raja ampat Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/raja-ampat/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Thu, 14 Jan 2021 14:17:40 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 raja ampat Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/raja-ampat/ 32 32 135956295 Pertahanan Amfibi di Sarawandori, Kepulauan Yapen https://telusuri.id/pertahanan-amfibi-di-sarawandori-kepulauan-yapen/ https://telusuri.id/pertahanan-amfibi-di-sarawandori-kepulauan-yapen/#respond Tue, 22 Dec 2020 08:43:18 +0000 https://telusuri.id/?p=25996 Sarawandori, Kepulauan Yapen, memiliki wisata terkenal di Teluk Karopai. Tapi di masa pandemi, warga harus bertahan dengan mengolah daratan.

The post Pertahanan Amfibi di Sarawandori, Kepulauan Yapen appeared first on TelusuRI.

]]>
Untuk memasuki Sarawandori, Distrik Kosiwo, Kepulauan Yapen, kami memasuki jalan pinggiran gunung karang yang sengaja dipangkas sebagai akses keluar-masuk. Samping kanan tebing karang, sebelah kiri jurang. Di jalan berkelok menurun, tampak jelas teluk tenang dengan laut warna biru pirus dan rumah-rumah kayu yang berdiri di tepiannya. 

Dahulu, sebelum ada jalan ini, warga ke pasar naik perahu. Sekarang, cukup dengan uang Rp10.000, warga sudah bisa sudah duduk manis di angkutan trans desa yang akan membawa mereka ke kota.

Sarawandori, Raja Ampat

Kampung Sarawandori, Raja Ampat/Istimewa

Menengok potensi alam di Kampung Sarawandori

Posisi permukiman ini menguntungkan saat musim barat. Semasa angin kencang, ikan-ikan akan berkumpul di teluk sehingga nelayan mudah dapat tangkapan. Kampung ini juga punya rumput laut yang bibitnya berasal dari tempat yang jauh, yakni Takalar, Sulawesi Selatan. Oleh warga Sarawandori, bibit-bibit rumput laut itu dibudidayakan dan diolah sampai menjadi mi, camilan stik, hingga bakso rumput laut, meskipun saat ini rumput laut tidak lagi menghasilkan keuntungan yang tetap. Pemasaran memang masih menjadi kendala utama. Tapi, selain hasil laut dan budidaya rumput laut, Sarawandori juga punya sumber pemasukan lain, yakni tujuan wisata tenar, Teluk Karopai. 

Dahulu, masyarakat suku Onate penghuni Sarawandori bermukim di pedalaman hutan Yapen. Beragam fenomena alam akhirnya memaksa mereka untuk menggeser tempat tinggal ke pesisir. Dari peristiwa itulah nama Sarawandori berasal. “Sarawa” berarti “lari” dalam bahasa Onate, sementara “wandori” berarti “berkumpul”. Waktu berjalan, kini Sarawandori sudah dimekarkan menjadi dua kampung, yakni Sarawandori 1 dan Sarawandori 2.

Tim Ekspedisi mengunjungi kampung yang berjarak 10 kilometer dari Kota Serui, pusat pemerintahan Kabupaten Kepulauan Yapen, itu guna mendukung kebutuhan ketahanan pangan. Tim akan memberikan sepatu bot, sprayer, pupuk, pacul, dan beragam bibit sayur, serta alat-alat medis seperti APD, sarung tangan, face shield, perangkat rapid test, dan masker medis.Sarawandori, Raja Ampat

Mama Naomi Jalan Kaki Lewat Dua Gunung

Sebelum matahari naik ke ubun-ubun, di Kampung Sarawandori 2 sudah berkumpul sekitar 30 orang di balai pertemuan warga. Salah seorang di antaranya adalah Naomi Yapanami. Di usia yang sudah mencapai 53 tahun, dengan penglihatan yang sudah kurang jelas, ia duduk di kursi paling depan mendengarkan penyuluhan pertanian dari Utreks Hembring.

Ia begitu antusias menyimak, sebab hari-harinya memang diisi dengan menanam sayur dan menjualnya ke pasar. Sudah dua kebun yang dibuatnya, dengan tanaman-tanaman seperti terong, cabai, mentimun, dan jagung. Jarak antara rumah dan kebunnya tak main-main. Untuk menggarap lahannya Mama Naomi mesti melewati dua gunung berjalan kaki selama dua jam.Sarawandori, Raja Ampat

Dalam penyuluhan itu, Mama Naomi berkeluh kesah soal hama ulat. Selama ini ia hanya menggunakan pestisida yang dibelinya di toko pertanian—dan itu pun tak mempan.

“Kalau sudah begitu, mama pasrah saja. Ambil yang masih bisa dipanen, lalu jual ke pasar,” ceritanya.

Kedatangan kami diharapkan dapat menyokong perjuangan masyarakat Sarawandori, termasuk Mama Naomi yang terus-menerus berupaya mengenyahkan hama ulat di kebunnya.

Dalam sambutan acara, Kepala Kampung Sarawandori 2, Michael Karuba, berkata bahwa kegiatan ini adalah berkat dari Tuhan. Di tengah-tengah kondisi serba sulit ini, mereka bersyukur mendapat sokongan untuk mengolah kebun. Pengetahuan dan alat yang mereka terima akan sangat berguna bagi hidup dan kehidupan Sarawandori. 

“Kami ini bisa dikatakan amfibi. Kami bisa mengolah daratan dan (bisa) mengolah lautan. Jadi tidak ada alasan untuk takut menghadapi kondisi pandemi,” kata Bapak Michael.


Pada September 2020, M. Syukron dari TelusuRI mengunjungi beberapa lokasi di Raja Ampat untuk melihat langsung dampak pandemi COVID-19 di wilayah tersebut dalam ekspedisi bersama EcoNusa. Tulisan ini merupakan bagian dari seri catatan perjalanan itu. Nantikan terus kelanjutannya di TelusuRI.id.

The post Pertahanan Amfibi di Sarawandori, Kepulauan Yapen appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pertahanan-amfibi-di-sarawandori-kepulauan-yapen/feed/ 0 25996
Di Manyaifun, Membuat Kelompok Tani https://telusuri.id/di-manyaifun-membuat-kelompok-tani/ https://telusuri.id/di-manyaifun-membuat-kelompok-tani/#respond Mon, 21 Dec 2020 07:51:26 +0000 https://telusuri.id/?p=25905 Karena alat pertanian terbatas, muncul ide membuat kelompok tani di Manyaifun, Raja Ampat. Sebelumnya, warga menggarap semuanya sendiri-sendiri. 

The post Di Manyaifun, Membuat Kelompok Tani appeared first on TelusuRI.

]]>
Saat memasuki perairan Pulau Manyaifun, Kecamatan Waigeo Barat Kepulauan, Kabupaten Raja Ampat, tim cukup takjub dengan lautnya yang setenang danau. Maklum saja, sepanjang perjalanan awak Tim Ekspedisi Raja Ampat kerap melewati perairan berombak yang membuat beberapa di antara mereka mabuk laut. 

Perairan Pulau Manyaifun tenang berkat ditutupi oleh Pulau Batang Pele. Hanya ada dua jalur masuk Manyaifun, yaitu dari Selpele dan Meosmanggara. Karena masih musim selatan, laut cukup teduh. Di pinggir pantai, bakau atau mange-mange berjejeran di antara homestay.

Menurut Laura Resti dari Pengembangan Usaha Perjampat (Perkumpulan Penggerak Usaha dan Penghidupan Masyarakat Asli Raja Ampat), wisatawan memilih Manyaifun karena jaraknya yang paling dekat dari Wayag, pulau-pulau karang ikon Raja Ampat yang mendunia. Dari Manyaifun, dalam waktu tiga jam kita sudah bisa mencapai Wayag.

Selain penyangga pariwisata, Manyaifun juga dikenal sebagai daerah asal tikar senat yang melegenda. Senat adalah tikar tradisional Raja Ampat yang ada di hampir setiap rumah. Fungsinya bermacam-macam, mulai dari untuk tidur, makan bersama, hingga untuk alas lantai saat bercengkrama. Bahannya dari kulit bagian luar pohon sagu yang memang banyak terdapat di sana.

Kelompok Tani Manyaifun

Kelompok Tani Manyaifun/Istimewa

Sabtu pagi itu, 19 September 2020, cuaca cerah dan suara ombak menemani masyarakat Kampung Manyaifun berkumpul dekat pohon beringin laut. Sebagian di antara mereka sudah duduk manis di atas tikar senat, di bangunan semi permanen PAUDNI Immanuel Manyaifun.

Hosea Mambraku, lelaki Manyaifun berumur 26 tahun, tampak memperhatikan betul acara itu. Walau tak berada di dalam, dia masih bisa mendengarkan penjelasan Desi Wanma dan Utreks Hembring, para penyuluh pertanian dari Tim Ekspedisi. Meskipun berprofesi sebagai nelayan, ia tertarik juga mengolah tanah. Sebidang tanah di Pulau Batang Pele sudah ia gunakan untuk berkebun. Menurutnya, masyarakat kampung ini sudah tergerak secara mandiri dalam hal mengurus perut. Biasanya, hasil mancing ikan di laut mereka jual ke Waisai, sementara hasil berkebun dikonsumsi sendiri.

Kegiatan penyuluhan itu diharapkan dapat menambah wawasan, informasi, serta modal masyarakat Kampung Manyaifun untuk memenuhi kebutuhan pokok atau nutrisi substansial seperti karbohidrat, mineral, protein, vitamin, dan sebagainya. Materi yang dibawakan Desi dan Utreks antara lain teknik budidaya tanaman pangan, manfaat pupuk organik, dan pertanian vertikultur. Secara sederhana, mereka menjelaskan teknik-teknik dasar budidaya pertanian, mulai dari soal pembibitan, panen, sampai pascapanen. Desi Wanma berharap penyuluhan ini bisa membantu masyarakat menerapkan sistem demplot untuk memenuhi pangan lokal di Kampung Manyaifun.Kelompok Tani Manyaifun

Dalam kesempatan itu, Tim juga memberikan dukungan berupa pupuk organik, beragam benih sayuran, alat pertanian—cangkul, sprayer, gunting tanaman, sepatu bot, caping/topi petani, polybag, dan gerobak sorong.

Karena jumlah alat pertanian yang dibagikan terbatas, Matheos Yacobus Rayar selaku Field Associate EcoNusa memberikan ide untuk membuat kelompok tani. Responnya cukup beragam. Maklum saja, biasanya warga Manyaifun menggarap semuanya sendiri-sendiri. Melaut, berkebun, hingga membuat tikar senat, semua dilakukan tanpa sistem kelompok. 

Hosea sendiri mengaku belum bisa membayangkan akan seperti apa nanti bentuknya. Tapi, menurutnya, ide itu perlu dicoba karena peralatan pertanian dan bibit yang diberikan dapat dikelola secara bersama-sama.Kelompok Tani Manyaifun

“Gerobak bisa baku ganti pake dengan yang lain,” katanya.

Setelah berdialog dengan pemerintah kampung, disepakati untuk membagi 43 warga yang datang ke penyuluhan ke dalam 10 kelompok tani. Suasana menjadi riuh seperti pasar. Semua bernegosiasi mencari anggota kelompok dan menentukan siapa yang menjadi pemimpin. 

Hari itu, peralatan pertanian yang diberikan oleh Tim Ekspedisi membuka kesempatan mereka untuk mencoba hal baru, yakni mengelola aset secara berkelompok. Kira-kira, akan seperti apa hasilnya nanti ya? 


Pada September 2020, M. Syukron dari TelusuRI mengunjungi beberapa lokasi di Raja Ampat untuk melihat langsung dampak pandemi COVID-19 di wilayah tersebut dalam ekspedisi bersama EcoNusa. Tulisan ini merupakan bagian dari seri catatan perjalanan itu. Nantikan terus kelanjutannya di TelusuRI.id.

The post Di Manyaifun, Membuat Kelompok Tani appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/di-manyaifun-membuat-kelompok-tani/feed/ 0 25905
Disambut Tambur di Selpele, Raja Ampat https://telusuri.id/disambut-tambur-di-selpele-raja-ampat/ https://telusuri.id/disambut-tambur-di-selpele-raja-ampat/#respond Thu, 17 Dec 2020 09:57:36 +0000 https://telusuri.id/?p=25903 Meskipun bukan kampung wisata, Selpele punya tanah adat yang jadi bintang bagi wisatawan yang berkunjung ke Raja Ampat, yakni Wayag. Alhasil, tak sedikit warga Selpele yang menggantungkan diri pada wisata Wayag. Tapi COVID-19 mengubah semuanya....

The post Disambut Tambur di Selpele, Raja Ampat appeared first on TelusuRI.

]]>
Meskipun bukan kampung wisata, Selpele punya tanah adat yang jadi bintang bagi wisatawan yang berkunjung ke Raja Ampat, yakni Wayag. Alhasil, tak sedikit warga Selpele yang menggantungkan diri pada wisata Wayag.

Tapi COVID-19 mengubah semuanya. Penduduk Selpele yang menyambung hidup dari pariwisata mesti memutar otak agar terus bertahan hidup. Ini penting mengingat betapa jauhnya Selpele dari Kota Sorong. Perlu sekitar 17 jam bagi kapal reguler Kurisi untuk mencapai Sorong dari Selpele.

Tim Ekspedisi Raja Ampat memasuki perairan Selpele hari Jumat tanggal 18 September 2020 saat cuaca cerah. Sebelum merapat ke pelabuhan, Samuel Wospakrik, Program Officer EcoNusa memberitahukan bahwa kami akan disambut masyarakat pukul 9 pagi setelah mereka selesai beribadah di gereja. Tim EcoNusa adalah rombongan dari luar pertama yang mereka sambut sejak kasus Februari lalu.

Suling Tambur

Disambut suling tambur oleh masyarakat Selpele/Istimewa

Disambut suling tambur

Kami disambut di dermaga oleh barisan ibu-ibu yang menunggu aba-aba dari mayoret. Itu bukan drum band atau marching band, melainkan suling tambur. Sebuah tradisi khas Papua Barat yang biasanya disajikan pada peristiwa-peristiwa tertentu, salah satunya adalah saat menyambut undangan khusus.

Ada tiga alat musik yang digunakan pada suling tambur, yakni suling, peluit, dan tambur. Tamburnya cukup unik. Semestinya yang menjadi membran tambur adalah kulit sapi atau rusa. Namun, keterbatasan biaya membuat mereka hanya sanggup membalut selongsong tambur dengan karung atau terpal yang akan sobek jika dipukul terlalu keras.

Biasanya, selain suling tambur, undangan akan menerima kalungan bunga. Namun kali ini tidak, sebab semuanya sudah disesuaikan dengan protokol kesehatan. Orang-orang saling mengambil jarak dan membungkus hidung dan mulut dengan masker.

Tarian masyarakat Selpele

Tarian masyarakat Selpele/Istimewa

Setelah penyambutan, Linda Ayei, perwakilan Grup Suling Tambur Ibu PKK Selpele, bercerita bahwa sebelum COVID-19 merebak ibu-ibu PKK Selpele hendak wisata rohani ke Manokwari. Wisata rohani itu semestinya jadi wisata rohani pertama bagi mereka. Namun, keinginan itu mesti ditunda.

“Mimpi itu su tinggal mimpi. Mungkin (kami belum bisa ke Manokwari) sampai situasi kembali normal,” ujar Linda.

Selpele, Raja Ampat

Masyarakat Selpele berkumpul untuk mengikuti penyuluhan/Istimewa

Banyak kasus penyakit kulit di Selpele

Dalam pemeriksaan kesehatan, dokter tim EcoNusa COVID-19 Response Expedition, Nanda, menemukan banyaknya kasus penyakit kulit yang diakibatkan oleh jamur, tungau, dan beberapa infeksi sekunder akibat luka yang tidak ditangani dengan baik. 

Anak-anak terlihat menggaruk-garuk badan karena gatal. Di kulit mereka ada bekas-bekas garukan yang dalam bahasa medis disebut lesi central healing

Penyakit-penyakit kulit itu menyebar karena berbagi tempat tidur di rumah, kontak kulit semisal karena mandi bersama, dan higienitas yang buruk. Jika tidak ditangani dengan baik, infeksi sekunder bisa muncul dan meluas ke sekujur tubuh. 

Untuk penyakit jamur yang lesinya kecil, cukup diberikan salep miconazole 2%, sedangkan untuk lesi yang lebih luas diberikan obat jamur ketoconazole oral selama 7-10 hari. Untuk penyakit kulit yang lebih serius, seharusnya diberikan permethrin 5%. Hanya saja, karena ketersediaan obat yang terbatas, tim EcoNusa hanya bisa memberikan salep Gentamicin.

Seperti yang dialami oleh Lehi, perempuan 18 tahun. Dokter mendiagnosis dia terkena tinea corporis, yaitu kondisi penyakit kulit yang sudah menjalar ke seluruh tubuh, mulai dari tangan, badan, sampai kaki. Lehi merasa gatal karena berkeringat atau saat tidur di malam hari. Awalnya gatal itu hanya di punggung. Namun, karena dianggap biasa dan terus digaruk, tidak tertangani dengan baik, penyakit itu menyebar. Dokter menyarankan Lehi untuk terapi obat dan menjaga kebersihan badan serta tempat tidur.

Di tengah pandemi ini, masyarakat Selpele tak hanya harus waspada terhadap penyebaran COVID-19 saja. Mereka juga harus berjibaku dengan penyakit kulit yang rata-rata diderita.


Pada September 2020, M. Syukron dari TelusuRI mengunjungi beberapa lokasi di Raja Ampat untuk melihat langsung dampak pandemi COVID-19 di wilayah tersebut dalam ekspedisi bersama EcoNusa. Tulisan ini merupakan bagian dari seri catatan perjalanan itu. Nantikan terus kelanjutannya di TelusuRI.id.

The post Disambut Tambur di Selpele, Raja Ampat appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/disambut-tambur-di-selpele-raja-ampat/feed/ 0 25903
Situasi di Arborek Tanpa Wisata, Mau Bikin Apa? https://telusuri.id/situasi-di-arborek-tanpa-wisata-mau-bikin-apa/ https://telusuri.id/situasi-di-arborek-tanpa-wisata-mau-bikin-apa/#respond Wed, 16 Dec 2020 09:44:45 +0000 https://telusuri.id/?p=25889 “Kam tra tau corona ka? Ada corona malah datang ke pulau. Mau bikin apa?” tanya seorang mama yang sedang membantu suaminya membersihkan kapal di pantai kepada rombongan Ekspedisi Raja Ampat yang berjalan di dermaga kayu...

The post Situasi di Arborek Tanpa Wisata, Mau Bikin Apa? appeared first on TelusuRI.

]]>
Kam tra tau corona ka? Ada corona malah datang ke pulau. Mau bikin apa?” tanya seorang mama yang sedang membantu suaminya membersihkan kapal di pantai kepada rombongan Ekspedisi Raja Ampat yang berjalan di dermaga kayu Pulau Arborek, kampung wisata di Raja Ampat yang menjadi salah satu tujuan para penyelam.

Dengan kikuk, kami pun bergegas ke balai desa yang berada tepat di depan Gereja Eben Haezer. Kalau saya perhatikan, sepanjang perjalanan dari dermaga menuju balai desa, tak ada papan informasi COVID-19.

Sesampainya di Balai Desa Arborek, kami disambut oleh beberapa orang. Mereka mempersilahkan untuk melaksanakan dua agenda yang telah direncanakan, yakni sosialisasi COVID-19 kepada pemilik/pengelola homestay, pemeriksaan kesehatan, dan pemberian dinding daun nipah kepada anggota asosiasi homestay.

Kampung wisata Arborek

Kampung wisata Arborek/Istimewa

Sebelum pandemi, Kampung Wisata Arborek cukup ramai oleh wisatawan, baik mereka yang hanya singgah ataupun menginap di penginapan-penginapan di pulau. Dulu,wisatawan asing yang lalu-lalang di jalan-jalan kecil Arborek adalah pemandangan lazim.

Ketika kami berada di Arborek, kampung itu terlihat sepi. Tak banyak aktivitas di sana. Alhasil, tak banyak pula yang datang ketika kegiatan pemeriksaan kesehatan dilakukan. Menurut Dokter Nanda, pasien yang diperiksa tidak sampai 20 orang. Padahal, di desa-desa sebelumnya jumlah pasien bisa mencapai 30 orang sampai-sampai kami mesti membatasi kuota. Namun, meskipun kegiatan pemeriksaan itu sepi, masyarakat tetap saja tertib melaksanakan protokol kesehatan. Mereka benar-benar menjaga jarak.

Ketika melakukan penyuluhan COVID-19 kepada pemilik/pengelola homestay yang tergabung dalam Perjampat (Perkumpulan Penggerak Usaha dan Penghidupan Masyarakat Asli raja Ampat), kami juga mendapati bahwa warga sudah cukup sadar mengenai pandemi COVID-19. Mereka bahkan tak segan-segan menolak kunjungan wisatawan, meskipun dulu pernah keluar anjuran dari pemerintah daerah untuk membuka kembali pariwisata Raja Ampat. 

Rasa-rasanya tidak berlebihan untuk menyebut bahwa Arborek sudah sadar tentang COVID-19. Sebelum tim ekspedisi datang untuk sosialisasi COVID-19, mereka sudah menjalankan protokol kesehatan secara mandiri.Kampung wisata Arborek

Kembali bercocok tanam

Menurut Naftali Mambrako, pemilik homestay Mawar, COVID-19 mengubah kondisi Arborek. Sebelum ini, hampir semua kegiatan yang mereka lakukan tak terpisahkan dari wisata. Bahkan, ketersediaan bahan makanan di kampung juga tergantung pada arus keluar-masuk wisatawan ke pulau. Jika hendak menjemput tamu, misalnya, mereka biasanya menyempatkan untuk membeli kebutuhan beras dan sayur di Sorong atau Waisai. Sejak bulan Februari, pariwisata tak lagi bisa menjadi sumber pendapatan utama. Homestay Mawar yang dahulu menjadi sumber pendapatan utama Naftali kini sepi.

“Kalau sudah begini, kami kembali lagi ke aktivitas sebelumnya, melaut dan berkebun,” ujar Naftali sambil menghela napas. 

Mereka berkebun di pulau seberang. Di sana, mereka menanam kasbi, betatas, dan sayuran. Karena jarak tempuh dari Arborek ke pulau seberang cukup jauh—perlu 20 liter bensin untuk perjalanan pulang-pergi—mereka membuat rumah-rumah sementara untuk ditinggali di sana dalam proses bercocok tanam.

“Pulau Arborek kecil dan berpasir, susah untuk menanam,” ungkap Naftali.Kampung wisata Arborek

Mama Regina Sauyai, salah seorang warga senior Arborek, merasa ia tak terlalu merasakan dampak COVID-19, khususnya terkait terhambatnya proses distribusi makanan.

Su biasa makan kasbi. Kasih ikan saja cukup,” ujarnya. Ia justru merasa kasihan pada anak-anak muda di pulau. Terbiasa menyantap beras dan makanan instan, mereka tentu perlu uang untuk mengisi perut.

Kenyataan bahwa masyarakat Arborek kembali berkebun dan melaut seperti sekarang, bagi Mama Regina, adalah bukti bahwa sebenarnya warga Arborek bisa hidup mandiri. Selama ini, kehidupan masyarakat Arborek seolah terlalu bergantung pada Sorong dan Waisai.


Pada September 2020, M. Syukron dari TelusuRI mengunjungi beberapa lokasi di Raja Ampat untuk melihat langsung dampak pandemi COVID-19 di wilayah tersebut dalam ekspedisi bersama EcoNusa. Tulisan ini merupakan bagian dari seri catatan perjalanan itu. Nantikan terus kelanjutannya di TelusuRI.id. 

The post Situasi di Arborek Tanpa Wisata, Mau Bikin Apa? appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/situasi-di-arborek-tanpa-wisata-mau-bikin-apa/feed/ 0 25889
Tak Ada Wisatawan, Warga Sawinggrai Kembali Berkebun https://telusuri.id/covid-19-masyarakat-sawinggrai-kembali-berkebun/ https://telusuri.id/covid-19-masyarakat-sawinggrai-kembali-berkebun/#respond Mon, 14 Dec 2020 06:55:50 +0000 https://telusuri.id/?p=25874 16 September 2020. Waktu menunjukkan pukul 10.00 pagi ketika kantor kampung Sawinggrai di Distrik Meos Mansar dipadati warga. Selain pemeriksaan kesehatan, hari itu Tim Ekspedisi Raja Ampat akan menggelar penyuluhan pertanian. Para mama tampak antusias...

The post Tak Ada Wisatawan, Warga Sawinggrai Kembali Berkebun appeared first on TelusuRI.

]]>
16 September 2020. Waktu menunjukkan pukul 10.00 pagi ketika kantor kampung Sawinggrai di Distrik Meos Mansar dipadati warga. Selain pemeriksaan kesehatan, hari itu Tim Ekspedisi Raja Ampat akan menggelar penyuluhan pertanian.

Para mama tampak antusias sekali mengikuti penyuluhan pertanian. Beragam pertanyaan mereka ajukan. Yang paling menarik adalah pertanyaan soal kenapa tanah di Sawinggrai tidak subur. 

Pertanyaan itu dijawab oleh dua anggota tim penyuluh EcoNusa, Jemima Desi Wamna dan Utreks Hembing, dengan memberikan wawasan tentang pertanian organik kepada warga. Mereka yang semula hanya mengetahui soal ladang berpindah (sekadar tanam-dan-tinggalkan) kini mengetahui bahwa ada cara alternatif untuk bercocok tanam. Sedikit-sedikit mereka belajar mengenai tahapan-tahapan seperti pemupukan dan pengentasan hama.

Kampung Sawinggrai, Raja Ampat

Kampung Sawinggrai, Raja Ampat

Kampung Sawinggrai jadi incaran wisatawan Eropa

Menurut Kristian Sauyai, warga Sawinggrai yang juga Ketua Badan Pelaksana PERJAMPAT, kampung itu adalah salah satu incaran wisatawan Eropa. Lokasinya yang jauh dari keramaian membuat Sawinggrai pas sekali untuk bersantai. Tak tanggung-tanggung, para wisatawan bisa menginap sampai berbulan-bulan.

“Ada bule yang tiap natal selalu menginap disini, misa di gereja sama-sama orang kampung,” Kristian berkisah. “Rencananya tahun ini (mereka) mau kembali lagi untuk janji nikah di gereja kami. Sayang corona membuat dia menunda rencananya.”

Kristian sendiri memulai usaha homestay “Mandarin” tahun 2017. Awalnya, ia hanya punya dua homestay. Seiring perkembangannya, homestay itu beranak-pinak sampai menjadi lima. Unit miliknya yang berada di sebelah timur Kampung Sawinggrai adalah sumber pemasukan utamanya. Dengan penginapan itu ia menafkahi keluarga dan menyekolahkan adiknya jauh-jauh sampai ke Jawa. 

Homestay tersebut langsung berhadapan dengan laut, sangat cocok untuk wisatawan yang menyukai kesunyian. Namun, karena materialnya terbuat dari kayu dan daun nipah, sekarang bangunan itu sudah mulai hancur. Di beberapa bagian atap juga tampak bolong.

“Ini hanya bertahan satu sampai dua tahun saja, itupun kalau secara rutin diperiksa; jika ada yang daun yang rusak langsung diperbaiki sedikit,” jelas Kristian.

Kampung Sawinggrai, Raja Ampat

Homestay di Sawinggrai, Raja Ampat

Menengok kebun milik Mama Tabita

Pandemi membuat homestay-homestay di Sawinggrai kosong. Untuk sementara, mereka tidak punya pemasukan dari sektor pariwisata. Demi menyambung hidup, mereka mesti mencari cara lain untuk makan. Mereka kembali berkebun.

Tim Ekspedisi diajak Mama Tabita Rumbewas dan Paulina Mambrasar, cucunya, melihat kebun mereka. Dari Homestay Mandarin, mereka melangkah di jalan agak menanjak selama seperempat jam, membawa parang keranjang daun tikar pandan, lalu tiba di sebuah kebun seluas 100×80 meter. Kebun itu dikelilingi pagar kayu setinggi satu meter.

“Agar tak dimasuki babi hutan,” jelas Mama Tabita.

Kampung Sawinggrai, Raja Ampat

Perjalanan menuju kebun Mama Tabita/Istimewa

Tanaman di sana tidak terlalu variatif. Hanya ada kasbi, betatas, dan jagung. Mama Tabita sempat mencoba menanam cabe dan tomat, namun keduanya tidak tumbuh dengan baik. Menurut Utreks, perlu perawatan ekstra bagi kebun yang berada di tanah seperti di Sawinggrai, terlebih jika yang ditanam adalah sayuran.

Kebun itu mulai digarap kembali oleh anak-anak Mama Tabita sejak bulan Februari lalu. Sebelumnya, kebun ini sudah eksis. Namun, karena semua orang sibuk mengurus homestay dan mencari rupiah lewat pariwisata, kebun tersebut terbengkalai.

“Mama berterima kasih sama corona, karena berkat corona Mama bisa berkumpul dengan anak-anak dan cucu. Tanah yang selama ini tidak jadi apa-apa, sudah bisa jadi kebun,” senyum Mama Tabita Rumbewas mengembang.

Mama Tabita dan cucunya menggali beberapa titik di kebun itu. Sebentar saja, keranjang yang mereka bawa sudah penuh dengan kasbi dan betatas. Semua itu sudah lebih dari cukup untuk dijadikan camilan sore bagi anak-anak dan cucu-cucu yang berkumpul di rumah.


Catatan Redaksi: Pada September 2020, M. Syukron dari TelusuRI mengunjungi beberapa lokasi di Raja Ampat untuk melihat langsung dampak pandemi COVID-19 di wilayah tersebut dalam ekspedisi bersama EcoNusa. Tulisan ini merupakan bagian dari seri catatan perjalanan itu. Nantikan terus kelanjutannya di TelusuRI.id.

The post Tak Ada Wisatawan, Warga Sawinggrai Kembali Berkebun appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/covid-19-masyarakat-sawinggrai-kembali-berkebun/feed/ 0 25874
Kampung Yenbuba Waspada di Tengah Pandemi https://telusuri.id/kampung-yenbuba-waspada-di-tengah-pandemi/ https://telusuri.id/kampung-yenbuba-waspada-di-tengah-pandemi/#respond Mon, 07 Dec 2020 08:56:51 +0000 https://telusuri.id/?p=25753 Kami tiba di Dermaga Kampung Yenbuba, Raja Ampat, jam 9 pagi. Dermaga ini terbuat dari kayu besi, memanjang sekitar 200 meter menuju kampung yang membelakangi gunung-gunung di Pulau Meos Mansar itu. Kurabesi dijangkarkan di perairan...

The post Kampung Yenbuba Waspada di Tengah Pandemi appeared first on TelusuRI.

]]>
Kami tiba di Dermaga Kampung Yenbuba, Raja Ampat, jam 9 pagi. Dermaga ini terbuat dari kayu besi, memanjang sekitar 200 meter menuju kampung yang membelakangi gunung-gunung di Pulau Meos Mansar itu.

Kurabesi dijangkarkan di perairan utara Pulau Meos Mansar. Arus selatan yang sedang kencang tidak memungkinkan untuk membawanya berlabuh di dermaga Kampung Yenbuba. Untuk ke kampung itu, tim ekspedisi memakai perahu-motor cepat.

Kampung Yenbuba, Raja Ampat

Dermaga Kampung Yenbuba, Raja Ampat/Istimewa

Di gerbang kampung terdapat papan bertuliskan “Untuk sementara aktivitas wisata dihentikan.” Di kirinya berdiri bangunan berdinding papan yang ternyata adalah BUMDes MART Meos Mansar. Nyaris tidak ada isinya, seolah-olah sudah sangat lama tidak digunakan. Ada dua toples permen dan beberapa gulung tisu.

Beberapa langkah kemudian ada sebuah bangunan lain yang tampaknya dijadikan sebagai pos COVID-19. Pada dinding-dindingnya tertempel informasi tentang COVID-19 serta jadwal keberangkatan kapal dari dan menuju Waisai sekaligus pemberitahuan soal standar protokol kesehatan.

Kampung Yenbuba, Raja Ampat

Kampung Yenbuba, Raja Ampat/Istimewa

Menggantungkan hidup pada pariwisata

Hampir 70 persen masyarakat Yenbuba menggantungkan hidup pada pariwisata. Di Kampung Yenbuba, menurut Samuel Wospakrik, Program Officer EcoNusa, terdapat 20 homestay yang menjadi anggota PERJAMPAT (Perkumpulan Penggerak Usaha dan Penghidupan Masyarakat Asli Raja Ampat). Di antara seluruh pulau di Raja Ampat, Kampung Yenbuba adalah pulau dengan jumlah keanggotaan PERJAMPAT terbanyak. 

“Sebenarnya masih banyak lagi [homestay di Kampung Yenbuba]. Hanya saja [homestay-homestay itu] belum mampu memenuhi kriteria dari PERJAMPAT,” jelas Samuel.

Yacob Sauyai, Kepala Kampung Yenbuba yang juga merupakan Ketua PERJAMPAT (Perkumpulan Penggerak Usaha dan Penghidupan Masyarakat Asli Raja Ampat), meluangkan waktu untuk berbincang dengan Tim Ekspedisi. 

“[Pandemi ini membuat kami] harus kembali dan masuk hutan, membuat kebun. Kami harus tetap bersyukur agar ini menjadi pembelajaran. Terus bergerak untuk beradaptasi,” ujarnya. 

Rasa syukur ini oleh Pak Yacob juga ditekankan kepada 108 kepala keluarga di Kampung Yenbuba. Menurutnya orang di pulau lebih beruntung daripada mereka yang bekerja di kota. Sekarang ini orang-orang kota tidak bisa keluar rumah; punya uang tapi stress. Sementara itu masyarakat yang tinggal di pulau masih bisa ke laut untuk cari ikan dan ke kebun untuk menanam bahan makanan.

Dermaga Kampung Yenbuba, Raja Ampat

Dermaga Kampung Yenbuba, Raja Ampat/Istimewa

Kampung Yenbuba terus waspada

Sebagai kepala kampung, ia merasa bahwa kebijakan-kebijakan perlu segera diambil. Masyarakat tentu banyak yang takut akibat informasi yang beredar. Itulah yang menjadi alasan kenapa posko COVID-19 didirikan dan sosialisasi terus diberikan. Kewaspadaan terhadap akses keluar-masuk menjadi pokok utama yang menjadi perhatian pemerintah kampung.

Menurut data Gugus Tugas COVID-19 Papua Barat Per tanggal 13 September 2020, di Waisai, Ibu Kota Kabupaten Raja Ampat, sudah ada 52 kasus positif. Hal ini yang membuat kepala kampung makin khawatir dengan masyarakatnya yang sering keluar-masuk dari dan ke Waisai. Karena itu pemerintah kampung sudah siap menerapkan kuncitara dan menutup Yenbuba dari orang luar. 

Pak Yacob berkata dengan serius, “Kami tidak peduli siapa yang mau datang. Jika kita tidak ketat maka akan membahayakan masyarakat sendiri.”

“Pariwisata sekarang ini masih menjadi pertanyaan besar. Ujungnya masih belum kelihatan. Tapi kebutuhan kita ada di depan mata. Kita harus cari solusi sendiri dan tetap waspada,” ujar Pak Yacob menutup ceritanya.


Pada September 2020, M. Syukron dari TelusuRI mengunjungi beberapa lokasi di Raja Ampat untuk melihat langsung dampak pandemi COVID-19 di wilayah tersebut dalam ekspedisi bersama EcoNusa. Tulisan ini merupakan bagian dari seri catatan perjalanan itu. Nantikan terus kelanjutannya di TelusuRI.id. 

The post Kampung Yenbuba Waspada di Tengah Pandemi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kampung-yenbuba-waspada-di-tengah-pandemi/feed/ 0 25753
Kebun di Saporkren, Bantu Bertahan Hadapi Pandemi https://telusuri.id/kebun-di-saporkren-bantu-bertahan-hadapi-pandemi/ https://telusuri.id/kebun-di-saporkren-bantu-bertahan-hadapi-pandemi/#respond Sat, 05 Dec 2020 04:09:08 +0000 https://telusuri.id/?p=25717 Masa pandemi di Saporkren, membuat wisatawan pengamat burung tak banyak berkunjung. Kebun kecil jadi penyemangat untuk terus bertahan.

The post Kebun di Saporkren, Bantu Bertahan Hadapi Pandemi appeared first on TelusuRI.

]]>
Tulisan “Rarama Bebye Ro Rumfarkor Ine” di gapura kayu yang sudah mulai berlumut menyambut kami saat memasuki kompleks SD YPK Getsemani, Kampung Saporkren, Raja Ampat. Deretan kata itu berasal dari bahasa Biak Betew yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “Kamu yang Datang ke Sekolah Ini.”

SD YPK Getsemani menjadi satu-satunya sekolah di Kampung Saporkren, Distrik Waigeo Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat. Sekolah itu memiliki 90 orang murid dan 10 pengajar. Ada enam kelas dalam kompleks yang terdiri dari dua bangunan itu.

Menurut penuturan Darius Ap, seorang guru di sekolah SD YPK Getsemani, proses kegiatan belajar mengajar berubah semenjak COVID-19, meskipun tak banyak. Walaupun wilayah itu masih dikategorikan sebagai zona hijau, kegiatan belajar mengajar harus mengikuti protokol COVID-19. Waktu belajar digilir. Satu hari adalah waktu belajar bagi kelas 1, 3, dan 5. Hari berikutnya giliran kelas 2, 4, dan 6. Tiap kelas pun dibagi menjadi dua demi menjaga jarak. 

“Anak-anak di sini, sih, masih biasa saja dengan COVID-19. Mereka tahu (tentang COVID-19) karena kami juga sering informasikan. Tapi (pandemi) tidak menjadi hal yang menakutkan bagi mereka,” ungkap Darius.

Jika dari sisi pendidikan tidak banyak yang berubah dari Kampung Saporkren, kondisi wisata memantau burung (birdwatching) beda cerita.

Menyusuri hutan Saporkren

Hutan Saporkren dikenal sebagai habitat dari lima spesies burung endemik Pulau Waigeo, di antaranya cendrawasih pohon atau cendrawasih merah (red bird-of-paradise), cendrawasih belah rotan (cendrawasih Wilson), Raja Ampat pitohui, gagak hutan (brown hooded crow), dan spice imperial pigeon (merpati yang memiliki mahkota). Semuanya hidup bebas, bahkan terkadang sampai masuk kampung.

Homestay Saporkren

Homestay Saporkren/M. Syukron

Semaraknya wisata memantau burung Saporkren berimbas pada okupansi penginapan-penginapan (homestay) di kampung itu. Karena lazimnya pengamatan dilakukan di pagi hari, para birdwatcher lebih senang menginap di homestay yang jaraknya tak jauh dari hutan Saporkren ketimbang menyewa kamar di tempat lain. Tapi itu dulu, sebelum pandemi datang.

Sony Rumbino, salah seorang peserta kegiatan penyuluhan pertanian yang ternyata juga seorang pemandu wisata berkata bahwa sejak Februari tidak ada lagi tamu yang datang ke Saporkren. Pandemi membuat rutinitas Sony dan warga kampung berubah. Kondisi begini adalah anomali. Sejak 2004 ketika Sony dan beberapa orang warga mulai memandu wisatawan dari dalam dan luar negeri melihat burung di Saporkren, baru sekali ini situasi begini terjadi. 

Tentu pengaruhnya besar sekali bagi kondisi perekonomian penduduk Saporkren yang hidupnya bergantung pada pariwisata. Sony merespons situasi dengan membuka lahan dan berkebun sejak Mei kemarin. Ia perlu melakukan sesuatu untuk menghidupi istri dan empat orang anaknya.

Menyusuri Hutan Saporkren

Menyusuri Hutan Saporkren/M. Syukron

Sony berbaik hati mengajak kami ke hutan untuk melihat kebunnya. Lokasinya tak seberapa jauh dari permukiman. Hanya perlu sekitar 10 menit berjalan kaki dari rumah terakhir, lewat jalan setapak tak mulus. Tanah basah dan licin, namun Sony berjalan santai tanpa alas kaki sambil menenteng kamera DSLR Canon—pemberian Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)—yang ia gunakan untuk memotret satwa.

Hutan sudah menjadi arena bermainnya. Aktif dalam kelompok tani hutan yang mengawasi kawasan Saporkren (2.000 ha)—dan beberapa kali menangkap pemburu liar yang masuk hutan untuk menembak burung—membuat kakinya kebal menapaki hamparan batugamping khas bentang alam karst. Santai sekali ia berjalan. Sementara itu, kami yang meskipun sudah memakai alas kaki, kepayahan menjaga keseimbangan agar tidak terpeleset.

Kebun Kecil di Hutan Saporkren

Kebun kecil di hutan Saporkren/M. Syukron

Kebun kecil Sony Rumbino

Setelah melewati rintangan berupa semak belukar dan pohon-pohon roboh, kami pun tiba di lahan Sony. Kebun seluas sekitar 50×60 meter itu ia tanami kasbi, betatas, sirih, dan jagung yang bibitnya masih bisa ia cari dengan mudah di hutan. Agar tidak dirusak oleh babi hutan, Sony melindungi kebunnya dengan pagar kayu setinggi setengah meter. Sambil menunggu panen pertamanya, ia kini sedang mempersiapkan bibit-bibit tanaman lain untuk ditanam.

Bagi Sony, kendala dalam berkebun adalah soal modal awal untuk membiayai pengadaan alat dan bahan untuk pembibitan dan merapikan lahan. Pengetahuan yang ia dapat dalam penyuluhan ketahanan pangan oleh tim EcoNusa COVID-19 Response Expedition, serta bantuan peralatan pertanian yang diberikan, rasa-rasanya bisa mengangkat sedikit beban di pundak Sony dan warga Saporkren yang sedang berjuang bertahan di masa pandemi.

Wah, jadi rindu bercocok tanam di Pulau Kapoposang!


Pada September 2020, M. Syukron dari TelusuRI mengunjungi beberapa lokasi di Raja Ampat untuk melihat langsung dampak pandemi COVID-19 di wilayah tersebut dalam ekspedisi bersama EcoNusa. Tulisan ini merupakan bagian dari seri catatan perjalanan itu. Nantikan terus kelanjutannya di TelusuRI.id. 

The post Kebun di Saporkren, Bantu Bertahan Hadapi Pandemi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kebun-di-saporkren-bantu-bertahan-hadapi-pandemi/feed/ 0 25717
Mungkin Tuhan yang Beri Jalan Dokter ke Urbinasopen, Raja Ampat https://telusuri.id/operasi-kecil-di-kampung-urbinasopen-raja-ampat/ https://telusuri.id/operasi-kecil-di-kampung-urbinasopen-raja-ampat/#respond Fri, 04 Dec 2020 05:31:39 +0000 https://telusuri.id/?p=25702 Evelin, seorang warga Kampung Urbinasopen, Waigeo Timur, Raja Ampat tampak lemas. Sambil memegang tangan kirinya, ia seperti menahan sakit. Sudah dua minggu telunjuk tangan kiri Evelin terkena mata ikan, sejenis kutil (plantar warts) yang disebabkan...

The post Mungkin Tuhan yang Beri Jalan Dokter ke Urbinasopen, Raja Ampat appeared first on TelusuRI.

]]>
Evelin, seorang warga Kampung Urbinasopen, Waigeo Timur, Raja Ampat tampak lemas. Sambil memegang tangan kirinya, ia seperti menahan sakit. Sudah dua minggu telunjuk tangan kiri Evelin terkena mata ikan, sejenis kutil (plantar warts) yang disebabkan oleh human papillomavirus (HPV).

Daging tumbuh itu sebenarnya bukan penyakit serius asal ditangani secara tepat. Tapi perempuan berumur 19 tahun itu belum terpapar informasi bagaimana menangani mata ikan secara tepat. Selama ini ia hanya mengobati mata ikan tersebut dengan ramuan yang diracik dari dedaunan. Kondisinya bukan membaik, namun makin lama mata ikan itu terasa kian menyakitkan. Telunjuknya sudah membengkak, hitam, dan bernanah. Area sekitar jari tangannya pun gatal. Dalam kondisi seperti itulah tim medis menjumpai Evelin.

Selain kegiatan sosialisasi COVID-19 dan ketahanan pangan, EcoNusa Response COVID-19 Expedition juga mengadakan pemeriksaan kesehatan di Kampung Urbinasopen. Kegiatan itu digelar di depan Gereja Immanuel.

Kampung Urbinasopen, Raja Ampat

Kampung Urbinasopen, Raja Ampat/Istimewa

Dokter Lalu Rahmat Yuanda Aji, yang akrab disapa Nanda, salah seorang tenaga medis anggota ekspedisi, menemukan bahwa kondisi jari telunjuk Evelin sudah parah. Mata ikan itu juga bukan tak mungkin akan menyebar ke jari-jari lain. Perlu penanganan segera. Jika tidak, terpaksa amputasi harus dilakukan. 

Dibantu perawat, Destyana, Dokter Nanda melakukan operasi kecil dengan peralatan yang sudah dipersiapkan tim ekspedisi. Kedua insan medis itu menghilangkan jaringan-jaringan yang sudah mati (debridement) pada telunjuk sang pasien, kemudian mensterilkannya dan memberikan salep Gentamicin di sekitar jari Evelin. 

Walaupun sudah diberikan bius lokal sebelum tindakan operasi, Evelin nyatanya masih meringis kesakitan. Namun tekad yang kuat untuk sembuh membuatnya rela menahan rasa sakit itu sampai operasi selesai. Baginya, lebih baik sakit sebentar ketimbang harus terus-menerus tertekan karena memikirkan kondisi telunjuk tangan kirinya itu. Apalagi saat ini ia sedang dalam periode menyusui anak pertamanya.

“Mungkin Tuhan sudah memberikan jalan [agar] dokter ke sini,” ujarnya.

Kampung Urbinasopen, Raja Ampat/M. Syukron

Kampung Urbinasopen, Raja Ampat/Istimewa

Dokter di Urbinasopen adalah pemandangan langka

Dokter adalah pemandangan langka di Urbinasopen. Warga kampung hanya mengandalkan mantri dan puskesmas jika mengalami masalah kesehatan. Untuk penanganan lebih lanjut yang membutuhkan pertolongan dokter, pasien mesti naik perahu selama sekitar tiga jam ke Waisai atau Sorong.

“Terakhir [kali] dokter datang ke pulau itu sepertinya lebih dari setahun yang lalu,” ungkap Evelin. “Apalagi dengan kondisi COVID-19 seperti ini,” imbuhnya. “[Dokter lebih jarang datang karena] mau keluar-masuk kampung orang sudah berhati-hati.” Jadi, begitu mengetahui ada rombongan yang hendak datang ke kampung dan menggelar pemeriksaan kesehatan, ia langsung menuju gereja dan mendaftarkan diri.

Menurut Dokter Nanda, setiap puskesmas seharusnya minimal mempunyai dua dokter umum dan dua dokter gigi serta perawat. Tapi, untuk daerah-daerah terpencil seperti Urbinasopen, kondisi ideal seperti demikian tentu saja terlalu utopis. Puskesmas dan mantri yang tersedia sudah cukup membuat penduduk bersyukur, apalagi ketika mereka sadar bahwa banyak kampung yang bahkan tak punya seorang pun petugas kesehatan.

Pentingnya edukasi tentang “sakit” kepada masyarakat

Selain infrastruktur, Dokter Nanda juga mengatakan bahwa pola pikir masyarakat tentang “sakit” juga harus terus diedukasi. Belum lagi soal kesadaran kesehatan masyarakat. Masyarakat masih cenderung menyepelekan penyakit. Padahal, jika bisa mengenali gejalanya sejak dini, penanggulangan penyakit akan menjadi lebih mudah. Ia mengambil contoh kasus Evelin. Seharusnya mata ikan itu bisa disembuhkan tanpa operasi. Namun, karena mata ikan itu dicoba ditangani sendiri, kondisinya jadi lebih parah.

Kampung Urbinasopen, Raja Ampat/M. Syukron

 Tim EcoNusa Response COVID-19 Expedition/Istimewa

Tim medis memeriksa 31 pasien di Urbinasopen. Menurut Dokter Nanda, orang dewasa di Urbinasopen rata-rata terkena osteoarthritis, penyakit yang biasanya dialami manusia berusia 50-an, bersifat degeneratif, yang diakibatkan oleh berkurangnya cairan sendi. Biasanya yang terkena adalah sendi-sendi besar seperti lutut. Yang cukup mengejutkan, ada pula warga yang sudah mengalami osteoarthritis pada usia yang baru sekitar 30-an. Dokter Nanda menyimpulkan bahwa itu terjadi karena aktivitas berlebihan dalam mengangkat beban.

Sementara itu, yang dialami anak-anak umumnya adalah gatal-gatal pada badan, terutama kaki. Penyebabnya adalah bakteri Gram-positif yang menjangkit karena gaya hidup kurang bersih dan tidak memakai alas kaki. Nyatanya, di Kampung Urbinasopen anak-anak memang bermain tanpa menggunakan alas kaki.

Menurut Dokter Nanda, “Kaki yang terluka sangat rentan terkena penyakit terluka apalagi di lingkungan yang tidak higienis, seperti mata ikan itu.”


Pada September 2020, M. Syukron dari TelusuRI mengunjungi beberapa lokasi di Raja Ampat untuk melihat langsung dampak pandemi COVID-19 di wilayah tersebut dalam ekspedisi bersama EcoNusa.  Tulisan ini merupakan bagian dari seri catatan perjalanan itu. Nantikan terus kelanjutannya di TelusuRI.id. 

The post Mungkin Tuhan yang Beri Jalan Dokter ke Urbinasopen, Raja Ampat appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/operasi-kecil-di-kampung-urbinasopen-raja-ampat/feed/ 0 25702
Bicara Corona di Arefi Timur https://telusuri.id/bicara-corona-di-arefi-timur/ https://telusuri.id/bicara-corona-di-arefi-timur/#respond Thu, 03 Dec 2020 03:30:33 +0000 https://telusuri.id/?p=25664 Setelah perjalanan 6 jam dari Sorong dengan Kurabesi, tim ekspedisi EcoNusa COVID-19 Response Raja Ampat tiba di perhentian pertama yakni Kampung Arefi Timur yang berada di Distrik Batanta Utara, Kabupaten Raja Ampat. Pagi itu, kami...

The post Bicara Corona di Arefi Timur appeared first on TelusuRI.

]]>
Setelah perjalanan 6 jam dari Sorong dengan Kurabesi, tim ekspedisi EcoNusa COVID-19 Response Raja Ampat tiba di perhentian pertama yakni Kampung Arefi Timur yang berada di Distrik Batanta Utara, Kabupaten Raja Ampat. Pagi itu, kami disambut oleh Fraim Dimara, Wakil Ketua Badan Musyawarah Kampung.

Sambil menunggu Samuel Wospakrik dan Matheos Yacobus Rayar, tim pendahulu yang menemui pemerintah kampung dan mempersiapkan kebutuhan kegiatan di lapangan, tim penyuluh pertanian mulai menyisihkan bantuan yang akan diberikan. Ada pupuk organik—pupuk Petro Bio, pupuk karung, pupuk cair, beragam benih sayuran, alat pertanian—cangkul, sprayer, gunting tanaman, sepatu bot, caping/topi petani, polybag, gerobak sorong, serta masker kain. Sementara itu, tim kesehatan menyerahkan bantuan berupa baju hazmat, masker medis, face shield, dan sarung tangan.

Tiba di Kampung Arefi Timur/Istimewa

Selama pandemi, aktivitas wisata di Raja Ampat lumpuh. Banyak homestay rusak karena tidak pernah ditempati. Oleh karenanya, EcoNusa pun berinisiatif memberdayakan masyarakat Arefi Timur dengan membuat 1.000 unit atap dan dinding dari daun bobo (daun nipah). 200 unit di antaranya dimanfaatkan oleh penginapan-penginapan di Arefi Timur, sedangkan sisanya dibagikan ke beberapa wilayah di Raja Ampat melalui Asosiasi Homestay Raja Ampat.

Penyuluhan dan pemeriksaan kesehatan

Waktu menunjukkan pukul 8.30 WIT ketika masyarakat di Arefi Selatan dan Arefi Timur berkumpul di sebelah kantor kampung untuk mengikuti penyuluhan kesehatan. Dokter Lalu Rahmat Yuanda Aji (Dokter Nanda) dibantu oleh Destyana (perawat) menjelaskan tentang COVID-19 serta pentingnya menjaga kebersihan diri dalam situasi pandemi. Cara mencuci tangan dan alasan menggunakan masker pun dijelaskan secara sederhana agar dapat diterima oleh seluruh elemen masyarakat Arefi Timur.

Antusiasme warga tercermin dari banyaknya pertanyaan yang mereka ajukan seputar COVID-19. Di antara banyak pertanyaan itu, ada dua yang paling menarik. Pertama, ada yang bertanya soal kebenaran informasi bahwa berjemur di bawah matahari adalah anti-corona alami. Kedua, ada yang menanyakan apakah COVID-19 adalah penyakit dari Rusia. Semuanya dijawab secara jelas oleh Dokter Nanda.

Pengecekan bantuan kesehatan/Istimewa

Menurut Verson Rumbewas, salah seorang warga yang ikut serta dalam penyuluhan kesehatan, kegiatan ini belum pernah ada di Kampung Arefi Timur. Masyarakat mendapat informasi tentang bahaya corona hanya dari berita-berita dan pemberitahuan yang mereka terima ketika sedang berkunjung ke Sorong. Namun, penjelasan rinci terkait corona masih minim sekali.

Usai penyuluhan kesehatan, EcoNusa COVID-19 Response Expedition menggelar pemeriksaan kesehatan secara gratis. Kantor pemerintah kampung disulap menjadi klinik kesehatan dan apotek.

Menurut Dokter Nanda, masyarakat Arefi dominan terkena low back pain (LBP) atau sakit punggung akibat sering membawa beban terlalu berat. Selain itu banyak juga yang terkena ISPA (infeksi saluran pernapasan atas) akibat sering menghirup asap kayu bakar. 

Maikel Rumaseb, mantri Puskesmas Yensawai, bercerita bahwa ISPA dan COVID-19 sempat membingungkan masyarakat sebab gejala keduanya serupa. Namun, sosialisasi terus-menerus yang diupayakan oleh pihak puskesmas membuat masyarakat mulai memahami dan waspada.

Arefi Timur Raja Ampat
Pemandangan udara Arefi Timur/Istimewa

Bertukar informasi soal pertanian organik

Sementara itu, Jemima Desi Wamna dan Utreks Hembring bertukar informasi tentang macam-macam teknik bertani dengan masyarakat Arefi Timur.

Pada dasarnya, Masyarakat Arefi Timur sudah menerapkan pertanian organik. Selama ini mereka menanam tanpa menggunakan pupuk dan bahan kimia buatan lainnya. Hanya saja, metode yang diterapkan, dari mulai pembibitan sampai pemanenan belum terstruktur. Di Arefi Timur sendiri hampir semua dari 249 jiwa (88 kepala keluarga) penduduk berkebun. Semenjak COVID-19 menyapa dan menghentikan aktivitas pariwisata, mereka makin giat berkebun.

“Semoga peralatan pertanian ini bisa dipakai dengan rasa sayang sehingga apa yang ditanam bisa membahagiakan bapak-ibu semua,” ungkap Matheos Yacobus Rayar.

Matahari hampir tenggelam ketika kami kembali menaiki Kurabesi untuk melanjutkan perjalanan menuju Pulau Urbinasopen. Kira-kira, apakah perjalanan selanjutnya akan semulus hari ini?


Pada September 2020, M. Syukron dari TelusuRI mengunjungi beberapa lokasi di Raja Ampat untuk melihat langsung dampak pandemi COVID-19 di wilayah tersebut dalam ekspedisi bersama EcoNusa. Tulisan ini merupakan bagian dari seri catatan perjalanan itu. Nantikan terus kelanjutannya di TelusuRI.id. 

The post Bicara Corona di Arefi Timur appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/bicara-corona-di-arefi-timur/feed/ 0 25664
Menilik Dampak Pagebluk di Raja Ampat https://telusuri.id/menilik-dampak-pagebluk-di-raja-ampat/ https://telusuri.id/menilik-dampak-pagebluk-di-raja-ampat/#comments Tue, 01 Dec 2020 05:30:45 +0000 https://telusuri.id/?p=25650 Perjalanan kali ini memang terasa berbeda. Bukan untuk sekadar menelusuri wilayah Raja Ampat, keberangkatan kami ada di bawah “payung” ekspedisi.

The post Menilik Dampak Pagebluk di Raja Ampat appeared first on TelusuRI.

]]>

Sorong, Papua Barat, adalah tujuan pertama untuk menuju Raja Ampat. Di kota ini, September lalu, tampak sekilas bagaimana warga setempat merespons pagebluk alias pandemi COVID-19 yang sedang terjadi. 

Su dikasih denda 500 ribu kalau tra pake masker, tetap saja tra ngaruh,” ujar Rezky, sopir usaha rental mobil yang mengantar ke hotel dari bandara Domine Eduard Osok, Sorong, Papua Barat. 

Rezky mengeluhkan respons warga terhadap COVID-19. Menurutnya, masyarakat Kota Sorong masih cenderung abai terhadap pandemi. Protokol kesehatan yang digaungkan pemerintah daerah seperti belum masuk ke dalam perhatian mereka. Masyarakat beraktivitas seolah-oleh wabah corona tidak ada. 

Padahal, kasus COVID-19 di Sorong tidak bisa dikatakan rendah. Menurut laman Dinas Kesehatan Provinsi Papua Barat, per 9 September 2020 terdata sebanyak 120 suspek di Sorong, dengan 4 orang diisolasi dan 116 suspek discarded

Sejak kemunculannya di Indonesia awal Maret 2020, belum ada tanda-tanda jika pagebluk COVID-19 akan segera mereda. Sebaliknya, semakin ke sini statistik kian menunjukkan peningkatan.

Di laman kawalcovid19.id, per 10 September 2020 (saat tulisan ini dibuat) sudah 203.342 orang yang terpapar COVID-19 dan 8.336 di antaranya telah meninggal. Kasusnya pun sudah tersebar merata ke 34 Provinsi di Indonesia, termasuk Provinsi Papua Barat. Menurut catatan Satuan Gugus Tugas Covid-19 Papua Barat, per 9 September 2020 telah ada sekitar 1720 kasus suspek dan 1.149 kasus positif dengan 41 orang meninggal dunia.

Wabah ini tentu saja takkan bisa diatasi jika yang bertindak hanya satu pihak saja. Pemerintah tentunya tidak bisa menekan penyebarannya jika kita sebagai masyarakat tidak disiplin dalam mentaati protokol kesehatan. Idealnya memang semua stakeholder harus terlibat, termasuk masyarakat sendiri. Namun, entah apa sebabnya, penanganan COVID-19 ini masih jauh panggang dari api.

Sama seperti  yang terjadi di kota-kota lain di Indonesia, efek dari COVID-19 ini pun mulai benar-benar terasa. Pekerja dirumahkan, usaha wisata mulai banyak yang tutup, transportasi logistik antardaerah menjadi sulit. 

Menurut informasi dari seorang narasumber di bandar udara, Susi Air bahkan menutup penerbangan dari dan menuju Bintuni karena kuncitara (pembatasan) diberlakukan di sana.

Ekspedisi ke Raja Ampat

Perjalanan kali ini memang terasa berbeda. Bukan untuk sekadar menelusuri wilayah Raja Ampat, keberangkatan kami ada di bawah “payung” ekspedisi bersama EcoNusa, sebuah organisasi pengelolaan sumber daya alam dan masyarakat adat Indonesia timur, Tujuannya, menjadi bagian dari upaya memberikan dukungan kesehatan, ketahanan pangan, dan penguatan pelaku wisata yang terdampak pandemi. 

Tim ekspedisi berencana mengitari perairan Kepulauan Raja Ampat selama 15 hari, mulai tanggal 10 September sampai 25 September 2020 dengan sebuah kapal live on board sepanjang 23 meter keluaran tahun 2015, Kurabesi. 

Kegiatan ini menyasar 13 wilayah yakni Arefi, Saukabu, Selpele, Arborek, Sawingrai, Kri, Sapokren, Waisai, Urbinasopen, Mayaifun, Kalyami/Kaliam, Solol, dan Amdui. 

Cory Adriani Kapa bertugas jadi pemimpin proyek (project leader) ekspedisi ini. Dalam technical briefing ia menjelaskan tiga poin agenda ekspedisi ini. Mulai dari penyuluhan kesehatan, penyuluhan pertanian organik dan sosialisasi ekowisata. 

Rencananya, dari aspek kesehatan akan termasuk pemberian bantuan puluhan baju alat pelindung diri (APD), ribuan masker kain, ratusan masker medis, ratusan pelindung wajah (face shield), dan puluhan alat tes cepat (rapid test), t-shirt, dan buku saku tentang COVID-19.

Sedangkan untuk pertanian organik, Cory berharap ini bisa mendukung ketahanan pangan.  Tim menyiapkan 3.500 benih tanaman, 645 kemasan pupuk, dan 100 alat pertanian (cangkul, gerobak, spray, dll.).

Dan untuk ekowisata, bersama dengan asosiasi homestay Raja Ampat, tim menyiapkan atap daun sagu (300 unit) dan dinding (250 unit) untuk keperluan renovasi penginapan yang rusak di enam wilayah.

Seusai technical meeting, awak ekspedisi bergerak ke Pelabuhan Usahamina untuk memulai perjalanan. Tak bisa dihindari, muncul pertanyaan ini: Apakah ekspedisi ini akan “semanis” dugaan kami di awal atau justru malah lebih “pahit” dari perkiraan? 

Catatan Redaksi: Pada September 2020, M. Syukron dari TelusuRI mengunjungi beberapa lokasi di Raja Ampat untuk melihat langsung dampak pandemi COVID-19 di wilayah tersebut dalam ekspedisi bersama EcoNusa. Tulisan ini merupakan bagian dari seri catatan perjalanan itu. Nantikan terus kelanjutannya di TelusuRI.id.

The post Menilik Dampak Pagebluk di Raja Ampat appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menilik-dampak-pagebluk-di-raja-ampat/feed/ 11 25650