ramadan Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/ramadan/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 27 May 2025 15:58:51 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 ramadan Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/ramadan/ 32 32 135956295 Mendongak dan Menunduk di Ruwat Desa Pagerngumbuk https://telusuri.id/mendongak-dan-menunduk-di-ruwat-desa-pagerngumbuk/ https://telusuri.id/mendongak-dan-menunduk-di-ruwat-desa-pagerngumbuk/#respond Wed, 14 May 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46912 Pernahkah Anda seolah-olah menghirup hawa kematian massal? Pernahkah Anda seakan-akan menonton Izrail yang mencabuti jiwa-jiwa manusia secara membabi-buta? Pernahkah Anda tahu rasanya menatap kain jarik dan batik dengan mayat-mayat terbujur kaku di baliknya? Saya merasakannya...

The post Mendongak dan Menunduk di Ruwat Desa Pagerngumbuk appeared first on TelusuRI.

]]>
Pernahkah Anda seolah-olah menghirup hawa kematian massal? Pernahkah Anda seakan-akan menonton Izrail yang mencabuti jiwa-jiwa manusia secara membabi-buta? Pernahkah Anda tahu rasanya menatap kain jarik dan batik dengan mayat-mayat terbujur kaku di baliknya? Saya merasakannya di hari Minggu yang hangat di pertengahan Februari. 

Hari itu (16/2/2025), hari yang sangat saya nanti-nanti. Jauh-jauh hari, lingkaran merah telah menandai kalender saya. Sehari sebelumnya, di Sabtu malam, hati saya berdebar-debar seperti sedang menanti detik-detik ikrar pernikahan. Saya tidak mampu tidur nyenyak.

Saya memikirkan ulang cerita kakek saya tentang ruwat desa di Pagerngumbuk, Kecamatan Wonoayu, Kabupaten Sidoarjo. Kata Mbah Salim (84) akan ada kasur-kasur tertutup kain jarik batik di depan rumah warga. Warga kemudian akan mengarak kasur-kasur itu keliling desa. Saya membayangkan Malaikat Maut. Maut identik dengan larik-larik kain jarik. Ah, teramat unik dan menarik.

Ruwat desa Pagerngumbuk sudah pasti berbeda dari ruwat-ruwat desa biasanya. Tidak hanya ziarah kirim doa di makam desa. Tidak melulu pengajian dan pertunjukan wayang. Saya pun bertekad seperti seorang raja yang sedang bersumpah, “Saya harus menontonnya! Dengan mata kepala saya sendiri!”

Mendongak dan Menunduk di Ruwat Desa Pagerngumbuk
Panggung utama ruwat desa Pagerngumbuk/Rosyid HW

Ruwat Desa Pagerngumbuk dalam Tiga Gelombang

Minggu-minggu menjelang bulan Ramadan—disebut bulan Ruwah dalam kalender Jawa—beberapa desa di Sidoarjo menggelar ruwat desa. Demi menonton ruwat desa Pagerngumbuk, saya merelakan diri tidak menonton ruwat desa Balongdowo dengan ritual nyadran-nya di pesisir Sidoarjo. “Mayat bergentayangan tentu lebih menarik daripada orang-orang mabuk ciu dan dangdut di geladak kapal!” seruku.

Bersama Fariduddin Attar, seorang antropolog partikelir, kami berangkat terlampau pagi dan mendapati beberapa orang masih menata tikar-tikar di jalanan depan Balai Desa Pagerngumbuk. Terop telah tegak berdiri. Panggung penuh gamelan sudah tertata rapi. Seseorang mencoba kualitas suara mikrofon. Beberapa panitia sedang bekerja dan berjalan ke sana kemari. “Biasanya pukul sembilan, warga mulai berdatangan,” jawab salah satu penjaja makanan dari puluhan penjual yang telah siap siaga mengais rezeki di sepanjang jalan menuju balai desa. 

“Wartawan, ya, Mas?” tanyanya. Saya menggeleng. “Mau ambil video, ya, Mas?” lanjutnya. Saya menjawab, “Kami hanya ingin menonton.” Menonton malaikat maut, batinku. Sambil melipir ke warung kopi, saya pun berpikir, ruwat desa ini sudah kepalang masyhur hingga banyak orang dari luar desa turut berkunjung.

Gunungan hasil panen sayur warga Pagerngumbuk/Rosyid HW

Tiga gelombang rombongan warga mulai berdatangan ketika jarum jam di dinding balai desa menunjuk angka sembilan. Gelombang pertama adalah bapak-bapak yang mengarak gunungan hasil bumi—lebih dari sepuluh gunungan. Setinggi dua meter lebih, aneka sayuran dan buah-buahan ditata sedemikian rupa agar gunungan terlihat menarik. Ada pisang, sawi, sirsak, terong, ketela, jagung, timun, nanas, gambas, dan kacang panjang. “Gunungan ini dilombakan. Per RT satu gunungan,” kata Fanani, saudara saya yang juga warga Pagerngumbuk. Beberapa jam kemudian, saya membaca statistik: desa ini terbagi menjadi 16 RT. Artinya, ada 16 gunungan hasil ladang.

Beberapa menit setelahnya, rombongan kedua mulai berdatangan. Tiba-tiba, dada saya bergetar. Bulu kuduk saya merinding. Para lelaki tampak seperti menggotong keranda-keranda. Keranda berpenutup jarik dan batik, sebuah bidang persegi panjang diikat pada selonjor bambu atau kayu dan diangkat oleh dua lelaki. Tidak hanya satu atau dua, tapi puluhan. Seperti iring-iringan orang meninggal. Rentetan parade kematian. Mereka kemudian meletakkan kendaraan-kendaraan kematian tersebut di area pendopo dan halaman balai desa yang sengaja dikosongkan.

Hidung saya seolah-olah menghirup aroma basah tanah kuburan. Di tiang-tiang balai desa. Di atap-atap genteng. Di pucuk-pucuk daun. Di kilat-kilat lantai. Izrail seakan-akan terbang melayang-layang. Panggilan kematian seperti mendekat, sedekat urat leher. Oh, ini yang diceritakan kakekku.

Aku menatap Fanani dengan alis terangkat. Ia seakan mengerti, lalu membuka mulut: itu hanya dipan atau lincak atau kursi panjang, berisi tumpeng makanan. Aku berpikir, daripada tumpeng, itu lebih mirip mayat. Di antara lalu-lalang orang, Fanani berseru, “Seperti nabi, penyedia tumpeng adalah orang-orang pilihan.” 

Warga berbondong-bondong menggotong bayang dan lincak untuk ditata di balai desa/Rosyid HW

Hanya keluarga penggarap gogol sawah desalah yang berkewajiban mengeluarkan tumpeng. Jika total ada 88 gogol se-Pagerngumbuk, maka ada 88 tumpeng yang dihidangkan. Apabila ada satu keluarga yang menggarap empat gogol, maka keluarga tersebut tetap diharuskan mengeluarkan empat tumpeng. “Aturan ini sudah dijalankan turun-temurun,” katanya.

Daging kerbau adalah hidangan utama ritual ini. Sehari sebelumnya, pemerintah desa menyembelih kerbau. Daging kerbau dibagi-bagikan kepada penggarap 88 gogol sawah desa. Daging kerbau dimasak dan disajikan secara khusus. Tidak boleh sembarangan. Salah satunya adalah sate daging kerbau yang diapit supit bambu dengan pelepah daun pisang di ujungnya. Ada pula sate daging kelapa; kepal parut kelapa yang berisi daging dan sate hati-usus-jeroan—saat bubaran ruwat desa, saya sempat menggigit satu tusuk hati kerbau ini dan rasanya sedap sekali!

Selain daging kerbau, ada pula kerupuk besar selebar rentang jari orang dewasa, pisang hijau, dan jajanan desa macam jadah, kembang gula, dan jenang. Menu sudah diatur dan diturunkan dari generasi ke generasi. Kondimen tumpeng sudah ditentukan sedemikian rupa. “Jika menunya tidak lengkap, ditakutkan muncul tumbal,” tutur Fanani menakut-nakuti.

Setelah tumpeng-tumpeng tertutup kain batik memenuhi area dalam balai desa, rombongan warga—lelaki dan perempuan; dewasa, remaja, dan anak-anak—mulai memadati kawasan jalanan depan balai desa. Mereka juga membawa tumpeng masing-masing, tumpeng bebas yang mereka berhak memasak apa pun dan siapa pun boleh membawanya. Di atas tikar-tikar yang tergelar, mereka tanpa jeda berbicara tak peduli dengan pidato-pidato kepala desa dan camat yang membosankan. 

Mendongak dan Menunduk di Ruwat Desa Pagerngumbuk
Keramaian warga saat prosesi ruwat desa. Mereka membawa makanan dan jajanan masing-masing/Rosyid HW

Menghayati Makna Ruwatan di Pagerngumbuk

Di tengah riuh yang memiuh, saya memilih berteduh dan menata gaung dari dengung pertanyaan di kepala. Mengapa penduduk Pagerngumbuk yang berjumlah 3.158 kepala merayakan ruwat desa dengan tumpeng-tumpeng yang terlihat seperti mayat? Saya mencoba menerka-nerka sendiri jawabannya.

Gunungan hasil ladang adalah ekspresi syukur dengan dada lapang. Syukur dengan kesadaran bahwa desa dengan luas 166,07 hektare dan tanah sawah seluas 154 hektare telah menganugerahi mereka kehidupan, rezeki, dan berkah yang berlimpah-limpah. Syukur yang tidak hanya diukur secara personal, tetapi juga komunal. Tumpeng dan daging kerbau pun mengejawantah dalam bentuk sedekah. Saling berbagi, saling menikmati; perwujudan rasa kebersamaan, gotong-royong, dan persatuan antar penduduk desa.

Namun, hidup dengan rasa syukur dan bahagia yang membuncah tak menghalangi mereka untuk melupakan hidup yang sesungguhnya, hidup selepas kematian. Walhasil, mereka membungkus tumpeng, masakan daging kerbau, dan jajanan mereka dengan kain batik dan jarik sehingga tampak seolah-olah seperti jenazah, seperti jasad mati yang terbujur kaku. 

Ketika zuhur menjelang dan doa-doa baik telah dipanjatkan, kain batik dan jarik disingkap, isi tumpeng-tumpeng diperebutkan dan dilahap, jajanan dan sajian dikudap. Jiwa-jiwa warga mendongak merayakan syukur hidup. Hati-hati penduduk menunduk mengingat mati. 

Di Pagerngumbuk, seraya mengunyah sate hati-usus-jeroan kerbau, saya belajar menghayati hidup sekaligus menghikmati mati. Hidup memang patut dirayakan, tetapi mati tidak boleh dilupakan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mendongak dan Menunduk di Ruwat Desa Pagerngumbuk appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mendongak-dan-menunduk-di-ruwat-desa-pagerngumbuk/feed/ 0 46912
Buka Puasa Penuh Makna di Tepikota https://telusuri.id/buka-puasa-penuh-makna-di-tepikota/ https://telusuri.id/buka-puasa-penuh-makna-di-tepikota/#respond Thu, 21 Mar 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41434 TelusuRI mengisi hari pertama Ramadan tahun ini dengan cara tak biasa. Di pinggiran Yogyakarta, kami melihat langsung antusiasme dua sejoli yang hidup di jalan pangan lokal dan seni dengan semangat literasi. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto:...

The post Buka Puasa Penuh Makna di Tepikota appeared first on TelusuRI.

]]>
TelusuRI mengisi hari pertama Ramadan tahun ini dengan cara tak biasa. Di pinggiran Yogyakarta, kami melihat langsung antusiasme dua sejoli yang hidup di jalan pangan lokal dan seni dengan semangat literasi.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda, Mauren Fitri, dan Amai Hendrawan


  • Buka Puasa Penuh Makna di Tepikota
  • Buka Puasa Penuh Makna di Tepikota

Selepas salat Asar berjamaah, Febri Indra Laksmana (31) dan Rofida Noor Amalia (34) bergegas menuju dapur sembari memakai celemek berwarna gelap. Sesaat lagi pasangan suami istri itu akan memulai salah satu prosesi sakral di Tepikota, yaitu memasak. Satu per satu bahan mentah dan pelbagai bumbu disiapkan. 

Sedari siang (12/03/2024), TelusuRI berkunjung ke bangunan bertipe joglo nan sejuk tersebut untuk melihat proses memasak, lalu dipungkasi berbuka puasa menu-menu andalan Tepikota. Menu Ramadan berbeda dengan menu di hari-hari biasa.

Dari katalog menu Ramadan yang dibagikan oleh Tepikota melalui percakapan WhatsApp, kami memesan sejumlah menu berikut: sup tomat daging sapi, sup ikan banyar, kintuk ayam dan pencok ayam (Banten), sayur usik (Rembang), sate udang (Manado), tahu goreng gurih pedas, barongko (Makassar), sumping waluh (Bali), pokak saripu hangat (Madura), teh lemon hangat, es kombucha, es timun, sambal bawang, dan dilengkapi nasi putih.

Sebagian menu tersebut, terutama makanan berat dan camilan, diambil khusus dari buku Mustika Rasa. Sebuah “kitab suci” yang mengumpulkan resep-resep masakan dari berbagai daerah di Indonesia. Edisi pertamanya diluncurkan pada 1967 oleh Kementerian Pertanian Republik Indonesia, atas ide dan instruksi Presiden Sukarno. Komunitas Bambu kemudian merilis cetakan kedua pada 2020 dengan penyusun dan pengantar oleh JJ Rizal, sejarawan Indonesia.

Di tengah harum dan kepulan asap yang menyeruak, sesekali Febri dan Rofida membuka buku yang diletakkan di bawah meja dekat kompor itu. Memastikan takaran bumbunya tepat. Karena sedang berpuasa, tentu mereka tidak bisa mencicipinya. Semuanya mengandalkan feeling

Kepala saya berkecamuk. Bertanya-tanya, bagaimana bisa dua orang ini melanjutkan hidup dan meyakini renjana masing-masing dalam jenama Tepikota, serta berpedoman pada sebuah buku setebal 1.200-an halaman itu? 

  • Buka Puasa Penuh Makna di Tepikota
  • Buka Puasa Penuh Makna di Tepikota
  • Buka Puasa Penuh Makna di Tepikota

Sekilas tentang Tepikota

Tampaknya, kemunculan idealisme dan implementasinya nyaris selalu berawal dari keprihatinan atau keresahan. Begitu pun yang dirasakan Febri dan Rosida. 

“Kalau teman-teman jalan jalan saja ke Pasar Sekaten, [coba] makanannya lihat. Pasti takoyaki, terus makanan-makanan Korea itu, semua stan makanannya sama,” ungkap Febri. “Itu sangat mengkhawatirkan bagi kami. Ketika lahir dia sudah terpapar makanan Korea. Itu kan bisa terputus tuh dia akar-akar palet rasanya [dari pangan lokal].”

Tepikota hadir untuk menjawab problem itu. Seolah lahir dari upaya menjaga tujuan hidup tetap lurus dan waras, sekalipun berliku. “Bekerja bersama hati…”, begitu kata Fourtwnty dalam lagu Zona Nyaman. Perjalanannya terbilang tidak instan, tetapi juga tidak terlalu lama untuk bertumbuh. Toh, faktanya hasil yang mereka dapat lebih dari cukup untuk menabung dan memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Febri dan Rofida berasal dari latar belakang pendidikan maupun profesi yang berbeda. Febri mengenyam studi sarjana ilmu pendidikan seni rupa di Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja, Bali. Sementara Rofida, lulus sebagai arsitek dari Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS).

Garis takdir Tuhan mempertemukan Febri dan Rofida di Rumah Intaran, sebuah studio arsitektur yang didirikan Gede Krisna di Desa Bengkala, Kubutambahan, Buleleng. Rofida merupakan pegawai tetap di sana selama tiga tahun, sementara posisi Febri lebih sebagai freelancer. Keduanya kerap terlibat dalam proyek-proyek buku yang diinisiasi Gede Krisna. Rofida ikut menulis, sementara Febri sebagai ilustrator. Beberapa karya yang pernah diterbitkan Rumah Intaran (non-komersial) antara lain: Pengalaman Rasa di Rumah Intaran (2015), Revolusi dari Dapur (2017), Sirap Bambu (2017), Pengalaman Rasa di Pulau Buton (2018), dan Pengalaman Rasa di Tubaba (2020).

  • Buka Puasa Penuh Makna di Tepikota
  • Buka Puasa Penuh Makna di Tepikota

Pandemi COVID-19 yang melanda Indonesia menjadi titik balik kehidupan penduduk negeri ini, termasuk Febri dan Rofida. Pada 2020 mereka menikah dan memutuskan untuk tinggal di Jogja, tanah kelahiran Rofida. Lahirlah Tepikota, lalu tak disangka-sangka berkembang dan mulai dikenal banyak orang. Bekas dapur keluarga di sebelah barat rumah orang tua Rofida pun disulap menjadi rumah joglo yang meneduhkan.

Sesuai namanya, tempatnya memang benar-benar di pinggiran kota. Dari titik nol Yogyakarta perlu 17,5 kilometer atau sekitar 40—45 menit perjalanan dengan mobil. Jika naik motor, mungkin bisa 5—10 menit lebih cepat. Letaknya di Dukuh Bejen, Kalurahan Caturharjo, Kapanewon (kecamatan) Sleman. Diapit persawahan hijau, diiringi kecipak aliran kali kecil di dekatnya.

Konsep inti Tepikota adalah tamu melakukan reservasi kuota dan menu sebelum datang, lalu keduanya memasak sesuai pesanan. Mereka membatasi hanya 10 orang per hari. Selain ruang dan meja yang terbatas, tujuannya tak lebih agar tercipta interaksi yang hangat tanpa sekat antara tuan rumah dengan pengunjung.

Sebagai orang yang memang suka ngobrol dan ketemu orang baru, tentu Febri dan Rofida tak canggung dengan konsep seperti ini. Bertukar cerita dan pikiran. Bahkan tak tertutup kemungkinan terjadi kerja sama atau kolaborasi karena yang datang berasal dari latar belakang bermacam-macam. Mulai dari turis, komunitas, hingga akademisi.

“Sampai detik ini pun kami belum tahu definisi Tepikota. Meskipun kami memberikan tagline ‘pangan, seni, dan literasi’ itu pun sebenarnya kami belum bisa menjelaskan secara singkat apa itu Tepikota,” jelas Febri.

“Tapi, setiap orang yang bertanya apa itu Tepikota, ya, silakan datang saja dan rasakan apa yang [bisa] kamu definisikan tentang Tepikota,” Febri berpromosi.

Memadukan cita dan karsa dengan Mustikarasa

Mulanya Tepikota mengulik dan menawarkan masakan khas Jawa Timur-an, terutama Situbondo—kampung halaman Febri—serta Madura, khususnya Sumenep. Masakannya antara lain berupa sayur sambal kacang dan olahan ikan laut santan pedas nan gurih. Sampai akhirnya di kemudian hari Febri dan Rofida terkagum-kagum melihat buku Mustika Rasa berbobot 1,5 kilogram itu.

Pada masanya, inisiatif Sukarno untuk mengabadikan resep masakan dari Aceh sampai Papua memang patut diacungi jempol. Banyak menu yang masih relevan dan bahan-bahannya relatif mudah didapatkan di masa sekarang. Belum lagi jika bicara soal akulturasi budaya yang berbaur dalam satu masakan, mulai dari pengaruh Belanda, Cina, dan Nusantara sendiri.

“Menurut saya [buku] ini harus diapresiasi dan harus dikenalkan ulang,” kata Febri. Bersama sang istri, keduanya pun mencoba mempraktikkan resep-resep tempo dulu agar generasi saat ini bisa mengerti rasa-rasanya. 

Bahkan tidak berhenti hanya dengan memasak, keduanya juga memvisualkannya. Febri berusaha “melestarikan” warisan resep itu dengan cara melukis masakan-masakan yang sudah tersaji di atas piring atau mangkuk. Goresan-goresannya begitu detail, seakan-akan nyata seperti dipotret kamera pada umumnya. Hasil karyanya dibantu sang istri dengan bercerita di akun Instagram resmi Tepikota. Sebagai bahan literasi sekaligus promosi.

Dari total sekitar 1.300 resep di Mustika Rasa, Febri dan Rofida baru memasak sekitar 100 di antaranya. Sejauh ini, pasar lokal dan area kebun pribadi menjadi sumber terbesar penyuplai bahan-bahan masakan Tepikota. Meskipun demikian, mereka tidak mau memaksakan diri jika memang mengalami kendala dalam mendapatkan bahan-bahan tersebut.

“Kalau misal bahan-bahannya itu susah, kami skip dulu. Karena memang bahan-bahan yang ada di sekitar kami pun, masih banyak yang belum tereksplorasi,” ujar Rofida.

Bagi Rofida, susah bukan berarti karena daerah penghasilnya yang terbatas. Di era masifnya lokapasar, ia pun bisa membeli bahan-bahan itu secara daring. Namun, itu tidak berarti ia bisa mengolah bahan-bahan tersebut sekenanya karena keterbatasan tutur atau informasi.

Rofida mencontohkan saat memetik jantung pisang mas di kebunnya sendiri. Ibunya berkomentar, “Itu tidak bisa dimasak.” Di saat inilah ia dan Febri menyadari bahwa tidak semua jenis pisang bisa diolah menjadi makanan. 

“Yang bisa dimasak itu hanya pisang kepok dan pisang batu,” jelas Rofida. “Dari situ saja kami sudah kayak [merasa] terputus pengetahuannya. Itu baru tipikal [bahan] mana yang bisa dimasak, belum lagi memasaknya.”

Sejumlah suka duka yang dialami kian menambah semangat Febri dan Rofida untuk terus belajar dan mengasah kemampuan diri. Sebagai pelecut itu semua, mengutip pernyataan Febri, betapa jiwa sangat penting untuk dihadirkan dalam masakan. Di Tepikota, kami melihat cita, karsa, dan bahkan selera bisa menyatu bak harmoni alam. Mustika Rasa menjadi jalan keduanya untuk “mendakwahkan” literasi lewat kekayaan pangan lokal dan berbalut seni.

  • Buka Puasa Penuh Makna di Tepikota
  • Buka Puasa Penuh Makna di Tepikota

Makan bersama sembari bercengkerama

Tim TelusuRI cukup beruntung datang pada hari pertama puasa. Tidak ada pengunjung selain kami. Rasanya seperti mendapat paket makan malam privat. Kami bisa berinteraksi lebih dekat dengan Febri dan Rofida; mendengar cerita, idealisme, dan gagasan-gagasan yang mereka sampaikan sedari kami dipersilakan duduk dan memulai sesi wawancara.

Beberapa menit sebelum azan Magrib berkumandang, satu per satu hidangan pesanan kami tersaji. Diawali dengan minuman dan kurma untuk membatalkan puasa, lalu disusul menu-menu berat dan camilan lainnya. Hanya ada sebuah meja kayu besar sekitar tiga meter persegi untuk makan dan pengunjung duduk lesehan melingkarinya.

Jenis makanan yang kami pesan, baik itu sayur maupun sup berkuah, cenderung bersantan. Namun, ajaibnya tidak seperti santan yang biasa. Racikan Febri dan Rofida justru membuat cita rasa santan yang kami santap lebih lembut, aman di tenggorokan dan lambung, dan tentu mengenyangkan. Ini adalah hasil terbaik berdasarkan feeling, insting, dan konsep “secukupnya” dalam bahan dan bumbu-bumbu yang dimasukkan.

Sesi buka puasa menjadi gong penutup malam yang cerah. Barangkali salah satu pengalaman berbuka terbaik sejauh ini. Kami tidak hanya kenyang secara fisik, tetapi juga batin yang sarat pengalaman, pelajaran, dan makna hidup dari perjalanan Tepikota; lewat tutur kata maupun visi sepasang suami istri yang bersahaja.


Tepikota
Informasi dan Reservasi: Febri/Rofida (082216335206)


Tim liputan TelusuRI:
Mauren Fitri (Editor in Chief)
Amai Hendrawan (Program Officer)
Rifqy Faiza Rahman (Content Strategist)
Deta Widyananda (Videografer)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Buka Puasa Penuh Makna di Tepikota appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/buka-puasa-penuh-makna-di-tepikota/feed/ 0 41434
Menghadiri Tradisi Sadranan ala Desa Sumbung di Boyolali https://telusuri.id/menghadiri-tradisi-sadranan-ala-desa-sumbung-di-boyolali/ https://telusuri.id/menghadiri-tradisi-sadranan-ala-desa-sumbung-di-boyolali/#respond Fri, 11 Aug 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39581 Perjalanan saya kali ini agak berbeda dari sebelumnya. Jika biasanya saya mengunjungi situs peninggalan kolonial atau rumah pengusaha abad ke-18, perjalanan yang saya lakukan sebelum Ramadan kala itu ingin menyelami lebih jauh budaya dan adat...

The post Menghadiri Tradisi Sadranan ala Desa Sumbung di Boyolali appeared first on TelusuRI.

]]>
Perjalanan saya kali ini agak berbeda dari sebelumnya. Jika biasanya saya mengunjungi situs peninggalan kolonial atau rumah pengusaha abad ke-18, perjalanan yang saya lakukan sebelum Ramadan kala itu ingin menyelami lebih jauh budaya dan adat warga lereng Gunung Merapi dan Merbabu di Boyolali. Meski Ramadan sudah berlalu, tetapi tidak dengan rasa kebahagiaan dan kekeluargaan yang terpancar ketika berada di Desa Sumbung, Kecamatan Cepogo.

Bagi kalian yang tinggal di lereng gunung atau pinggiran kota, tentu tidak asing dengan tradisi Sadranan atau Nyadran. Setiap tahun menjelang Ramadan, saya tidak melupakan Nyadran sebagai amanat yang harus kita pertahankan supaya tidak lupa asal dan leluhur yang sudah wafat.

Begitu juga dengan warga Sumbung. Mereka menggelar Sadranan sebagai bagian dari budaya dan adat yang mereka warisi secara turun temurun dari para leluhur setempat. Bagi sebagian masyarakat di luar sana, Nyadran identik dengan makan bersama dan ajang silaturahmi. Dan itu yang saya alami selama sehari mengikuti Nyadran.

Namun, jangan salah sangka. Warga mempersiapkan tradisi tersebut sejak satu bulan sebelumnya. Biaya yang mereka keluarkan pun terbilang tidak sedikit untuk menjamu tamu dan menggelar acara bersih desa. 

Sejarah dan Substansi Sadranan

Sadranan berlangsung setiap tahun hampir di setiap daerah di Jawa. Akan tetapi, tidak semuanya menggelar makan bersama, terkadang hanya bersih makam dan mendoakan leluhur. Adapun warga Desa Sumbung mengadakan acara makan-makan selepas bersih makam dan berdoa bersama.

Penyebaran pandemi Covid-19 sempat membuat upacara Sadranan di seluruh wilayah Boyolali vakum selama dua tahun. Hanya boleh melakukan ziarah dan bersih makam. Ari Wibowo dan keluarganya, rekan saya yang asli warga Desa Sumbung, turut merasakan masa-masa itu. Ketika pandemi berakhir dan pemerintah mengizinkan kembali penyelenggaraan kegiatan kebudayaan, Ari mengabarkan saya jika sadranan kembali digelar. Ia memberitahu dua hari sebelum acara.

Sadranan atau Nyadran, berasal dari kata sraddha yang artinya keyakinan atau kepercayaan. Tujuan tradisi ini adalah untuk mendoakan leluhur yang sudah wafat sebelum memasuki Ramadan, bulan puasa nan suci. Biasanya digelar pada bulan Syakban (Hijriah) atau Ruwah (penanggalan Jawa).

Seiring perkembangan zaman, Sadranan memuat acara kesenian dan kebudayaan. Wujud akulturasi budaya Jawa dan Islam. Hidup di desa berarti harus siap dengan segala konsekuensi dan tantangan yang harus dihadapi. Salah satunya kewajiban gotong royong atau dalam bahasa Jawa nyengkuyung semua budaya dan adat yang sudah ada secara turun-temurun di desa.

Sebagai pelengkap, di akhir upacara digelar kembul bujono atau makan bersama di lingkungan makam. Namun, tradisi Sadranan merupakan adat turun-temurun dan setiap daerah bisa jadi berbeda.

Menurut rekan saya, “Ini [Sadranan] tradisi turun-temurun. Tidak ada yang tahu pasti kapan pertama kali digelar. Orang tua pun tidak tahu. Intinya tiap tahun akhir bulan Ruwah, mau puasa, seluruh warga desa ke makam untuk besik (bersih) makam, doa, dan diakhiri kembul bujono (syukuran).” 

Menghadiri Tradisi Sadranan ala Desa Sumbung di Boyolali
Persiapan awal kirab, tampak wadah berisi makanan-makanan tradisional/Ibnu Rustamadji

Tamu yang Serasa Keluarga

Selama saya mengikuti proses dari awal hingga akhir, apa yang Ari sampaikan benar adanya. Sadranan mulai sekitar pukul 08.00 pagi, rutenya kirab dari desa menuju makam. Kirab terdiri dari perwakilan setiap rumah tangga dengan bekal masing-masing untuk kembul bujono bersama.

Makanan tradisional tersaji, isinya urap sayur, ayam ingkung, lauk pauk dan beberapa jajanan pasar tradisional. Sesampainya di makam, mereka melakukan besik makam dan doa bersama. Setelah didoakan pemuka agama, kembul bujono pun berlangsung dan warga saling menukar makanan yang dibawa.

Semua agenda inti selesai sekitar pukul 10.00. Warga kembali ke rumah masing-masing untuk persiapan kedatangan tamu. Para tamu tidak hanya tetangga, penduduk desa sebelah, atau teman sekolah anak-anak mereka. Saya pun diterima dengan penuh suka cita. Bagi warga, kedatangan para tamu merupakan berkah dari Yang Mahakuasa. 

Hal menarik selama saya berada di rumah rekan, sang ibu terkejut mendapati saya ikut mengabadikan momen perayaan ini. Ia tidak tahu keberadaan saya sebelumnya. Sang ibu menyampaikan ungkapan terima kasih dalam bahasa Jawa dengan nada terisak, “Oalah, Mas, Mas! Mbokdhe tidak tahu kalau kamu datang! Terima kasih sudah berkenan hadir, Mas. Kalau tahu mau datang, mendingan tidur sini. Ikut acaranya dari pagi. Silakan lanjutkan dulu. Kalau mulai lapar, langsung masuk rumah.”

Saat yang saya tunggu akhirnya tiba. Setelah dari pagi ikut di makam hingga siang, tiba waktunya makan bersama. Lagi-lagi, terjadi kejadian yang tidak saya duga. Sewajarnya tamu disuguhkan teh atau minuman ringan seperti soda. Akan tetapi, tidak bagi rekan saya. Ia membuatkan saya segelas kopi hitam khas Desa Sumbung. Padahal tidak ada yang minum kopi selain saya.

“Kopinya nanti saja. Minum teh dulu, ngemil, makan selesai, baru ngopi,” canda saya..

Sembari menghabiskan waktu obrolan kami, mata saya tertuju pada plastik hitam di atas meja. Isinya tape ketan berbungkus daun pisang. Pernahkah mencoba makan tape ketan dengan emping goreng? Rasanya enak. Cobalah sesekali. Selama mengikuti Nyadran di di sini, saya menghabiskan enam bungkus.

Menghadiri Tradisi Sadranan ala Desa Sumbung di Boyolali
Kembul bujono dalam rangkaian Sadranan/Ibnu Rustamadji

Pesan dari Sadranan

Ada hal menarik dan harus kita pahami ketika mengunjungi kehidupan warga desa. Selain menaati aturan dan adat yang berlaku. Pertama, jangan takut atau malu bertegur sapa dengan warga yang lebih tua. Kedua, anggap mereka saudara serta usahakan menerima semua kekurangan dan kelebihan yang mereka miliki.

Menurut penuturan sesepuh desa, Sadranan atau Nyadran memiliki nilai budaya yang cukup tinggi di masyarakat. Nyadran merupakan momen bagi mereka yang masih hidup dan memiliki tanggung jawab untuk mendoakan leluhurnya yang telah wafat sebagai bentuk penghormatan.

Menurut saya, maknanya lebih dari itu. Nyadran amat erat kaitannya dengan kehidupan warga desa, begitu juga dengan rangkaian upacara yang mereka lalui. Upacara bertujuan memperkokoh rasa kerukunan dan kekeluargaan antarwarga. 

Dalam pandangan saya, secara keseluruhan rangkaian upacara Nyadran memiliki maksud untuk tetap melestarikan budaya supaya tidak kehilangan jati diri. Dan terus mengingat asal usul dari leluhur yang telah wafat. Bagi mereka yang merantau, diharapkan kembali sesaat ke tanah kelahirannya untuk ziarah kepada leluhur.

Saya juga melihat mereka yang tengah merantau di Jakarta dan Surabaya menyempatkan diri hadir di Sadranan. Bagi mereka, Sadranan sama seperti Hari Raya Idulfitri. Semua keluarga berkumpul untuk ziarah dan makan bersama, lalu lanjut silaturahmi ke sanak saudara lainnya.

Bagi kalian yang baru pertama mengikuti upacara Sadranan, jangan terkejut apabila mendapat pesan seperti ini, “Mas, tahun depan ke sini lagi, ya? Kita tunggu pokoknya. Kalian sudah kita anggap keluarga juga di sini!”

Pesan itu saya dapat di tengah perbincangan dengan rekan saya dan sang ibu. Mereka pun juga sudah saya anggap sebagai keluarga. Sebelumnya sang ibu sempat menangis, lantaran saya tidak bisa memenuhi undangan Nyadran setahun lalu. 

Menghadiri Tradisi Sadranan ala Desa Sumbung di Boyolali
Suasana keakraban sesama warga saat Sadranan di Desa Sumbung/Ibnu Rustamadji

Pamit

Waktu hampir menjelang malam. Tidak nyaman kalau terlalu berlama-lama di sini. Sadranan di Desa Sumbung sebenarnya bisa berlangsung hingga tengah malam. Tergantung pemilik rumah. Apakah mereka tidak beristirahat? Tentu saja, iya. Namun, tidak lama karena tamu datang silih berganti.

Mempertimbangkan situasi saat itu, akhirnya saya putuskan untuk bergegas kembali ke kota Boyolali. Sepanjang perjalanan turun pun tak kalah heboh dengan di desa. Hampir seluruh warga tumpah ruah di jalan utama Boyolali—Magelang. Mereka hilir mudik untuk bertandang ke rumah rekan atau saudara.

Pihak yang mendapat kelimpahan rezeki tidak hanya warga desa. Kios-kios di sepanjang jalan ramai pembeli. Wujud nyata manfaat Sadranan, yang mulanya hanya di desa kini memberi dampak luar biasa untuk sektor ekonomi dan pariwisata.

Tentu tanpa bermaksud meninggalkan nilai budaya dan adat dari setiap desa yang menyelenggarakan Sadranan. Ziarah leluhur tetap menjadi prioritas, sedangkan kelimpahan rezeki merupakan nilai tambah dari tradisi tersebut. Begitulah pesan yang saya simpulkan dari perjalanan mengikuti Nyadran kali ini.

Selain keramahan dan kehangatannya, hal paling menarik dari warga desa di lereng gunung adalah rasa rendah hati dan senantiasa menyadari kekurangan yang mereka miliki. Terlebih ketika mereka tengah bekerja di ladang. Hanya rasa kagum dan hormat yang bisa saya sampaikan.

Apabila bertemu mereka di pinggir ladang, jangan sungkan untuk menyapa. Setidaknya berkata: permisi, Pak/Bu, numpang lewat; pasti akan dijawab dengan menawari kita untuk mampir ke rumah mereka. Padahal kita tidak saling kenal, tetapi mereka senang dengan hal-hal sederhana seperti ini.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menghadiri Tradisi Sadranan ala Desa Sumbung di Boyolali appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menghadiri-tradisi-sadranan-ala-desa-sumbung-di-boyolali/feed/ 0 39581