resensi buku Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/resensi-buku/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 25 Jun 2025 15:05:31 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 resensi buku Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/resensi-buku/ 32 32 135956295 Mengenal Rendang Lebih Dalam https://telusuri.id/mengenal-rendang-lebih-dalam/ https://telusuri.id/mengenal-rendang-lebih-dalam/#respond Mon, 14 Apr 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46625 Indonesia kaya kuliner yang bercita rasa lezat dan dikenal hingga kancah internasional, di antaranya rendang khas Sumatera Barat. CNN Indonesia pada 2021 pernah menobatkan rendang sebagai makanan nomor satu terenak di dunia melalui polling di...

The post Mengenal Rendang Lebih Dalam appeared first on TelusuRI.

]]>
Indonesia kaya kuliner yang bercita rasa lezat dan dikenal hingga kancah internasional, di antaranya rendang khas Sumatera Barat. CNN Indonesia pada 2021 pernah menobatkan rendang sebagai makanan nomor satu terenak di dunia melalui polling di media sosial1. Taste Atlas sebagaimana dilansir Kompas.com pada 2024 juga menyatakan rendang sebagai salah satu masakan Indonesia terbaik dunia setelah rawon, pempek, nasi goreng ayam, dan gulai2.

Di level nasional, rendang masuk ke dalam daftar “30 Ikon Kuliner Tradisional Indonesia” yang dicanangkan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu, pada akhir tahun 20123. Bondan Winarno juga memasukkan rendang ke dalam daftar 100 Mak Nyus Makanan Tradisional Indonesia pada bukunya dengan judul yang sama (2013).

Tahun 2018, rendang secara resmi ditetapkan sebagai salah satu dari lima hidangan nasional (national food) Indonesia oleh Kementerian Pariwisata. Lima hidangan itu, selain rendang, ada soto, sate, nasi goreng, dan gado-gado4.

Semua itu menunjukkan posisi rendang dalam peta kuliner Indonesia dan dunia. Buku Randang Bundo (2019) karya Wynda Dwi Amalia adalah salah satu buku yang secara khusus mengupas rendang. Buku ini merupakan konversi dari naskah tugas akhir Wynda Dwi Amalia pada jurusan Desain Komunikasi Visual (DKV) di President University. 

Darah Minang yang mengalir dari kedua orang tua hingga kakek dan neneknya, serta kecintaannya terhadap makanan lokal, menjadikan Wynda yang lahir di Magelang, 12 Maret 1995 itu tertantang untuk mengangkat rendang sebagai bahan kajian tugas akhirnya.   

Dalam buku setebal 120 halaman, Wynda secara khusus mengupas rendang secara komprehensif, mulai dari sejarah, keunikan, ragam, bahan baku, teknis pengolahan, hingga varian. Pada setiap bahasan, Wynda melengkapinya dengan infografis yang menarik, sesuai disiplin ilmu yang dikuasai, sehingga pembaca mudah menangkap saripati informasi yang ia sajikan.

Mengenal Rendang Lebih Dalam
Sampul buku Randang Bundo via Gramedia Digital

Asal Usul Nama dan Sejarah Rendang

Dalam bab “Mengenal Rendang”, Wynda menyatakan bahwa sesungguhnya di kota asal makanan ini, Sumatra Barat, orang setempat menyebutnya randang. Randang berasal dari kata “marandang”, yaitu memasak santan hingga kering secara perlahan. Namun, realitasnya rendang lebih populer dan familiar daripada randang. Bahkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) juga tertulis entri rendang, bukan randang.

Dari sisi sejarah, rendang telah menempuh perjalanan yang sangat panjang. Para peneliti menduga rendang telah ada sejak abad ke-16. Catatan mengenai rendang mulai ditulis secara masif pada awal abad ke-19. Menurut Wynda, seorang peneliti pernah mencoba menjelaskan beberapa literatur yang tertulis pada abad ke-19. Literatur tersebut antara lain menyebutkan bahwa masyarakat Minang di daerah darek (darat) biasa melakukan perjalanan menuju Selat Malaka hingga ke Singapura yang memakan waktu kira-kira satu bulan melewati sungai. Para perantau menyiapkan bekal rendang yang tahan lama karena sepanjang jalan tidak ada perkampungan.

Catatan harian Kolonel Stuers pada tahun 1827 tentang kuliner dan sastra menyebutkan secara implisit deskripsi kuliner yang diduga mengarah pada rendang. Di situ tertulis istilah makanan yang dihitamkan dan dihanguskan, yang menurut seorang peneliti, merupakan salah satu metode pengawetan yang biasa dilakukan oleh masyarakat Minang. 

Versi lainnya menyebutkan, diduga dasar pembuatan rendang berasal dari masakan kari khas India yang diperkenalkan pada abad ke-15. Hal ini sangat mungkin mengingat adanya kontrak perdagangan dengan India ketika itu. Dipercaya bahwa pada abad ke-14, sudah banyak orang India yang tinggal di daerah Minang, dan bumbu serta rempah-rempah sudah diperkenalkan oleh orang-orang tersebut.

Ahli waris takhta Kerajaan Pagaruyung juga membuka adanya kemungkinan bahwa rendang merupakan kari yang diproses lebih lanjut. Bedanya, rendang memiliki sifat yang lebih kering, sehingga bisa jauh lebih awet jika dibandingkan dengan kari.

Mengenal Rendang Lebih Dalam
Proses pengolahan rendang via ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra

Proses Pengolahan Marandang

Dalam bab “Pengolahan Randang”, Wynda mengulas prosesnya sejak menyiapkan alat hingga bahan membuat rendang. Soal bahan ini, Wynda membaginya dalam empat kategori bahan.

Pertama, bahan utama meliputi daging sapi, cabai merah, dan kelapa. Kedua, bahan basah meliputi bawang putih, bawang merah, lengkuas, dan jahe. Ketiga, bahan kering meliputi ketumbar, cengkih, jintan, lada jawa, merica, kapulaga, pekak, kayu manis, adas manis, dan pala. Keempat, dedaunan meliputi daun salam, daun serai, dan daun jeruk. 

Setelah menyiapkan bahan, barulah mulai memasak rendang. Proses memasak rendang diulas cukup detail. Menurut Wynda, mengolah rendang membutuhkan waktu yang agak sedikit lama karena masakan ini melalui proses karamelisasi. Semakin banyak rendang yang diolah, waktu yang dibutuhkan akan lebih lama, minimal sekitar empat jam dan maksimal delapan jam.

Dalam proses karamelisasi, menurut Wynda, rendang melalui tiga tahap pemasakan yang bisa langsung dinikmati. Ketiga proses tersebut menghasilkan sensasi masakan yang berbeda-beda, yaitu gulai, kalio, dan kemudian tahap akhirnya menjadi rendang.

Cara menandakan sebuah masakan itu sudah menjadi gulai, kalio, atau rendang, bisa dilihat dari warna dan bentuknya. Gulai bertekstur lebih encer dan berwarna kuning keemasan. Butuh kurang lebih satu jam hingga masakan menjadi gulai.

Setelah masakan terlihat mengeluarkan minyak yang berwarna merah, saat itulah masakan tersebut sudah bisa disebut kalio. Adapun rendang merupakan tahapan akhir proses karamelisasi, ketika masakan sudah terlihat coklat kehitaman dan berminyak.

Informasi Wynda selaras dengan yang ditulis dalam buku 30 Ikon Kuliner Tradisional Indonesia (2015). Di buku itu disebutkan, bila rendang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai caramelized beef curry, maka kita pun jadi memahami definisi serta proses pembuatan sajian istimewa ini. Prinsipnya diawali dengan membuat gulai atau kari daging sapi, yang terus dimasak dengan api kecil sampai reduced dan terjadi karamelisasi. Artinya, bila belum sampai terjadi karamelisasi, belum bisa disebut rendang. Rendang “setengah jadi” itu dikenal dengan nama kalio. Masakan kalio inilah yang di Malaysia diaku sebagai rendang.

Kandungan Makna Rendang

Keistimewaan rendang tidak hanya terletak pada bahan yang kompleks, proses pembuatannya yang butuh waktu ekstra sehingga melahirkan masakan lezat, tetapi juga kandungan maknanya. Bagi masyarakat Minang, rendang memiliki posisi yang terhormat dan di dalamnya mengandung sejumlah arti dan makna yang mendalam. Pada subbab “Randang Memiliki Arti”, Wynda mengupas arti dan makna rendang ditinjau dari pelbagai macam bahan yang digunakan.

Pertama, rendang berbahan utama dagiang atau daging sapi. Daging melambangkan niniak mamak dan bundo kanduang, yang akan memberi kemakmuran pada anak pisang dan anak kemenakan.

Bahan kedua adalah karambia atau kelapa, yang melambangkan kaum intelektual atau dalam bahasa Minang disebut cadiak pandai. Mereka merekatkan kebersamaan kelompok maupun individu.

Ketiga, lado atau sambal sebagai lambang alim ulama yang tegas dan pedas dalam mengajarkan agama. Bahan terakhir adalah pemasak atau bumbu yang melambangkan bahwa setiap individu memiliki peran sendiri-sendiri untuk memajukan hidup berkelompok dan unsur terpenting dalam hidup bermasyarakat di Minang.

Begitulah keluhuran makna simbolis dan filosofis di balik kelezatan rendang daging sapi khas Minang.

Mengenal Rendang Lebih Dalam
Sajian rendang via frisianflag.com

Variasi Rendang

Meski sejauh ini rendang identik dengan daging sapi, tetapi sesungguhnya rendang khas Sumatra Barat memiliki banyak varian. Varian rendang ini bukan hasil kreasi atau turunan dari rendang daging sapi, melainkan resep warisan leluhur yang diturunkan dari generasi ke generasi. Setiap daerah di Minangkabau memiliki ciri khas masing-masing.

Menurut Wynda, jika dihitung, jenis dan variasi rendang Sumatra Barat lebih dari 12 jenis, mulai dari berbahan baku daging, dedaunan, hingga buah. Misalnya ada rendang pensi khas Danau Maninjau. Maninjau berada di pesisir Pulau Sumatra dan karena daerah ini dekat dengan pantai, hasil laut dijadikan olahan makanan sehari-hari. Pensi adalah sejenis kerang yang berukuran cukup kecil, ketika diolah menjadi rendang, kulit dari kerang disisihkan hingga menyisakan dagingnya saja.

Rendang pensi biasanya menggunakan tambahan lain, yaitu daun pakis, yang diolah lebih kering dan tidak terlalu hitam. Terkadang rendang pensi diberi tambahan kelapa parut ke dalam kuah santan.

Ada lagi rendang lokan khas Painan. Lokan adalah kerang dengan cangkang cukup besar dan berasal dari muara sungai. Ada lagi rendang baluik alias rendang belut khas Batusangka. Lalu ada rendang itiak alias rendang itik dan rendang jariang alias rendang jengkol. Keduanya khas Bukittinggi. Dan banyak lagi.

Buku ini kiranya penting dibaca dan dikoleksi, terutama bagi para pencinta kuliner Indonesia yang ingin meneroka dan mengenal seluk beluk rendang secara lebih mendalam dan komprehensif. Tak hanya mengungkap rendang dan cerita-cerita menarik di baliknya, buku ini juga mengungkap resep rahasia membuat rendang yang lezat asli warisan Sang Bundo yang telah digunakan sejak zaman dahulu. 

Foto sampul: Rendang, makanan khas Sumatra Barat via Gramedia.com/Instagram Randang Bundo


Judul: Randang Bundo
Penulis: Wynda Dwi Amalia
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan: Pertama, 2019
Tebal: 120 halaman
ISBN: 978-602-06-2305-4


  1. CNN Indonesia, “Rendang Kembali Masuk Daftar Makanan Terbaik Dunia Versi CNN”, 5 Mei, 2021, https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20210505125719-262-638829/rendang-kembali-masuk-daftar-makanan-terbaik-dunia-versi-cnn. ↩︎
  2. Kompas.com, “5 Masakan Indonesia Jadi Makanan Terbaik Dunia Versi Taste Atlas Awards, Apa Saja?”, 12 Desember, 2024, https://www.kompas.com/tren/read/2024/12/12/070000565/5-masakan-indonesia-jadi-makanan-terbaik-dunia-versi-taste-atlas-awards-apa?page=all. ↩︎
  3. Kompas.com, “Inilah 30 Ikon Kuliner Tradisional Indonesia”,14 Desember, 2012, https://travel.kompas.com/read/2012/12/14/17232630/~Travel~News. ↩︎
  4. Kompas.com, “Kemenpar Tetapkan 5 Makanan Nasional Indonesia, Ini Daftarnya”, 10 Apri, 2018, https://travel.kompas.com/read/2018/04/10/171000627/kemenpar-tetapkan-5-makanan-nasional-indonesia-ini-daftarnya?page=all. ↩︎

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mengenal Rendang Lebih Dalam appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mengenal-rendang-lebih-dalam/feed/ 0 46625
Sejarah Garam Madura Tak Semanis Madu https://telusuri.id/sejarah-garam-madura-tak-semanis-madu/ https://telusuri.id/sejarah-garam-madura-tak-semanis-madu/#respond Thu, 20 Feb 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45702 Antropolog Sidney W. Mintz menuliskan karya monumentalnya yang berjudul Sweetness and Power: The Place of Sugar in Modern History (1985). Karya tersebut mengisahkan bahwa sejarah gula tidaklah semanis yang dibayangkan, tetapi penuh dengan eksploitasi buruh,...

The post Sejarah Garam Madura Tak Semanis Madu appeared first on TelusuRI.

]]>
Antropolog Sidney W. Mintz menuliskan karya monumentalnya yang berjudul Sweetness and Power: The Place of Sugar in Modern History (1985). Karya tersebut mengisahkan bahwa sejarah gula tidaklah semanis yang dibayangkan, tetapi penuh dengan eksploitasi buruh, penjajahan, perbudakan, dan pamer kekayaan. Indonesia tentu paham betul dengan kondisi ini. Di sekolah-sekolah, sejarah Indonesia diajarkan sebagai penjajahan yang mengejar komoditas yang kini sepele, tetapi dulu jadi rebutan, seperti pala dan cengkih.

Tentu, pelajaran sekolah tidak bisa mencakup semua sejarah di Indonesia. Apalagi, sejarah komoditas yang menyimpan banyak cerita ini bisa berbeda-beda dari satu wilayah ke wilayah lain. Kisah tersebut jadi makin seru karena komoditas bukan hanya berpengaruh di tempatnya berasal, melainkan “bertualang” melalui proses pengangkutan ke tempat-tempat lainnya. Untuk itu, sejarah “petualangan” komoditas tersebut perlu dilengkapi dengan catatan-catatan dari masing-masing komoditas dan daerah. 

Buku Sejarah Garam Madura: Rivalitas Pengangkutan Garam Madura 1912–1981 adalah salah satunya. Buku yang ditulis Imam Syafi’i ini diangkat dari tesisnya di Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro. Pembahasannya berfokus pada aspek penting dalam pengelolaan komoditas, yakni pengangkutan, khususnya garam Madura. Jadi, bagaimanakah rasa petualangan garam?

Sejarah Garam Madura Tak Semanis Madu
Sampul buku Sejarah Garam Madura karya Imam Syafi’i terbitan LIPI/Meita Safitri via LIPI

Sejarah Madura: Di Antara Tegalan dan Pantai

Sebelum bertualang, hendaknya kita mengenali wilayah keberangkatan. Syafi’i memulai dengan membedah ekologi Madura terlebih dahulu melalui pendekatan ekologi budaya, yakni adaptasi konsep dan asas ekologi pada aspek-aspek spesifik partikular dari kehidupan sosial dan kebudayaan manusia (hal. 13). Hasilnya, Syafi’i melihat industri garam di Madura dibentuk oleh ekologi pesisir.

Garam Madura memang sudah terkenal. Banyak kajian yang membahasnya. Namun, Madura juga dikenal karena pertaniannya, seperti yang dituliskan sejarawan Kuntowijoyo dalam Perubahan Sosial Pada Masyarakat Agraris: Madura 1850‒1940 (2002). Sayangnya, Kuntowijoyo meletakkan garam Madura dalam sudut pandang ekologi pertanian atau disebutnya “ekologi tegalan” (hal. 14). 

Itu sebabnya, Syafi’i merasa perlu menjelaskan ekologi pesisir sebagai latar garam Madura, dari curah hujan, angin, sampai salinitas (keasinan) air laut (hal. 27) yang seolah-olah menakdirkan garam untuk Madura. Tidak hanya geografi Madura, tetapi juga kependudukan serta pergantian kekuasaan di Madura turut berpengaruh, terutama karena kepemilikan tanah yang bergantung pada pihak yang berkuasa (hal. 43). Aspek penting lainnya adalah komunitas masyarakat yang terlibat dalam industri garam tersebut, atau “masyarakat pegaraman” tersebut, mulai dari interaksi dengan VOC sampai pedagang Arab dan Tionghoa.

Suasana tambak garam di Madura (kemungkinan Sumenep), 1920/KITLV

Garam dan Kekuasaan

Kekuasaan memang memiliki pengaruh utama. Madura bukanlah tempat pertama penghasil garam di Nusantara. Garam merupakan komoditas yang dihasilkan di banyak daerah di pantai utara Jawa. Namun, sejak 1870 industri garam dibatasi oleh pemerintah kolonial hanya dilakukan di Madura (hal. 57). Pegaraman, atau disebut paderen, juga dibagi dua: menjadi milik rakyat dan pemerintah kolonial. Industri garam diatur dalam sistem monopoli pemerintah kolonial yang disebut zoutregie. Rakyat yang ingin memproduksi garam perlu memperoleh izin terlebih dahulu dari pemerintah kolonial berupa pepel.

Produksi garam dilakukan secara sederhana dengan membuat plot-kolam pembuatan garam. Produksinya amat bergantung kondisi alam, sehingga terkadang produksinya bisa berlebih atau bahkan berkurang. Monopoli pemerintah kolonial mengatur jumlah produksi ini serta menyimpan stok di gudang. Contohnya pada 1928, produksi garam dibatasi karena jumlahnya sudah berlimpah akibat kemarau panjang pada 1925–1926 (hal. 62). Monopoli ini bahkan bertahan sampai setelah kemerdekaan dan secara resmi tidak diberlakukan lagi pada 1957 (hal. 86).

Kelompok penghasil garam disebut mantong. Oleh Kuntowijoyo, kelompok ini terbagi menjadi pemilik lahan sekaligus petani garam dan pegawai yang mengurus hal lainnya, seperti administrasi (hal. 66–67). Syafi’i menambahkan bahwa ada kelompok lain, yakni pekerja pengangkutan garam (hal. 70). Pengangkutan ini tidak lepas dari sektor pelabuhan dan pergudangan garam. 

Tiga pelabuhan utama industri garam di Madura adalah Pelabuhan Kalianget, Pelabuhan Kertasada, dan Pelabuhan Pantai di Muara Sungai Raja (hal. 71). Urusan pengangkutan kadang menggunakan perahu tradisional yang disebut janggolan. Gudang disiapkan untuk menyimpan garam baik di area pegaraman dan gudang di beberapa wilayah distribusi yang dimiliki oleh beberapa cabang niaga Perusahaan Garam (hal. 77). Menelusuri pergudangan ini menunjukkan kita lokasi-lokasi garam “berkelana” dari Tjepper (Vorstenlanden), Selatpandjang dan Tandjoengbalai (pantai timur Sumatra), Emmahaven (pantai barat Sumatra), Koeala Kapoeas (Kalimantan), serta Bintoehan (Bengkulu).

Sejarah Garam Madura Tak Semanis Madu
Perahu janggolan di muara Sungai Rajeh Sreseh, Kabupaten Sampang, yang sudah digunakan sejak abad ke-19/Dokumentasi Imam Syafi’i tahun 2012

Perjalanan dan Pengangkutan Garam

Setelah melihat produksi garam, menarik untuk menelusuri penyebarannya, terutama melalui proses pengangkutannya. Pengangkutan ini meliputi pengangkutan via darat maupun laut. Lagi-lagi, bukti sejarah menunjukkan bahwa pengangkutan garam via darat bahkan telah ditemukan di Pariaman, bukan hanya di Madura. Ini makin menunjukkan bahwa industri garam Madura amat dibentuk oleh kekuasaan pemerintah kolonial. 

Dengan kebijakan monopoli, industri garam Madura berkembang seiring dengan usaha penangkapan dan pengolahan ikan. Monopoli memerlukan pengaturan pengangkatan karena dampaknya pada harga garam. Tidak jarang, monopoli pengangkutan dan penjualan ini dilawan melalui penyelewengan, seperti yang dilakukan empat perempuan pada 1935 (hal. 97).

Di laut, monopoli pemerintah telah menetapkan perusahaan tertentu untuk mengangkut garam, yakni KPM, MSM, dan kemudian OJZ (hal. 99). KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij) merupakan perusahaan milik Kerajaan Belanda. Monopoli pengangkutan garam diberikan pada perusahaan ini pada 1894. Perusahaan lain yang mendapatkan hak monopoli tersebut adalah MSM (Madoera Stoomtram Maatschappij), perusahaan swasta.

Sejarah Garam Madura Tak Semanis Madu
Foto seorang nakhoda dan anak buah kapal perahu janggolan. Keduanya berada di salah satu studio foto di Palembang setelah mengangkut ga-ram dari Madura ketika menunggu muatan kayu menuju Jakarta/Dokumentasi Maksum tahun 1983

Monopoli ini kemudian menjadi bumerang karena mahalnya biaya yang dikeluarkan untuk kedua perusahaan tersebut. Untuk mengatasinya, dibentuklah dinas pengangkutan garam yang disebut OJZ (Oost-Java Zeevervoer) pada 1912. KPM kerap beraktivitas di Pelabuhan Kalianget, sedangkan OJZ di pelabuhan lainnya. Ironisnya KPM tetap mendominasi, yang salah satunya ditandai dengan jumlah pengangkutan yang dilakukan KPM jauh lebih besar dibanding OJZ pada 1935.

Garam Madura Sepeninggal Belanda

Setelah Belanda terusir dari Indonesia, industri garam Madura turut berubah. Data di masa Jepang sulit ditemukan sehingga yang bisa dilihat adalah setelah kemerdekaan. Sebelumnya telah disinggung bahwa monopoli garam baru dihapuskan pada 1957. Di sektor pengangkutan, monopoli ini mulai dilonggarkan sejak 1908 dengan membuka kesempatan pengangkutan oleh pelayaran swasta.

Pada 1950-an, swasta ini berkembang menjadi kongsi. Sistem kongsi setelah kemerdekaan ini banyak juga yang dilakukan orang Tionghoa. Meski demikian, ada pula kongsi yang dimiliki oleh orang Madura sendiri. Namun, di kongsi Tionghoa pekerjanya juga merupakan orang Madura. Di masa kongsi ini bahkan terjadi “swasembada garam” yakni pada 1952 dengan ekspor garam ke Jepang.

Sayangnya, menurut Syafi’i, kongsi tidak berbeda dengan monopoli karena kuatnya pengaruh perusahaan garam. Setelah monopoli dihapuskan pada 1957, aktor lokal mulai mengambil pengaruh. Ini terutama dilakukan masyarakat menggunakan janggolan. Sistem pengaturan keuntungannya adalah bagi hasil atau telon (hal. 122).

Bukan berarti bahwa masyarakat Madura di masa sebelumnya tidak berperan. Peran mereka ada, tetapi tertutupi dengan dominasi monopoli perusahaan. Industri garam sendiri justru amat berpengaruh pada kehidupan masyarakat, baik ekonomi maupun sosial budaya. Itu sebabnya, ekologi Madura penghasil garam ini oleh Syafi’i disebut ekologi pesisir, yang berbeda dengan ekologi sawah maupun tegalan. Untuk membaca lebih lengkap, buku ini dapat diunduh gratis melalui situs penerbitnya di tautan LIPI Press (sekarang Penerbit BRIN).


Judul buku: Sejarah Garam Madura: Rivalitas Pengangkutan Garam Madura 1912–1981
Penulis: Imam Syafi’i
Penerbit: LIPI Press
Cetakan: Pertama, Desember 2021
Tebal: xxv + 186 halaman
ISBN: 978-602-496-296-8

Foto sampul oleh Meita Safitri via LIPI


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Sejarah Garam Madura Tak Semanis Madu appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sejarah-garam-madura-tak-semanis-madu/feed/ 0 45702
Seni Gastronomi Warisan RA Kartini https://telusuri.id/seni-gastronomi-warisan-ra-kartini/ https://telusuri.id/seni-gastronomi-warisan-ra-kartini/#respond Wed, 19 Feb 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45692 Siapa tidak mengenal Raden Ayu Adipati Kartini Djojoadhiningrat, atau lebih populer dengan sebutan Raden Ajeng (RA) Kartini—nama dan gelarnya sebelum menikah? Perempuan visioner yang pernah hidup pada abad ke-19 itu lahir dari keluarga bangsawan Jawa,...

The post Seni Gastronomi Warisan RA Kartini appeared first on TelusuRI.

]]>
Siapa tidak mengenal Raden Ayu Adipati Kartini Djojoadhiningrat, atau lebih populer dengan sebutan Raden Ajeng (RA) Kartini—nama dan gelarnya sebelum menikah?

Perempuan visioner yang pernah hidup pada abad ke-19 itu lahir dari keluarga bangsawan Jawa, pada 21 April 1879 di Mayong, Jepara. Ayahnya adalah Bupati Jepara Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, sedangkan ibunya Mas Ajeng Ngasirah, putri KH. Madirono, seorang ulama dari Telukawur, Jepara.

Semasa hidup, ia menikah dengan Bupati Rembang KRM Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat pada 12 November 1903. Ia meninggal dunia di usia muda pada 17 September 1904, beberapa hari setelah melahirkan anak satu-satunya—Soesalit Djojoadhiningrat, pada 13 September 1904. Jenazahnya dimakamkan di Desa Bulu, Rembang. Pada 1964, Presiden Sukarno menetapkan RA Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional, sekaligus menetapkan tanggal lahirnya sebagai hari besar nasional, yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.

RA Kartini dikenal karena memiliki pemikiran yang sangat maju melampaui zamannya. Kecemerlangan gagasannya tertuang dalam surat-suratnya yang menyejarah. Surat-surat itu ditujukan kepada sejumlah sahabatnya di Belanda. Setelah RA Kartini wafat, atas inisiatif Jacques Abendanon, surat-surat itu dikumpulkan dan dibukukan. Kumpulan surat itu diterbitkan pertama kali di Belanda pada 1911 dengan judul Door Duisternis tot Licht. Lalu diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh sastrawan Armijn Pane pada 1922 dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang

Seni Gastronomi Warisan RA Kartini
Sampul depan buku Kisah dan Kumpulan Resep Putri Jepara: Rahasia Kuliner RA Kartini, RA Kardinah, RA Roekmini/Badiatul Muchlisin Asti

Mewariskan Resep-resep Masakan

Selain pemikirannya, sisi menarik RA Kartini lainnya—yang jarang diungkap—adalah kegemarannya dalam hal masak-memasak, di luar membatik dan membuat ukiran. Sebuah keterampilan khas perempuan Jawa, utamanya pada masa itu.

Ternyata, pahlawan emansipasi wanita itu mewariskan resep-resep masakan yang menarik untuk diteroka. Setelah RA Kartini wafat, adiknya yang bernama RA Kardinah mengumpulkan resep-resep masakan kegemaran RA Kartini maupun keluarga Sosroningrat.

RA Kardinah yang menikah dengan bupati Tegal kemudian mendirikan sekolah khusus untuk keterampilan perempuan di Tegal bernama Wismâ Prânâwâ. Pendirian sekolah khusus itu sesuai dengan cita-cita kedua kakaknya: RA Kartini dan RA Roekmini. Untuk keperluan pengajaran, resep-resep keluarga yang sebagian besar masih beraksara Jawa disusun menjadi beberapa buku dan diberi judul Lajang Panoentoen Bab Olah-olah.

Berpuluh tahun kemudian, Suryatini N. Ganie, cucu RA Soelastri—kakak kandung RA Kartini dari ibu yang berbeda—menulis ulang resep-resep tersebut dan membukukannya dalam sebuah buku berjudul Kisah dan Kumpulan Resep Putri Jepara: Rahasia Kuliner RA Kartini, RA Kardinah, RA Roekmini. Cetakan pertamanya diterbitkan Gaya Favorit Press (Femina Group) tahun 2005.

Suryatini N. Ganie menulis ulang resep-resep beraksara dan berbahasa Jawa, lalu menerjemahkannya ke bahasa Indonesia dengan seharfiah mungkin. Resep-resep ditulis ulang dengan menyesuaikan kondisi sekarang, tetapi dengan judul-judul resep yang tetap dipertahankan sesuai aslinya. Misalnya, kelan asem (sayur asem), kelan lodeh bung (sayur lodeh rebung), janganan sala (sayuran sala alias pecel), dan semur iwak (semur ikan).

Menariknya lagi, semua resep telah diuji coba di Dapur Uji Femina. Hasilnya, resep-resep dalam buku terbukti dapat diandalkan alias tidak terlalu banyak yang harus diubah. Artinya, kita dapat mencoba sendiri (recook) resep-resep masakan yang telah diciptakan lebih dari seabad lalu itu dan tetap dapat memanjakan selera kita yang hidup di masa sekarang.

  • Seni Gastronomi Warisan RA Kartini
  • Seni Gastronomi Warisan RA Kartini

Keistimewan Buku dan Kisah Kuliner Favorit

Buku ini dicetak lux dengan hardcover dan kertas isi berbahan art paper gilap. Setidaknya ada tiga keistimewaan lain yang lebih esensial dan fundamental dari buku ini, sehingga layak dikoleksi oleh para pencinta kuliner Nusantara. 

Pertama, buku ini tidak hanya berisi resep-resep hidangan yang lezat dari meja makan para putri bangsawan Jepara pada abad ke-19, tetapi juga sekaligus mendokumentasikan dan mempertahankan resep-resep autentik beraksara Jawa.

Kedua, resep-resep berusia lebih dari seabad yang termaktub dalam buku ini, masih relevan dan bisa menghasilkan masakan-masakan yang bercita rasa lezat. Bahan penyedapnya alami berupa rempah-rempah dan daun-daun bumbu.

Ketiga, resep-resep di buku ini ditulis ulang dan diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Suryatini N. Ganie, seorang praktisi dan pemerhati dunia gastronomi yang sudah lama malang melintang di dunia kuliner. Di antara kiprahnya adalah mendirikan majalah boga Selera dan menjadi pemimpin redaksinya sejak 1981 sampai 1995.

Sebagai keturunan Sosroningrat, masa kecilnya pernah bertemu dengan para eyangnya: RA Soelastri, RA Kardinah, dan RA Roekmini. Boleh dibilang, Suryatini turut mendapat pendidikan dan bimbingan dari eyang-eyangnya itu. Suryatini tidak pernah bertemu RA Kartini, karena saat ia lahir pada 17 Oktober 1930, RA Kartini telah lama tiada.

Menurut Suryatini, semasa hidupnya, Eyang Roekmini—panggilan Suryatini untuk RA Roekmini—sering membuat kue-kue dari resep lama keluarga Bupati Jepara Sosroningrat. Kudapan kesukaan Eyang Roekmini dan Eyang Kartini adalah kue yang legit, tetapi tidak terlalu manis, seperti ‘soesjes’ atau sus.

Kreasi dapur keluarga Sosroningrat lainnya yang sering dibuat Eyang Soelastri dan Eyang Roekmini, menurut Suryatini, adalah gebakken brood met bayam (roti panggang dengan bayam). Roti sisa sehari sebelumnya yang dipanggang dan diolesi sedikit mentega, dibubuhi setup bayam yang berbumbu bawang merah, sedikit garam, gula, dan nootmuskaat atau pala bubuk.

Selain itu, salah satu kebiasaan di keluarga Sosroningrat adalah minum teh sore hari atau thee uurtje, mengikuti tata cara masyarakat Belanda di Indonesia tempo dulu. Biasanya, pukul 4–5 sore, meja sudah ditata dengan cangkir, gula, susu, dan poci teh yang diberi tutup, yang dalam bahasa Belanda dinamakan thee cozy

Sebagai teman minum teh disajikan kudapan, baik yang berasal dari kudapan lokal maupun yang diadaptasi dari kue-kue Belanda. Yang lokal seperti serabi gandum (dari tepung gandum), kolak pisang, atau pisang goreng dengan irisan keju, dan yang paling populer di kalangan keluarga adalah pilus kentang.

Acara minum teh—seperti juga acara bersantap—pada waktu itu sekaligus dijadikan ajang untuk belajar tata krama. Misalnya, cara minum dari cangkir yang berisi teh panas. Tidak boleh meniup teh panas, tidak boleh menuangkan teh di piring, dan tidak boleh minum berbunyi ‘sruput-sruput’. Yang duduk di kursi adalah para putra-putri bupati, sedangkan yang masih tergolong anak kecil duduk di lantai dijaga oleh pembantu khusus.

Contoh resep autentik botok ikan, dendeng bumbu, dan lodeh bumbu tumis di buku ini, yang masih mempertahankan versi asli beraksara Jawa/Badiatul Muchlisin Asti

Seni Gastronomi dari Abad ke-19

Sebagai keluarga bangsawan, masakan-masakan yang biasa dihidangkan dalam keluarga Sosroningrat tak luput dari pengaruh dari budaya kuliner bangsa lain, antara lain Arab, Belanda, dan Cina. Apalagi mengingat Jepara tempo dulu adalah pelabuhan yang kerap disinggahi kapal-kapal asing, terutama dari Timur Tengah, India, dan Cina. Karena itu, banyak hidangan maupun rempah-rempah dari wilayah tersebut kita jumpai di dalam resep-resep. Contohnya jangan Arab, yang terinspirasi dari gulai kari kambing, tetapi dibuat sedemikian ringan sehingga lebih berselera Jawa.  

Selera masyarakat Belanda pun sangat berpengaruh pada seni kuliner di Indonesia, khususnya Jepara. Tidak heran bila hidangan ala Prancis yang telah diadaptasi orang Belanda terdapat pula dalam koleksi resep keluarga bupati Jepara. Misalnya, hidangan bistik lengkap dengan pure kentang dan sayurannya.

Selain pengaruh gaya kuliner luar, tentu kuliner khas Jawa Tengah juga tak terelakkan dalam koleksi resep di buku ini. Seperti sayur lodeh, sayur asem, botok urang, besengek ayam, asem-asem, padamara, dan opor ayam panggang. Letak Jepara yang berada di pinggir pantai membuat hasil laut banyak pula digunakan di dalam masakan keluarga ini.

Buku ini tak sekadar berisi kumpulan resep masakan semata. Lebih dari itu, buku ini juga merefleksikan pengalaman seni gastronomi yang diwariskan oleh sebuah keluarga bangsawan Jawa di Jepara pada abad ke-19.  

Penerjemahan ke dalam bahasa Indonesia, serta tetap mempertahankan resep autentiknya dalam aksara dan bahasa Jawa merupakan langkah genial yang perlu diapresiasi. Tujuannya agar buku kumpulan resep istimewa ini terdokumentasi dengan baik dan bisa diakses oleh khalayak luas lintas etnis. Karya penting yang menghimpun resep-resep pusaka dari keluarga bangsawan Jawa tempo dulu ini merupakan warisan kebudayaan di bidang gastronomi yang patut dilestarikan.  

Secara keseluruhan, buku ini memuat 209 resep autentik warisan RA Kartini dan saudara-saudaranya, serta keluarga Sosroningrat secara umum, yang dikategorikan dalam 11 bab (kelompok kuliner): nasi (11 resep); sup, soto, dan sayuran berkuah (14 resep); salad dan variasi masakan sayuran (12 resep); ikan dan hidangan laut (16 resep); unggas dan telur (22 resep); daging (50 resep); hidangan pelengkap, acar, dan sambal (23 resep); kudapan gurih (11 resep); kudapan manis (18); puding (12 resep); cake, roti, dan kue kering (20 resep).  


Judul: Kisah dan Kumpulan Resep Putri Jepara; Rahasia Kuliner RA Kartini, RA Kardinah, RA Roekmini
Penulis: Suryatini N. Ganie
Penerbit: Gaya Favorit Press, Jakarta
Cetakan: Pertama, 2005
Tebal: 352 Halaman
ISBN: 978-979-5155-47-8


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Seni Gastronomi Warisan RA Kartini appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/seni-gastronomi-warisan-ra-kartini/feed/ 0 45692
Menelisik Rasa Sakit di Balik “Perempuan Di Titik Nol” https://telusuri.id/resensi-buku-perempuan-di-titik-nol/ https://telusuri.id/resensi-buku-perempuan-di-titik-nol/#comments Mon, 10 Feb 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45597 “Besok pagi saya tak akan berada di sini lagi. Saya juga tidak akan berada di tempat mana pun yang diketahui orang. Perjalanan ke suatu tempat yang tak seorang pun di dunia ini tahu letaknya, memenuhi...

The post Menelisik Rasa Sakit di Balik “Perempuan Di Titik Nol” appeared first on TelusuRI.

]]>

“Besok pagi saya tak akan berada di sini lagi. Saya juga tidak akan berada di tempat mana pun yang diketahui orang. Perjalanan ke suatu tempat yang tak seorang pun di dunia ini tahu letaknya, memenuhi diri saya dengan bangga.”

Saya cukup mengenal sampul merah buku Perempuan Di Titik Nol, yang sering saya dapati di sejumlah kawan semasa kuliah kurang lebih tujuh tahun lalu. Saya hanya membaca beberapa halaman saja, itu pun saya pinjam secara gratis dari sebuah komunitas baca di Sulawesi. Entah kenapa, tetapi buku itu tidak saya baca tuntas.

Di tahun 2024, saya kembali melihatnya sering melewati beranda Instagram saya. Rasa penasaran itu muncul kembali, ditambah memang sedang berencana membeli beberapa buku di Buku Akik Jogja. Akhirnya Perempuan Di Titik Nol jadi salah satu buku yang saya adopsi saat itu.

  • Menelisik Rasa Sakit di Balik “Perempuan Di Titik Nol”
  • Menelisik Rasa Sakit di Balik “Perempuan Di Titik Nol”

Membaca Nawal el-Saadawi yang Tajam dan Penuh Empati

Membaca kembali terjemahan karya Nawal el-Saadawi di kedai kopi favorit, perasaan saya campur aduk. Buku ini berukuran mini, tidak terlalu tebal. Namun, sampulnya sudah memberi saya sedikit gambaran betapa berat kisah di dalamnya. Saya sudah banyak mendengar tentang betapa menggugahnya cerita ini, tetapi tetap saja, saya tidak sepenuhnya siap untuk perjalanan emosional yang akan saya hadapi. Namun, akhirnya saya tidak tertahankan untuk membacanya.

Baru halaman pertama, saya langsung tertarik dengan gaya penulisan Nawal. Ia langsung mengajak saya memasuki dunia yang gelap dan penuh penderitaan. Nawal dengan tajam menggambarkan berbagai bentuk ketidakadilan, mulai dari patriarki, penindasan, hingga kebijakan sosial yang menekan perempuan. Meski demikian, ada sisi positif yang muncul: kegigihan bertahan hidup, keinginan menemukan kebebasan, dan tentu saja, keberanian berbicara. Gaya penulisan Nawal sangat tegas dan penuh empati, membuat saya bisa mengalami perasaan Firdaus, tokoh utama buku ini, tanpa harus melalui pengalaman yang sama. Buku ini juga penuh dengan kritik sosial yang relevan, baik masa dulu maupun sekarang.

Firdaus adalah perempuan Mesir yang sejak kecil sudah hidup dalam kekerasan dan ketidakadilan. Sejak awal cerita, Firdaus dijadikan narator yang menceritakan perjalanan hidupnya dalam bentuk monolog kepada seorang psikiater di penjara, tempat ia menunggu hukuman mati. Firdaus bukan sekadar perempuan biasa; ia adalah simbol dari banyak perempuan di dunia yang terpaksa berjuang untuk bertahan hidup di tengah penindasan dan kekerasan yang diterima tanpa ampun.

Firdaus lahir dari keluarga miskin. Ayahnya, yang sangat kasar, kerap melakukan kekerasan terhadap ibunya, hingga ibunya meninggal dunia. Sejak kecil, Firdaus sudah menyaksikan kekerasan tersebut, dan tanpa tahu mengapa, ia merasa bahwa hidupnya tidak jauh berbeda dari penderitaan yang dialami oleh ibunya. Ketika ayahnya meninggal, Firdaus dipindahkan ke rumah paman yang lebih buruk lagi perlakuannya. Sang paman mengabaikan segala haknya sebagai seorang perempuan dan manusia.

Di usia muda, Firdaus mulai mengalami kekerasan seksual. Ia dijadikan objek pemuas nafsu tanpa ada perlindungan dari siapa pun. Bahkan ketika ia berusaha mencari pendidikan untuk mengubah nasib, kehidupan tidak memberinya kesempatan itu. Firdaus menjadi korban pertama dari sistem sosial yang sangat diskriminatif terhadap perempuan. Tak heran jika Firdaus kemudian tumbuh menjadi sosok perempuan yang merasa asing dengan dunia, bahkan merasa dunia tidak memberinya tempat yang layak dan aman untuk seorang perempuan.

Menelisik Rasa Sakit di Balik “Perempuan Di Titik Nol”
Saat sang paman berlaku buruk, halaman 70/Clementina HB Putri

Perempuan dan Pertahanan Hidup

Saya merasa sangat tersentuh dan marah sekaligus saat membaca kisah Firdaus. Betapa berat hidup yang ia jalani. Seolah-olah dari satu penderitaan ke penderitaan lain, dunia tidak memberinya kesempatan untuk melarikan diri. Ia mulai bekerja sebagai seorang pekerja seks setelah merasa tidak ada pilihan lain. Namun, saya tahu bahwa kisahnya belum berakhir, dan ternyata, ada lebih banyak lagi yang akan saya temui dalam perjalanan hidupnya melalui buku ini.

Salah satu hal yang paling menarik bagi saya adalah Firdaus tidak menyerah begitu saja pada dunia yang penuh dengan ketidakadilan dan eksploitasi. Ia berusaha mencari kebebasan fisik, emosional, dan mental. Di tengah keterpurukan, meskipun pahit, ia menemukan cara untuk bertahan hidup dan menjadi mandiri secara finansial. Itu adalah bagian dari cerita yang menurut saya yang cukup kompleks tentang terjebaknya perempuan dalam siklus kekerasan, tetapi juga berusaha keras untuk mencari ruang hidup di tengah penindasan tersebut.

Namun, semakin saya membaca, semakin saya merasakan cerita ini bukan hanya tentang Firdaus. Cerita ini lebih besar dari itu. Ini adalah cermin dari banyak perempuan yang terjebak dalam sistem sosial, yang saat ini masih realistis jika dikatakan cukup menindas. Nawal dengan sangat tajam menggambarkan cara dunia patriarki bekerja: perempuan dianggap lebih rendah, tubuh mereka dimiliki masyarakat, dan kebebasan mereka dibatasi oleh norma-norma yang timpang. Setiap halaman terasa seperti kritik terhadap sistem yang memperlakukan perempuan sebagai objek semata, dan itu masih berlaku sampai hari ini.

Ada satu momen yang membuat saya benar-benar terkejut dan tercengang, ketika akhirnya Firdaus memutuskan untuk membunuh seorang pria yang telah lama mengeksploitasinya. Saya tahu bahwa tindakan itu adalah puncak dari sebuah proses panjang yang penuh dengan penderitaan. Itu adalah bentuk pemberontakan terakhir yang Firdaus bisa lakukan. Sebuah cara untuk menghentikan siklus kekerasan yang telah membelenggunya sepanjang hidup, serta merasa hidup sebagai manusia dan perempuan. Tindakan itu mengundang banyak perasaan dalam diri saya. Tidak hanya marah, tetapi juga empati dan rasa hormat terhadap keberanian Firdaus mengambil kendali atas nasibnya.

Dalam dunia yang tidak memberinya ruang untuk bernapas, dia memilih untuk melawan dengan cara paling ekstrem, tapi bisa dimengerti. Mungkin itu adalah cara terakhirnya untuk menemukan kebebasan yang selama ini ia cari. Dan meskipun saya tahu ini adalah keputusan yang sangat radikal, saya bisa merasakannya—hasil dari tahun-tahun penindasan yang tak terhitung jumlahnya.

Menelisik Rasa Sakit di Balik “Perempuan Di Titik Nol”
Nawal el Saadawi, penulis feminis dari Mesir/David Degner via Getty Images

Perjuangan Tetap Ada dan Hidup

Buku ini bukan hanya tentang kekerasan dan penderitaan. Ada kekuatan yang sangat dalam dan kuat yang terpancar dari kisah Firdaus. Itu adalah kekuatan perempuan, yang meskipun sering kali tidak diberi ruang untuk tumbuh, memiliki potensi untuk mengubah nasib mereka. Firdaus, dalam segala kesulitannya, menunjukkan kepada saya bahwa perempuan punya hak untuk memperjuangkan kebebasan mereka. Buku ini mengajarkan saya bahwa kebebasan bukanlah sesuatu yang bisa diberikan begitu saja, melainkan harus diperjuangkan, bahkan jika itu berarti harus melawan dunia yang menekan.

Setelah selesai membaca, saya merasa sangat penuh dengan berbagai macam perasaan marah, sedih, tetapi juga terinspirasi. Perempuan di Titik Nol bukanlah buku yang ringan untuk dibaca. Saya menyelesaikannya dengan sekali duduk dan segelas daily latte ice less sweet dengan dada yang beberapa kali bergetar. Kisahnya sangat gelap, dan terkadang membuat saya merasa tak berdaya dan frustrasi. Namun, di sisi lain, ada sesuatu yang begitu kuat dalam buku ini, yang membuat saya merasa lebih sadar tentang betapa pentingnya memperjuangkan hak perempuan dan memberi mereka ruang untuk berkembang.

Saya juga merasa bahwa ini adalah buku yang sangat relevan, bukan hanya untuk konteks Mesir atau dunia Arab, melainkan juga banyak perempuan di seluruh dunia yang masih berjuang melawan patriarki dan penindasan. Firdaus mungkin bukan perwakilan dari semua perempuan. Namun, kisahnya adalah simbol dari banyak perempuan yang terjebak dalam kehidupan yang tidak mereka pilih, yang berusaha meraih kebebasan dengan cara mereka sendiri.

Secara keseluruhan, membaca Perempuan di Titik Nol adalah pengalaman yang sangat menggetarkan hati. Buku ini lebih dari sekadar kisah, memberi pelajaran yang dalam tentang keadilan, kebebasan, dan kekuatan perempuan. Meskipun saya merasa sedih dan marah sepanjang membaca buku ini, saya juga merasa sangat dihargai oleh kisah yang ditulis dengan penuh keberanian dan empati oleh Nawal El Saadawi. Ini adalah buku yang akan terus terngiang di benak saya, mengingatkan saya tentang pentingnya melihat dunia melalui mata perempuan yang sering kali terabaikan dan tertindas.

Saya rasa, Perempuan di Titik Nol adalah buku yang wajib dibaca oleh siapa pun (pria dan wanita) yang ingin lebih memahami tentang ketidakadilan sosial, sistem patriarki, dan bagaimana perjuangan perempuan harus terus berlanjut. Sebab, di balik segala penderitaan yang ditulis dalam buku ini, ada satu pesan yang sangat jelas: kebebasan itu harus diperjuangkan, dan perempuan tidak akan pernah berhenti berjuang sampai kapan pun, bahkan jika napas sudah di ujung tanduk. Perjuangan itu tetap ada dan hidup.


Judul: Perempuan di Titik Nol
Penulis: Nawal el-Saadawi
Pengantar: Mochtar Lubis
Penerjemah: Amir Sutaarga
Penerbit: Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Tebal: 176 Halaman, 11×17 cm
ISBN: 978-602-433-438-3


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menelisik Rasa Sakit di Balik “Perempuan Di Titik Nol” appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/resensi-buku-perempuan-di-titik-nol/feed/ 1 45597
Angkutan dan Karikatur Perjalanan di Jakarta https://telusuri.id/angkutan-dan-karikatur-perjalanan-di-jakarta/ https://telusuri.id/angkutan-dan-karikatur-perjalanan-di-jakarta/#respond Tue, 17 Dec 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=44604 Jakarta punya segudang cerita. Sebagai kota metropolitan, beribu fenomena bisa ditemukan di Jakarta. Sayangnya, karena metropolisnya Jakarta pula, kehidupan Jakarta terasa membosankan dan menjemukan. Sudah sejak lama, citra negatif seperti macet dilekatkan pada Jakarta. Kenyataan...

The post Angkutan dan Karikatur Perjalanan di Jakarta appeared first on TelusuRI.

]]>
Jakarta punya segudang cerita. Sebagai kota metropolitan, beribu fenomena bisa ditemukan di Jakarta. Sayangnya, karena metropolisnya Jakarta pula, kehidupan Jakarta terasa membosankan dan menjemukan. Sudah sejak lama, citra negatif seperti macet dilekatkan pada Jakarta. Kenyataan ini sulit dibantah, apalagi jika melihat warga Jakarta yang berbondong-bondong keluar Jakarta tiap musim liburan. 

Tidak salah jika cara untuk mengisahkan keseharian dengan menarik adalah melalui karikatur. Wagiono Sunarto dalam buku Perang Karikatur: Mengangkat dan Menjatuhkan Soekarno Tinjauan Sejarah 1959-1967 (2013), mengartikan karikatur sebagai ungkapan visual tentang keadaan masyarakat yang melebih-lebihkan salah satu karakteristiknya dan umumnya untuk menyindir. Penggambaran Jakarta melalui karikatur ini dapat dilihat dari karya-karya Benny Rachmadi dan Muh. ”Mice” Misrad alias Benny dan Mice.

Angkutan dan Karikatur Perjalanan di Jakarta
Sampul depan buku Roikan. Buku ini merupakan karya terpilih dalam program Akuisisi Pengetahuan Lokal BRIN/Karunia Haganta

Angkutan Umum dalam Karikatur

Buku Angkutan Umum dan Gaya Hidup: Etnografi Semiotika Kartun Lagak Jakarta Karya Benny Rachmadi Edisi Transportasi (2021) yang ditulis Roikan ini menganalisis penjelajahan yang dilakukan oleh Benny melalui karikaturnya, terutama dalam Lagak Jakarta: Transportasi (1997). Uniknya, Roikan menggunakan autoetnografi untuk menuliskan telaahnya. Autoetnografi adalah cara penulisan etnografi yang menggunakan pengalaman personal untuk memeriksa, mengkritisi fenomena kultural dalam lingkup yang lebih luas (hal. 18). 

Alhasil, kita dibawa menjelajahi pengalaman Roikan mengeksplorasi penjelajahan dalam karikatur Benny dan Mice. Penulisan ini diawali dengan pengalaman Roikan menumpangi bus-bus di Yogyakarta. Menurut Roikan, aspek keseharian ini adalah bagian dari proses kreatif, apalagi bagi seniman. Proses kreatif melalui perjalanan ini yang juga mendorong Roikan untuk melihat kreasi tentang perjalanan transportasi umum, seperti yang dibuat Benny Rachmadi.

Lagak Jakarta: Transportasi memang disusun sendiri oleh Benny, setelah Lagak Jakarta: Trend dan Perilaku (1997) disusun oleh Mice. Beberapa karakter yang ditampilkan di antaranya tukang bajaj, ibu dan anak, tukang tidur dalam bus, dan Benny sendiri. Benny menganggap bahwa karakternya hadir bukan sebagai bentuk narsisme, melainkan pelengkap penderita. Transportasi umum lain juga ada, kecuali KRL. Alasannya adalah KRL saat itu belum tersebar dengan jalur yang “di situ-situ aja” (hal. 40).

Walaupun judul edisinya “Transportasi”, Roikan melihat karikatur ini menggambarkan keseharian warga Jakarta bukan hanya di transportasi umum, melainkan aspek kehidupan lain yang berkaitan dengannya. Kutipan wawancara dengan informan bernama Rendra menggambarkannya secara tepat, “masuk jam delapan berangkat jam enam, artinya ada persiapan dua jam dan itu juga tercatat dalam kartun Lagak Jakarta itu, digambarkan macetnya Jakarta terus, dan kekerasan yang ada di sana” (hal. 51). 

Pasalnya, sebagai “kota yang tidak pernah mati”, mobilitas transportasi umumlah yang menghidupkan Jakarta. Pilihan transportasi umum di Jakarta juga sangat beragam dan terkadang untuk pergi ke suatu tempat, seseorang memang harus menggunakan beragam moda transportasi umum. Roikan menjelaskan bahwa Benny menggambarkan masing-masing jenis transportasi umum, seperti ojek, bajaj, maupun bus berdasarkan karakteristik kendaraannya, pengemudinya, penumpangnya, atau keluh kesah mereka. 

Masing-masing moda transportasi memiliki cerita uniknya. Contohnya, pengalaman salah antar yang dialami Roikan saat menggunakan jasa tukang ojek (hal. 64). Ini karena ojek tidak punya trayek, tetapi berdasarkan tujuan yang disebutkan penumpang. Alhasil, karena salah mendengar tujuan, tukang ojek jadi salah mengantarkan. 

Hal serupa bisa dialami juga ketika menaiki bajaj. Bukan karena bajaj tidak memiliki trayek atau salah dengar, melainkan karena supir bajaj kerap merupakan perantau yang baru sampai di Jakarta dan belum mengenali daerah sekitarnya (hal. 83). Setiap kisah unik transportasi umum ini oleh Roikan dipadukan antara pengalaman pribadi, wawancara informan, dan dengan karikatur Benny.

Angkutan dan Karikatur Perjalanan di Jakarta
Beberapa contoh kreatif penggambaran karakter dalam komik Benny yang diulas oleh Roikan/Karunia Haganta

Angkutan yang Bergerak, Kisah yang Berserak

Ini membuktikan bahwa transportasi umum bukan hanya sarana mobilitas. Ada banyak cerita, termasuk interaksi orang-orang di dalamnya, mulai dari pengemudi dengan penumpang, antarpenumpang maupun antarpengemudi, yang telah dikemas dalam karikatur Benny. Terkadang interaksi ini terjadi tidak hanya dalam transportasi umum, tetapi juga lokasi lain, seperti pangkalan ojek. Sebab, transportasi umum tidak hanya berisikan orang-orang yang ingin bepergian, tetapi juga mencari nafkah dari transportasi umum itu. 

Tidak hanya sopir, tetapi juga kondektur dan kernet yang membantu sopir. Ada pula yang turut mencari nafkah di dalam transportasi umum, seperti pengamen, pedagang asongan, atau bahkan yang cenderung negatif seperti pengemis dan pencopet. Semuanya punya cerita masing-masing dan saling membentuk perjalanan setiap orang saat menggunakan transportasi umum.

Tidak salah jika Roikan akhirnya membedah masyarakat dan gaya hidup metropolitan setelah bercerita mengenai transportasi umum. Kutipan wawancara dari informan bernama Irmayanti berikut menjelaskan alasannya: “Mobilitas masyarakat metropolitan tinggi sekali… di situ kan digambarin dari anak-anak, ibu-ibu… ibu-ibunya pun mulai sing dandan rapi sampek sing gawe kebaya segala macem itu menggunakan transportasi Jakarta, jadi seandainya transportasi diilangin yo mati… mati wong Jakarta kebosanan gak bisa ke mana-mana,” (hal. 224). 

Tangkapan layar buku Roikan tentang taksonomi angkutan umum Kota Jakarta (kiri) dan dokumentasi pribadi Roikan saat memotret pengamen bus/Karunia Haganta

Transportasi umum adalah bagian penting gaya hidup metropolitan warganya. Namun, seperti karikatur Benny, transportasi umum juga menjadi tempat warga Jakarta menunjukkan gaya hidupnya, dari pakaian yang digunakan, moda transportasi yang dipilih, sampai dengan komunikasi yang terjadi.

Dalam pandangan saya, buku ini menarik karena mengangkat dua hal yang selama ini kurang diberi perhatian. Pertama, komik yang—sebagai media hiburan—dianggap kurang serius, apalagi untuk dikaji secara ilmiah. Kedua, keseharian warga Jakarta dan transportasi umum yang dianggap membosankan dan terlalu menjemukan untuk dibahas. Penyajian yang dilakukan Roikan dengan turut menuturkan pengalaman pribadinya membuat kedua hal tersebut jadi makin menarik.

Pembaca disuguhkan banyak lapis perjalanan yang mungkin bagi sebagian pembaca juga akan merasa dekat dengan apa yang dikisahkan. Apalagi, buku ini sebenarnya diangkat dari skripsi penulis yang disusun pada 2007. Alhasil, pembaca disuguhkan tidak hanya kisah tentang transportasi umum, tetapi juga nostalgia melalui cerita pengalaman, catatan lapangan, serta foto-foto dari masa itu.

Buku ini, akhirnya, menjadi “artefak” dari perjalanan sejarah transportasi umum di Jakarta itu sendiri, yang bisa pembaca nikmati sekian tahun berselang. Terlebih dengan banyaknya perubahan moda transportasi di Jakarta dan status Jakarta yang sudah tidak lagi menjadi ibu kota negara. Buku ini juga dapat diunduh gratis melalui situs penerbitnya di tautan LIPI Press (sekarang Penerbit BRIN).


Judul buku: Angkutan Umum dan Gaya Hidup: Etnografi Semiotika Kartun Lagak Jakarta Karya Benny Rachmadi Edisi Transportasi
Penulis: Roikan
Penerbit: LIPI Press
Cetakan: Pertama, Desember 2021
Tebal: xxviii + 264 hlm.
ISBN: 978-602-496-292-0

Foto sampul: Tangkapan layar salah satu potret karikatur karya Benny Rachmadi dengan judul “Derita Naik Ojek 1” dalam Lagak Jakarta: Transportasi


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Angkutan dan Karikatur Perjalanan di Jakarta appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/angkutan-dan-karikatur-perjalanan-di-jakarta/feed/ 0 44604
Bertualang ke Masa Lalu Bersama “Hujan Matahari” (2) https://telusuri.id/bertualang-ke-masa-lalu-bersama-hujan-matahari-2/ https://telusuri.id/bertualang-ke-masa-lalu-bersama-hujan-matahari-2/#respond Mon, 09 Dec 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=44474 ”Bagaimana bila hujan itu berbentuk cahaya matahari. Dimana sinarya seperti tetes -tetes air, tidak lagi hanya memberikan kesejukan tapi juga menerangi. Tidak ada lagi cerita hujan dengan mendung gelap tapi hujan dalam suasana cerah.” Menuju...

The post Bertualang ke Masa Lalu Bersama “Hujan Matahari” (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
”Bagaimana bila hujan itu berbentuk cahaya matahari. Dimana sinarya seperti tetes -tetes air, tidak lagi hanya memberikan kesejukan tapi juga menerangi. Tidak ada lagi cerita hujan dengan mendung gelap tapi hujan dalam suasana cerah.”

Bertualang ke Masa Lalu Bersama “Hujan Matahari” (2)
Halaman awal babak “Reda”/Clementina HB Putri

Menuju Bagian Akhir: “Reda”

Reda? Aku punya kawan bernama Reda. Asalnya dari Surabaya, kukenal dari satu kawan yang kutemui saat mengikuti volunteer di Bencana Masamba tahun 2021. Reda? Aku mengenal musik yang penyanyinya Ari Reda. Dulu kupikir itu adalah satu orang yang sama, ternyata dua orang yang berbeda.

Reda? dulu tidak pernah ada di bayanganku kalau akan ada manusia yang diberikan nama ini oleh kedua orang tuanya. Apa mereka lahir saat hujan sudah reda? Bukankah itu unik? Kira-kira apa yang diipikirkan oleh orang tuanya?

Reda? Karena ini membahas soal Hujan dan Matahari, maka kusimpulkan “Reda” adalah “Matahari”. Mengapa? Alasannya cukup klasik dan sederhana. Aku selalu mendapati atau mungkin karena sewaktu kecil aku sering melihat matahari yang cantik sekali dan pelangi setelah hujan. Mataharinya benar-benar oranye, lalu ada pelangi mengikut di balik bukit. Di TV aku menonton di ujung pelangi itu ada segentong berisi koin emas dan unicorn dengan tanduk berwarna merah muda, biru, kuning, dan putih.

Selain itu, soal reda yang aku tahu sepertinya tidak ada lagi. Menurutku reda adalah sesuatu yang berakhir dengan baik di waktu yang tepat, entah bagaimana dan kapan. Percaya pasti ia reda dengan cara yang sudah baik.

Dalam babak “Reda” ini, banyak bagian atau bahkan dominan dibuat begitu singkat. Mungkin karena bagian akhir dan berada di babak “Reda”, maka hanya pesan-pesan yang tidak menggurui dengan kemasan sederhana. Tentu diikuti nilai-nilai religi didalamnya.

Satu bagian menarik dari babak “Reda” adalah “Maukah Kau Mencoba Menjadi Angin”. Bagian ini cukup menarik perhatianku. Sebab, sewaktu kecil aku percaya bahwa aku memiliki kemampuan memanggil angin—lebih tepatnya percaya aku adalah (titisan) Dewi Angin. Imajinasi anak kecil yang cukup aneh kala itu jika diingat. 

Sewaktu kecil pun aku tidak pernah memproklamasikan bahwa aku memiliki kemampuan memanggil angin pada kawan-kawanku. Aku percaya kemampuan ini tidak boleh diketahui orang lain karena cukup berbahaya. Lalu bagaimana aku percaya bahwa aku adalah Dewi Angin? Sebab, beberapa kali—bahkan seingatku setiap kawan merasa gerah dan mengeluh tidak ada angin—aku sering sekali untuk mengambil posisi sendiri (mojok) lalu berkata dalam hati, “angin datanglah, angin datanglah.” Dan tidak lama kemudian, benar, angin sungguh datang. Dari situlah aku percaya bahwa aku memiliki kemampuan itu. 

Dalam bagian ini tentu tidak membahas soal seseorang yang percaya bahwa ia adalah Dewi Angin. Namun, tidak jauh dari kepercayaanku dulu bahwa aku memiliki kemampuan itu, di sini “Ia” yang menjadi subjek pertama mengatakan bahwa dirinya pernah menjadi “Angin”.

“Mengalir dari ketinggian. Menghempaskan tubuhnya sendiri. Tidak tahu hendak ke mana. Tidak tahu kapan berhentinya. Tidak tahu kapan akan tiada. Aku memenuhi seluruh hidupmu, tapi tidak pernah kau sadari keberadaanku. Aku selalu ada di dekatmu, baik dalam jarak maupun dalam doa.” 

Kalimat-kalimat tersebut sungguh enak sekali untuk dibaca berulang-ulang. Ada beberapa analogi dari “Ia adalah angin” dan mendeskripsikannya dengan begitu sederhana, tetapi cukup melow juga.

Pertama, buku ini memasukkan banyak nilai religi di setiap tulisan secara tersirat. Ini juga dibahas melalui bagian “Maukah Kau Menjadi Angin?”. Dengan sederhana Sang Pencipta ingin diibaratkan dengan sangat sopan, yaitu “Angin”. Ia memenuhimu, Ia selalu ada di dekatmu yang sering tidak kau sadari keberadaannya. Sama seperti jika seorang yang mendengarkan berita yang gampang sekali untuk hilang, kita sering menyebutnya “angin lewat”. Kau tahu Ia ada, tetapi masih saja tidak cukup acuh dengan keberadaannya. Padahal Ia sungguh dekat.

Penulis menggambarkan Pemilik Semesta yang sungguh sangat dekat dan bahkan terasa sangat nyata di setiap sudut. Namun, masih saja banyak yang tidak cukup sadar, seperti jika kau sedang kepanasan dan mengeluh. Bisa saja Ia mendengarkannya sebagai doa, lalu angin berembus ke permukaan tubuhmu. Jadi, benar bahwa Ia sungguh-sungguh dekat. Bahkan dalam ucapan-ucapan kecil yang menguap menjadi doa kemudian diaminkan. Memberikan kesejukan dan ada di dekat banyak orang, Ia lalu mengajak kamu untuk berbuat demikian. 

Apakah kau mau menjadi “Angin”? Menjadi sejuk saat siang hari cukup terik, jadi yang paling sering ada bahkan badai sekalipun. “Angin” itu tetap ada di dekatmu. Menemani burung-burung untuk tetap bisa terbang tinggi. Maukah kau mencoba menjadi angin?

Bertualang ke Masa Lalu Bersama “Hujan Matahari” (2)
Daftar isi buku/Clementina HB Putri

Catat dan Ingat Ini

Akan jadi babak perenungan baru untukku dan untukmu, jika kamu tertarik untuk membacanya. Kumpulan cerita dan prosa dalam Hujan Matahari dikemas dengan sederhana oleh seorang lelaki, yang jika melihat bentuk tulisannya, ia sungguh mengenal detail perasaan jatuh, bangun, jatuh, dan begitu terus. 

Buku ini cukup ringan jika kamu butuh bacaan untuk merangsang keinginanmu membaca. Ada sekitar 200 halaman yang tiap harinya kau bisa sisihkan waktumu sehari atau setiap pagi untuk berkunjung di satu bagian. 

“bagaimana bila hujan itu berbentuk cahaya matahari. Di mana sinarnya seperti tetes-tetes air, tidak lagi hanya memberikan kesejukan tapi juga menerangi. Tidak ada lagi ceria hujan dengan mendung gelap. Tapi hujan dalam suasana yang cerah.” —selamat hujan-hujanan, Kurniawan Gunadi.


Judul: Hujan Matahari
Penulis: Kurniawan Gunadi
Penerbit: Cantrik Pustaka, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, 2014
Tebal: 204 Halaman
ISBN: 978-602-1904-81-7


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Bertualang ke Masa Lalu Bersama “Hujan Matahari” (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/bertualang-ke-masa-lalu-bersama-hujan-matahari-2/feed/ 0 44474
Bertualang ke Masa Lalu Bersama “Hujan Matahari” (1) https://telusuri.id/bertualang-ke-masa-lalu-bersama-hujan-matahari-1/ https://telusuri.id/bertualang-ke-masa-lalu-bersama-hujan-matahari-1/#respond Sun, 08 Dec 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=44462 “Bagaimana bila hujan itu berbentuk cahaya matahari. Di mana sinarnya seperti tetes-tetes air, tidak lagi hanya memberikan kesejukan tapi juga menerangi. Tidak ada lagi ceria hujan dengan mendung gelap. Tapi hujan dalam suasana yang cerah.”—selamat...

The post Bertualang ke Masa Lalu Bersama “Hujan Matahari” (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
“Bagaimana bila hujan itu berbentuk cahaya matahari. Di mana sinarnya seperti tetes-tetes air, tidak lagi hanya memberikan kesejukan tapi juga menerangi. Tidak ada lagi ceria hujan dengan mendung gelap. Tapi hujan dalam suasana yang cerah.”
—selamat hujan-hujanan, Kurniawan Gunadi

Jika kau masih bingung karena belum menemui bacaan yang cukup ringan, tapi akan menggugah perjalananmu, buku Hujan Matahari ini sungguh akan cukup membantumu. Bacaan yang cukup ringan dan mudah dipahami. Bahkan bisa membuatmu mengulang-ulang. Entah karena senang dengan beberapa bagian ceritanya, atau kau masih ingin coba memahaminya lebih dalam lagi.

Buku ini aku dapat dari seorang kawan. Cukup lama buku ini ada di tanganku sampai akhirnya memutuskan untuk membacanya. Banyak mitos atau fakta soal peristiwa hujan dan matahari. Ada yang mengaitkannya dengan kematian atau kesialan.

Kawanku di Tabanan, Bali, pernah bercerita, jika di saat hujan kemudian ada matahari, mayoritas orang menyebutnya “hujan ai”. Dipercaya saat itu terjadi peristiwa makhluk halus yang sedang menikah (beranak). Sedangkan di Sulawesi, kampung halamanku, matahari yang bergabung dengan hujan atau gerimis identik dengan pertanda akan ada yang meninggal di sekitar tempat itu. Selain itu, orang tua akan berteriak dari rumah untuk tidak bermain di luar. Sebab, dipercaya akan mudah sekali untuk sakit.

Bertualang ke Masa Lalu Bersama “Hujan Matahari” (1)
Bagian pengantar buku Hujan Matahari/Clementina HB Putri

Babak-babak dalam Hujan Matahari

Dugaanku patah saat membaca pengantar dari buku ini. Sangat jauh berbeda dengan bayangan soal mitos yang aku dengar. Buku ini malah merangkum tulisan-tulisan dengan romansa nilai religi yang dikemas sangat sederhana dan tidak akan menyudutkan siapa pun. Buku Hujan Matahari karya Kurniawan Gunadi ditulis berlandaskan sebuah kejadian yang akan menimbulkan sebab dan akibat.

Seperti saat hujan dan matahari sedang teriknya, Kurniawan menuliskan bahwa hanya orang-orang yang berani yang akan menantang dingin dan terik. Tulisan-tulisan di dalamnya sungguh masuk kenyataan dengan perlahan. Buku Hujan Matahari terbagi dalam empat babak, yaitu Sebelum Hujan, Gerimis, Hujan, dan Reda.

Dari judul tiap babak pun sudah tergambar sedikit isinya. Ini adalah ritme hujan ketika akan mengguyur, entah ia deras atau hanya sekadar gerimis. Namun, dari pembagian babak, buku ini membaginya dengan perjalanan “Hujan” akan datang dengan deras, lalu reda dengan akan munculnya “Matahari”.

“Sebelum Hujan”, apa yang sering terjadi? Mendung? Angin kencang? atau bahkan seperti tidak akan ada yang terjadi? Di babak awal terdapat beberapa bagian pertanyaan atau pernyataan yang cukup menjadi pengantar sebuah dialog dalam cerita. Bagian ini dijadikan sebuah prolog. Ada ucapan terima kasih, tetapi dikemas dengan singkat dan sampai.

“Sebelum Hujan” adalah babak pertama yang cukup singkat, karena merupakan kumpulan-kumpulan narasi terima kasih dan alasan-alasan kecil dari penulis mengapa akhirnya menciptakan buku ini. “Sebelum Hujan” adalah sebuah pengantar menuju kejadian selanjutnya (babak kedua), yaitu “Gerimis”.

Terkadang jika ada awan mendung. jarang sekali hujan akan langsung deras. Kebanyakan ia akan turun pelan-pelan (gerimis). Orang-orang di sini akan mulai waspada dan bergegas, tapi tetap menerobos dengan bermodalkan jaket atau tangan untuk melindungi beberapa bagian tubuh. Lebih seringnya menutup atas kepala dengan tangan agar kepala tidak pusing atau demam setelahnya. Dalam Hujan Matahari, babak “Gerimis” diisi dengan kumpulan pertanyaan dan pernyataan yang tidak jarang kita temui di tongkrongan, yang pembahasannya cukup serius di setiap malam.

Bertualang ke Masa Lalu Bersama “Hujan Matahari” (1)
Babak “Gerimis”, bagian favorit/Clementina HB Putri

Satu dari Dua Favorit: “Kamu Baik, Masa Lalumu Tidak” 

Bagaimana jika ada seseorang yang datang kepadamu lalu dengan gamblang mengatakan hal ini: apakah jantungmu rasanya tidak ingin pamit saja? Atau tanganmu tiba-tiba saja berkeringat dingin, sembari memikirkan bagaimana orang ini dengan santainya mengatakan hal seperti itu? 

Dalam babak di buku ini, pernyataan secara gamblang seperti itu paling sering berseliweran jika seseorang akan menuju babak baru dalam hidupnya. Katakan jika aku keliru. Namun, yang sering aku dapati adalah perjalanan hidup seseorang akan mempertanyakan hal tersebut, jika ia akan mulai jatuh hati pada seseorang yang sungguh jauh berbeda dari dirinya.

Ada kalimat yang cukup menarik dari babak satu di buku ini, “Perempuan lebih suka dengan laki-laki yang datang dan membicarakan masa depan, bukan masa lalu“. Ini ada benarnya juga. Sebagai perempuan aku cukup kesal jika ada seorang yang tidak cukup dekat dan tidak begitu sering berjumpa, kemudian ia menanyakan soal “bagaimana kamu dulu?“.

Terlebih jika pertanyaan itu berasal dari satu lelaki yang aku percaya akan jadi kawan hidup yang asyik. Lantas bagaimana ia akan menjadi asyik jika yang ia bicarakan adalah masa lalu. Bukankah ia bersama dan memilihku saat ini sebab tahu masa depannya adalah aku? Atau aku terlalu percaya diri, sungguh memang benar seorang perempuan lebih senang dengan pertanyaan “akan berapa anak kita nanti, tinggal dimana kita nanti?”.

Daripada kamu membawa kata maaf, “Maaf dulu aku adalah seorang pembunuh, maaf aku dulu pencuri”; dan sebagainya. Sejujurnya aku pun tidak terlalu mempersoalkan hal itu.

Halaman ini kurang lebih membahas bagaimana seorang pria begitu tidak percaya diri karena masa lalunya. Padahal, ia tengah menyukai seorang perempuan yang sungguh berbanding terbalik dengan “masa lalunya”. Namun, di balik ketakutan yang dituliskan, selalu ada penyangkalan yang cukup menjawab sebenarnya, seperti “tidak ada orang benar-benar memiliki masa lalu yang baik”.

Akan tetapi, seperti kata banyak orang, ingatan seseorang akan lebih kuat jika mengingat kesalahan-kesalahan orang lain dibanding harus mengingat kelakukan baiknya. Seperti babak “Gerimis”, ia adalah bentuk kegelisahan dan pertanyaan yang gamang, tetapi cukup membuat tidurnya tidak nyenyak. Di akhir, penulis menuliskan narasi mengenai “seburuk-buruknya manusia selalu ada ampun paling besar dari Tuhan”.

Bertualang ke Masa Lalu Bersama “Hujan Matahari” (1)
Bagian “Hujan”, Akhir Kematian, halaman 97-98/Clementina HB Putri

Babak “Hujan”: Kita Tidak Bisa Menentukan Kapan Kita Mati

Menurut KBBI, hujan punya beberapa arti; 1) titik-titik air yang jatuh dari udara karena proses pendinginan, 2) yang datang dan sebagainya banyak-banyak. Dalam pengertian ilmiah, hujan adalah presipitasi berwujud cairan. Sedang menurutku, hujan adalah air yang dulu sudah ada di bumi, tetapi menguap ke langit dan membentuk awan. Lalu setelah awan itu terisi penuh dengan air, maka ia akan tumpah lagi menjadi hujan. Begitu seterusnya, yang aku pahami ketika belajar di sekolah dasar mengenai proses hujan.

Dalam buku ini, “Hujan” menjadi babak selanjutnya setelah diantar oleh mendung dan gerimis. Yang artinya, ia cukup deras untuk membuat kamu berlindung jika tidak ingin basah-basahan saat itu. Seperti hujan deras yang tentu membuat kamu basah kuyup, bagian-bagian dari babak ini juga cukup mampu membuat kamu basah sangat kuyup. Entah matamu, dadamu, atau isi kepalamu. Sebab, bagian-bagian dalam babak tersebut didominasi pernyataan yang cukup singkat, seperti “Akhir Kematian”. 

Bagian ini cukup membuatku menelisik sebelum membaca lanjutan mengenai akhir setelah seseorang telah mati. Apakah pemandangan di bawah sana akan benar gelap? Menakutkan untuk mereka yang dosanya cukup banyak di dunia dan sebaliknya; pemandangan cukup asyik dengan cahaya yang begitu menyilaukan bagi mereka yang semasa hidupnya sudah berbuat baik.

Apakah yang mati akan bisa melihat yang hidup dari atas sana?

Dan masih banyak pertanyaan yang lebih banyak rasa takutnya soal kematian. Mungkin sadar kalau selama hidup ini perbuatan jahatku juga banyak. Entah sangat banyak atau cukup, tapi yang terasa adalah aku juga pernah berbuat jahat pada manusia dan ciptaan Tuhan lainnya. 

Bagian “Akhir Kematian” lebih lebih singkat dari beberapa bagian yang ada di buku ini. Di awal kita disambut dengan kalimat, “kita tidak bisa menentukan kapan kita mati, tapi kita bisa memilih bagaimana kita mati”. Sama halnya kamu bisa memilih kamu akan menyapa siapa hari ini, minum kopi apa hari ini atau lebih spesifiknya kamu harusnya selalu berhati-hati selama hidup. Menjaga diri dari banyak hal buruk atau malah bersikap bodoh amat

Seperti yang sering aku dengarkan ketika ke gereja saat Natal dan Paskah. Romo akan sering mengatakan di setiap homilinya, “Berjaga-jagalah Sebab Kerajaan Sorga Sudah Dekat”. Aku menangkapnya bahwa “keselamatan” yang identik dengan kematian di keyakinanku adalah sesuatu yang bisa datang kapan saja, tetapi kamu sungguh bisa menyiapkan bekal untuk Kerajaan Sorga.

Penulis sepertinya menuliskan bagian itu berlandaskan kisah nyata. Sebab, bahasan selanjutnya adalah pembahasan mengenai kematian tidak begitu menyenangkan untuk jadi perbincangan saat di tongkrongan. Jawaban yang akan sering bermunculan adalah tak perlu memikirkan kematian, hidup sekarang cukup dijalani, bukankah semua orang juga akan mati. Nikmati saja apa yang ada sekarang. Biasanya orang yang pembicaraannya seperti ini dipotong adalah ia yang sudah cukup mendalami nilai agama dan menyampingkan nilai duniawi.

Namun, di balik itu semua tentu semua orang punya hak untuk memberitahu hal-hal baik sesama manusia. Diterima atau tidaknya adalah hak setiap manusia. Semoga lebih banyak orang yang menerima dengan legowo bahasan-bahasan sensitif itu, yang nantinya akan dianggap lumrah.

(Bersambung)


Judul: Hujan Matahari
Penulis: Kurniawan Gunadi
Penerbit: Cantrik Pustaka, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, 2014
Tebal: 204 Halaman
ISBN: 978-602-1904-81-7


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Bertualang ke Masa Lalu Bersama “Hujan Matahari” (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/bertualang-ke-masa-lalu-bersama-hujan-matahari-1/feed/ 0 44462
The Alchemist: Jalan Panjang Menggenggam Erat Impian https://telusuri.id/the-alchemist-jalan-panjang-menggenggam-erat-impian/ https://telusuri.id/the-alchemist-jalan-panjang-menggenggam-erat-impian/#comments Sun, 15 Sep 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42656 “When Someone makes a decision, he is really diving into a strong current that will carry him to places he has never dreamed of when he first made the decision.” The Alchemist by Paulo Coelho....

The post The Alchemist: Jalan Panjang Menggenggam Erat Impian appeared first on TelusuRI.

]]>

“When Someone makes a decision, he is really diving into a strong current that will carry him to places he has never dreamed of when he first made the decision.” The Alchemist by Paulo Coelho.

Santiago, seorang pemuda yang dengan yakin menjual semua dombanya demi perjalanan menemukan harta karun. Sebuah keputusan yang tidak mudah bagi pemuda yang biasa menikmati hari-hari bersama gerombolan domba, menyesapi manisnya wine (anggur) dan membaca buku.

Santiago berani keluar dari zona nyaman Andalusia, kampung halamannya, meninggalkan kedua orang tua, domba, dan tentu saja rumah tempat ia biasa beristirahat dengan tenang. Demi sebuah impian menemukan harta karun yang dinilai berharga nun jauh di Mesir. 

It’s the possibility of having a dream come true that makes life interesting…

Begitulah gambaran ringkas cerita novel berjudul The Alchemist karya Paulo Coelho, yang terbit pertama kali pada 1988 silam. Sebuah novel yang membuat saya berhenti sejenak membacanya dan tertegun pada isi novel tersebut; menyadari kisah mencerahkan tentang mengejar impian. 

Paulo Coelho, penulis asal Brazil ini mampu menyihir para pembaca lewat kisah sederhana dan ringan, tetapi penuh makna kehidupan yang masih relevan dalam kehidupan sehari-hari saat ini. Tak tergerus oleh zaman meskipun The Alchemist berlatar belakang kehidupan lawas, bukan sebuah kehidupan modern.

The Alchemist: Jalan Panjang Menggenggam Erat Impian
Sampul depan The Alchemist karya Paulo Coelho/Eka Herlina

Dari Spanyol Menuju Mesir

Saya teringat kalimat filsuf Tiongkok Lao Tzu, “Perjalanan seribu mil selalu dimulai dengan langkah pertama”. Langkah pertama Santiago berawal dari impian tentang harta karun. Ya, the first steps are actually the treasure. 

Santiago pun dengan berani memulai langkah perjalanan mewujudkan mimpi demi menemukan harta karun, tanpa membayangkan risiko yang akan dihadapinya saat menuju Mesir. Harta karun yang ia percayai berdasarkan ucapan seorang peramal, yang mengatakan tidak ada habisnya apabila dipakai sebanyak tujuh turunan sekalipun. 

Sebelum memimpikan mengenai harta karun, sebenarnya Santiago memiliki impian melakukan perjalanan. Sebagaimana alasan saat ia memutuskan menjadi seorang pengembala karena memungkinkan bepergian mengunjungi berbagai tempat. Namun, harta karun yang pada akhirnya membuat ia memulai langkah pertamanya melakukan sebuah petualangan. 

Tidak saja soal berbagai tempat yang dapat ia kunjungi, tetapi Santiago akan menemui pengalaman-pengalaman tak terduga dan ragam cerita yang membawa pada sebuah komitmen tentang impian itu sendiri.

Jalan Panjang Menemukan Harta Karun

When you want something, all the universe conspires in helping you to achieve it.

Jika sedang memaparkan buku berdasarkan kutipan di atas tanpa mengatakan judul buku, tentu bagi pembaca The Alchemist sangat mudah menebak. Pernyataan tersebut merupakan bagian dari pelajaran yang didapatkan Santiago dalam perjalanannya.

Adalah Melchizedek, orang tua yang berasal dari Salem yang mengajarkan Santiago tentang proses mengejar impian dan bagaimana menemukan personal legend atau legenda pribadi. Tak kalah menarik adalah ia memberitahukan Santiago tentang peka dalam membaca tanda kehidupan.

Pertemuan dengan Melchizedek yang mengaku sebagai The King of Salem dan percakapan yang terjadi di antara mereka tertanam di kepala Santiago. Kelak menjadi pegangan dalam langkah perjalanannya. 

Dalam perjalanan selanjutnya, Santiago menghadapi rintangan di mana ia dengan mudah tertipu sehingga bekalnya dirampok. Ia sempat goyah, apalagi terkenang kehidupan yang nyaman saat bersama domba-dombanya dulu. 

When I had my sheep, I was happy, and I made those around me happy. People saw me coming and welcomed me, he thought. But now I’m sad and alone. I’m going to become bitter and distrustful of people because one person betrayed me.

Santiago memikirkan kembali apa yang telah ia lakukan sejauh ini, termasuk percakapan bersama Melchizedek beberapa waktu lalu. Ia tersadar pada kesimpulan tentang pilihan. Ia memiliki pilihan, apakah menjadikan dirinya korban malang di tempat asing atau seorang petualangan yang sedang mencari harta karun. Santiago pun memilih untuk tetap fokus pada perannya sebagai seorang petualang yang mencari harta karun.

Dari peristiwa perampokan yang dialami Santiago, kita belajar untuk melihat dari dua sisi dan tidak menyerah begitu saja. Tetap fokus pada tujuan dan impian yang diraih. Dan, jangan biarkan pengalaman buruk menghalangi untuk mencapai suatu impian. 

Selanjutnya, kita diajak menelusuri kisah Santiago dan Pemilik Teh. Ia memutuskan untuk tinggal sementara dan bekerja dengan Pemilik Teh tersebut untuk mengumpulkan bekal agar bisa melanjutkan perjalanan menemui harta karun. Santiago belajar makna Maktub, segala sesuatu telah tertulis—di sini saya memahami sebagai takdir.

Santiago memanfaatkan kejelian dalam membaca tanda sebagaimana yang ia pelajari dari Melchizedek. Ia mengajak Pemilik Teh menyajikan teh di gelas kristal yang selama ini hanya jadi pajangan, agar dapat menarik pembeli lebih banyak datang. Bisa ditebak, penjualan pun meningkat dan tentu saja Santiago memperoleh uang sebagai bekal dalam perjalanan selanjutnya.

Kemudian pada fase perjalanan berikutnya, Santiago bertemu dengan orang Inggris yang mencari sang Alkemis, batu filsuf, dan obat hidup. Mereka terjebak di gurun yang sedang terjadi perang saudara. Di tempat ini juga, Santiago jatuh hati dengan Fatima, gadis gurun yang juga menaruh hati padanya. 

Santiago juga bertemu dengan sang Alkemis, orang yang dicari-cari oleh orang Inggris selama ini. Namun, yang justru bertemu dengan Alkemis adalah dirinya. Banyak dialog menarik yang terjadi di antara mereka berdua. Termasuk ketika Santiago sempat berpikir untuk berhenti dan menjalankan kehidupan bersama Fatima di gurun tersebut. 

Sang Alkemis mengingatkan tentang impian Santiago. Ia dan Fatima akan menikmati hidup dengan bahagia. Memiliki banyak unta dan domba, tetapi ketika seiring waktu Santiago nantinya akan dibayangi soal harta karun yang menjadi impiannya. 

You must understand that love never keeps a man from pursuing his destiny,” ujar sang Alkemis.

Kutipan-kutipan dialog yang menarik di novel The Alchemist/Eka Herlina

Akhir dari Perjalanan Santiago

Bagaimana akhir dari perjalanan Santiago menemukan impian, apakah ia akhirnya bisa mendapatkan harta karun?

Apa yang dicari oleh Santiago ternyata bukanlah berada di piramida tersebut, tetapi justru di kampung halamannya. Harta karun itu berada di reruntuhan gereja, tempat pohon Sycamore tumbuh. Sebuah daerah di mana ia kerap menghabiskan hari-hari bersama dombanya saat menjadi pengembara dulu. 

Menurut saya, bukan akhir perjalanan Santiago yang membuat novel ini membekas di jiwa. Akan tetapi, proses perjalanan dari mulai padang rumput di Spanyol, gurun, hingga ke tujuan akhir piramida. Bertemu banyak tokoh mengagumkan yang menjadikan cerita ini menakjubkan. Harta karun sebenarnya adalah perjalanan yang dilakukan oleh Santiago itu sendiri.

There is only one way to learn. It’s through action. Everything you need to know, you have learned through your journey.

The Alchemist bukanlah sekedar sebuah novel, melainkan juga sebuah buku pengembangan diri. Paulo Coelho mampu mencubit hati para pembaca lewat kalimat-kalimat bijak yang masih relevan dalam kehidupan saat ini.


Judul: The Alchemist
Penulis: Paulo Coelho
Penerjemah: Alan R. Clarke
Penerbit: HarperCollins (UK)
Tahun terbit: 2021
Tebal buku: 177 Halaman
ISBN: 978-0-00-715566-8 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post The Alchemist: Jalan Panjang Menggenggam Erat Impian appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/the-alchemist-jalan-panjang-menggenggam-erat-impian/feed/ 1 42656
Perjalanan Penyair, Perjalanan Puisi https://telusuri.id/perjalanan-penyair-perjalanan-puisi/ https://telusuri.id/perjalanan-penyair-perjalanan-puisi/#respond Sun, 04 Aug 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42457 “Karya-karya seni adalah kesunyian yang tak terbatas, dan tak ada pendekatan apa pun yang paling tak berguna seperti halnya kritik sastra. Hanya cinta yang bisa menyentuh dan menggenggam karya seni dan berhubungan dengan mereka.” —...

The post Perjalanan Penyair, Perjalanan Puisi appeared first on TelusuRI.

]]>
“Karya-karya seni adalah kesunyian yang tak terbatas, dan tak ada pendekatan apa pun yang paling tak berguna seperti halnya kritik sastra. Hanya cinta yang bisa menyentuh dan menggenggam karya seni dan berhubungan dengan mereka.”

— Rainer Maria Rilke, Surat-surat Kepada Penyair Muda dan Sejumlah Sajak.

Saat Waton Diskusi Susastra baru saja selesai, Mas Mawai (dosen saya) memanggil saya seraya menyodorkan sebuah buku: Ketika Diri adalah Kepulangan dan Keberangkatan, kumpulan puisi teranyar dari Suminto A. Sayuti. Belum sempat saya terkejut, Mas Mawai menepuk-nepuk bahu saya, sambil berkata, “Tolong dibuatkan ulasannya, ya.”

Yang tersisa kemudian adalah kelesah yang berusaha menerima. Serta sedikit batin, saya ini siapa?

Bagi saya, kegemilangan Pak Minto (demikian saya memanggilnya) pada masa sekarang ialah hasil dari tempaannya di masa lampau. Dahulu, di markas PSK (Persada Studi Klub), Pak Minto beserta penyair lain digembleng ketajaman hatinya oleh Umbu Landu Paranggi. Hal tersebutlah yang menjadi sebab status Pak Minto bukanlah sekadar pengajar atau dosen. Ia guru.

Setelah berdamai dengan perkara “kepantasan” yang melelahkan, tibalah saya pada sebuah keharusan menyisihkan waktu untuk mengakrabi kumpulan puisi itu. Di tengah jam kuliah yang seakan sengaja dibuat agar mahasiswa tak memiliki waktu untuk sekadar mengusap keringat. Kami pun—saya dengan kumpulan puisi itu—hanya bisa bertemu di tepian dini hari, diiringi alunan napas malam kawan-kawan asrama yang kompleks.

Perjalanan Penyair, Perjalanan Puisi
Sampul dalam buku kumpulan puisi karya Suminto A. Sayuti/Abdillah Danny

Melankolia dan Nostalgia

Untuk permulaan, saya ingin berangkat dari judul yang panjang. Mengingat di zaman kini, (saya rasa) manusia cenderung menyukai hal-hal praktis dan ringkas. Sekilas saya beralih pada daftar isi dan tak ada satu pun puisi berjudul demikian. Maka, kalimat judul itu mestinya perwakilan dari puisi-puisi di dalamnya. Saya kembali pada sampul, membaca ulang judul, dan mendapati bahwa kata kepulangan dan keberangkatan memiliki hubungan pertentangan. Dugaan awal saya, puisi-puisi dalam buku ini akan berisi pertentangan-pertentangan (oposisi biner) dan penyair, saya rasa, kesulitan menghimpunnya dalam satu kalimat yang ringkas dan padat.

Pertentangan dan kesulitan menjadi modal awal saya untuk mengakrabi kumpulan puisi tersebut, sambil berharap Ketika Diri adalah Kepulangan dan Keberangkatan merupakan sebuah kalimat judul yang utuh dan kuat. Ya, untuk permulaan, saya menggunakan paradigma strukturalisme, dan karenanya, saya menuntut ketunggalan makna. Sementara kata “ketika”, “diri”, dan “dan”, saya sisihkan terlebih dahulu untuk kemudian kembali dibahas pada bagian akhir.

Kemudian daftar isi. Ah, mata saya tak bisa lepas darinya ketika ditampilkannya judul-judul puisi yang seakan berpasangan atau bahkan berkelompok. Hal itu teramini oleh pembacaan awal saya yang tak menemui satu pun puisi yang benar-benar tunggal (tak berpasangan atau berkelompok). Selepas pembacaan awal itu, saya mengelompokkan puisi-puisi tersebut menjadi tiga kelompok: Kelompok Kepulangan (dari Notasi, 1 hingga Jarum Waktu), Kelompok Keberangkatan (dari Rendezvous, 1 hingga Dari Sebuah Ruang Maya), dan Kelompok Kepulangan sekaligus Keberangkatan (dari Hujan Akhir Tahun hingga Sebuah Nama Telah Ditulis). Pengelompokan ini bukanlah iseng belaka. Alasan-alasan terkaitnya akan terpapar setelah ini.

Mari mulai beralih ke puisi. Saya akan mencoba memaparkan betapa kumpulan puisi ini begitu teknis sekaligus mencoba menerangkan alasan-alasan dari setiap poinnya.

  1. Hampir keseluruhan puisi dalam buku ini berbentuk naratif. Seluruhnya ditulis tanpa keterangan tahun. Beberapa juga memiliki semacam bentuk kerangka yang sama. Seperti dalam beberapa puisi Ninabobo: terdiri dari tiga bagian, bagian pertama diawali dengan Aku pun, bagian tengah diawali dengan Tidurlah, dan bagian akhir kembali diawali dengan Aku pun. Betapa kumpulan puisi ini sungguh teknis (dan itu sungguh adalah modal yang bagus!);
  2. Hampir keseluruhan puisi di dalamnya menolak tanda baca selain tanda titik. Bahkan dalam Ninabobo Diri, 2, digambarkan secara lugas: Melampaui/ senyap antara. Tanpa koma. Ataupun titik dua. Tanda titik adalah, sederhananya, sebuah alat untuk mengakhiri. Dengan fakta bahwa penyair seakan menyengaja untuk sering menggunakan titik (kesengajaan yang terlalu kuat sehingga mungkin akan tepat bila disebut obsesi), tangkapan saya atas hal ini adalah selain untuk mempermainkan konvensi bahasa, penyair menghujani puisinya dengan tanda titik sebab ia menghadirkan tokoh aku yang memiliki obsesi untuk mengakhiri sesuatu. Berhubung simpulan tema besar dari saya untuk kumpulan puisi ini adalah hal-hal yang melankolik dan nostalgia, maka bisa jadi objek yang ingin diakhiri oleh tokoh aku adalah hal-hal tersebut (masa lalu, kenangan, dan lain-lain).

    Sementara tanda koma dan titik dua biasa dipergunakan untuk pemisahan dan atau perincian sesuatu. Berbekal simpulan terkait tema besar dan tangkapan atas tanda titik, tangkapan saya atas sedikitnya/dihindarinya tanda baca selain tanda titik (tanda koma dan titik dua) adalah representasi dari penolakan tokoh aku (upaya untuk mengusir) terhadap perpisahan dan perincian (penjelasan, kepastian, dan lain-lain.) Di sisi lain, kemunculan sesekali tanda baca selain tanda titik (tanda koma dan titik dua) dapat dipergunakan sebagai acuan untuk kondisi tokoh aku dalam gejolak ketakutan atas perpisahan (penolakan) dan hilangnya rasa takut tersebut (penerimaan).
  1. Banyak sekali terkandung oposisi biner yang seakan diupayakan oleh penyair untuk bersatu. Dalam Ninabobo Kamar, penyair menulis: Tidurlah kamar di antara dua tubuh satu jiwa; Bertegur sapa dalam diam; juga dalam Ninabobo Batu: Aku pun sejumput lumut di musim kemarau; Kita/ bakar dingin bukit. Keinginan untuk mempersatukan dua hal yang bertentangan ini saya tangkap sebagai ketakutan yang dialami tokoh aku dalam keseluruhan puisi terhadap hal-hal yang tidak mempersatukan (perpisahan). Namun, ironisnya, kedua hal yang bertentangan tersebut, ketika disatukan, akan mustahil berada dalam posisi setara. Mereka akan terjebak dalam bentuk: depan-belakang, kiri-kanan, yang berkaitan erat dengan skala kepentingan (hal ini akan dijelaskan kembali di bagian akhir).
Perjalanan Penyair, Perjalanan Puisi
Puisi pembuka/Abdillah Danny

Periodisasi Perjalanan

Poin-poin dalam bagian sebelumnya berkaitan erat dengan alasan saya mengelompokkan kumpulan puisi ini menjadi tiga kelompok. Dari pemilihan judul yang memuat kata ketika, yang hubungannya adalah dengan waktu, maka tiga kelompok yang saya maksudkan di awal adalah tentang periode perjalanan si tokoh aku dalam puisi.

Periode Kepulangan

Kepulangan secara harfiah berarti kondisi kembalinya sesuatu setelah keberangkatannya. Namun, dengan fakta bahwa dalam judul, kata tersebut diletakkan di awal (tempat yang seharusnya diisi oleh keberangkatan), saya menganggap bahwa kepulangan di sini mesti dimaknai lebih dalam.

Berbicara mengenai kepulangan, tema besar tentang hal-hal melankolik dan nostalgia mengarahkan saya pada pemaknaan kepulangan sebagai peristiwa kepergian. Dalam artian, tokoh aku bukanlah rumah yang menjadi tempat pulang sejati. Lebih lanjut, tokoh kau dalam kumpulan puisi ini secara sederhana akan atau telah pergi menuju suatu tempat, dan bagi si tokoh aku, hal tersebut adalah kepulangan (sebab tokoh aku bukanlah rumah sejati bagi tokoh kau).

Menanggapi hal tersebut, diri tokoh aku dilanda kesedihan yang membuatnya bergejolak (sebab tak ingin tokoh kau pergi). Namun, terdapat sedikit sisa kerelaan (atau justru harapan akan keadaan sebaliknya) dalam tokoh aku yang tergambar dalam baris terakhir dalam puisi-puisi Periode Kepulangan ini. seperti dalam Ninabobo Batu, Ninabobo Angin, Ninabobo Kamar, dan sebagian besar puisi dalam periode ini.

Di periode tersebut, secara sederhana, menganut teori kepribadian (psikoanalisis) oleh Sigmund Freud, saya simpulkan bahwa terjadi konflik dalam alam bawah sadar tokoh aku: antara Id dan Ego. Dan dimenangkan atau didominasi oleh Id.

Perjalanan Penyair, Perjalanan Puisi
Puisi Ninabobo Kamar/Abdillah Danny

Periode Keberangkatan

Sebab kata kepulangan tak dapat diartikan secara harfiah saja, maka dengan pertimbangan konteksnya dengan tema besar, saya asumsikan bahwa kata keberangkatan adalah kondisi ketika tokoh aku mulai menerima/berdamai dengan “kepulangan”. Sederhananya, kali ini konflik alam bawah sadar dimenangkan/didominasi oleh Ego.

Hal tersebut tergambar dalam puisi-puisi Periode Keberangkatan yang sarat dengan kestabilan (merujuk pada konflik) dan nama-nama tempat/perjalanan (merujuk pada kata keberangkatan itu sendiri).

Periode Kepulangan sekaligus Keberangkatan (atau justru tidak keduanya)

Puisi-puisi dalam periode ini sarat akan kestabilan dan pemaknaan kembali atas apa-apa yang telah maupun akan terjadi. Maka dari itu, posisi puisi-puisi dalam periode ini ambigu (jelas sekaligus tidak jelas). Dalam periode ini, tokoh aku dalam puisi tergambar lebih tenang dalam bersikap, bahkan beberapa kali mengalami peningkatan. Seperti dalam puisi Sepanjang Masih Punya dan Kita Masih Punya. Kedua puisi tersebut sarat akan optimisme, tetapi dalam puisi Kita Masih Punya, skala keoptimisan digambarkan secara lebih tegas dan lugas ketimbang puisi Sepanjang Masih Punya.

Dalam periode ini, tiada konflik antara Id dan Ego. Alam bawah sadar tokoh aku sepenuhnya didominasi oleh Superego.

Visualisasi Perjalanan

Tibalah saya pada titik yang mengharuskan saya untuk kembali pada judul. Untuk memudahkan, saya mencoba menggambar “judul” sembari menerka hubungan antarunsurnya.

Perjalanan Penyair, Perjalanan Puisi

Dalam suatu bingkai ketika, terdapat dua titik yang saling berlawanan, mari kita menyebutnya sebagai Pulau Kepulangan dan Pulau Keberangkatan. Kedua pulau tersebut dijembatani oleh sebuah kata hubung: dan. Di atas Jembatan Dan, Diri berjalan. Di sini, saya mengartikan diri sebagai sebuah puisi (atau dapat pula tokoh aku).

Artinya, kumpulan puisi ini mestinya berisi tentang perjalanan diri dari pulau kepulangan menuju pulau keberangkatan, sambil meniti jalur/jembatan dan. Akan menjadi sebuah kejanggalan ketika terdapat, meski barang satu atau dua puisi, yang berisikan sesuatu di luar hal itu.

Namun, saya cukup percaya bahwa setidaknya dalam pandangan Rilke, apa-apa yang telah saya lakukan di atas adalah ketidakbergunaan. Untuk menyikapinya, tidak kita perlukan sebuah keseriusan yang sangat. Dengan kata lain: mari melupakan apa-apa yang telah saya sampaikan dan kembali pada pengembaraan di pulau-pulau diri. Atas nama cinta. Salam.


Judul: Ketika Diri adalah Kepulangan dan Keberangkatan
Penulis: Suminto A. Sayuti
Penerbit: Cantrik Pustaka, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, 2023
Tebal: 112 Halaman
ISBN: 978-623-1390-39-4


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Perjalanan Penyair, Perjalanan Puisi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/perjalanan-penyair-perjalanan-puisi/feed/ 0 42457
Yang Tersisa dari Jejak Manusia Purba Sulawesi https://telusuri.id/yang-tersisa-dari-jejak-manusia-purba-sulawesi/ https://telusuri.id/yang-tersisa-dari-jejak-manusia-purba-sulawesi/#respond Fri, 07 Jun 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42123 Membaca tulisan-tulisan Eko Rusdianto memang selalu menyenangkan. Sama seperti buku Eko yang kubaca sebelumnya—Tragedi di Halaman Belakang—buku Meneropong Manusia Sulawesi: Di Antara Pencarian Leluhur, Ramalan, Hingga Ancaman Ekologi membawa para pembacanya melihat lebih dekat tempat-tempat...

The post Yang Tersisa dari Jejak Manusia Purba Sulawesi appeared first on TelusuRI.

]]>
Membaca tulisan-tulisan Eko Rusdianto memang selalu menyenangkan. Sama seperti buku Eko yang kubaca sebelumnya—Tragedi di Halaman Belakang—buku Meneropong Manusia Sulawesi: Di Antara Pencarian Leluhur, Ramalan, Hingga Ancaman Ekologi membawa para pembacanya melihat lebih dekat tempat-tempat yang begitu akrab bagi orang-orang Sulawesi.

Buku setebal 181 halaman itu merupakan kumpulan tulisan dengan satu benang merah: jejak manusia purba dan yang tersisa dari mereka. Terdiri dari 16 tulisan, buku dengan ukuran huruf cukup besar ini akan membawa pembacanya pada petualangan arkeolog, keseruan lapangan mereka, dan ancaman dalam mempertahankan jejak-jejak purbakala yang masih ada hari ini. 

Sampul depan buku ini cukup menarik. Dua hewan endemik Sulawesi yang kini jarang ditemukan—kutebak anoa dan babi hutan—berdiri di antara tumbuhan belukar dan rumput-rumput tinggi, serta mulut gua yang menggambarkan sebagian besar isi buku ini. Berpindah dari sampul, Eko juga menyediakan kata pengantar yang tak kalah menarik, dinamainya “Tersesat Kenikmatan Tulisan”. Ia menceritakan perihal arkeologi yang sempat ia geluti di kampus sebelum berpindah ke jurusan jurnalistik setelah dirinya ingin menjadi wartawan. Akan tetapi, Eko tetap melanjutkan kecintaannya terhadap arkeologi. Setidaknya buku ini lahir dari sana. 

Yang Tersisa dari Jejak Manusia Purba Sulawesi
Ilustrasi menarik pada sampul depan buku/Nawa Jamil

Lukisan Purba Kampung Biku

Seperti judulnya, buku ini terdiri dari 16 tulisan pencarian jejak-jejak purba di tanah Sulawesi di tengah ancaman ekologi hari ini. Berasal dari tahun yang beragam, 16 tulisan tersebut ditulis Eko sepanjang perjalanannya menelusuri jejak purba Sulawesi.

Ada beberapa tulisan yang menarik (bahkan semuanya), seperti “Kampung Biku dan Lukisan Babi Purba Sulawesi”. Kampung Biku bukan pertama ini kudengar. Sewaktu menyelesaikan kuliah magister dengan konsentrasi Manajemen Bencana, Kampung Biku nyaris menjadi salah satu wilayah penelitianku. Sebab salah seorang teman di masa lalu sempat bercerita terkait resiliensi unik warga di kampung ini. 

Kampung Biku berada di dalam lembah kecil di atas bentangan karst Maros–Pangkep. Jika musim hujan tiba, air akan menggenangi daerah ini dan menyebabkan banjir setinggi tiang-tiang rumah. Penyebabnya ketiadaan saluran air turun di antara bentangan batuan karst yang membentuk lembah tersebut. Adaptasi selama puluhan tahun membuat para penduduknya dapat membaca tanda-tanda alam dan memperkirakan kapan musim hujan akan datang.

Dari cerita seorang kawan yang pernah berkunjung ke sini, saya kembali mendengar Kampung Biku hari ini lewat penceritaan Eko Rusdianto. Lebih mengagumkan lagi, ternyata di Kampung Biku terdapat lukisan purba agung di salah satu guanya, yakni Leang Tedongnge. Gaya bercerita Eko begitu hidup. Ia seolah membawa para pembacanya menyusuri Leang Tedongnge, lalu menemukan lukisan babi dengan dua ornamen telapak tangan di bagian atas punggung belakangnya. 

Pencarian Rumah Wallace di Maros

Tulisan berjudul “Menelisik Jejak Wallace di Maros” menjadi favorit saya, karena seperti bagian kecil dari buku-buku Enid Blyton 5 Sekawan. Layaknya detektif, Eko dan Kamajaya Saghir mencari rumah yang ditinggali Alfred Russel Wallace sewaktu mengunjungi Maros pada Juli–November 1857. 

Wallace menuliskan tentang kedatangannya di Maros dalam buku The Malay Archipelago, termasuk serangkaian cerita hingga dirinya mendiami hunian yang berada “di kaki sebuah bukit yang ditutupi hutan”. Eko bercerita, ia dan temannya mencari Amasanga, daerah yang bersisian dengan gunung karst, daerah yang konon yang sempat ditinggal Wallace di masa lalu. 

Ketika mendatangi titik Amasanga pada peta kuno Belanda, Eko menemukan tempat itu telah banyak berubah menjadi pabrik semen milik PT Semen Bosowa. Tidak jauh dari titik tersebut terdapat kampung bernama Ammasangeng, tetapi keterkaitan kampung ini dengan titik Amasanga tidak dapat dipastikan. Setelah mencari ulang, mereka kembali turun ke lapangan, menyusuri daerah lain bernama Tompokbalang. Di sana, ia bertemu seorang warga bernama La Saing (60).

“Di sana, dulu ada rumah orang Belanda yang selalu diceritakan nenek saya,” katanya.

Begitu sampai pada penyampaian La Saing, saya tidak dapat membendung rasa haru tersebut. Meskipun sedikit kecewa mengetahui rumah tersebut telah rata dengan tanah dan hanya tersisa jejak-jejaknya saja, tetapi tetap saja, menemukan dan berdiri di titik sejarah adalah hal yang besar. 

Di tempat itu, Eko dan temannya kembali membaca buku The Malay Archipelago. “Kira-kira 50 yard (sekitar 100 meter) dari kaki bukit di bawah rumah saya, terdapat lubang dalam yang berada di alur sebuah sungai dan menjadi sumber air. Setiap hari saya mandi di situ menggunakan ember air dan mengguyurkannya di sekujur badan saya,” tulis Wallace. Lalu persis seperti yang dituliskan Wallace dalam bukunya, Eko dan temannya juga menemukan titik yang dimaksud.

Namun, dalam subtulisan yang diberi judul “Napak Tilas Wallace Terancam Hilang”, Eko menceritakan bagaimana ia mendengar suara dentuman dinamit dari PT Semen Bosowa. Ledakan yang terjadwal tiap pukul 12 siang. Sekitar 400 meter dari lokasi bekas pondok Wallace ini terdapat lubang galian tanah dan satu mobil eskavator yang bekerja, dan beberapa mobil truk pengangkut tanah yang sibuk. Ancaman ini sungguh nyata. Apalagi menurut penuturan dari buku ini, bukit tempat rumah Wallace di masa lalu ini beberapa kali ditawar untuk dibeli.

Yang Tersisa dari Jejak Manusia Purba Sulawesi
Bagian halaman yang mengulas dampak buruk perubahan iklim pada jejak prasejarah di Sulawesi/Nawa Jamil

Pertanyaan-pertanyaan Lainnya

Buku ini benar-benar menyenangkan, seperti buku sejarah yang dibalut petualangan-petualangan arkeologis. Beberapa gua dalam tulisan Eko sangat mudah dijangkau, bahkan Leang-Leang telah terbuka untuk para wisatawan sejak puluhan tahun lalu.

Ada banyak pertanyaan tentang kehidupan jauh sebelum generasi kita ada di bumi hari ini, salah satunya kehidupan purba puluhan ribu tahun yang lalu. Lewat buku ini, Eko sedikit menyingkap pertanyaan-pertanyaan. Mengapa orang purba membuat lukisan tangan? Mengapa mereka bermigrasi? Dari mana mereka berasal? Mengapa mereka tinggal di bentangan karst Sulawesi ini?

Eko tidak hanya menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan menyediakan jawaban berbagai ahli arkeologi dalam buku ini. Ia juga menyisipkan pertanyaan-pertanyaan penting yang mesti dijawab bersama atas ancaman-ancaman ekologi yang nyata. Sejauh mana kita akan bergerak untuk melindungi yang tersisa dari jejak-jejak manusia Sulawesi di masa lalu?


Judul Buku: Meneropong Manusia Sulawesi; Di Antara Pencarian Leluhur, Ramalan, Hingga Ancaman Ekologi
Penulis: Eko Rusdianto
Editor: Wawan Kurniawan
Perancang sampul: Rara Bijda
Tata Letak: Armin
Penerbit: Penerbit Akasia, Gowa
Tahun Terbit: Cetakan pertama, Desember 2021
Tebal Halaman: x + 171 halaman
ISBN: 978-623-98085–1-8


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Yang Tersisa dari Jejak Manusia Purba Sulawesi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/yang-tersisa-dari-jejak-manusia-purba-sulawesi/feed/ 0 42123