rinjani Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/rinjani/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Thu, 27 Mar 2025 05:47:24 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 rinjani Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/rinjani/ 32 32 135956295 Teman Rinjani https://telusuri.id/teman-rinjani/ https://telusuri.id/teman-rinjani/#comments Sun, 24 Nov 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=43671 Tentu senang bertemu sesama wong Cheribon (Cirebon) di Rinjani Guest House, Lombok. Penginapan para pendaki. Jaraknya sepuluh meter saja di sebelah Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) Resor Sembalun. Sabtu (1/6/2024) menjelang sore para pendaki...

The post Teman Rinjani appeared first on TelusuRI.

]]>
Tentu senang bertemu sesama wong Cheribon (Cirebon) di Rinjani Guest House, Lombok. Penginapan para pendaki. Jaraknya sepuluh meter saja di sebelah Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) Resor Sembalun.

Sabtu (1/6/2024) menjelang sore para pendaki mulai berdatangan. Sebuah ruangan besar di lantai dua penginapan jadi tempat kumpul. Kami akan bermalam di situ. Tempatnya bersih. Beralaskan karpet. Ada bantal-bantal. Bebas ngapling di mana.

Saya pilih dekat colokan listrik tunggal biar pengawasan lebih mudah. Kamar mandi ada dua. Air mengalir lancar dan serasa es—bikin menggigil. Namun, levelnya masih di bawah dinginnya Ranu Pani. Atau Cemoro Kandang, Lawu.

Bahkan waktu saya ke Rinjani via Senaru 27–29 April 2024, desa di kaki Gunung Rinjani ini tidak dingin. Tentu banyak faktor memengaruhi, baik ketinggian desa maupun memang belum masuk musim dingin. 

Saat dulu mendaki via Senaru, saya reservasi tiket mandiri (perorangan). Lain ketika lewat Sembalun kali ini, saya memanfaatkan jasa open trip (OT). Sebuah layanan pendakian bersama yang ditangani pihak swasta. Alasan utama memakai OT adalah soal tiket daring Surat Izin Memasuki Kawasan Konservasi (SIMAKSI) TNGR. Waktu kapan pun yang saya pilih, pihak OT bisa menyediakan tiket digitalnya. Tidak perlu berebut kuota di hari, tanggal, bulan tertentu. Sebab, memang waktu saya terbatas sekali.

Saya dapat tiket untuk tanggal pendakian 1–4 Juni 2024. Lega. Tambah lagi, dipastikan ada teman mendaki. Tidak kayak lewat Senaru sebelumnya yang benar-benar solo climbing! Carrier di punggung, daypack di dada, dan tangan kanan jinjing tenda.

Teman Rinjani
Kepadatan di depan kantor Balai Taman Nasional Gunung Rinjani Resor Sembalun/Mochamad Rona Anggie

Bertemu Teman Baru dari Cirebon

OT Rinjani mempertemukan saya dengan banyak pendaki dari daerah lain, seperti Ambon, Makassar, Jakarta, dan Tangerang. Senang bukan main. Lebih bungah lagi, pas di satu momen, saya kenalan pendaki dari Cirebon. Rumahnya di Taman Cipto. Tidak jauh dari kediaman saya di Perumnas Rajawali.

Namanya Teguh Umbara. Waktu itu dia mau keluar ruangan. Cari makan malam. Saat saya ajak ngobrol, ternyata tahun kelahiran sama: 1985. Namun, dia lulus SMA lebih dulu tahun 2002, sedangkan saya setahun kemudian.

Dia alumnus SMAN 2 Cirebon. Anaknya empat, perempuan semua. Masih ikhtiar pengen punya anak cowok. Saya lulusan SMAN 3 Cirebon. Anak lima, tiga cowok dan dua cewek. Anak pertama-kedua kembar. Ketika saya tunjukkan video pendakian bareng tiga jagoan anak lanang, berjibaku di trek pasir berbatu jelang puncak Slamet via Permadi, Teguh terpana.

“Nanti kalau punya anak lelaki, bakal saya ‘siksa’ seperti itu,” ucapnya serius. Maksudnya, dia punya keinginan kuat akan melatihnya demikian, kalau punya seorang putra.

Saya sendiri, sebagai pendaki yang telah naik gunung sejak tahun 2001, punya cita-cita menularkan hobi ini ke generasi penerus. Maka ketika punya tiga anak laki-laki, saya mantap mengenalkan kegiatan alam terbuka (kemah dan mendaki) kepada mereka sejak dini. Anak kembar saya, Rean Carstensz Langie dan Evan Hrazeel Langie, perdana mendaki gunung saat kelas 6 SD (12 tahun). Adiknya, Muhammad, sampai puncak Ciremai kelas 1 SD (7 tahun). Saya berperan sebagai pelatih, pemandu, sekaligus porter.

Teguh sendiri mengaku kenal naik gunung belum lama. “Habis Covid aja,” katanya. 

Teman Rinjani
Teguh di Danau Segara Anak Gunung Rinjani/Teguh Umbara

Bertukar Cerita

Tadinya Teguh hobi naik sepeda. Senang rute menanjak, tetapi beberapa teman kurang suka. Akhirnya berpisah jalan. “Kebetulan saya juga sempat kena obesitas,” Teguh menyebut alasan lain tertarik mendaki. Ia mengidentifikasi diri sebagai “PSK” alias Pria Satus Kilo (pria seratus kilogram).

Dia lalu mencoba pendakian perdana pergi-pulang tanpa bermalam (tektok) di Gunung Ciremai via Linggarjati tahun 2022. Eh, langsung cocok. Sejak itu keranjingan. Hampir tiap pekan tektok Ciremai. Kemudian merambah gunung lainnya di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

“Tinggal Semeru belum,” ujarnya lirih. Menunjukkan penantian yang entah kapan terwujud. Memendam penasaran pada Ranu Kumbolo, merasakan Tanjakan Cinta, menapaki medan kerucut berpasir yang lebih halus dari trek “Letter E” Rinjani, lalu berdiri gagah di Mahameru (3.676 mdpl).

Saya beruntung sudah merasakannya 22 tahun lalu. Saat masih kelas 2 SMA. “Saya ke Semeru 2002,” cerocos saya memanas-manasi Teguh.

Saya mengenang momen ketika dataran puncak bergetar disertai suara gemuruh. Tiba-tiba kawah Jonggring Saloka meletupkan material vulkanik ke udara. Asapnya menggumpal, mengundang para pendaki mengabadikan momen khas tersebut. 

Letupan itu muncul tiap 15 menit sekali. Batas toleransi kita diperbolehkan ada di area puncak maksimal pukul 09.00 WIB. Selebihnya, arah angin berubah, berpotensi membawa material pasir berbatu yang panas dari perut bumi dan gas berbahaya ke arah pendaki.

Belakangan saya baru tahu ternyata Teguh belum menjajal Gunung Ciremai via jalur Sadarehe. Rute ke atap Jawa Barat yang pernah saya daki bersama anak lanang pada 6 November 2022 ini baru diresmikan pada 25 Agustus 2022 di Rajagaluh, Majalengka.

Tampaknya bensin pendakian Teguh segera menyambar kobaran api di dada dan betis. Dua pekan sepulang dari Rinjani, ia langsung bergegas ke Sadarehe. Mengirim kabar gembira berupa sunrise di puncak Ciremai via grup Rinjani 1–4 Juni 2024

Saya turut meramaikan. Saya mengirim foto merubung tiang papan penunjuk puncak Ciremai Sadarehe bersama tiga jagoan saya. Pendaki Tangerang, Uda Johny, berkomentar dengan gambar stiker, Gaaass pooll, jangan kasih kendor!

  • Teman Rinjani
  • Teman Rinjani

Pertemuan Lanjutan

Dua bulan sepulang dari Lombok, saya coba mengunjungi Teguh di kompleks perumahan elit Taman Cipto. Sengaja saya tidak janjian lagi. Dadakan, karena dua kali berencana sebelumnya justru meleset.

“Masa di Lombok ketemu, di Cirebon enggak,” batin saya.

Alhamdulillah, dia ada di rumah. Kami akhirnya bertemu kembali. Waktu itu belum lama momen Agustusan.

Saya pun memulai obrolan, “Sudah, Mas, ke Kerincinya?”

Ia menjawab pelan, “Sudah. Saya juga baru dari Latimojong. Tujuh belasan di sana.”   

Sontak saya kaget. Gila!

“Bareng Tiga D?”

“Yang Kerinci, iya. Yang Latimojong, udah daftar [malah] batal. Kuota pendaki enggak terpenuhi. Akhirnya pakai OT lain.”

Segera saya wawancara Teguh. Ingin dengar cerita serunya di Kerinci dan Latimojong. Suguhan kopi Toraja menambah hangat suasana. “Dari Makassar masih jauh (ke kaki Latimojong). Pulangnya lewat Toraja, lebih dekat ke Makassar,” paparnya.

Hanya saja pas di Kerinci, Teguh belum jodoh bisa melihat kawahnya. “Full kabut sejak mulai masuk Tugu Yudha.” 

Dia coba bersabar. Menunggu cuaca cerah. Namun, sampai satu setengah jam di titik tertinggi Pulau Sumatra, angin malah tambah kencang dan udara makin menggigit.

“Akhirnya turun,” ujarnya kecewa. “Eh, pas turun, dekat batas vegetasi, cuaca cerah sekali,” sesalnya. 

Pertengahan September lalu, Teguh juga berhasil menggapai atap Sumatra Selatan: Gunung Dempo (3.178 mdpl). Daftar tunggu tiap gunung yang akan ia daki, sejauh ini berjalan sesuai rencana.

Dari kiri ke kanan: foto-foto Teguh saat di tiga puncak gunung dalam waktu berdekatan, yaitu Kerinci Latimojong, dan Dempo/Dokumentasi Teguh Umbara

Sisi Positif Open Trip

Tak bisa dimungkiri, layanan OT memudahkan pendaki zaman sekarang. Yang penting fisik prima dan duit melimpah, bisa langsung ikut pilihan perjalanan OT. Tentunya memilih operator OT yang punya rekam jejak baik, memiliki pemandu berpengalaman dan bersertifikasi. Bukan OT yang cari untung semata, lantas mengabaikan keselamatan dan tanggung jawab pada klien.

Naik sama siapa, sudah tidak bingung lagi. Layanan OT mempertemukan pendaki dari mana saja. Lintas generasi. Seperti yang saya jajal saat ikut OT Rinjani, saya ketemu Teguh dan rombongan Tangerang: Pak Orick, Uda Johny, Mas Yoke, dan lain-lain.

Saya lebih senang menyebut peserta OT sebagai pendaki gunung trendi masa kini. Tanpa maksud merendahkan sama sekali. Bagaimanapun mereka sudah menjalani olahraga mendaki gunung; berkeringat, berlelah-lelah, kedinginan, hingga mencapai puncak idaman.

Mendaki gunung bukan lagi “milik” anggota organisasi pencinta alam. Teguh buktinya. Mulai mendaki 2022, dengan modal kantung tebal dan waktu luang sebagai bos perusahaan, koleksi gunungnya lebih lengkap dari saya yang mendaki 21 tahun lebih dulu.

Terima kasih, Rinjani. Kami tinggalkan jejak kaki di puncakmu. Menorehkan cerita persahabatan yang tak lekang oleh waktu. Membentangkan kenangan sampai anak cucu. Salam lestari! 




Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Teman Rinjani appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/teman-rinjani/feed/ 1 43671
Pendidikan Moral Pariwisata https://telusuri.id/pendidikan-moral-pariwisata/ https://telusuri.id/pendidikan-moral-pariwisata/#respond Fri, 28 Feb 2020 10:36:17 +0000 https://telusuri.id/?p=19908 Perlu diketahui bahwa pariwisata tidak hanya bertujuan untuk memenuhi kepuasan wisatawan, tapi juga kepuasan komunitas dan lingkungan alam. Hermantoro (2017) menyebutkan bahwa pariwisata adalah sebuah domain pembangunan dan bukan sektor pembangunan. Apa bedanya? Sebuah domain...

The post Pendidikan Moral Pariwisata appeared first on TelusuRI.

]]>
Perlu diketahui bahwa pariwisata tidak hanya bertujuan untuk memenuhi kepuasan wisatawan, tapi juga kepuasan komunitas dan lingkungan alam. Hermantoro (2017) menyebutkan bahwa pariwisata adalah sebuah domain pembangunan dan bukan sektor pembangunan. Apa bedanya? Sebuah domain adalah ruang yang berisikan berbagai dukungan kegiatan sektor. Ia terbangun atas sinergi antarsektor dan output. Outputnya adalah output kolektif dan bukan output individual.

Pengembangan dan pembangunan sarana prasarana di suatu kawasan ekowisata menjadi mutlak dilakukan. Namun, sebelum pelaksanaannya, harus dilakukan pengkajian dan penilaian aspek penting prinsip ekowisata. Pemanfaatan alam, jika dilaksanakan secara benar, akan berdampak positif bagi seluruh kalangan yang terkait. Namun, jika tidak dilakukan—pengembangan dan pembangunan—secara benar dan bijak, efek domino bernilai negatif akan muncul.

Salah satu contohnya adalah rencana pembangunan kereta gantung di kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani yang tidak relevan dengan prinsip pengembangan wisata di kawasan konservasi taman nasional. (Tujuan utama kegiatan wisata di taman nasional adalah memberikan edukasi kepada siapa saja yang datang ke kawasan tersebut.)

Mengingat bahwa Rinjani sudah menjadi ikon keindahan alam yang agung di Pulau Lombok, dengan suguhan Danau Segara Anak, kiranya akan lebih baik jika konsep kereta gantung dan wisata helikopter (heli tourism) tersebut tidak dilanjutkan. Cukup anggap itu mimpi buruk. Saatnya pemerintah dan stakeholder bangun dan buka mata; tanpa kereta gantung dan wisata helikopter pun wisatawan mancanegara dan domestik sudah tertarik untuk mengunjungi Gunung Rinjani. Barangkali ini juga saat yang tepat bagi kita semua untuk menghirup napas dalam-dalam lalu merenungkan dan menghayati kekayaan sumber daya alam yang kita miliki.

Setiap jengkal tanah kita diisi oleh kekayaan alam dan budaya yang luar biasa dan berbeda-beda. Jadikan perbedaan itu sebuah kekuatan—dan jangan hanya sekadar meniru orang luar. Lagipula, dalam teori mana pun, wisatawan akan melihat perbedaan antardaerah (destinasi), bukan persamaannya. Itulah sebabnya mereka berwisata. Ketika semula orang bangga tidur di hotel berbintang, saat ini banyak yang memilih tinggal di homestay karena akan mendapatkan pengalaman yang lebih bernilai dalam hidupnya. Mereka mendapatkan nuansa lokal, memahami kearifan lokal, dan nilai-nilai kelokalan lainnya. Mereka dibekali dengan keahlian (skill) dan pengetahuan (knowledge) sebelum melakukan pilihan perjalanannya dan ini menghasilkan bentuk wisata yang disebut sebagai wisata minat khusus.

Harapan perubahan

Para investor tampaknya bersemangat luar biasa untuk mencoba peruntungan di dunia bisnis wisata minat khusus seperti pendakian. Sayangnya, keinginan itu tidak dibarengi dengan pengetahuan, hanya mengedapankan keuntungan. Rinjani hanya dilihat sebagai sebuah objek yang dapat dijadikan barang dengan segmen pasar yang luas. Ia tak dilihat sebagai sesuatu yang menghidupi seluruh wilayah Pulau Lombok, bahkan, dalam skala lebih luas, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).

Barangkali kita juga perlu bertanya: Apakah produk wisata yang digadang-gadangkan itu telah melalui proses kajian mendalam? Orientasi pembangunan tampaknya hanya mengejar angka, sehingga kepuasan turis (tourist satisfaction) jauh lebih diutamakan daripada kepuasan komunitas (community satisfaction) apalagi kepuasan lingkungan (environment satisfaction). Perlindungan Sistem Penyangga Kehidupan sering dilupakan dan tidak masuk dalam pertimbangan pengambilan keputusan.

Maka, kembali lagi: etika mana yang dianut dan standar moral mana yang digunakan? Jelas antroposentris. Seluruh pertimbangan bertumpu pada apa yang bisa didapatkan sebesar-besarnya oleh manusia untuk memenuhi segala kebutuhan, hasrat, dan nafsunya.

gunung rinjani
Dari bibir kawah Gunung Rinjani via instagram.com/failureproject

Saat ini target pariwisata adalah menarik pengunjung sebanyak-banyaknya dan menghasilkan uang yang melimpah bagi “kelompok” pemegang kepentingan. Sebenarnya, tidak ada masalah dalam hal menghadirkan suatu teknologi baru guna menambah atraksi, namun akan berakhir bencana jika pertimbangannya hanya berdasar pada pandangan bahwa manusia adalah pusat alam semesta sehingga berhak menentukan segala, dan bahwa hanya manusia yang memiliki nilai, sementara alam dan segala isinya sekadar alat bagi pemuasan dan pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Padahal, telah diketahui bahwa kerusakan yang ada di bumi, baik di laut, hutan, atmosfer, air, tanah, dan lainnya, bersumber dari perilaku dan regulasi buatan akal kapitalis manusia yang tidak bertanggung jawab, tidak peduli, dan hanya mementingkan diri sendiri. Manusia yang diyakini lebih berakal dibanding makhluk hidup lainnya di muka bumi ternyata telah keliru memandang alam dan keliru menempatkan diri dalam konteks alam semesta seluruhnya.

Cara berpikir seperti ini akan menghancurkan seluruh sendi kehidupan masyarakat lokal yang telah dibangun berabad-abad lamanya, dari sisi alam, ekonomi, dan sosial budaya.

Tapi era euforia pariwisata telanjur dimulai. Kini, gaung promosi pariwisata tidak hanya lagi ditangkap oleh para pelaku di tingkat nasional namun sampai juga ke desa. Siapa, sih, saat ini yang belum kenal branding pariwisata “Wonderful Indonesia” dan “Pesona Indonesia”? Ini sebuah ceritera sukses besar public-awareness campaign nasional—hampir menyamai sukses program Keluarga Berencana (KB) “Dua Anak Cukup”di era 90-an. Pariwisata kemudian diyakini sebagai cara mudah untuk cepat kaya. Ceritera sukses didengungkan untuk memotivasi daerah dan masyarakat. Ceritera dibangun dengan tema utama bagaimana kunjungan wisatawan dapat memberikan manfaat ekonomi langsung pada masyarakat setempat.

Abrakadabra!

Dampaknya nyata. Pariwisata kemudian menjadi trending topic di hampir setiap media cetak dan elektronik, bahkan dalam perbincangan (antar)komunitas. Berwisata juga telah menjadi sebuah lifestyle. Rasanya belum keren bila belum pernah berwisata ke mana-mana dan belum meng-upload foto-fotonya ke Instagram.

Permintaan (demand) pun menjadi sangat besar karena minat orang berwisata semakin besar, apa pun alasannya, entah mencari pengalaman (experience) maupun untuk eksis. Banyak yang bepergian ke tempat-tempat yang memerlukan persyaratan khusus, namun, jangankan empati, pengetahuan dasar soal sumber daya yang dikonsumsi pun mereka tidak paham. Kelompok ini hanya bertujuan untuk diakui sebagai kelompok wisatawan yang lebih “berkelas.”

Jika dihubungkan dengan “angin perubahan” Rinjani, wisatawan yang berkunjung ke Rinjani menggunakan kereta gantung atau helikopter bukan lagi terpancing datang karena memiliki minat khusus untuk memahami kekayaan alam, namun hanya untuk mengunggah foto-fotonya. Teknologi memang membuka ruang sangat besar bagi tujuan narsis. Respon langsung diberikan oleh tuan rumah—promosi, pembangunan besar-besaran, harga paket murah, termasuk memberikan “karpet merah” yang sangat luas pada investor tanpa memedulikan lagi daya dukung lingkungan. Di sinilah mewujud wisata massal yang berpotensi merusak masa depan destinasi pariwisata, wisata tanpa kemampuan manajerial yang baik. Saat ini hampir semua orang merasa sangat paham tentang pariwisata. Mereka merasa telah menjadi ahli pariwisata ketika berhasil mendatangkan wisatawan, terlebih dalam jumlah besar. Dari satu sudut pandang, tidak salah juga; kampanye besar-besaran memang lebih diarahkan untuk mendatangkan wisatawan sebanyak-banyaknya.

Namun, masa euforia ini harus segera “dibendung” dengan kampanye pembangunan pariwisata berkelanjutan. Pariwisata dibangun untuk kemakmuran daerah, bukan sebaliknya (daerah dibangun untuk pariwisata). Butler (1980) menyampaikan model bagaimana sebuah destinasi pariwisata bisa runtuh ketika tidak dikelola dengan baik, sementara Doxey (1975) sudah mengingatkan kemungkinan terjadinya iritasi sosial. Peringatan-peringatan mereka benar adanya. Barcelona dan Venezia dapat dijadikan contoh. Saat ini warga kedua kota tersebut sudah sedemikian bencinya pada wisatawan karena jumlah kunjungan yang terlalu tinggi dan dampaknya yang tidak terkendali. “Tourist: your luxury trip my daily misery” atau “Tourist go home” adalah contoh nyata ujaran kebencian warga Barcelona terhadap wisatawan.

Jadi, untuk mengubah, apakah kita harus menunggu sampai pariwisata tidak lagi dianggap sebagai berkah namun musibah? Sebetulnya, prinsip pembangunan pariwisata adalah menjadikan sebuah destinasi pariwisata menjadi tempat hidup yang baik bagi warganya, bukan kesengsaraan. Dan ketika itu terwujud, destinasi pariwisata tersebut akan otomatis menarik untuk dikunjungi. Ini yang mendasari konsep pembangunan pariwisata yang berkelanjutan (sustainable tourism development).

Ketika tamu adalah raja, tuan rumah jadi hamba

Ketika tamu selalu dianggap menjadi raja dan tuan rumah adalah hamba, kebahagiaan warga selalu dikalahkan. Kita lupa bahwa tujuan akhir pembangunan pariwisata adalah kebahagiaan masyarakat lokal. Bila ini dilupakan, ukuran keberhasilan pariwisata akan menjadi sangat bias. Pembangunan pariwisata dianggap sukses ketika wisatawan puas. Lihat bagaimana para pakar lebih sibuk mengukur kepuasan konsumen daripada kepuasan tuan rumah. Demikian pula ukuran keberhasilan yang dilihat dari besarnya aliran dana investasi yang masuk, tidak peduli siapa investornya. “Karpet merah” digelar, bukan untuk warga lokal tapi justru investor luar. Semuanya ini baik pada tahap tertentu, namun sangat berbahaya kalau sudah melewati batas ambang toleransi (social threshold) yang dapat diterima lingkungan.

Sebetulnya, tujuan pembangunan pariwisata, sekali lagi, adalah untuk membahagiakan masyarakat lokal secara berkelanjutan sebagaimana disebutkan oleh Hermantoro (2018). Jadi, apa yang dikerjakan oleh Tri Rismaharini di Surabaya, yakni membangun taman-taman kota untuk membahagiakan warganya, adalah tepat. Dan ketika warga setempat bahagia, bonusnya adalah wisatawan akan datang, dan ini sudah terbukti. Jangan sampai pembangunan pariwisata justru menimbulkan masalah bagi warga lokal. Dalam setiap pembangunan pariwisata, kata kunci kebahagiaan komunitas (community happiness), dan keberlanjutan (sustainability) menjadi penting.

Sebetulnya, kita telah memiliki banyak pedoman dalam pembangunan pariwisata. Namun kita bahkan hampir tidak pernah menyentuhnya. Coba Pak Gubernur dan tuan-tuan pemegang otoritas silaq pelungguh pade simak inti Undang-Undang Nomor 10 tahun 2009, juga kode etik UNWTO (1999), dan Pedoman Sapta Pesona yang intinya menjaga keselarasan hubungan antara wisatawan dengan tuan rumah. Lebih luas lagi, menjaga keserasian hubungan antara manusia dengan Tuhannya, antarmanusia, dan antara manusia dengan alam mengacu pada konsep kehidupan masyarakat Bali (Tri Hita Karana).

Intinya, tujuan pembangunan pariwisata bukan hanya untuk menyenangkan tamu. Terlebih penting adalah untuk kebahagiaan tuan rumah. Ketika warga bahagia, wisatawan akan datang, dan bukan sebaliknya. Ini menegaskan bahwa kepala daerah harus lebih mementingkan kebahagiaan warganya dan bukan sebaliknya. Ini baru tepat, karena pemerintah seharusnya dapat menjalankan amanah yang diberikan oleh rakyat pemilihnya untuk kesejahteraan mereka, karena warga lokal/rakyat adalah konsumen anda yang sebenar-benarnya.


Referensi

Butler, R.W. (1980). The concept of a tourist area cycle of evolution; implications for management of resources. Canadian Geographer, 24 (1), 5-12.

Doxey, G. (1975). A causation theory of visitor-resident irritants: Methodology and research inferences. Proceedings of the 6th Annual Conference of the Travel and Tourism Research Association.

Hermantoro, H. (2017). Memahami Konsep Dasar Pariwisata. Aditri: Depok.

Hermantoro, H. (2018). Think: Tourism Without the Box. Aditri: Depok.

The post Pendidikan Moral Pariwisata appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pendidikan-moral-pariwisata/feed/ 0 19908
Tips dan Trik supaya Mendaki Gunung Rinjani Lebih Asyik https://telusuri.id/tips-dan-trik-supaya-mendaki-gunung-rinjani-lebih-asyik/ https://telusuri.id/tips-dan-trik-supaya-mendaki-gunung-rinjani-lebih-asyik/#respond Sun, 08 Apr 2018 03:36:39 +0000 https://telusuri.id/?p=7903 Rinjani menggoda buat didaki bukan cuma karena ia adalah gunung berapi tertinggi kedua di Indonesia. Banyak juga yang mendaki Gunung Rinjani buat menikmati keindahan alamnya—hamparan sabana yang luas, Danau Segara Anak, Gunung Baru Jari. Tapi,...

The post Tips dan Trik supaya Mendaki Gunung Rinjani Lebih Asyik appeared first on TelusuRI.

]]>
Rinjani menggoda buat didaki bukan cuma karena ia adalah gunung berapi tertinggi kedua di Indonesia. Banyak juga yang mendaki Gunung Rinjani buat menikmati keindahan alamnya—hamparan sabana yang luas, Danau Segara Anak, Gunung Baru Jari.

Tapi, supaya kamu bisa menikmati keindahan alamnya secara maksimal, pendakianmu ke Rinjani mesti asyik, Sob. Nih, TelusuRI kasih tips dan trik supaya mendaki Gunung Rinjani lebih asyik.

1. Mendaki Gunung Rinjani pas musim kemarau lebih asyik

mendaki gunung rinjani

Di tengah-tengah Sabana Sembalun di musim kemarau via instagram.com/failureproject

Pas musim kemarau, kemungkinan buat kehujanan di jalan sangat tipis. (Kamu pasti paham betapa nggak enaknya kena hujan di gunung.) Selain itu, pemandangan yang bakal kamu lihat akan lebih spektakuler.

Di puncak-puncak musim kemarau, sabana di Jalur Sembalun akan jadi kecoklatan. Kamu bakal ngerasa seperti lagi jalan-jalan di stepa Mongolia. Tapi, kalau kamu lebih suka sabana yang masih ada aksen-aksen hijau, dakilah Gunung Rinjani di awal musim kemarau.

2. Jangan buru-buru, sediakan waktu seminggu

mendaki gunung rinjani

Sabana Sembalun via instagram.com/failureproject

Mendaki Gunung Rinjani beda sama mendaki gunung-gunung yang ketinggiannya di bawah 3.500 mdpl. Gunung Rinjani nggak bisa didaki dengan terburu-buru. Kalau cuma mau “tektok,” mending nggak usah aja sekalian—sayang waktu dan anggaran.

Jadi, supaya naik Rinjani lebih seru, sediakan waktu minimal satu minggu (termasuk dua hari perjalanan dari/ke Rinjani kalau kamu naik pesawat ke Lombok).

3. Lintas jalur lebih seru

mendaki gunung rinjani

Puncak Gunung Rinjani tampak dari Jalur Sembalun via instagram.com/failureproject

Tanya saja begini sama kawan-kawanmu yang pernah ke Rinjani: “Lebih seru mana: naik-turun Rinjani lewat satu jalur atau lintas jalur?” Pasti sebagian besar bakal menjawab lebih seru lintas jalur.

Biasanya pendaki domestik mendaki Gunung Rinjani lewat Sembalun dan turun lewat Senaru. Alasannya adalah karena Jalur Sembalun lebih landai, sementara Senaru lebih terjal. Tapi, akhir-akhir ini juga lumayan banyak yang naik lewat Torean dan turun lewat Senaru atau Sembalun.

4. Lebih baik mendaki Gunung Rinjani bersama kawan-kawan baik yang sudah biasa nanjak

mendaki gunung rinjani

Mendaki bersama teman-teman via instagram.com/failureproject

Benar, kamu bakal ketemu teman-teman baru di pendakian. Tapi akan lebih asyik lagi kalau kamu nanjaknya sama kawan-kawan yang sudah sering mendaki gunung bareng kamu.

Kalau naik sama kawan-kawan sendiri, kamu nggak perlu lagi menghabiskan waktu buat basa-basi. Kamu bisa lebih konsentrasi menikmati momen-momen langka yang hanya bisa kamu temukan waktu mendaki gunung-gunung keren seperti Rinjani.

5. Tenang saja, kamu punya banyak waktu untuk istirahat

mendaki gunung rinjani

Pos 2 Sembalun via instagram.com/failureproject

Pendakian Gunung Rinjani bakal ngasih banyak kesempatan bagimu buat istirahat dan mengumpulkan tenaga (asal kamunya sendiri nggak buru-buru).

Sepanjang jalur pendakian Gunung Rinjani, Banyak tempat enak buat mendirikan tenda. Kamu bisa kemping di Pos 2 Sembalun, Pelawangan Sembalun (sebelum dan setelah summitting ke Puncak Dewi Anjani), dan pinggiran Danau Segara Anak (beberapa malam).

6. Kemping semalam-dua malam di pinggir danau

mendaki gunung rinjani

Menuju Puncak Rinjani via instagram.com/failureproject

Kalau lintas jalur dari Sembalun ke Senaru, kamu mesti turun dulu dari Pelawangan Sembalun ke pinggir Danau Segara Anak sebelum nanjak lagi buat turun Gunung Rinjani lewat jalur Senaru.

Biasanya para pendaki betah lama-lama kemping di pinggir danau. Lokasinya emang pewe banget. Pemandangannya indah, suasananya asyik, terus juga ada air terjun dan sumber air panas. Tapi, yang paling seru adalah…

7. Bawa teflon buat…

mendaki gunung rinjani

Memancing di Danau Segara Anak via instagram.com/failureproject

Kamu bisa mancing ikan di Danau Segara Anak. Di danau itu banyak banget ikan karper warna hitam yang juga enak banget buat dimakan. Makanya banyak pendaki yang sengaja bawa pancing dari bawah buat mancing ikan di danau.

Tapi kalau kegiatan mancing terlalu “filosofis” bagimu, kamu bisa beli ikan dari warlok yang emang sengaja mendaki Gunung Rinjani cuma buat mancing (dan menjual hasil pancingannya ke para pendaki). Harganya nggak mahal-mahal amat, kok. Kalau pintar nawar, bisa dapat Rp 20.000 untuk tiga ekor ikan. Makanya, jangan lupa bawa teflon buat masak ikan.

Gimana? Udah siap buat mewujudkan mimpimu untuk mendaki Gunung Rinjani?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Tips dan Trik supaya Mendaki Gunung Rinjani Lebih Asyik appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/tips-dan-trik-supaya-mendaki-gunung-rinjani-lebih-asyik/feed/ 0 7903