road trip Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/road-trip/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Thu, 12 Jun 2025 11:46:27 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 road trip Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/road-trip/ 32 32 135956295 Sorong–Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (2) https://telusuri.id/sorong-sorong-selatan-sebuah-jurnal-perjalanan-2/ https://telusuri.id/sorong-sorong-selatan-sebuah-jurnal-perjalanan-2/#respond Sat, 04 Jan 2025 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45047 Cuaca kurang bersahabat masih mengiringi perjalanan kami. Meski masih satu daratan, Sorong Selatan seperti punya aura berbeda, baik itu bentang alam maupun masyarakatnya. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: Rifqy Faiza Rahman & Mauren Fitri Teduhnya hutan...

The post Sorong–Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Cuaca kurang bersahabat masih mengiringi perjalanan kami. Meski masih satu daratan, Sorong Selatan seperti punya aura berbeda, baik itu bentang alam maupun masyarakatnya.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Rifqy Faiza Rahman & Mauren Fitri


Teduhnya hutan rimba tropis menyambut selepas persimpangan pos polisi Sawiat dan Pasar Klamit. Kira-kira 72,5 kilometer dari kantor Distrik Klasafet, Sorong. Samsul mengarahkan kemudi berbelok ke kanan, menuju pusat kota Teminabuan. Semak belukar setinggi truk tronton mulanya mengapit rapat jalan yang berkelok dan naik turun. Tidak seluruhnya mulus. Banyak titik yang bergelombang. Bahkan laju mobil agak merayap ketika melintasi bagian aspal yang terkelupas dengan lubang menganga.

Kondisi seperti itu membentang kurang lebih 30 km sampai bertemu percabangan jalan memasuki Kampung Tofot, Distrik Seremuk. Namun, kami cukup sabar dan senang-senang saja karena berada di kawasan vegetasi hijau dengan tegakan pohon-pohon besar merimbun. Kabut tipis bergelayut di antara kanopi pepohonan.

Sesekali saya membuka jendela. Membiarkan embusan angin sepoi membelai wajah. Menyapu kesejukan yang berbeda di kabin mobil. Lamat-lamat kami mendengar kicau burung yang kencang. Entah di mana sumbernya. Deta menduga, mungkin itu suara rangkong atau julang Papua. Sebab, kami juga melihat sekelebat satu-dua burung setia itu, dengan kepak sayap lebar yang khas, melayang tinggi di angkasa yang kelabu.  

Sorong–Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (2)
Jalanan yang membelah hutan tropis di antara Sawiat-Seremuk/Rifqy Faiza Rahman

Hujan di Kota Seribu Sungai

Ketika melewati Sungai Sembra di Srer, sekitar sembilan kilometer sebelum kota Teminabuan, hujan mendadak mengguyur jalanan. Samsul sempat kebingungan di suatu percabangan, sehingga membuat saya membuka aplikasi Google Maps untuk memandu arah.

Setelah empat jam perjalanan, kami memutuskan berhenti sejenak di sebuah minimarket di Sayolo. Persis di seberang SMP Negeri 1 Teminabuan. Mauren menginstruksikan turun untuk beli sembako tambahan, melengkapi hasil belanja yang kurang di Aimas. Buat stok logistik selama liputan di kampung-kampung nantinya. Sebab, persediaan bahan pokok di kampung pasti terbatas. Onesimus Ebar, koordinator program EcoNusa di Sorong Selatan, telah jauh-jauh hari lewat pertemuan virtual memberi saran kepada kami. 

“Sebelum masuk kampung, perlu belanja bahan makanan (bama) dulu di kota. Bisanya beras, minyak, telur, dan mi. Nanti biar mama-mama di kampung yang masak,” kata Ones, panggilan akrabnya. Kami akan menemui pria berdarah Nakna—subsuku yang menjadi bagian dari suku besar Tehit—itu dan singgah di kantornya di Wernas. Kira-kira 3,5 kilometer ke arah selatan dari Bandara Teminabuan.

Jumlah logistik yang harus dibeli sebenarnya tergantung pada seberapa lama kami berada di kampung. Selain itu, kami biasanya juga menambahkan snack dan buah, serta kopi bubuk dan gula. Sebagai ibu kota kabupaten, Teminabuan jelas menjadi rujukan masyarakat Sorong Selatan untuk mencari kebutuhan-kebutuhan pokok. Pusat pemerintahan dan perekonomian ada di sini. 

Sorong–Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (2)
Selain di minimarket, kami juga belanja tambahan logistik di pasar tradisional dekat pusat kota Teminabuan/Mauren Fitri

Hujan masih deras ketika kami bergerak ke kantor Ones. Dalam perjalanan minimarket di Sayolo ke Wernas itulah kami melewati Bandara Teminabuan. Letaknya di pinggir jalan poros menuju Ayamaru, Kabupaten Maybrat. Jangan dibayangkan bentuknya seperti bandara besar di Sorong. Bandara ini hanya melayani penerbangan-penerbangan perintis.

Susi Air menjadi satu-satunya maskapai, dengan rute berjadwal Sorong–Teminabuan yang terbang tiga kali seminggu—kalau cuaca bersahabat. Maskapai milik Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan RI periode 2014–2019 itu juga melayani rute Sorong–Inanwatan. Meski Inanwatan masih masuk Sorong Selatan, tetapi belum ada jalan yang bagus dari Teminabuan ke distrik tersebut. Naik kapal dari Pelabuhan Teminabuan, lalu menyisir pesisir selatan menjadi opsi transportasi lainnya ke Inanwatan.

Melihat hujan lebat mengguyur landasan pacu yang pendek itu, kira-kira 800 meter, rasa-rasanya kami bersyukur belum jadi naik pesawat ke kota ini. Kami cukup tercengang ketika melihat warga bebas melenggang dengan berjalan, motor, atau mobil, membelah runway menuju perkampungan di utara bandara. Saya bahkan sampai berpikir, kalau gagal mendarat di bandara, tampaknya jalan raya di depannya bisa jadi jalur pendaratan darurat. Atau bisa saja pilot menunda pendaratan gara-gara—siapa tahu—ada babi atau sapi mendadak menyeberangi runway.

Teminabuan dikenal dengan sebutan “Kota 1000 Sungai”. Sungai terbesarnya adalah Sungai Sembra yang berwarna biru jernih, yang sempat kami lihat saat melewati Srer tadi. Salah satu anak sungainya bernama Kohoin, yang membelah jantung Kota Teminabuan. 

Jika melihat lebih dekat, terpasang pipa-pipa besi memanjang dengan diameter cukup besar di sepanjang DAS Kohoin. Kabarnya, pemasangan pipa-pipa tersebut untuk mendukung pembangunan pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) berkapasitas 100 kW oleh Pemerintah Kabupaten Sorong Selatan. 

Namun, artikel Mongabay (2020) menyebut proyek energi terbarukan tersebut mangkrak sejak 2014 karena terjadi beberapa hambatan yang tidak sepenuhnya jelas. Entah adanya dugaan korupsi atau perencanaan yang kurang matang. Meski satu turbin sempat menyala ketika uji coba, tapi di tengah proses konstruksi, pembangkit tersebut sempat mengalami kerusakan karena salah satu pipa pesat—penyalur air ke turbin pembangkit listrik—runtuh sebagian di badan sungai.

Sorong–Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (2)
Sungai Sembra, salah satu sungai penting di Sorong Selatan yang juga dibuka sebagai tempat wisata. Dipotret saat perjalanan pulang kembali ke Sorong/Rifqy Faiza Rahman

Di sisi lain, dua sungai besar tersebut juga memberi aneka manfaat bagi masyarakat setempat. Tidak hanya untuk mandi dan mencuci, tetapi juga menjadi objek wisata alam yang cukup ramai pengunjung. Terutama di akhir pekan, karena banyak wisatawan berkunjung dari luar kota. Bahkan sampai sekarang sungai masih berperan krusial untuk mobilitas masyarakat. Menurut cerita warga Kampung Konda dan Wamargege di Distrik Konda, mereka pun sesekali biasa naik perahu dari Teminabuan menyusuri Sungai Kaibus sampai ke kampung. 

Beberapa orang tua yang kami temui di kampung tersebut sempat berkisah sulitnya perjalanan yang harus ditempuh di masa lampau. Terutama ketika ingin pergi ke Kota Sorong untuk keperluan tertentu. Seperti yang diungkap Yohanes Meres, sesepuh adat subsuku Yaben di Kampung Konda. “Dulu dari Sorong ke Teminabuan cuma bisa pakai perahu, karena belum ada jalan,” kenangnya.

Yohanes harus naik perahu berhari-hari dari Teminabuan atau kampungnya di tepi Sungai Kaibus dengan tujuan Klamono. Persisnya di pelabuhan rakyat Sungai Beraur, dekat pusat distrik. Titik dermaga itu masih ada sampai sekarang, yang kini terdapat jembatan baja penghubung Sorong–Teminabuan. Di sana Yohanes menambatkan perahunya, lalu lanjut berjalan kaki sejauh 20–30 km menuju Klaben, sebelum Distrik Aimas yang kini jadi ibu kota Kabupaten Sorong. Menurut ceritanya, jalan beraspal dan angkutan umum di zaman dahulu hanya sampai di Klaben. Baru dari situ Yohanes naik taksi ke Kota Sorong.

Hujan berangsur mereda setibanya kami di kantor EcoNusa di Wernas. Persis di samping SPBU. Kantor EcoNusa bersebelahan dengan kantor Konservasi Indonesia. Keduanya lembaga nonprofit yang berkantor pusat di Jakarta dan sedang ada program pendampingan masyarakat adat di Sorong Selatan. Selama di Sorong Selatan, kami bekerja sama dengan EcoNusa untuk meriset dan menghimpun informasi lokasi sasaran, narasumber, serta rencana topik liputan ekspedisi Arah Singgah.

“Selamat datang di Teminabuan,” sambut Ones hangat dengan jabat tangan erat dan senyum lebar. Ada juga Neskiel, anak perempuannya yang ikut menemani sang ayah. Usai makan siang bersama-sama di RM Bang Ibed dekat kantor, kami berpisah dengan Samsul. Ia akan langsung pulang ke Sorong sore itu juga. 

Di Wernas kami transit sejenak. Kami sempat berjumpa dengan Adrianus Kemeray, Kepala Kampung Bariat. Ia baru saja pulang dari menghadiri upacara 17 Agustus di kantor bupati. Kami juga menyapa M. Yusup Sianggo, warga Kampung Wamargege yang mampir ke basecamp EcoNusa. Selama sekitar seminggu, kami akan berkunjung ke kampung-kampung di Distrik Konda tersebut untuk melihat upaya masyarakat adat melakukan praktik-praktik ekonomi restoratif berkelanjutan.

Sorong–Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (2)
Onesimus Ebar tersenyum lebar saat menyambut kedatangan kami di depan kantor EcoNusa Sorong Selatan/Rifqy Faiza Rahman

Digoyang jalan semi off road di tengah hutan gambut

Dari kantor EcoNusa, masih ada 10 km lagi menuju Kampung Bariat. Tujuan utama perjalanan hari itu. Sopir berganti. Kristian Sabru atau akrab disapa Kris, orang Teminabuan, akan mengantar kami ke ibu kota Distrik Konda tersebut. Ia tadi sempat mengantar Mauren belanja sayur ke pasar tradisional di pusat kota. Armada miliknya berbeda, meski masih satu pabrikan dengan yang dikemudikan Samsul. Kris membawa Toyota Rush. Kelak kami akan paham kenapa mobil jenis ini laris di pasaran Papua Barat Daya dan mudah ditemukan di mana-mana.

Penampilan Kris khas—walau pakaiannya itu-itu saja selama mengantar kami liputan di Sorong Selatan. Topi terbalik di kepala, kaus warna gelap lengan pendek, celana jins biru selutut, dan sepatu kets berbahan kulit sintetis. Kalung salib emas melingkar sedada.

Karena sudah tidak hujan, jendela mobil sengaja dibuka. Kris meminta izin menyetir sambil merokok. Tak lupa menyetel musik yang tersambung dengan koneksi bluetooth dari ponselnya. Kami persilakan. Aman-aman saja. 

  • Sorong–Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (2)
  • Sorong–Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (2)

Rupanya rute perjalanan menuju wilayah administrasi Distrik Konda berada di tengah-tengah hutan gambut. Kawasan rawan kebakaran. Tiang-tiang listrik berkarat milik PLN berdiri menyambungkan kabel-kabel yang menjangkau hampir seluruh kampung di Distrik Konda. Kabarnya, ada beberapa titik menara Base Transceiver Station (BTS) di distrik ini, sehingga sinyal seluler dan internet pun cukup aman.

Di luar itu, kondisi jalan membuat kami sering mengelus dada dan waswas. Awalnya mulus beberapa ratus meter, lalu seperti “terputus”. Ada kubangan air setinggi ban. Kadang masih bisa dihindari kalau masih ada celah aspal kering yang cukup lebar. Kadang seluruh ban terpaksa “tenggelam” supaya bisa menerjang jalan berlubang yang tergenang. 

Saat kami dibekap keraguan setelah melihat genangan bak kolam di depan mata, Kris tetap santai. Ia cuma bilang, “Kita tes dulu. Kalau aman, berarti gas terus. Kalau nyangkut, ya, tinggal mundur saja. Coba lagi.”

Satu-dua kesempatan saya turun dari mobil. Mencoba merekam keahlian Kris mengemudi dari luar.

Hujan membuat jalan berlumpur dan cukup licin. Namun, beruntung mobil miliknya berpenggerak roda belakang. Meski bukan jenis 4×4 atau dobel gardan, tapi sepanjang jalan ia tidak terlihat kesulitan. Ground clearance mobil cukup tinggi, sekitar 220 mm atau 40 mm lebih tinggi dari Innova Reborn. Tak heran Kris sangat yakin ketika memaksakan salah satu sisi ban nyemplung cukup dalam, sementara sisi ban lainnya tetap mendarat di aspal. Traksi ban cukup bagus. Tak jarang Kris hanya menggunakan persneling gigi 2 saja di RPM rendah, walau harus semi off road

“Aman saja,” cetusnya.

  • Sorong–Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (2)
  • Sorong–Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (2)

Aspal jalan mulai berangsur normal begitu memasuki Manelek, kampung pertama. Tidak jauh dari permukiman masyarakat subsuku Gemna itu, kami tiba di halaman rumah Adrianus Kemeray yang berpasir putih bak tepung. Kepala Kampung Bariat itu menyambut kami hangat. Ia bersama Kris membantu menurunkan barang-barang bawaan kami dari bagasi. Ones menyusul dengan motor sport Honda CRF beberapa menit kemudian. Ia datang untuk memastikan kami tiba dengan selamat, walau tidak akan ikut menginap di Bariat.

Total 45 menit perjalanan kami tempuh dari kantor EcoNusa di Wernas menuju kampung ini. Adrianus menyediakan ruang tamu rumahnya yang sederhana untuk tempat kami menginap. Tinggal membeber matras saja di atas lantai yang dilapisi spanduk-spanduk besar.

“Maaf, kondisinya begini, ya. Seadanya tidak apa-apa, ya,” ucap Adrianus.

“Tidak apa-apa, Bapak. Aman saja,” kata kami serempak. Kami menaruh sebagian barang di dalam kamar istri Adrianus, sisanya tergeletak saja di ruang tamu. Pintu depan rumah hanya berupa paku bengkok yang tertancap di kosen untuk menyelot daun pintu. Pun pintu bagian belakang dekat meja makan, yang tembus keluar ke arah dapur.

Sesungguhnya kami tidak terlalu khawatir. Selama bisa menjaga peralatan pribadi dan kelompok yang penting, terutama untuk keperluan liputan, akan baik-baik saja. Adrianus pun berani menjamin itu.

  • Sorong–Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (2)
  • Sorong–Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (2)

Malamnya, kami berkumpul di teras rumah Adrianus yang cukup lapang. Bisa memuat belasan orang untuk sekadar menongkrong. Cuma ada sebuah meja kayu, serta kursi-kursi plastik dan bangku kayu untuk duduk. Rumah Adrianus terbilang paling terang dibanding rumah-rumah masyarakat sekitar, meski hanya bercahayakan lampu bohlam putih yang tidak terlalu terang. 

Tapi, di teras inilah salah satu tempat kami selama dua malam di Bariat. Cukup berbekal empat bahan kontak sesuai saran Ones, yaitu rokok, pinang, kopi, dan gula; bahan obrolan ringan sampai berat akan mengalir deras sampai nyaris tak kenal waktu.

Bersahaja, tetapi hangat, akrab, dan penuh hormat. Begitulah yang kami rasakan. Tampaknya, definisi rumah benar-benar tidak sekadar dibatasi sekat-sekat geografis. (*)


Foto sampul:
Perjalanan dari Teminabuan menuju pedalaman Distrik Konda, Sorong Selatan/Rifqy Faiza Rahman

Pada Agustus–September 2024, tim TelusuRI mengunjungi Sorong dan Sorong Selatan di Papua Barat Daya, serta Jayapura di Papua, dalam ekspedisi Arah Singgah: Suara-suara dari Timur Indonesia. Laporan perjalanannya dapat Anda ikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Sorong–Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sorong-sorong-selatan-sebuah-jurnal-perjalanan-2/feed/ 0 45047
Sorong–Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (1) https://telusuri.id/sorong-sorong-selatan-sebuah-jurnal-perjalanan-1/ https://telusuri.id/sorong-sorong-selatan-sebuah-jurnal-perjalanan-1/#respond Fri, 03 Jan 2025 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45027 Cuaca berubah-ubah menjadi kuasa alam yang tidak bisa diprediksi selama ekspedisi Arah Singgah di Papua. Termasuk dalam perjalanan menuju sisi selatan Semenanjung Kepala Burung. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: Rifqy Faiza Rahman & Mauren Fitri “Kenapa...

The post Sorong–Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Cuaca berubah-ubah menjadi kuasa alam yang tidak bisa diprediksi selama ekspedisi Arah Singgah di Papua. Termasuk dalam perjalanan menuju sisi selatan Semenanjung Kepala Burung.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Rifqy Faiza Rahman & Mauren Fitri


“Kenapa tidak naik mobil saja?”

Pertanyaan itu terlontar dari setidaknya empat sopir mobil rental yang kami temui di Kota Sorong. Tiga di antaranya kami dapati di satu hari yang sama, yaitu ketika kami dijadwalkan terbang ke Teminabuan. Jarak dari Kota Sorong ke ibu kota Kabupaten Sorong Selatan sekitar 157 kilometer. Empat jam naik mobil. Setengah jam naik pesawat perintis.

Pertimbangan waktu itulah yang membuat kami memilih pesawat daripada rental mobil. Rupanya, alam punya rencana lain. Niatnya ingin cepat sampai, tetapi malah bikin capai.

Sorong-Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (1)
Mauren dan Deta bersama barang-barang bawaan kami di selasar Bandara Domine Eduard Osok, Sorong. Kami datang di pagi buta, sebelum bandara buka/Rifqy Faiza Rahman

Wira-wiri demi Susi

Mauren, ketua tim ekspedisi Arah Singgah, sudah memesan tiga tiket Susi Air ke Teminabuan untuk hari Jumat, 16 Agustus 2024. Wacananya, ingin istirahat agak lama sekaligus merayakan upacara 17 Agustus di Sorong Selatan. Beda dengan penerbangan maskapai besar, tidak ada platform daring yang tersedia untuk reservasi tiket. Kami harus memesan lewat nomor Whatsapp resmi customer service Susi Air. Tiketnya cetak, berbentuk buku kecil (booklet) seperti tiket pesawat jadul. Akan diberikan saat melapor check in.

Penerbangan reguler Sorong–Teminabuan hanya ada tiga kali seminggu. Berangkat pukul 07.00 WIT dari Bandara Domine Eduard Osok (DEO), tiba di Bandara Teminabuan setengah jam kemudian. Susi Air merupakan satu-satunya pemain di rute ini. 

Di hari keberangkatan, sejak pukul lima Subuh kami sudah meninggalkan hotel menuju bandara Sorong yang cuma berjarak kurang dari lima menit. Namun, sesampainya di bandara, konter kecil check in Susi Air yang terletak paling ujung masih kosong melompong. Tidak ada satu pun kru Susi Air yang berjaga. Beda dengan konter-konter sebelah yang sangat sibuk. Padahal, kata petugas bandara, biasanya pukul 06.00 sudah siap.

Sampai pukul 06.30, belum ada kejelasan apakah kami akan terbang atau tidak. Baru beberapa menit kemudian, pesan baru muncul di Whatsapp Mauren. Dapat kabar dari customer service Susi Air, kalau penerbangan ke Teminabuan mundur ke pukul 14.35. Katanya, sedang menunggu armada pesawat pengganti dari daerah perintis lainnya.

Mauren lekas menelepon Samir, orang rental yang mobilnya kami sewa selama seminggu keliling Sorong, untuk menjemput dan mengantar kami kembali ke hotel. Beruntung, ia sudah stand by di bandara untuk mencari tamu. Beruntung pula, hotel kami belum memproses check out, sehingga kami tidak perlu membayar biaya tambahan. Kami memanfaatkan waktu setengah hari untuk istirahat.

Sorong-Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (1)
Setiap barang bawaan di luar bagasi harus ditimbang secara presisi, termasuk badan. Sebab, pesawat yang akan kami tumpangi berukuran kecil/Mauren Fitri

Siangnya, kami check out dan berangkat ke bandara untuk kedua kalinya. Konter mungil itu akhirnya berfungsi. Seorang petugas pria berompi safety hijau melayani proses check in kami bertiga. Tidak cuma bagasi, badan kami juga harus ditimbang. Maklum, pesawat yang rencananya kami naiki adalah jenis Cessna 208 Grand Caravan. Kapasitas maksimal 12 penumpang. Dan bisa ditebak, kami kelebihan bagasi 70 kg sehingga harus membayar Rp1.050.000.

Alur selanjutnya berjalan seperti biasa. Naik ke ruang tunggu, melewati pemeriksaan X-ray sekali lagi, dan makan siang coto makassar di kedai pojok dekat toko oleh-oleh. 

Hati mulai gundah tatkala sampai pukul 14.00 belum ada panggilan boarding. Jangankan itu, pesawatnya saja belum datang. Sementara awan kelabu mulai bergumul di langit. Hampir selama seminggu sebelumnya, setiap siang jelang sore Kota Sorong punya riwayat hujan deras. 

Pesawat Susi Air yang kami nanti-nantikan akhirnya tampak mendekati runway dari arah barat. Saking mungilnya, pesawat bermesin turboprop tunggal itu tidak kunjung sampai ke ujung timur landasan pacu. Timpang sekali dengan pesawat-pesawat jet Boeing atau Airbus yang terparkir di apron bandara. 

Sorong-Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (1)
Pesawat Susi Air terlambat mendarat di Sorong/Rifqy Faiza Rahman

Dari dinding kaca ruang tunggu, tampak di kejauhan kendaraan baggage towing tractor tengah mengerek keranjang bagasi menuju pesawat Susi Air yang sudah parkir sempurna. Sepintas saya melihat rain cover biru tas ransel saya tertumpuk paling atas. Petugas ground staff kemudian melakukan bongkar muat barang di bagasi.

Tiba-tiba, suara pengumuman dari bandara terdengar lantang, mengabarkan pesawat kami mengalami penundaan karena alasan cuaca. Tahu-tahu hujan deras turun seketika. Lebat sekali, membasahi pelataran landasan bandara dengan cepat. 

Kami batal naik pesawatnya Bu Susi. Kami gagal bikin konten Instagram, yang niatnya akan “caper” dengan menyebut akun Bu Susi. Mauren mencoba menghidupkan kamera, merekam saya berseloroh, “Pesawat sekecil itu berkelahi dengan hujan bulan Agustus.”

Dalam sesaat, pengumuman penundaan itu berubah menjadi pembatalan. Seorang pekerja perempuan berjilbab dengan rompi safety hijau. Dia adalah karyawan Susi Air. Dari tadi mondar-mandir di ruang tunggu. Sambil menggenggam protofon, ia mendatangi para penumpang yang setia menunggu. Selain kami bertiga, ada tiga penumpang lain dengan tujuan Teminabuan.

“Mohon maaf Bapak/Ibu, penerbangan ke Teminabuan dibatalkan karena cuaca tidak bersahabat. Kami menawarkan dua opsi, reschedule (penerbangan hari Senin di pekan berikutnya) atau refund,” tuturnya dengan tenang dan tegas.

Sorong-Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (1)
Petugas Susi Air (kanan) memberi penjelasan pembatalan penerbangan Susi Air tujuan Teminabuan/Mauren Fitri

Tentu saja kami kompak memilih opsi kedua. Meminta kembali uang tiket dan biaya kelebihan bagasi. Lumayan untuk ongkos perjalanan darat ke Teminabuan, yang akan kami lakukan keesokan paginya.

Ia kemudian mengarahkan kami turun untuk mengambil bagasi. Ketika troli penuh barang berat itu tiba, jelas saja, nyaris kuyup semuanya. Untung bagian permukaan saja yang basah, baik itu tas-tas ransel maupun koper. 

Keluar dari gedung terminal dengan mendorong troli, niatnya Mauren menghubungi Samir agar menjemput kami lagi. Sayang, ia sedang tidak di bandara. Sudah ada tamu lain yang memakai jasanya. Tak ada pilihan lain, kami akan naik mobil rental yang banyak siaga di depan area kedatangan.

Pilihan kami jatuh pada sosok sopir bernama Fahmi. Pria bertopi dengan setelan kaus, celana jins panjang, dan sandal jepit yang menenteng kunci mobil di telapak tangannya. Dialah orang pertama yang menawarkan jasa angkutan begitu kami keluar dari pintu kedatangan. 

“Seratus ribu,” ucapnya menyebut nominal tarif pengantaran ke hotel. Kami memutuskan untuk menginap semalam lagi dan baru pergi ke Teminabuan besok lewat jalur darat. Hotel yang sama, sampai-sampai resepsionis hotel hafal muka kami.

Tidak ada negosiasi berarti dengan Fahmi. Sebab, ternyata standar harga transportasi rental jarak dekat di dalam kota memang segitu. Di dalam mobil, si sopir mulanya tampak prihatin mengetahui penyebab kami batal terbang pakai Susi Air sore itu. Namun, begitu tahu tujuan kami adalah Teminabuan, pertanyaan familiar mengalun untuk keempat kalinya—ketiga di hari itu, “Kenapa tidak naik mobil saja?”

Sorong-Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (1)
Fahmi (kanan), sopir mobil rental yang mengantar kami dari bandara ke hotel/Mauren Fitri

Berkendara bersama sopir Jawa

“Kalau kita berangkat naik mobil, kita sudah sampai di Teminabuan dari kemarin,” celetuk Deta, fotografer-videografer tim ekspedisi.

Betul juga. Durasi wira-wiri dan menunggu di bandara kemarin sudah seperti estimasi waktu tempuh perjalanan darat dari Sorong ke Teminabuan. Tapi, anggap saja itu sebagai pengalaman dan pelajaran. Toh, dari pihak Susi Air sudah kooperatif dalam menangani hak konsumen akibat penundaan.

Pagi itu (17/8/2024), seorang pria dengan setelan pakaian dan potongan rambut yang rapi menyapa kami di teras lobi hotel. Ia bergegas membantu kami memasukkan barang-barang bawaan ke bagasi belakang mobil. Sosok yang jauh berbeda dengan Fahmi, yang seharusnya mengantar kami ke Teminabuan hari ini.

“Harusnya dia yang berangkat, Mas. Tapi hari ini mesti antar istrinya ke rumah sakit. Jadi, saya yang diminta berangkat,” kata pria asal Trenggalek, Jawa Timur itu.

Sorong-Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (1)
Akhirnya berangkat juga ke Sorong Selatan. Samsul menggantikan Fahmi di balik kemudi/Rifqy Faiza Rahman

Pengalaman lima tahun di Sorong, mengikuti jejak rantau saudaranya yang seorang transmigran, cukup membuat Samsul hafal seluk-beluk jalan poros dua kabupaten bertetangga itu. Bahkan sampai ke Tambrauw dan Maybrat, yang berbatasan langsung dengan Provinsi Papua Barat. 

Ia banyak memberi gambaran atau wawasan kepada kami. Misalnya, harus hati-hati di jalan agar tidak menabrak anjing, sapi, atau babi karena konsekuensi hukum adatnya berat. Lalu, titik-titik lokasi mana yang memiliki tingkat keamanan rawan. Atau, sekadar tips—jika menyetir mobil sendiri—berapa banyak liter minyak (bahan bakar) yang harus disiapkan saat berkendara jarak jauh di sini.

Seperti aturan tidak tertulis, kami sebagai tamu tentu tetap memberikan sopir tiga kebutuhan utama: rokok, kopi, dan air mineral. Apalagi sopirnya podho-podho Jowone. Gayeng. Kisah-kisah seputar suka duka menjadi anak rantau di daerah berzona waktu selisih dua jam dengan Jawa, dominan mengiringi pembicaraan sepanjang perjalanan.

Kami membeli tiga ubo rampe itu di sebuah minimarket di Aimas. Sekalian tahap pertama mencicil belanja bahan makanan (bama) untuk pasokan logistik selama di Sorong Selatan. Jaga-jaga kalau di sana persediaan makanan-minuman terbatas. 

Selepas Aimas, makin jauh ke arah tenggara, saya fokus pada pertanyaan yang tebersit di benak, petualangan macam apa yang akan menunggu di depan? Seperti apa perjalanan darat ke Teminabuan?

Sorong-Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (1)
Ruas jalan Sorong-Sorong Selatan umumnya diapit hutan, perkebunan, dan perkampungan/Rifqy Faiza Rahman

Samsul dan armada Toyota Avanza keluaran 2020 yang kami tumpangi siap membantu saya menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Ia akan membawa kami melintasi jalan poros Sorong–Sorong Selatan, melewati distrik-distrik dan kampung-kampung yang masih asing bagi kami.

Saya sampai penasaran sejauh apa jarak 157 km itu. Yang jelas, jika memperkecil tampilan peta satelit di Google Maps, kami bagaikan setitik debu di atas daratan mahaluas yang dikenal Semenanjung Kepala Burung—merujuk pada tampilan permukaan keseluruhan Papua yang seperti burung cenderawasih. Atau biasa juga disebut Semenanjung Doberai, yang luasnya mencapai 55.604 km2. Sebagian besar wilayahnya membentuk kawasan Provinsi Papua Barat Daya, mulai dari Kabupaten Sorong di sisi paling barat, serta sebagian Papua Barat di sisi timur (Manokwari, Manokwari Selatan, Pegunungan Arfak, dan Teluk Bintuni).

Teminabuan, tujuan kami, berada di bagian “paruh burung” semenanjung itu. Wilayah pesisir selatan Sorong Selatan memang unik, tampak seperti teluk-teluk yang meliuk. Membentuk ekosistem pesisir yang khas. Kabarnya, ekosistem mangrove di kabupaten yang mekar dari Sorong sejak 2003 itu termasuk yang paling besar di Papua.

Saya mencatat tiga hal menarik yang kami jumpai saat melintasi jalan poros di wilayah Kabupaten Sorong. Pertama, sebuah pompa angguk berusia uzur dan nyaris diselimuti karat di atas sumur minyak di Distrik Klamono. Letaknya di pinggir jalan dan dikepung hutan. Saksi bisu eksplorasi minyak bumi warisan Nederlandsch Nieuw-Guinea Petroleum Maatschappij (NNGPM), perusahaan minyak Belanda yang sudah hadir di Sorong sejak 1935-an. Meski produktivitasnya menurun, pompa dan sumur tersebut masih berfungsi cukup baik, seperti halnya puluhan lapangan produksi minyak lainnya di Distrik Klamono. Saat ini dikelola oleh PT Pertamina EP, anak usaha Pertamina Hulu Energi yang bergerak di bidang pengeboran minyak dan gas. Jejak pompa itulah yang juga memberi julukan Sorong sebagai Kota Minyak.

Kedua, papan nama di dekat pos keamanan dan portal di kiri jalan. Ukuran hurufnya besar, bertuliskan “PT HENRISON INTI PERSADA”. Rupanya perusahaan perkebunan kelapa sawit. Masih di kawasan Distrik Klamono, sekitar 35 km dari Sorong. Di sinilah Samsul memberi pernyataan menarik. 

“Kebun kelapa sawit di sini nggak kelihatan dari pinggir jalan, Mas,” katanya. Beberapa ratus meter kemudian, saat mobil menanjak di atas bukit, kami baru paham. Lokasi kebun sawit nan luas berada cukup jauh di dalam. Tersamarkan hutan tropis di sekelilingnya. Entah memang didesain seperti itu, atau sekadar kamuflase untuk menunjukkan bahwa hutan di Sorong masih hijau.

  • Sorong-Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (1)
  • Sorong-Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (1)

Momen ketiga yang menarik adalah ketika kami menepi sejenak tak jauh dari jembatan baja Sungai Beraur. Orang-orang mengenalnya jembatan besar Klamono. Seorang penduduk setempat menghentikan mobil kami. Ternyata, sedang ada upacara 17 Agustus di lapangan kantor Distrik Klasafet dekat situ. 

Saya mencoba turun, melihat-lihat situasi. Upacaranya berlangsung penuh khidmat. Peserta upacara yang terdiri dari anak SD dan SMA setempat, bersama perangkat distrik, terlihat tenang menyimak pembacaan doa oleh seseorang di podium depan. Bendera pusaka sudah dinaikkan. Sepertinya upacara segera usai.

Saya menegur seorang tentara yang berjaga di atas motornya di pinggir jalan, sekadar mengajaknya berbasa-basi. Tampaknya bintara pembina desa (Babinsa). Ia bilang, sebenarnya ada arahan dari pemerintah kabupaten untuk upacara di Alun-alun Aimas. Namun, “Pak Babin” berpendapat, daripada capek jauh-jauh ke kota, lebih baik upacara di lapangan distrik atau sekolah setempat dan tidak kalah patriotik. 

Sementara di seberang jalan Samsul bersama Deta dan Mauren mampir ke kios penjual sirih dan pinang kering berbentuk irisan seperti koin. Harganya 10 ribu rupiah sepaket dalam satu piring plastik kecil, lengkap dengan seplastik kapur. Kami sama-sama mencoba menggigit seiris pinang. 

  • Sorong-Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (1)
  • Sorong-Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (1)

Seorang penduduk lokal menunjukkan kepada kami cara mengunyah buah pinang. Kios-kios penjual sirih pinang mudah ditemukan di sepanjang jalan Sorong-Sorong Selatan. Pembeli bisa memilih buah pinang utuh maupun dalam bentuk irisan yang sudah kering/Mauren Fitri

“Pahit rasanya,” saya bertestimoni. Tentu saja disambut tawa penjual dan warga sekitar yang penasaran dengan kehadiran anak kota seperti kami. Baru mencoba sirih pinang pula.

Pria sepuh yang menyetop kendaraan kami tadi melambai-lambai. Gesturnya mengisyaratkan kami bisa melanjutkan perjalanan. Di lapangan, saya melihat pemimpin upacara sudah membubarkan barisan. Sayang sekali, kami tidak sempat melihat prosesi pengibaran bendera dan mendengar kumandang lagu agung Indonesia Raya bergema di timur Indonesia.

Kawasan pusat pemerintahan Distrik Klasafet ini berada di sekitar kilometer ke-40 dari Bandara DEO Sorong. Masih ada 117 kilometer lagi menuju Teminabuan.

(Bersambung)


Foto sampul:
Belukar dan hutan akan sering dijumpai di sepanjang jalan utama penghubung Kabupaten Sorong dan Sorong Selatan/Rifqy Faiza Rahman

Pada Agustus–September 2024, tim TelusuRI mengunjungi Sorong dan Sorong Selatan di Papua Barat Daya, serta Jayapura di Papua, dalam ekspedisi Arah Singgah: Suara-suara dari Timur Indonesia. Laporan perjalanannya dapat Anda ikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Sorong–Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sorong-sorong-selatan-sebuah-jurnal-perjalanan-1/feed/ 0 45027
Road Trip ke Pulau Sabu dan Menggila Bersama Bento https://telusuri.id/road-trip-ke-pulau-sabu-dan-menggila-bersama-bento/ https://telusuri.id/road-trip-ke-pulau-sabu-dan-menggila-bersama-bento/#respond Fri, 17 Sep 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=30268 Bagi Bram Aditya, perjalanan adalah santapan besar sebagai seorang videografer yang menemani perjalanannya menjelajahi berbagai sudut Indonesia. Sebagai seorang videografer, ia diharuskan untuk mengambil versi gambar terbaik dari pemandangan yang ada di sekitarnya. Karya-karya Bram...

The post Road Trip ke Pulau Sabu dan Menggila Bersama Bento appeared first on TelusuRI.

]]>
Bagi Bram Aditya, perjalanan adalah santapan besar sebagai seorang videografer yang menemani perjalanannya menjelajahi berbagai sudut Indonesia. Sebagai seorang videografer, ia diharuskan untuk mengambil versi gambar terbaik dari pemandangan yang ada di sekitarnya. Karya-karya Bram sudah banyak berseliweran di kanal YouTube-nya maupun Instagramnya. 

Salah satu video karya Bram yang menggugah adalah video yang berjudul Bento Gojek Keliling Indonesia. Sebuah kisah perjalanan Bento, seorang pengemudi Gojek di Jakarta yang sudah rindu akan kampung halamannya. Selama 17 tahun tak pulang, kerinduan itu akhirnya membuncah. Pada 2019 kesempatan itu akhirnya datang, bersama Bram, ia menyusuri rute Jawa—Bali—Lombok—Sumbawa—Flores—Timor—Pulau Sabu menggunakan motornya.

Berikut cuplikan wawancara TelusuRI dengani Bram mengenai perjalanannya ke Pulau Sabu bersama Bento.

bento pulau sabu
Keseharian Bento sebagai ojek online di Jakarta/Bram Aditya

Mas Bram, pertama kali ketemu Bento terus sampe memutusan menggila bersama ke Pulau Sabu itu gimana ceritanya sih?

Awalnya kenal Bento sudah cukup lama sekitar dari tahun 2007. Waktu itu, Bento kerja di salah warnet di Benhil, Jakarta Pusat. Sedangkan saya sebagai operatornya. Hingga saat Bento keluar dari warnet pada 2013, saya belum ada kepikiran apa-apa tentang Bento. Setelah [resign] dari warnet Bento tinggal di jalan, jualan air minum kemasan & kopi di lampu merah, sambil jadi ojek pangkalan sebagai sampingan. Oh ya, motornya waktu itu Honda Astrea butut yang sering kali mogok. Lalu pada 2015, ia mendaftarkan diri sebagai pengemudi Gojek.

Saya baru terpikir untuk ajak Bento pulang kampung pada 2017 karena melihat dia nggak pernah pulang kampung sejak pertama kali datang ke Jakarta, tahun 1997. Karena kendala persiapan, tahun 2018 kami gagal berangkat.

Eh, jadi berapa kilometer yang ditempuh?

Waktu itu menempuh 4000 km  Jakarta—Sabu.

Persiapannya berapa lama? Pastinya nggak cuman kendaraan, fisik, dan mental; tapi juga keuangan, kan? 

Ya, semenjak dua tahun setelah berencana, kami baru bisa mengeksekusinya. Bento sendiri harus menabung selama satu tahun untuk perjalanan ini. Yang [jadi kendala] agak berat itu motor Bento. Motor tersebut adalah motor yang digunakan untuk mengangkut penumpang setiap hari, dipaksa kerja, jadi motor dia sangat nggak sehat. Akhirnya dibongkar habis di bengkel teman saya sebelum berangkat. Kalau fisik dan mental sebenarnya kami nekat aja.

bento pulau sabu
Mendebarkan asa selama perjalanan/YouTube Bramadity

Manajemen perbekalan kalian gimana, tuh?

Sebenarnya nggak ada manajemen, kami cukup istirahat kalau capek, dan yang pasti nggak jalan kalau malam. Tapi si Bento di perjalanan ke Sabu, sempat kehabisan uang untuk melanjutkan. Jadi cukup dilematis antara lanjut atau berhenti. Akhirnya Bento narik ojek di Bali, baru lanjut perjalanan. 

Selama di perjalanan tidur di mana aja? Hotel, rumah temen, atau pom bensin?

Bento menyebutnya di apartemen alias pom bensin, tapi ada juga di tempat temen atau saudara. Ada juga kalanya kami [mendirikan] tenda. Hotel yang kita inapi itu hanya di Sape. Terpaksa menginap karena selama tiga hari nggak ada kapal menuju Sumba. 

Mampir juga kan ya ke beberapa tempat wisata kayak Borobudur dan Bromo. Lainnya ke mana aja? Emang dari awal berangkat ada niatan untuk mampir-mampir?

Sebenernya emang mau mampir, sekaligus [bikin] Bento nggak penasaran. Seumur hidup belum pernah keluar Jakarta, Kupang, dan Kampung Sabu. Banyak juga tempat wisata yang kita lewatkan karena biaya. 

Bento cuma lewat Jawa, tapi bagi dia sudah keliling Jawa.

Yang lucu di beberapa tempat yang kita lewati, Bento disapa orang dan diajak foto. Sedangkan orang nggak ada yang kenal saya di jalan. Misalnya pas di Bromo, Bali, Banyuwangi. 

Sambil bikin dokumenter, to? Rencana mau diapakan dokumenter ini?

Rencana awalnya, saya yang akan menyuntingnya, cuman karena pekerjaan sebagai freelancer nggak habis-habi, akhirnya nggak jadi-jadi. Saya harus bener-bener nggak kerja untuk menyunting film ini. Tapi sekarang, filmnya sedang disunting oleh editor lain, jadi ditunggu ya.

Tujuan [pembuatan dokumenter ini] sebenarnya lebih ke eksplorasi saya dalam film, menantang diri sendiri menjadi lebih baik. Setelah jadi sih lebih ke pengen sharing dan membuat event, tentang gimana cara buat film cara survive di jalan, cara buat script, cara persiapan, dan lainnya.

bento pulau sabu
Pemandangan saat shooting/Bram Aditya

Sepanjang perjalanan, ada momen yang paling bikin kaget atau ada sesuatu yang terungkap di luar dugaan? Misalnya, berantem sama Bento.

Salah satunya Bento mendapati star syndrome. Sampai dia dengan bangga di Bali kenalan sama banyak perempuan dan cerita kalau [kami] ke Bali lagi shooting.

Kalau capek, biasanya karakter orang keliatan kan. Selama saya kenal Bento tidak pernah ada di level ini nih. Egoisnya bento keluar pas di jalan ketika capek. Misal setelah seharian di jalan, pas mau istirahat dia bukannya bantu-bantu mengisi daya peralatan, dia malah minta foto-foto untuk diunggah [ke media sosial].

Ketika capek mogok & jatuh pun juga begitu, dia sulit diajak kerjasama untuk shooting. Bento pas lagi di jalan nggak bisa melihat plang jalan yang benar. Tiap ketemu perempatan harus dikasih tahu kiri kanan via intercom helm. Terus ada suatu saat, di perempatan saya bilang terus, dia malah marah-marah. 

“Lho jangan bilang terus dong tapi LURUS!”

Lah apa bedanya terus ama lurus?

Menurut dia terus itu ada terus ke kiri dan ke kanan. Tapi kalau lurus ya lurus nggak ada lurus kiri atau lurus kanan.

Yang bikin tidak capek, sampai akhirnya tiba di Sabu apa sih?

Kalau saya sampai & tidak sampai, tidak masalah. Ya itu bagian dari cerita dokumenternya. Kalau Bento lebih ke euforia mau ketemu ibunya. Dia selalu semangat buat jalan. Padahal di Jawa aja jalan berhari-hari dia sudah kecapean hampir nyerah. Trus makin mendekati kampung dia semakin bahagia bahkan sedih. Apalagi di kapal laut penyeberangan ke Sabu. Dia di kapal laut dia ketemu saudara jauh— yang dia dikira sudah meninggal karena 20 tahun tidak bertemu.

Yang pertama kali kalian lakukan pas sampe Pulau Sabu, apa?

Bento beli oleh-oleh di pelabuhan, beli oleh-oleh ikan. Saya nggak ada persiapan. 

Awalnya saya tidak mengerti, ketika sampe rumahnya saya paham. Karena rumah Bento itu bedeng dan bentuknya rumah adat kecil. Jadi buat keluarganya, makan daging itu mewah. Jadi ketika pertama datang, saya makan hanya nasi dan kuah dikasih perasa Sasa. 

Ya begitulah mereka sehari-hari, makanya Bento beli oleh-oleh ikan dari pelabuhan. Akhirnya saya mengerti. 

Terus, baliknya naik motor lagi?

Saat sampe Sumba, motor saya kirim ke Bali. Jadi saat Sumba—Sabu dan sampai di rumah Bento saya sudah tidak naik motor. Karena sabu terlalu kecil buat kirim balik motor saya. 

Saya sendiri karena ada kerjaan, hanya tiga hari di rumah Bento. Saya lalu memesan pesawat Susi Air ke Kupang dan ke Bali untuk melanjutkan perjalanan shooting di Sulawesi.

Kalau Bento sendiri dari awal berangkat sudah jadi suatu dilema dengan motor. Karena dia sebagai kakak tertua dengan pendidikan paling tinggi tidak bisa jadi sandaran keluarga. Jadi dia sampe Sabu, meninggalkan motor buat adiknya sebagai oleh-oleh. Trus dia pulang naik kapal dan bus kembali ke Jakarta. 

Ada saran tidak buat orang yang mungkin mau melakukan kegilaan yang sama?

Silahkan saja, tapi kalau dalam tujuan film, sebaiknya disiapkan scriptnya. Itineraries itu penting untuk tidak dilupakan. Kemudian nikmati saja perjalanannya, karena di perjalanan akan mudah menyerah karena capek dan lain hal.

Oh ya, sebenarnya walaupun keliatan gila atau tidak penting, dari perjalanan ini saya banyak belajar tentang hidup, yang tidak akan saya dapatkan sehari-hari di Jakarta. Kalau untuk Bento ini pengalaman sekali seumur hidup, udah seperti keliling dunia buat dia.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Road Trip ke Pulau Sabu dan Menggila Bersama Bento appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/road-trip-ke-pulau-sabu-dan-menggila-bersama-bento/feed/ 0 30268
“Road Trip” Melintasi Sumatera Barat https://telusuri.id/road-trip-melintasi-sumatera-barat/ https://telusuri.id/road-trip-melintasi-sumatera-barat/#comments Mon, 16 Oct 2017 10:33:53 +0000 http://telusuri.id/?p=2886 Kemarin kami mengelilingi Danau Singkarak, danau terluas di Sumatera Barat, menumpang kendaraan roda empat. Cukup mengejutkan bahwa ternyata untuk mengelilingi danau sebesar itu hanya perlu waktu sekitar 1-1,5 jam. Di beberapa titik di pinggir danau,...

The post “Road Trip” Melintasi Sumatera Barat appeared first on TelusuRI.

]]>
Kemarin kami mengelilingi Danau Singkarak, danau terluas di Sumatera Barat, menumpang kendaraan roda empat. Cukup mengejutkan bahwa ternyata untuk mengelilingi danau sebesar itu hanya perlu waktu sekitar 1-1,5 jam.

Di beberapa titik di pinggir danau, saya melihat keramba-keramba ikan dipasang. Budidaya perikanan di pinggiran Singkarak memang lumayan semarak. Ikan khas Danau Singkarak adalah ikan bilih, yang tampilan fisiknya mirip-mirip ikan wader.

Kami juga sempat singgah sebentar di Ombilin, dekat perbatasan Solok dan Tanah Datar, untuk makan sepiring katupek pitalah yang lontongnya besar bukan main. Jadi, ketika kami tiba kembali di Kota Solok yang dingin, hari sudah malam. Kami mesti istirahat sebab esok hari kami akan melakukan road trip melintasi Sumatera Barat.

road trip melintasi sumatera barat
Suasana Pasar Sawahlunto saat road trip melintasi Sumatera Barat/Teguh Fasty Syaputra

“Road trip” melintasi pelosok Sumatera Barat

Soal transportasi publik, perkembangan Sumatera Barat terbalik. Sejak Padang tidak lagi punya terminal sentral dan kendaraan pribadi jumlahnya makin menjadi-jadi, transportasi publik seakan-akan jadi pilihan kesekian.

Akibatnya perusahaan otobis mesti mengetatkan ikat pinggang. Ukuran bis pun semakin menyusut. Lihat saja armada bis ANS Padang-Bukittinggi yang dulunya berupa bis Mercedes-Benz besar sekarang jadi bis-bis mini yang ukurannya hanya sedikit lebih besar dari elf. Tentu saja bis-bis itu masih tetap suka ngetem lama-lama. Kalau tidak, dari mana mereka akan dapat penumpang?

road trip melintasi sumatera barat
Kota Sawahlunto yang berbukit-bukit/Teguh Fasty Syaputra

Maka, untuk urusan jalan-jalan di Sumatera Barat, adalah pilihan paling bijaksana untuk menggunakan kendaraan pribadi. Selain lebih cepat, kamu juga akan bisa menjangkau atraksi-atraksi wisata yang letaknya terpencil, seperti yang kami lakukan hari ini.

Setelah istirahat semalam, kami pun berkendara menyusuri Jalan Lintas Sumatera menuju kota tambang yang dulu sempat berjaya, Sawahlunto. Naik kendaraan pribadi ke Sawahlunto cuma menghabiskan waktu sekitar setengah jam perjalanan, melewati Silungkang yang penduduknya dikenal sebagai penenun dan penganyam handal.

Sisa-sisa kejayaan tambang batubara

Perbukitan yang mengelilingi Sawahlunto itu seolah-olah tak hanya mengisolasi Sawahlunto secara geografis, namun juga menjebaknya di masa lalu. Kota-kota di Sumatera Barat memang lebih banyak yang sepi ketimbang yang ramai. Tapi Sawahlunto lain; saya seperti memasuki kota di film Silent Hill.

road trip melintasi sumatera barat
Rel kereta api di depan Museum Kereta Api Sawahlunto/Teguh Fasty Syaputra

Plang menuju Museum Kereta Api itu membawa kami melintasi pasar tradisional. Sebagian orang menggunakan sarung untuk menahan udara dingin yang sesekali masih berhembus. Saya melihat ke kanan, ke arah permukiman yang terususun di lereng perbukitan: pasti di rumah-rumah itu orang-orang masih asyik kemulan. Kami memarkir mobil di depan Museum Kereta Api yang letaknya tak jauh dari pasar.

Sawahlunto menjual masa lalu; akumulasi dari cerita-cerita semenjak dua abad silam. “Ditaruko” ahli geologi Belanda sekira paruh abad ke-19, Sawahlunto dijadikan kota pada 1 Desember 1888. Empat tahun setelahnya, yakni 1892, kota ini mulai menghasilkan batubara.

Kami pun memasuki Museum Kereta Api Sawahlunto. Di masa-masa puncak kejayaan tambang batubara dulu, museum ini adalah sebuah stasiun terminus, bagian dari jaringan rel kereta api yang menghubungkan Padang, Solok, Sawahlunto, Padang Panjang, Bukittinggi, dan Payakumbuh.

Kantor Bukit Asam/Teguh Fasty Syaputra

Selain satu lokomotif dan lima gerbong tua, museum ini juga menyimpan banyak pernak-pernik perkeretaapian warisan zaman beheula. Selama sekitar satu jam kami berkeliling di antara alat sinyal dan komunikasi, lonceng penjaga, timbangan, dan peninggalan-peninggalan lain yang jadi saksi bisu sejarah dunia perkeretaapian Indonesia.

Lubang Mbah Soero, peninggalan orang rantai

Dari Museum Kereta Api, kami jalan kaki ke kawasan kota tua Sawahlunto. Gedung-gedung tua di sini masih terpelihara dengan baik. Contohnya Gedung Societeit (sekarang dinamakan Gedung Pusat Kebudayaan Sawahlunto) yang di depannya ada kolam air mancur itu.

Kami menuruti plang ke arah Lubang Soero, terowongan tambang batubara pertama di Lembah Segar yang digali pada tahun 1898. Nama “Soero” diambil dari seorang mandor “orang rantai” alias pekerja paksa. Orang rantai berasal dari berbagai kalangan, dari mulai tahanan politik sampai kriminal murni. Dibandingkan orang rantai, para tawanan di film Cool Hand Luke cuma akan tampak seperti segerombolan orang sedang piknik. Orang rantai dirantai di leher, tangan, dan kaki!

Mulut terowongan Lubang Mbah Soero/Teguh Fasty Syaputra

Sebelum masuk Lubang Mbah Soero, kami menunggu sebentar di Gedung Info Box. Di dinding bagunan bertingkat itu, selain kostum lawas pekerja tambang, juga dipajang foto-foto para tokoh yang berasal dari sekitar Sawahlunto, seperti Muhammad Yamin dan Djamaluddin Adinegoro.

Kami dipinjamkan sepatu boots dan helm proyek. Seorang pemandu membuka jalan dan menjelaskan macam-macam tentang Lubang Mbah Soero. Saya lumayan deg-degan ketika menuruni tangga terowongan, meskipun di beberapa titik beberapa lampu kuning temaram dipasang. Lima belas meter di bawah permukaan, sensasinya seperti masuk ke Lubang Japang di Bukittinggi untuk pertama kali. (Lubang Japang yang belum dilapisi semen!)

road trip melintasi sumatera barat
Di dalam Lubang Mbah Soero/Teguh Fasty Syaputra

Saya jadi makin merinding waktu pemandu itu bilang, “Masih ada kerangka-kerangka manusia yang belum digali di dinding terowongan ini.” Untung saja terowongan itu tak terlalu panjang. Jadi, sebentar saja kami bertiga sudah kembali ke permukaan dan diselimuti sinar matahari lagi!

Ke Istana Pagaruyung via Talawi

Yang tak banyak diketahui wisatawan adalah ada jalan yang menghubungkan antara Sawahlunto dan Istana Pagaruyung di Batusangkar, lewat sebuah kecamatan yang bernama Talawi. Kami berkendara lewat jalanan yang sepi. Sekali-sekali, di kanan kiri saya melihat tumpukan batubara dan silo-silo raksasa.

Di Talawi kami berhenti sebentar di makam salah seorang tokoh pendiri negara Indonesia, yakni Muhammad Yamin. Tanpa saya beri tahu pun pasti kamu sudah tahu siapa Muhammad Yamin—dan segala kontroversi tentang dirinya. Selain menjadi salah seorang motor penggerak Sumpah Pemuda, ternyata Yamin juga adalah saudara dari salah seorang tokoh pers nasional, yakni Djamaluddin Adinegoro.

Makam Muhammad Yamin di Talawi yang dilewati saat road trip melintasi Sumatera Barat/Teguh Fasty Syaputra

Kami terus mengikuti jalan sampai akhirnya tiba di Istana Pagaruyung di Batusangkar. Istana berupa rumah gadang raksasa ini telah berkali-kali terbakar dan dibangun ulang. (Oleh sebab-sebab alamiah seperti petir.) Tapi meskipun sudah beberapa kali direnovasi, ciri utama Istana Pagaruyung masih tetap dipertahankan, yakni halaman yang luas bukan main.

Kini halaman itu tampak gersang. Namun dulu pelataran itu cukup asri karena dihiasi tumbuhan. Kalau tidak salah, saya punya foto saat duduk di depan salah satu pohon (barangkali pohon pinang).

road trip melintasi sumatera barat
Istana Pagaruyung di Batusangkar/Teguh Fasty Syaputra

Di sinilah saya pertama kali diizinkan memencet rana tustel oleh ayah. Sebenarnya saya tidak minja izin. Kebetulan saja waktu itu saya yang memegang tustel. Dari dalam Istana Pagaruyung, melalui salah satu jendela, saya mengeker dan membidik ayah yang sedang duduk di luar. (Rugi satu frame!)

Melintasi garis khatulistiwa

Dari Batusangkar, kami meluncur ke arah Padang Panjang. Disaksikan Gunung Marapi dan Singgalang, kemi terus melaju ke Bukittinggi. Berkendara santai, dari Bukittinggi perlu waktu sekitar 1,5 jam untuk ke garis lintang 0 derajat di Bonjol. Kalau kamu belum terbiasa lewat jalan yang kecil, menanjak, dan berliku ala Sumatera, sebaiknya pelan-pelan saja.

Khatulistiwa Bonjol/Teguh Fasty Syaputra

Lagian, buat apa tergesa-gesa. Pemandangan dari Bukittinggi ke Bonjol via Palupuh akan memanjakan matamu—perbukitan hijau, jurang-jurang dalam, dan sawah-sawah sengkedan seperti di Tegallalang, Ubud.

Ketika akhirnya tiba di Bonjol, kesan pertama yang muncul dalam kepala saya adalah: kayaknya cuma kami yang “care” bahwa kami sedang melintasi garis khatulistiwa. Entah orang-orang lain sudah terbiasa (atau tidak tahu) atau bagaimana, yang pasti selain kami tak ada yang berhenti saat melihat gapura persembahan BRI yang bertuliskan, “Anda Melint(a)si Khatulistiwa” yang bahkan dilengkapi terjemahan: “You Are Crossing the Equator.”

road trip melintasi sumatera barat
Tugu Equator/Teguh Fasty Syaputra

Di samping gapura itu ada bangunan logam berupa bola biru raksasa yang berkarat dan bolong di sana-sini. Di sisi lain gapura ada sebuah bangunan berbentuk rumah gadang yang di depannya ada patung Tuanku Imam Bonjol sedang naik kuda. Itu adalah Museum Tuanku Imam Bonjol, salah satu tokoh Perang Paderi. Tapi museum itu sama saja; seperti tak digubris. Padahal isinya lumayan keren, seperti beberapa koleksi jubah dan senjata Tuanku Imam Bonjol

Kami cuma sebentar di sana. Barangkali hanya sekitar satu jam. Kemudian kami kembali “mendaki” garis lintang ke Bukittinggi. Setelah nongkrong beberapa jam di areal Jam Gadang, menjelang tengah malam kami kembali ke Solok lewat Danau Singkarak. Tapi, tak seperti kemarin, kali ini Danau Singkarak yang indah diselimuti gelap malam.

The post “Road Trip” Melintasi Sumatera Barat appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/road-trip-melintasi-sumatera-barat/feed/ 1 2886