rote Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/rote/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 22 Nov 2023 02:50:42 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 rote Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/rote/ 32 32 135956295 Kenangan tentang Pulau Rote (2) https://telusuri.id/kenangan-tentang-pulau-rote-2/ https://telusuri.id/kenangan-tentang-pulau-rote-2/#respond Fri, 24 Nov 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40068 Saya bisa menebak, dengan waktu tidur yang begitu molor membuat sebagian dari kami bangun terlambat. Alhasil kegiatan yang seyogianya direncanakan pukul 07.00 WITA harus bergeser satu jam. Sekitar pukul 08.00 WITA, rombongan kami bergerak menuju...

The post Kenangan tentang Pulau Rote (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Saya bisa menebak, dengan waktu tidur yang begitu molor membuat sebagian dari kami bangun terlambat. Alhasil kegiatan yang seyogianya direncanakan pukul 07.00 WITA harus bergeser satu jam. Sekitar pukul 08.00 WITA, rombongan kami bergerak menuju tempat pelaksanaan kegiatan di hari kedua, yakni tempat pembuatan gula lontar, yang merupakan produk kearifan lokal masyarakat Pulau Rote.

Di Pulau Rote, keberadaan pohon lontar menjadi salah satu potensi unggulan daerah. Pohon lontar bahkan disebut sebagai pohon kehidupan karena kebermanfataannya yang begitu besar bagi kehidupan masyarakat. Gula lontar, seperti gula lempeng dan gula semut, menjadi salah satu produk pangan paling banyak dihasilkan oleh masyarakat dari pemanfaatan tanaman lontar. 

Perjalanan menuju tempat produksi gula lontar membawa kami semakin jauh menyusuri keindahan alam Pulau Rote. Kian jauh, jalanan yang kami lewati kian sempit. Meski secara umum sudah beraspal, beberapa kerusakan kecil masih kami temui di beberapa titik.  

Setiap tikungan seperti membuka jendela ke pemandangan yang lebih menakjubkan dari sebelumnya. Kami merasakan getaran bus saat melewati jalan yang rusak, meski laju bus melambat, antusiasme kami tidak pudar. Di beberapa titik, bus yang kami tumpangi berhenti musabab kabel listrik yang melintang terlalu rendah dan menghalangi laju kendaraan. Kondektur bus pun segera turun, menyangga kabel dengan kayu, dan memastikan bus dapat melintas. 

Di kiri kanan jalan, mata kami disuguhkan dengan keindahan pemandangan alam yang tak tergoyahkan. Pemandangan perkebunan lontar pun mulai muncul di sepanjang perjalanan, menyambut kami perlahan. Pohon-pohon tinggi dengan daun-daun rimbun menjulang di sekitar, menciptakan bayangan sejuk yang melindungi perjalanan kami dari terik matahari. Kami juga merasakan angin yang lembut bertiup di antara pepohonan, seperti bisikan dari alam yang memberi kami semangat untuk melanjutkan perjalanan.

Tiba di Desa Daudolu
Tiba di Desa Daudolu/Oswaldus Kosfraedi

Tiba di Kantor Desa Daudolu, kepala desa dan jajarannya menyambut kami. Senyum lembut dan ramah dari penduduk setempat menyirami perjalanan kami dengan kehangatan khas Pulau Rote. Seberes berkenalan, mereka berbagi informasi tentang desa, terutama kekayaan budaya dan potensi gula lontar yang menjadi warisan berharga masyarakat setempat.

Perjumpaan itu menjadi begitu berharga. Kami mendapat penjelasan secara detail tentang peran penting gula lontar dalam kehidupan masyarakat dan ekonomi lokal, juga cerita panjang tentang bagaimana gula lontar telah lama diolah secara tradisional dan memberikan mata pencaharian bagi masyarakat Desa Daudolu. Beberapa orang pegawai kantor Desa Daudolu lalu memandu kami menuju salah satu tempat produksi gula lontar. 

Kami tiba di sana saat matahari berada tepat di atas kepala. Mama Sarce, pemilik tempat produksi gula yang kami tuju, membuka ruangnya untuk kami. Kami satu per satu menyalaminya, yang tampak anggun dalam balutan kain tenun Rote di badan. Mama Sarce lalu mengarahkan kami menuju halaman belakang rumahnya, tempat produksi gula miliknya berada.

Bangunan ini  masih sangat sederhana, dengan atap terbuat dari daun lontar, memberikan nuansa autentik yang seakan langsung menghubungkan kami dengan tradisi yang mendalam. Asap perapian mengepul di dalamnya, menciptakan pemandangan yang memikat sekaligus mengundang rasa penasaran tentang bagaimana proses pengolahan gula lontar. Tungku api tradisional di tempatkan di tengah bangunan, seolah-seolah menjadi jantung dari serangkaian proses pembuatan gula. 

Di sekitarnya, kayu-kayu tersusun rapi, menyatu dengan periuk serta wajan yang akan digunakan untuk memasar air nira. Bagian dalam bangunan tampak menghitam. Asap api telah memberi jejak yang mencolok di dinding dan langit-langit bangunan. Meskipun mungkin terlihat tua, jejak-jejak itu menggambarkan usaha dan dedikasi para pembuat gula dalam menghasilkan gula lontar yang khas. 

Di tempat produksi gula ini, kami merasa terhubung dengan sejarah dan tradisi, menyaksikan proses yang telah berlangsung selama bertahun-tahun. Saat kami mengamati proses pembuatan gula dan mendengarkan penjelasan Mama Sarce  dengan saksama, kami tidak hanya melihat proses pembuatan gula, tetapi juga sepenggal cerita kehidupan masyarakat di sini yang tetap menghormati dan memelihara kearifan lokal mereka.

Mama Sarce, kemudian mulai menjelaskan proses pengolahan gula lontar. Dengan nada bicaranya yang khas, beliau memulai penjelasan mengenai beberapa tahapan dalam pembuatan gula lontar, mulai dari penyadapan (pengirisan) tandan bunga mayang pohon lontar untuk mendapatkan nira segar. 

Setelah penyadapan, nira disaring, kemudian memasaknya hingga mendidih, sambil diaduk perlahan hingga mengental. Begitu tahap memasak selesai, nira yang sudah kental didinginkan hingga menjadi padat. Proses produksi kemudian dilanjutkan dengan pencetakan gula lempeng, sementara untuk proses pengolahan gula semut dilanjutkan dengan proses pengkristalan, pengayakan, dan hingga pengemasan.

Menit demi menit berlalu, secara istimewa kami diberi kesempatan mencicipi langsung hasil olahan gula lempeng dan gula semut. Rasa manis yang khas dan wangi yang unik langsung memenuhi lidah kami. “Rasanya sangat khas, dan aromanya begitu berbeda,” kata Annis, suara tanggapannya penuh kekaguman, menggambarkan betapa istimewanya pengalaman ini.

Sebelum beranjak pulang, beberapa dari kami membeli gula semut dan gula lempeng buatan Mama Sarce. Kata mereka, sebagai oleh-oleh yang akan membawa potongan kisah manis Pulau Rote ketika kembali ke daerah asal masing-masing. 

  • Pembuatan gula lontar
  • Foto bersama di depan lokasi pembuatan gula lontar

Beres mengunjungi produksi gula di Desa Daudolu, kami melesat menuju Pantai Nemberala, salah satu spot wisata unggulan Pulau Rote yang terkenal dengan pesona baharinya. Ombak Pantai Nemberala telah lama menjadi magnet bagi para wisatawan pecinta surfing. Selain itu, dari penjelasan beberapa wisatawan lokal yang saya temui, pantai Nemberala juga menawarkan keindahan bawah laut yang tak kalah memukau.

Musabab cuaca, sore hari itu kami bahkan tidak sempat menyaksikan secara langsung sunset di Nemberala. Namun, Nemberala dengan keindahan dan ketenangan alamnya tetap saja membuat kami merasa bahagia dapat melabuhkan kaki di sana. Kami berbagi tawa satu sama lain di sana dan larut dalam kebersamaan yang sepertinya tak akan terulang untuk kedua kalinya.

Sembari menikmati suasana sore itu, saya berbincang dengan beberapa petani rumput laut yang tengah beraktivitas di pinggir pantai. Sesekali saya menyapa wisatawan asing. Konyolnya, basa-basi saya dengan bahasa Inggris yang terbata-bata malah ditanggapi dengan jawaban bahasa Indonesia yang terdengar cukup fasih. “Banyak bule yang sudah lama menetap di sini, kebanyakan orang Australia,” jelas seorang warga lokal yang duduk tak jauh dari tempat saya berdiri. Saya mengangguk paham.   

Pantai Nemberala
Pantai Nemberala/Oswaldus Kosfraedi

Gerimis menghias Minggu pagi kami di Pulau Rote. Ada rasa tak rela ketika menyadari kami harus kembali ke Kupang hari ini. Siang nanti, sesuai jadwal kapal, kami akan meninggalkan pulau yang benar-benar menciptakan efek kagum pada kunjungan pertama ini.

Pagi itu, Pak Thom tiba-tiba menawari kami untuk berangkat ke kolam pemandian Oemau yang terletak tak terlalu jauh dari tempat penginapan. Tak menunggu lama, kami menyetujui tawaran Pak Thom. Paling tidak ini akan menjadi kenangan terakhir sebelum kembali ke Kupang. 

Kolam Oemau menyajikan sumber mata air alami, tampak begitu jernih dengan rimbun pepohonan yang mengelilinginya. Kami lantas melompat dan menikmati kesegaran air Oemau pagi itu. Uniknya lagi, kolam ini dipenuhi ikan-ikan kecil yang siap menggerogoti kaki.

Menjelang siang, kami pamit pada pengelola penginapan. Tak disangka, meski hanya tiga hari di sini, meninggalkan Pulau Rote ternyata menjadi momen haru yang bahkan membuat beberapa dari kami menitikkan air mata. Pesona dan “rasa” pulau ini dan banyak hal yang kami temui di dalamnya telah memberi warna dalam perjalanan kami. 

Pulau Rote bagi kami juga adalah ruang jumpa dengan orang-orang baik, yang dengan segala keramahannya menerima kami dengan penuh penuh ketulusan hati. Pengalaman ini, segala kebersamaan di dalamnya telah dan akan selalu menjelma menjadi kepingan cerita yang istimewa.   

Pukul 14.00 WITA, seiring kapal yang meninggalkan Pelabuhan Pantai Baru, kami benar-benar mengucap salam perpisahan dengan Pulau Rote dengan segala pengalaman baiknya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kenangan tentang Pulau Rote (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kenangan-tentang-pulau-rote-2/feed/ 0 40068
Kenangan tentang Pulau Rote (1) https://telusuri.id/kenangan-tentang-pulau-rote-1/ https://telusuri.id/kenangan-tentang-pulau-rote-1/#respond Wed, 22 Nov 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40065 Terik matahari mulai menyapa saat kami memulai perjalanan menuju Pulau Rote. Pagi itu, kami sempat hampir ketinggalan kapal di Pelabuhan Bolok. Terengah-engah, kami berlari menyusuri lorong pelabuhan dan akhirnya berhasil memasuki kapal tepat sebelum kapal...

The post Kenangan tentang Pulau Rote (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Terik matahari mulai menyapa saat kami memulai perjalanan menuju Pulau Rote. Pagi itu, kami sempat hampir ketinggalan kapal di Pelabuhan Bolok. Terengah-engah, kami berlari menyusuri lorong pelabuhan dan akhirnya berhasil memasuki kapal tepat sebelum kapal berangkat. 

Tepat pukul 09.00 WITA, KMP Ranaka bergerak meninggalkan pelabuhan. Rombongan kami menempati dek dua, lalu mengambil tempat pada kursi-kursi kosong di antara penumpang lainnya. Beres memastikan ketersediaan tempat bagi semua anggota rombongan, saya berpindah ke dek tiga. 

Selama beberapa kali melakukan penyeberangan, saya selalu menempati dek tiga, dek paling atas, yang menurut saya jauh lebih bebas. Apalagi, penyeberangan ke Rote hanya memakan waktu sekitar empat jam dengan menggunakan feri lambat seperti ini. Waktu tempuh yang jauh lebih singkat ketimbang perjalanan ke Flores via Aimere yang bisa memakan waktu delapan belas hingga dua puluh jam lamanya. 

***

Dek tiga tampak lengang, pemandangan baru yang hampir tidak pernah saya temui pada setiap penyeberangan ke Flores. Saya lantas duduk santai sembari mengamati KMP Ranaka yang kian menjauhi Pelabuhan Bolok. Beberapa saat kemudian satu per satu anggota rombongan berpindah ke dek tiga. Mereka pun rupanya sama, dek tiga bagi mereka adalah pilihan yang tepat. 

Akses ke Pulau Rote melalui jalur laut terbilang cukup mudah dengan jadwal penyeberangan yang tersedia setiap hari. Selain itu, ada beberapa alternatif kapal yang bisa dipilih. Di hari keberangkatan kami saja, masih ada dua opsi kapal lain, yakni KMP Garda Maritim 3 dan KC Express Bahari 1F. Namun, dengan berbagai pertimbangan, kami akhirnya memilih KMP Ranaka.

Bagi saya, ini benar-benar akan menjadi sebuah perjalanan laut yang menyenangkan. Saya tidak perlu bergulat dengan pikiran bagaimana caranya mengatasi kejenuhan di kapal, menyiasati posisi tidur yang tepat di antara banyaknya penumpang, apalagi mengumpat kesal musabab perjalanan yang rasanya begitu lama. Perjalanan kali ini terasa begitu santai. 

Cuaca yang semula kami khawatirkan, tampak tak lagi menjadi masalah. Langit begitu cerah dan hampir tak ada tanda-tanda hujan akan turun. Perasaan saya seketika menjadi tenang, sembari berharap semoga cuaca akan selalu bersahabat beberapa hari ke depan, terutama selama kami berada di Pulau Rote. 

Pulau Rote, secara administratif termasuk dalam Kabupaten Rote Ndao. Merunut catatan sejarah, dulunya daerah ini masih termasuk dalam wilayah Kabupaten Kupang, dan baru menjadi kabupaten sendiri pada tahun 2002. Bagi masyarakat NTT, Pulau Rote menyimpan begitu banyak kekayaan alam dan potensi wisata yang luar biasa. Selain itu, aspek budaya dan kearifan lokal, seperti sasando, ti’i langga, tenunan daerah, ragam pengolahan lontar, dan beragam hal lainnya, menjadi kekhasan tersendiri bagi pulau ini. 

Selama di Pulau Rote, kami—saya bersama dosen dan kesembilan belas mahasiswa PMM—akan mengunjungi destinasi wisata alam Mulut Seribu dan tempat pembuatan gula lontar yang menjadi salah satu kearifan lokal masyarakat Rote. Sebagai bagian dari agenda kegiatan Modul Nusantara, kunjungan ini ditujukan untuk memperkenalkan kekayaan wisata alam dan kearifan lokal masyarakat Rote kepada mahasiswa PMM yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. 

Setelah hampir 4 jam penyeberangan, KMP Ranaka berlabuh di Pelabuhan Pantai Baru, Kabupaten Rote Ndao. Siang hari itu, Pulau Rote menyambut kami dengan pesona air laut berwarna hijau toska yang menjadi begitu anggun tatkala berpadu langit biru dan matahari yang bersinar cerah. 

Di Pelabuhan Pantai Baru, kami dijemput bus yang dikemudikan Bapak Sugianto. Tak butuh waktu lama, bus melaju di jalanan Rote Ndao yang beraspal mulus. Hari itu juga kami langsung mengunjungi salah satu destinasi wisata alam di Pulau Rote, tepatnya di Desa Daiama dengan jarak tempuh sekitar 20–30an kilometer. 

Hampir tak ada gambaran apa-apa yang saya ketahui tentang destinasi tersebut. Saya hanya tahu, bahwa tempat yang bernama Mulut Seribu itu pernah menjadi salah satu nominasi Anugerah Pesona Indonesia Kategori Surga Tersembunyi pada tahun 2020 lalu.

Setelah hampir satu jam perjalanan, kami tiba di sana.

Tiba di Mulut Seribu, Pulau Rote
Tiba di Mulut Seribu/Oswaldus Kosfraedi

Laut tampak tenang, warna birunya menyihir mata dalam sekejap. Beberapa perahu motor terparkir di dermaga, yang mana beberapa di antaranya akan kami sewa untuk mengitari pulau-pulau kecil di Mulut Seribu ini.

Air laut yang jernih dengan vegetasi pepohonan hijau sekelilingnya menyajikan pemandangan alam yang masih terjaga dengan baik. Kami berpindah dari satu sisi ke sisi yang lain, menikmati pemandangan laut sembari mengamati ikan-ikan yang berenang dengan bebasnya hingga ke tepi pantai. Sesekali saya berbincang dengan anak-anak setempat yang sedang bersantai di dermaga. Mereka menanggapi saya dengan ramah, dan selebihnya larut dalam obrolan bahasa daerah mereka sendiri, yang tidak saya pahami. 

Sesuai rencana, harusnya kami akan makan siang terlebih dahulu. Sayangnya, warga setempat yang seharusnya mempersiapkan makan siang kami, rupanya memiliki kesibukan lain. Kabar mengejutkan yang membuat kami mau tidak mau harus melawan rasa lapar untuk sementara waktu. 

Beberapa saat sebelum kedatangan Om San dan Om Lans—sang juru kemudi perahu, gelak tawa kami pecah mendapati Yazid yang terpeleset jatuh hingga celana yang ia kenakan basah kuyup. Saya menjadi salah satu yang paling mentertawakan kesialan kecil yang menimpa Yazid. Seandainya saat itu saya tahu bahwa kemudian kesialan yang lebih besar akan menimpa saya, mungkin saya tidak akan berlebihan mentertawakan Yazid.

Rombongan kami lalu dibagi dua, sebagian menumpang bersama Om San, sebagian lagi bersama Om Lans. Saya bergabung bersama rekan-rekan yang menumpang perahu Om Lans dengan jumlah yang sedikit lebih banyak, sesuai ukuran dan kapasitas perahu. 

Mesin perahu pun menyala, dua unit perahu perlahan bergerak meninggalkan dermaga. Seiring kami melaju, panorama Mulut Seribu kian terbentang di hadapan. Pulau-pulau kecil yang berjajar di tengah laut biru memberikan nuansa keindahan, yang belum pernah kami temui sebelumnya.

Setiap pulau di sini merupakan gugusan karang yang melahirkan pulau-pulau kecil, yang mana laut biru seperti berpelukan dengan hijau rimbunnya pepohonan. Alam seakan menciptakan pulau-pulau ini dengan penuh keajaiban. 

Om Lans memberitahu saya terkait nama-nama pulau kecil di Mulut Seribu. “Ini Batu Kapal,” kata Om Lans sambil menunjuk sebuah pulau yang berada tepat di depan kami. “Disebut begitu karena bentuknya seperti kapal,” katanya melanjutkan.

Selain pulau tersebut, ada juga Pulau Rumah Tujuh yang menurut cerita hanya dihuni oleh tujuh kepala keluarga. Lalu, ada Pulau Batu Dua Pintu, Pulau Faliki, Pulau Mandere, dan pulau-pulau lainnya yang tersebar di Mulut Seribu.

Menurut beberapa literatur, asal mula nama Mulut Seribu karena keberadaan tebing-tebing, karang, dan pulau-pulau kecil di sekitar tampak tampak menyerupai “mulut” yang banyak. Kenampakan alam memesonanya pun membuat banyak orang menyebut sebagai Kepulauan Raja Ampat yang terkenal itu.

Seperti menyusuri sebuah labirin raksasa, kami melaju di antara celah-celah pulau kecil yang menyerupai pintu menuju sudut lain Mulut Seribu. “Di sini kalau sonde dipandu bisa nyasar, ada jalur masuk dan keluarnya,” terang Om Lans.  

Beberapa kali, kami bersua dengan perahu nelayan setempat yang melintas. Di beberapa titik kami menemukan budidaya rumput laut yang juga menjadi sumber mata pencaharian masyarakat di sini. Semuanya menyatu, memberi warna lain, yang juga menunjukkan bagaimana keterhubungan manusia dengan alamnya. 

Di sini, laut yang tenang, tebing-tebing karang yang kokoh, pulau-pulau kecil nan cantik, riuh rendahnya nyanyian burung-burung di udara, dan keberlimpahan ikan di dalam laut—semuanya berpadu menjadi satu, menjadi kekayaan luar biasa dari Mulut Seribu. 

Perasaan syukur benar-benar mengisi hati kami, untuk kesempatan berharga singgah ke tempat ini.

Usai mengitari Mulut Seribu, rombongan kami bergegas menuju penginapan yang berada di Mokdale, Kecamatan Lobalain. Menurut sopir bus, jarak ke sana cukup jauh dengan estimasi waktu sekitar satu setengah hingga dua jam perjalanan. 

Bus melaju meninggalkan Desa Daiama seiring malam yang kian menjelang. Saya mengatur posisi duduk sebaik mungkin, berharap bisa terlelap, dan baru akan terbangun ketika bus telah tiba di tempat tujuan kami.  

Dua jam kemudian, kami tiba di penginapan. Usai menyusun barang-barang dan menyiapkan tempat menginap, kami berkumpul di teras penginapan. Membaur menjadi satu dalam suasana penuh keakraban, lalu larut dalam obrolan penuh tawa. 

Malam itu berjalan panjang, dengan canda tawa dan cerita-cerita yang tak kunjung habis. Di tengah obrolan, saya memberitahu mereka soal pakaian saya yang ketinggalan di kamar mandi umum Mulut Seribu sewaktu membersihkan diri beres mengelilingi Mulut Seribu. 

Beberapa menanggapinya dengan sedikit kaget, meski kami sama-sama tahu bahwa tidak ada harapan untuk mendapatkan pakaian itu kembali. Beberapa yang lain tersenyum tipis, sambil menahan tawa, mungkin mereka memikirkan hal yang sama, mengingat kembali bagaimana saya menertawakan Yazid dan kemudian tertimpa kesialan yang lebih parah.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kenangan tentang Pulau Rote (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kenangan-tentang-pulau-rote-1/feed/ 0 40065
Perjalanan Menyusuri Pulau Rote https://telusuri.id/perjalanan-menyusuri-pulau-rote/ https://telusuri.id/perjalanan-menyusuri-pulau-rote/#respond Mon, 07 Jun 2021 01:13:00 +0000 https://telusuri.id/?p=28209 Perjalanan ini dilakukan pada Juni 2018. Saat itu sedang libur panjang, saya yang bertempat tinggal di Kupang memutuskan untuk berlibur sekaligus mengunjungi sanak-saudara di pulau selatan Indonesia, Rote Ndao tepatnya di Desa Sedeoen, Kecamatan Rote...

The post Perjalanan Menyusuri Pulau Rote appeared first on TelusuRI.

]]>
Perjalanan ini dilakukan pada Juni 2018. Saat itu sedang libur panjang, saya yang bertempat tinggal di Kupang memutuskan untuk berlibur sekaligus mengunjungi sanak-saudara di pulau selatan Indonesia, Rote Ndao tepatnya di Desa Sedeoen, Kecamatan Rote Barat dan di Desa Lole, Kecamatan Rote Tengah—yang tentunya masih termasuk dalam provinsi Nusa Tenggara Timur. Saya berangkat dengan menumpangi kapal feri, kapal yang sering dijumpai jika ingin bepergian Kupang—Rote atau sebaliknya.

Kapal ini cukup besar, dan tidak hanya terdiri dari satu lantai saja, tetapi ada beberapa (entah saya lupa). Intinya, dalam kapal tersebut kita masih bisa bergerak leluasa, kesana-kemari menikmati indahnya perpaduan biru laut dan langit yang bersahaja, serta pulau-pulau kecil yang berjejer seakan menghantar saya menuju lautan lepas.

Diatas Kapal Ferry—Menuju Rote/Resti Seli

Hingga akhirnya, saya benar-benar ditengah lautan lepas. Kapal berjalan dengan tenang, walaupun ada beberapa kali kapal ini oleng akibat hantaman ombak besar. Sampai-sampai membangunkan penumpang lain yang sedang tidur. Beberapa penumpang terlihat panik, tetapi sebisa mungkin tetap tenang. Perjalanan ini cukup memakan waktu kira-kira 4 jam lamanya. Saya sampai ke daratan Pulau Rote sekitar pukul 15.30 WITA.

Setelah kapal bersandar, saya pun lekas turun dan menjumpai beberapa sanak keluarga yang sudah menunggu untuk menjemput saya. Tak butuh waktu lama, motor saya mulai melaju. Lelah sudah, tetapi sekali lagi. Alam Rote tidak pernah mengecewakan.  Sepanjang jalan, adakalanya saya ditemani pepohonan rimbun seperti hutan lalu tak lama kemudian, ladang luas dan cuaca panas menyapa kulit saya. 

Setelah kurang lebih 1 jam perjalanan, saya tiba di Desa Sedeoen. Indah bukan main desa ini. Berada tepat di pesisir pantai, seluruh tanah di sini diselimuti pasir pantai. Di depan rumah saya berhadapan langsung dengan penginapan berbentuk rumah kecil beratapkan daun lontar, berjejer lurus di depan. Penginapan ini dibangun oleh orang asing yang membeli tanah di sini dan mendirikan usaha penginapan.

Potret Pantai Sedeoen/Resti Seli

Dibalik penginapan-penginapan ini terdapat pantai Sedeoen yang indah di belakangnya.  Untuk sampai ke pantai tersebut, saya berjalan sekitar 35 meter melewati lorong setapak kecil di sela-sela penginapan. Setapak itu menuntun langkah saya menuju pantai indah yang terbentang di ujung sana. Setapak itu terbentang sepanjang pantai, untuk memudahkan pengunjung atau siapa pun yang ingin menikmati keindahan pantai.

Pantainya bersih, pasirnya putih, beberapa perahu yang terparkir dengan baik, dan sinar matahari yang menyengat. Pantai ini juga terdapat rumah kecil atau pondok beratapkan daun kelapa. Tempat berteduh bagi siapa saja di pantai itu. 

Desa ini juga menjadi salah satu saksi menghantar mentari ke peraduannya. Itulah mengapa, senja terlihat sangat bersahaja di sini. 

Setelah beberapa hari di sini, saya pergi mengunjungi sanak-saudara lainnya di belahan Pulau Rote yang lain. Desa Lole, Kecamatan Rote Tengah. Tidak jauh berbeda, sepanjang perjalanan saya berjumpa dengan pepohonan rimbun kemudian, padang yang terbentang luas. Memakan waktu kurang lebih 1 jam.

Pemandangan yang berbeda ditemui di sini, bukan pantai. Tetapi, sawah hijau yang sangat luas. Persawahan ini terletak tepat di depan rumah saya. Sehingga, udara di sini sangat sejuk. Terdapat juga kolam ditengah sawah yang memanfaatkan masyarakat sebagai tempat menimba air minum dan tempat mandi. Namun jangan salah, ditengah kolam ini sudah dibangun tembok yang memisahkan air minum dan tempat mandi. Air di bagian atas atau yang berasal langsung dari mata air, akan dijadikan warga sebagai air minum. Setelahnya dibagian bawah, adalah tempat mandi atau berendam bagi siapa saja. 

Sawah di Desa Lole/Resti Seli

Saya bermalam di desa ini, ketika malam menjelang, suhu menjadi sangat dingin. Untuk menghangatkan tubuh dan memuaskan lapar di perut, saya bersama beberapa anggota keluarga lainnya, memilih untuk membuat api lalu membakar seekor babi kecil (kami non-muslim). Itu hal yang biasa bagi saya, setiap kali saya berkunjung kesini, pasti akan disuguhkan dengan membunuh ayam atau seekor babi kecil.

Sayangnya, waktu itu sama sekali belum ada listrik yang masuk di desa itu. Sehingga gelap gulita menutupi pandangan kami. Jadi, untuk melewati malam, kami bertukar cerita, sembari menikmati makan malam—daging babi bakar—ditemani remang-remang lampu ti’oek. Lampu tradisional yang menggunakan sumbu dan minyak tanah. Kemudian, kami pun tertidur pulas.

Selang beberapa hari lamanya, perjalanan saya telah usai. Saya diantar ke pelabuhan Ba’a tempat kapal dengan rute Rote—Kupang menjemput saya. Saya pergi dengan keindahan Pulau Rote yang membekas dihati, pantainya yang bersih dan menarik serta persawahan yang sejuk dengan kolam kecil di tengahnya, menambah kesan tersendiri bagi perjalanan saya kala itu.

Pantai Sedeoen dan Persawahan Desa Lole, hanyalah sebagian kecil dari sejuta keindahan yang ada di Pulau Rote, ini membuat saya ingin kembali suatu waktu, untuk menjelajahi dan menemukan kecantikan alam lainnya.

The post Perjalanan Menyusuri Pulau Rote appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/perjalanan-menyusuri-pulau-rote/feed/ 0 28209