riau Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/riau/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 31 Dec 2024 16:07:39 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 riau Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/riau/ 32 32 135956295 Samsul Bahri, Bapak Mangrove dari Bengkalis https://telusuri.id/samsul-bahri-bapak-mangrove-dari-bengkalis/ https://telusuri.id/samsul-bahri-bapak-mangrove-dari-bengkalis/#respond Fri, 22 Dec 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40478 Di balik kerimbunan hutan mangrove pesisir Teluk Pambang, seorang pria paruh baya terus menempuh jalan sunyi. Titipan masa depan yang tidak mudah dilestarikan. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri Bayangkan sedang berada...

The post Samsul Bahri, Bapak Mangrove dari Bengkalis appeared first on TelusuRI.

]]>
Di balik kerimbunan hutan mangrove pesisir Teluk Pambang, seorang pria paruh baya terus menempuh jalan sunyi. Titipan masa depan yang tidak mudah dilestarikan.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri


Samsul Bahri, Bapak Mangrove dari Bengkalis
Pohon mangrove terendam air laut yang sedang pasang di pesisir Senekip, Teluk Pambang, Bengkalis/Mauren Fitri

Bayangkan sedang berada di daerah pesisir di suatu pulau. Siang bolong. Terik matahari centang-perenang. Saat kulminasi musim kemarau. Derajat hawanya setara suhu puncak demam tifoid. Embusan angin begitu kering. Air bersih yang diharapkan menyegarkan berasa payau. Satu-satunya sumber kesejukan adalah oksigen yang dikeluarkan pohon-pohon mangrove di pesisir Desa Teluk Pambang, Kecamatan Bantan.

Tim TelusuRI menemukan itu semua di desa yang terletak di sebelah barat Pulau Bengkalis, Riau. Akibatnya? Tiga personel tumbang. Kepayahan yang didera hanya dari tiga jam keliling mengamati kawasan mangrove sekitar Sungai Kembung dan Pantai Senekip di dekat perairan Selat Malaka.

Di lantai rumah kontrakan milik Samsul Bahri (55), yang jadi sekretariat Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN), tubuh kehilangan daya dan sakit kepala. Terbaring lemas mengiba pada tenaga kipas angin—disetel putaran tertinggi—untuk meluruhkan cairan keringat yang terbuang. Kalau masih kurang sejuk, mungkin kami akan memilih rebahan ke masjid di seberang rumah. Ada banyak kipas di sana.

Samsul Bahri, Bapak Mangrove dari Bengkalis
Pak Samsul terlihat anteng mengemudikan perahu bermesin 15 PK menyusuri hutan mangrove di aliran anak Sungai Kembung/Deta Widyananda

Samsul Bahri, tuan rumah sekaligus juru perahu kami tadi, terlihat anteng-anteng saja. Seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Tidak ada keluhan berarti dari Ketua Kelompok Pengelola Mangrove (KPM) Belukap itu. Ia malah merasa kasihan kepada kami.

“Kekebalan” Pak Samsul, sapaannya, terhadap cuaca membara di Bengkalis tidak tercipta tiba-tiba. Lebih dari dua dekade menanam puluhan hektare mangrove, hanya dibantu seperlunya oleh segelintir orang, kulit pria berdarah Jawa itu sudah berdamai dengan ganasnya sengatan matahari. Bahkan sampai pada taraf nyaris terbakar, terutama ketika beraktivitas di laut karena saking panas dan keringnya. Sesuatu yang ia alami, ia lakoni hampir seumur hidupnya. Setiap hari, selama puluhan tahun. Nyaris tanpa setop.

“Ya, begitulah bapak. Enggak cuma ngurus mangrove, tapi juga sering jadi imam masjid, khatib Jumat. Dulu malah sempat jadi guru ngaji,” tanggapnya. Ia sering menggunakan diksi “bapak” untuk menyebut dirinya, daripada “aku” atau “saya”.

Selama di sana, kami seperti anak yang baru pulang dari perantauan nan jauh. Dan Samsul adalah seorang bapak yang teramat rindu, ingin lekas bertukar cerita dengan anak-anaknya.

Menyambut panggilan laut

Menanam mangrove sebagai jalan hidup tidak pernah terbayangkan Pak Samsul sebelumnya. Masa remaja putra dari pasangan Sucipto dan Sirah, transmigran asal Pacitan, itu lebih banyak ikut orang tuanya menggarap lahan pertanian dan membalak kayu untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Pak Samsul juga membantu pekerjaan sampingan bapaknya, yang memiliki keahlian sebagai tabib—mengobati orang sakit.

Di masa-masa itu, selain bekerja di pertambangan minyak, gas, dan batubara—penopang ekonomi terbesar Bengkalis—banyak orang Bengkalis menyeberang ke Malaysia. Mengadu nasib, mencari kerja apa pun. Biasanya dilakukan selama satu bulan penuh, lalu pulang ke Bengkalis. Begitu seterusnya. Dahulu masyarakat bebas keluar masuk antarnegara. Perbatasan belum seketat sekarang. 

Sampai pada 2002, banjir rob setinggi 50 sentimeter menerjang Teluk Pambang. Dalam setahun, rob biasa terjadi pada bulan Oktober—Desember. Permukiman, rumah penduduk, dan lahan pertanian terendam air asin. Produktivitas karet menurun. Air kelapa tidak lagi segar.

Padahal posisi kediaman Pak Samsul, yang berada di tepi jalan kabupaten, masih berjarak sekitar tiga kilometer dari Pantai Senekip, kawasan pesisir terdekat. Ditengarai salah satu sumber penyebab yang membawa air laut pasang dengan cepat adalah meluapnya aliran anak Sungai Kembung yang bermuara ke laut. Anak sungai itu berjarak setengah kilometer ke arah barat dari rumahnya. Ia juga biasa menambatkan perahu miliknya di sana. 

Mayoritas warga menganggap banjir rob adalah musibah alam semata. Hampir tidak ada satu pun penduduk yang mengetahui pentingnya peran “pagar hidup” mangrove sebagai pelindung pesisir. Sampai-sampai tidak menarik sama sekali untuk dikerjakan. Tidak terkecuali Pak Samsul.

Namun, mengingat besarnya dampak air pasang yang meresahkan dan merepotkan tersebut, kesadaran hati itu akhirnya mengetuk hati pak Samsul. Gejolak laut memanggil, memilih Pak Samsul sebagai lokomotif perubahan di kampungnya.

Suami Siti Wasiah (52) itu menyadari hutan mangrove di belakang rumahnya nyaris gundul. Banyak ditebang dari pucuk batang hingga akar. Pelakunya kebanyakan orang suku lokal suruhan pengusaha panglong arang yang beroperasi di desa-desa pinggiran Sungai Kembung, seperti Teluk Pambang dan Kembung Luar.

Secara keseluruhan kondisi lingkungan rawa dan ekosistem mangrove di Pulau Bengkalis saat itu memang terbilang genting. Salah satu wilayah pesisir paling terancam di Provinsi Riau. Menurut Fikri (2006, seperti dikutip dalam Miswadi dkk., 2017), diperkirakan terjadi penurunan luas hutan mangrove sebanyak 5,25 persen di Pulau Bengkalis dalam kurun waktu 1992—2002. Dari sekitar 8.182,08 hektare pada tahun 1992 menjadi 6.115,95 hektare pada tahun 2002.

Samsul Bahri, Bapak Mangrove dari Bengkalis
Pak Samsul (baju toska) dan Indra, warga suku asli setempat, memilah bibit mangrove di kebun pembibitan KPHM Belukap, Teluk Pambang/Deta Widyananda

“Maka dari itu, bapak ingin memperbaiki tata ruang lingkungan,” ujar Pak Samsul. Ia bertekad menjadikan [pelestarian] mangrove sebagai pekerjaan utamanya. “Satu [hal] yang bapak pikirkan adalah regenerasi anak cucu yang akan datang, karena pada saat ini mungkin alam sudah tidak bersahabat dengan kita. Jadi, mangrove ini perlu kita jaga.”

Konservasi mangrove adalah dunia baru baginya. Pak Samsul, yang waktu itu berusia 35 tahun, segera menemui mendiang Pak Sa’dullah (60), orang Jawa Bengkalis yang juga aktivis mangrove. Di tempat Pak Sa’dullah, ia belajar menanam, memahami peran mangrove, dan potensi ekonominya. Darinya, Pak Samsul seperti mendapat suntikan energi yang dahsyat untuk memulai perjuangan merehabilitasi mangrove.

“Ada satu pesan dari beliau yang bikin bapak masih terngiang sampai sekarang, ‘nek dudu kowe sopo maneh?’ (kalau bukan kamu siapa lagi?).” kenang Pak Samsul.

Tak air hujan ditampung, tak air peluh diurut, tak air talang dipancung. Di tahun yang sama, Pak Samsul tancap gas, mengerahkan segala daya dan upaya menyelamatkan ekosistem mangrove di pesisir Teluk Pambang. Ia mengajak segelintir tetangganya untuk bergiat lingkungan dengan menanam kembali mangrove.

Tahun 2004 Desa Teluk Pambang memiliki dua kelompok pelopor untuk mengelola mangrove dengan skema perhutanan sosial. Kelompok Pengelola Mangrove (KPM) itu terdiri dari KPM Belukap dan KPM Perepat yang diketuai Pak M. Ali B. Keberadaan KPM diperkuat Surat Keputusan Bupati Bengkalis No. 824 Tahun 2004, yang muncul bersamaan saat pendampingan program restorasi mangrove dari sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dari dalam dan luar negeri.

Payung hukum tersebut mendorong Pak Samsul melesat lebih kencang. Tak jarang ia harus menanam mangrove dan patroli sendirian sehari penuh. Ia mencukupi kebutuhan nafkah keluarganya dengan melaut.

Banyak orang mencibir Pak Samsul. Menilai tindakannya sia-sia. Bahkan musuhnya tidak sedikit. Tak terhitung Pak Samsul adu urat dengan pengusaha panglong arang, yang sempat berniat memasukkannya ke penjara.

“Saya dulu juga pernah memergoki oknum polisi perairan (polair) yang main illegal logging. Saya marahi habis-habisan,” ungkap Pak Samsul.

Seiring waktu berjalan, sekarang dampaknya sangat terasa. Mangrove yang sehat berhasil memperlambat laju abrasi dan menghalang banjir rob naik ke permukiman. Hutan mangrove seluas 40 hektare itu tampak rimbun. Di salah satu titik dekat tambak udang vaname, rata-rata batang pohonnya berdiameter tiga inci. Akarnya mencengkeram permukaan tanah berlumpur. Usia pohon sudah mencapai 12—15 tahun, di luar rumpun pohon yang sudah ada sejak lama dan berumur lebih tua. Pohon tertingginya mencapai 20 meter.

Pak Samsul sendiri tidak menyangka “bayi mangrove” yang ia asuh sejak kecil sudah tumbuh sebesar itu. Menurutnya, sama seperti manusia, merawat mangrove juga harus penuh kasih sayang.

Adagium “biarlah waktu yang menjawab” rupanya benar-benar terbukti di Teluk Pambang. Kakek dua cucu itu kini tidak perlu lagi repot-repot menanggapi cemoohan orang-orang.

Samsul Bahri, Bapak Mangrove dari Bengkalis
Bibit-bibit mangrove siap tanam/Rifqy Faiza Rahman

Setiap sentinya berharga

Kegigihan Pak Samsul bersama dua kelompok pelopor pengelola mangrove di Teluk Pambang mengundang atensi banyak pihak. Sejumlah organisasi nirlaba ikut turun mengakselerasi perjuangannya merestorasi mangrove. Salah satu yang menonjol adalah YKAN, yang sejak awal 2022 lalu melaksanakan program Mangrove Ecosystem Restoration Alliance (MERA) di dua desa sekitar Sungai Kembung, yaitu Teluk Pambang dan Kembung Luar.

Satu di antara sekian inisiatif program tersebut adalah membantu dan mendampingi penyusunan peraturan desa. Temanya tentang perlindungan dan pengelolaan hutan mangrove melalui skema perhutanan sosial. Keluaran yang ingin dicapai adalah alam tetap lestari dan masyarakat tetap bisa memperoleh sumber penghidupan dari alam.

Samsul Bahri, Bapak Mangrove dari Bengkalis
Rumah kontrakan yang dijadikan kantor sekretariat YKAN berdempetan dengan kediaman Pak Samsul (kanan), sekaligus basecamp KPHM Belukap/Rifqy Faiza Rahman

Proses panjang yang dilalui membuahkan hasil. Pada 25 Agustus 2023 lalu, pemerintah desa menetapkan Peraturan Desa Teluk Pambang Nomor 02 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial Desa Teluk Pambang. Poin penting dari aturan ini adalah pembentukan Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD), yang diketuai Indra Sukmawan (40), seorang wiraswasta lokal. Selain masih menjadi ketua KPM Belukap, di LPHD Pak Samsul juga duduk di Seksi Perlindungan dan Pengawasan. Putra menantunya, Hasnur Rasid (36), mengemban tugas di Seksi Perencanaan.

Selain KPM Belukap dan Perepat, LPHD menambah delapan kelompok baru, yaitu Bumi Hijau, Lenggadai, Nipah, Berembang, Akit, Api-api, Bumi Pesisir, dan Bakau Putih. Luas kawasan restorasi mangrove pun bertambah signifikan, dari 40 hektare direncanakan menjadi sekitar 1.001,9 hektare. Setiap kelompok bertanggung jawab merawat dan memantau rata-rata 100 hektare hutan mangrove.

Tim TelusuRI sempat diajak Pak Samsul melihat lebih dekat area hutan mangrove di sepanjang tepian menuju muara Sungai Kembung dan kawasan pesisir timur Teluk Pambang. Jalur yang akan dilalui juga menjadi rute patroli Pak Samsul selama empat kali dalam sebulan. Jika naik perahu lewat perairan, jarak dari titik mula dermaga—tempat perahu Pak Samsul terparkir—menuju Pantai Senekip sekitar 13—14 kilometer. Sekitar satu jam perjalanan dengan perahu bermesin 15 PK miliknya, yang juga biasa digunakan melaut untuk cari ikan.

Samsul Bahri, Bapak Mangrove dari Bengkalis
Perahu Pak Samsul yang kami tumpangi sedang melaju di jalur sempit di dalam kawasan konservasi mangrove Teluk Pambang/Deta Widyananda

“Ini mesinnya baru, bantuan program MERA,” ujar Pak Samsul menerangkan mesin tempel perahunya. “Mesin bapak sebelumnya hilang saat malam pulang dari melaut, karena dicuri orang. Bapak lupa bawa pulang.”

Air sedang pasang, yang memang merupakan kondisi ideal untuk membawa perahu ke laut. Di beberapa titik, bagian terdalam Sungai Kembung bisa mencapai 30 meter. Perahu itu meliuk lincah. Mengikuti alur anak sungai di tengah pepohonan mangrove.

Permukaan sungai kecokelatan, memantulkan bayangan pohon-pohon mangrove yang tumbuh merimbun. Beberapa buah dari jenis Xylocarpus granatum seukuran tempurung kelapa menggantung pada ranting yang ramping. Tampak satu-dua ekor biawak muncul ke permukaan lalu kembali menyelam. Sekeluarga monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) asyik bergelantungan dari satu dahan ke dahan lain.

Kami melihat lebih banyak kawanan burung khas pesisir ketika sudah di lepas pantai, antara lain burung kuntul dan elang laut perut putih (Haliaeetus leucogaster). Cuaca sedikit berangin sehingga menyebabkan laut lumayan berombak. Sayang kabut pagi itu cukup pekat sehingga menutupi daratan Kampung Segenting, Johor, Malaysia di kejauhan. Kami hanya menyaksikan bangunan tanggul pemecah ombak sepanjang 600 meter. 

Di sepanjang pesisir itulah Pak Samsul dan para anggota kelompok lainnya menempatkan plot-plot penanaman mangrove. Terutama dekat kawasan wisata Pantai Senekip, perbatasan Desa Teluk Pambang dan Pambang Baru. Setiap plot tanam berupa rumpon berukuran 6×25,5 meter. Total ada 13 rumpon yang dikerjakan per kelompok. 

“Sekarang pohon tertingginya [masih] sekitar satu meter. Yang lain enggak kelihatan kalau lagi pasang,” jelas Pak Samsul. Saat itu air sedang pasang setinggi 1—1,5 meter sejak pukul enam pagi. “Dulu bibir pantai agak jauh, sekitar 100—200 meter. Sekarang tenggelam [karena] laut makin naik.”

Pohon-pohon mangrove yang ditanam Pak Samsul dan kelompok lain merupakan hasil pembibitan di kebun belakang rumahnya. Sedikitnya ada tiga jenis mangrove yang dibudidayakan, yaitu belukap (Rhizophora mucronata), bakau putih (Rhizophora apiculata), dan api-api (Avicennia marina). Ketiganya memiliki keunggulan masing-masing.

Samsul Bahri, Bapak Mangrove dari Bengkalis
Salah satu spesies mangrove yang banyak dibudidayakan di kebun pembibitan Pak Samsul/Rifqy Faiza Rahman

“Api-api cenderung susah disemai dan lebih cocok [ditanam] di dekat perairan daripada di daratan, tetapi batang pohonnya akan tumbuh lebih besar. Kalau belukap atau bakau putih relatif lebih tahan hama,” terang Pak Samsul. Bibit mangrove siap ditanam jika sudah menginjak usia enam bulan.

Ribuan bibit mangrove siap tanam diburu banyak orang atau instansi tertentu yang ingin berkontribusi dalam pelestarian lingkungan hidup. Biasanya dibeli dengan skema donasi untuk kegiatan pribadi, komunitas, hingga sektor pemerintahan. Baik di level nasional maupun internasional.

Saking tidak teganya mengeruk uang dari mangrove, ia menerapkan tarif donasi—yang rasanya—terlalu murah dan kurang sepadan dengan miliaran butir cucuran peluh yang menguap. “Per bibitnya Rp1.500—2.000,” kata Pak Samsul menunjukkan bibit setinggi 30—40 sentimeter.

Dalam satu bibit, harga donasi tersebut sudah mencakup biaya polybag, tanah, dan pengambilan propagul (indukan bibit mangrove). Propagul yang digunakan harus diambil dari pohon mangrove berusia minimal 15 tahun agar bibit tumbuh maksimal dan tahan hama. 

Pasar bibit mangrove Pak Samsul termasuk salah satu yang terbesar di Riau, selain milik kelompok Pak Darsono di Selatpanjang, Kabupaten Kepulauan Meranti. Ada juga pelaku lama di Dumai, tetapi skalanya lebih kecil.

Pak Samsul tak ambil pusing jika ada beberapa bibit yang gagal melewati “seleksi alam”. Biasanya pertumbuhan tunas kurang sempurna dan ia harus menggantinya dengan bibit baru. Mengulang proses dari awal. Namun, ia mengaku akan tetap menanam bibit tersebut. Setiap senti batang yang bertumbuh sangat berharga. Baginya itu seperti merepresentasikan komitmennya pada konservasi mangrove.

“Kalau tak laku tanam sendiri, kalau laku alhamdulillah jadi ekonomi. Pokoknya tanami terus,” ujar Pak Samsul tegas.

Masa depan perdagangan karbon

Per September 2023, Indonesia resmi terjun ke perdagangan karbon dunia. Langkah progresif tersebut ditandai dengan pemberian izin usaha penyelenggara Bursa Karbon Indonesia (IDXCarbon) kepada Bursa Efek Indonesia (BEI) oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Mekanisme teknis jual beli karbon diatur dalam Peraturan OJK (POJK) Nomor 14 Tahun 2023 tentang Perdagangan Karbon Melalui Bursa Karbon. Sistem pencatatan transaksi unit karbon dan basis data IDXCarbon terintegrasi dengan Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN-PPI) milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Sebagai implementasi dari Perjanjian Paris 2015 (COP21), sejak 2020 United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) meminta setiap negara menentukan bentuk kontribusi iklim secara nasional, atau disebut Nationally Determined Contributions (NDCs). Langkah ini merupakan percepatan aksi untuk target jangka panjang menurunkan emisi hingga nol pada 2060. 

Indonesia memiliki target mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 29 persen (dilakukan sendiri) dan 41 persen (melalui kerja sama internasional) pada 2030. Terdapat lima sektor, sesuai kategori NDC, yang menjadi fokus utama pengendalian iklim dan reduksi emisi melalui perdagangan karbon, yaitu energi, limbah, industri dan proses produksi, pertanian, serta kehutanan dan penggunaan lahan lainnya.

Siapa pun bisa terlibat dalam perdagangan karbon, selama mampu memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku. Mulai dari perorangan, badan hukum, perusahaan, asosiasi, maupun kelompok masyarakat yang terorganisasi. Tidak terkecuali LPHD Teluk Pambang. 

Sebelum bergerak lebih jauh di Bursa Karbon, didampingi oleh YKAN, di tahap awal LPHD Teluk Pambang sedang mengajukan permohonan ke Menteri LHK untuk mendapatkan payung hukum pengelolaan hutan desa. Luasnya 1.001,9 hektare, dengan rincian sekitar 996 hektare Hutan Produksi Terbatas (HPT) dan sisanya Areal Penggunaan Lain (APL). Tutupan lahan tersebut didominasi oleh vegetasi mangrove, yang juga diandalkan untuk menghasilkan nilai ekonomi melalui perdagangan karbon.

Mengacu pada Peraturan Menteri LHK Nomor 7 Tahun 2023 tentang Tata Cara Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan, rehabilitasi mangrove merupakan satu dari 22 aksi mitigasi perubahan iklim. Bersama dengan gambut, pengelolaan mangrove juga ditetapkan sebagai komoditas perdagangan karbon di sektor kehutanan.

Rasid menyatakan perdagangan karbon menjadi salah satu tujuan pemanfaatan kawasan hutan desa Teluk Pambang. Target lainnya adalah perlindungan mangrove, ekowisata, budidaya perikanan, produk turunan mangrove, dan pertanian—kelapa, karet, pinang, dan sawit dalam skala kecil. Ia mengakui ada potensi ekonomi luar biasa dari perdagangan karbon mangrove.

Pria kelahiran Teluk Sungka, Indragiri Hilir itu sudah mencoba membuat perhitungan sederhana. Dari satu hektare lahan mangrove, yang berisi sedikitnya 5.000 pohon dengan jarak tanam 50—100 sentimeter, berdasarkan hasil penelitian YKAN terdapat potensi 1.900 ton karbon yang dihasilkan. Dengan asumsi harga termurah $5 per ton karbon, maka LPHD bisa menerima uang $9.500 atau sedikitnya berkisar 145 juta rupiah. Sementara luas hutan desa yang akan dikelola mencapai seribu hektare. Bisa dibayangkan betapa besar potensi pundi-pundi uang yang akan diterima. Hasilnya bisa digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Masa depan cerah tampak nyata adanya untuk Teluk Pambang. Belum lagi peluang dari pengelolaan ekowisata maupun pembuatan produk turunan mangrove.

Setiap negara di dunia memang diminta “ambisius” mengurangi emisi karbon. Namun, di sisi lain perdagangan karbon seperti dua mata pisau. Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Kebijakan Kehutanan di Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB, mengingatkan potensi kerawanan dan ketidakadilan dari konsep perdagangan karbon untuk mewujudkan keadilan iklim dunia.

Dalam tulisan opini berjudul Keadilan Iklim: Keluar dari Jebakan Greenwashing di Forest Digest (04/12/2023), ia meminta negara mewaspadai modus greenwashing. Greenwashing adalah situasi paradoks. Seseorang maupun perusahaan melakukan klaim palsu terhadap produksi atau tindakan yang dibuat atas nama ramah lingkungan dan keberlanjutan. Menutupi realitas sebenarnya, yang acap kali bertolak belakang dengan bahasa-bahasa manis di permukaan.

Hariadi mengutip salah satu catatan pemikiran dari Bernice Maxton-Lee, yang menulis Narratives of sustainability: A lesson from Indonesia (2018) di jurnal Soundings terbitan Lawrence Wishart, Inggris. Poinnya, jika pengelola hutan—dalam hal ini masyarakat akar rumput—bisa dibayar mahal agar membiarkan hutan mereka menyerap karbon, sementara polusi dan buangan emisi yang dihasilkan oleh pembayar karbon tersebut di tempat lain seolah dapat “dikompensasi”, berarti perdagangan karbon malah bukan menjadi solusi berkelanjutan. Justru yang terjadi adalah ketidakadilan iklim.

Samsul Bahri, Bapak Mangrove dari Bengkalis
Penulis membawa sekarung bibit mangrove di kebun pembibitan Pak Samsul. TelusuRI turut mendonasikan 200 bibit untuk mendukung konservasi mangrove di Teluk Pambang/Mauren Fitri

Di satu sisi berjuang menghambat laju pendidihan global, di sisi lain aktivitas industri ekstraktif terus berjalan dan kadang lepas kontrol. Di sinilah peran pemerintah untuk lebih berani menjadi batas. Salah satu upaya mendesak yang bisa dilakukan adalah membuat Undang-Undang (UU) khusus tentang Keadilan Iklim. Sebuah peraturan flagship, mengatur aksi iklim yang berbasis keadilan ekonomi dan berpihak pada masyarakat. Merekalah kelompok yang hidup paling dekat dan sangat mengenal dengan alamnya sendiri. Masyarakat berhak memilah partner pembayar karbon yang tidak berpotensi greenwashing.

Yang menarik, Rasid seolah sadar melihat kacamata lain dari perdagangan karbon, tetapi tidak ia sampaikan secara eksplisit. Ia hanya bilang, tidak ingin terlalu membubungkan harapan pada perdagangan karbon semata. Ada urgensi yang jauh lebih penting untuk dikejar.

Dengan berulang-ulang, ia menekankan kepada semua kelompok tetap fokus sesuai target utama pembentukan LPHD, “Kita [harus] lebih banyak [memperluas kawasan] perlindungan daripada pemanfaatan, karena [prioritas kawasan] perlindungan bisa menjadi acuan untuk perdagangan karbon ke depannya.”

Senada dengan sang menantu. Meskipun menyiratkan asa, Pak Samsul menitip pesan penting. Mengutip perkataan bapak mertuanya, Rasid berujar, ”Kita menanam satu pohon mangrove itu sudah dapat pahala. Kita enggak usah hitung duitnya. Yang penting banyak manfaatnya [bagi] orang di seluruh dunia, walaupun [hanya] dari satu batang.”

Tidak ada rem di kaki Pak Samsul

Jauh sebelum dunia mulai berkampanye mewujudkan keadilan iklim, Pak Samsul sudah menciptakan keadilan iklimnya sendiri. Dari puluhan hektare yang ditanam sendirian selama hampir dua dekade, kini meluas menjadi 1.001,9 hektare. Dirawat bersama dengan kelompok-kelompok masyarakat anggota LPHD Teluk Pambang.

Ia telah memastikan jaminan lingkungan hidup dari asrinya hutan mangrove kepada anak cucunya. Menyediakan ruang tumbuh burung-burung, herpetofauna, hingga menyamankan tempat tidur bagi kawanan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis).

Tidak akan mudah mencari orang segila dan seulet Samsul Bahri. Apalagi mengharapkan pada anak-anak muda. Satu banding seribu—bahkan sejuta. Kenyataan ini diakui Herna Hernawan atau Pak Wawan (57), guru olahraga SMAN 3 Bengkalis kelahiran Garut dan anggota KPM Belukap. Ketika ditanya testimoninya soal Pak Samsul, ia mengacungkan dua jempol dan menggelengkan kepala; tanda setuju jika tetangganya itu memang gila. Begitu pun Rasid, yang merasa masih harus banyak belajar. Memelihara dan mempertahankan yang sudah ada tidak kalah berat daripada menanam.

Apalagi masih banyak tantangan yang dihadapi, antara lain regenerasi. Dari 105 anggota LPHD Teluk Pambang, yang tersebar ke 10 kelompok, hanya sekitar 10—15 persennya merupakan anak muda.

Menurut Rasid, kebanyakan dari anak-anak muda di Teluk Pambang lebih memilih mencari kerja atau melanjutkan kuliah di luar Bengkalis. Kalaupun ada, perlu waktu lama untuk dibina. Kecanduan pada gawai dan gim daring juga berpengaruh besar. Berkecimpung di mangrove tampak tidak menjanjikan bagi mereka.

Namun, Rasid tidak ingin terlalu khawatir. Ia memiliki strategi khusus dalam jangka panjang untuk mengatasi itu. 

“Kalau dari aku pribadi, aku pengin jalan [kerja] dengan yang tua dulu. Begitu berhasil, baru kita gandeng anak muda,” ujarnya. Ia memahami anak-anak muda perlu ruang untuk tetap hidup, sehingga lebih memilih pekerjaan yang pasti menghasilkan.

Memupuk harapan regenerasi berkelanjutan perlu energi dan sinergi. Itulah yang diharapkan Pak Samsul. Ia sudah babat alas, tinggal yang muda yang meneruskan perjuangannya. Ia hanya ingin pemerintah pusat dan daerah mau bersinergi dengan kelompok masyarakat pengelola hutan mangrove, agar ada sinkronisasi kebijakan dan jaminan keberlanjutan. 

Selain tantangan regenerasi, LPHD Teluk Pambang juga masih harus siaga menghadapi “musuh lama”, yaitu perambahan dan pembalakan liar oleh pengusaha panglong. Meskipun saat ini sudah tidak beroperasi di wilayah Teluk Pambang, tidak menutup kemungkinan para pembalak tersebut akan kembali secara diam-diam. Di sisi lain, Pak Samsul sebenarnya masih berupaya merangkul pemain panglong atau orang suku lokal agar ikut menjaga mangrove. 

Pak Samsul sempat mengenalkan kami kepada Indra, orang suku Akit, kelompok adat terpencil di Bengkalis. Dulunya ia bersama istri dan seorang anaknya tinggal di rumah apung di pinggiran Sungai Kembung. Dekat Jembatan Kembung Luar dan pabrik panglong arang. Kini sudah pindah dan membangun rumah panggung di satu area lahan pembibitan mangrove KPM Belukap. Sosoknya malu-malu. Meski tidak terlalu fasih berbahasa Indonesia, ia murah senyum.

“Dulu kerjanya cari kayu mangrove buat panglong. Makan cari ikan di sungai,” tutur Pak Samsul. “Bapak enggak tega lihatnya. Makanya bapak suruh pindah ke sini dan bantu bapak ngurus mangrove, biar anak dan istrinya enggak tinggal di pinggir sungai lagi.”

Perjalanan konservasi memang selalu akan mengesampingkan garis finis. Bukan cuma lembaga yang harus terus berjuang, Pak Samsul pun tidak mengenal kata selesai dalam kamus hidupnya. Tidak ada rem sepakem apa pun yang bisa menghentikannya, sampai napas melepas embusan terakhir. 

Selama istri merestui, Pak Samsul tidak akan berhenti menanam dan merawat mangrove di Teluk Pambang. Kendati kurang begitu memahami dunia konservasi mangrove, Bu Siti Wasiah mengaku selama ini selalu mendukung dengan caranya sendiri.

“Sudah terserah Bapaklah,” celetuk Bu dengan senyum lebar, “saya cuma bisa bantu dari dapur saja, masak. Bikin makanan buat keluarga.” 

Tidak terkecuali malam itu. Hidangan nasi putih, bihun, sayur tumis tempe, kari ayam, dan kerang tersaji di ruang tamu rumah Pak Samsul. Tak lupa camilan keripik ubi balado bikinan Bu Siti Wasiah dan anggota kelompok UMKM Asy-Syura. Kami berkumpul, makan, dan berbincang hangat serasa tiada sekat. Suasana seperti ini yang mungkin menguatkan tekad baja Pak Samsul mengasihi mangrove sampai detik ini. (*)

Referensi

Fikri R. (2006). Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Mendeteksi Perubahan Mangrove di Pulau Bengkalis Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau. Pekanbaru.
Miswadi, Firdaus, R., dan Jhonnerie, R. (2017). Pemanfaatan Kayu Mangrove oleh masyarakat Suku Asli Sungai Liong Pulau Bengkalis. Dinamika Maritim Volume 6 Number 1, Agustus 2017.


Foto sampul:
Foto udara Sungai Kembung yang membelah hutan mangrove Teluk Pambang, Bengkalis, Riau. Beberapa kelompok masyarakat setempat aktif merestorasi mangrove dan menjemput peluang perdagangan karbon dunia/Deta Widyananda

Pada September—Oktober 2023, tim TelusuRI mengunjungi Sumatra Utara, Riau, dan Kalimantan Timur dalam ekspedisi Arah Singgah: Meramu Harmoni Kehidupan Manusia dan Alam. Laporan perjalanannya dapat diikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Samsul Bahri, Bapak Mangrove dari Bengkalis appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/samsul-bahri-bapak-mangrove-dari-bengkalis/feed/ 0 40478
Sepasang Mata Piyau: Dari Urusan Rumah Tangga sampai Asmara https://telusuri.id/sepasang-mata-piyau-dari-urusan-rumah-tangga-sampai-asmara/ https://telusuri.id/sepasang-mata-piyau-dari-urusan-rumah-tangga-sampai-asmara/#respond Tue, 19 Dec 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40605 Hubungan masyarakat Bukit Rimbang Bukit Baling dengan piyau sedekat urat nadi yang mengalirkan oksigen dan nutrisi ke tubuh mereka. Hidup mati bergantung pada lembaran-lembaran kayu dan mesin tempelnya. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: Deta Widyananda dan...

The post Sepasang Mata Piyau: Dari Urusan Rumah Tangga sampai Asmara appeared first on TelusuRI.

]]>
Hubungan masyarakat Bukit Rimbang Bukit Baling dengan piyau sedekat urat nadi yang mengalirkan oksigen dan nutrisi ke tubuh mereka. Hidup mati bergantung pada lembaran-lembaran kayu dan mesin tempelnya.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri


Sepasang Mata Piyau: Dari Urusan Rumah Tangga sampai Asmara
Masyarakat yang tinggal di sepanjang Sungai Subayang, baik di dalam maupun luar kawasan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling sangat bergantung pada piyau untuk mobilitas setiap harinya/Mauren Fitri

Dalam satu hari, nyaris tidak terhitung piyau hilir mudik melintasi Sungai Subayang. Sungai ini menjadi ruh utama akses masyarakat keluar masuk kawasan Suaka Margasatwa (SM) Bukit Rimbang Bukit Baling. Dari Gema, ibu kota Kecamatan Kampar Kiri Hulu, menuju Pangkalan Serai, desa paling hulu. Begitu pun sebaliknya.

Sebagai satu-satunya alat transportasi, piyau telah “makan asam garam” di Sungai Subayang. Piyau menjadi tumpuan warga mencari ikan, berbelanja kebutuhan rumah tangga, pelesir atau berobat ke pusat kecamatan, hingga mengangkut bahan-bahan bangunan untuk membuat rumah di kampung.

Risiko terbesar yang mereka hadapi adalah kondisi perairan Sungai Subayang bisa berubah-ubah tergantung cuaca. Tidak bisa diprediksi. Jika air terlalu pasang, piyau rawan terhantam batu atau batang pohon yang tidak terlihat karena warna air sedang keruh kecokelatan. Biasanya terjadi saat puncak musim hujan Desember—Januari. Sebaliknya, jika terlalu surut atau dangkal, piyau yang membawa beban terlalu berat akan kandas.

Sepasang Mata Piyau: Dari Urusan Rumah Tangga sampai Asmara
Piyau melintas di Sungai Subayang. Tampak jelas gradasi warna yang menunjukkan perbedaan kedalaman sungai. Seorang motoris harus mampu mengendalikan piyau ketika melewati jalur sungai yang dangkal dan berarus/Deta Widyananda

Tidak hanya saat keperluan belanja, sekolah, atau aktivitas lainnya, tetapi kondisi tersebut juga berisiko tinggi pada masyarakat yang berada dalam darurat kesehatan dan membutuhkan penanganan medis segera. Seorang ibu yang sedang hamil tua akan mengalami kegawatan jika sungai sedang banjir dan arus terlalu deras, sehingga tidak bisa dibawa ke ibu kota kecamatan.

Di sisi lain, jauhnya jarak antardesa dengan pusat kecamatan menyebabkan tingginya ongkos perjalanan piyau. Seumur hidup Ajis Manto atau Datuk Pucuk (55), ninik mamak Desa Tanjung Beringin pun tak luput dari pengalaman dengan piyau. Utamanya ketika hendak membangun tempat tinggal di kampung. Masyarakat di dalam kawasan harus pergi ke Gema, ibu kota Kecamatan Kampar Kiri Hulu, jika ingin berbelanja bahan bangunan.

“Untuk membuat satu rumah sederhana di Tanjung Beringin,” katanya, “tak terhitung [berapa kali] bolak-balik Gema.”

Meskipun proses pembangunannya tidak sampai satu tahun, biayanya amat tinggi. Menurut Datuk Pucuk, “Yang [bikin] mahal [karena] ongkos transportasinya, [biaya satu rumah] bisa dua kali lipat dari [bangun rumah] di Gema. Kalau di Gema cuma butuh 20 juta, di Tanjung Beringin bisa 40 juta.”

Sebagai gambaran, jarak dari Gema ke Tanjung Beringin sekitar 17—18 kilometer. Waktu tempuhnya dua jam. Makin ke arah hulu, ongkos minyak dan jasa motoris makin mahal. Jika nekat, satu piyau mampu mengangkut delapan sak semen dengan total bobot 400 kilogram.

Lika-liku masyarakat menjalani keseharian di Bukit Rimbang Bukit Baling juga dialami Teguh Ahmad Riyadi (22). Dia adalah motoris piyau yang membawa TelusuRI selama liputan di kawasan tersebut. 

Tidak semua orang bercita-cita jadi motoris

Pertemuan dengan Teguh, sapaannya, bisa dibilang sebagai takdir. Ketika hendak berangkat dan masuk kawasan, tidak banyak motoris yang bisa mengantar karena sudah memiliki agenda lain. 

Sampai akhirnya Indra Rius (30), dubalang muda Tanjung Belit, menemukan satu kenalannya yang tinggal di Desa Gema. Orang itu adalah Teguh, pemuda asal desa hulu, Pangkalan Serai. 

Meskipun masih muda, Teguh cukup berpengalaman. Ia sudah belajar menjadi motoris sejak kelas 2 SMP. Sebagai orang dari daerah hulu yang jalurnya terkenal sangat sulit, penuh jeram deras, dan banyak batu, bisa dibilang ia cukup mumpuni membawa piyau bermesin Kohler 15 PK milik Indecon yang kami pinjam. Seorang fasilitator Indecon, Astin, turut menyertai selama peliputan di Tanjung Belit, Batu Songgan, Tanjung Beringin, dan Terusan.

Sepasang Mata Piyau: Dari Urusan Rumah Tangga sampai Asmara
Teguh, motoris muda asal Pangkalan Serai, dengan gaya santai dan tenang mengantar tim TelusuRI selama liputan di desa-desa dalam kawasan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling/Mauren Fitri

Sepanjang perjalanan menyusuri Sungai Subayang, memang beberapa kali sempat terjadi insiden menegangkan. Misalnya, sempat kandas di perairan Batu Songgan, nyaris terbalik di Aur Kuning, atau menyerempet tebing di dekat Gajah Bertalut. Penyebab utamanya karena arus kencang. Namun, Teguh mampu mengendalikannya dengan baik.

Putra dari Zamris dan Areni itu punya pengalaman romantis dengan piyau. Kisahnya terjadi sudah cukup lama, kira-kira sebelum kepindahan keluarganya dari Pangkalan Serai ke Gema beberapa tahun lalu. Cerita ini ia sampaikan ketika TelusuRI sedang menginap di Tanjung Beringin.

“Dulu mantanku orang Tanjung Beringin,” katanya.

Namanya anak muda zaman sekarang, Teguh dan sang mantan pun pernah mengalami enaknya pacaran. Namun, berbeda dengan anak-anak di kota, Teguh tidak mungkin berjumpa dengan pacarnya untuk nge-date dengan sepeda motor. Satu-satunya jalan penghubung antardesa di Bukit Rimbang Bukit Baling adalah Sungai Subayang. Satu-satunya alat transportasi yang dipakai adalah piyau.

Dari dua kesempatan nge-date dengan piyau, ada satu yang paling berkesan buat Teguh. Ia pernah secara sengaja menyempatkan diri mampir ke Tanjung Beringin. Idenya mengajak sang pacar jalan-jalan naik piyau ke salah satu pulau di sekitar Sungai Subayang.

Mereka pun pergi ke pulau tersebut. Berdua saja. Konsepnya memang serupa piknik. Selepas perahu ditambatkan ke batang pohon, Teguh mencari ikan sungai lalu membakarnya untuk disantap bersama-sama. Bayangkan suasana syahdu seperti ini. Menikmati waktu dengan orang terkasih, ditemani kecipak air sungai yang jernih, di tengah hutan belantara pula. 

Sayang, keindahan hubungan keduanya tidak bertahan lama. Namanya juga anak muda. Kami sempat berasumsi, jangan-jangan pengalaman itu pula yang membuat Teguh akhirnya enggan mencari uang dengan menjadi motoris piyau sepenuhnya.

Namun, ternyata ia punya jawaban lain, “[Saya] mulai meninggalkan dunia motoris, karena risikonya besar.”

Sepasang Mata Piyau: Dari Urusan Rumah Tangga sampai Asmara
Raut lega Teguh ketika sudah keluar kawasan SM Bukit Rimbang Bukit Baling. Di hari itu, sempat terjadi insiden menegangkan. Di perairan Sungai Subayang yang berarus deras dan dangkal dekat Batu Songgan, ia menceburkan diri dan menahan laju piyau agar tidak menabrak tebing dan piyau lain dari arah berlawanan/Rifqy Faiza Rahman

Teguh cukup kenyang dengan pengalaman tenggelam, tabrakan, mengalami luka, dan kehabisan minyak [bahan bakar] di tengah perjalanan dengan piyau. Ia merasa keahliannya sudah cukup dan hanya akan menjadi motoris untuk keluarganya saja. Alasan lain adalah karena seluruh keluarganya sudah pindah rumah di Desa Gema. Paling hanya satu atau dua kali dalam setahun mereka akan pulang kampung ke hulu. 

“Untuk ke depannya sih, pengin bikin rumah sendiri di Gema. Terus buka usaha sendiri, seperti kedai grosir [sehingga] yang dari atas [Bukit Rimbang Bukit Baling] bisa belanja ke rumah,” angan Teguh.

Mengenal sekilas Bogok, seniman piyau legendaris

Kisah-kisah unik yang berkaitan dengan piyau, tentu tidak lepas dari peran piyau itu sendiri dan sosok pembuatnya. Dari cerita Teguh, diketahui sebenarnya ada tiga desa pengrajin piyau di dalam kawasan Bukit Rimbang Bukit Baling. Namun, ia mengakui jika pengrajin yang terbaik dari yang terbaik ada di Desa Terusan. Di desa ini pelopor pembuatan kerajinan piyau adalah Nasaruddin atau Bogok (63). Ia merupakan salah satu dari tiga pengrajin di Terusan, yang tidak lain masih terhitung kerabatnya juga.

Sepasang Mata Piyau: Dari Urusan Rumah Tangga sampai Asmara
Bogok sedang mengerjakan pesanan piyau di tempat kerjanya, Desa Terusan, kawasan SM Bukit Rimbang Bukit Baling. Ia memotong balok kayu dengan senso untuk dijadikan bilah-bilah papan, sebelum direkatkan menjadi lambung atau badan piyau/Deta Widyananda

“Saya [mulai] membikin piyau tahun 1978,” kata Bogok, “yang mengajarkan kakek saya. Namanya Nenan.” Kini ia masih produktif bekerja membuat piyau, dibantu oleh putra menantunya, Atur dan cucunya, Reinaldi. 

Bogok memproduksi piyau berdasarkan pesanan. Ukurannya juga tergantung jenis mesin tempel yang akan dipakai sebagai sumber tenaga kemudi oleh pemesan. Di kalangan masyarakat Bukit Rimbang Bukit Baling, ada dua jenis piyau yang populer dan dikategorikan berdasarkan merek mesin tempelnya, yakni Robin dan Johnson. Meski sekarang kedua merek tersebut tidak lagi “monopoli” kancah permesinan kapal karena sudah ada alternatif lain, masyarakat masih sering menyebut namanya.

Piyau jenis Robin dengan kapasitas tenaga mesin di bawah 20 PK, atau mengacu ukuran standar Bogok berukuran panjang 8,5 meter, bisa mengangkut 3—5 penumpang. Di luar barang bawaan. Beban maksimalnya 300 kilogram. Bogok menjualnya di kisaran 5—6 juta rupiah. Meskipun daya tampungnya kecil dan lambat, piyau Robin lebih lincah saat melewati arus atau jeram di antara bebatuan. 

Sedangkan piyau Johnson berukuran lebih panjang dan lebar. Bisa mengangkut lebih banyak orang. Harganya berkisar 8—12 juta rupiah. Meski kapasitas mesinnya besar—mencapai 25 PK—dan lebih cepat, piyau Johnson tidak selincah Robin saat melewati jalur sempit dan dangkal. Biaya pembuatan kedua jenis piyau tersebut belum termasuk pemasangan aksesoris tambahan, seperti atap atau kursi.

Menurut Bogok ada sejumlah jenis kayu yang bisa dijadikan bahan baku piyau, antara lain medang, kempas, punjung, dan meranti. “Yang paling bagus medang,” katanya. Biasanya Bogok mengambil bahan kayu dari dalam hutan di sekitar Desa Terusan. Ia membutuhkan setidaknya enam sampai delapan batang kayu untuk satu piyau Robin. Namun, jika kesulitan bahan, ia mencari dan membeli kayu dari luar kawasan seharga Rp2,5 juta untuk membuat satu piyau. Dalam sebulan Bogok bersama menantu dan cucunya mampu membuat 2—4 piyau. Artinya, setiap piyau bisa selesai dalam waktu satu minggu.

Sepasang Mata Piyau: Dari Urusan Rumah Tangga sampai Asmara
Bentuk dasar lambung piyau yang hampir jadi. Sehari-hari Bogok bekerja dibantu menantunya (paling kiri) dan cucunya (tengah). Piyau buatan Bogok terkenal berkualitas karena pilihan kayu, kerapian pahatan, dan daya tahannya terhadap air maupun benturan/Deta Widyananda

Usia pemakaian piyau tergantung perawatan. Rata-rata satu piyau bisa awet setidaknya 3—4 tahun, karena bagusnya kualitas kayu yang tahan air dan benturan. Walau terkadang belum sampai dua tahun mereka akan ganti piyau baru. 

Salah satu ciri khas piyau buatan Bogok adalah motif garis tegas di bagian lambungnya. Seperti ada goresan dalam dan diberi pewarna cat. Selain itu yang paling menarik adalah ornamen di bagian kepala atau disebut pompang. Seolah menjadi sepasang mata piyau ketika berjalan memecah arus sungai. Ukirannya menunjukkan karakteristik budaya Kenagarian Terusan. Desa pengrajin piyau lainnya juga memiliki ornamennya sendiri.

Menanggapi produksi piyau yang menggunakan bahan baku kayu dari hutan, Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (BBKSDA) Riau, Genman Suhefti Hasibuan, S.Hut, M.M. (50) mengatakan, “Sepanjang piyau diproduksi secara tradisional untuk alat transportasi masyarakat yang ada di sana, maka hal tersebut dimungkinkan.”

Pihaknya terus berusaha melakukan pendekatan sosialisasi dan edukasi ke masyarakat pengrajin piyau. Sembari terus meminta dan mengawasi agar tidak sampai terjadi komersialisasi skala besar dan mengirim bahan baku ke luar kawasan.

Saat ini BBKSDA Riau sedang bekerja sama dengan lembaga masyarakat sipil, untuk mengatur kembali tata kelola blok khusus 17.348,50 hektare yang bisa digunakan masyarakat kawasan SM Bukit Rimbang Bukit Baling. Termasuk memuat ketentuan tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. (*)


Foto sampul:
Piyau-piyau milik warga bersandar di pulau berbatu di pinggiran Sungai Subayang, Desa Tanjung Belit, Kampar, Riau/Deta Widyananda

Pada September—Oktober 2023, tim TelusuRI mengunjungi Sumatra Utara, Riau, dan Kalimantan Timur dalam ekspedisi Arah Singgah: Meramu Harmoni Kehidupan Manusia dan Alam. Laporan perjalanannya dapat diikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Sepasang Mata Piyau: Dari Urusan Rumah Tangga sampai Asmara appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sepasang-mata-piyau-dari-urusan-rumah-tangga-sampai-asmara/feed/ 0 40605
Melirik Ekonomi Alternatif di Bukit Rimbang Bukit Baling https://telusuri.id/melirik-ekonomi-alternatif-di-bukit-rimbang-bukit-baling/ https://telusuri.id/melirik-ekonomi-alternatif-di-bukit-rimbang-bukit-baling/#respond Sun, 17 Dec 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40541 Di luar kekhasan alam dan tradisinya, masyarakat Bukit Rimbang Bukit Baling punya potensi ekonomi ramah lingkungan, terutama ekowisata. Perlu dukungan berkelanjutan banyak pihak. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri Selama ini, kegiatan...

The post Melirik Ekonomi Alternatif di Bukit Rimbang Bukit Baling appeared first on TelusuRI.

]]>
Di luar kekhasan alam dan tradisinya, masyarakat Bukit Rimbang Bukit Baling punya potensi ekonomi ramah lingkungan, terutama ekowisata. Perlu dukungan berkelanjutan banyak pihak.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri


Melirik Ekonomi Alternatif di Bukit Rimbang Bukit Baling
Berkemah di Pulau Tonga merupakan salah satu daya tarik wisata andalan Tanjung Belit. Desa ini merupakan akses utama menuju desa-desa di dalam kawasan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling/Deta Widyananda

Selama ini, kegiatan ekowisata yang sudah berjalan di sekitar Bukit Rimbang Bukit Baling, Riau, kebanyakan terpusat di Desa Tanjung Belit. Wilayah yang jadi gerbang masuk menuju suaka margasatwa tersebut memang memungkinkan eksplorasi potensi wisata secara maksimal. Selain bukan sepenuhnya kawasan konservasi, Tanjung Belit adalah desa terakhir yang bisa dijangkau kendaraan bermotor, serta terhubung jaringan internet seluler dan listrik PLN.

Pengembangan ekowisata di Tanjung Belit mendapatkan bantuan pendampingan dan pelatihan dari sejumlah organisasi nirlaba, di antaranya para anggota konsorsium KERABAT—terdiri dari Yapeka, Forum Harimau Kita, dan Indecon. Salah satu hasilnya adalah keberadaan homestay warga dan penyediaan paket wisata berbasis masyarakat. 

Menurut Mansyur, bendahara kelompok sadar wisata (pokdarwis) Tanjung Belit, sebenarnya potensi wisata di Tanjung Belit banyak. ”Cuma yang di sini tampaknya agak bisa berjalan, [yaitu] potensi alami air terjun Batu Dinding dan perkemahan di Pulau Tong,” ungkapnya.

Sementara situasi di dalam kawasan Suaka Margasatwa (SM) Bukit Rimbang Bukit Baling berbeda. Krusialnya fungsi ekologis hutan hujan dataran rendah dan Sungai Subayang untuk kelangsungan makhluk hidup di Riau dan Sumatra bagian tengah, menjadikan penerapan ekowisata secara terbatas harus dilakukan penuh kehati-hatian. 

Sejauh ini memang belum ada izin khusus dari Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (BBKSDA) Riau kepada pelaku atau operator khusus untuk mengelola potensi jasa lingkungan. Namun, Kepala BBKSDA Riau Genman Suhefti Hasibuan, S.Hut., M.M. (50), membuka pintu kesempatan itu sebagai salah satu upaya alternatif pemberdayaan masyarakat di dalam kawasan melalui kerja sama dengan organisasi nirlaba dan Pemerintah Kabupaten Kampar. Tentu dengan tetap memerhatikan rambu-rambu kawasan konservasi sesuai ketentuan yang berlaku.

Meskipun begitu, keterbatasan yang ada tidak menutup fakta yang sama pentingnya. Beberapa desa di dalam maupun luar kawasan memiliki potensi daya tarik ekowisata. Mulai dari sektor alam, budaya, kerajinan tangan, hingga kuliner. Selain inisiatif warga secara turun-temurun, program pelatihan dan pendampingan oleh sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) berperan penting menggali dan memetakan potensi ekonomi alternatif yang ramah lingkungan.

  • Melirik Ekonomi Alternatif di Bukit Rimbang Bukit Baling
  • Melirik Ekonomi Alternatif di Bukit Rimbang Bukit Baling
  • Melirik Ekonomi Alternatif di Bukit Rimbang Bukit Baling

Ekowisata alam

Wisata alam adalah daya tarik terbesar di SM Bukit Rimbang Bukit Baling. Baik di dalam maupun luar kawasan. Jika memasuki kawasan, perlu terlebih dahulu mengurus Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi (SIMAKSI) di BBKSDA Riau. Di Muara Bio terdapat sebuah kantor resor yang biasanya melakukan pengecekan kunjungan wisatawan.

Tanjung Belit sebagai kawasan penyangga dan pintu masuk menuju SM Bukit Rimbang Bukit Baling, memiliki destinasi wisata alam unggulan, yakni air terjun Batu Dinding. Hanya perlu trekking selama 10—15 menit untuk tiba di air terjun utama. Air terjun ini berada di tengah hutan adat Tanjung Belit, yang vegetasinya cukup rapat. 

Indra Rius (30), dubalang pemuda Tanjung Belit, mengatakan bahwa keragaman burung di hutan tersebut cukup bagus. Ia sempat memotret sejumlah spesies, antara lain julang emas, kangkareng hitam, elang, dan burung-burung kecil. Bagi wisatawan penggemar birdwatching, hutan adat Tanjung Belit bisa jadi sasaran menarik untuk mengamati burung bersama pemandu.

Sementara di dalam kawasan, Desa Tanjung Beringin memiliki potensi ekowisata bernuansa petualangan di puncak Bukit Sakti. Menurut Bang Zul, salah satu warga, jarak pendakian ke bukit tersebut sekitar 2,5—3 jam jalan kaki dari kampung. Rutenya melewati makam Datuk Pagar dan Datuk Darah Putih yang menanjak. Sepulang dari berkemah di puncak bisa mampir ke Tumulun, sebuah kolam alami di Sungai Dekwak. Aliran sungai ini bertemu dengan Sungai Subayang di bawah jembatan desa. 

Jika bingung akan pergi ke desa mana, salah satu cara seru untuk menikmati alam sekaligus menguji adrenalin adalah dengan menyewa piyau. Susur Sungai Subayang dari Tanjung Belit ke arah hulu sejauh tak kurang dari 36 kilometer atau 3—4 jam perjalanan.

Melirik Ekonomi Alternatif di Bukit Rimbang Bukit Baling
Sejumlah warga Tanjung Beringin menaiki piyau untuk mengikuti prosesi sema rantau, tradisi leluhur yang bertujuan menolak bala dan memohon kepada Allah SWT agar kampung aman dari gangguan dan diberi keberkahan/Astin Atas Asih

Ekowisata budaya 

Seluruh desa di dalam kawasan SM Bukit Rimbang Bukit Baling dahulu merupakan daerah kekuasaan Kerajaan Gunung Sahilan, yang diperkirakan berdiri pada abad ke-17 atau 18. Desa Batu Songgan menjadi ibu kota Kekhalifahan Batu Songgan, yang membawahkan kenagarian-kenagarian (setara desa) di sekitarnya.

Unsur historis tersebut merekatkan adat yang diwariskan turun-temurun. Masing-masing desa memiliki ninik mamak (pemimpin atau pemangku adat) untuk menjaga kelestarian adat dari nenek moyang. Menurut Ajis Manto atau Datuk Pucuk (55), ninik mamak Desa Tanjung Beringin, ketentuan adat bisa menjadi pegangan masyarakat sehari-hari. Tujuannya agar tercipta harmoni antara manusia dan alam sekitar tempat mereka hidup.

Melirik Ekonomi Alternatif di Bukit Rimbang Bukit Baling
Seorang pria melempar jala dari atas piyau ke permukaan Sungai Subayang saat proses pembukaan lubuk larangan di Batu Songgan/Vita Cecilia Chai

Saat ini beberapa tradisi lokal telah menjadi kalender wisata rutin yang ditunggu-tunggu masyarakat. Baik dari daerah Kampar maupun di luar Riau. Salah satu tradisi yang masih terjaga dan ramai diburu warga dan wisatawan adalah pembukaan lubuk larangan yang dilaksanakan sekali dalam setahun di desa masing-masing. Lubuk larangan adalah tempat berkumpulnya ikan-ikan Sungai Subayang dan masyarakat dilarang mengambilnya selama periode tersebut. Panen raya, penangkapan tradisional, dan pelelangan baru dilakukan ketika sudah tiba waktunya sesuai kesepakatan ninik mamak dan masyarakat. 

Selain itu wisatawan juga bisa belajar kebudayaan yang ada di setiap desa. Contohnya, di Tanjung Beringin. Di desa ini ibu-ibu masih melakukan Batimang (menimang-nimang sebelum tidur) untuk anaknya yang baru lahir, serta memiliki calempong, perangkat musik semacam gamelan.

Marianum (kanan), warga Tanjung Beringin, mempraktikkan senandung Batimang/Deta Widyananda

Seni kriya pandan di Batu Songgan

Di Batu Songgan, ibu-ibu tergabung dalam Kelompok Wanita Tani (KWT) Pulau Koto yang memproduksi kerajinan anyaman pandan. Dari 12 anggota aktif, TelusuRI menemui delapan orang yang berkumpul di rumah Rumiati. Saat itu tersedia beberapa produk jadi, antara lain topi, peci, tikar tidur, tikar sajadah, tas jinjing, dan gantungan kunci. Harganya bervariasi, tergantung jenis produk, ukuran, dan kerumitan motif. Misalnya, tikar untuk tidur Rp150.000, lalu topi berkisar Rp40.000—75.000.

Berdasarkan cerita Lenriani, salah satu anggota, pembuatan kerajinan anyaman rumbai atau pandan bermula karena keadaan susah dan serba terbatas yang dialami para orang tua zaman dahulu. Ketika berkebun atau bertani, terasa panas kena matahari karena tidak ada pelindung kepala. Lalu muncullah ide mengolah daun pandan menjadi topi. Begitu pun dengan tas kantung tempat ikan atau beras, dompet sebagai wadah uang atau barang, hingga tikar untuk alas tidur.

Produk kerajinan KWT Pulau Koto mengalami pengembangan setelah diberi pelatihan dari konsorsium KERABAT. Dari yang semula mencukupi kebutuhan sendiri, sekarang bisa dijual dan menghasilkan pendapatan untuk masyarakat. Mereka memanfaatkan bahan baku rumbai yang mudah didapat di hutan dekat rumah. Selain pandan, KWT Pulau Koto juga membuat produk dari rotan. 

Tantangan yang dihadapi beragam. Regenerasi pengrajin—tidak semua perempuan atau anak muda mau menganyam, faktor cuaca yang menghambat proses penjemuran daun pandan, dan lamanya pembuatan, karena menunggu motif sesuai keinginan pemesan. Kesibukan lain sebagai ibu rumah tangga juga menyita waktu membuat kerajinan.

Jelajah pangan lokal Tanjung Beringin

TelusuRI mencicipi kuliner lokal ketika tinggal dua malam di Tanjung Beringin. Kami menginap di rumah Tahtil yang bersebelahan dengan rumah Datuk Pucuk. Ia bersama suami dan anaknya tinggal seatap dengan Roainah atau Mak Dang, kakak Tahtil, dan suaminya.

Yang menarik, bahan-bahan penyusun masakannya diambil dari tanaman di sekitar hutan dekat kampung. Sayuran yang sering digunakan berupa tanaman pakis untuk lalapan, biasa diramban dari kebun liar sekitar rumah. Lauk utama masyarakat Tanjung Beringin adalah ikan air tawar yang banyak tersedia di Sungai Subayang. Jika ingin memasak daging ayam, tahu, atau tempe, maka harus belanja terlebih dahulu ke pasar di kecamatan. Atau, menunggu kehadiran pedagang pasar keliling pakai piyau yang datang sekali dalam seminggu ke arah hulu.

  • Melirik Ekonomi Alternatif di Bukit Rimbang Bukit Baling
  • Melirik Ekonomi Alternatif di Bukit Rimbang Bukit Baling
  • Melirik Ekonomi Alternatif di Bukit Rimbang Bukit Baling
  • Melirik Ekonomi Alternatif di Bukit Rimbang Bukit Baling
  • Melirik Ekonomi Alternatif di Bukit Rimbang Bukit Baling

Salah satu menu yang sempat kami cicipi adalah ompok (asam padeh) buntut ayam. Masakan khas Kampar, Riau dari olahan buntut ayam. Penyajiannya buntut ayam dibakar, lalu ditambahkan bumbu cabai dan bawang goreng yang sudah digoreng dan diulek. 

Kemudian ada sigham, olahan dari bakaran ikan salai yang sudah kering. Bumbunya sederhana. Hanya dengan mengulek sedikit cabai, bawang putih, dan dicampurkan ke ikan salai, lalu digoreng dengan sedikit minyak. Sebagai pelengkap, disediakan pula sayur ubi rebus.

Dan masih banyak lagi. Menikmati pangan lokal di satu tempat saja rasanya memanjakan perut. Apalagi di desa-desa lain dengan ciri khas masing-masing. Kekayaan kuliner setempat bisa menjadi nilai tambah yang membantu perekonomian masyarakat.

  • Melirik Ekonomi Alternatif di Bukit Rimbang Bukit Baling
  • Melirik Ekonomi Alternatif di Bukit Rimbang Bukit Baling

Peluang optimasi energi terbarukan

Sampai sekarang desa-desa di dalam SM Bukit Rimbang Bukit Baling mengandalkan sumber energi terbarukan, karena tidak ada jaringan listrik PLN. Salah satu yang masih berjalan baik adalah pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMh) di Batu Songgan. 

Iwandra, pengurus PLTMh Batu Songgan, pemerintah pusat melalui pemerintah kabupaten memberikan bantuan PLTMh pada 2008. Akan tetapi, belum satu bulan sudah macet dan mati total selama tujuh tahun. Sampai kemudian 2015 diperbaiki dan berfungsi kembali.

Listrik menyala optimal tatkala air sungai sedang pasang, biasanya saat musim hujan besar. Dayanya lebih besar ketimbang PLTS, sehingga masyarakat bisa memiliki kulkas dan mesin cuci. Jika air sedang surut, maka penggunaan listrik dibatasi selama setengah hari dari petang sampai tengah malam. 

Biaya operasional PLTMh berasal dari iuran warga atau per kepala keluarga pemilik rumah yang dialiri listrik. Tarifnya Rp30.000 setiap bulan. Uang itu masuk kas PLTMh sebagai unit Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Hasilnya bisa diputar kembali untuk masyarakat dalam bentuk bantuan sosial maupun pembangunan sarana-prasarana kampung.

Salah satu kendalanya adalah letak PLTMh cukup jauh dari kampung. Jika terjadi masalah teknis pada turbin, masyarakat harus naik piyau ke lokasi. Pengurus berharap bisa dibangun jembatan gantung agar aksesnya lebih mudah dan penanganannya cepat. Selain itu Iwandra menitip pesan kepada masyarakat agar menjaga kedalaman Sungai Subayang, dengan cara merawat hutan agar tidak ada kayu terbuang dan bisa membuat sungai mengalami pendangkalan.

Tantangan pengembangan

Pengembangan potensi ekonomi alternatif ramah lingkungan di wilayah konservasi memang tidak segampang menyusun program di wilayah nonkonservasi. Apalagi kawasan dengan fungsi ekologis sepenting SM Bukit Rimbang Bukit Baling. Jika mengikuti peraturan yang berlaku, maka akan menyadari rambu-rambunya cukup ketat.

Aksesibilitas yang hanya melalui jalur sungai bisa menjadi kendala mobilitas. Jauh dari mana pun. Sepenuhnya bergantung pada cuaca dan pasang-surut sungai. Namun, sisi baik dari kondisi ini bisa menyaring pengunjung—di luar warga setempat—agar tidak melebihi kapasitas daya dukung kawasan. Penduduk di dalam kawasan suaka margasatwa perlu menjalin koordinasi dengan masyarakat desa penyangga, Tanjung Belit dan Gema, agar sama-sama menjaga kawasan.

Ritme kolaborasi BBKSDA Riau selaku pemangku kawasan, pemerintah kabupaten, para organisasi nirlaba atau LSM lain seolah berkejaran dengan waktu. Sebab di saat yang sama aktivitas ilegal di dalam kawasan terus berlangsung, terutama pembalakan liar dan perambahan hutan.

Para pemangku kepentingan tidak bisa berjalan sendirian. Dalam perannya masing-masing, sesuai kewenangan yang dimiliki, perlu ada keselarasan visi di program atau kebijakan yang dikerjakan. Masyarakat lokal perlu pendampingan dan dukungan berkelanjutan. Terlalu sayang rasanya jika suara orang yang peduli hutan kalah dengan tetangga sekitarnya yang berkarakter sebaliknya. Walau untuk alasan ekonomi sekalipun.

Pendekatan ekowisata, kriya, dan pangan lokal sebagai sumber ekonomi alternatif ramah lingkungan hanyalah satu upaya untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Khususnya di dalam kawasan SM Bukit Rimbang Bukit Baling. Tujuan besar dari sebuah program pemberdayaan adalah kesadaran penuh masyarakat terhadap fungsi kawasan, serta kemauan untuk kreatif dan berdaya saing.

Kuncinya bukan tergantung di salah satu pihak semata. Kuncinya ada di semua pihak. Duduk bersama. Berpikir dan beraksi bersama untuk keseimbangan konservasi dan ekonomi SM Bukit Rimbang Bukit Baling. (*)


Foto sampul:
Astin Atas Asih (kiri), fasilitator lokal dari Indecon—anggota konsorsium KERABAT—mendampingi ibu-ibu Kelompok Wanita Tani (KWT) Pulau Koto Batu Songgan dalam pembuatan produk lokal unggulan di kawasan SM Bukit Rimbang Bukit Baling/Deta Widyananda

Pada September—Oktober 2023, tim TelusuRI mengunjungi Sumatra Utara, Riau, dan Kalimantan Timur dalam ekspedisi Arah Singgah: Meramu Harmoni Kehidupan Manusia dan Alam. Laporan perjalanannya dapat diikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Melirik Ekonomi Alternatif di Bukit Rimbang Bukit Baling appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/melirik-ekonomi-alternatif-di-bukit-rimbang-bukit-baling/feed/ 0 40541
Senandung Bukit Rimbang Bukit Baling https://telusuri.id/senandung-bukit-rimbang-bukit-baling/ https://telusuri.id/senandung-bukit-rimbang-bukit-baling/#respond Sat, 16 Dec 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40528 Ekosistem hutan tropis dan sungai nan asri menjadi oase kehidupan di Sumatra bagian tengah. Mencari jalan tengah antara kebutuhan ekonomi dan konservasi. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri Bagi sebagian orang, Riau...

The post Senandung Bukit Rimbang Bukit Baling appeared first on TelusuRI.

]]>
Ekosistem hutan tropis dan sungai nan asri menjadi oase kehidupan di Sumatra bagian tengah. Mencari jalan tengah antara kebutuhan ekonomi dan konservasi.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri


Senandung Bukit Rimbang Bukit Baling
Perahu tradisional atau piyau dan motoris (pengemudi piyau) menjadi pemandangan sehari-hari di lintasan Sungai Subayang. Piyau merupakan napas terpenting untuk konektivitas antardesa di dalam maupun luar kawasan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling, Riau/Mauren Fitri

Bagi sebagian orang, Riau begitu lekat dengan kabut asap. Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) gambut paling parah terjadi pada 2015. Dampaknya sampai dirasakan negara tetangga, Singapura dan Malaysia. Karhutla serupa tahun 2019 kian menjustifikasikan itu. 

Selain polusi udara, Riau juga dikenal sebagai salah satu provinsi terkaya di Indonesia. Berdasarkan data BPS, pada tahun 2022 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita Riau mencapai 149,9 juta rupiah. Setiap orang di provinsi ini diperkirakan berpendapatan Rp 12,49 juta per bulan. Peringkat keempat setelah DKI Jakarta, Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara. Industri manufaktur, pertambangan minyak bumi dan gas, serta perkebunan kelapa sawit jadi penopang terbesar.

Padahal di balik itu Riau punya satu kawasan hutan tropis yang jadi sumber kehidupan banyak orang, yakni Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling. Belakangan tempat ini sering disorot dan dibicarakan, karena geliat ekowisata dan panorama alamnya. Letaknya jauh nun di selatan Kabupaten Kampar, terhampar ratusan ribu hektare hutan belantara. Sungai jernih dengan banyak titik jeram membelah di antaranya. Kerbau yang berendam dan biawak yang sedang berjemur di pulau berbatu jadi pemandangan menarik sepanjang perjalanan.

Ketika TelusuRI masuk kawasan, makin ke dalam rasanya seperti berada di dimensi berbeda. Hutan di kanan dan kiri begitu membius. Udara sejuk dan kecipak air sungai menyegarkan. Batu-batu di dasar sungai terlihat jelas. Walau di sisi lain tidak bisa menyembunyikan ketegangan setiap piyau (sejenis sampan) menghantam jeram atau kandas karena sungai terlalu dangkal. 

Di dalam kawasan, orang-orang desa pedalaman bergantung pada sumber daya air dan hasil hutan. Bertahan hidup dengan keterbatasan akses pendidikan, kesehatan, transportasi, dan kebutuhan rumah tangga. Mencoba berdamai dengan gejolak alam liar yang tidak terprediksi.  

Benteng terakhir Riau

Kawasan hutan dan sungai Bukit Rimbang Bukit Baling ditetapkan menjadi suaka margasatwa dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. 3977/Menhut-VIII/KUH/2014. Luasnya 141.226,25 hektare. Cakupan area Suaka Margasatwa (SM) Bukit Rimbang Bukit Baling terbagi ke dua wilayah administrasi, Kabupaten Kampar dan Kuantan Singingi. Kawasan konservasi yang berbatasan dengan hutan lindung di wilayah Sumatra Barat itu dikelola oleh Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau. 

SM Bukit Rimbang Bukit Baling merupakan rumah bagi harimau sumatra beserta flora dan fauna endemik lainnya. Keanekaragaman hayatinya sangat beragam. Berdasarkan informasi dari situs resmi BBKSDA Riau, kawasan ekosistem hutan hujan dataran rendah ini merupakan habitat utama lima jenis kucing—termasuk harimau sumatra, ratusan jenis burung, lebih dari 100 jenis flora (di antaranya cendawan muka rimau atau Rafflesia hasseltii suringar), sampai dengan sejumlah primata dan mamalia lainnya.

Menurut Kepala BBKSDA Riau Genman Suhefti Hasibuan, S.Hut., M.M. (50), “Bukit Rimbang Bukit Baling adalah kawasan konservasi terluas yang tersisa dan relatif masih asri di Provinsi Riau,” jelasnya, “bisa kita sebut bagian dari benteng terakhir kawasan konservasi yang ada di Riau.”

Ia menambahkan, ada dua sungai utama yang mengalir di kawasan tersebut, salah satunya Sungai Subayang yang berhulu di kawasan hutan lindung perbatasan Sumatra Barat—Riau.

Selain sebagai satu-satunya akses transportasi masyarakat dengan piyau (sejenis sampan), peran sungai yang menjadi bagian dari DAS Kampar itu juga berperan sebagai penyuplai air untuk masyarakat. Terutama di Kampar, Pekanbaru, hingga Sumatra Barat. Sungai ini akan jernih dan dangkal saat musim kemarau, serta berwarna kecokelatan ketika musim hujan.

Dalam konteks harimau sumatra, Genman menilai Bukit Rimbang Bukit Baling adalah satu-satunya habitat terbaik di Riau bagi satwa loreng itu. Mengingat daya jelajahnya yang luas, menjaga kawasan hutan lindung perbatasan di Sumatra Barat juga tidak kalah penting.

“Saya kira sudah sepantasnya semua pihak setuju untuk menyelamatkan kawasan SM Bukit Rimbang Bukit Baling. Karena kalau tidak, nanti akan mengancam kehidupan manusia dan satwa liar yang kita lindungi,” tegasnya.

Senandung Bukit Rimbang Bukit Baling
Seorang warga Tanjung Beringin melempar jala di Sungai Subayang yang sedang dangkal. Selain menjadi jalur transportasi, sungai ini menyediakan aneka ikan air tawar untuk kebutuhan pangan masyarakat, khususnya di dalam kawasan SM Bukit Rimbang Bukit Baling/Rifqy Faiza Rahman

Tekanan-tekanan untuk kawasan

Di dalam kawasan, ada delapan desa (kenagarian) di bawah wilayah adat Kekhalifahan Batu Songgan. Wilayah ini dulunya di bawah kekuasaan Kerajaan Gunung Sahilan. Secara berurutan dari arah hulu, yaitu Pangkalan Serai, Subayang Jaya, Terusan, Aur Kuning, Gajah Bertalut, Tanjung Beringin, Batu Songgan, dan Muara Bio. Mayoritas warganya mencari sumber penghidupan dari hutan dan sungai. Setiap desa memiliki potensi sumber daya alam dan keunikan tradisinya masing-masing. 

Meski tidak ada angka pasti, beberapa sumber menyebut masyarakat desa di dalam kawasan sudah menetap turun-temurun selama ratusan tahun. Karena sudah tinggal jauh lebih dahulu sebelum penetapan status kawasan suaka margasatwa, BBKSDA Riau tidak merelokasi permukiman.

Atas dasar nilai sejarah, BBKSDA menempatkan permukiman desa-desa adat Bukit Rimbang Bukit Baling ke dalam blok khusus seluas 17.348,50 hektare. Tidak hanya permukiman, delineasi luasan blok tersebut juga berdasarkan keberadaan lahan pemanfaatan untuk budidaya komoditas Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). 

“Tidak mungkin, misalnya, begitu [Bukit Rimbang Bukit Baling] ditunjuk jadi SM, mereka langsung dikeluarkan. Mereka diakomodasi untuk bisa hidup dan berkehidupan. Tentu berkehidupan secara tradisional dan tidak boleh dipindahtangankan secara komersial, [kecuali] kalau ada keturunannya yang melanjutkan.” tutur Genman.

Namun, jamak terjadi di kawasan konservasi lainnya di Indonesia, SM Bukit Rimbang Bukit Baling juga tidak lepas dari ancaman lingkungan karena faktor manusia. Pembalakan liar, perburuan satwa, dan perambahan hutan terus menekan eksistensi kawasan.

Senandung Bukit Rimbang Bukit Baling
Sejumlah pemuda bercengkerama di tepian Pulau Tonga, Desa Tanjung Belit, Kampar. Tampak di kejauhan jejak perambahan hutan dan pembukaan lahan kelapa sawit menekan desa penyangga yang juga menjadi pintu masuk menuju kawasan SM Bukit Rimbang Bukit Baling tersebut/Deta Widyananda

Mulanya, kebanyakan masyarakat Bukit Rimbang Bukit Baling menanam karet. Namun, seiring harga karet yang anjlok bahkan kurang dari Rp10.000 per kilogram, sebagian beralih membuka lahan bekas karet untuk ditanam kelapa sawit.

Bahkan saat pagi di Tanjung Beringin, terlihat asap menggelayuti pucuk-pucuk hutan di perbukitan. Sempat mengira kabut alami penyejuk pagi, ternyata itu kabut asap karena pembakaran lahan untuk membuka lahan perkebunan.

Tak sedikit juga yang bermain kayu. Selama perjalanan menyusuri Sungai Subayang dari Tanjung Belit ke Terusan, desa terjauh yang dituju, TelusuRI menyaksikan langsung sekelompok orang mengalirkan balok-balok kayu jenis meranti atau balam yang diikat ke sebuah piyau. Melintas seolah tak kenal waktu. Kayu-kayu yang diambil dari dalam hutan tersebut akan dibawa ke dermaga Tanjung Belit atau Gema. Di sana kayu akan dipindah ke truk atau mobil bak terbuka, dengan kapasitas setidaknya 10 meter kubik sekali angkut. Di beberapa titik saat menyusuri sungai, kadang terdengar suara senso meraung dari dalam hutan.

Ajis Manto atau Datuk Pucuk (55), salah satu ninik mamak atau ketua adat Desa Tanjung Beringin, tidak bisa memungkiri jika ada satu atau dua kelompok masyarakat yang menjadi pekerja kayu. Menurutnya, mereka berbuat seperti itu tanpa ada maksud memusnahkan hutan. Faktor ekonomi, terutama sejak era pandemi mendesak masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pemkab Kampar mencatat daerahnya merupakan kabupaten keempat termiskin di Riau, dengan jumlah penduduk di garis kemiskinan sekitar 15 ribu jiwa. Blok SM Bukit Rimbang Bukit Baling termasuk di dalamnya.

Dalam pandangan Genman, masyarakat yang melakukan pembalakan liar hanyalah suruhan. Bukan pelaku kunci. “Justru pelaku utamanya itu datang dari luar,” katanya.

Keterangan Teguh (22), motoris piyau yang membawa TelusuRI ke dalam kawasan, sedikit memperkuat pernyataan Genman. Pria asal Pangkalan Serai itu saat kecil sampai remaja sering menemani ayahnya menebang kayu berhari-hari di hutan Bukit Rimbang Bukit Baling. Hasilnya digunakan membiayai sekolah dan menghidupi keluarganya.

Ia bilang, ada pemodal atau pemain besar dari luar kawasan yang membiayai operasi pembalakan liar tersebut. Artinya, ada permintaan pasar yang besar. Entah dari Pekanbaru maupun kota-kota lain di sekitar Riau. Kini ayahnya sudah berhenti membalak, setelah beberapa tahun lalu kakinya patah karena tertimpa balok kayu di hutan.

Senandung Bukit Rimbang Bukit Baling
Ajis Manto atau Datuk Pucuk, ketua adat Desa Tanjung Beringin. Keberadaan pemangku adat di setiap desa, khususnya di dalam kawasan SM Bukit Rimbang Bukit Baling, berperan penting untuk menjaga kelestarian sungai dan hutan/Mauren Fitri

Mencari titik temu

Keterbatasan langkah di luar wewenang, personel pengawas di lapangan, dan pos anggaran untuk tanggung jawab pengelolaan dan upaya konservasi kawasan membuat BBKSDA Riau berada di posisi dilematis—jika bukan dibilang sulit. Di saat bersamaan tindakan-tindakan ilegal belum benar-benar berhenti, sementara masyarakat Bukit Rimbang Bukit Baling tetap harus bekerja untuk menyambung hidup.

Genman mengakui situasi tersebut. Ia mengungkapkan tiga cara atau strategi untuk mewujudkan perlindungan kawasan konservasi, sekaligus berupaya mengakomodasi kebutuhan dasar masyarakat. 

“Cara pertama itu persuasif,” terang mantan kepala BKSDA Aceh itu. Ia mengaku sudah banyak program diberikan. Baik oleh balai sendiri maupun kolaborasi dengan pemerintah kabupaten dan sejumlah lembaga masyarakat sipil. Salah satunya pemberian bantuan bibit jernang untuk dibudidayakan kelompok tani di setiap desa. Buah jernang dihasilkan dari tanaman jernang, yang merupakan komoditas HHBK. Dipercaya bernilai ekonomis cukup tinggi dan memiliki pasar ekspor.

Para kepala desa dan ninik mamak (pemimpin adat) juga diajak untuk terus mengedukasi masyarakat. Terutama yang membuka lahan kelapa sawit luasan kecil, yang ia anggap tidak menguntungkan. Ia yakin masyarakat hanya coba-coba karena tergiur orang-orang kaya dari berkebun sawit di luar daerah mereka.  

“Kemudian dari sisi preventif juga kami lakukan melalui kegiatan patroli oleh polisi kehutanan (polhut),” lanjut Genman menjelaskan strategi kedua.

Untuk mengatasi terbatasnya personel polhut, BBKSDA Riau bekerja sama dengan Yapeka, anggota konsorsium Kerabat—bersama Forum Harimau Kita dan Indecon—melatih masyarakat yang menjadi dubalang (pengawal hutan adat), agar ikut serta dalam pengamanan kawasan konservasi. Harapannya bisa merespons perubahan sekecil apa pun sejak dini untuk tindak lanjut berikutnya.

Langkah terakhir untuk mengamankan kawasan konservasi adalah cara represif. BBKSDA bertindak bersama Balai Penegakan Hukum (Gakkum KLHK) dan aparat penegak hukum, seperti unsur TNI dan polisi. Saat ini bersama Yapeka sedang didiskusikan cara menjerat pelaku kunci dari luar kawasan, khususnya penyokong dana pembalakan liar. Pengumpulan bukti masih menjadi kendala.

“Saya enggak bisa sendiri melakukan itu, karena keterbatasan kewenangan dan sumber daya manusia,” ujar Genman, “tapi saya yakin, dengan kebersamaan semua pihak pasti bisa [teratasi].”

Senandung Bukit Rimbang Bukit Baling
Seorang pria mengemudikan piyau yang mengangkut bilah-bilah petai untuk dijual ke Desa Tanjung Belit atau Gema. Petai merupakan salah satu komoditas hasil hutan bukan kayu yang cukup ekonomis di SM Bukit Rimbang Bukit Baling/Mauren Fitri

Meski berat, asa menjaga keseimbangan konservasi dan ekonomi itu masih ada. Sebagaimana senandung Batimang, lagu pengantar tidur bayi di Tanjung Beringin yang lestari sampai sekarang. Meniup doa Ibu, petuah, dan harapan besar kepada sang anak di masa depan.

Begitu pun semestinya Bukit Rimbang Bukit Baling, yang harus dijaga bersama. Jangan sampai auman harimau sumatra berubah jadi raungan kepedihan. (*)


Foto sampul:
Jembatan gantung membentang di atas Sungai Subayang di Desa Tanjung Beringin, salah satu dari delapan desa yang berada di kawasan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling/Deta Widyananda

Pada September—Oktober 2023, tim TelusuRI mengunjungi Sumatra Utara, Riau, dan Kalimantan Timur dalam ekspedisi Arah Singgah: Meramu Harmoni Kehidupan Manusia dan Alam. Laporan perjalanannya dapat diikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Senandung Bukit Rimbang Bukit Baling appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/senandung-bukit-rimbang-bukit-baling/feed/ 0 40528
Prolog: Arah Singgah 2023 https://telusuri.id/prolog-arah-singgah-2023/ https://telusuri.id/prolog-arah-singgah-2023/#respond Sat, 09 Dec 2023 09:00:29 +0000 https://telusuri.id/?p=40368 Selama satu bulan penuh, TelusuRI berjalan merekam kisah-kisah harmoni kehidupan manusia dan alam di tiga provinsi di Indonesia. Tidak semudah yang dibayangkan dalam daftar rencana. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri Dalam...

The post Prolog: Arah Singgah 2023 appeared first on TelusuRI.

]]>
Selama satu bulan penuh, TelusuRI berjalan merekam kisah-kisah harmoni kehidupan manusia dan alam di tiga provinsi di Indonesia. Tidak semudah yang dibayangkan dalam daftar rencana.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri


Prolog Arah Singgah 2023
Hutan pegunungan karst Sangkulirang-Mangkalihat berselimut awan di pagi hari, tandon air raksasa yang menghidupi masyarakat Dayak Lebo Kampung Merabu. Menyimpan ribuan tahun jejak prasejarah/Deta Widyananda

Dalam The State of Indonesia’s Forest (SOIFO) 2020 rilisan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sampai dengan tahun 2019 sekitar 120 juta hektare lahan atau 64 persen daratan Indonesia adalah kawasan hutan negara—dengan berbagai macam fungsi dan peruntukan. Termasuk di antaranya 5,3 juta hektare kawasan konservasi perairan. Indonesia bersanding bersama Brazil dan Republik Demokratik Kongo sebagai pemilik kawasan tutupan hujan tropis terluas. Penyumbang paru-paru dunia.

Situasi tersebut merupakan berkah sekaligus mengundang bahaya. Tingginya keanekaragaman hayati serta kebutuhan perut jutaan penduduk Nusantara rupanya malah turut memicu deforestasi. WWF’s Living Forest Report: Chapter 5 (2015) memproyeksikan Pulau Sumatra dan Kalimantan menyumbang deforestasi global selama 2010—2030. Indonesia tidak sendiri. Sembilan kawasan lainnya adalah Amazon, Atlantic Forest (Gran Chaco), Cerrado, Choco-Darien, Congo Basin, Afrika Timur, bagian timur Australia, Greater Mekong, dan Papua Nugini.

Berdasarkan data KLHK, sepanjang periode 1990 sampai dengan 2019, Indonesia telah kehilangan lahan hutan seluas 13,75 juta hektare. Sekitar 1,46 persen dari keseluruhan hutan yang ada di Indonesia. Kebakaran masif, perambahan hutan, pembalakan liar, dan perburuan satwa ilegal adalah penyebab berkurangnya tutupan lahan secara signifikan. 

Sekilas angka tersebut kecil, seperti tak akan berdampak apa-apa. Namun, kenyataan di lapangan berkata sebaliknya. Meskipun laju deforestasi terbilang menurun, angka deforestasi tetaplah berarti masih terjadi deforestasi. Sebuah tekanan luar biasa hingga mengancam hajat hidup banyak penghuni bumi, karena bernapas dari sumber udara yang sama.

Berita gejolak alam—yang menjadi bencana— mendera. Menimbulkan penderitaan. Banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, hingga kekeringan serta sulitnya akses air bersih dan pangan. Akibat segelintir oknum dengan kepentingannya sendiri, harapan hidup flora, fauna, dan orang-orang tak bersalah pun terancam.Di sela kekacauan itu, ada orang-orang hebat bergerak meniti jalan sunyi. Jalan hidupnya tidak populer dan terdengar nyaris mustahil dilakukan. Keseimbangan hidup bukan tawaran yang menggiurkan banyak orang. Ada yang berjuang sendirian. Ada pula yang memiliki kekuatan besar di balik amanah jabatan strategis. Melalui Arah Singgah 2023, TelusuRI ingin menjadi media penampung sekaligus penerus beragam kisah itu.

Prolog Arah Singgah 2023
Motoris dan penumpang piyau melintasi Sungai Subayang yang keruh setelah diguyur hujan deras. Piyau jadi satu-satunya transportasi utama masyarakat desa di dalam kawasan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling, Kampar, Riau/Deta Widyananda

Bertemu para peramu harmoni

Melalui Arah Singgah, TelusuRI melakukan ekspedisi menggali cerita-cerita dengan beragam isu, yang kadang jarang atau bahkan tidak terdengar sama sekali di media arus utama. Filosofi dasar perjalanannya berupaya menyentuh sisi-sisi lain yang tanpa disadari sebenarnya saling berhubungan. Jika episode Arah Singgah pertama lalu kami berjalan ke arah matahari terbit—Bali dan Nusa Tenggara Timur—kali ini kami pergi ke arah berlawanan.

Di edisi kedua, Arah Singgah mengusung tema “Meramu Harmoni Kehidupan Manusia dan Alam” di tanah Sumatra dan Kalimantan. Kami berupaya menginventarisasi cerita-cerita penyelarasan kehidupan antara manusia dan alam di Sumatra Utara, Riau, dan Kalimantan Timur. Ada empat topik utama yang kami angkat di ekspedisi ini, yaitu restorative economy (ekonomi restoratif), social forestry (perhutanan sosial), renewable energy (energi terbarukan), dan climate justice (keadilan iklim). Setidaknya satu dari empat topik tersebut melekat pada seluruh destinasi yang dituju selama periode September—Oktober 2023.

Prolog Arah Singgah 2023
Detail mata dan muka Christopher, gajah sumatra jantan berusia sembilan tahun yang dirawat di Pusat Latihan Satwa Khusus Tangkahan, Kabupaten Langkat/Deta Widyananda

Di Kabupaten Langkat, kami singgah ke dua destinasi ekowisata yang telah lama dikenal turis, yaitu Tangkahan dan Bukit Lawang. Melihat kerja para mahout, berbincang dengan mantan pembalak liar, hingga menjumpai seorang polisi hutan. Lalu kami diajak oleh Hutaoan Pasaribu, ketua Kelompok Tani Hutan Konservasi (KTHK) Sejahtera, menengok ladang perkebunannya di resor Sekoci yang rawan akan konflik lahan mafia tanah. Ketiga daerah tersebut merupakan kawasan penyangga Taman Nasional Gunung Leuser di wilayah Sumatra Utara.

Kami juga menemui Kepala Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser, Dr. U. Mamat Rahmat, S.Hut., M.P., untuk mendengar mimpi besar dan program konservasi berbasis masyarakat yang ia canangkan. Bukan sesuatu yang mustahil. Namun, perjalanannya tak akan semudah melepas lebah dari madu.

Prolog Arah Singgah 2023
Foto udara Sungai Kembung yang membelah hutan mangrove Teluk Pambang, Bengkalis, Riau. Beberapa kelompok masyarakat setempat aktif merestorasi mangrove dan menjemput peluang perdagangan karbon dunia/Deta Widyananda

Kami menyebar lebih jauh ke tiga kabupaten berbeda di Riau. Melihat langsung jejak nyata Samsul Bahri menghijaukan puluhan hektare pesisir Bengkalis dengan mangrove. Berbincang dengan komunitas generasi muda penuh inovasi dan kreativitas di Siak, kabupaten yang 57 persen wilayahnya merupakan lahan gambut.

Kami menyempatkan pula bermalam di kawasan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling, Kabupaten Kampar untuk merasakan denyut kehidupan masyarakat desa adat yang aksesnya bergantung pada Sungai Subayang. Yang tampak di permukaan, tidak semulus yang dibayangkan.

Menyeberang ke Kalimantan, kami fokus menggali cerita di Merabu. Sebuah kampung Dayak Lebo di pelosok Berau yang hidupnya bersandar pada napas hutan Pegunungan Sangkulirang-Mangkalihat. Kawasan karst dengan sumber daya alam melimpah dan tempat memasok kebutuhan dasar, seperti air, hasil hutan, ekowisata, obat-obatan tradisional, hingga kuliner. Di balik itu, eksistensi adat berada di bayang kepunahan.

Prolog Arah Singgah 2023
Ibu-ibu melakukan “manugal”, menanam padi gunung di lahan kering secara gotong-royong. Tradisi setahun sekali ini masih dilestarikan di Kampung Merabu, Berau, Kalimantan Timur/Mauren Fitri

Selama ekspedisi, kami menyaksikan dan merasakan pelbagai situasi perjalanan yang mungkin tak segemerlap kehidupan di Pulau Jawa. Apalagi kota-kota besar, seperti Surabaya, Semarang, Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta. Bahkan membeli minyak untuk sekadar menyalakan listrik dari petang sampai tengah malam tidak segampang datang dan belanja ke toko kelontong terdekat. Muka tertampar realitas paling fundamental. Indonesia bukan hanya Jawa. Indonesia tidak sekadar berbicara Jakarta. Sumatra dan Kalimantan, pulau besar yang tertuduh menyumbang deforestasi—dan terus berjuang menutup lubang-lubang di kawasan hutan berbasis masyarakat dan kearifan lokal—juga bagian dari Nusantara.

Prolog Arah Singgah 2023
Hatuaon Pasaribu, petani hutan mitra Taman Nasional Gunung Leuser, menunjukkan pohon jengkol di kebun miliknya/Deta Widyananda

Para peramu harmoni yang kami temui menyadarkan itu. Apa apresiasi sepadan untuk orang-orang yang mengabdikan diri merawat pertiwi?

Selamat datang di Arah Singgah!

Jauh bukan satu-satunya alasan mengapa tiga provinsi itu menjadi tujuan utama ekspedisi Arah Singgah tahun ini. Namun, jauh tidak menjadi ambisi yang harus dikejar sebagai sebuah pencapaian pribadi kami. Jauh adalah harapan spektrum cerita yang kami laporkan mampu merengkuh lebih banyak pembaca maupun pemerhati kebijakan.

Selama ekspedisi, puluhan orang yang menjadi narasumber telah berbagi banyak cerita kepada TelusuRI. Masing-masing memiliki peran. Masing-masing menyuarakan isu terkini yang relevan, mulai dari ekonomi restoratif, konservasi, iklim, energi terbarukan, sampai dengan perhutanan sosial—di daratan dan perairan. Lengkap dengan keresahan maupun harapan terhadap aneka perubahan; yang cepat atau lambat pasti akan datang.

Kami harus mengakui jika kami bukanlah juru selamat untuk menjawab itu. Kami hanyalah perpanjangan dari suara dan tangan mereka untuk menjangkau mata dan telinga yang lebih luas lagi. Melalui tulisan, foto, dan video. Karya-karya jurnalistik yang sebisa mungkin kami sajikan secara berimbang. Walau sekilas tampak setitik, tetapi jika kami seyakin Pak Hatuaon Pasaribu tentang masa depan, maka semoga Arah Singgah bisa mengetuk hati siapa pun yang peduli.

Inilah, Arah Singgah 2023. Selamat menikmati dan belajar dari tutur serta laku orang-orang yang kami temui. Ada belasan bahkan puluhan sosok yang berupaya mengisi hidupnya untuk mencari titik temu, antara keseimbangan alam maupun memenuhi kebutuhan ekonomi. Merenungi suara-suara hutan, sungai, danau, embun, kabut, hingga para satwa yang turut berjuang menjaga harmoni.

Ritme dan senyawa perjalanan Arah Singgah mungkin bukan untuk semua orang. Tak terkecuali Anda sekalipun. Namun, kami berharap perjalanan ini kelak akan menjadi bagian dari perjalanan hidup kita. (*)


Foto sampul:
Trekking di dalam hutan desa Merabu, Kabupaten Berau/Rifqy Faiza Rahman

Pada September—Oktober 2023, tim TelusuRI mengunjungi Sumatra Utara, Riau, dan Kalimantan Timur dalam ekspedisi Arah Singgah: Meramu Harmoni Kehidupan Manusia dan Alam. Laporan perjalanannya dapat diikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Prolog: Arah Singgah 2023 appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/prolog-arah-singgah-2023/feed/ 0 40368
Catatan dari Sungai Subayang https://telusuri.id/catatan-dari-sungai-subayang/ https://telusuri.id/catatan-dari-sungai-subayang/#respond Tue, 09 Jun 2020 16:14:17 +0000 https://telusuri.id/?p=22259 Mobil Avanza hitam berpelat BM itu melenggang penuh percaya diri di sebuah jalan lintas di Pekanbaru. Lalu kami mulai masuk ke jalan yang tak terlalu mulus dan mendaki-menurun. Semula saya hendak mengingat setiap belokan dan...

The post Catatan dari Sungai Subayang appeared first on TelusuRI.

]]>
Mobil Avanza hitam berpelat BM itu melenggang penuh percaya diri di sebuah jalan lintas di Pekanbaru. Lalu kami mulai masuk ke jalan yang tak terlalu mulus dan mendaki-menurun. Semula saya hendak mengingat setiap belokan dan persimpangan yang kami lalui, namun saya batalkan niat itu. Tidur lebih menarik.

Dari Ibu Kota Riau, Pekanbaru, kami menempuh sekitar tiga jam perjalanan menuju Desa Tanjung Belit, Kecamatan Kampar Kiri Hulu. Desa Tanjung Belit secara administratif berada dalam daerah penyangga Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Baling. Ada pula hutan adat di sekitar kawasan konservasi tersebut. Wilayah ini juga dibelah oleh aliran Sungai Subayang yang masih dipelihara turun-temurun lewat nilai dan budaya setempat.

Memasuki Desa Tanjung Belit, saya merasa bahwa tempat itu tak beda jauh dari desa-desa pinggiran lainnya. Dibandingkan desa-desa “biasa,” Desa Tanjung Belit seperti ditinggalkan oleh kereta waktu sekitar sepuluh sampai dua puluh tahun. Rumah-rumah tanpa pagar atau patok yang jelas. Halaman luas dinaungi pohon-pohon yang rindang. Sebagian besar rumah masih berdinding kayu. Saya suka dengan rumah berdinding kayu ketimbang rumah beton. Saya ingin punya rumah seperti itu. Dari rumah-rumah itu terpancar kehangatan dan kesederhanaan orang-orang yang tinggal di dalamnya. Meskipun sedikit, ada jejak modernisasi yang tampak, misalnya pada parabola dan kabel listrik yang menjuntai di sana.

Salah satu rumah di Desa Tanjung Belit/Syukron
Salah satu rumah di Desa Tanjung Belit/Syukron

Kami selama beberapa hari akan tinggal di salah satu rumah warga. 

Desa Tanjung Belit saat itu sedang mencoba membuka diri dengan membuat tempat wisata. Air terjun di sekitar desa cukup banyak, salah satu yang dipopulerkan adalah Air Terjun Batu Dinding. Jaraknya sekitar setengah jam berjalan kaki dari desa. Para pemuda menganggap wisata bisa menjadi alternatif sumber pendapatan bagi masyarakat setempat. Salah satu bentuk keseriusan mereka adalah membentuk kelompok Ikatan Pemuda Ekowisata untuk mengelola ekowisata air terjun. Namun, jauh sebelum itu, Rimbang Baling memang sudah menjadi lokasi wisata minat khusus bagi mahasiswa dan peneliti untuk mempelajari keanekaragaman hayati sungai dan hutan.

Air Terjun Batu Dinding/Syukron
Air Terjun Batu Dinding/Syukron

Keesokan harinya kami menyusuri Sungai Subayang naik perahu kecil bermotor. Yang tak terbiasa pastinya akan kesulitan menaikinya, sebab dibutuhkan keseimbangan agar tidak terlalu berat ke kiri atau ke kanan. Rute kami melawan arus sungai. Basah sedikit kecipratan air adalah kewajaran. 

Dari perahu itu saya bisa lihat bahwa sungai memang tak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat sekitar. Selain sebagai jalur transportasi, Sungai Subayang juga dimanfaatkan sebagai tempat mandi, mencuci, hingga sumber ikan. Sayangnya, sekarang kondisi Sungai Subayang mulai keruh dan kotor akibat aktivitas manusia yang tidak terkendali. Menurut informasi, penyebabnya antara lain aktivitas transportasi kayu, penggunaan bahan kimia, dan penambangan di hulu sungai. Tak terbayang berapa orang yang akan terkena imbasnya jika persoalan kerusakan sungai ini tak segera diselesaikan.

Di pinggir Sungai Subayang/Danar Tri Atmojo
Di pinggir Sungai Subayang/Danar Tri Atmojo

Kebijaksanaan lokal sebenarnya sudah menyediakan cara turun-temurun untuk menjaga kesimbangan ekosistem desa. Ada sebuah tradisi untuk menyepakati membatasi sebuah area yang dinamakan Lubuk Larangan. Para tetua adatlah yang menetapkan batas-batasnya dan wilayah perairan itu terlarang bagi aktivitas manusia, kecuali pada waktu-waktu yang ditentukan, misalnya saat puncak musim kemarau atau menjelang Idulfitri. Para pelanggar akan mendapatkan sanksi yang ditetapkan para tetua adat.

Lubuk Larangan adalah bentuk kearifan lokal yang mengikat antara masyarakat dan hutan. Sebagai salah satu penghuni Rimbang Baling, masyarakat harus sadar betul bahwa hutan dan sungai tak bisa dipisahkan. Apalagi di Desa Tanjung Belit jelas bahwa yang berubah bukan tempat melainkan manusianya. Manusia bertambah, keinginan bertambah, tapi tempat tetap sama. Tradisi yang mencoba meredam keinginan manusia itu.

Percikan air Sungai Subayang membuyarkan lamunan saya. Perahu kami masih terus berjalan, makin dalam, dan makin dalam menjauhi permukiman.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Catatan dari Sungai Subayang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/catatan-dari-sungai-subayang/feed/ 0 22259