review Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/review/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Fri, 03 Mar 2023 04:45:42 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 review Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/review/ 32 32 135956295 Ramen Shop: Identitas Diri dalam Semangkuk Makanan https://telusuri.id/ramen-shop-identitas-diri-dalam-semangkuk-makanan/ https://telusuri.id/ramen-shop-identitas-diri-dalam-semangkuk-makanan/#respond Fri, 03 Mar 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=37421 Ramen dan ba kut teh. Bagi Masato, dua makanan tersebut tidak bisa dilepaskan dari cerita hidupnya. Sang ibu suka memasakkan ba kut teh atau sup tulang iga babi di rumah sewaktu Masato kecil. Saat dewasa,...

The post Ramen Shop: Identitas Diri dalam Semangkuk Makanan appeared first on TelusuRI.

]]>
Ramen dan ba kut teh. Bagi Masato, dua makanan tersebut tidak bisa dilepaskan dari cerita hidupnya. Sang ibu suka memasakkan ba kut teh atau sup tulang iga babi di rumah sewaktu Masato kecil. Saat dewasa, kesibukannya tak lepas dari aktivitas memasak di dapur sebuah kedai ramen yang Masato kelola bersama ayah dan pamannya. Lebih dari sekadar masakan, ramen dan ba kut teh mampu membangkitkan kenangan Masato akan keluarga—ia, ayah, serta ibunya yang tiada karena sakit.

Hubungan Masato dengan ibunya dekat tetapi tak berlangsung lama. Ia meninggal saat Masato kecil. Relasinya dengan sang ayah, sebaliknya, dingin bagai es batu. Suatu saat, ayahnya meninggal mendadak. Alih-alih kembali bekerja di warung ramen, Masato justru pergi ke Singapura, negara asal ibunya untuk menemui sang paman, seorang pemasak yang pandai membuat ba kut teh. Masato ingin belajar cara membikin makanan itu sekaligus mengetahui lebih banyak tentang ibunya. Dari sang paman, Masato pun mengetahui kisah masa lalu ibu, nenek, dan ayahnya.

Ramen Shop
Masato bertemu dengan sang paman, seorang yang pandai memasak ba kut teh via chlotrudis.org

Perjalanan Masato dari Jepang ke Singapura tersebut menjadi cerita utama film Ramen Shop (2018) yang disutradarai Eric Khoo. Dalam film berdurasi 90 menit itu, Masato yang tak memiliki banyak informasi tentang keluarga ibunya mengandalkan bantuan seorang blogger kuliner asal Jepang yang tinggal di Singapura bernama Miki. Elemen makanan ditonjolkan sejak awal di film ini lewat footage semangkuk ramen. Unsur tersebut semakin kental ketika Masato di Singapura dan bertemu Miki. Sebagai seorang blogger, ia memiliki pengetahuan lebih tentang kuliner negara itu dibanding Masato. Miki banyak bercerita soal makanan Singapura, termasuk sejarah ba kut teh.

Adegan Masato dengan sang paman di film ini juga membahas tentang ba kut teh. Ba kut teh yang memiliki arti “daging, tulang, teh” merupakan makanan yang populer di Singapura serta Malaysia. Hidangan tulang iga babi yang direbus berjam-jam dalam kaldu berisikan rempah dan herba itu menjadi sajian yang sedap disantap apalagi saat dingin. Selain ba kut teh, masakan yang turut ditampilkan dalam film ini adalah ramen. Ramen awalnya berakar dari hidangan mi asal China dan kini populer di Jepang. Di luar Jepang, ramen banyak disukai orang sehingga kedai ramen banyak berdiri.

Ramen Shop
Masato dan neneknya via berlinale.de

Hadirnya kisah asal-usul kuliner dua negara lantas menjadikan Ramen Shop sebagai film yang membahas tidak hanya soal makanan dan kenangan keluarga tetapi juga identitas seseorang. Ramen serta ba kut teh membangkitkan memori sekaligus menggambarkan jati diri Masato. 

Hal ini diperlihatkan sutradara secara lebih eksplisit lewat adegan Miki dan Masato ketika mereka tengah menyantap kari kepala ikan. Di scene ini, Miki menganggap Masato layaknya mi ramen. Makanan tersebut merupakan hasil perpaduan dua budaya, yakni China dan Jepang, yang kini digemari banyak orang. Bagian dari dua budaya, menurut Miki, juga mengalir dalam darah Masato yang memiliki ayah Jepang dan ibu beretnis China asal Singapura.

Perkara identitas diri tersebut berusaha dikuatkan pula lewat adegan-adegan film yang menyinggung soal pendudukan Jepang di Singapura tahun 1942 hingga 1945. Selama di Singapura, di samping menemui pamannya dan belajar memasak ba kut teh, Masato juga mengunjungi pameran tentang Syonan di sebuah galeri. Syonan atau Syonan-to merupakan nama Singapura selama pendudukan Jepang yang berarti “Cahaya dari Pulau Selatan”. 

Di era tersebut, operasi untuk menghilangkan elemen masyarakat yang dianggap anti-Jepang dilakukan lewat sistem Sook Ching atau “pembersihan melalui pemurnian”. Sasarannya paling besar dialami komunitas warga China di Singapura. Lebih dari 25.000 orang yang didominasi laki-laki berusia 18 hingga 50 tahun, menjadi korban sistem ini.

Masato mengetahui keluarga ibunya memiliki pengalaman yang bersinggungan dengan sejarah pendudukan Jepang di Singapura berkat sang paman. Kisahnya bahkan mempengaruhi hubungan antara ibunya, nenek, dan ayahnya. Lewat makanan serta sejarah, Ramen Shop memperlihatkan sosok Masato yang berusaha memahami dan mengartikan kembali identitas dirinya. Upaya tersebut tidak sia-sia. Di akhir film, Masato berhasil menggabungkan dua masakan yang menggambarkan jati dirinya, seorang anak keturunan Jepang dan China Singapura.

Ramen Shop
Para pemain Ramen Shop via exotic-cinema.org

Di samping Ramen Shop, film Eric Khoo sebelumnya juga menampilkan elemen makanan meski porsi ceritanya berbeda-beda antara satu film dengan yang lain. Di Wanton Mee (2015), misalnya, berbagai macam kuliner Singapura dibahas dengan gaya docufiction oleh Khoo. Makanan juga muncul di Mee Pok Man (1995) dan Be With Me (2005) walau tak sedalam di dua film yang disebutkan sebelumnya. 

Makanan di Ramen Shop yang diceritakan agak detail pada akhirnya menjadi hal yang membuat film ini menarik sebab alur cerita yang disajikan cukup mudah ditebak. Interaksi antara Miki sebagai food blogger dan si pembuat ramen Masato mampu menghidupkan obrolan di antara keduanya. Bagi mereka yang tak familiar dengan kuliner Singapura, Ramen Shop dapat memberikan sedikit penjelasan lewat cerita yang dibalut dengan drama keluarga sang tokoh utama. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Ramen Shop: Identitas Diri dalam Semangkuk Makanan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/ramen-shop-identitas-diri-dalam-semangkuk-makanan/feed/ 0 37421
Membaca Indonesia dalam Lara Tawa Nusantara https://telusuri.id/membaca-indonesia-dalam-lara-tawa-nusantara/ https://telusuri.id/membaca-indonesia-dalam-lara-tawa-nusantara/#respond Thu, 16 Feb 2023 04:00:49 +0000 https://telusuri.id/?p=37229 Nama Fatris MF, seorang penulis cerita perjalanan dari Sumatera sana, sudah cukup sering kudengar. Sampai pertemuan virtual dalam kelas Sekolah TelusuRI bersama Fatris, barulah terasa ketertarikan untuk membaca karya-karyanya. Banyak hal yang menarik tentang sosok...

The post Membaca Indonesia dalam Lara Tawa Nusantara appeared first on TelusuRI.

]]>
Nama Fatris MF, seorang penulis cerita perjalanan dari Sumatera sana, sudah cukup sering kudengar. Sampai pertemuan virtual dalam kelas Sekolah TelusuRI bersama Fatris, barulah terasa ketertarikan untuk membaca karya-karyanya. Banyak hal yang menarik tentang sosok Fatris, bagaimana sarkasmenya tentang kota besar Indonesia yang selalu ia sebut “Jakarta”. Dari kelas beberapa waktu lalu, saya tertarik dengan satu perkataan Fatris tentang objektivitas seorang penulis dalam tulisannya, sama seperti apa yang diamini Johnny Harris, seorang jurnalis yang pernah menulis untuk The New York Times. Dalam salah satu videonya yang berjudul ‘7 Things I’ve Learned About Journalism in 7 Years of Being Journalist’

“Tidak benar-benar ada tulisan yang objektif. Penulis perlu mengambil sudut pandangnya dalam menyusun sebuah tulisan. Yang bisa dilakukan adalah menyediakan informasi yang berimbang.” 

Lawa Tawa Nusantara

Saya membaca karya Fatris MF berjudul Lara Tawa Nusantara, sebab saya tahu, tulisan perjalanan setebal 337 halaman ini tidak seperti majalah pariwisata yang lebih banyak membahas keelokan alam Nusantara. 

Sambil menikmati teh lemon dingin dan roti bakar jadul di Centeng Mok—sebuah kafe bertema tempo dulu di Jalan Kijang Kota Makassar—saya menyelesaikan tulisan terakhir dari buku ini ‘Bambu, Perang, dan Kebahagiaan’. Lara Tawa Nusantara merupakan kumpulan catatan perjalanan Fatris ke berbagai daerah di Indonesia dalam beberapa tahun. Dalam buku ini, Fatris membawa pembacanya menyusuri berbagai daerah, mulai dari Kalimantan, Sulawesi, NTB, Sumatera, dan lainnya. 

Meskipun blurb buku ini tidak cukup menarik, tetapi percayalah, Lawa Tawa Nusantara menyajikan cerita perjalanan yang dalam, tidak melulu tentang eksotisme dan bentuk kekaguman akan alam Indonesia yang juga sama-sama dikagumi orang-orang kompeni di masa lalu.

Saya sangat terkesan dengan cerita pembuka dari Kalimantan, beragam daerah yang ia kunjungi dalam menceritakan tarian kematian dan perjalanannya ke Kampung Lopus, Lamandau, Kalimantan Tengah. Banyak deskripsi yang cukup detail serta selingan sejarah dan sumber masa lalu yang menulis tentang daerah maupun kebudayaan yang ada di sini. 

Dari Kampung Lopus di Lamandau, Fatris membawa pembacanya menelisik cerita menarik dari senjata tradisional Dayak yang sarat akan ilmu hitamnya, mandau. Satu tulisan penuh berjudul ‘Pertarungan Terakhir’ menceritakan sejarah salah satu sosok termasyhur di Camp Leakey, Kusasi. Sosok yang mentereng, terkuat di kawanannya, bahkan sosok yang telah terkenal sampai ke berbagai dunia, bahkan dikunjungi si cantik Julia Roberts dari Hollywood. 

Dua cerita menceritakan pedalaman Kalimantan, Fatris lalu mengajak para pembacanya menyusuri tanah Sulawesi dalam beberapa ceritanya. Ia menceritakan tentang kehebatan kapal phinisi dan para pelaut ulung dari tanah Bulukumba, cerita perihal upacara pemakaman menyenangkan di Tana Toraja, tanah Mandar, dan Mamasa yang jarang diceritakan. 

Di Mamasa, Fatris tidak hanya bercerita tentang bagaimana keindahan alamnya. Lebih dalam, tulisan Fatris menelaah cara hidup dan bagaimana masyarakat desa sangat menghargai alam mereka. 

“…Ajaran ini penganjur untuk adil, melayani sesama, hidup dalam keseimbangan. Menebang kayu tidak boleh sembarangan, mesti diritualkan dulu, supaya “roh” kayu merelakan dirinya untuk diambil.” 

Setiap tulisan dalam buku ini disertai delapan sampai belasan foto yang melengkapinya pada akhir cerita, serta deskripsi pada halaman terakhir. Setiap hal tentang buku ini sangat menyenangkan, termasuk foto-foto yang diambil dengan professional, seolah setiap objek dalam fotonya mampu bercerita tidak kalah dengan deretan tulisan-tulisannya.

Saya sangat menikmati tulisan tentang Hidup Mati Toraja sebanyak 12 halaman lebih. Secara pribadi, daerah ini telah menarik saya kembali ke sini beberapa kali. Berbeda dengan tulisan-tulisan pariwisata yang menonjolkan keindahan alam dan eksotisme rambu solo, upacara penguburan super mahal di daerah ini, tulisan Hidup Mati Toraja membawa pembacanya ke lorong-lorong terkecil pariwisata Toraja. Tidak ada menyusuri kuburan batu Londa, atau melihat sunset di Lolai, tulisan Fatris justru membawa pembacanya ke pasar hewan, daerah-daerah minim turis tempat warga lokal menghabiskan kesehariannya, juga menyingkap sedikit fenomena di balik upacara Kematian Rambu Solo, prosesi adat yang memakan ratusan hingga milyaran rupiah. 

Rangkaian kata dalam buku ini, tidak sampai setengahnya menceritakan keindahan alam. Lebih banyak, tulisan-tulisannya bercerita lebih jauh: tentang manusia-manusia, kebudayaan di sana, persoalan-persoalan pelik, dan hal-hal dekat yang jarang ditemui para pelancong mainstream. Sama seperti tulisan Fatris tentang Bali, sekeping tanah “surga” yang dipenuhi turis-turis berkulit pucat. Sama sekali tidak membahas keindahan dan pariwisatanya, Fatris justru menceritakan Bali dengan beragam keluhan: jauh berbeda dari Bali yang pernah didatanginya, kesejahteraan hanya dirasakan pihak-pihak tertentu, dan masyarakat lokal yang banyak menawarkan tanahnya untuk dijual. 

Kembali ke pernyataan awal, buku ini bukan sekedar catatan perjalanan. Fatris tidak hanya menceritakan tawa, melainkan lara yang ada di Nusantara. Tak hanya alam, tetapi juga keseharian budaya masyarakatnya. Sebuah buku yang sangat cocok untuk kamu yang mencari sudut pandang berbeda, dan mungkin saja setelah membaca lembar demi lembar buku ini, kamu bisa menciptakan sebuah perjalanan yang lebih dekat dengan keseharian masyarakat, atau bahkan membaca karya-karya Fatris MF lainnya seperti Hikayat Sumatra, Merobek Sumatra, Kabar dari Timur, dan Jurnal Banda.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Membaca Indonesia dalam Lara Tawa Nusantara appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/membaca-indonesia-dalam-lara-tawa-nusantara/feed/ 0 37229
Lalab, Budaya Kuliner Sunda: Mengeksplorasi Kekayaan Vegetasi https://telusuri.id/lalab-budaya-kuliner-sunda-mengeksplorasi-kekayaan-vegetasi/ https://telusuri.id/lalab-budaya-kuliner-sunda-mengeksplorasi-kekayaan-vegetasi/#respond Wed, 15 Feb 2023 04:00:13 +0000 https://telusuri.id/?p=37231 Dalam khazanah kuliner Indonesia, budaya kuliner masyarakat Sunda telah lama identik dengan kebiasaan melalab. Jejak-jejak historis-arkeologis itu dapat dibaca di buku Khazanah Lalab, Rujak, Sambal, dan Tékték Jilid 1 anggitan Dr. Riadi Darwis. Tradisi makan...

The post Lalab, Budaya Kuliner Sunda: Mengeksplorasi Kekayaan Vegetasi appeared first on TelusuRI.

]]>
Dalam khazanah kuliner Indonesia, budaya kuliner masyarakat Sunda telah lama identik dengan kebiasaan melalab. Jejak-jejak historis-arkeologis itu dapat dibaca di buku Khazanah Lalab, Rujak, Sambal, dan Tékték Jilid 1 anggitan Dr. Riadi Darwis.

Tradisi makan lalab sebagaimana yang tertuang pada sejumlah prasasti dan naskah Sunda kuno, menurut Riadi Darwis, menegaskan bahwa budaya mengonsumsi lalab sudah cukup tua. Bisa jadi, umurnya sejak manusia hadir ke muka bumi.

Riadi Darwis lalu mengingatkan cerita dalam Alquran tentang kisah manusia pertama, Nabi Adam dan Siti Hawa, ketika tergoda ingin memetik dan memakan buah pohon khuldi karena terkena bujuk rayu iblis, hingga akhirnya mereka diturunkan dari surga ke bumi. 

Buku Khazanah Lalab, Rujak, Sambal, dan Tékték
Buku Khazanah Lalab, Rujak, Sambal, dan Tékték Jilid 2 diterbitkan oleh UPI Press, Bandung/Badiatul Muchlisin Asti

Lalab dan Citra Budaya Makan Sunda

Sejarawan kuliner Indonesia, Fadly Rahman, dalam artikel berjudul Sunda dan Budaya Lalaban: Melacak Masa Lalu Budaya Makan Sunda (Metahumaniora, nomor 3, Desember 2018) meneguhkan tradisi kuliner lalab pada masyarakat Sunda yang telah berlangsung sejak masa kuno berdasarkan telaah terhadap bukti tinggalan tertulis  dalam prasasti dan naskah.  

Menurut Fadly Rahman, tradisi lalab selaras dengan lingkungan alam Sunda berupa citra tanah suburnya yang mendukung pertumbuhan banyak jenis tanaman bermanfaat untuk bahan lalab. Tradisi itu kemudian membentuk keunikan budaya makan Sunda jika dibandingkan dengan budaya makan di wilayah lainnya di Indonesia.

Kedatangan orang-orang Eropa mempengaruhi kebiasaan makan orang Indonesia. Di antaranya dengan meningkatnya tingkat konsumsi daging. Hal itu seiring dengan pembudidayaan hewan ternak pada abad ke-19 di Jawa dan berbagai wilayah lainnya. 

Namun, kecenderungan itu tidak menampak di kawasan Jawa Barat. Populasi ternak di Jawa Barat ternyata tercatat rendah. Kondisi ini turut berpengaruh pada rendahnya konsumsi protein hewani di kalangan masyarakat Sunda. 

Hingga awal abad ke-20, menurut Fadly Rahman, kebiasaan makan orang Sunda ternyata tetap diidentikkan lekat dengan konsumsi nabati daripada hewani. Setidaknya dalam beberapa riset botani yang dilakukan sarjana kolonial, istilah groentengerechten (makanan sayuran) acap menyebut kata lălăb (sic.) sebagai makanan Soendaneezen (orang Sunda).

Sampai saat ini, lalab boleh dibilang merupakan budaya kuliner yang mencirikan orang Sunda. Sehingga ada yang berkelakar bahwa orang Sunda ‘suka daun muda’—yang dimaksud tentu adalah lalab yang sebagian besar merupakan dedaunan muda.

Kekayaan Vegetasi

Murdijati Gardjito, dkk dalam buku Kuliner Sunda, Nikmat Sedapnya Melegenda (2019) menyatakan, orang Sunda dapat memilah dan memilih daun yang akan dijadikan lalab. Mereka mendapatkan pengetahuan tentang tanaman secara turun-temurun dari orang tuanya. Sejak kecil mereka melihat orang tua dan masyarakat sekitar memakan jenis tumbuhan tertentu sebagai lalab. Kebiasaan ini mendorong masyarakat di sana memanfaatkan pekarangan dan halaman rumah mereka untuk menanam sayuran yang akan dijadikan lalab.

Bagi masyarakat Indonesia pada umumnya, jenis sayuran yang digunakan sebagai lalab antara lain: selada, kacang panjang, mentimun, tomat, daun pepaya, daun singkong, dan daun kemangi. Sedangkan bagi masyarakat Sunda, selain jenis yang sudah umum dikonsumsi tersebut, mereka juga mengonsumsi jenis tanaman lain seperti leunca, kenikir, buah nangka, serta honje atau bunga kecombrang.

Bahkan, beberapa jenis tanaman yang oleh sebagian orang dianggap sebagai hama yang tidak bermanfaat, oleh orang Sunda dapat dinikmati menjadi sajian yang lezat. Selain itu, berbagai jenis umbi-umbian seperti kunyit dan kencur, juga dapat dinikmati sebagai lalab.

  • Buku Khazanah Lalab, Rujak, Sambal, dan Tékték
  • Buku Khazanah Lalab, Rujak, Sambal, dan Tékték
  • Buku Khazanah Lalab, Rujak, Sambal, dan Tékték

Jenis lalaban dalam tradisi makan orang Sunda memang ada banyak jumlahnya. Mengutip penelitian Prof. Unus Suriawiria, sampai tahun 2000 ditemukan tidak kurang dari 200 jenis tanaman yang bisa dijadikan lalab. Namun riset terbaru Dr. Riadi Darwis yang dituangkan dalam buku Khazanah Lalab, Rujak, Sambal, dan Tékték Jilid 2 cukup mencengangkan, karena ia telah berhasil mendata tidak kurang 718 jenis tanaman lalab yang masih hidup dan tumbuh subur di kawasan budaya Sunda.

Riset dilakukan oleh Riadi Darwis untuk membuktikan kelangsungan keberadaan lalaban pada masa-masa klasik yang telah dirisetnya. Untuk pembuktian itu, Riadi Darwis melakukan sejumlah observasi ke sejumlah daerah yang ada di kawasan budaya Sunda. Di antaranya yang paling banyak ditemukan varian lalab-nya serta diperjualbelikan di lingkungan masyarakat adalah di daerah Kabupaten Bandung, Kota Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kota Cimahi, Kabupaten Garut, Kabupaten Ciamis, Kabupaten Tasikmalaya, Kota Tasikmalaya, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Sukabumi, Kota Sukabumi, Kabupaten Bogor, dan Kota Bogor.

Menurut Riadi Darwis, sangat bisa jadi seluruh kabupaten dan kota tersebut adalah representasi daerah pegunungan, penghasil pertanian dan perkebunan. Tidak mengherankan apabila jumlah varian tanaman lalab akan dengan sangat mudah ditemukan.

Dari 718 jenis tanaman lalab yang didata Riadi Darwis, ada beberapa yang masih menggunakan istilah Latin ataupun bahasa daerah lain karena belum diketahui persamaan bahasa asli daerahnya. Misalnya tanaman bernama Latin Albelmoschus Manihot (L.) Medic (forma anisodactylus, Bakh) yang dikonsumsi sebagai lalab pada bagian daunnya. Ada juga tanaman Acacia rugata (L.) Merr yang dikonsumsi sebagai lalab bagian batangnya. Lalu ada Alocasia culculata Schott di mana yang dikonsumsi sebagai lalab adalah bagian umbinya. Dan banyak lagi, bisa dibaca di buku ini.Kekayaan vegetasi tanaman lalab di kawasan Sunda yang telah didata secara baik oleh Riadi Darwis bisa menjadi referensi dan dokumentasi penting serta bahan kajian lebih lanjut bagi upaya pengembangan gastronomi Sunda di masa-masa mendatang. Buku ini adalah sumbangan penting bagi dunia gastronomi Sunda khususnya, juga bagi dunia gastronomi Indonesia pada umumnya.  


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Lalab, Budaya Kuliner Sunda: Mengeksplorasi Kekayaan Vegetasi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/lalab-budaya-kuliner-sunda-mengeksplorasi-kekayaan-vegetasi/feed/ 0 37231
Lalab, Budaya Kuliner Sunda: Melacak Jejak Historis https://telusuri.id/lalab-budaya-kuliner-sunda-melacak-jejak-historis/ https://telusuri.id/lalab-budaya-kuliner-sunda-melacak-jejak-historis/#respond Tue, 14 Feb 2023 04:00:13 +0000 https://telusuri.id/?p=37230 Lalab sudah menjadi bagian dari budaya kuliner masyarakat Indonesia. Menyantap nasi plus ayam goreng, misalnya, serasa kurang sedap bila tak dilengkapi dengan lalab dan sambal. Mentimun, selada, kubis, dan daun kemangi, merupakan contoh lalaban yang...

The post Lalab, Budaya Kuliner Sunda: Melacak Jejak Historis appeared first on TelusuRI.

]]>
Lalab sudah menjadi bagian dari budaya kuliner masyarakat Indonesia. Menyantap nasi plus ayam goreng, misalnya, serasa kurang sedap bila tak dilengkapi dengan lalab dan sambal. Mentimun, selada, kubis, dan daun kemangi, merupakan contoh lalaban yang umum dijumpai  sebagai pelengkap makan.

Meski melalab (mengonsumsi lalab) sudah menjadi budaya komunal masyarakat Indonesia, namun tatar Sunda merupakan daerah yang disebut-sebut sebagai wilayah dengan warga yang memiliki budaya lalab paling kental. Bahkan budaya lalab sangat identik dengan wilayah yang juga dikenal dengan nama Priangan atau Parahyangan itu. 

Sebuah buku bertajuk Khazanah Lalab, Rujak, Sambal, dan Tékték anggitan Dr. Riadi Darwis, M.Pd.—seorang dosen di Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung—sangat menarik untuk disimak karena (salah satunya) mengangkat budaya kuliner lalab di kalangan masyarakat Sunda. Buku ini diterbitkan oleh penerbit UPI Press, Bandung, cetakan pertama Maret 2022.

Buku Khazanah Lalab, Rujak, Sambal, dan Tékték
Buku Khazanah Lalab, Rujak, Sambal, dan Tékték Jilid 1 karya Dr. Riadi Darwis diterbitkan oleh UPI Press, Bandung/Badiatul Muchlisin Asti

Sebelumnya, Riadi Darwis juga telah menerbitkan dua buku seri gastronomi tradisional Sunda, yaitu Khazanah Kuliner Keraton Kesultanan Cirebon (Selaksa Media, Agustus 2019) dan Khazanah Kuliner Kabuyutan Galuh Klasik (UPI Press, September 2020). Boleh dibilang, buku Khazanah Lalab, Rujak, Sambal, dan Tékték ini adalah buku seri gastronomi tradisional Sunda ketiga karya Riadi Darwis. 

Riadi Darwis, penganggit buku ini, menyusun buku ini dengan sangat serius. Ia mengaku melakukan riset untuk buku ini selama 31 tahun, baik riset lapangan maupun riset pustaka. Hasilnya sebuah buku yang sangat tebal, sehingga oleh penerbit “terpaksa” dibagi menjadi dua jilid. Jilid pertama setebal (xlix +) 734 halaman dan jilid kedua setebal (lvi +) 336 halaman.

Di buku jilid pertama ini, Riadi Darwis mengajak pembaca berkelana melakukan pelacakan jejak historis–arkeologis lalab pada masa lalu, yakni melalui pembacaan terhadap sejumlah prasasti dan naskah Sunda kuno yang dibagi ke dalam dua bab (bab III dan IV). Dua bab sebelumnya (bab I dan II) berisi pendahuluan dan pengenalan lalab, rujak, sambal, dan tékték dalam budaya kuliner Sunda.

Sejatinya buku ini memang membedah empat kelompok varian kuliner khas Sunda meliputi lalab, rujak, sambal, dan tékték. Namun nampaknya dari keempat varian itu, lalab-lah yang lebih populer di blantika kuliner Indonesia dan identik dengan masyarakat Sunda—dibanding varian lainnya.     

Lalab sendiri, mengutip Kamoes SoendaIndonesia anggitan R. Satjadibrata (1950) didefinisikan sebagai, “Lalab, sajoeran (doen-daoenan at. boeah-boeahan) jang dimakan mentah sambil makan nasi; dilalab: dimakan mentah (sajoeran); ngalalab: hanya makan lalab sadja (bertapa); lalab-roembah: dikatakan kepada barang-barang yang tidak berharga.”

Ensiklopedi Sunda: Alam, Manusia, dan Budaya anggitan Ajib Rosidi (2000) mendefinisikan lalab sebagai “Tanaman yang dimakan sebagai teman nasi, disebut juga coel sambel, karena makan lalab hampir harus disertai sambal. Tanaman lalab ada beberapa jenis. Ada yang dipelihara, ada pula yang tumbuh liar; ada yang dimakan pucuknya, ada pula yang dimakan buahnya atau umbinya; ada yang tumbuh sebagai pohon, ada pula yang merupakan tanaman perdu; ada yang dimakan mentah-mentah, ada pula yang harus dimasak lebih dulu, biasanya direbus atau dikukus.”

Soal penulisan kelompok varian kuliner di buku ini, Riadi Darwis memilih mempertahankan penamaan atau ejaan dalam konteks asli budaya Sunda. Lalap (pakai p sebagaimana dalam KBBI V), ditulis lalab (pakai b) sesuai tata penulisan dalam bahasa Sunda. Alasannya adalah ingin lebih mengakrabkan hubungan emosional pada masyarakat Sunda sekaligus menandakan penciri asli yang melekat pada budaya Sunda. 

12 Prasasti dan 18 Naskah Sunda Kuno

Ada 12 prasasti yang diriset oleh Riadi Darwis, meliputi Prasasti Panggumulan A dan B, Prasasti Gulung-gulung, Prasasti Taji, Prasasti Watukura I, Prasasti Mantyasih I, Prasasti Mantyasih II, Prasasti Rukam, Prasasti Lintakan, Prasasti Sangguran, Prasasti jeru-jeru, Prasasti Alasantan, dan Prasasti Paradah. Ke-12 prasasti itu, oleh Riadi Darwis, diriset lalu dipetakan sebaran kosakata yang terkait dengan kegastronomian yang menggambarkan budaya kuliner yang berkembang pada masa itu—sesuai zamannya. 

Berdasarkan pemetaan kosa kata pada 12 prasasti itu, ditemukan 34 kosa kata atau frasa yang menandakan tradisi masyarakat Nusantara yang sudah sejak lama mengenal pengonsumsian lalab—mentah maupun matang, rujak, dan tékték. 

Dan terkait sejumlah prasati yang diriset berasal dari daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur, misalnya Prasasti Taji ditemukan di daerah Ponorogo, Riadi Darwis menyebut ada kemungkinan silang budaya terjadi pada masa lalu, berdasarkan bukti adanya hubungan kekerabatan leluhur kerajaan besar di Jawa yang berasal dari wilayah kerajaan di Sunda. Oleh karenanya, tidak mengherankan apabila dalam naskah prasasti yang diriset, meskipun dari daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur, namun memiliki sisi kesamaan pada kosakata-kosakata tertentu.

Buku Khazanah Lalab, Rujak, Sambal, dan Tékték
Ada 12 prasasti yang diriset oleh Riadi Darwis untuk mendapatkan jejak lalap di masa klasik/Badiatul Muchlisin Asti

Adapun 18 naskah Sunda Kuno yang diriset oleh Riadi Darwis berasal dari naskah transkripsi wawacan dan naskah pantun Sunda. Antara lain naskah Sanghyang Swawarcinta, Para Putera Rama dan Rawana, Pendakian Sri Ajnyana,  Kisah Bujanga Manik: Jejak Langkah Peziarah, Swaka Darma, Babad Panjalu, Babad Galuh Imbanagara, dan Pantun SriSadana dan Sulandjana.

Dari setiap naskah itu disigi dan diinventarisasi kosakata gastronomi, baik yang terkait dengan lalab, rujak, sambal, dan tékték, maupun kosakata dalam konteks dunia kuliner pada umumnya. Misalnya pada tilikan naskah Sanghyang Swawarcinta, Riadi Darwis memperoleh data, khususnya tanaman lalab, di antaranya ilalang, kelapa, rumput palias, dan rebung bambu.

Pada naskah itu juga, Riadi Darwis menemukan aneka kosakata terkait dengan konteks kuliner dalam kehidupan sosial maupun keagamaan kala itu. Kosakata itu dapat dikategorikan ke dalam bahan baku pangan, bahan baku papan, jenis sesajian untuk upacara keagamaan, teknik memasak, alat memasak, tempat, profesi, dan kata kerja lainnya. 

“Kaya Data”, Antara Kelebihan dan Kekurangan

Sebagai buku hasil riset, buku ini tampil dengan nuansa akademis yang lekat. Sangat kaya data. Daftar kosakata gastronomi  yang ditampilkan dari setiap prasasti atau teks naskah yang diriset, tidak hanya yang terkait dengan empat varian makanan yang menjadi tema sentral buku ini, melainkan juga kosa kata terkait dengan konteks kuliner secara umum.

Data yang sangat kaya di satu sisi memang merupakan kelebihan karena pembaca bisa mencecap lebih banyak “fakta-fakta kegastronomian” yang terjadi di masa lalu lewat buku ini. Namun, data yang “sangat kaya” itu sekaligus juga bisa menjadi kelemahan karena substansi dan pokok tema yang diangkat menjadi kurang bisa cepat diakses oleh pembaca. 

Apalagi kekayaan data yang ditampilkan tidak diimbangi dengan analisa yang cukup memadai atas setiap prasasti dan naskah Sunda kuno yang diriset. Sehingga pembaca seringkali harus melakukan semacam “dialektika dan interpretasi sendiri” atas data-data yang ditampilkan “apa adanya” oleh penulis.

  • Buku Khazanah Lalab, Rujak, Sambal, dan Tékték
  • Buku Khazanah Lalab, Rujak, Sambal, dan Tékték

Bila merujuk pada dua buku seri gastronomi tradisional Sunda karya Riadi Darwis sebelumnya, buku ini pun sepertinya bukanlah sejenis “buku sejarah kuliner”  yang disajikan secara populer dengan gaya bahasa yang juga populer—sehingga mudah dinikmati dan dipahami oleh pembaca umum. Alih-alih kekayaan data dan gaya penyajiannya lebih menunjukkan buku ini sebagai buku akademis dan referensial.    

Terlepas dari itu, buku ini sangat menarik untuk dibaca dan didalami oleh siapapun yang meminati kajian (sejarah) kuliner tradisional Nusantara, terutama kuliner tradisional Sunda. Meski untuk membacanya, diperlukan kesabaran dan ketekunan tersendiri—sebagaimana penganggit buku ini yang sabar dan tekun melakukan riset dan menuliskannya menjadi buku tebal ini.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Lalab, Budaya Kuliner Sunda: Melacak Jejak Historis appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/lalab-budaya-kuliner-sunda-melacak-jejak-historis/feed/ 0 37230
Tracks: Perjalanan Ribuan Kilometer Si Camel Lady https://telusuri.id/tracks-perjalanan-ribuan-kilometer-si-camel-lady/ https://telusuri.id/tracks-perjalanan-ribuan-kilometer-si-camel-lady/#comments Sat, 11 Feb 2023 04:00:07 +0000 https://telusuri.id/?p=37227 Robyn Davidson dijuluki “camel lady” waktu ia muda. Pada usia 27 tahun, dia berjalan kaki sejauh 2.700 km melintasi padang pasir di Australia bagian barat bersama empat ekor unta dan seekor anjing. Unta-unta tersebut dilatih...

The post Tracks: Perjalanan Ribuan Kilometer Si Camel Lady appeared first on TelusuRI.

]]>
Robyn Davidson dijuluki “camel lady” waktu ia muda. Pada usia 27 tahun, dia berjalan kaki sejauh 2.700 km melintasi padang pasir di Australia bagian barat bersama empat ekor unta dan seekor anjing. Unta-unta tersebut dilatih Robyn agar bisa membawa barang yang ia butuhkan. 

Dia merasa lelah dengan kehidupan di kota yang terus berulang. Begitu juga muak pada sikap gender, kelas, dan generasi dirinya yang manja serta seenaknya sendiri. Robyn pun melakukan perjalanan itu, dari Kota Alice Springs ke Samudra Hindia, selama sembilan bulan di tahun 1977. Trip tersebut mendapat dana dari National Geographic berkat saran kawan temannya bernama Rick Smolan. Rick lantas ditugaskan memotret Robyn untuk majalah tersebut. Meski awalnya enggan, ia perlahan membangun hubungan dengan fotografer tersebut.

Robyn lalu menulis sebuah buku memoar tentang pengalamannya di tahun 1980. Akan tetapi, baru 33 tahun kemudian kisah perjalanan itu diangkat ke dalam film berjudul Tracks (2013). Dalam film buatan sutradara John Curran tersebut Robyn diperankan oleh aktris Mia Wasikowska.

  • Tracks Camel Lady
  • Tracks Camel Lady

Film berdurasi hampir dua jam itu menceritakan sosok Robyn yang menyukai gurun pasir dan ingin menjelajahinya bersama seekor anjing bernama Diggity. Ia memilih untuk tak ditemani siapapun kecuali terpaksa. Konsistensi Robyn melakukan perjalanan ribuan kilometer itu sendirian ditampilkan dengan jelas di adegan ketika ia tak mau Rick hadir empat hingga lima kali buat memotret. “Dua atau tiga kali saja. Dua atau tiga kali,” katanya dengan tegas. Di adegan lain, Robyn juga menolak ditemani tetua komunitas Aborigin dan memutuskan untuk melanjutkan perjalanan seorang diri.

Karakter Robyn yang teguh itu diperankan cukup baik oleh Mia Wasikowska. Mia berhasil menampilkan Robyn, seorang perempuan usia 20-an tahun yang pekerja keras, agak galak, dan berkemauan kuat. Di sisi lain, Mia juga mampu menunjukkan sisi rapuh Robyn yang kerap diusik masa lalu, termasuk ketika ia menangis di pelukan Rick sebab merasa sendirian usai ditinggal Diggity.

Gara-gara kemampuan akting Mia, ditambah original score serta pengambilan gambar yang mendukung, kisah perjalanan solo Robyn yang tak jarang diwarnai dengan aktivitas yang berulang menarik buat ditonton. Kesendirian sang tokoh utama yang banyak disuguhkan tak membuat film ini menjadi monoton berkat tiga hal tadi. Ia justru jadi daya tarik utama yang mampu memunculkan rasa rindu akan perasaan percaya serta nyaman dengan diri sendiri.

  • Tracks Camel Lady
  • Tracks Camel Lady

Tak hanya soal Robyn semata, film Tracks juga menceritakan bagaimana dua orang yang memiliki kepribadian berbeda bertemu, berkenalan, lantas menjalin hubungan. Robyn mengenal Rick di perjalanan ini dan keduanya tetap berteman hingga sekarang. 

Adu akting Adam Driver sebagai Rick dan Mia Wasikowska pun mampu menggambarkan pertemanan mereka yang mulanya tak akrab lalu intim sejenak dan berakhir hanya sekadar kawan. Akan tetapi, ada sesuatu yang mengganjal di adegan ketika Robyn mencium Rick dan berhubungan fisik dengannya. Hal ini dikarenakan, sebelum kejadian itu, Robyn justru merasa sangat kesal sebab ia menganggap Rick mengganggu perjalanannya. Eskalasi perasaan juga tindakan yang terlampau cepat ini agak membingungkan sebab tidak ada alasan yang jelas kenapa Robyn melakukannya hal tersebut.

Di samping relasi dua orang di atas, interaksi Robyn dengan komunitas asli Australia dalam film turut menarik perhatian. Orang suku Aborigin serta penduduk keturunan Melanesia di Kepulauan Selat Torres telah hidup dan tinggal lebih dulu di benua itu dibandingkan bangsa kulit putih. Meski begitu, sejarah menunjukkan bahwa ada diskriminasi rasial yang terjadi setelah Australia menjadi salah satu negara koloni Inggris. Pembedaan perlakuan ini masih dirasakan sampai sekarang walau usaha untuk memperjuangkan hak komunitas asli negeri Kanguru itu juga telah dilakukan.

Dalam film Tracks, beberapa adegan menampilkan bagaimana sikap orang kulit putih, termasuk Robyn, terhadap penduduk dari komunitas asli Australia. Di menit-menit awal, misalnya, Robyn mengernyitkan wajah ketika seorang laki-laki berkulit putih memukul wanita Aborigin di tempat ia bekerja. Di adegan lain, Robyn dibuat kesal oleh kelakuan rombongan wisatawan yang bertindak tak sopan pada salah satu tetua suku Aborigin bernama Eddie.

Pandangan Robyn terhadap orang asli Australia pun dapat disimpulkan dari sikapnya di film ini. Di salah satu adegan, Robyn rela berjalan lebih jauh sebab jalur awal yang rencananya ia lewati melalui situs keramat yang tak memperbolehkan kehadiran perempuan. Di adegan lain, Robyn tak jadi menguliti kanguru yang mati karena ingat petuah Eddie. Alih-alih memandang berbeda, ia justru menganggap mereka sama dan menghormati aturan yang dibuat komunitas asli selama dirinya melakukan perjalanan. Trip ribuan kilometer yang dilakukan Robyn pun akhirnya tak hanya memanusiakan dirinya sendiri tetapi juga orang-orang yang ia temui.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Tracks: Perjalanan Ribuan Kilometer Si Camel Lady appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/tracks-perjalanan-ribuan-kilometer-si-camel-lady/feed/ 1 37227
Review Eiger Pulse Trail Run Women Series: Sepatu Versatile dengan Daya Tahan Maksimal https://telusuri.id/review-eiger-pulse-trail-run-women-series-sepatu-versatile-dengan-daya-tahan-maksimal/ https://telusuri.id/review-eiger-pulse-trail-run-women-series-sepatu-versatile-dengan-daya-tahan-maksimal/#respond Sat, 21 Aug 2021 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=30108 Sepatu versatile belakangan ini banyak digemari para pejalan. Daripada memilih antara sepatu lari atau sepatu gunung, kenapa tidak mendapatkan dua-duanya? Sepatu Eiger Pulse Trail Run rupanya ingin menjawab kebutuhan akan keduanya, ringan dan kuat dalam...

The post Review Eiger Pulse Trail Run Women Series: Sepatu Versatile dengan Daya Tahan Maksimal appeared first on TelusuRI.

]]>
Sepatu versatile belakangan ini banyak digemari para pejalan. Daripada memilih antara sepatu lari atau sepatu gunung, kenapa tidak mendapatkan dua-duanya? Sepatu Eiger Pulse Trail Run rupanya ingin menjawab kebutuhan akan keduanya, ringan dan kuat dalam segala medan. Berdasarkan klaim Eiger, sepatu ini dilengkapi stabilizer chassis yang mampu mencegah keseleo saat berlari. Benarkah demikian? Produk yang diulas kali ini merupakan Eiger Pulse Trail Run women series bertipe low cut shoes dengan ukuran 40 dan warna pink.

Material pembentuk sepatu ini adalah ripstop woven fabric, polyester mesh, EVA, dan Vibram XS trek compound. Ripstop woven fabric terbuat dari nilon dengan teknik penguat khusus yang bisa menahan sobekan. Polyester mesh adalah pelapis anti air yang terbuat dari benang polyester. EVA midsole diklaim memberikan kenyaman pada telapak kaki untuk menapak dengan material yang breathable. Sedangkan outsolenya menggunakan merek Vibram seri XS trek compound.

Sepatu ini menggunakan salah satu outsole terbaik di dunia, Vibram seri XS trek compound, sehingga sangat cocok digunakan untuk kegiatan outdoor karena lentur dan sangat kuat ketahanan. Selain itu, daya cengkramnya yang mampu menahan ketika berjalan dengan bidang yang cukup miring. Apabila digunakan di medan yang berbatu sole ini dapat diandalkan karena tidak membuat kaki terasa mengganjal dan tidak selip. Outsole ini juga masih nyaman untuk dipakai di medan yang lembab dan sedikit berair karena tidak mudah menyerap air, meskipun bila dipakai saat hujan akan terasa sedikit lembab, tapi tidak membuat kaki sampai menjadi basah.

Jika dilihat bagian midsole, terlihat tipis pada bagian tumit. Ketika digunakan sangat lentur akan tetapi meskipun namanya Pulse Train Run, menurut saya sepatu ini lebih cocok digunakan untuk hiking ketimbang dipakai untuk running. Midsole pada sepatu ini pun tidak mudah rusak atau “retak” seperti sepatu pada umumnya yang sering digunakan dan menyebabkan sole bagian tengah terbelah dua karena sole yang sangat lentur.

Seperti yang sudah dikatakan jika sepatu ini tidak mudah menyerap air, disinilah letak keluhannya karena sepatu ini kedap udara atau lebih tepatnya tidak ada ventilasi,  sehingga membuat kaki cukup panas apalagi dipakai saat berlari. Pada bagian mata kaki, bahan sepatu nya mudah sobek karena ketika baru dipakai beberapa bulan sudah ada sobekan kecil yang terlihat.

Eiger Pulse Trail Run Women Series
Sepatu yang sudah dipakai 3 tahun tampak masih bagus/M. Irsyad Saputra

Insole pada sepatu ini saya rasakan cukup nyaman dan menyesuaikan telapak kaki. Apalagi insole yang digunakan Eiger adalah busa yang tipis dan berongga sehingga cukup ringan ketika dipakai. Selain itu, insole nya juga dapat menopang tumit dan jari kaki dengan baik sebab saya tidak merasakan keluhan ketika memakai sepatu ini dalam keadaan yang lama, tetapi bila menggunakan kaos kaki yang cukup tebal maka akan “menambah volume sepatu” karena selama saya menggunakan sepatu ini bentuk nya menyesuaikan bentuk kaki.

Secara keseluruhan, sepatu Eiger Pulse Trail Run cukup nyaman dan juga keren untuk digunakan karena desainnya yang sangat modis dan memberi kesan modern serta minimalis. Selain itu, berat sepatu ini cukup ringan dan cukup tahan air. Meskipun embel-embelnya “Train Run” menurut saya sepatu ini lebih cocok digunakan untuk kegiatan outdoor dibanding untuk lari. Sebagai sepatu versatile, beratnya masih terasa berlebih untuk sepatu lari tetapi cukup ringan untuk ukuran sepatu outdoor. Mengingat sepatu ini tidak memiliki sirkulasi udara yang cukup baik, sehingga bila digunakan lari akan membuat kaki sangat gerah.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Review Eiger Pulse Trail Run Women Series: Sepatu Versatile dengan Daya Tahan Maksimal appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/review-eiger-pulse-trail-run-women-series-sepatu-versatile-dengan-daya-tahan-maksimal/feed/ 0 30108
Review Keril Deuter Aircontact 75+10: Definisi Besar dan Tangguh dalam Satu Kemasan https://telusuri.id/review-deuter-aircontact-75-10/ https://telusuri.id/review-deuter-aircontact-75-10/#respond Thu, 22 Jul 2021 11:26:31 +0000 https://telusuri.id/?p=29365 Kamu perlu tas gunung dengan kapasitas besar? Atau perlu tas gunung dengan ketangguhan maksimal? Mungkin kamu perlu melirik tas keril yang satu ini, Deuter Aircontact dengan kapasitas 75+10. Deuter sendiri sudah terkenal sebagai supplier barang-barang...

The post Review Keril Deuter Aircontact 75+10: Definisi Besar dan Tangguh dalam Satu Kemasan appeared first on TelusuRI.

]]>
Kamu perlu tas gunung dengan kapasitas besar? Atau perlu tas gunung dengan ketangguhan maksimal? Mungkin kamu perlu melirik tas keril yang satu ini, Deuter Aircontact dengan kapasitas 75+10.

Deuter sendiri sudah terkenal sebagai supplier barang-barang outdoor dari Jerman. Kualitas? Rasanya tidak perlu meragukan lagi nama besar Deuter. Produk ini sangat populer dikalangan pecinta alam. Siapa saja yang ada bujet lebih pasti disarankan memilih merk satu ini.

Tas Deuter Air Contact dengan kapasitas 75+10 ini saya miliki pada tahun 2018. Saya membelinya dengan harga Rp1.900.000, terhitung murah karena saya membelinya dalam acara INDOFEST 2018. Di acara ini, biasanya Deuter rutin mengadakan diskon sampai 50%.

Ada beberapa pertimbangan saya sebelum membeli keril semisal: ketahanan bahan, kapasitas, kenyamanan saat dipakai, dan harga. Saat itu saya melihat semua aspek tersebut dalam keril Deuter ini, maka dengan pertimbangan diatas saya akhirnya memutuskan membeli keril ini. Catatan: keril ini sudah saya gunakan 3 tahun belakangan dan sering saya bawa dalam setiap perjalanan.

Ukuran Deuter Aircontact 75+10

Perasaan pertama membawa keril kosong ini adalah berat, maklum berat resminya saja sudah 2640 gram dengan dimensi 90x33x30 cm. Kapasitas utamanya 75 liter dan eksternalnya 10 liter. Saya sudah merasa tas ini cukup tangguh untuk membawa banyak muatan. Ketika tas sudah diisi full beratnya bisa mencapai 15-25 kg.

Saat memakai keril ini dengan isi yang penuh, tingginya bisa melebihi kepala dan terlihat seperti menggendong kulkas. Orang-orang yang saya temui selama perjalanan menggunakan tas ini, para pejalan yang berpapasan dengan saya selalu memberi komentar “Tasnya gede banget mas,” “Bawa kulkas ya mas?” Kenyataannya memang tas ini besar dan tinggi.

Backsystem

Salah satu perang rutin yang sering dilontarkan antar brand dalam persaingan tas keril adalah soal backsystem. Backsystem sendiri bisa disebut ruh dalam perwujudan tas keril, backsystem yang tidak nyaman bisa membebankan pinggang dan punggung dalam membawa berat barang.

Rangka yang digunakan tas ini adalah X-Frame Construction yang diklaim menyebar titik beban ke seluruh punggung sehingga berat yang dipanggul tidak hanya berat di bahu. Menurut saya ini salah satu kelebihan keril Deuter dibanding merek lain yang kalau dipakai terasa “memeluk” pengguna. 

Material backsystem terbuat dari sejenis spon yang mempunyai pori-pori yang lebar. Mereka mengklaim material ini membuat ventilasi yang lebih lebar untuk keluar masuknya udara. Dalam pemakaian sendiri sebenarnya tidak terlalu terasa lebih cepat kering dibanding produk lain, tapi yang jelas lebih empuk sehingga ada efek memantul ketika tubuh bergoncang.

Teknologi VariQuick dari Deuter memungkinkan kita mengatur sendiri ukuran torso sesuai tinggi pengguna. Ini teknologi yang menurut saya sangat berguna. Kadang ketika medannya berbeda, saya merasa harus menurunkan ukuran torso untuk penyesuaian. Ditambah hip belt Deuter yang mencengkram kuat, yang dinamakan VariFlex. Beban keril rasanya terbagi ke panggul dengan sempurna. Hip belt mengikuti gerak pinggul apabila berjalan dan terasa tidak kaku. 

Sayangnya, kantong hip belt hanya tersedia satu buah yang saya rasa sangat kurang untuk memasukkan barang yang perlu keluar-masuk dengan cepat semisal kartu ataupun ponsel.

  • Deuter Aircontact 75+10
  • Deuter Aircontact 75+10
  • Deuter Aircontact 75+10
  • Deuter Aircontact 75+10

Material dan Kompartemen

Material Deuter-Duratex yang terbuat dari kain poliamida yang diklaim mereka tahan abrasi dan sobek. Saya sudah mencoba tas ini dalam berbagai medan pendakian. Dengan kondisi vegetasi yang masih rapat, keril ini bertahan dengan sangat baik, terkena semak belukar ataupun ranting tidak menyebabkan jahitan menjadi rusak. Berbeda dengan tas keril saya yang lain, jahitannya sudah terbuka lebar dan tidak kuat.

Kompartemen yang tersedia pada tas ini memisahkan bagian atas dan bagian bawah keril dan dapat diakses dari depan tanpa harus membongkar ulang. Meskipun ini bukan fitur yang wah, untungnya Deuter tetap mempertahankan desain tersebut.

Ada tempat menaruh air di samping kiri dan kanan yang juga bisa digunakan menaruh matras. Bagian bawah tas terdapat tempat rain cover. Deuter menyertakan rain cover bawaan, jadi saya tak perlu membelinya secara terpisah. Saya sering menaruh camilan di kompartemen depan, mudah diraih daripada menaruhnya pada bagian atas. 

Ketika Membawa Beban Berat

Ketika berjalan menggunakan tas ini, dalam bobot 50%, tas terasa tidak nyaman, karena pada dasarnya 75+10 digunakan untuk membawa banyak perlengkapan dan saat perjalanan jauh yang membutuhkan logistik yang banyak. Untuk mengakalinya, saya menaruh matras di dalam tas sehingga tas terlihat penuh dan lebih enak dibawa.

Sedangkan ketika kapasitas tas mencapai 100%, meskipun lebih berat, saya lebih menyukainya dibanding saat tas terisi 50%. Jalan menjadi lebih stabil ketika berat. Beban tas yang saya terima terbagi antara pinggang dan punggung, dan pinggul.

Dalam waktu lama, pegal lebih terasa pada bagian pangkal paha daripada punggung, mungkin ini adalah efek hip belt yang mencengkram bagian bawah tubuh dengan kuat. Ketika dalam posisi diam, keril ini tidak membuang berat ke depan maupun belakang, saya merasa berat cenderung stabil di tengah, mungkin efek dari rangka tas yang menyilang.


Secara personal, saya menyukai seluruh fitur yang ada pada Deuter Aircontact 75+10. Ketahannya bahannya dalam menerabas medan dan sistem belakang tas yang memberikan kenyamanan menjadi nilai lebih dari produk Deuter yang satu ini.

Tas ini cocok digunakan apabila kamu merencanakan perjalanan lebih dari 3 hari namun kurang cocok apabila digunakan hanya sekitar 1-2 hari. Dari skala 10, saya memberi nilai 9 untuk Deuter Aircontact. Buat saya sendiri, inilah tas terbaik yang saya gunakan selama perjalanan yang saya lakukan.

The post Review Keril Deuter Aircontact 75+10: Definisi Besar dan Tangguh dalam Satu Kemasan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/review-deuter-aircontact-75-10/feed/ 0 29365