desa Sapeken sendiri juga mencakup beberapa pulau kecil, seperti Pulau Sadulang Besar, Pulau Sadulang Kecil, Pulau Saular, Pulau Saebus, dan Pulau Saur. Semua pulau ini menjadi bagian dari ekosistem sosial dan budaya yang unik.

Menurut BPS Kecamatan Sapeken (2022), populasi penduduk pulau ini sekitar 10.359 jiwa, baik laki laki maupun perempuan. Tak heran jika Pulau Sapeken terasa begitu padat. Dari kejauhan, deretan rumah-rumah di sepanjang pantai terlihat begitu rapat, seperti puzzle yang saling melengkapi.

Pulau Sapeken ini memang hanya memiliki satu dusun, tetapi kehidupan di sini sangat dinamis. Setiap sudutnya seperti dipenuhi energi, entah dari para nelayan yang baru pulang melaut, ibu-ibu yang sibuk di pasar, atau anak-anak yang berlarian di jalan-jalan sempitnya.

Memang, dengan penduduk yang padat dan berbagai macam gaya hidup, masyarakat Sapeken bisa dibilang “metro kepulauan.” Berbeda dengan pulau lain yang biasanya lebih tenang dan seragam, di sini kehidupan terasa lebih hidup. Ada tiga masjid yang menunjukkan kehidupan keagamaan yang dinamis. Banyak aliran keorganisasian Islam, seperti NU, Persis, dan Muhammadiyah. Umat nonmuslim hanya sekitar 0,5 persen.

Uniknya, penduduk di Pulau Sapeken justru berbahasa Sulawesi (cenderung bahasa Bajau, bahasa Mandar, dan sebagian kecil berbahasa Bugis), bukan berbahasa Madura. Sebab, dalam sejarahnya populasi penduduk Sapeken memang merupakan pendatang dari daerah Makassar (dulu Ujung Pandang). 

Ketika itu, orang Kampung Bajo dari Sulawesi Selatan sedang melaut untuk mencari ikan dan menetap di Pulau Sapeken. Hal tersebut yang menjadi tradisi maritim dan mengakar kuat, sehingga membuat Sapeken menjadi salah satu pusat perikanan yang paling penting di wilayah ini.

Pernah suatu waktu, Drs. Abdul Muiz Aliwafa, yang dulu pernah menjabat wakil bupati Sumenep, memberi sambutan saat peresmian Kantor MWC NU Sapeken dengan logat Madura. Namun, para tamu undangan malah kebingungan. Ternyata, banyak yang tidak paham bahasa Madura yang dipakai. Akhirnya, ia beralih menggunakan bahasa Indonesia.

Sapeken: Pulau Kecil dengan Kisah Besar di Timur Madura
Aktivitas nelayan saat melaut di perairan Pulau Sapeken/Adipatra Kenaro Wicaksana

Menyatu dalam Kehidupan Nelayan

Begitu tiba di dermaga, aroma laut dan ikan segar seraya menyambut. Para nelayan dengan ramah menyapa kami, dan di sinilah narasi perjalanan saya di Sapeken benar-benar dimulai. Setiap sudut dermaga disesaki aktivitas nelayan yang baru saja kembali dari laut. Kapal-kapal kecil mereka penuh dengan ikan yang siap dijual di pasar lokal atau dikirim ke tempat-tempat yang lebih jauh.

Aktivitas di pulau kecil ini tak kalah sibuk dengan kota-kota besar. Di pagi hari, suara klakson perahu nelayan dan obrolan riuh di pasar lumrah jadi pemandangan sehari-hari. Laut yang mengelilingi pulau tidak hanya menjadi sumber penghidupan, tetapi juga bagian dari kehidupan sehari-hari. Di sini, saya benar-benar merasakan bagaimana hubungan masyarakat antara laut dan kehidupan sehari-hari sangat erat. Laut bukan hanya sebagai sumber mata pencaharian, melainkan juga bagian dari identitas masyarakat.

Sapeken yang berada di ujung timur wilayah Kabupaten Sumenep, Madura, dikenal sebagai lumbung ikan yang penting di kawasan ini. Sapeken menjadi rumah bagi para nelayan yang sehari-harinya mengarungi laut demi membawa hasil tangkapan terbaik.

Muhandis Sidqi menjelaskan secara mendalam peran Pulau Sapeken dalam bukunya Pulau Sapeken: Lumbung Ikan di Timur Madura (2013). Di buku terbitan Kementerian Kelautan dan Perikanan itu, peran Pulau Sapeken dalam menopang industri perikanan sangat besar. Laut di sekitarnya dikenal memiliki kekayaan biota laut yang melimpah, berkat arus laut yang stabil dan ekosistem terumbu karang yang sehat. Para nelayan setempat memanfaatkan kondisi ini untuk menjadikannya pusat perikanan yang hidup. Bukan hanya untuk Madura, melainkan juga bagi wilayah-wilayah lain di sekitarnya.

Saking eratnya, hampir setiap keluarga di Sapeken menggantungkan hidupnya pada hasil tangkapan ikan. Selain dijual di pasar lokal, ikan-ikan dari Sapeken juga dikirim ke berbagai daerah lain, termasuk Surabaya dan Bali. Tak heran jika Muhandis Sidqi menyebut pulau ini sebagai lumbung ikan. Setiap hari, kapal-kapal pengangkut hilir mudik, membawa ikan segar keluar dari pulau. 

Sapeken: Pulau Kecil dengan Kisah Besar di Timur Madura
Hasil tangkapan ikan nelayan Sapeken, di antaranya teri, layang, sampai tongkol/Adipatra Kenaro Wicaksana

Dari Pantai yang Sunyi, hingga Mangrove yang Asri

Pulau ini bukan cuma tentang ikan. Sapeken juga menyimpan pesona alam yang begitu memikat. Saya sempat mengunjungi pantainya. Hanya ada deru angin dan suara ombak di sana. Pulau ini menawarkan pemandangan pantai-pantai sepi yang begitu tenang, pasir putihnya begitu halus di bawah kaki. Sementara air laut yang jernih berkilau diterpa sinar matahari seolah mengajak siapa pun yang datang untuk sejenak melupakan hiruk piruk kehidupan.

Keindahan alam Sapeken tidak berhenti hanya pada pantainya saja. Di sisi lain pulau, terdapat hutan mangrove yang luas dan asri. Akar-akar mangrove yang menjulur di bawah permukaan air membentuk habitat bagi berbagai jenis satwa laut. Hutan mangrove di Sapeken juga berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem pulau ini. Selain melindungi garis pantai dari abrasi, juga memberikan tempat berlindung bagi ikan-ikan kecil.

Pantai dan mangrove di Pulau Sapeken seakan memberi penegasan. Bukti nyata bahwa pulau ini tidak hanya sebagai pusat perikanan, tetapi juga destinasi wisata alam yang menakjubkan.

Upaya Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Pulau

Selama perjalanan mengelilingi Desa Sapeken, saya juga berkesempatan melihat langsung bagaimana pelayanan kesehatan berlangsung. Ada sebuah bentuk inisiatif yang luar biasa, yaitu kapal layanan kesehatan. Meski beroperasi hanya empat kali dalam setahun, kapal kesehatan tersebut memberikan berbagai jenis pelayanan medis dasar serta lanjut, mulai dari operasi bedah hingga kontrol kesehatan rutin. 

Keterbatasan transportasi dan sumber daya kesehatan hanya dapat diatasi dengan pelayanan kesehatan bergerak. Saya jadi semakin sadar betapa pentingnya solidaritas dan kerja sama di daerah-daerah terpencil.

Menurut saya, pelayanan kesehatan bergerak di daerah terpencil seperti Sapeken adalah contoh nyata dari dedikasi yang luar biasa dalam memberikan akses kesehatan yang layak bagi masyarakat. Mengingat tantangan geografis—pulau-pulau terpisah oleh lautan—dan sulitnya akses transportasi, program ini merupakan solusi cerdas dan sangat efektif.

Pelayanan kesehatan bergerak di Sapeken mengajarkan saya bahwa inovasi kesehatan bukan hanya tentang teknologi maju, melainkan juga adaptasi dan keberanian untuk menjangkau masyarakat di pelosok negeri. Cerita tentang kapal kesehatan yang datang seperti “penyelamat” bagi warga Desa Sapeken adalah bukti nyata, bahwa layanan ini sangat penting untuk memastikan setiap orang, di mana pun mereka berada, memiliki hak yang sama atas kesehatan.

Sapeken mungkin kecil, tetapi kisah dan kehidupan di dalamnya sangat besar. Rasanya, tak cukup sehari untuk bisa benar-benar memahami dan merasakan setiap detak kehidupan di pulau ini. Dengan semua keramaiannya, Sapeken tetap menawarkan daya tarik yang membuat saya ingin terus kembali.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Sapeken: Pulau Kecil dengan Kisah Besar di Timur Madura appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sapeken-pulau-kecil-dengan-kisah-besar-di-timur-madura/feed/ 0 44494