resensi Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/resensi/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Thu, 23 Mar 2023 11:53:17 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 resensi Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/resensi/ 32 32 135956295 Resensi: Jalan Panjang untuk Pulang https://telusuri.id/resensi-jalan-panjang-untuk-pulang/ https://telusuri.id/resensi-jalan-panjang-untuk-pulang/#respond Mon, 27 Mar 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=37566 Sebagai penulis perjalanan kawakan, nama Agustinus Wibowo terkenal seantero Indonesia karena berhasil menuliskan Asia Tengah dan Selatan lengkap dengan nafas dan denyut nadi kehidupannya dengan apik dalam Selimut Debu, Garis Batas, dan Titik Nol. Kali...

The post Resensi: Jalan Panjang untuk Pulang appeared first on TelusuRI.

]]>
Sebagai penulis perjalanan kawakan, nama Agustinus Wibowo terkenal seantero Indonesia karena berhasil menuliskan Asia Tengah dan Selatan lengkap dengan nafas dan denyut nadi kehidupannya dengan apik dalam Selimut Debu, Garis Batas, dan Titik Nol. Kali ini, serpihan-serpihan cerita lainnya kembali dituangkan dalam buku berjudul Jalan Panjang untuk Pulang. Kata “pulang” yang merupakan inti dari catatan-catatan perjalanan yang ia tuliskan sebelumnya, akhirnya berhasil menjadi judul utama buku sepanjang 461 halaman yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama.

Tulisan di buku ini dimulai dengan judul “Dunia di Mata Mereka yang Tidak Bepergian”. “Apa jadinya apabila suasana Kota Beijing abad ke-21 masih dipenuhi ingar-bingar Revolusi Kebudayaan, dan apabila tuan rumah Olimpiade 2008 ini menjadi surga Maois? Anda mungkin akan melihat gedung kantor pusat China Central Television (CCTV) yang futuristik itu akan dipuja oleh ribuan kamerad yang berpawai menggelorakan slogan sepanjang jalan. Atau para pekerja kantoran bekerja riang gembira dengan komputer di meja masing-masing, bersama dengan petugas kebersihan yang tersenyum, dikelilingi barisan pengunjung kelas pekerja yang semuanya berwajah penuh kebahagiaan sambil melambaikan bendera merah.”

Agustinus menceritakan bagaimana lukisan para seniman propaganda Korea Utara, menggambarkan kehidupan kota lainnya yang sejatinya belum pernah mereka lihat—China. Dari lukisan ini, Agustinus coba menerangkan bahwa orang-orang Korea Utara yang tidak sebebas kita dalam melakukan perjalanan mencoba menerka-nerka seperti apa Beijing hari ini.

Mungkin di benak mereka, kehidupan China sekarang sama seperti kehidupan di Korea Utara, dengan ideologi komunisme yang masih kuat. Padahal nyatanya, kehidupan China modern sudah jauh melesat seperti negara yang dimusuhi mereka, Korea Selatan. Tanpa perjalanan, mustahil bisa memahami masyarakat dan budaya yang sedemikian banyak, dan dengan perjalanan pun tidak sepenuhnya akan memahamkan kita pada kebudayaan setempat. 

Jalan Panjang untuk Pulang - Agustinus Wibowo

Tulisan lainnya berjudul “Para Pemburu Elang” Agustinus membawa kita ke tengah-tengah padang rumput yang sudah menguning di Mongolia untuk menemui para pemburu elang dari etnis Kazakh. Pemburu elang adalah tradisi berburu menggunakan elang sebagai senjata, yang turun menurun diwarisi oleh para lelaki Kazakh. Agustinus menyaksikan Golden Eagle Festival dan menemui beberapa orang untuk menggali informasi bagaimana elang ini diambil dari sarangnya dan kemudian dipelihara. Salah satunya adalah Atamurat, lelaki berusia 43 tahun dari Dusun Tsengel. 

“Elang milik Atamurat sudah setinggi lutut. Posturnya tidak jauh berbeda dibandingkan dengan elang-elang yang dimiliki pemburu lain. Ternyata bayi elang itu bertumbuh sangat pesat pada tahun pertama usianya, tetapi setelah mencapai ukuran standar, ukuran tubuh elang tidak banyak berubah lagi hingga akhir hayat.” Perburuan menggunakan elang adalah penggambaran sempurna lelaki Kazakh; kecintaan pada alam, ketangguhan lelaki pengembara, dan kebanggaan suku bangsa padang rumput.

Dari padang rumput Mongolia beranjak ke Desa Panjrud, sebuah desa asal Rudaki sang penyair dimakamkan dalam “Tersekat Gunung dan Batas”. Agustinus menapaki Tajikistan, sebuah negara “Stan” di Asia Tengah yang merupakan hasil pecahan dari Uni Soviet. Agustinus yang pernah mengunjungi Tajikistan pada 2006, kembali mengulang perjalanannya di tahun 2015. Agustinus menceritakan permasalahan negara-negara “Stan” ini begitu rumit: mulai dari sejarah, pencarian akan kebanggaan bangsa, perbatasan yang begitu njelimet, hingga politik identitas yang membangun kerumitan hubungan antar suku bangsa.

“Di hadapan saya yang orang asing ini, mereka bahkan terkadang sengaja menunjukkan bahwa Kirgiz dan Tajik akur bersaudara, seolah tidak pernah terjadi masalaha apa-apa di antara mereka. Tetapi dalam percakapan mendalam secara terpisah dengan penduduk di sini, saya tetap menemukan sentimen yang sama: orang Tajik mengatakan ‘Hati-hati dengan orang Kirgiz, mereka berbahaya’ dan orang Kirgiz mengatakan hal yang sama.”

Sebuah renungan kemudian Agustinus curahkan dalam “Garis Batas di Atas Kertas” kala dirinya melakukan penerbangan ke Belanda melalui Thailand. Ia mendapatkan perlakuan yang agak kera dari petugas karena belum menentukan kapan tanggal kepulangan dari Belanda. Pemegang paspor Indonesia kerap kali dicurigai ketika ingin memasuki Eropa. Hampir saja ia ketinggalan pesawat jikalau tidak ada kedutaan Belanda yang ikut memeriksa kelengkapan dokumennya. Di akhir cerita, ia bertemu Hussain, seorang pemuda Irak yang sudah memiliki paspor Belanda namun tetap mendapat perlakuan seperti warga Irak.

“Nasib kita memang ditentukan oleh garis-garis batas berwujud kertas yang kita pegang dan bawa ke mana-mana. Tetapi bahkan ketika kertas yang kita pegan ini berubah, tetap ada bagian dari diri kita yang tidak akan serta-merta turut berubah karenanya.”

Lain lagi dalam “Darah dan Nasionalisme”, Ia menyoroti soal “asal garis keturunan” yang sering dipermasalahkan orang banyak. Agustinus menuliskan persoalan kebangsaan bukanlah semata-mata garis keturunan tetapi juga gaya hidup, budaya, kebiasaan, hingga pemikiran. Tampilan fisik yang mirip tidak serta merta membuat Agustinus hidup dengan nyaman di Tiongkok. Dirinya secara administratif ditolak sebagai “warga Cina” walaupun dirinya secara fisik 100% serupa. “Justru ketika berada di Cina, saya pertama kali menyadari betapa Indonesianya saya.”

“Kecinaan saya juga berbeda dengan kecinaan mereka. Saya tidak bisa mengerti bahasa Mandarin yang mereka gunakan, sedangkan mereka menganggap bahasa Cina yang saya terlalu aneh dan ketinggalan zaman. Saya tidak berbagi  penghormatan mereka terhadap partai komunis dan kebencian mereka terhadap Jepang. Saya tidak mewarisi luka batin mereka karena Revolusi Kebudayaan. Saya tidak punya kebiasaan yang sama dengan mereka dalam hal bersantap, melaksanakan ritual keagamaan, maupun berkomunikasi.”

Buku ini adalah catatan-catatan yang terbuat dari pemikiran tentang gagasan “pulang” dalam arti yang lebih luas dari definisi yang kita kaitkan tentang pulang itu sendiri, bercampur dengan pengalaman perjalanan yang telah melanglang buana ke daerah-daerah yang bagi kita terasa asing dan bahkan hanya terdengar sesekali. Meskipun buku ini bukanlah suatu cerita panjang yang saling bertautan satu sama lain seperti buku-buku Agustinus sebelumnya, setidaknya tulisan ini menjadi penyegar lara akan kita yang selalu haus akan tulisan-tulisan perjalanan yang memukau.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Resensi: Jalan Panjang untuk Pulang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/resensi-jalan-panjang-untuk-pulang/feed/ 0 37566
Membaca Indonesia dalam Lara Tawa Nusantara https://telusuri.id/membaca-indonesia-dalam-lara-tawa-nusantara/ https://telusuri.id/membaca-indonesia-dalam-lara-tawa-nusantara/#respond Thu, 16 Feb 2023 04:00:49 +0000 https://telusuri.id/?p=37229 Nama Fatris MF, seorang penulis cerita perjalanan dari Sumatera sana, sudah cukup sering kudengar. Sampai pertemuan virtual dalam kelas Sekolah TelusuRI bersama Fatris, barulah terasa ketertarikan untuk membaca karya-karyanya. Banyak hal yang menarik tentang sosok...

The post Membaca Indonesia dalam Lara Tawa Nusantara appeared first on TelusuRI.

]]>
Nama Fatris MF, seorang penulis cerita perjalanan dari Sumatera sana, sudah cukup sering kudengar. Sampai pertemuan virtual dalam kelas Sekolah TelusuRI bersama Fatris, barulah terasa ketertarikan untuk membaca karya-karyanya. Banyak hal yang menarik tentang sosok Fatris, bagaimana sarkasmenya tentang kota besar Indonesia yang selalu ia sebut “Jakarta”. Dari kelas beberapa waktu lalu, saya tertarik dengan satu perkataan Fatris tentang objektivitas seorang penulis dalam tulisannya, sama seperti apa yang diamini Johnny Harris, seorang jurnalis yang pernah menulis untuk The New York Times. Dalam salah satu videonya yang berjudul ‘7 Things I’ve Learned About Journalism in 7 Years of Being Journalist’

“Tidak benar-benar ada tulisan yang objektif. Penulis perlu mengambil sudut pandangnya dalam menyusun sebuah tulisan. Yang bisa dilakukan adalah menyediakan informasi yang berimbang.” 

Lawa Tawa Nusantara

Saya membaca karya Fatris MF berjudul Lara Tawa Nusantara, sebab saya tahu, tulisan perjalanan setebal 337 halaman ini tidak seperti majalah pariwisata yang lebih banyak membahas keelokan alam Nusantara. 

Sambil menikmati teh lemon dingin dan roti bakar jadul di Centeng Mok—sebuah kafe bertema tempo dulu di Jalan Kijang Kota Makassar—saya menyelesaikan tulisan terakhir dari buku ini ‘Bambu, Perang, dan Kebahagiaan’. Lara Tawa Nusantara merupakan kumpulan catatan perjalanan Fatris ke berbagai daerah di Indonesia dalam beberapa tahun. Dalam buku ini, Fatris membawa pembacanya menyusuri berbagai daerah, mulai dari Kalimantan, Sulawesi, NTB, Sumatera, dan lainnya. 

Meskipun blurb buku ini tidak cukup menarik, tetapi percayalah, Lawa Tawa Nusantara menyajikan cerita perjalanan yang dalam, tidak melulu tentang eksotisme dan bentuk kekaguman akan alam Indonesia yang juga sama-sama dikagumi orang-orang kompeni di masa lalu.

Saya sangat terkesan dengan cerita pembuka dari Kalimantan, beragam daerah yang ia kunjungi dalam menceritakan tarian kematian dan perjalanannya ke Kampung Lopus, Lamandau, Kalimantan Tengah. Banyak deskripsi yang cukup detail serta selingan sejarah dan sumber masa lalu yang menulis tentang daerah maupun kebudayaan yang ada di sini. 

Dari Kampung Lopus di Lamandau, Fatris membawa pembacanya menelisik cerita menarik dari senjata tradisional Dayak yang sarat akan ilmu hitamnya, mandau. Satu tulisan penuh berjudul ‘Pertarungan Terakhir’ menceritakan sejarah salah satu sosok termasyhur di Camp Leakey, Kusasi. Sosok yang mentereng, terkuat di kawanannya, bahkan sosok yang telah terkenal sampai ke berbagai dunia, bahkan dikunjungi si cantik Julia Roberts dari Hollywood. 

Dua cerita menceritakan pedalaman Kalimantan, Fatris lalu mengajak para pembacanya menyusuri tanah Sulawesi dalam beberapa ceritanya. Ia menceritakan tentang kehebatan kapal phinisi dan para pelaut ulung dari tanah Bulukumba, cerita perihal upacara pemakaman menyenangkan di Tana Toraja, tanah Mandar, dan Mamasa yang jarang diceritakan. 

Di Mamasa, Fatris tidak hanya bercerita tentang bagaimana keindahan alamnya. Lebih dalam, tulisan Fatris menelaah cara hidup dan bagaimana masyarakat desa sangat menghargai alam mereka. 

“…Ajaran ini penganjur untuk adil, melayani sesama, hidup dalam keseimbangan. Menebang kayu tidak boleh sembarangan, mesti diritualkan dulu, supaya “roh” kayu merelakan dirinya untuk diambil.” 

Setiap tulisan dalam buku ini disertai delapan sampai belasan foto yang melengkapinya pada akhir cerita, serta deskripsi pada halaman terakhir. Setiap hal tentang buku ini sangat menyenangkan, termasuk foto-foto yang diambil dengan professional, seolah setiap objek dalam fotonya mampu bercerita tidak kalah dengan deretan tulisan-tulisannya.

Saya sangat menikmati tulisan tentang Hidup Mati Toraja sebanyak 12 halaman lebih. Secara pribadi, daerah ini telah menarik saya kembali ke sini beberapa kali. Berbeda dengan tulisan-tulisan pariwisata yang menonjolkan keindahan alam dan eksotisme rambu solo, upacara penguburan super mahal di daerah ini, tulisan Hidup Mati Toraja membawa pembacanya ke lorong-lorong terkecil pariwisata Toraja. Tidak ada menyusuri kuburan batu Londa, atau melihat sunset di Lolai, tulisan Fatris justru membawa pembacanya ke pasar hewan, daerah-daerah minim turis tempat warga lokal menghabiskan kesehariannya, juga menyingkap sedikit fenomena di balik upacara Kematian Rambu Solo, prosesi adat yang memakan ratusan hingga milyaran rupiah. 

Rangkaian kata dalam buku ini, tidak sampai setengahnya menceritakan keindahan alam. Lebih banyak, tulisan-tulisannya bercerita lebih jauh: tentang manusia-manusia, kebudayaan di sana, persoalan-persoalan pelik, dan hal-hal dekat yang jarang ditemui para pelancong mainstream. Sama seperti tulisan Fatris tentang Bali, sekeping tanah “surga” yang dipenuhi turis-turis berkulit pucat. Sama sekali tidak membahas keindahan dan pariwisatanya, Fatris justru menceritakan Bali dengan beragam keluhan: jauh berbeda dari Bali yang pernah didatanginya, kesejahteraan hanya dirasakan pihak-pihak tertentu, dan masyarakat lokal yang banyak menawarkan tanahnya untuk dijual. 

Kembali ke pernyataan awal, buku ini bukan sekedar catatan perjalanan. Fatris tidak hanya menceritakan tawa, melainkan lara yang ada di Nusantara. Tak hanya alam, tetapi juga keseharian budaya masyarakatnya. Sebuah buku yang sangat cocok untuk kamu yang mencari sudut pandang berbeda, dan mungkin saja setelah membaca lembar demi lembar buku ini, kamu bisa menciptakan sebuah perjalanan yang lebih dekat dengan keseharian masyarakat, atau bahkan membaca karya-karya Fatris MF lainnya seperti Hikayat Sumatra, Merobek Sumatra, Kabar dari Timur, dan Jurnal Banda.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Membaca Indonesia dalam Lara Tawa Nusantara appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/membaca-indonesia-dalam-lara-tawa-nusantara/feed/ 0 37229
Lara Tawa Nusantara: Indonesia dari Kacamata “Tidak Biasa” https://telusuri.id/lara-tawa-nusantara/ https://telusuri.id/lara-tawa-nusantara/#respond Sat, 04 Feb 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36523 Indonesia tidak semata bisa terdefinisikan lewat carut-marut politik di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan, dan Makassar. Tidak. Indonesia adalah juga pelosok, daerah-daerah terpencil dan terlupakan walau di atlas dan Google Map namanya terpampang, tetapi...

The post Lara Tawa Nusantara: Indonesia dari Kacamata “Tidak Biasa” appeared first on TelusuRI.

]]>
Indonesia tidak semata bisa terdefinisikan lewat carut-marut politik di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan, dan Makassar. Tidak. Indonesia adalah juga pelosok, daerah-daerah terpencil dan terlupakan walau di atlas dan Google Map namanya terpampang, tetapi kita tidak tahu banyak tentangnya. Indonesia, juga adalah wilayah-wilayah yang kini seakan asing, pulau-pulau terpencil yang jauh dari radar Jakarta, yang kerap dianaktirikan oleh pembangunan, tempat-tempat yang jarang diberitakan media, yang tidak terdengar dan tidak bersuara, wilayah-wilayah yang terdepak dan kerap disebut sebagai “Indonesia yang merana”.

Kita mengenal Jakarta dengan baik. Setiap sudut kotanya banyak diceritakan sebagai tragedi atau prestasi. Kita juga tahu bagaimana kondisi politik di Jakarta meskipun terpisah ratusan pulau. Tapi apakah kita mengenal dengan baik wilayah lainnya dari negeri yang luasnya sampai belasan ribu pulau, dan apakah mereka mendapat porsi yang sama layaknya Jakarta?

  • Lara Tawa Nusantara
  • Lara Tawa Nusantara

Lara Tawa Nusantara adalah sebuah jendela Indonesia dalam kacamata “tidak biasa” dan berusaha mengangkat daerah-daerah di Indonesia yang luput dari perhatian dalam pementasan bangsa. Buku setebal 349 halaman ini merupakan buku ketiga hasil karya Fatris MF dalam mengamati dan menjelajahi Nusantara, berisikan cerita perjalanan Fatris MF mengarungi tempat-tempat di Indonesia: Kalimantan, Sumatra, Sulawesi, Lombok, dan Bali; baik di pedalaman maupun pesisir. Fatris coba menangkap segelintir kisah kehidupan orang-orang yang tinggalnya jauh dari sorotan, dan mengajak para pembaca untuk merenungi apa saja permasalah bangsa ini.

Kalimantan adalah persinggahan pertama yang akan para pembaca temui kala membuka permulaan bab buku ini. Fatris mendesak masuk ke pedalaman Kalimantan Tengah dari Kota Pangkalan Bun, dari situ ia kemudian menuju sebuah perkampungan bernama Lopus, Kecamatan Delang, Kabupaten Lamandau. Belum sampai di tempat tujuan, Fatris sudah mengajak kita untuk berpikir dan merenung. 

“Bayangan saya tentang hutan Kalimantan yang hijau, sirna. Saya hanya melihat dataran mahaluas yang dijejali oleh perkebunan sawit, begitu rapi, begitu membuat decak kagum: masa kejayaan perkebunan yang agung telah dimulai kembali setelah pemerintah kolonial hengkang kaki dari Nusantara.”

“Sepi bergelantungan di pokok-pokok tahun kelapa sawit yang membuat Borneo berubah dari ‘tertinggal’ sekarang telah ‘maju’. Entah maju ke arah mana, tidak satu kitab suci pun yang bisa menjelaskan perkara ini.”

Di Lopus, Fatris menemui orang-orang Dayak yang bernama unik–yang mungkin kita sering dengar tapi tidak terbayangkan menjadi nama orang—sebut saja Mesin, Ponten, Yamaha, dan Arab. Ia melihat rumah-rumah panggung dan menari bersama mereka, juga melihat keterikatan yang terjadi antara Beradu dan Fatris dalam sebuah mitologi yang diceritakan turun temurun oleh orang-orang Dayak Tomun.

Lara Tawa Nusantara

Beralih ke daerah Kalimantan Tengah lainnya, kali ini di Camp Leakey, melihat kehidupan di Camp Leakey yang menganut sistem hukum rimba. Kisah tragis hidupnya Kusasi dan perjalanannya menjadi raja camp, serta pertarungannya melawan Tom.

“Kusasi lahir di tengah belantara hijau di Palangkaraya… Sebuah tragedi telah membuatnya yatim piatu. Seluruh keluarganya tewas, mungkin dibunuh atau diculik. Atau mungkin juga telah menjadi arang, hangus terbakar… Bukankah kayu-kayu besar telah menjadi perkebunan , dan hasilnya disedot ke Jakarta sana? Bukankah di Jakarta orang-orang membutuhkan tisu untuk menyeka air mata dan ingus, bahkan belahan pantat mereka?”

Menyeberang ke Sulawesi, Fatris pergi ke pesisir-pesisir, mencari jawara lautan yang sudah kadung kesohor sedunia. Namun, yang didapatinya adalah kenyataan bahwa kapal legenda pinisi sudah habis masanya, ditelan oleh mesin dan solar. 

“Amanagappa, itu pinisi terakhir. Setelah itu tidak ada lagi yang namanya pinisi,” ujar Haji Safaring yang menerangkan kepada Fatris masa perahu angin sudahlah habis. Pada pelayaran Amanagappa itulah menurut Safaring, pinisi terakhir yang mengarungi samudera dengan angin. Selain pinisi, perahu tanpa mesin tercepat di dunia, sandek, juga mengalami masa-masa yang kurang mengenakkan selepas tenaga angin tidak terlalu dibutuhkan. Juga, cerita mengenai tradisi pemakaman mahal ala Toraja dan asa Mamasa yang bertahan dalam ajaran lama, Aluk Tomatua.

“Dulu, saya ingin masuk agama, diam-diam saya mengintip mereka sembahyang ke gereja. Ada yang tertawa, ada yang bicara, ada yang melihat telepon. Padahal pendeta mereka sedang memimpin doa. Mereka sedang sembahyang. Saya saja tidak suka melihat mereka sembahyang seperti itu, apalagi Tuhan.”

“Dan, satu kali saya pernah ke masjid. Suara dari masjid begitu merdu saya dengar saban pagi. Itu, di balik lapis sana, ada masjid. Saya turuni lembah, saya datangi rumah ibadah orang Islam. Sesampai di sana, saya lihat tidak ada orang. Hanya ada tape yang diberi pengeras suara. Apa orang Islam menyembah tape? Bagaimana cara menyembah tape?”

Lara Tawa Nusantara

Komentar jenaka dari para narasumber yang Fatris temui kadang mengundang gelak tawa, menahan seringai kecut bibir, menampar hati, dan menjadi bumbu penyedap cerita yang membuat para pembaca berpikir “ada benarnya juga”. 

Penjelasan Fatris tidak terbatas hanya apa yang ia lihat dan rasakan selama perjalanan, tetapi juga menyertakan catatan-catatan para pengelana terdahulu. Misalnya di Aceh ia menuliskan sedikit tentang ekspedisi militer Belanda ke Aceh yang tidak pernah tembus sampai akhirnya Snouck Hurgronje masuk dan merusak dari dalam. Tentang G.M. Veer Spyck, seorang pembantai yang takjub akan keindahan Danau Toba, atau tentang Tome Pires yang mencatat kerajaan kuno di Barus.

Catatan ini menjadi sebuah memoar perjalanan yang sempurna, yang tidak hanya menyirat soal tempat-tempat yang memang sudah kadung populer, tetapi juga mencoba melihat permasalahan yang terjadi di sekitarnya sebagai olok-olok. Sindiran, kritikan, satir, dan uneg-uneg adalah hal yang akan kita sering jumpai lembar demi lembar, baik dari Fatris ataupun orang-orang yang ia temui sepanjang perjalanan. Buku ini adalah sebuah manifestasi dari kelucuan, kegalauan, keseriusan orang-orang yang tidak terekspos di negeri ini, yang jika kita semakin tahu maka akan semakin mempertanyakan “kemanusiaan” dalam diri kita.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Lara Tawa Nusantara: Indonesia dari Kacamata “Tidak Biasa” appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/lara-tawa-nusantara/feed/ 0 36523
Sulawesi Selatan dan Bissu dalam Buku ‘Calabai’ https://telusuri.id/sulawesi-selatan-dan-bissu-dalam-buku-calabai/ https://telusuri.id/sulawesi-selatan-dan-bissu-dalam-buku-calabai/#respond Wed, 15 Dec 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=31644 Sampai saat ini, membaca buku terkait kebudayaan tanah sendiri masih menyisakan perasaan yang berbeda dari membaca cerita pada umumnya. Sebagai seorang yang menghabiskan seumur hidupnya di Sulawesi Selatan dengan segala budaya Suku Bugis, buku-buku mengenai...

The post Sulawesi Selatan dan Bissu dalam Buku ‘Calabai’ appeared first on TelusuRI.

]]>
Sampai saat ini, membaca buku terkait kebudayaan tanah sendiri masih menyisakan perasaan yang berbeda dari membaca cerita pada umumnya. Sebagai seorang yang menghabiskan seumur hidupnya di Sulawesi Selatan dengan segala budaya Suku Bugis, buku-buku mengenai rincian adat istiadat Sulawesi Selatan, bahasa dan dialog yang akrab  di telinga menjadi prioritas dan tempat tersendiri di hati saya.

Saya pertama kali membaca buku dengan latar tempat Sulawesi berjudul Lontara Rindu karangan S. Gegge Mappangewa, lalu buku Puya ke Puya karangan Faisal Oddang, hingga Natisha dan Gadis Pakarena karangan Khrisna Phabicara. Setiap buku fiksi karangan para penulis tanah Sulawesi selalu diselingi pengetahuan tentang agama to riolo, kebudayaan yang mulai tergerus, suasana kampung pedalaman, sampai keindahan alam dalam gambaran kata-kata. 

Saya senang menjelajahi tanah kelahiran ini, tidak hanya lewat langkah, melainkan juga melalui kata-kata pada kisah-kisah lokal. Salah satu yang saya nikmati adalah buku Calabai: Perempuan dalam Tubuh Lelaki karangan Pepi Al-Bayqunie. 

Calabai (Perempuan dalam Tubuh Lelaki)/Nawa Jamil

Buku ini bercerita tentang sosok Saidi, lelaki yang berasal dari Kampung Lappariaja di Kabupaten Bone, diangkat dari kisah nyata Puang Matoa Saidi. Saidi, anak bungsu lelaki yang paling ditunggu-tunggu ayahnya, justru tumbuh memalukan sebagai seorang calabai. Calabai, sebutan orang Bugis bagi laki-laki yang gemulai layaknya perempuan. Saidi terlahir sebagaimana adanya. Lelaki yang gemai-gemulai itu, membiarkan rambutnya panjang tergerai sebab akan jatuh sakit jika dipotong. 

Diangkat dari kisah nyata/Nawa Jamil

Pada bab awal, penulis membawa kita kepada perjuangan Saidi sewaktu kecil di tengah diskriminasi orang-orang kampung dan penolakan ayahnya terhadap keadaan Saidi yang tumbuh sebagai seorang calabai. Saidi, tidak pernah sengaja bertingkah-laku dengan perawakan calabai, melainkan ruhnya sejak kecil hanya menyukai kegiatan-kegiatan yang seringkali dilakukan perempuan. 

Dalam novel ini, penulis menggambarkan bagaimana batin Saidi tersiksa oleh ejekan teman sekolah, ustaz yang menceramahi dirinya setiap khutbah Jum’at, juga ayahnya yang berusaha menjadikan Saidi laki-laki dengan tindak kekerasan. 

Saidi sebagai lelaki Bugis memutuskan untuk merantau tanpa bekal apapun, hanya sebuah pertanda lewat mimpi yang misterius. Saidi yang kala itu berusia 17 tahun berjalan kaki dari kampungnya di Kabupaten Bone ke Mallawa di Kabupaten Maros. Puluhan kilometer pada akhirnya mengantarkan Saidi ke Segeri di Pangkep, negeri para bissu. Bissu, seorang dengan kedudukan tinggi dalam adat masyarakat Bugis. Merekalah calabai yang menerima penghargaan di tengah-tengah masyarakat karena dianggap sebagai penghubung antara dewata dengan bumi manusia. 

Buku ini membawa para pembaca dalam mengenali budaya Segeri dan Bugis, kaitannya dengan kisah-kisah lama, serta upacara-upacara adat yang masih ada sampai hari ini. pembaca dibawa ke keseharian di Bola Arajang, rumah tempat penyimpanan benda-benda pusaka. Aktivitas para bissu, mulai dari rapat dan mengadakan persiapan acara-acara adat seperti mappalili atau appalili, yakni pesta sebelum dimulainya musim tanam padi, berharap berkah dari sang dewata agar panen para petani sukses dan berkah. Tidak hanya mappalili, upacara-upacara yang sarat akan budaya seperti menre’ bola baru, atau upacara saat pertama kali masuk rumah yang hendak ditinggali, upacara menunaikan hajat, serta upacara-upacara lainnya. 


Sekepul kemenyan dari pengarang/Nawa Jamil

Penulis melalui keseharian Saidi mengajak para pembaca tidak hanya berkenalan dengan budaya-budaya serta adat Bugis yang sarat akan nilai-nilai magis, tetapi juga sikap masyarakat umum terhadap kehadiran para bissu. Digambarkan bagaimana masyarakat-masyarakat yang hidup di sekitar Segeri maupun daerah-daerah lain di Sulawesi Selatan masih sangat memperhitungkan tanda-tanda alam maupun fenomena yang diartikan oleh para bissu. Namun penulis juga menceritakan perihal bagaimana masyarakat dengan identitas agama tertentu begitu mencekal aktivitas adat bissu yang dikaitkan dengan laknat Tuhan, karena tidak bersikap sesuai kodratnya. 

Tidak hanya terkait pro dan kontra bissu dan pelestarian adat Bugis, Saidi, Puang Malolo termuda (wakil pimpinan para bissu) dalam sejarah, tidak hanya berjuang mempertahankan adat Bugis ditengah pelarangan berbagai pihak-pihak tertentu, tetapi juga beliau dengan berani mulai mengenalkan tradisi Sulawesi Selatan ke luar pulau berkaki empat ini, sampai ke Pulau Jawa bahkan ke luar Indonesia. 

Satu hal yang menohok saya sepanjang tulisan dalam buku ini adalah tatkala Saidi bertemu dengan Kiai Kusen dan berdiskusi terkait hakikat seorang tubuh laki-laki dengan jiwa perempuan maupun sebaliknya. “Tidak melaknat naluri, melainkan perilaku”. Satu kalimat singkat itu, membawa penyadaran besar pada diri Saidi, dan sangat mungkin pada para pembaca lainnya. 

Secara garis besarnya, saya menikmati dan berterima kasih kepada penulisnya, Kak Pepi yang terpanggil untuk melanjutkan penulisan buku calabai ini setelah sempat terhenti selama hampir 10 tahun. Tentang sebuah pencarian jati diri seorang Saidi, buku ini membawa nilai-nilai adat Bugis, nilai-nilai sosial yang ada di dalam masyarakat, juga toleransi di tanah Sulawesi Selatan. tidak lupa pula, penggunaan dialog Bugis menjadikan buku ini begitu enak untuk dibaca, khususnya bagi orang-orang yang ingin mengenal kebudayaan Bugis di Sulawesi Selatan. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu
!

The post Sulawesi Selatan dan Bissu dalam Buku ‘Calabai’ appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sulawesi-selatan-dan-bissu-dalam-buku-calabai/feed/ 0 31644