renungan Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/renungan/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 13 Dec 2022 03:19:04 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 renungan Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/renungan/ 32 32 135956295 Refleksi dari Sebuah Pendakian https://telusuri.id/refleksi-dari-sebuah-pendakian/ https://telusuri.id/refleksi-dari-sebuah-pendakian/#respond Mon, 19 Dec 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36676 Sekiranya begini dalam penggalan yang ditulis oleh Gie, “Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat.” Disambung inti...

The post Refleksi dari Sebuah Pendakian appeared first on TelusuRI.

]]>
Sekiranya begini dalam penggalan yang ditulis oleh Gie, “Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat.” Disambung inti pesannya, bahwa “Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”

Naik gunung menjadi pengunci kalimat terakhir Gie. Beda pendakian Gie pada masa itu, beda lagi fenomena dunia pendakian akhir-akhir ini. Dalam patokan terbatas boleh dikatakan sejak ditayangkannya film 5 cm pada Desember 2012 hingga Januari 2013 silam, membuat jagat dunia pendakian “heboh”. Pendaki berbondong-bondong mulai mendatangi kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS). 

Sekiranya inilah gambaran fenomena yang berbanding terbalik. Ketika orang berbondong-bondong menjadi “keren” dengan mendaki gunung. Mulai dari amatiran, ikut-ikutan, dan pemula-pemula nekat minim persiapan. Semua membaur. Gunung yang seharusnya memberikan ketenangan, keheningan, dan kesyahduannya alam, malah berubah menjadi ruang terbuka yang bising. 

Padahal dengan ramainya gelombang manusia yang menjajaki gunung dapat berefek buruk jika dengan intensitasnya tinggi. Maka, perlu kebijakan pengelola yang memberi jeda gunung hingga tiga bulan sebagai bentuk pemulihan. Sebab jika diabaikan begitu saja lantaran sekadar pencarian keuntungan, ditakutkan membuat gunung kehilangan orisinalitasnya sebagai bagian dari alam raya.

Alam raya, jika ditilik kembali, berisikan berbagai komponen atau unsur-unsur seperti tetumbuhan dan hewan. Begitu pun tanahnya yang mengandung unsur hara bagi kesuburan dan keberlangsungan setiap makhluk hidup. Juga manusia, makhluk ciptaan yang diberikan fisik utuh dan akal sehat sekaligus pionir yang mampu mengelola lingkungan itu sendiri.

Berdasarkan pengalaman, suatu waktu saya pernah ditanya tentang lelucon reflektif dari seorang Bapak SAR (Search and Rescue), “Coba bayangkan jika satu gunung yang didaki oleh 1000 pendaki dalam rentang waktu satu pekan, dan itu terus-menerus dilakukan tanpa henti, kemudian setiap 1000 pendaki itu membuang air kecil. Lantas apa yang terjadi dengan tanah-tanah di gunung itu?”

Sabana merbabu
Sabana Merbabu berlatar belakang Merapi/Raja Syeh Anugrah

Saya diam sejenak. Sebab saya berpikir bahwa hal kecil tersebut tentu akan menjadi hal besar jika diabaikan. Dan ternyata dalam penjelasan dari pertanyaan itu oleh si penanya, ia mengonsepkan bahwa setiap manusia tidak menentu apa yang ia konsumsi, lalu ketika ia mengeluarkan kotoran, ada zat-zat kimia yang berbahaya turut terbawa kemudian mencemari tanah-tanah. Kalau sudah tercemar, maka unsur hara di gunung akan terganggu dan mengganggu ekosistem di sana.

Dari hal kecil tersebut saya mengiyakan konsepsi itu sekaligus merenungi setiap perjalanan pendakian selanjutnya. Kemudian berpikir ulang, kalau saja etika lingkungan yaitu hubungan manusia dengan alam belum tercipta dan belum menemukan esensinya, bagaimana dengan hubungan manusia dengan manusia ketika di gunung?

Merefleksikan Pendakian

Konsepsi Gie tentang gunung begitu sederhana. Sesederhana ketika ia menghasilkan buah pikir dan kekagumannya pada Lembah Mandalawangi yang terus-terusan ia sambangi ketika lelah dengan hiruk-pikuk perkotaan. Lembah yang memberi ketenangan dan jauh dari kebisingan. Lembah sejuk yang menawarkan refleksi dan introspeksi.

Dalam puisi Sebuah Tanya, Gie menuliskan, “Kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih, lembah Mandalawangi/kau dan aku tegak berdiri, melihat hutan-hutan yang menjadi suram/meresapi belaian angin yang menjadi dingin.” Betapa bernyawanya untaian kata-kata Gie dalam puisi itu, yang betul-betul merefleksikan keberadaan gunung bagi manusia.

Pada suatu perjalanan pendakian, agaknya saya sukar sekali menemukan keheningan seperti keheningan Gie dapatkan saat ia berlama-lama meresapi ketenangan di lembah Mandalawangi. Walau persepsi ini tidak memukul rata secara keseluruhan, dan perlu diakui masih banyak pula gunung-gunung yang benar-benar hening, tenang dan damai.

Namun begitu, masihkah ada garis-garis hubungan manusia dengan alam dan manusia dengan manusia serta keramah-tamahan lainnya di gunung saat ini? Jika saja manusia-manusia sudah menyusupi alaminya alam dengan pernak-pernik teknologi yang memecah keheningan alam itu sendiri. Seperti memutar musik tanpa tahu batasan, bersuara keras tanpa tahu telah mengganggu, dan basa-basi yang sulit diterjemahkan apakah itu sebuah ketulusan atas satu kesamaan sebagai pendaki?.

Makin ke sini sepertinya pendakian tengah mengalami pergeseran makna. Sebuah degradasi moral yang menghilangkan jati diri pendaki-pendaki “sejati”. Sehingga keramah-tamahan yang dirindukan itu menjadi sebuah tanda tanya besar. Tidak lagi seperti sebuah cuplikan di dalam film 5 cm yang menyorot senyuman-senyuman pada setiap apapun, pada waktu kapan pun.

Lagi-lagi ketulusan itulah yang dirindukan, bukan saja terhadap sesama manusia tapi juga terhadap alam lingkungan yaitu gunung. Sejak maraknya dunia pendakian, gunung telah ramai oleh orang-orang yang katanya mencari ketenangan, menikmati alam, dan merefleksikan diri. Disamping itu tak tertahankan pula mengenai bekas-bekas sampah yang telah dibawanya sedari bawah kemudian ditinggalkan begitu saja tanpa merasa bersalah.

Apakah masih bisa disebut tindakan itu sebuah ketulusan hati, yang mencintai alam sejak mengaku diri sebagai pendaki. Dan inilah sebuah refleksi. Hasil olah renungan dan pertanyaan terhadap diri. Tentang keramah-tamahan dalam bentuk apakah itu?

Lestari Sejak dari Hati

Lestari seharusnya tidak sebatas menjadi slogan semata. Yang didengungkan berulang kali, tanpa henti, dan pada setiap kesempatan yang ada. Lestari juga bukan sebentuk kata yang diucapkan oleh lisan, tapi juga dalam bentuk tindakan. Atau jika boleh berargumentasi, kalau bisa, lestari itu sejak hati.

Perihal hati, bahkan hingga kini saya masih menelaah lebih dalam lagi, hati seperti apa yang sebenarnya saya miliki untuk bisa mewujudkannya ke dalam perlakuan sehari-hari. Perlakuan ketika melangsungkan kegiatan alam bebas seperti mendaki. Hati yang memang dibentuk untuk merespon secara otomatis tentang makna lestari. 

Bagi saya dalam melangsungkan pendakian, perlakuan ketika di lapangan tidak seharusnya menjadi basa-basi, tapi juga setulus hati. Mencitrakan toleransi atas keberagaman dan cara pandang setiap pendaki. Meski saya masih dalam lingkup yang terus berusaha, mencoba menerapkan ketulusan hati. Agaknya tulisan ini saya ketagorikan sebentuk autokritik saya kepada diri sendiri.

Seperti Gie, mencintai Mandalawangi yang diutarakan lewat puisinya, “Walaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna/aku bicara padamu tentang manfaat dan keindahan/dan aku terima kau dalam keberadaanmu/seperti kau terima daku/.”

Tak ada yang lebih paham, mana yang benar-benar sebuah ketulusan selain kita. Pelaku yang merasakan secara langsung euforia dunia pendakian. Setiap jengkal dari pos ke pos, shelter ke shelter, sabana ke sabana, lembah ke lembah yang diduduki untuk istirahat sejenak. Lalu diri tertegun ketika melihat sampah, dan sampah mulai mengaburkan makna; sudahkah menjadi lestari sejak dari hati?

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Refleksi dari Sebuah Pendakian appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/refleksi-dari-sebuah-pendakian/feed/ 0 36676
Lantunan Kesunyian dari Balik Penjara https://telusuri.id/lantunan-kesunyian-dari-balik-penjara/ https://telusuri.id/lantunan-kesunyian-dari-balik-penjara/#respond Thu, 08 Dec 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36522 “Wahai Tuhan Yang Maha Melapangkan duka cita, Wahai Tuhan Yang Menghilangkan kesedihan,  Wahai Tuhan yang terhadap hamba-Nya Maha Mengampuni dan Menyayangi.” Penggalan dari kumpulan doa Ratib Al-Haddad berkumandang dengan merdunya, 25  orang di kamar yang...

The post Lantunan Kesunyian dari Balik Penjara appeared first on TelusuRI.

]]>
“Wahai Tuhan Yang Maha Melapangkan duka cita, Wahai Tuhan Yang Menghilangkan kesedihan,  Wahai Tuhan yang terhadap hamba-Nya Maha Mengampuni dan Menyayangi.”

Penggalan dari kumpulan doa Ratib Al-Haddad berkumandang dengan merdunya, 25  orang di kamar yang dikelilingi oleh tembok dan jeruji besi khusuk bermunajat kepada Tuhan Yang Esa. Berpasrah dan mengakui lemahnya diri adalah kunci bagi kami menjalani hari yang tersiksa oleh rindu dan waktu. Bagi negara, kami adalah penjahat yang harus disadarkan. 

Kali ini doa yang kami panjatkan berbeda dengan sebelumnya. Beberapa hari ini kami mendapat rezeki yang datang jauh dari seberang pulau, Bali. Seorang teman yang punya kegiatan berbagi nasi di Bali menghubungi saya, dia mau berbagi nasi buat teman-teman yang menjalani hidup di balik jeruji.

“Penjara adalah cerminan dari suatu negara,” kalau di negara ini masih banyak yang korupsi, tidak menutup kemungkinan hak-hak napi juga dikorup. Tapi apapun makanan harian yang diterima setiap hari wajib disyukuri, meskipun di bawah data dalam anggaran yang diajukan kepada negara.

ilustrasi penjara
Ilustrasi penjara (TEMPO/ Gunawan Wicaksono)

Dari donasi yang diterima, kami pun memasak bersama. Bahan mentah beserta bumbunya beli di dapur kemudian dimasak dalam kamar. Lauk yang dimasak tersebut diperuntukkan untuk malam, tentunya setelah semua kegiatan kamar selesai.

Kebaikan yang diterima tentu saja tidak terabaikan. Sebagai manusia kurungan, mendoakan segala kebaikan bagi teman-teman yang berdonasi adalah cara untuk membalasnya dan tentu saja bersyukur kepada Yang Maha Kuasa. Rapalan-rapalan doa mustajab mengalun indah setelah salat Magrib. Pembacaan ibu surat dari Al-Quran yaitu Al-Fatihah dilantunkan bersama seiring pengucapan nama-nama teman-teman yang berdonasi, orang tua, keluarga ataupun kekasih yang masih setia menunggu kepulangan kami. 

Kami tidak hanya menerima donasi dari yang seiman, juga dari teman-teman yang tidak seiman. Betapa indahnya Tuhan memberikan warna berbeda dalam hidup, “Mereka yang tidak saudara dalam iman, adalah saudara dalam kemanusiaan.” Begitulah ajaran dari salah satu Khulafaur Rasyidin umat Islam, Ali bin Abi Thalib.

Semur ayam, gulai ayam, gulai daging, semur telor, semur daging, dan ayam balado adalah lauk yang kami masak selama beberapa hari. 

Di dalam penjara, perasaan lebih sensitif. Makanan hasil donasi terasa sangat nikmat, karena kami yakin ada keikhlasan di dalamnya. Menjadi penawar rindu yang sangat menyesakkan dada, berbagai tempaan hidup kami hadapi di sini. Dari orang tua yang meninggal, saudara dan anak yang masuk rumah sakit, diceraikan istri, hingga orang tua yang menua dan mulai lupa dengan anaknya.

“Penderitaan adalah jalan menemukan makna hidup,” mungkin itu kalimat yang tepat bagi kami. Perjalanan yang jauh ke dalam diri, perjalanan yang tidak dapat diukur oleh jarak. Jalan bagi kami untuk mulai menyayangi diri sendiri, dari menyayangi jiwa dengan ibadah, menyayangi pikiran dengan belajar dan menyayangi tubuh dengan asupan yang baik dan olahraga. 

sel di Penjara Banceuy
Sel nomor lima di situs Penjara Banceuy, Bandung, Jawa Barat. (TEMPO/Prima Mulia)

Penjara juga menjadi jalan menyelami perbedaan. Penjara adalah laboratorium manusia karena berbagai suku dan agama ada di sini. Tuhan, terima kasih untuk segala nikmat yang telah Engkau berikan. Terima kasih juga buat teman-teman yang telah berdonasi, segala kebaikan hidup selalu menyertai hidup kalian semua. 

Mengutip salah satu puisi Rendra, “Kita menyandang tugas, karena tugas adalah tugas. Bukannya demi surga atau neraka, tetapi demi kehormatan seorang manusia.”


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Lantunan Kesunyian dari Balik Penjara appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/lantunan-kesunyian-dari-balik-penjara/feed/ 0 36522
Perjalanan Bersama Bapak di Senja Hari https://telusuri.id/perjalanan-bersama-bapak-di-senja-hari/ https://telusuri.id/perjalanan-bersama-bapak-di-senja-hari/#respond Tue, 19 Jan 2021 04:31:20 +0000 https://telusuri.id/?p=26461 Semasa Corona, ada banyak hal berubah dalam denyut kehidupan kita. Ada banyak sekali perasaan senang—yang dulu dapat dengan mudahnya ada dan bisa dicari dimana-mana, kini seringkali enggan dan sulit dilakukan. Yaitu bepergian. Banyak sekali kejenuhan,...

The post Perjalanan Bersama Bapak di Senja Hari appeared first on TelusuRI.

]]>
Semasa Corona, ada banyak hal berubah dalam denyut kehidupan kita. Ada banyak sekali perasaan senang—yang dulu dapat dengan mudahnya ada dan bisa dicari dimana-mana, kini seringkali enggan dan sulit dilakukan. Yaitu bepergian.

Banyak sekali kejenuhan, sepi, sunyi, dan sendiri yang dulunya kerap dibenci namun justru keadaan berbalik saat ini. Yang mau tidak mau, suka tidak suka, diri sendiri pun perlahan mulai menganggap mereka—keadaan—sebagai teman. 

Dulu dengan mudah kita bisa pergi keluar rumah dan makan di tempat kesukaan saat suasana hati tidak nyaman. Namun sekarang, tentu banyak sekali pertimbangan yang harus diperhitungkan sebelum memutuskan untuk beranjak dari rumah.

Sering-sering saya mengelus dada sambil menghela napas berat, “baik-baik ya sama diri sendiri.”

Bepergian, melakukan perjalanan

Perjalanan Sore Bersama Bapak

Perjalanan kali ini saya sebut dengan nama “perjalanan tanpa tujuan”. Berdua bersama Bapak, kami melangkah dari rumah menuju Karawaci atau Tangerang kota. Kemudian, tanpa ada berhenti, kami pulang kembali ke rumah.

Meski hanya sebuah rute pendek, tapi perjalanan kali ini membawa saya menemukan apa-apa yang sebelumnya sudah lama hilang.

Mengapa Tangerang kota? Jujur saya ingin melihat lagi keramaian. Ingin sekali melihat gedung-gedung pencakar langit yang menjulang tinggi. Jakarta terlalu jauh untuk ditempuh. Dan juga sepertinya saya belum siap untuk kembali lagi ke sana. Oleh karenanya, untuk mengobati rasa rindu yang ada, Tangerang menjadi pilihan perjalanan kali ini.

Tangerang, meski tak begitu banyak gedung-gedung tingginya, tapi tetap membuat dua bola mata saya terpana.

Dalam perjalanan sore itu—yang meskipun saya hanya duduk diam di mobil, rasanya cukup menyenangkan dilakukan daripada suntuk di dalam rumah dan menerbangkan pikiran entah kemana jauhnya.

Refreshing tipis-tipis ini pun bukan hanya sekadar jalan. Dalam perjalanan ini, saya seperti diajak kembali bertemu dengan diri saya yang dulu.

Perputaran waktu yang melambat

Perjalanan Sore Bersama BapakAdalah waktu, yang saya sadari pertama kali kala itu. Hiruk-pikuk kendaraan serta perjalanan yang dilakukan saat jam pulang kantor  membuat ritme perjalanan berjalan lebih lambat. Waktu yang terasa melambat ini membawa saya untuk berpikir dan merenungi apa yang selama ini berjalan dan pada akhirnya terbuang dengan percuma.

“Masih macet juga, ya?” pikir saya sembari melihat beberapa motor yang berjalan tersendat-sendat di belakang truk dan bus. Bukti bahwa banyak yang WHF atau fenomena work from home hanya dirasakan oleh sebagian pekerja kantoran saja.

Perjalanan sore hingga petang bersama Bapak, sering kami isi dengan obrolan-obrolan sederhana. Seringkali kami berbincang tentang hidup, sesekali tentang berita yang sedang hangat-hangatnya di hari itu, kami berbincang apapun ditemani alunan kaset DVD kesukaan Bapak saat berpadu kasih dengan Ibu saat masa lalu.

Dari dalam mobil, saya terpana dengan senja sore yang menghias langit dengan indahnya. Beberapa jepretan saya ambil dengan kamera ponsel, mengabadikan perjalanan sore bersama Bapak kala itu.

Saya begitu bersyukur, meskipun belum leluasa untuk bepergian setidaknya dengan cara seperti ini saya bisa untuk menjaga ‘kewarasan’, tentunya dengan tetap taat pada protokol kesehatan.

Melihat pohon-pohon pinggiran jalan, awan yang berpindah halus kesana-kesini, obrolan yang dilakukan dengan suasana baru, rasanya cukup membawa angin segar, dan saya bisa pulang dengan perasaan lebih bahagia dari sebelumnya.

Dunia berubah cepat

Perjalanan Sore Bersama Bapak

Perjalanan Sore Bersama Bapak

Saat memasuki jalan bebas hambatan, mobil pribadi dan bus kota mendominasi. Mereka melaju cepat di lajur kanan untuk saling mendahului. Mendadak saya tersadar, bahwa apa yang ada di kolong langit ini begitu cepat berubah dan sifatnya hanya sementara.

Karena sejatinya memang, begitu kan?

Saat saya sedih, kecewa, hancur, dan banyak perasaan gelap lainnya. Dunia akan tetap berjalan. Tidak peduli tentang seberapa gelap serta gemuruhnya hati saya. Meratapi dan gelisah tentu bukan pilihan terbaik. Karena semua itu hanya akan membuang waktu.

Lalu, menangis? Tentu saja sebagai manusia menangis adalah pasti. Tidak apa-apa karena sedih juga akan berdampingan bahagia nantinya.

Perjalanan sore tanpa tujuan ternyata membuat saya sadar bahwa yang hilang ternyata bisa ditemukan. Saya pun kemudian melihat raut wajah Bapak yang fokus menyetir sembari menanggapi pertanyaan saya yang masih abu-abu dan merasa kecil terhadap dunia, saya tersenyum sendiri.

Jadi, sampai di sini, apa yang ingin kamu temukan saat sudah banyak kehilangan datang?

Dan apa yang kembali saat sudah tidak kamu harapkan lagi?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.  

The post Perjalanan Bersama Bapak di Senja Hari appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/perjalanan-bersama-bapak-di-senja-hari/feed/ 0 26461