refleksi Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/refleksi/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Sun, 06 Aug 2023 14:17:44 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 refleksi Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/refleksi/ 32 32 135956295 Catatan Gempa Cianjur: Pengetahuan Ulayat sebagai Mitigasi Bencana (2) https://telusuri.id/catatan-gempa-cianjur-pengetahuan-ulayat-sebagai-mitigasi-bencana-2/ https://telusuri.id/catatan-gempa-cianjur-pengetahuan-ulayat-sebagai-mitigasi-bencana-2/#respond Fri, 04 Aug 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39551 Banyak pihak menilai bahwa Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman sumber daya alam dan budaya. Akan tetapi, sangat jarang kita menemukan masyarakat yang mengetahui dan memberdayakan pengetahuan ulayat yang telah diwariskan kepadanya. Seiring masuknya modernisasi...

The post Catatan Gempa Cianjur: Pengetahuan Ulayat sebagai Mitigasi Bencana (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Banyak pihak menilai bahwa Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman sumber daya alam dan budaya. Akan tetapi, sangat jarang kita menemukan masyarakat yang mengetahui dan memberdayakan pengetahuan ulayat yang telah diwariskan kepadanya.

Seiring masuknya modernisasi dan globalisasi, pengetahuan ulayat menjadi makin terpinggirkan. Bahkan banyak orang menganggapnya kuno dan tak lagi relevan. Alhasil, kita jadi kian bergantung pada macam-macam pengetahuan modern hasil produksi negara asing. 

Ketika keanekaragaman tersebut juga berdampak pada risiko kebencanaan, kita menjadi gamang melihat banyaknya korban jiwa akibat bencana, salah satunya gempa bumi. Pengetahuan modern, yang kita yakini kebenarannya, gagap menyikapi problem kebencanaan di sekitar kita. 

Padahal negara ini telah memiliki memori dan akar kebudayaan yang dekat dengan bencana alam. Hampir setiap generasi telah merasakan bencana alam. Sedari nenek moyang sampai ke cicit-cicit penerusnya. Namun, kenapa hari ini kita gagal menanggulanginya?

Catatan Gempa Cianjur: Pengetahuan Ulayat sebagai Mitigasi Bencana (2)
Tenda biru berfungsi sebagai posko pengungsian warga terdampak gempa Cianjur/Mohamad Ichsanudin Adnan

Kilas Balik Dampak Traumatis Gempa Cianjur

Momen traumatis gempa bumi Cianjur ini sudah terlewat begitu lama, tetapi rasa-rasanya baru terjadi kemarin. Beberapa warga telah melanjutkan aktivitas mereka dengan normal.

Pada Desember 2022 lalu, saya berkesempatan pergi ke Cianjur dengan kereta api kelas ekonomi dari Yogyakarta. Saya mengemban tugas menjadi jurnalis saat masa darurat berlangsung. Setibanya di lokasi, atas tawaran seorang kawan, saya langsung menuju sebuah rumah singgah yang berfungsi sebagai posko logistik. Kawan saya tersebut sedang menjalani masa bakti sebagai relawan. Ia sudah berada di TKP selama sepekan. Saya banyak mendapat panduan dan arahan darinya seputar lokasi terdampak bencana.

Salah satu lokasi yang kami kunjungi adalah Desa Cibulakan. Berbekal sepeda motor matic, kami menyusuri jalan menuju desa dengan tingkat kerusakan yang cukup parah tersebut.

Sepanjang jalan, sejauh mata memandang, setiap rumah di Cibulakan runtuh tak bersisa. Baik yang berbahan beton, teralis besi, hingga material permanen lainnya, telah rata dengan tanah. Tidak sedikit warga yang sibuk membongkar puing-puing itu. Berupaya mengais barang-barang yang sekiranya masih bisa mereka selamatkan. 

Di sisi lain, saya menjumpai pemandangan memilukan. Terdapat kerumunan anak turut mengevakuasi boneka kesayangannya yang ikut tertimbun ke dalam reruntuhan. Mereka sampai menyusuri bongkahan beton berukuran besar, hingga menyusup ke bawah teralis besi yang mungkin saja sewaktu-waktu ambruk menimpa mereka. Para warga pun panik dengan peristiwa tersebut. Sampai-sampai ayah dari anak itu menarik paksa agar tidak mendekati puing-puing. 

Saya yang melihatnya langsung merasa sedih sekaligus gagal. Gagal, karena saya tidak bisa berbuat apa pun untuk membantu meringankan beban dari sang anak.

Dari pengamatan tersebut, saya menilai bahwa risiko tertinggi dari dampak bencana alam justru terletak pada bangunan modern yang masyarakat gunakan. Meskipun upaya sosialisasi dan mitigasi telah gencar diberlakukan, tetapi kerusakan dan reruntuhan bongkahan beton dan teralis besi tampak tak bisa lagi terhindarkan. 

Catatan Gempa Cianjur: Pengetahuan Ulayat sebagai Mitigasi Bencana (2)
Sebuah rumah tradisional Sunda dengan atap “Julang Ngapak” dan ornamen “Capit Gunting” di Garut, Jawa Barat/Koleksi Tropenmuseum Belanda

Kembali pada Pengetahuan Ulayat

Pengetahuan ulayat sejatinya telah menyediakan peringatan bagi generasi selanjutnya agar bersahabat dengan alam. Bahkan bencana yang timbul sekalipun. Melalui pantangan dan tabu—yang kerap dipercaya sebagai metode usang—nyatanya telah memberi kesadaran bahwa segala elemen kehidupan, seperti tanah, air, pohon, dan hewan adalah saudara manusia.

Kesadaran tersebutlah yang memungkinkan masyarakat dapat mengantisipasi bencana alam, seperti tsunami, gunung meletus, bahkan gempa bumi sekalipun. Dalam kebudayaan Sunda sendiri, gempa bumi bukanlah suatu peristiwa yang baru. Memori dan pengetahuan ulayat telah menyediakan upaya mitigasi, sehingga generasi penerus dapat mengantisipasinya.

Salah satu manifestasi dari pengetahuan tersebut telah diterapkan pada seni arsitektur. Pada rumah dengan arsitektur khas Sunda, terdapat konsep umpak sebagai pondasi rumah. Umpak tersebut memiliki fungsi sebagai penyangga bangunan yang terbuat dari kayu. 

Selain pada pondasinya, terdapat pula sistem pengikat yang menggunakan pupurus (pen dan lubang) dan paseuk (pasak). Sistem ini digunakan dari rangka lantai, dinding, kuda-kuda, sampai balok yang dapat dipasang sambung. Adapun atapnya menggunakan bahan yang ada di sekitar tanah Sunda, seperti tali ijuk, sabut kelapa, dan daun rumbia. 

Secara keseluruhan material yang terpakai dalam arsitektur khas Sunda cenderung tipis dan sederhana. Meskipun demikian, banyak pihak yang menilai bahwa sistem arsitektur semacam itu telah teruji dan dapat terhindar dari risiko gempa bumi. Bahkan di lapangan saya sempat menjumpai masyarakat yang masih menggunakan sistem arsitektur tersebut. Saat ini kondisi rumahnya masih tetap dalam keadaan berdiri kokoh.

Akan tetapi, masyarakat hari ini lebih tertarik menggunakan sistem arsitektur yang modern, seperti penggunaan beton, teralis besi, paku, dan genting. Padahal dalam memori dan pengetahuan ulayat, penggunaan material tersebut bertentangan dengan aturan alam dan leluhur mereka.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Catatan Gempa Cianjur: Pengetahuan Ulayat sebagai Mitigasi Bencana (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/catatan-gempa-cianjur-pengetahuan-ulayat-sebagai-mitigasi-bencana-2/feed/ 0 39551
Catatan Gempa Cianjur: Puing-Puing Trauma (1) https://telusuri.id/catatan-gempa-cianjur-puing-puing-trauma-1/ https://telusuri.id/catatan-gempa-cianjur-puing-puing-trauma-1/#respond Wed, 02 Aug 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39540 Berbicara mengenai mitigasi bencana, kita kerap menghadapi data statistik guna mengetahui kerugian fisik dan material akibat bencana. Tak jarang data menjadi informasi penting yang perlu kita ketahui apabila hendak menjalani proses evakuasi dan mitigasi kebencanaan...

The post Catatan Gempa Cianjur: Puing-Puing Trauma (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Berbicara mengenai mitigasi bencana, kita kerap menghadapi data statistik guna mengetahui kerugian fisik dan material akibat bencana. Tak jarang data menjadi informasi penting yang perlu kita ketahui apabila hendak menjalani proses evakuasi dan mitigasi kebencanaan sekaligus.

Data dan persentase statistik di dalamnya menjadi komoditas yang sangat mudah kita jumpai di berbagai kanal digital. Terlebih banyak dari aksi volunter justru menekankan pada pekerjaan penimbunan data.

Akan tetapi, ada aspek yang luput dari proses penimbunan data. Hal tersebut tidak lain adalah trauma. Data dan persentase statistik terhadapnya tak pernah bisa mengungkapkan trauma, bahkan tak pernah adil membaca manusia. Seolah jumlah korban jiwa akibat bencana hanya pajangan angka yang tak lagi bernilai harganya.

Maka penting kiranya menghadirkan sebuah tulisan yang dapat memahami korban dari perspektif mental dan trauma yang dihasilkan. Perspektif tersebut tampaknya lepas dari aksi-aksi sukarelawan dan ekspos pers. 

Catatan Gempa Cianjur: Puing-Puing Trauma (1)
Kondisi posko pengungsian warga setelah gempa bumi Cianjur/Mohamad Ichsanudin Adnan

Gempa Bumi Cianjur dan Trauma

Momen traumatis dari gempa bumi Cianjur memang sudah terlewat sangat lama. Bahkan hari ini sebagian masyarakat sudah bisa menjalani aktivitas secara normal. Namun, saya berusaha menghadirkan tawaran refleksi yang saya peroleh, ketika mengemban tugas menjadi jurnalis selama masa darurat berlangsung di Cianjur.  

Berbekal kereta api kelas ekonomi, saya melaju dari Yogyakarta dan tiba di Cianjur pada 3 Desember 2022. Kebetulan waktu itu seorang kawan menawari saya ruang singgah yang sedang terpakai untuk posko logistik. Dia sedang menjalani masa bakti sebagai relawan dan sudah seminggu berada di lokasi. Sebelum melakukan liputan, saya mendapat banyak panduan dan arahan darinya.

Berbekal sepeda motor matic, kami menyusuri jalan menuju ke Desa Cibulakan. Desa itu merupakan lokasi dengan tingkat kerusakan yang cukup parah. Sejauh saya memandang, hampir setiap rumah di desa tersebut runtuh tak bersisa. Rumah berbahan beton, teralis besi, hingga material permanen lainnya ternyata telah rata dengan tanah. Saya melihat beberapa warga yang sibuk membongkar puing-puing tersisa. Berupaya mengais barang-barang yang sekiranya masih bisa mereka selamatkan. 

Selama menyusuri Cibulakan, saya mendapati banyak warga, utamanya penduduk rentan, tampak pasrah di depan halaman. Mereka tak melakukan apa pun. Hanya menatap kosong bekas huniannya yang sudah tidak bisa lagi mereka tempati.

Saya juga menjumpai pemandangan miris. Terlihat kerumunan anak mengevakuasi boneka kesayangan yang ikut tertimbun di antara puing-puing. Mereka sampai menyusuri bongkahan beton besar, sampai menyusup ke bawah teralis besi yang sewaktu-waktu bisa ambruk menimpa mereka. Para warga pun panik. Sampai-sampai ayah dari anak tersebut menariknya paksa agar tidak mendekati reruntuhan. Saya yang melihatnya langsung merasa sedih sekaligus gagal, karena saya tidak bisa berbuat apa pun untuk membantu meringankan beban sang anak.

Di luar itu kami menyempatkan diri mengobrol bersama seorang ibu. Ia sedang menyiapkan makanan di dalam sebuah tenda biru. Di belakang ibu tersebut, terdapat seorang anak yang masih terlihat ketakutan melihat tenda yang menaunginya itu. Namanya Ani, anaknya sendiri. “Di sini gempa susulannya masih ada, Kang. Gempanya memang tidak sebesar dulu, hanya saja Ani masih ketakutan (trauma) kalau poskonya bergetar sedikit. Bahkan banyak yang panik sampai teriak-teriak histeris,” sahut sang ibu.

Tidak seperti anak-anak lainnya yang masih berkeliaran di luar rumah, Ani masih takut jika harus jauh dari sang ibu. Terlebih ia mengaku sedih, karena lapangan yang kerap ia pakai bermain, kini telah beralih fungsi menjadi posko pengungsian.

Perbincangan dengan Pak Djunaedi

Malamnya kami menyempatkan diri berbincang dengan Pak Djunaedi. Beliau merupakan ketua RT di Desa Limbangsari. Dari sorot matanya yang lesu, saya melihat beban fisik dan mental yang ia tanggung kala itu. 

Sepanjang hari ini Pak Djunaedi sibuk mendistribusikan bantuan ke setiap kepala rumah tangga. Bantuan tersebut ia salurkan dari para sukarelawan yang menyambanginya saat pagi. Ketika kami berbincang santai sembari menikmati beberapa sajian kopi dan rokok, seketika Pak Djunaedi menasihati saya, “Hanya Allah yang tahu, mau diapain. Terkecuali, paribasana mah eweh-eweh teing ker ngalengkah cek paribasana mah, moal ditenden naon-naon.”

Meskipun saya kurang tahu artinya, tetapi secara tersirat saya mendapatkan gambaran mental dan upaya Pak Djunaedi untuk bertahan. Upaya tersebut seolah memberi informasi kepada saya, bahwa kita sebagai manusia tak akan pernah bisa melampaui kehendak Tuhan. Utamanya alam itu sendiri.

Kondisi mental dan trauma yang Pak Djunaedi beserta warga dan anak-anak lainnya alami, sepertinya tak pernah bisa diartikulasikan oleh data. Data selalu berbicara mengenai angka korban jiwa dan kerugian material yang ditimbulkan. Namun, data gagap membaca efek trauma para korban.

Melihat fenomenena itu saya memandang bahwa bantuan material dan pemulihan fisik lainnya memang diperlukan. Akan tetapi, aspek memori dan traumatis juga tak kalah pentingnya untuk diperhatikan, karena perlahan akan membentuk simpul trauma yang mereka gunakan dalam menyikapi fenomena kebencanaan berikutnya. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Catatan Gempa Cianjur: Puing-Puing Trauma (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/catatan-gempa-cianjur-puing-puing-trauma-1/feed/ 0 39540
Perjalanan Menuju Kesembuhan https://telusuri.id/perjalanan-menuju-kesembuhan/ https://telusuri.id/perjalanan-menuju-kesembuhan/#respond Thu, 14 Jan 2021 04:50:10 +0000 https://telusuri.id/?p=26330 Peluh menetes, menyeruak keluar dari setiap pori tubuh. Langkah berderap, membuat bising lorong-lorong penuh tubuh terduduk. Semua mata menelisik, memandang arah tertuju. Demikian juga denganku, khusyuk memandang segerombolan orang pembawa pasien dengan kekuatan laju. Entah...

The post Perjalanan Menuju Kesembuhan appeared first on TelusuRI.

]]>
Peluh menetes, menyeruak keluar dari setiap pori tubuh. Langkah berderap, membuat bising lorong-lorong penuh tubuh terduduk. Semua mata menelisik, memandang arah tertuju. Demikian juga denganku, khusyuk memandang segerombolan orang pembawa pasien dengan kekuatan laju. Entah untuk penyelamatan atau sekadar pemeriksaan, aku pun tak tahu. Yang jelas sorot mata mereka menunjukkan sebuah pilu.

Di sini aku, duduk termangu menanti panggilan dari mereka berbaju biru. Mereka tampak sibuk, meladeni kami para pejuang sembuh. Aku memandang sekitar, mengamati setiap pergerakan. Aku tau ini tak berguna, tapi entahlah aku suka melakukannya.

Kursi-kursi berjarak sudah terisi penuh, lansia serta anak duduk bukan bersimpuh. Mungkin beberapa terlihat tidak lumpuh, alih-alih hanya takut jika kambuh. Di belakang kami anggota keluarga ikut menunggu. Dengan mendekap tangan atau akhirnya bertengger pada saku. Hanya sorot mata mereka yang dapat berseru, karena mulut dan hidung kami tertutup kain pelindung. Berusaha untuk menembus jutaan partikel yang bisa saja menjadi virus.

“Antrian A nomor 214, silahkan ke loket tiga,”  begitu bunyi yang menggema di ruang kami. Aku melirik kartu yang kupegang sedari tadi. Ternyata aku sudah dapat berdiri, menuju ke loket yang baru saja berbunyi. 

“Ini nanti ibunya harus periksa ke dokter bedah dulu ya, dokternya ada di poliklinik 3. Setelah itu, nanti dapat instruksi lanjut dari dokter yang ada disana,” ujar wanita muda dengan piawainya.

Aku mengingat semua informasi dan kuletakkan dalam memori. Sebelum akhirnya mengangguk dan mengucapkan terimakasih. Aku berjalan mundur dan segera mendorong kursi roda dari wanita yang kupanggil ibu. Ku katakan padanya bahwa hari ini perjalanan kita akan cukup rumit.

Seperti instruksi, kami sudah sampai di sebuah ruangan bertuliskan poliklinik 3 pada bagian depan. Kami disambut oleh suster cantik dengan perut yang menggembung berisi janin. Ia menggiring kami menemui dokter yang nampaknya sudah sangat berpengalaman.

Foto: Unsplash/NeONBRAND

“Ini harus dioperasi bu, mulai besok mondok di rumah sakit. Agar nanti tubuhnya bisa diawasi sebelum hari operasi tiba,” katanya. Aku sedikit melirik ibu, ia nampak mengangguk dan tersenyum. Walau aku tau nyatanya ia pasti merasa terpukul.

Setelah mendapat surat rujukan, kami kembali ke rumah. Menyiapkan segala kebutuhan bahkan mental. Khususnya bagi mental ibu.

Hari berikutnya, kami mendapat konfirmasi untuk datang setelah adzan dhuhur berbunyi. Dengan terik yang menusuk diri, kami sudah siap secara lahir dan batin. Lagi-lagi bukan aku, melainkan ibu yang sudah pasrah terhadap Sang Ilahi.

Setelah melakukan perjalanan menggunakan kereta beroda empat, kami tiba di pelataran. Aku segera meminta tolong satpam untuk meminjami kami sebuah kursi roda. Dengan sedikit tertatih kami mulai untuk berpetualang.

Ruangan yang kami tuju pertama kali adalah ruang konfirmasi. Disana, aku seperti seorang artis. Memberikan tanda tanganku dengan percuma di beberapa lembar kertas izin rumah sakit.

Dari mulai mengizinkan untuk rujukan, mengizinkan untuk operasi, hingga mengizinkan untuk segala biaya yang akan ditanggung. Semuanya sudah sah dengan tanda tangan serta nama terangku yang nemplok di atas sana. Aku menghela nafas, sudah pasrah.

Selesai, ku mulai mendorong kursi roda itu kembali. Menuju sebuah ruangan yang menjadi ruang scanner bagi para pasien calon penghuni kompleks rumah sakit. Disana kami ditodong banyak pertanyaan, lebih tepatnya untuk ibuku, pertanyaan itu beragam, dari mulai kapan sakit ini menyerang, keluhannya apa saja, alergi obat atau tidak, hingga pernahkah kami kontak langsung dengan pasien virus yang sedang viral. Semacam angket dari mereka.

Setelah puas, mereka menganjurkan kami untuk pergi pemeriksaan paru serta darah. Tujuannya untuk mengidentifikasi apakah ibu cukup aman untuk bisa mondok hari ini juga atau tidak. Katanya, jika ibu tidak aman alias terkena paparan virus, dengan berat hati kami harus isolasi diri di rumah.

Jantung ini terus berdetak kencang selama perjalanan. Mulutku tak henti mengucap baitan-baitan doa, berharap agar hasil periksa ibu nantinya akan berbuah negatif. Agar ibu segera dirawat dan tak perlu merasakan sakit lagi.

Ruang pemeriksaan paru dan darah sudah kami lewati, kini jarum-jarum pada jam tanganku sudah menunjukkan pukul 4 sore. Terhitung, sudah hampir 4 jam kami mondar-mandir dengan segala keperluan. Untuk sekali lagi, kami harus menunggu hasil keputusan yang pasti.

Foto: Unsplash/Daan Stevens

Pukul 17.00 seorang dokter mengabarkan bahwa ibu sudah bisa masuk ke ruangan dengan hasil pemeriksaan yang negatif. Senyum mengembang di sudut-sudut bibir kami, rasa syukur terus terucap walau hanya di dalam batin.

Walau sudah mendapat ruangan, kami tidak boleh asal masuk seperti majikan. Kami harus rela untuk menunggu seseorang untuk menjemput dan mengantarkan ke ruangan. Dengan APD lengkap, seorang lelaki bertubuh tambun menyapa kami dengan hangat.

Beliau mengantarkan kami pada ruangan lantai dua, ruangan ini terbagi atas 3 sekat. Tentu saja satu sekat untuk satu pasien, dan kami memilih sekat ujung dekat dengan jendela. Lagi-lagi, sebelum memasuki ruangan dengan sah aku harus menandatangani sejumlah dokumen resmi dari mereka. Ah sungguh melelahkan.

Kurang lebih seminggu kami berada di ruangan ini. Menurutku itu waktu yang sangat lama, karena kegiatanku sangat terbatas. Hanya berkisar makan, menjaga, dan bolak-balik ke rumah, bahkan terkadang aku harus rela begadang karena tidur yang tidak bisa nyenyak.

Hari ini adalah hari ibu operasi. Ia harus berpuasa selama 6 jam terlebih dahulu. Ada satu kegiatan yang aku senangi selama disini, yakni memandang orang-orang dari ketinggian. Menyandarkan kepala pada dahan jendela, serta menikmati angin lembut yang menyapa.

Di bawah sana, orang-orang beragam jenis terus berlalu-lalang. Membawa banyak kebutuhan atau bahkan hanya sebuah niat. Baik pasien, kerabat, maupun dokter silih berganti melewati lorong seberang yang bisa kupandang.

Tak jarang aku melihat beberapa dokter melajukan ranjang pasien dengan tergesa. Menuju ke sebuah ruangan yang aku tak tahu itu apa. Terkadang mereka panik namun tak jarang juga mereka bersikap biasa saja.

Aku menengok ke arah kamar mandi yang berada di depan sekat. Disana ada seorang wanita tua yang menjadi pasien di ranjang ujung dekat pintu. Dia nampak terbatuk dan berusaha untuk berjalan walau sebenarnya dia bisa memakai pispot, jika ingin.

Kini giliran ibu yang menjadi sorotanku, kulit putih pucat dengan beberapa kerutan di sana sedang tertidur sangat pulas. Aku menggenggam tangannya, kulihat selang infus masih terpasang. Jari jemari itu ku perhatikan satu-persatu, mengingat bagaimana ibu harus menahan sakit setiap suntikan menyentuh kulitnya.

Kami menunggu cukup lama, akhirnya kami dijemput oleh beberapa perawat. Dibawa-lah kami keluar ruangan yang ternyata akan menuju pada gedung di seberang sana. Setelah sampai di gedung operasi, aku tidak diperbolehkan masuk dan harus menunggu di luar. Mau tak mau aku harus mematuhinya.

Glodak glodak glodak..

Suara ranjang pasien lewat di hadapanku, menampakkan seorang lelaki paruh baya terbaring di atas sana dan didorong oleh banyak perawat. Ia berambut putih, dengan banyak kerutan yang mulai muncul, bisa kuperkirakan usianya sekitar 50 tahun ke atas. Sama sepertiku, keluarga dari lelaki itu tidak diperbolehkan masuk.

Setelah 1 jam berlalu, ibu keluar dari ruangan dengan masih memakai baju operasi lengkap. Kami akan kembali ke ruangan dengan ditemani dua orang perawat yang bertugas mendorong ranjang ibu. Sebelum memasuki lift, aku mendengar isak tangis pecah dari keluarga lelaki pasien tadi, kulirik mereka dan kudapati salah seorang bahkan pingsan terbaring di lantai.

Dua hari setelahnya kami diperbolehkan untuk pulang.

Dengan mendorong kursi roda, aku memandang situasi yang sama dari lingkungan sekitar. Kami bergegas menuju pintu keluar dan menunggu mobil jemputan. Setelah sampai, dengan hati-hati kubaringkan tubuh ibu untuk masuk ke mobil.

Aku menatap lama gedung rumah sakit ini, gedung yang menyimpan banyak peristiwa, bahkan sejarah tentang kepulangan mereka. Ya, hari ini aku bersyukur karena perjuangan ibu untuk kembali ke rumah telah dipenuhi. Karena aku tahu, permintaan kembali bisa jadi tidak sesuai keinginan.

Ada yang kembali ke ruangan dan menunggu operasi kedua, ada yang kembali sakit karena penyakitnya mendadak kambuh, bahkan ada yang kembali ke pangkuan Sang Pemilik Alam Semesta. Itu semua bisa terjadi bukan?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Perjalanan Menuju Kesembuhan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/perjalanan-menuju-kesembuhan/feed/ 0 26330
Refleksi Hidup Untuk 2021 yang Lebih Baik Lagi https://telusuri.id/refleksi-hidup-untuk-2021-yang-lebih-baik-lagi/ https://telusuri.id/refleksi-hidup-untuk-2021-yang-lebih-baik-lagi/#respond Thu, 07 Jan 2021 03:32:01 +0000 https://telusuri.id/?p=26252 Hai, gimana harinya? Bagaimana awal Januari dan tahun barunya? Apakah sudah lebih baik dari hari-hari sebelumnya? Tahun 2020 memang bukanlah tahun yang mudah untuk dihadapi. Ada banyak rintangan yang datang silih berganti. Rasanya baru bahagia...

The post Refleksi Hidup Untuk 2021 yang Lebih Baik Lagi appeared first on TelusuRI.

]]>
Hai, gimana harinya? Bagaimana awal Januari dan tahun barunya? Apakah sudah lebih baik dari hari-hari sebelumnya?

Tahun 2020 memang bukanlah tahun yang mudah untuk dihadapi. Ada banyak rintangan yang datang silih berganti. Rasanya baru bahagia dan senang sebentar, eh kesedihan sudah datang lagi. Tapi bukankah dua fase besar dalam hidup adalah bahagia dan sedih, ya? Jadi meskipun sulit, meskipun sakit, mau tidak mau suka dan tidak suka harus diiyakan dan diterima hadirnya.

Banyak lika-liku hidup yang mengajarkan kita menuju proses pendewasaan. Apapun itu pasti alasannya adalah tidak lain dan tidak bukan untuk membuat kita semakin dewasa. Untuk setiap yang datang, pergi, dan bertahan. Dan untuk setiap perjalanan pulang ataupun pergi. Berikut adalah refleksi hidup untuk 2021 yang lebih baik lagi.

helobagas

1. Bangun di Pagi Hari

Bangun di pagi hari untuk masa-masa pandemi yang bersama kita lewati memanglah hal yang lumayan sulit. Kebiasaan tidur malam untuk menghabiskan drama korea atau film kesukaan kita memang membuat jam tidur jadi lumayan terganggu. Belum lagi tentang bagaimana pikiran kita yang di kala malam jadi semakin riuh. Namun percayalah, dengan bangun di pagi hari ada banyak sekali hal-hal yang bisa kamu lakukan dengan lebih baik lagi. Menyusun hari ini akan melakukan apa saja dan bisa menyempatkan untuk jalan-jalan pagi keliling sekitar tempat tinggal.

2. Memaafkan Orang Lain

Memaafkan bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan, apalagi harus memaafkan kesalahan yang rasanya masih sulit untuk dihilangkan rasa sakitnya. Tapi, mau sampai kapan dirimu sendiri dihantui oleh perasaan berat dan bersikeras untuk menyimpan dendam? Mau sampai kapan kamu menutup diri dengan segala rasa benci terhadap seseorang? Karena dengan memaafkan, semua yang terikat dan bikin sesak jadi terasa lebih lega.

3. Mengurangi Ekspektasi

Mungkin banyak dari kita yang sudah mengetahui bahwa berekspektasi sama saja bersiap untuk harus menerima rasa kecewa yang akan datang di kemudian hari. Berharap yang terbaik tidak selamanya salah. Namun ada baiknya untuk tidak terlalu menaruh harapan, apalagi kepada orang lain. Selalu ingat bahwa, membahagiakan dirimu sendiri adalah kewajiban dirimu, bukan orang lain. 

4. Perbanyak Eksekusi

Hei, sudah berapa kali mimpi yang kemudian jadi sekadar mimpi begitu saja, hanya karena kamu tidak segera memulai Langkah pertama? Tahun 2020 memang sulit, namun akan selalu terbuka jalan dan pintu yang lebar untuk orang-orang yang berani mencoba. Jadi jangan lagi takut dengan omongan orang lain yang justru tidak sepenuhnya tahu tentang diri kita. Udah jalan aja dulu. Nanti mereka juga tahu dengan sendirinya kalau kamu sudah berhasil.

5. Jangan Malu untuk Belajar dan Bertanya

Jangan pernah takut merasa bodoh apabila banyak bertanya. Justru karena adanya ketidaktahuan maka pertanyaan itu ada sebagai cara untuk dapat jawaban. Jangan malu juga untuk belajar banyak hal. Percayalah, dunia yang bergerak sedemikian cepatnya juga butuh kamu yang ingin berkembang dan terus belajar. Jadikan tahun 2021 ini sebagai tahunmu untuk bisa lebih memahami apa yang kamu ingin, dan terus mengejar apa yang ingin kamu tuju.

6. Beri Sejenak Waktu untuk Ngobrol dengan Diri Sendiri

Terkadang yang membuat diri merasa capek dan mudah lelah akan semua hal adalah, karena kita seringnya terlalu banyak memaksakan sesuatu. Bekerja terlalu keras sampai lupa dan memperhatikan diri sendiri. Biasanya yang membuat jenuh adalah terus melakukan sesuatu hal yang tidak hati dan diri sendiri inginkan. Bukan bermaksud cengeng, namun…  bekerja dengan hati akan terasa lebih indah dan nyaman. Beri waktu untuk ngobrol tentang apa yang harus terus diperjuangkan dan apa yang harus dilepas agar tidak terus menerus menjadi beban. Jadi, coba untuk ngobrol sama diri sendiri ya.

7. Lebih Banyak Lihat Alam daripada Lihat Kehidupan Orang Lain

Kalau lihat kehidupan orang lain mungkin rasanya hidup kita akan selalu merasa kurang. Bagai rumput tetangga yang jauh lebih hijau, mungkin kita tidak pernah tahu pasti bagaimana keadaan aslinya. Terus melihat ke atas apabila jadi motivasi dan inspirasi sangat baik, namun bagaimana kalau jadi timbul rasa iri? Membandingkan dengan yang orang lain punya tapi diri sendiri tidak? Padahal jika berbincang tentang kepemilikan, kita juga punya kok. Mungkin saja dalam bentuk yang berbeda. Untuk mengurangi rasa iri itu, bisa dengan jalan-jalan lihat alam, atau dimasa-masa seperti ini bisa dengan jalan-jalan sore keliling komplek. Lihat pepohonan, rumput dan daun yang jatuh, matahari yang sinarnya berubah menjadi jingga, dan banyak lagi.

8. Jangan Insecure Lagi Ya!

Percaya deh kamu itu keren dan unik. Jangan biarkan perkataan mereka, standar mereka, justru jadi mengekang apa yang kamu inginkan. Terus berjalan dan terus bersinar dengan caramu sendiri. Karena kalau kita tahu apa yang kita lakukan, tujuan, serta mimpi yang akan diraih. Itu akan menambah value kita sebagai manusia. Jadi gak semuanya selalu tentang fisik ya.

9. Terus Jadi Orang Baik

Jadi orang baik memang capek, sulit, dan kadang dikecewakan. Tapi percayalah bahwa tidak ada yang sia-sia dari berbuat baik itu sendiri. Karena dengan berbuat baik, akan mempertemukan kita dengan niat, kesempatan, dan orang-orang baik juga. Dunia butuh banget orang kayak kamu, jadi jangan sampai ada alasan sedikit pun untuk jadi jahat ya!

The post Refleksi Hidup Untuk 2021 yang Lebih Baik Lagi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/refleksi-hidup-untuk-2021-yang-lebih-baik-lagi/feed/ 0 26252