pura mangkunegaran Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/pura-mangkunegaran/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Fri, 14 Mar 2025 04:37:19 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 pura mangkunegaran Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/pura-mangkunegaran/ 32 32 135956295 Menjelajahi Kampung Lawas Ngesusan, Melihat Karya Arsitektur Mas Aboekassan di Surakarta https://telusuri.id/kampung-lawas-ngesusan-karya-mas-aboekassan-surakarta/ https://telusuri.id/kampung-lawas-ngesusan-karya-mas-aboekassan-surakarta/#respond Thu, 13 Mar 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46062 Menjelajahi kampung lawas di suatu kota, ibarat menambang emas, tetapi yang didapatkan uranium. Kehidupan sederhana, yang jika dijelajahi lebih dalam, bakal menemukan sesuatu yang jarang atau mungkin tidak pernah terpikirkan oleh masyarakat awam. Kali ini...

The post Menjelajahi Kampung Lawas Ngesusan, Melihat Karya Arsitektur Mas Aboekassan di Surakarta appeared first on TelusuRI.

]]>
Menjelajahi kampung lawas di suatu kota, ibarat menambang emas, tetapi yang didapatkan uranium. Kehidupan sederhana, yang jika dijelajahi lebih dalam, bakal menemukan sesuatu yang jarang atau mungkin tidak pernah terpikirkan oleh masyarakat awam.

Kali ini saya menelusuri kampung lawas Ngesusan di Timuran, Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta. Tidak ada Ngesusan di peta digital saat ini. Hanya segelintir warga Surakarta yang tahu letak kampung lawas tersebut. 

Perempatan Jalan Gajah Mada dan Jalan Yosodipuro merupakan titik tengah lokasi kampung lawas Ngesusan. Latar belakang penamaannya yang unik dan tidak tampak sebagai kampung lawas, menjadi alasan saya menjelajahi Ngesusan.

Menjelajahi Kampung Lawas Ngesusan, Melihat Karya Arsitektur Mas Aboekassan di Surakarta
Taman Ngesusan Punggawan/Ibnu Rustamadji

Selayang Pandang Kampung Lawas Ngesusan

Penamaan Ngesusan atau Ngesus, didasarkan atas keberadaan gedung Monumen Pers Nasional yang bergaya arsitektur Hindu, tepat di perempatan Jalan Gajah Mada dan Jalan Yosodipuro atau Taman Ngesus. Merujuk surat kabar De Vorstenlanden tahun 1920, gedung ini awalnya Societeit Sasana Soeka, tempat sosialita warga Belanda dan bangsawan Pura Mangkunegaran. 

Societeit artinya perkumpulan, sedangkan Sasana Soeka berarti tempat bergembira. Societeit Sasana Soeka artinya tempat perkumpulan dan bergembira. Mereka menempati Sasana Soeka selain untuk bergembira dan pesta, juga berdiskusi berbagi pengalaman guna mencapai kesepahaman dan menggelar acara kenegaraan.

Mereka yang tergabung dalam perkumpulan mayoritas warga Belanda, saudagar, elit bumiputra, dan bangsawan Mangkunegaran yang tinggal di wilayah Pura Mangkunegaran dan Keraton Kasunanan. Tempat pesta dan acara kenegaraan menempati ruang tengah societeit, sedangkan ruang diskusi di perpustakaan di salah satu ruang kamar.

Mereka yang diperkenankan hadir ditentukan, tetapi jika acara bersifat umum, warga diperkenankan hadir di halaman. Surakarta memiliki tiga societeit, yakni Societeit Harmonie di Loji Wetan, Societeit Habipraya di Coyudan, dan Societeit Sasana Soeka.

Menjelajahi Kampung Lawas Ngesusan, Melihat Karya Arsitektur Mas Aboekassan di Surakarta
Kedua gedung soos, Societeit Militer Praja Mangkunegaran di sisi kiri (kini rumah dinas wakil wali Kota Surakarta) dan Societeit Sasana Soeka di sisi kanan (kini Monumen Pers Nasional) saling menghadap perempatan Taman Ngesusan dengan jalan tengah menuju Kampung Tumenggungan/Ibnu Rustamadji

Societeit Sasana Soeka: Awal Mula Nama Ngesusan

Merujuk surat kabar De Locomotief tahun 1918 (Norbruis, 2022), gedung Societeit Sasana Soeka dirancang oleh seorang arsitek bumiputra bernama Mas Aboekassan Atmodirono. Ia lahir 18 Maret 1860 di Wonosobo, putra dari Kepala Kejaksaan Wonosobo Atmodirono. Lazim kala itu nama anak menggunakan nama belakang sang ayah.

Meski berasal dari keluarga priyayi kejaksaan, tampaknya Aboekassan Atmodirono memilih jalan hidup sebagai arsitek terlepas dari kedua orang tuanya. Melihat keinginan tersebut, ia disekolahkan di pendidikan mentereng kala itu, yakni Europeesche Lagere School (ELS) di Yogyakarta, Technische Wilhelminaschool di Batavia dan terakhir di Technische Hogeschool Delft di Belanda. 

Ketika belajar di Delft inilah, ia tidak menyia-nyiakan kesempatan yang dipercayakan orang tuanya, untuk belajar dan bekerja sama dengan arsitek senior kelahiran Belanda. Ia lantas bertemu rekan kerjanya, insinyur Henri Maclaine Pont.

Mereka lantas berkolaborasi menciptakan master plan sesuai gaya masing-masing, demi menyelesaikan studi sebagai arsitek muda. Usai lulus tahun 1878, Aboekassan lantas melamar pekerjaan di Burgelijk Openbare Werken (BOW), semacam dinas pekerjaan umum di Hindia Belanda (Indonesia kala itu), sebagai pengawas kelas dua.

Menjelajahi Kampung Lawas Ngesusan, Melihat Karya Arsitektur Mas Aboekassan di Surakarta
Ilustrasi Mas Aboekassan Atmodirono/Fuad via Tirto.id

Ia bekerja berpindah-pindah, di antaranya Pasuruan, Purworejo, Kebumen, Banjarnegara, dan Kota Semarang. Setelah menetap di Semarang, tahun 1898 ia mencoba mengikuti ujian arsitek di Semarang.

Pada 1 Mei 1901, Aboekassan dinyatakan lulus dan mendapat kenaikan jabatan di BOW sebagai arsitek pengawas kelas satu. Tidak lama kemudian, ia mencalonkan diri menjadi anggota Dewan Kotapraja Semarang dan membantu pendidikan bumiputra.

Merujuk Bataviasche Nieuwsblaad tahun 1913 (Norbruis, 2022), Aboekassan selama di Semarang turut mendirikan Kartini Vereeniging atau Sekolah Kartini di Bukit Candi. Sekolah perempuan ini didanai Conrad Theodore van Deventer dan Jacques Henry Abendanon, dipimpin Nyonya Wallbrink.

Dalam mendirikan sekolah Kartini, sejatinya Aboekassan sudah merencanakan sejak tahun 1912, dibantu rekan arsitek Henry Maclaine Pont. Selain menghormati perjuangan Raden Ajeng Kartini, tujuan mendirikan sekolah juga memajukan pendidikan, khususnya untuk perempuan. 

Upacara pembukaan Kartini Vereeniging Semarang digelar Senin pagi, 15 September 1913. Mas Aboekassan turut hadir dan berpidato. Dalam sambutannya, yang diberitakan Bataviaasch Nieuwsblad, upacara pembukaan merupakan hari bahagia baginya karena menjadi tonggak kemajuan pendidikan bumiputra.

Aboekassan juga mengucapkan terima kasih kepada Conrad Th. Van Deventer dan Jacques. H. Abendanon atas terwujudnya pendidikan bumiputra khusus perempuan di Semarang. Kabar gelaran upacara pembukaan itu akhirnya sampai di kerajaan Belanda.

Melalui A.M. Valkenburg, selaku kepala insinyur BOW Semarang sekaligus perwakilan kerajaan Belanda di Hindia Belanda, Aboekassan dianugerahi penghargaan Orde van Oranje Nassau tahun 1912. Penghargaan bergengsi untuk individu atas jasanya terhadap pemerintah. 

Aboekassan lantas diganjar pekerjaan baru mengurus sistem saluran air Kota Semarang. Lalu diterima menjadi anggota perhimpunan teknik bangunan di Vereeniging van Bouwkundigen Nederlandsch Indië van Semarang dan turut serta meramaikan Koloniale Tentoonstelling di Semarang tahun 1918.

Menjelajahi Kampung Lawas Ngesusan, Melihat Karya Arsitektur Mas Aboekassan di Surakarta
Potrait Gusti Mangkuenagara VII sebagai inisiator pendirian Societetit Sasana Soeka di belakang gramofon koleksi Monumen Pers Nasional untuk memutar piringan hitam/Ibnu Rustamadji

Gelaran Koloniale Tentoonstelling turut serta dihadiri Gusti Mangkunegara VII, yang takjub dengan desain arsitektur paviliun milik Aboekassan. Keduanya saling bertemu, hingga akhirnya bersepakat merancang gedung societeit yang digagas Gusti Mangkunegara VII. 

Aboekassan lantas pergi ke Kota Surakarta, setelah mendapat izin BOW Semarang. Sesampainya di sana, ia bertemu kembali dengan Gusti Mangkunegara VII di Pura Mangkunegaran untuk berdiskusi mengenai master plan gedung tersebut.

Merujuk catatan A. Yasawidagda, anggota Societeit Sasana Soeka sudah terbentuk sederhana tahun 1917, dipimpin Hardjasoepoetra. Mereka biasa mengadakan pertemuan pukul tujuh malam, di rumah kontrakan di barat Kampung Tumenggungan, Surakarta. 

Menjelajahi Kampung Lawas Ngesusan, Melihat Karya Arsitektur Mas Aboekassan di Surakarta
Gang kampung lawas Tumenggungan di barat daya Societeit Sasana Soeka/Ibnu Rustamadji

Atas dasar ini, Gusti Mangkunegara VII berinisiatif mendirikan rumah societeit (soos) baru—awal penamaan Ngesusan atau Ngesus—yang kelak menjadi Societeit Sasana Soeka. Proses perancangan dan pembangunannya ditaksir berlangsung setahun. Merujuk pemberitaan Djawi Hisworo bertajuk perpindahan rumah itu, Societeit Sasana Soeka diresmikan Minggu, 31 Juni 1918. Acara dimulai pukul tujuh malam, diawali sambutan presiden perserikatan.

Diberitakan lebih lanjut, presiden mengatakan pemindahan rumah soos berkat sifat ringan tangan Gusti Mangkunegara VII dalam memberi bantuan pendirian rumah dan menelan biaya tidak sedikit. Menurutnya sudah sepantasnya anggota societeit wajib mempersembahkan ribuan ucapan terima kasih kepada Beschermer.

Sambutan diakhiri sorak-sorai tamu yang hadir, diiringi alunan musik sebagai wujud kegembiraan. Kegiatan dilanjutkan bersuka ria sembari menikmati hidangan dan minuman yang disajikan, ditemani alunan musik gamelan. Gusti Mangkunegara VII turut menyambut dengan mengucapkan terima kasih dan menyematkan nama Sasana Soeka.

Diberitahukan lebih lanjut, rumah soos baru berada di ujung jalan perempatan belakang Tumenggungan (kini areal Kepatihan Mangkunegaran). Upacara pembukaan dihadiri 200 tamu anggota soos, priyayi bumiputra, putra-putri kerajaan, dan tamu perwakilan Tionghoa.

Turut hadir kelompok murid perempuan sekolah Tionghoa memakai baju noni. Suasana malam hari riuh dengan hiburan musik diiringi gamelan, hingga puncaknya pukul 21.00 datang satu perkumpulan Strijk Orkest dari Keraton Kasunanan, diiringi tiga perempuan muda menyanyikan lagu Barat diiringi tabuhan gamelan Jawa. Upacara pembukaan selesai tengah malam dengan selamat, para tamu bersorak, “Hiduplah Societeit Sasana Soeka!”.

Menjelajahi Kampung Lawas Ngesusan, Melihat Karya Arsitektur Mas Aboekassan di Surakarta
Bekas kantor Kepatihan Mangkunegaran di kampung lawas Punggawan/Ibnu Rustamadji

Perpaduan Gaya Arsitektur Eropa dan Jawa

Selaku arsitek di balik kemegahan Societeit Sasana Soeka, Aboekassan sengaja memadukan gaya arsitektur art deco Eropa, fasad simetris dengan pilar-pilar, dan gaya timur lewat struktur candi Hindu Jawa. Hal ini tidak lepas dari wujud kepeduliannya terhadap kebudayaan Jawa, meski ia disetarakan arsitek Belanda. Ia mengimplementasikan struktur candi Hindu Jawa untuk eksterior gedung sehingga memperlihatkan kekokohan, berpadu apik dengan sepasang patung naga di bagian kiri kanan tangga masuk sebagai wujud keberanian. 

Soerjowinoto, arsitek bumiputra setelah Aboekassan mengenyam pendidikan di Antwerp, mencatatkan keindahan Societeit Sasana Soeka dalam jurnal perjalanannya berjudul Naar Indonesie:

“Gedung Societeit Sasana Soeka adalah bangunan yang sangat indah, perpaduan harmonis antara gaya Hindu Jawa kuno dan gaya barat cukup kuat. Meski sederhana namun sangat anggun. Ini adalah bukti bagi seniman sekaligus arsitek lulusan sekolah tekhnik Wilhelmina Batavia, tetap rendah hati sebagai orang Jawa yang mampu memadukan keindahan seni nasionalnya dengan gaya seni megah khas barat.”

  • Menjelajahi Kampung Lawas Ngesusan, Melihat Karya Arsitektur Mas Aboekassan di Surakarta
  • Menjelajahi Kampung Lawas Ngesusan, Melihat Karya Arsitektur Mas Aboekassan di Surakarta
  • Menjelajahi Kampung Lawas Ngesusan, Melihat Karya Arsitektur Mas Aboekassan di Surakarta

Begitu juga dengan insinyur Charles Prosper Wolff Schoemaker, ketika beranjangsana di Surakarta dan mengunjungi Societeit Sasana Soeka. Dilansir dari De Vorstenlanden tahun 1925 (Monumen Pers Nasional), ia begitu takjub dan menaruh hormat atas mahakarya Aboekassan sebagai wujud nyata kecintaan seorang bumiputra terhadap budaya Jawa. Ia menambahkan, gaya Aboekassan sangat ekspresif menggabungkan kreativitas arsitektur Eropa yang fungsional-rasional dengan kekhasan arsitektur Hindu Jawa yang penuh simbol dan makna. 

Beberapa pengelana dari Eropa yang singgah di Surakarta pun kagum dibuatnya. Banyak yang mencatatkan keindahan dan kekagumannya, seperti gedung Societeit Sasana Soeka tak ubahnya candi Hindu yang muncul di abad ke-19.

Merujuk berita Preanger tahun 1926 (Monumen Pers Nasional), Mas Aboekassan diketahui memiliki karya lain, yakni gedung Panti Soeko sebagai sarana hiburan pekerja kelas atas Pabrik Gula Colomadu, yang notabene milik Pura Mangkunegaran. Ia juga tercatat berkecimpung di pergerakan nasional sebagai anggota Boedi Oetomo dan anggota Mangoenhardjo.

Roda kehidupan terus berputar, tetapi tidak untuk Aboekassan. Setelah undur diri sebagai insinyur di BOW Semarang, ia memutuskan rehat di kediamannya, Jalan Dr. Cipto yang dahulu bernama Karrenweg Semarang, hingga wafat hari Jumat tanggal 30 Juli 1920. 

Upacara pemakaman digelar khidmat di makam Bergota Semarang, dihadiri rekan arsitek, pejabat Kota Semarang, kepala pelabuhan Valkenburg, bupati Semarang, perwakilan BOW Jawa Tengah, anggota Boedi Oetomo, anggota Mangoenhardjo, perwakilan dari Kota Surakarta, dan tamu Eropa.

Meski raga Aboekassan sudah tiada, karya monumentalnya di Surakarta tetap berdiri menjulang, mengharumkan nama sang arsitek yang teguh mempertahankan budaya yang diwariskan. Bagi saya, inilah tempat awal dan akhir penamaan kampung lawas Ngesusan di Surakarta: Societeit Sasana Soeka.


Referensi:

Koleksi surat kabar fisik dan informasi sejarah Monumen Pers Nasional, Surakarta.
Norbruis, Obbe H. (2022). Arsitektur di Nusantara: Para Arsitek dan Karya Mereka di Hindia-Belanda dan Indonesia pada Paruh Pertama Abad ke-20. Stichting Hulswit Fermont Cuypers, Belanda.
Priyatmoko, Heri. (2018). Menelisik Sejarah Societeit Mangkunegaran. Pojok Kedaulatan Rakyat, edisi 13 Februari 2018. Terjemahan referensi fisik catatan A. Yasawidagda dan surat kabar Djawi Hiswara dari bahasa Jawa. https://repository.usd.ac.id/21783/.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menjelajahi Kampung Lawas Ngesusan, Melihat Karya Arsitektur Mas Aboekassan di Surakarta appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kampung-lawas-ngesusan-karya-mas-aboekassan-surakarta/feed/ 0 46062
Menjelajah Kampung Lawas Kemlayan di Jantung Kota Surakarta https://telusuri.id/menjelajah-kampung-lawas-kemlayan-di-jantung-kota-surakarta/ https://telusuri.id/menjelajah-kampung-lawas-kemlayan-di-jantung-kota-surakarta/#respond Mon, 07 Oct 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42802 Ingin menikmati senja di Kota Surakarta, cocoknya dengan menyigi kehidupan warga Kampung Kemlayan, Kecamatan Serengan. Tepatnya di seberang selatan Pura Mangkunegaran. Kampung Kemlayan layaknya kampung-kampung di sekitarnya. Hilir mudik warga silih berganti, berdampingan dengan pejalan...

The post Menjelajah Kampung Lawas Kemlayan di Jantung Kota Surakarta appeared first on TelusuRI.

]]>
Ingin menikmati senja di Kota Surakarta, cocoknya dengan menyigi kehidupan warga Kampung Kemlayan, Kecamatan Serengan. Tepatnya di seberang selatan Pura Mangkunegaran. Kampung Kemlayan layaknya kampung-kampung di sekitarnya. Hilir mudik warga silih berganti, berdampingan dengan pejalan kaki.

Keramaian di Kampung Kemlayan setia menemani perjalanan saya tempo hari. Akan tetapi, jika menelusuri gang-gang sempit di balik padatnya pertokoan Kemlayan, bakal menemukan harta karun yang menarik untuk ditelusuri.

Gang sempit tepat di depan Matahari Singosaren menjadi titik awal perjalanan saya. Gang dengan tembok setinggi dua meter itu menjadi pemandangan lumrah untuk warga Kampung Kemlayan. Bagi mereka, kediaman di balik tembok tersebut milik priyayi keraton dan tidak mudah disambangi.

Latar belakang para pemilik rumah di Kampung Kemlayan, selain priyayi keraton ada juga arsitek keraton, seniman musik, saudagar batik, pedagang Arab dan Tionghoa. Mereka hidup berbaur. Saat ini, mayoritas warga yang tinggal Kemlayan bekerja sebagai seniman tari dan musik gamelan khas Keraton Kasunanan Surakarta.

Tak heran Kampung Kemlayan mendapat julukan “Kampung Seniman”. Ada empat maestro kondang yang dilahirkan dari Kampung Kemlayan, yakni Sardono W. Kusumo, Mlaya Widada, S. Ngaliman, dan pencipta langgam keroncong Bengawan Solo, Gesang. 

Menjelajah Kampung Lawas Kemlayan di Jantung Kota Surakarta
Mural di kawasan Kampung Kemlayan/Ibnu Rustamadji

Kampung Lawas di Jantung Kota

Kampung Kemlayan identik dengan gang sempit. Di tengah asik mengabadikan mural di ujung gang kampung, tampak pria paruh baya dari kejauhan bersantai di dalam lorong estetis ini. Saya segera mengabadikan setiap momen dengan kamera.

Tepat di pertigaan gang, mata saya tertuju pada pintu regol kayu berwarna hijau terang. Saya mengetuk seraya membatin, “Kulonuwun saja, siapa tahu [ini] rumah lawas dan boleh dikunjungi.”

Dugaan saya benar. Ada sebuah rumah lawas bergaya Joglo tepat di belakang pertokoan. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Saya diperkenankan masuk seraya memotret detail pendapa hingga ndalem ageng. Ndalem Prodjoloekitan atau Ndalem Kemlayan, begitu sebutannya.

Mengacu pada penuturan keluarga, Ndalem Prodjoloekitan didirikan sekitar tahun 1840 oleh Raden Ngabehi (R.Ng) Prodjoloekito. Beliau merupakan pensiunan pejabat panewu (wedana) Bupati Anom sekaligus arsitek Keraton Kasunanan Surakarta.

  • Menjelajah Kampung Lawas Kemlayan di Jantung Kota Surakarta
  • Menjelajah Kampung Lawas Kemlayan di Jantung Kota Surakarta

Tak heran jika di beberapa sudut Ndalem Prodjoloekitan, meski bergaya Joglo Jawa, terdapat aksen budaya Eropa, seperti patung prajurit yang dipajang di pendapa. Pada bagian ventilasi pintu tengah berhias inskripsi sengkalan angka 1911, merujuk waktu renovasi Ndalem Prodjoloekitan.

Inskripsi sengkalan lain berbunyi Sesanti Karaharjanipun para Tamu ingkang Rawuh. Artinya, “Kehormatan kepada para Tamu yang Datang”. Inskripsi lain berbunyi Jalma Sutji Ngesti Ratu. Selain itu juga terdapat relief dua ekor bangau mengapit vas bunga, yang bermakna kesuburan memberikan kemakmuran.

Relief lainnya adalah penggambaran tokoh wayang menunggangi gajah, yang artinya menandakan kewibawaan dan kekuatan. Kemudian relief terakhir menggambarkan mahkota raja dan ratu dengan sengkalan angka 1638. Ndalem ageng layaknya keraton kecil, dengan krobongan tepat di bagian tengah dan diapit dua kamar tidur.

Sungguh luar biasa Ndalem Prodjoloekitan. Meski tertutup dari dunia luar, aura kemewahan begitu terpancar bagi siapa pun yang berkunjung. Puas menyambangi dan mendokumentasikan Ndalem Kemlayan, langkah kaki terjerumus ke sanggar tari milik maestro tari Indonesia kelahiran Surakarta, Sardono W. Kusumo.

Menjelajah Kampung Lawas Kemlayan di Jantung Kota Surakarta
Gang kecil menuju sanggar tari milik Sardono W. Kusumo di Kampung Kemlayan/Ibnu Rustamadji

Sanggar milik Sardono ini sejatinya merupakan kediaman salah satu selir Gusti Mangkunegara VII. Namun, saat ini bangunan tidak utuh lagi, karena semua kayu jati telah diboyong menuju kediaman sang maestro di Jakarta. Hanya waktu-waktu tertentu saja digunakan latihan menari oleh Sanggar Suryo Sumirat Mangkunegaran.

Saat saya bertandang, tidak ada aktivitas latihan menari di sanggar. Hanya tampak beberapa sesepuh berkunjung. 

Rumah Indis Saudagar Batik

Saya melanjutkan perjalanan ke arah timur menuju Kampung Coyudan. Di gang dekat sisi belakang sanggar, tiba-tiba muncul seorang ibu. Ia memberitahukan adanya bangunan kuno megah yang menjadi incaran saya. Beliau lantas menunjukan jalan yang harus saya lalui, untuk menuju tempat tujuan saya berikutnya.

“Lurus ikuti jalan ini saja, tapi jangan sampai keluar gang. Rumahnya di utara jalan, tembok tinggi, pintu gerbang besi warna biru. Kalau lurus terus masuk Coyudan,” jelasnya mengarahkan. 

Berbekal nekat dan penasaran, saya berkesempatan melihat lebih dekat lagi rumah kuno yang lain di Kampung Kemlayan. Hanya saja, rumah yang ini bergaya Indische Empire, lengkap dengan pilar besi dan tegel motif yang berbeda dari rumah bergaya joglo sebelumnya.

Gaya Indische Empires sejatinya merupakan perpaduan gaya arsitektur Jawa dan Belanda. Mayoritas pemilik rumah seperti ini adalah saudagar dan pejabat pemerintah. Rumah indis tersebut diketahui dibangun sekitar tahun 1830 oleh keluarga Abdul Fattah, seorang saudagar batik di Kemlayan. 

“Rumah ini ketika masih ditempati keluarga, pabrik batiknya dibangun di Laweyan. Saat ini keluarga ada di Jakarta semua, rumah ini hanya dijadikan tempat transit jika bertandang ke Surakarta,” ujar bapak penjaga.

Rumah indis itu satu-satunya rumah elite di Kemlayan yang terawat baik. Pintu berukuran besar dengan besi ukiran di ventilasi masih terjaga keasliannya. Begitu juga dengan orisinalitas tegel antik motif garis biru-merah dan tegel warna kuning-hijau di bagian tengahnya. 

Kondisi rumah indis tetap dipertahankan seperti sediakala. Sesekali hanya dilakukan sedikit perbaikan karena umurnya yang sudah tua. Sudah sepatutnya untuk merawat bangunan kuno—termasuk cagar budaya—semampunya. Puas mengabadikan kediaman Abdul Fattah, saya lanjutkan menyigi rumah kuno lain di sebelah barat daya Matahari Singosaren.

Ndalem Pangeran Singosari, begitu penyebutannya. Pangeran Singosari, sang pemilik rumah, diketahui merupakan menantu Sunan Pakubuwana IX. Raja Keraton Kasunanan yang notabene juga masih keturunan kerabat Praja Mangkunegaran.

Menjelajah Kampung Lawas Kemlayan di Jantung Kota Surakarta
Kondisi bagian dalam Ndalem Singosari, terlihat foto potret Pangeran Singosari di dalam pigura/Ibnu Rustamadji

Saat ini aura kemewahan Ndalem Pangeran Singosari mulai sirna, seiring berputarnya waktu. Pagar tembok keliling yang dahulunya megah, kini berubah menjadi bangunan permanen warga lain. Menyisakan satu rumah saja milik keluarga Pangeran Singosari dari Praja Mangkunegaran, yakni Raden Mas Tumenggung (R.M.T.) Haroeng Binang.

Secara konstruksi, bangunan Ndalem Pangeran Singosari bergaya joglo. Namun, karena kondisi yang kurang terawat, tidak tampak layaknya rumah. Hanya waktu yang bisa menjawab, sampai kapan kediaman ini dapat bertahan.

Kunjungan Pamungkas di Rumah Maestro Keroncong

Perjalanan berlanjut menuju kediaman maestro langgam keroncong, Gesang Martohartono, di Jalan Bedoyo 5 Kemlayan. Jejeran piagam penghargaan, dan foto diri Gesang terpajang rapi di setiap sudut ruangan. Ada satu pajangan yang menarik bagi saya, yakni tulisan mandarin berbahasa Jepang.

Ternyata, tulisan tersebut adalah gubahan lirik lagu langgam keroncong berjudul Bengawan Solo dalam bahasa Jepang. Selain bahasa Jepang, lagu tersebut sudah dialihbahasakan dalam 13 bahasa. Semuanya laku di pasaran dunia, berkat kepiawaian dan keuletan sang maestro.

Pasca Gesang wafat 2010 lalu, banyak seniman musik dan mahasiswa seni berkunjung untuk berlatih keroncong bersama dengan salah satu keponakan Gesang. Keluarga tidak keberatan akan hal tersebut. Mereka justru berharap semangat menggelorakan kembali lagu keroncong di Indonesia dan mancanegara semakin kuat.

Menjelajah Kampung Lawas Kemlayan di Jantung Kota Surakarta
Piagam Gesang/Ibnu Rustamadji

Langgam keroncong bukanlah lagu yang ketinggalan zaman, melainkan lagu lawas yang masih tetap relevan dengan keadaan saat ini. Menikmati langgam keroncong sama dengan mempelajari akar rumput, tempat di mana musik itu diciptakan. Salah satunya di Kampung Lawas Kemlayan, Surakarta.

Bagi saya, yang setiap hari berkutat dengan kampung lawas, Kemlayan sudah selayaknya dibangkitkan kembali ruh keseniannya. Meski para maestro sudah tidak kuasa untuk menggelar pertunjukan, setidaknya kampung kelahiran merekalah yang menjadi penggantinya.

Berkesenian memang tidaklah mudah. Salah satu cara sederhana yang mungkin bisa dilakukan adalah menyambangi tempat seni tersebut dilahirkan. Berjalan menelusuri kampung lawas, tidak selamanya berkonotasi kurang pergaulan layaknya hidup di kota. 

Ada kota, tetapi tidak ada kampungnya, tentu akan mati. Sebaliknya, ada kampung, tetapi tidak ada kota, akan tetap hidup. Jantung ekonomi suatu kota berawal dari kampung lawas yang menjamur di sekitarnya. Jika tidak ada kampung, maka kota akan kesulitan menghadapi gempuran zaman. Selain menyajikan kepolosan warganya, kampung lawas juga menyimpan harta terpendam—yang sama sekali tidak dimiliki kota—yang menunggu untuk dijelajahi.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menjelajah Kampung Lawas Kemlayan di Jantung Kota Surakarta appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menjelajah-kampung-lawas-kemlayan-di-jantung-kota-surakarta/feed/ 0 42802
Menelusuri Ponten Mangkunegaran di Kampung Lawas Kestalan Solo https://telusuri.id/menelusuri-ponten-mangkunegaran-di-kampung-lawas-kestalan-solo/ https://telusuri.id/menelusuri-ponten-mangkunegaran-di-kampung-lawas-kestalan-solo/#respond Tue, 04 Jun 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42088 Saya kembali mengawali perjalanan menelusuri perkampungan lawas di Solo, kota Bengawan. Tujuan kali ini berada di tengah Kampung Kestalan, Kecamatan Banjarsari, tepat di seberang Stasiun Solo Balapan. Ponten Mangkunegaran, begitu kira-kira warga menyebutnya.  Setelah sekitar...

The post Menelusuri Ponten Mangkunegaran di Kampung Lawas Kestalan Solo appeared first on TelusuRI.

]]>
Saya kembali mengawali perjalanan menelusuri perkampungan lawas di Solo, kota Bengawan. Tujuan kali ini berada di tengah Kampung Kestalan, Kecamatan Banjarsari, tepat di seberang Stasiun Solo Balapan. Ponten Mangkunegaran, begitu kira-kira warga menyebutnya. 

Setelah sekitar 30 menit menelusuri jalan kampung melalui belakang stasiun Radio Republik Indonesia (RRI) Solo, tibalah saya di Ponten Mangkunegaran. Karena tidak ada warga yang beraktivitas di sana, segera saya putuskan untuk menghubungi rekan Heri Priyatmoko untuk menapak tilas bersama.

Tak lupa juga, saya meninjau sesaat kondisi ponten yang akan saya abadikan. Beberapa saat kemudian, Heri datang tepat setelah saya selesai observasi. Kesimpulan sementara, Ponten Mangkunegaran sejatinya merupakan kamar mandi komunal untuk warga Kestalan dan Kampung Ngebrusan.

Mungkin sedikit aneh, tetapi faktanya demikian. Heri pun menyatakan hal yang sama. Namun, di balik fungsinya, Ponten Mangkunegaran menyimpan cerita yang luar biasa bagi saya. Terutama mengenai hubungan Kanjeng Gusti Adipati Mangkunegara VII dengan Ir. Herman Thomas Karsten.

Tanpa pikir panjang, kami lantas duduk lesehan di bawah pohon trembesi berumur puluhan tahun yang juga menaungi Ponten Mangkunegaran. Kami lantas saling mengobrol mengenai masa lalu Ponten Ngebrusan.

  • Menelusuri Ponten Mangkunegaran di Kampung Lawas Kestalan Solo
  • Menelusuri Ponten Mangkunegaran di Kampung Lawas Kestalan Solo

Tentang Kampung Kestalan

Ponten Mangkunegaran memiliki nama lain dalam Bahasa Belanda, yakni Badplaats Mangkunegaran, artinya kamar mandi milik Praja Mangkunegaran. Ponten adalah kata serapan dari Bahasa Belanda, fountain, yang artinya air mancur. 

Kampung Kestalan, tempat ponten tersebut berada, dulunya merupakan kampung para joki kuda dan kandang kuda pacuan milik Pura Mangkunegaran. Lokasi latihan pacuan kuda itu kini menjadi Stasiun Solo Balapan.

“Antara Kampung Kestalan, ini [ponten] dan Stasiun Balapan saat ini memiliki akar rumput. Tidak asal bangun kolah [Ponten Mangkunegaran] saja, Bro,” ungkap Heri.

Kampung Kestalan lebih dahulu eksis sebagai stal (kandang kuda) daripada Ponten Mangkunegaran. Sejak tahun 1810-an awal, Kestalan sudah disebut sebagai sarang kuda pacuan terbaik di Surakarta (penyebutan lain Kota Solo). Akan tetapi, kondisi masyarakat dan kampungnya jauh dari standar kesehatan kala itu.

“Ada sungai di selatan kita, tetapi rumah-rumah sekitar ini (ponten) saling berdempetan tanpa jarak dan saluran airnya mampet,” jelasnya. Heri menambahkan ketika virus pes merebak di Solo, Kampung Kestalan turut terdampak parah. Salah satunya dipicu gaya hidup warga yang cukup jorok. 

Sebagai upaya penanganan wabah pes di wilayah Kampung Kestalan, dilakukan perbaikan kampung atau kampoong verbatering dan penataan sanitasi air. Tidak berhenti begitu saja, kebersihan dan kesehatan warganya pun turut diperhatikan. Salah satunya dengan pendirian kamar mandi komunal yang kelak disebut Ponten Mangkunegaran.

Menelusuri Ponten Mangkunegaran di Kampung Lawas Kestalan Solo
Jalan kampung Kestalan di antara Sungai Pepe dan Poten Mangkunegaran/Ibnu Rustamadji

Proses Pembangunan Ponten Mangkunegaran

Ponten Mangkunegaran dibangun tahun 1936 atas inisiatif Gusti Mangkunegara VII, sebagai bagian dari perbaikan kampung wilayah Praja Mangkunegaran.  Ia tidak mendesain sendiri, melainkan diserahkan kepada arsitek sekaligus perencana kota lulusan Delft kelahiran Amsterdam, yakni Thomas Karsten. 

Latar belakang pembangunan Ponten Mangkunegaran berawal dari keprihatinan Gusti Mangkunegara VII terhadap kehidupan warga Kestalan yang menggunakan air sungai untuk kebutuhan sehari-hari. Alasan lain adalah tidak adanya sanitasi air yang baik, dan kebiasaan hidup kotor menyebabkan virus mudah menjangkiti warga sekitar dan Kota Solo.

Rasa prihatin dan ide pembangunan ponten dikemukakan Gusti Mangkunegara VII selepas lawatan kenegaraan ke Belanda. Tata ruang kompleks permukiman yang indah dan jalur sungai yang bersih, membuat beliau ingin merepresentasikan itu di wilayah Praja Mangkunegaran, terutama Kampung Kestalan.

Setibanya di Pura Mangkunegaran, ia memutuskan segera mengubah gaya hidup warga Ngebrusan Kestalan dengan memperbaiki sanitasi air dan mendirikan Badplaats atau Ponten Mangkunegaran. Thomas Karsten ditunjuk sebagai desainer dan pemimpin proyek pembangunan.

Thomas Karsten merancang Ponten Mangkunegaran dengan mengadopsi gaya Hindu-Buddha Jawa Tengah. Terinspirasi dari seniornya, yaitu Ir. Henri Maclaine Pont. Dana pembangunan ponten berasal dari uang pribadi Gusti Mangkunegara VII dan sumbangan pengusaha perkebunan di Kota Solo kala itu. Ponten Ngebrusan selesai satu tahun kemudian.

Meski berupa kamar mandi komunal, upacara peresmian digelar cukup meriah.  Pejabat pemerintah setara residen pengusaha perkebunan di Solo turut hadir. Menurut data yang Heri miliki, tersebut nama Johannes Agustinus Dezentje, pionir perkebunan kopi di wilayah Ampel, Boyolali. Meski ia memperistri salah satu putri Sunan Pakubuwana X, ia memiliki kekerabatan juga dengan Pura Mangkunegaran. 

“Kamu tahu betul sepak terjang beliau (J. Agustinus Dezentje), kan? Panjang ceritanya,” ungkapnya sambil tertawa.

Upacara peresmian Ponten Ngebrusan ditutup dengan suguhan minuman khas Pura Mangkunegaran dan pidato penutup oleh Gusti Mangkunegara VII. Dalam cuplikan pidatonya, Gusti Mangkunegara VII berpesan agar warga menggunakan ponten dan tidak menggunakan air sungai, guna mengurangi resiko penyakit menular. 

Detail Menarik dari Arsitektur Ponten Mangkunegaran

Rasa haus tiba-tiba menerjang. Kami pun lantas mencari warung angkringan sebagai pelepas dahaga. Setelahnya kami lanjut mengelilingi ponten dan Kampung Kestalan. Sebelum keluar halaman ponten, tiba-tiba terlintas pertanyaan karena saya penasaran sejak awal datang di sini.

“Mas Heri, ini [ponten], sisi timur terbuka mungkin areal cuci muka atau baju. Tapi utara, selatan, dan barat, kan, kolah (toilet). Serius desain awal memang tanpa atap dan pintu?” tanya saya. 

Dan betul, faktanya demikian. Namun, pada tahun 1931 menggunakan kamar mandi komunal jamak terjadi dan tidak ada rasa malu. Jika perempuan tetap menggunakan baju kemben dan jarik, kalau pria tanpa baju—hanya celana. Itu lumrah terjadi dan bukan pornografi.

Lokasinya yang berada di tepi Sungai Pepe dan di tengah kampung, jelas menjadi aset yang penting untuk meminimalkan sebaran penyakit di wilayah sekitar. Thomas Karsten mengemasnya dengan apik, sehingga tidak tampak seperti kamar mandi komunal. Sangat detail dan simetris satu sama lain. 

Ponten Ngebrusan bergaya ala candi bercorak Hindu Jawa Tengah, dengan ciri khas hiasan kemuncak di sudut tembok. Seakan mempertegas bahwa sang perancang sangat menghormati budaya negara yang ia datangi. Letaknya yang lebih tinggi dari halaman juga semakin menambah kesan mewah. 

Sumber air berada di selatan ponten dan dialirkan ke bak penampungan di tengah. Kemudian dialirkan kembali melalui pipa besi ke toilet di setiap sisi. Khusus sisi timur, digunakan untuk mencuci dan mungkin juga untuk mandi. 

Menariknya, setiap toilet didesain membelakangi pintu dan menghadap bak kecil. Jelas tujuannya tidak lain supaya orang lain yang akan menggunakan tidak saling bertatap muka. Air kotor pun dialirkan dengan baik melalui saluran kecil, lalu dibuang ke parit luar ponten.

Melalui foto lama keluaran Belanda yang dimiliki Heri, kondisi Ponten Ngebrusan tidak berubah sejak tahun 1931. Hanya perbaikan dan pengecatan ulang beberapa sisi, karena statusnya sebagai bangunan cagar budaya oleh Pemerintah Kota Solo. Maka tidak boleh direnovasi sembarangan.

Saat melangkah keluar halaman ponten, kami langsung dihadapkan perkampungan Ngebrusan dan Kestalan. Layaknya perkampungan, hilir mudik warga silih berganti tanpa henti. “Ya, seperti ini juga kondisi kampungnya. Hanya saja kala itu dikenal kumuh,” imbuh Heri. 

Warga yang menempati kedua kampung tersebut kini sudah beragam. Banyak pendatang yang sudah membaur dengan warga asli. Penduduk asli banyak yang tinggal di area Ponten Mangkunegaran dan tepi Sungai Pepe Kampung Kestalan. Sementara warga pendatang tinggal di tepi jalan, tepatnya di barat kampung.

Menelusuri Ponten Mangkunegaran di Kampung Lawas Kestalan Solo
Aliran Sungai Pepe di selatan Ponten Mangkunegaran/Ibnu Rustamadji

Berharap Tak Lekang Termakan Zaman

Ponten Mangkunegaran tentu tidak dapat dipisahkan dari akar rumputnya dengan warga Kampung Kestalan dan Kampung Ngebrusan. Meski zaman terus berubah, memori warga sebelum, sesaat, dan setelah adanya Ponten Mangkunegaran tentu tidak akan lekang oleh waktu.

Tata ruang kampung yang lebih baik adalah bukti nyata sinergi antara Gusti Mangkunegara VII dan Thomas Karsten dalam mewujudkan kampung yang lebih sehat. Seperti pepatah, kota tidak bisa hidup tanpa adanya kampung; tetapi sebaliknya, kampung bisa hidup tanpa adanya kota.

Kampung lawas bekas kandang kuda pacuan di tengah Kota Solo itu kian berkembang, tetapi masih menyimpan harta terpendam sebagai bukti berkembangnya kota. Patut dihargai, terutama kepada warganya yang turut serta menjaga ingatan sekaligus warisan berharga bagi wong Solo.

Juga bagi mereka sebagai penikmat, seperti saya dan Heri, dapat menyaksikan Ponten Ngebrusan dengan layak. Meskipun tidak mewah, tetapi tentu ada perasaan tersendiri ketika dapat mengabadikan setiap detailnya Begitulah yang saya alami ketika menelusuri Ponten Ngebrusan dengan rekan tempo hari lalu. “Tidak ada masalah jika disebut wong kampungan. Mungkin mereka belum tahu di balik kampung itu ada apa saja,” ucapnya sambil tertawa. 

Semakin dalam menyusuri Kampung Kestalan dan Kampung Ngebrusan, langit senja berubah menjadi gelap tanda malam datang. Kami segera kembali ke areal ponten untuk mengambil kendaraan dan memutuskan untuk jajan di warung angkringan legendaris pilihan Heri.

Ponten Mangkunegaran saat ini masih eksis, meskipun sudah tidak berfungsi sebagaimana dahulu. Bangunan tersebut menjadi monumen hidup, mahakarya, sekaligus sumbangsih Gusti Mangkunegara VII dan Thomas Karsten yang paling unik di Solo. 

Setiap sore, halaman ponten digunakan anak-anak kampung setempat berlatih pencak silat. Tidak jarang juga dimanfaatkan warga untuk menggelar kegiatan seni dan budaya. Dengan adanya kegiatan semacam ini, citra kampung lawas Kestalan perlahan naik menjadi kawasan cagar budaya. Semoga saja, kampung lawas lain di Solo maupun kota-kota lainnya dapat bersinergi dengan cagar budaya yang ada di sekitarnya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menelusuri Ponten Mangkunegaran di Kampung Lawas Kestalan Solo appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menelusuri-ponten-mangkunegaran-di-kampung-lawas-kestalan-solo/feed/ 0 42088