sabang Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/sabang/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Fri, 09 Dec 2022 06:58:00 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 sabang Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/sabang/ 32 32 135956295 Bersepeda ke Monumen Kilometer Nol Indonesia https://telusuri.id/bersepeda-ke-monumen-kilometer-nol-indonesia/ https://telusuri.id/bersepeda-ke-monumen-kilometer-nol-indonesia/#respond Mon, 12 Dec 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36611 Bersepeda ke Monumen Kilometer Nol Indonesia yang berada di ujung barat Indonesia, tak pernah terpikirkan olehku sebelumnya. Monumen yang menandakan titik 0 kilometer Indonesia ini seharusnya berada di Pulau Rondo—karena berada paling luar di barat Indonesia—yang...

The post Bersepeda ke Monumen Kilometer Nol Indonesia appeared first on TelusuRI.

]]>
Bersepeda ke Monumen Kilometer Nol Indonesia yang berada di ujung barat Indonesia, tak pernah terpikirkan olehku sebelumnya. Monumen yang menandakan titik 0 kilometer Indonesia ini seharusnya berada di Pulau Rondo—karena berada paling luar di barat Indonesia—yang berbatasan langsung dengan Nikobar, India. Namun, karena aksesnya tidak memungkinkan dan alasan keamanan, Pulau Weh menjadi tempat berdirinya monumen ini.

“Tujuan itu statis, tapi proses untuk mencapai tujuan tersebut yang dinamis.”

Prinsip itu yang aku pegang sampai saat ini ketika aku sedang bertualang ke mana pun. Berawal dari mimpi, semua bisa jadi pasti. Asalkan kita mau berusaha dan menikmati setiap proses untuk mencapai tujuannya.

Perjalanan ini membawaku untuk menembus garis batas ujung negeri pada akhir bulan Juni 2022. Selepas dari Medan, dan beberapa hari sebelumnya aku mengunjungi Danau Toba dan Pulau Samosir, aku memutuskan melanjutkan perjalanan ke provinsi paling ujung Pulau Sumatra yaitu Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Di sana, ada kawan-kawan dari mahasiswa pencinta alam Universitas Syiah Kuala, yaitu Mapala Leuser yang bersedia “menampungku”.

Pulau Weh terlihat dari pinggiran pantai kota ketika kami sedang melihat matahari terbenam. Aku bulatkan niat dan tekad untuk mencoba hal lain untuk menuju ke sana. Sebetulnya, ada banyak transportasi yang bisa dipakai untuk menuju Sabang, namun yang terlintas di benakku adalah sepeda.

Yang terbesit dalam pikiranku adalah, tempat tujuan bukan menjadi hal paling penting, tetapi bagaimana perjalanan untuk mencapai tempat tujuan tersebut. Toh, sepeda pun merupakan alat transportasi yang ramah lingkungan, bukan? 

Bang Fuad, salah satu kawan dari Mapala Leuser dengan baik hati berkenan meminjamkan sepedanya untuk aku pakai beberapa hari ke depan. Malam harinya, kami mengambil sepeda di rumah indekosnya. Esok pagi akan menjadi hari yang panjang bagiku.

Banda Aceh pagi itu sangat sendu. Hujan rintik sedari subuh tak membuat niatku untuk mengayuh sepeda luntur. Aku tutup pintu Sekretariat Mapala Leuser saat para penghuninya masih terlelap. “Bro, aku berangkat dulu ke Sabang ya,” pesan kukirimkan kepada Fiqra yang mungkin baru akan membacanya ketika sudah bangun tidur. Tali sepatu aku ikat kencang, tak lupa helm sebagai peralatan safety, ku pakai. Kayuhan pedal sepeda pertama pun aku mulai.

Gerimis menemani awal perjalananku bersepeda di kota ini. Beberapa menit berselang, aku melipir terlebih dahulu ke suatu kedai kopi di pinggir jalan, tak jauh dari Masjid Baiturrahman. Seperti biasanya, pagi hari, setiap kedai kopi di Banda Aceh selalu ramai. Ada polisi, pegawai, anak kuliahan, semuanya sibuk dengan secangkir kopinya masing-masing. Semangkuk nasi uduk dan secangkir kopi sanger cukup untuk mengisi awal tenagaku ini. Aku lanjutkan kayuhan sepeda ini menuju ke salah satu pelabuhan yang bisa mengantarku menyebrangi lautan.

kapal penyebrangan
Kapal laut penyebrangan rute Banda Aceh-Pulau Weh/Zufar Fauzan

Pelabuhan Ulee Lheue sudah padat oleh calon penumpang yang ingin menyebrang ke Pulau Weh. Aku bergegas pergi ke loket pembelian tiket yang tak jauh dari pintu gerbang pelabuhan. Sebuah pengumuman terdengar dari pengeras suara, menginformasikan kapal masih tertahan dan belum bisa berlayar seperti waktu biasanya karena terjadi badai dan gelombang ombak yang tinggi. Rasa cemas menghampiriku, apa boleh buat, semoga perjalanan ini baik-baik saja.

Setelah menunggu cukup lama di pelataran parkir bongkar muat kendaraan, akhirnya para penumpang boleh masuk ke dalam kapal bernama KMP Aceh Hebat 2. Ada rombongan komunitas motor, wisatawan asing yang menggunakan sepeda motor sewaan, dan ada juga pasangan yang sedang bermesraan di atas jok. Hanya aku seorang diri yang menggunakan sepeda di balik kerumunan kendaraan yang memadati parkiran di dalam kapal. Aku taruh sepeda di samping mobil dan motor yang berjajar rapih.

Satu jam kemudian, kapal mulai berlayar menembus lautan untuk menuju Pulau Weh. Aku pergi ke atas kapal, mencari tempat untuk bisa bersandar dan meluruskan kaki sambil mengistirahatkan badan. Pulau Nasi dan Pulau Breueh di sebelah timur terlihat dengan jelas di seberang hamparan biru sana. Perlahan sinyal tenggelam membuat diri ini terlelap sebentar.

Setelah lebih satu jam, kapal mulai bersandar di Pelabuhan Balohan, pintu masuk untuk menuju ke Kota Sabang. Suasana Pelabuhan Balohan cukup ramai, mungkin karena banyak wisatawan juga yang pergi ke tempat ini. Aku buka Google Maps untuk mengarahkan jalan ke pusat kota. Gerbang “Selamat Datang di Kota Sabang” membuat aku semakin semangat untuk melanjutkan perjalanan ini.

Gapura Sabang
Gapura pintu masuk di Kota Sabang/Zufar Fauzan

Baru saja beberapa menit mengayuh, aku dihadapkan dengan tanjakan yang sangat terjal. Aku menelan ludah. Niat sudah terkumpul, aku pindahkan ke gigi satu, dan perlahan betisku mulai tersiksa karena tanjakan ini. Beberapa kendaraan silih berganti menyusulku sembari memberi klakson tanda memberi semangat. Alhamdulillah, masih ada yang perhatian juga kepadaku!

Terik sang mentari tepat di atas peraduan. Rumah penduduk masih menemaniku di samping kiri dan kanan jalan. Aku melipir ke salah satu warung di pinggir jalan. Es jeruk dan beberapa sereal makanan ringan cukup untuk mengisi kembali tenagaku sekaligus untuk menunggu baterai telepon genggam terisi penuh. 

Pemandangan sudah berganti dari bebetonan menjadi pepohonan. Sesekali terlihat hamparan laut diujung sana. Aku banyak menghabiskan waktu untuk berhenti mengambil gambar yang memanjakan mata. Betisku sempat terasa tegang, kram menghajar kakiku. Beberapa kali aku harus turun dari sepeda dan mendorongnya untuk melewati tanjakan demi tanjakan terjal. Maklum, aku sudah lama tidak melakukan olahraga ini. Rutinitas sehari-hariku jauh dari kegiatan olahraga. Apa boleh buat, kupaksakan apa yang harus aku selesaikan ini.

Tepat pukul empat sore, aku sampai di Pantai Iboih. Memang, tujuanku hari ini adalah beristirahat satu malam terlebih dahulu sebelum tujuan terakhirku ke Monumen Titik Nol. Pantai ini cocok untuk checkpoint karena ramai dan banyak akomodasi untuk beristirahat.

Aku segera mencari tempat makan, karena sedari siang perutku belum terisi. Pulau Rubiah terlihat di seberang pantai ini. Wisatawan silih berganti ke tepian pantai setelah menyebrang kembali dari pulau. Memang, Pantai Iboih dan Pulau Rubiah adalah spot wisatawan terkenal di Sabang. Banyak pengunjung yang datang untuk menikmati keindahan bawah air dengan snorklingdiving, atau sekedar berenang di tepian pantai. 

  • Pulau Rubiah
  • pemandangan laut

Setelah membayar makan dan minum, aku bertanya kepada ibu penjaga warung dan suaminya. Aku meminta saran tempat penginapan dengan harga yang terjangkau. Perlu diketahui, di sini, harga sewa penginapan untuk satu malam paling murah ada pada kisaran harga Rp250.000–Rp300.000. Tentu, aku perlu memutar otak soal ini. Ibu penjaga warung menyarankan supaya aku bertanya juga ke penginapan di paling ujung deretan kios-kios penjualan souvenirKatanya, aku bakal menemui penginapan dengan harga murah di sana.

Aku kemudian bertanya kembali, kali ini kepada salah satu ibu yang sedang duduk di depan warung dari arahan sebelumnya.. Dengan muka melas, aku menanyakan harga penginapan. Ibu tersebut bilang kepadaku ada kamar seadanya, ia hanya menyewakan bersama fasilitas kipas angin dan kamar mandi luar, harganya hanya Rp100.000.

Bagiku, harga segitu lebih dari cukup. Apalagi aku sedang malas mencari pelataran tempat yang bisa aku tumpangi secara gratis. Belum lagi, aku harus beristirahat cukup karena perjalanan esok hari masih panjang. Ternyata kedatanganku dengan sepeda membuat perhatian orang-orang sekitar. Seperti biasa, pertanyaan dari mana, mau ke mana, dan lain sebagainya. Jawabanku membuat mereka antusias.

Aku lalu segera membersihkan tubuh dan tidur lebih cepat malam ini. Aku bergumam, semoga esok pagi tidak telat bangun dan semoga badan tidak pegal-pegal.

Pagi hari itu, kayuhanku langsung berhadapan dengan jalan menanjak kembali. Untungnya, udara segar masih menyertai rimbunnya pepohonan. Kawasan menuju Monumen Kilometer Nol Indonesia merupakan kawasan hutan lindung, tidak heran jika aku melihat hutan yang begitu lebat dengan udara sejuk. Terlihat beberapa gerombolan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sedang bermain di beberapa pohon yang ada di pinggir jalan. Rombongan motor Harley dengan suara keras bergantian menyusulku dari belakang. Aku tersenyum, mungkin tujuan kami sama tapi “perjuangan” kami untuk mencapai tujuan tersebut berbeda.

Entah berapa putaran kayuhan yang aku tempuh untuk sampai di sini. Plang yang menunjukkan bahwa aku sudah memasuki kawasan wisata Monumen Kilometer Nol Indonesia terlihat. Aku kencangkan kayuhan sepeda. Deretan warung cinderamata berjajar rapih, aku izin kepada salah satu bapak penjaga untuk membawa sepedaku masuk ke dalamnya. 

Monumen dengan ketinggian sekitar 43 meter ini terpampang di depan mata. Terdapat dua lingkaran seperti angka nol dan di dua sisi angka terdapat rencong yaitu pisau atau belati khas Aceh. Aku pergi ke atas monumen ini dengan melewati beberapa tangga. Hamparan laut nan luas terpampang di sana, menandakan tempat ini daratan terakhir ujung batas kawasan Nusantara. 

Tugu kilometer nol
Sampai di Monumen Kilometer Nol, Sabang/Zufar Fauzan

Aku mengingat kembali apa yang telah aku jalani, mulai dari awal perjalanan yang aku tempuh hingga akhirnya tiba di sini, juga merenungi apa yang telah aku jalani untuk hidup ini. Perjalanan ini mengajariku bahwa proses tidak akan mengkhianati hasil. Terima kasih telah bertemu, ujung barat Indonesia. Izinkanlah aku suatu saat bertemu pasanganmu di ujung timur Indonesia sana. Semoga.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Bersepeda ke Monumen Kilometer Nol Indonesia appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/bersepeda-ke-monumen-kilometer-nol-indonesia/feed/ 0 36611
Claypot Popo Pukul 5 dan Pempek Cawan Putih Sebelumnya https://telusuri.id/claypot-popo-pukul-5-dan-pempek-cawan-putih-sebelumnya/ https://telusuri.id/claypot-popo-pukul-5-dan-pempek-cawan-putih-sebelumnya/#respond Tue, 12 Jul 2022 01:03:00 +0000 https://telusuri.id/?p=34494 “Mbak masih tutup. Baru buka lagi jam 5.” Kalimat itu terus muncul dari saya selama beberapa kali ketika kebanyakan tamu Claypot Popo datang celingak-celinguk ingin dine in di kedai makanan Cina daerah Sabang itu. Hasil...

The post Claypot Popo Pukul 5 dan Pempek Cawan Putih Sebelumnya appeared first on TelusuRI.

]]>
“Mbak masih tutup. Baru buka lagi jam 5.”

Kalimat itu terus muncul dari saya selama beberapa kali ketika kebanyakan tamu Claypot Popo datang celingak-celinguk ingin dine in di kedai makanan Cina daerah Sabang itu. Hasil duduk — bengong — ngobrol — makan roti srikaya — menginformasikan kedai tutup ke banyak orang — akhirnya berbuah manis. Pukul 5 kurang, bak tamu kehormatan, saya bersama Gema sudah diberi jalan khusus membelah antrian sebagai pengunjung pertama yang masuk ke Claypot Popo setelah terpaksa menunggu nyaris satu jam karena masih penuh dan resto rehat sejenak.

Saya lekas menghampiri seorang kasir berkerudung dengan wajah tampak mulai lesu di bawah tangga. Pesanan saya kala itu menu yang belum pernah saya coba sebelumnya: nasi telur dadar. Untuk Gema yang baru pertama berkunjung, misua telur asin mungkin jadi salah satu pilihan yang cukup tepat. Bakso goreng yang berdesakan di toples besar sempat menggoda, tapi saya urungkan mengingat belum lama melahap 3 roti kukus. Dan sembari saya memesan, Gema lekas ke lantai dua untuk ambil posisi andalan saya dan kawan-kawan biasa ke sini: loteng.

Dihiasi beberapa lampion mini yang menggantung seadanya dan meja serta kursi ala kadarnya pula, kami santap makan malam yang lebih awal dari seharusnya. Chilli oil tentu wajib siap di atas meja untuk menambah cita rasa menu yang entah mengapa tingkat kepanasannya tidak seperti biasa. Sesekali lalu lintas Sabang yang belum begitu padat terlihat dari celah dinding seng menambah keseruan petang itu pada penghujung Mei 2022.

Nasi telur dadar di Claypot Popo
Nasi telur dadar dan misua telur asin di Claypot Popo/Dewi Rachmanita Syiam

Nasi telur dadar di Claypot Popo bukan sembarang menu biasa. Walau tergolong menu sederhana, tapi cita rasanya dahsyat. Nasi yang berada di bagian paling bawah bukan sembarang nasi putih. Ia memiliki harum yang semerbak dan rasa gurih hasil tumisan bersama sedikit sayuran serta bawang putih. Di atasnya telur dadar yang punya tekstur maupun kegurihan yang pas pula. Perawakannya tak seperti telur dadar nasi padang maupun telur dadar gobal gabul yang minyaknya melimpah. Telur dadar di Claypot Popo seperti telur dadar rumahan yang buat kita semakin rindu kehangatan masakan ibu atau nenek.

Sedangkan misua telur asin memang menjadi menu andalan banyak orang. Misua dimasak dengan kematangan yang pas atau al dente bila disandingkan dengan pasta dari Italia. Kehalusan dan ketipisan mi itu berbalut apik dengan campuran telur asin yang tidak amis. Bumbu gurih menjadikannya sajian hangat nan lezat. 

Perjalanan saya dengan Gema ke Claypot Popo sebenarnya random. Sehabis menemani Gema makan pindang patin, saya yang hanya makan tekwan masih lapar dan sudah kepikir santap nasi telur dadar. Mengunjungi Pempek Cawan Putih untuk makan pindang dan tekwan pun random bin tak terencana. Dari yang semula ingin ke Bogor, lalu Pasar Baru, berujung makan di Sabang. Aneh sekali.

“Kalau ketahuan Emak gue makan pindang pakai sendok garpu, bisa diomelin gue,” kata Gema sembari menyiapkan tangannya untuk segera melahap nasi yang menguning setelah tercampur kuah pindang yang segar meski cenderung agak manis.

Pindang patin
Pindang patin/Dewi Rachmanita Syiam

Pindang patin di Pempek Cawan Putih daerah Sabang juga mungkin dapat dikatakan cukup otentik. Menurut beberapa kawan yang asal Sumatera sih demikian. Hal itu salah satunya bisa terlihat dari cara penyajiannya dengan wadah khusus. 

Pindang patin sendiri merupakan panganan khas Palembang dan mungkin daerah sekitarnya yang masih rumpun Melayu. Pengolahannya pun gampang-gampang susah, terlebih memang dahulu disajikan di tengah aktivitas masyarakat yang padat sehingga membutuhkan olahan yang praktis. Selain patin, pindang juga biasa dimasak bersama bahan-bahan lain, seperti udang, belida, dan lainnya. Bumbunya pun khas Indonesia yang kaya rempah: kunyit, serai, lengkuas, cabai, dan asam kandis. 

Walau sepertinya ada penyesuaian rasa untuk orang Jawa yang cenderung suka manis, pindang patin di resto yang tak begitu besar di bilangan Sabang itu patut dikunjungi kembali, apalagi harganya pun masih terjangkau.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Claypot Popo Pukul 5 dan Pempek Cawan Putih Sebelumnya appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/claypot-popo-pukul-5-dan-pempek-cawan-putih-sebelumnya/feed/ 0 34494
Baca Ini Dulu sebelum Traveling ke Sabang https://telusuri.id/traveling-ke-sabang/ https://telusuri.id/traveling-ke-sabang/#respond Mon, 10 Dec 2018 09:00:45 +0000 https://telusuri.id/?p=11204 Kayaknya nggak sedikit pejalan yang memendam impian buat ke Kilometer Nol Sabang. Termasuk kamu, mungkin? Nah, kalau kamu ada rencana buat traveling ke Sabang, ada baiknya buat baca tulisan ini dulu: 1. Sabang itu terletak...

The post Baca Ini Dulu sebelum Traveling ke Sabang appeared first on TelusuRI.

]]>
Kayaknya nggak sedikit pejalan yang memendam impian buat ke Kilometer Nol Sabang. Termasuk kamu, mungkin? Nah, kalau kamu ada rencana buat traveling ke Sabang, ada baiknya buat baca tulisan ini dulu:

1. Sabang itu terletak di Pulau Weh

Kalau kamu ketiduran pas pelajaran geografi tentang Aceh dulu, kamu perlu tahu bahwa Sabang itu terletak di Pulau Weh, Provinsi Aceh.

Karena terletak di pulau, kamu mesti menyeberang lagi dari Aceh naik ferry lewat Pelabuhan Ulee Lheue. Nah, dari sana kamu juga mesti naik kendaraan lagi sekitar 15-20 menit ke kota.

2. Salah satu destinasi selam

Turis domestik mungkin cuma tertarik ke Sabang buat main ke Kilometer Nol. Tapi, tujuan turis-turis mancanegara pergi ke destinasi ini biasanya buat menyelam. Soalnya, dibandingkan resor-resor penyelaman lain di Indonesia, biaya penyelaman di sini relatif murah.

Dunia bawah laut Sabang, yakni di sekitar Iboih, memang masih sangat sehat. Cuma beberapa puluh meter dari pesisir, kamu sudah bisa ketemu hiu, penyu berukuran besar, dan gurita jago kamuflase.

3. Kawasan backpacker terletak di Iboih

Nah, kamu perlu tahu bahwa kawasan backpacker Sabang terletak di Iboih, resor selam yang kita obrolin di atas. Di Iboih banyak banget beachfront bungalow yang bisa kamu sewa dengan harga miring.

Kalau kamu merasa harga yang ditawarkan masih mahal, jangan ragu-ragu buat menawar. Asal nggak terlalu afgan, pasti pengelola penginapan bakalan mau nurunin harga. Terutama pas low season.

4. Sewa kendaraan untuk ke Kilometer Nol

Dari Iboih, Kilometer Nol ini masih 8 kilometer lagi. Jangan nekat jalan kaki, soalnya medannya nggak datar, melainkan naik turun.

Buat ke Kilometer Nol, biasanya orang-orang memakai kendaraan pribadi. Jarang banget kayaknya angkutan buat ke Kilometer Nol ini, soalnya permukiman penduduk di dekat sana juga jarang.

5. Makanan favorit yang wajib dicoba: sate gurita

Seperti halnya daerah-daerah lain di Indonesia, Sabang juga punya makanan khas yang wajib dicoba. Makanan yang recommended buat dicoba di sini adalah sate gurita.

Nah, pedagang sate gurita nanti bakalan ngasih kamu pilihan; mau disiram dengan bumbu apa. Kamu bisa pilih salah satu dari jenis bumbu yang ditawarkan. Tapi, kalau mau dicampur juga bisa. Sate gurita ini enak banget dimakan sore-sore di pinggir pantai sambil menikmati matahari terbenam di ujung barat Indonesia.

Jadi, kapan nih mau ke Sabang?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Baca Ini Dulu sebelum Traveling ke Sabang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/traveling-ke-sabang/feed/ 0 11204
Perjalanan ke Ujung Barat Indonesia https://telusuri.id/perjalanan-ke-ujung-barat-indonesia/ https://telusuri.id/perjalanan-ke-ujung-barat-indonesia/#comments Thu, 15 Jun 2017 17:58:09 +0000 https://telusuri.000webhostapp.com/?p=68 Dari Jakarta ke Aceh naik pesawat barangkali hanya memakan waktu sekitar 1,5 sampai 2 jam. Tinggal ke Soekarno-Hatta, menunggu boarding, lalu terbang. Lain cerita kalau anda ke Aceh lewat jalur darat. Dari Padang saja untuk...

The post Perjalanan ke Ujung Barat Indonesia appeared first on TelusuRI.

]]>
Dari Jakarta ke Aceh naik pesawat barangkali hanya memakan waktu sekitar 1,5 sampai 2 jam. Tinggal ke Soekarno-Hatta, menunggu boarding, lalu terbang. Lain cerita kalau anda ke Aceh lewat jalur darat. Dari Padang saja untuk ke Banda Aceh perlu waktu sekitar 34 jam dengan menumpang bis. Etape pertama, Padang – Medan, berlangsung selama sekitar 24 jam. Lama memang. Namun anda akan melewati tempat-tempat indah seperti Tarutung yang penuh pohon cemara dan akan disaput kabut di pagi hari dan Danau Toba yang luasnya tak terkira. Belum lagi perkebunan sawit dan karet yang membentang di kanan-kiri. Tapi jangan lupa siapkan obat anti-mabuk jika perut anda tidak kuat dibawa melewati jalan-jalan kecil yang berliku.

Menjelang sore ketika saya tiba di Medan. Dari Ibu Kota Sumatera Utara itu saya melanjutkan perjalanan menumpang bis yang keadaannya jauh lebih baik dibanding armada Padang – Medan. Bis Medan – Banda Aceh memang terkenal kinclong. Bis kinclong ditambah jalan yang mulus membuat perjalanan 10 jam menjadi tak terasa. Dibalut selimut—dan dengan kaki ditopang penyangga—saya tertidur pulas. Ketika bangun, saya disapa Gunung Seulawah—pertanda Banda Aceh sudah dekat.

Becak motor melaju di jalanan Banda Aceh/Fuji Adriza

Tanpa helm, saya merasa seperti menjadi salah seorang prajurit dalam film Band of Brothers sebab becak motor itu seperti motor bergerobak dalam film-film perang. Bedanya, sepeda motor yang digunakan adalah buatan Jepang, bukannya bikinan Eropa atau Amerika. Dalam sepuluh sampai lima belas menit saya tiba di Pelabuhan Ulee Lheue, yang dari sana saya akan melanjutkan petualangan menuju Sabang di Pulau Weh. Jarak antara terminal dan pelabuhan lumayan jauh memang, sebab ketika iseng mencoba jalan kaki dari pelabuhan ke terminal saat perjalanan pulang, ternyata perlu waktu sekitar dua sampai tiga jam.

Tugu Nol Kilometer Indonesia/Fuji Adriza

Pulau Weh yang berbukit-bukit

Semula niat saya adalah berjalan kaki dari Pelabuhan Balohan ke Iboih, tempat saya akan menginap. Niat untuk jalan kaki itu muncul ketika saya menghitung jarak Pelabuhan Balohan – Iboih menggunakan aplikasi peta di android. Cuma 28 kilometer. Saya pernah jalan dari Terminal Bungurasih di Surabaya ke Stasiun Gubeng sejauh 19 kilometer menyusuri rel kereta api. Rasa-rasanya tambahan 9 kilometer tak akan membuat kaki saya gempor. Karena di Pelabuhan Balohan banyak sekali orang yang menawarkan jasa ojek dengan tarif masuk akal, saya jadi berpikir ulang untuk jalan kaki.

Di atas ojek saya mensyukuri keputusan itu sebab ternyata Pulau Weh tidak selandai Kota Surabaya, melainkan berbukit-bukit. Hutannya juga masih lebat sehingga sulur-sulur menggantung di beberapa ruas—juga masih ada kera. Bahkan, meskipun mulus, di beberapa tempat masih saya temukan jalanan yang licin berlumut.

Pantai Iboih/Fuji Adriza

Sekilas perbukitan Pulau Weh mengingatkan saya pada jalanan Sitinjau Lauik di Sumatera Barat. Hanya skalanya saja yang lebih kecil. Jika benar-benar jalan kaki barangkali saya mesti membuat bivak di pinggir jalan untuk bermalam. Saking luar biasanya jalanan di Pulau Weh, ojek yang saya tumpangi sampai kewalahan membawa saya dan ransel 60 liter yang saya panggul. Di tengah jalan motor itu tiba-tiba berhenti, dan saya dioper oleh pengendara ojek itu ke motor lain.

Jika dihitung-hitung barangkali perjalanan dari pelabuhan ke Iboih itu berlangsung sekitar setengah jam. Memasuki pesisir Iboih, jalan berubah menjadi makadam dan berpasir. Di sebelah kanan adalah perairan tenang dengan air berwarna toska yang berujung di Pulau Rubiah. Kapal-kapal berjejeran dan terumbu karang di bawah air tampak samar-samar. Di sebelah kiri kafe-kafe dan kantor-kantor operator selam berjejeran. Karena masih pagi, jalan kecil itu sepi.

Bertemu Ikan Hiu

Asal mau berjalan kaki mencari, banyak penginapan di Iboih, yang meskipun murah namun menawarkan pemandangan yang bisa diadu dengan resor-resor yang lebih mahal. Kamar saya yang seharga sekitar 55 ribu semalam itu cukup besar, dengan fasilitas kasur king-size, kelambu, dan kipas angin. Saya menginap di salah satu bungalow yang langsung menghadap ke laut. Di beranda, pengelolanya memasang sebuah ayunan kain (hammock) yang di sana saya bisa berbaring sambil menikmati gradasi indah warna air laut dan Pulau Rubiah.

Tinggal turun tangga, saya bisa langsung menceburkan diri ke laut. Siang itu, setelah beberapa saat snorkeling di perairan depan bungalow dan melihat beberapa ekor gurita yang menyaru batu karang (saking banyaknya gurita di perairan ini, salah satu makanan khas yang dijajakan di Sabang adalah sate gurita), saya berenang ke Pulau Rubiah. Semakin ke tengah, warna air yang saya lihat melalui masker semakin pekat. Ikan-ikan karang yang tadinya banyak menjadi jarang. Namun beberapa kali saya melihat kawanan ikan (schooling fish), yang ramai dan berputar-putar. Mendekati Pulau Rubiah, bawah laut kembali sama dengan yang saya lihat di depan bungalow.

Bungalow-bungalow di Iboih yang langsung menghadap laut/Fuji Adriza

Di pulau yang memanjang itu saya duduk-duduk sambil melihat sekitar. Kali ini—sebaliknya—di depan saya adalah Pulau Weh dan di belakang saya adalah hutan Pulau Rubiah. Di antara pepohonan yang hijau itu ada sebuah celah—barangkali jalur trekking. Saya penasaran menyusurinya. Namun berhubung sudah sore, niat itu saya urungkan. Kalau laut keburu pasang, bisa-bisa saya tertahan di Pulau ini. Sementara saya tak ada minat untuk jadi penerus Robinson Crusoe.

Ingin menjajal dunia bawah laut Sabang yang konon disebut-sebut masih ‘asri,’ keesokan harinya saya bertandang ke sebuah operator selam. Menurut desas-desus yang saya dengar selama ini, biaya menyelam di Sabang lebih miring dibanding biaya di tempat-tempat lain seperti Amed dan Tulamben di Bali. Benar ternyata. Untuk dua kali penyelaman, saya hanya perlu membayar 600 ribu, sudah termasuk bea sewa perlengkapan dasar (termasuk wetsuit), sewa boat, dan jasa dive-master. Namun itu adalah tarif bagi yang sudah punya sertifikat selam. Jika belum bersertifikat, sebelum turun anda akan diberi pelatihan dulu—tentu saja dengan mengeluarkan biaya tambahan.

Bersama dive buddies menuju titik penyelaman/Fuji Adriza

Hari itu saya turun dua kali, yaitu menjelang siang dan sore hari. Ekosistem laut perairan Rubiah ternyata memang masih asri, sebab di dua titik penyelaman itu, Batee Tokong dan East Seulako, saya berjumpa dengan hewan yang berada pada puncak rantai makanan di laut—hiu. Di Batee Tokong saya bertemu blacktip shark yang melintas kencang sekitar 10-15 meter di depan, sementara di East Seulako saya melihat silvertip shark. Saya bergidik ketika sadar bahwa dua titik penyelaman ini tidak seberapa jauh dari rute yang saya ambil ketika berenang dari penginapan ke Rubiah kemarin. Selain hiu, hari itu saya juga melihat—tentu saja—gurita, lionfish, penyu, morray raksasa, dan kawanan barakuda kecil.

Letih tapi bahagia, sore itu sambil menanti matahari terbenam saya berayun-ayun di atas hammocksambil memainkan ukulele. Ketika malam tiba, riuh kehidupan di Pulau Weh berpindah ke kafe-kafe yang berjejeran, yang di luar dugaan saya ternyata juga menjajakan kopi kemasan.


Sebelumnya dimuat di blog Kompasiana Fuji Adriza

The post Perjalanan ke Ujung Barat Indonesia appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/perjalanan-ke-ujung-barat-indonesia/feed/ 1 68