purbakala Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/purbakala/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 27 May 2025 16:02:38 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 purbakala Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/purbakala/ 32 32 135956295 Jejak Sejarah di Sekitar Kita: Pertemuan dengan Arca Tak Berkepala https://telusuri.id/jejak-sejarah-di-sekitar-kita-pertemuan-dengan-arca-tak-berkepala/ https://telusuri.id/jejak-sejarah-di-sekitar-kita-pertemuan-dengan-arca-tak-berkepala/#respond Fri, 02 May 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46826 Di Desa Banyudono, Boyolali, kisah Kerajaan Pengging menjadi epos yang sangat epik dan dibanggakan. Mitos Bandung Bondowoso—cerita rakyat tentang pembangunan seribu candi dalam semalam—yang diceritakan berasal dari Kerajaan Pengging acap diturunkan ke anak-anak di Banyudono....

The post Jejak Sejarah di Sekitar Kita: Pertemuan dengan Arca Tak Berkepala appeared first on TelusuRI.

]]>
Di Desa Banyudono, Boyolali, kisah Kerajaan Pengging menjadi epos yang sangat epik dan dibanggakan. Mitos Bandung Bondowoso—cerita rakyat tentang pembangunan seribu candi dalam semalam—yang diceritakan berasal dari Kerajaan Pengging acap diturunkan ke anak-anak di Banyudono.

Tak jarang saya mengunjungi jejak peninggalannya yang masih bisa dijumpai hingga sekarang. Kerajaan yang berdiri kurang lebih pada tahun 979 Masehi—masih menjadi perdebatan—ini meninggalkan pemandian, arca, masjid, hingga makam orang-orang penting, seperti R. Ng Yosodipuro

Umbul Sungsang adalah salah satunya. Tempat ini populer bagi masyarakat untuk kungkum atau ciblon. Sebelah barat Umbul Sungsang terdapat Masjid Cipto Mulyo. Usianya telah menginjak 120 tahun, tapi masih sangat terawat dengan arsitektur Jawa kunonya. Jalan lurus ke arah selatan sekitar 200 meter, kita dapat menemui Umbul Pengging, salah satu jejak peninggalan Pakubuwono X. Meski dibangun pada masa yang tidak berbarengan, bangunan ini menjadi saksi bisu peradaban Pengging. 

Di era sekarang, tempat-tempat tadi seakan mulai luntur nilainya. Mereka “kalah bersaing” dengan hal-hal modern yang lebih menarik perhatian masyarakat. Peninggalan bersejarah ini hanya dimaknai selayaknya fungsi pragmatisnya saja. Meninggalkan nilai, juga mengubah pemaknaannya terhadap tempat tersebut. 

Dalam beberapa kunjungan saya ke Umbul Sungsang, misalnya, tempat ini digunakan sebagai tempat meminum minuman keras, bahkan asusila. Tak jarang saya melihat coretan dinding yang tak berhubungan sama sekali dengan tempat ini. Merusak pemandangan dan nilai prestisiusnya.

Kerajaan Pengging, atau bahkan peradaban sebelumnya meninggalkan nilai tak terkira bagi masyarakat sekitar bahkan sejarah nasional. Secara pragmatis, tempat tersebut dapat dimonetisasi sebagai objek wisata. Namun, lebih jauh lagi, peninggalan pengetahuan akan identitas pendahulu kita menjadi nilai yang tak dapat diukur, bahkan dapat menjadi “ruang” mengembangkan arah kebudayaan. 

Jika ditelisik, banyak peninggalan Kerajaan Pengging yang masih berada di tempat yang tak terduga. Dulu sempat ada yang menemukan sebuah arca di makam saat menggali kubur, ada juga yang menemukannya saat hendak ke petirtaan. Keduanya diduga menjadi peninggalan Kerajaan Pengging. 

Pencarian menjadi kata paling dekat dengan kebenaran. Kebenaran mesti terus dicari. Salah satunya lewat kepingan-kepingan warisan sejarah. 

Jejak Sejarah di Sekitar Kita: Pertemuan dengan Arca Tak Berkepala
Tampak samping pabrik rokok yang sudah tak terpakai/Aldino Jalu Seto

Berawal dari Dongeng 

Ngomong-ngomong soal sejarah, beberapa waktu lalu saya memikirkan “mitos” sebuah arca di sebelah barat bekas pabrik rokok di Banyudono. Kabarnya, Kraton Pengging memiliki banyak arca yang tersebar di desa-desa sekitarnya, salah satunya bernama Ketaon. Saya ingat mitos dan sejarah sering kali dicampuradukkan, “Kenapa tidak saya cari saja kebenarannya?” pikir saya. 

Mulanya, cerita tentang arca itu sampai pada saya semasa kecil; kira-kira sekolah dasar (SD). Tak sedikit orang tua yang bercerita bahwa dulunya di sebelah barat pabrik rokok ini terdapat sebuah arca. Orang sekitar biasa menyebut reca (dibaca dalam bahasa Jawa: reco)

Masih menurut cerita masyarakat sekitar, reca ini terbuat dari batu yang dipahat. Bentuknya serupa manusia yang bersila. Ada yang mengatakan jika hanya sebagian orang yang beruntung yang dapat bertemu dengan reca. Jika pertemuan itu terjadi, maka apa yang diinginkan (mungkin) akan tercapai. Begitu kurang lebih ceritanya. 

Ingatan ini sangat akrab bagi saya dan masyarakat sekitar. Tak dijelaskan siapa pembuat reca tersebut, dan tahun berapa reca tersebut dikisahkan ada di sana. Juga, entah siapa yang pertama kali memulai cerita ini. 

Pertanyaan itu selalu timbul di benak saya yang belum pernah melihat bentuk dari reca itu sejak lahir, hingga usia saya sudah menginjak kepala dua. Bagi kami warga sekitar yang belum melihat langsung, kami hanya menganggap cerita itu sebagai dongeng belaka. 

Saya bersekolah tak jauh dari lokasi pabrik rokok yang tak beroperasi itu. Sekitar 200 meter ke arah timur, dari perempatan jalan penghubung Dukuh Gatak dengan Dukuh Ketaon. Waktu pelajaran Pendidikan Jasmani dan Olahraga, kami sekelas diminta jogging untuk mengelilingi areal persawahan, termasuk mengelilingi pabrik mati itu. Tak pernah sekalipun kami menemui reca di sana.

Tentu kami sudah tahu tentang cerita reca, tapi tak satu pun dari kami yang pernah menemuinya. Malah sering kali, karena saking tak pernah menemukannya, kami percaya dengan dongeng yang diciptakan masyarakat sekitar. 

Jejak Sejarah di Sekitar Kita: Pertemuan dengan Arca Tak Berkepala
Jalur menuju lokasi penemuan reca tak berkepala/Aldino Jalu Seto

Menjadi Realitas

Kini, setelah sekian lama saya percaya terhadap dongeng reca tersebut, besar keinginan saya untuk melihat benda itu secara langsung. Berangkat dari pertanyaan sederhana, “Apakah benda itu benar ada?”

Seolah pertanyaan tersebut ingin memberikan tantangan, bahwa “dongeng” tentang keberadaan reca yang telah lama dikonsumsi ini, dapat dipatahkan menjadi kebenaran setelah reca ditemukan. Pertanyaan tadi membawa rasa optimis akan menemukannya. 

Sebelum terjun ke lapangan, saya mencoba mencari data tentang areal pabrik tersebut. Sayang, informasi tentang jejak peninggalan Hindu-Buddha tak ketemu. Saya mencoba menyusuri sebuah jalan penghubung antara Desa Danyangan dengan Gatak yang terletak di area persawahan. Hasilnya nihil.

Beberapa bulan kemudian, kembali saya menyusuri areal tersebut. Di sepanjang jalan pabrik mati terdapat pertigaan jalan. Pada ekspedisi kedua ini saya mengambil jalan ke arah barat. Saya menggunakan sepeda motor, berjibaku dengan tanah yang basah bekas hujan. Kadang kala, ban motor saya yang tidak diatur untuk area lumpur tergelincir. 

Saya mencoba mencari jalan yang belum pernah saya lalui sebelumnya. Harapannya, saat melewatinya ada sesuatu yang dapat ditemukan. Sekitar 200 meter terdapat jembatan kecil yang menghubungkan antarparit. Terdapat sebuah bangunan yang menonjol di parit tersebut, masyarakat Jawa biasa menyebutnya buk (tembok rendah). Dari situ saya ambil jalan ke arah kanan masuk di kebun sengon sekitar 20 meter, kemudian belok kanan. 

Dari jauh samar terlihat seonggok batu yang berada di tengah jalan. Lambat laun, batu itu terlihat semakin besar ketika didekati. Ternyata ia tertanam di tanah. Setelah diperhatikan lebih lama, ternyata terdapat tangan menyerupai bentuk tangan manusia di batu tersebut. “Perjalanan berbuah manis,” kata saya dalam hati.

Batu itu tak berbentuk bulat, melainkan seperti badan manusia yang menancap di tanah. Bahkan jika dibandingkan, lebih besar dari badan saya—tinggi saya 166 cm dan berat badan hampir 60 kg. “Tak dapat diragukan lagi, itu dia,” saya melanjutkan penelusuran.

Ia duduk bersila, tangannya menengadah di pangkuannya. Sepertinya tak berbaju hingga dadanya terlihat seperti laki-laki telanjang. Sebagian kakinya masih ada di dalam tanah. Belum dapat diketahui seberapa besar reca ini. Yang pasti kondisinya miris. sebagian tangan kanannya sudah patah dan hilang, serta sudah tak punya kepala. 

Di bagian punggungnya sudah terdapat tanda. Kurang jelas bertuliskan apa, tapi sepertinya “60”. Karena saya bukan seorang sejarawan atau arkeolog, pertanyaan tentang reca ini—dari mana asalnya, siapa pembuatnya, dari agama apa, bagaimana sejarahnya—tak bisa saya jawab, malah hanya berputar di kepala saya.

Yang sangat disayangkan lagi, saya tak bisa langsung mengetahui bagaimana wajah dari reca ini karena kerusakannya. Minimnya informasi valid mengenai keberadaannya menjadi kendala buat saya menerangkannya. 

Beberapa bulan sebelumnya, saya sempat singgah di Rumah Arca Boyolali. Kata penjaga tempat wisata tersebut, memang banyak arca atau reca yang ditemukan di daerah Ketaon, Banyudono. Bahkan sebagian besar koleksi di tempat itu bisa dibilang ditemukan di wilayah tersebut. 

Namun, kadang terdapat sebuah kepercayaan untuk tidak memindahkan arca dari lokasi penemuannya karena masih dipercaya sebagai barang yang sakral oleh masyarakat. Atas dasar itu, Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah memindahkannya. Sayang sekali sangat sedikit bahan bacaan yang bisa dibagikan kepada pengunjung tentang benda-benda bersejarah di sana. 

Sulitnya informasi mungkin membuat masyarakat tidak mengetahui seberapa berharga pusaka, reca, bangunan cagar budaya, atau peninggalan bersejarah lainnya. Sehingga perusakan seperti yang ada di Umbul Sungsang menjadi wajar bagi para oknum. 

Banyudono menjadi potensial untuk menggali epos-epos tentang kerajaan, agama, identitas masyarakat lokal—setidaknya bagi wilayah sekitarnya. Pencarian yang saya lakukan hanyalah hal kecil. Sangat disayangkan sekali pertemuan dengan reca yang sudah dicari dua puluhan tahun ini berujung pada pertemuan dalam kondisi mengenaskan. Seolah kehilangan kegagahan masa lalunya.

Tapi, mau tak mau, reca ini tetap menjadi benda penting. Penting dalam melengkapi kepingan-kepingan sejarah Banyudono yang belum terangkai secara utuh. Penting sebagai pengetahuan untuk mempertahankan identitas tempat ini. Bahkan, penting dalam merekonstruksi pemikiran tanah kelahiran banyak orang. 

Di sisi lain, secara pribadi, perasan puas telah menemukan reca ini menjawab kegelisahan saya selama puluhan tahun. Akhirnya dongeng itu tak hanya menjadi dongeng belaka, tetapi menjelma menjadi realitas dalam sebuah usaha membentuk narasi kebenaran sejarah yang utuh.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Jejak Sejarah di Sekitar Kita: Pertemuan dengan Arca Tak Berkepala appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/jejak-sejarah-di-sekitar-kita-pertemuan-dengan-arca-tak-berkepala/feed/ 0 46826
Eksplorasi Sudut Unik Museum Sangiran https://telusuri.id/eksplorasi-sudut-unik-museum-sangiran/ https://telusuri.id/eksplorasi-sudut-unik-museum-sangiran/#comments Fri, 27 Dec 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=44785 Siapa yang tak kenal Museum Sangiran yang terletak di Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah? Semua pajangan dalam museum ini menunjukkan sejarah panjang evolusi manusia yang tidak hanya mengungkap fosil-fosil berusia jutaan tahun, tetapi juga...

The post Eksplorasi Sudut Unik Museum Sangiran appeared first on TelusuRI.

]]>
Siapa yang tak kenal Museum Sangiran yang terletak di Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah? Semua pajangan dalam museum ini menunjukkan sejarah panjang evolusi manusia yang tidak hanya mengungkap fosil-fosil berusia jutaan tahun, tetapi juga menggambarkan perjalanan kehidupan manusia di masa prasejarah dengan sangat mendalam.

Berdasarkan pengalaman saya saat mengeksplorasi salah satu museum terpenting di dunia ini, ada sudut-sudut yang luput dari perhatian pengunjung. Salah satunya adalah bangunan berupa rangka berwarna kuning gading. Saat saya sampai, tidak ada seorang pengunjung pun yang memerhatikan jembatan ini. Sementara saya dan keluarga berfoto di sini.

Mungkin pengunjung merasa kontruksi yang terletak di dekat Museum Sangiran ini hanya jembatan biasa. Padahal setelah dilihat lebih detail, ternyata jembatan ini memiliki gaya arsitektur futuristik dengan sentuhan alam. Strukturnya menyerupai rangka fosil binatang purba, sepertinya seekor kura-kura purba raksasa. Dari sini kita sudah dibawa ke masa prasejarah. Warna kuning gading pada rangkanya yang kukuh, berpadu apik dengan hijau pepohonan di sekitarnya.

Eksplorasi Sudut Unik Museum Sangiran
Jembatan kuning gading dengan konstruksi yang unik/Sukini

Melihat Kerangka Manusia Purba 

Setelah puas menelusuri bagian luar gedung, saya segera melangkahkan kaki ke dalam museum. Langkah kaki saya terhenti di sebuah kerangka manusia purba. Saat saya menoleh kanan-kiri, lagi-lagi tak ada pengunjung lain yang mencoba menelisik mumi unik ini. Saya pun bebas mengambil foto dan mencermati informasinya.

Selama ini saya belum pernah menyaksikan rangka manusia yang diawetkan oleh alam secara langsung. Saya kagum dengan proses pengangkatan kerangka yang sangat cermat. Pencahayaan yang diarahkan secara fokus memberikan sorotan dramatis pada detail tulang-tulang yang masih terlihat jelas. Terdapat tulang panjang kaki dan tangan, tulang rusuk, serta bagian tengkorak yang sebagian masih terbenam dalam lapisan tanah.

Tentu saja kerangka manusia purba ini menjadi peninggalan arkeologis yang sangat bernilai, karena mampu memberikan gambaran tentang kehidupan masa lalu. Meski terkubur selama ribuan tahun, kondisinya yang terawat menunjukkan ketahanan material tulang serta metode penggalian yang hati-hati. Batu-batu di sekelilingnya menunjukkan lingkungan tempat kerangka ini ditemukan, yang kemungkinan bagian dari situs pemukiman purba atau area pemakaman. 

Contoh kerangka manusia purba (kiri) dan tengkorak Homo floresiensis/Sukini

Jejak Manusia Mini 

Di tengah kabut masa prasejarah, tengkorak Homo floresiensis menjadi saksi bisu perjalanan manusia purba yang penuh misteri. Menurut informasi, bentuk tubuh Homo floresiensis kecil, tetapi penuh karakter. Tengkorak yang masih sangat utuh ini seakan menceritakan kisah peradaban yang hidup sekitar 100.000 hingga 60.000 tahun yang lalu di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. 

Menurut laporan, tengkorak tersebut memiliki kapasitas otak yang hanya sepertiga dari manusia modern, tetapi tidak kalah cerdas dalam bertahan hidup di alam liar. Bayangkan cara mereka menatap dunia dengan mata besar, memindai hutan lebat, dan mengindra binatang buruannya. Sungguh luar biasa!

Melihat bentuk tengkorak yang melengkung sempurna dengan rahang yang kukuh, saya telah dibawa ke masa lalu. Gigi-gigi mereka yang kuat mungkin pernah mengoyak daging hewan buruan, sementara otak kecilnya merancang alat-alat sederhana untuk berburu dan bertahan hidup. Bentuk kepala yang unik ini menunjukkan bukti nyata Homo floresiensis sebagai manusia yang luar biasa dalam menghadapi kerasnya alam liar di pulau terpencil. Setiap lekukan di tengkorak adalah rekaman waktu yang tak terhapuskan, berbicara dalam bahasa fosil yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang mau menyimaknya.

Melalui tengkorak itu, saya tidak hanya belajar tentang masa lalu, tetapi juga menyadari betapa kuatnya manusia sebagai makhluk yang mampu beradaptasi dengan lingkungan ekstrem. Homo floresiensis bukan sekadar jejak fosil, melainkan lorong waktu yang menghubungkan kita dengan nenek moyang yang pernah berjalan di antara rimbunnya hutan Flores, meninggalkan jejak langkah yang masih ditelusuri hingga kini. Saya pun berpikir, andai saja saya hidup pada masa itu, mampukah saya bertahan?

Eksplorasi Sudut Unik Museum Sangiran
Kerangka kuda nil raksasa koleksi Museum Sangiran/Sukini

Hewan Raksasa di Zaman Purba

Sudut unik lain Museum Sangiran bisa terlihat dari sebuah kerangka raksasa yang ditopang besi. Saya pun segera mendekat dan memahami informasi yang disematkan. Bayangan seekor hewan raksasa yang pernah berkubang di sungai-sungai purba, menguasai daratan dan perairan dengan kehadirannya yang menggetarkan, menyeruak dalam kalbu saya. 

Inilah kerangka kuda nil purba. Sebuah fosil megah yang membawa saya kembali ke ribuan tahun yang lalu, ketika hewan ini menjadi salah satu penguasa ekosistem. Ukuran tubuhnya jauh melampaui kuda nil yang ada sekarang. Gigi taringnya tampak seperti pedang alami, mampu menunjukkan keganasan predator pada masanya.

Kerangka yang tersusun lengkap dari kepala hingga ekor, memberi gambaran jelas tentang kekuatan luar biasa yang pernah dimilikinya semasa hidup. Tengkoraknya besar dan tebal, pun rahang lebar yang memperlihatkan kemampuan menggigit dengan kekuatan dahsyat. Tulang kaki yang kuat menandakan hewan ini tidak hanya tangguh di air, tetapi juga mampu berjalan di daratan dengan tenaga yang mengejutkan. Tulang rusuk yang lebar menggambarkan kapasitas paru-parunya yang besar, memungkinkan kuda nil purba ini bertahan di bawah air dalam waktu lama.

Saya seperti diajak masuk ke habitat purba yang liar dan belum tersentuh. Sungai-sungai besar, rawa-rawa luas, dan belantara lebat menjadi saksi bisu kehidupan satwa yang penuh tantangan. Ini bukan hanya sekumpulan tulang, melainkan juga sebuah jendela ke masa lalu yang mengungkapkan keanekaragaman kehidupan purba. Ia menyadarkan saya, bahwa zaman dahulu alam semesta dipenuhi oleh makhluk-makhluk megafauna yang begitu perkasa, tetapi juga rentan terhadap perubahan bumi. Fosil kuda nil purba tersebut berdiri sebagai saksi bisu perjalanan waktu.

Eksplorasi Sudut Unik Museum Sangiran
Kerangka gading dan rahang gajah purba/Sukini

Gading Kolosal dan Rahang Sang Mamalia Purba

Perjalanan di Museum Sangiran saya akhiri dengan mengagumi gading akbar dan rahang bawah dari gajah purba yang pernah menguasai daratan Sangiran dan sekitarnya. Gadingnya menjulang sangat panjang dan melengkung sempurna, memancarkan kekuatan luar biasa yang pernah dimiliki mamalia raksasa ini. Bukan hanya ukuran yang menakjubkan, melainkan juga ketajaman detail pada gading yang masih utuh, memperlihatkan bagaimana gajah purba ini menggunakan senjata alami tersebut—baik untuk bertahan hidup, menarik perhatian kawanan, atau menghadapi lawan di habitat liar mereka.

Di samping gading yang kolosal, rahang bawah yang kokoh dengan gigi-gigi yang masih tampak nyata memberikan gambaran yang jelas tentang kekuatan dan ketahanan hewan ini. Gigi geraham besar dengan permukaan kasar menunjukkan betapa kerasnya mereka mengunyah vegetasi padat, dari dedaunan hingga kulit kayu. Rahang bawah yang lebar dan kuat seolah menceritakan perjuangan bertahan hidup di masa lalu.

Melihat fosil tersebut, saya kembali disadarkan akan kebesaran alam yang pernah ada. Betapa hewan-hewan purba ini pernah menjadi bagian dari ekosistem yang tak terbayangkan. Gading dan rahang ini tidak hanya berbicara tentang masa lalu, tetapi juga tentang bagaimana sejarah planet tempat kita tinggal ini selalu menyimpan keajaiban yang menunggu untuk diungkap. Di balik setiap lapisan tanah, ada cerita luar biasa dari eksotisnya fauna raksasa yang pernah hidup di bumi.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Eksplorasi Sudut Unik Museum Sangiran appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/eksplorasi-sudut-unik-museum-sangiran/feed/ 8 44785
Durga Singosari, Kengerian di Balik Keindahan https://telusuri.id/durga-singosari-kengerian-di-balik-keindahan/ https://telusuri.id/durga-singosari-kengerian-di-balik-keindahan/#respond Wed, 27 Dec 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40740 Sebagai seorang mahasiswa ilmu purbakala, museum sudah menjadi tempat wisata wajib untuk dikunjungi. Selain menjadi tujuan melepas penat, tak jarang banyak tugas kuliah yang juga mewajibkan kami, para mahasiswa untuk mengambil data di museum. Salah...

The post Durga Singosari, Kengerian di Balik Keindahan appeared first on TelusuRI.

]]>
Sebagai seorang mahasiswa ilmu purbakala, museum sudah menjadi tempat wisata wajib untuk dikunjungi. Selain menjadi tujuan melepas penat, tak jarang banyak tugas kuliah yang juga mewajibkan kami, para mahasiswa untuk mengambil data di museum. Salah satu museum yang jadi langganan tentu saja Museum Nasional—atau banyak yang mengenalnya sebagai Museum Gajah.

Mungkin bagi sebagian orang aneh rasanya harus datang ke museum yang sama berkali-kali. Apalagi bisa dibilang koleksi di museum tersebut hampir tak pernah berubah. Dan dengan pede-nya saya selalu bilang ini bukti cinta, atau mungkin sebenarnya semacam kegilaan. Namun, kalaupun harus dianggap gila, saya tak akan menyangkal karena memang museum yang satu ini punya daya tarik sendiri secara personal.

Durga Singosari, Kengerian di Balik Keindahan
Salah satu bagian lorong di Museum Nasional/Muhammad Faqih Akbar

Salah satu sumber kegilaan itu adalah koleksi arca di Museum Nasional. Meskipun terkesan diletakkan dan ditata ala kadarnya di sepanjang lorong, tetapi selalu membuat saya betah berlama-lama di dalamnya. Dan kegilaan ini makin menjadi ketika berada di selasar bagian barat; ada beberapa arca dari era Klasik Muda tersimpan di sana. Saya rasa wajar jika saya bisa menghabiskan waktu beberapa menit untuk memandang sebuah arca. Apalagi kondisinya yang relatif baik, berukuran besar, dan detail pengerjaannya tidak main-main.

Saya ingat selalu bercerita ada sebuah arca, Harihara namanya, yang sebenarnya sering dijumpai karena menjadi logo universitas ternama di Kota Malang. Arca tersebut sering dianggap wujud dari Raja Brawijaya. Padahal berdasarkan penelitian, Harihara adalah penggambaran sosok Raja Kertarajasa Jayawardana alias Raden Wijaya, sang pendiri Majapahit yang telah mangkat.

Namun, bagi saya pribadi, arca Harihara bukanlah bagian terbaik untuk dikagumi. Masih di selasar yang sama, ada mahakarya yang selalu membuat saya betah memandangnya lama sambil berujar, “Andai bisa kembali ke masa lalu, arca inilah yang paling ingin aku lihat dalam kondisi utuh.”

Sayang memang, kondisi arca ini sudah rusak. Akan tetapi, dengan segala ketidaksempurnaannya, keindahan arca tersebut berada pada level yang berbeda.

Arca Durga dari Singosari

Durga Mahisasuramardini. Bisa dibilang arca yang cukup mainstream, karena dia adalah salah satu pantheon utama dalam ajaran Shaiva (kultus terhadap Dewa Syiwa)—dahulu memang jadi kultus yang banyak dipeluk oleh raja-raja Jawa. Bahkan sosok patung Roro Jonggrang yang terkenal dari percandian Prambanan, sejatinya adalah arca Durga yang disalahtafsirkan sebagai wanita yang dikutuk menjadi batu. Sebab arca Roro Jonggrang ini memiliki detail yang luar biasa. Namun, kemolekan Roro Jonggrang pun bagi saya pribadi masih kalah dengan arca Durga yang ada di Museum Nasional ini.

Sosok Durga satu ini punya pose yang lebih garang dengan posisi kaki mengangkang. Berbeda dengan kebanyakan arca Durga, termasuk arca Roro Jonggrang, yang digambarkan berdiri anggun di atas iblis lembu yang ia kalahkan.

Seperti halnya arca Durga lain, ia digambarkan memiliki empat pasang tangan. Sepasang digunakan untuk memegang ekor lembu raksasa dan menarik iblis yang merasukinya, dan tiga pasang lainnya ia gunakan untuk memegang enam senjata berbeda: pedang, gada, trisula, cakra, perisai, dan kulit kerang.

Sayang, hanya perisai yang ia pegang di salah satu tangan kirinya yang masih bertahan. Lima senjata lainnya sudah tidak ada, dan bahkan beberapa tangannya pun dalam kondisi rusak. Namun, perisai ini jugalah yang membuat saya begitu mengagumi keindahannya. Perisai tersebut dibuat dalam ukuran besar dengan bentuk lonjong dan penuh detail di bagian muka perisainya. Kebanyakan arca Durga biasanya menampilkan bentuk perisai bulat dengan ukuran kecil tanpa ada detail yang terlihat menonjol.

“Jika perisainya saja dibuat dengan detail seindah ini, bagaimana jika lima senjata lainnya masih ada?” batin saya. Anda pasti sepakat dengan pikiran saya bukan?

Hal lain yang menarik juga dari arca Durga tersebut adalah cerita di baliknya. Ia jadi bukti adanya sebuah kultus unik yang dianut oleh raja-raja di Jawa Timur saat itu—khususnya di era Singosari—bernama Bhairava. Berbeda dari ajaran Shaiva secara umum, di ajaran ini pemeluknya akan melakukan beberapa ritual yang cenderung dianggap tabu, seperti minum minuman keras, berhubungan badan, dan memakan berbagai daging, termasuk daging manusia.Di India sendiri saat ini ada sebuah sekte Bhairava bernama Aghora yang masih melakukan ritus-ritus ala ajaran Bhairava, termasuk kanibalisme.

Namun, di luar ritual keagamaannya yang mengerikan, raja Singosari pemeluk Bhairava tampaknya punya selera seni yang begitu tinggi. Dan ini tidak hanya tergambar di arca Durga saja, tetapi hampir semua arca di masa Singosari. Di samping arca Durga tadi misalnya, ada arca Ganesha yang juga punya detail yang sangat indah. Baik arca Durga maupun Ganesha ini sama-sama punya ciri khas, yaitu ornamen tengkorak dan bulan sabit sebagai simbol aliran Shiva Bhairava yang hanya ditemukan di arca-arca era Singosari.

Durga Singosari, Kengerian di Balik Keindahan
Arca Nandiswara, salah satu tokoh dalam mitologi Hindu. Di Jawa, tokoh ini biasanya terpahat di sebelah pintu masuk candi yang bersifat Siwaistik bersama pasangannya, Mahakala/Muhammad Faqih Akbar

Harapan yang Terwujud

Sepertinya ada satu hal yang lupa saya ceritakan di awal. Koleksi yang dimiliki Museum Nasional sebelumnya adalah replika! Artefak aslinya sudah dibawa oleh seorang pejabat Belanda sekaligus kolektor barang antik sejak awal abad ke-19. Arca-arca ini dicungkil dan diambil paksa dari Candi Singhasari dan mengakibatkan kerusakan permanen di badan candi.

Namun yang menggembirakan, tahun ini pemerintah berhasil melakukan repatriasi—pengembalian koleksi sejarah ke Indonesia. Dari sekian koleksi yang berhasil dipulangkan, di antaranya adalah arca-arca Singosari, termasuk arca Durga. Berita yang berembus membuat saya sangat bersemangat untuk bisa melihat arca-arca asli, yang selama ini saya kagumi lewat replika-replikanya secara langsung.

Harapan saya sempat putus ketika Museum Nasional mengalami kebakaran hebat beberapa waktu lalu. Meskipun dipastikan koleksi hasil repatriasi dalam kondisi aman, tetapi insiden itu jelas membuat hegemoni keberhasilan pemulangan koleksi berharga kita jadi tertunda.

Saya sendiri awalnya tidak berharap bisa melihat arca-arca itu dalam waktu cepat. Mungkin setidaknya sampai tahun depan. Ternyata perkiraan saya meleset. Koleksi hasil repatriasi akhirnya dipamerkan awal Desember kemarin. Meskipun tidak dilaksanakan di Museum Nasional—yang tentu saja masih berbenah—melihat arca-arca Singosari asli secara langsung ternyata bisa memantik sedikit rasa haru. Saya sendiri sampai memesan dua kali kunjungan demi bisa lebih puas melihat arca-arca ini; dan koleksi lainnya tentu saja.

Mari kita berharap proses pembenahan Museum Nasional bisa segera selesai, agar koleksi-koleksi berharga tersebut bisa dinikmati kembali oleh publik.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Durga Singosari, Kengerian di Balik Keindahan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/durga-singosari-kengerian-di-balik-keindahan/feed/ 0 40740