sabu Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/sabu/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Mon, 06 Feb 2023 11:09:01 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 sabu Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/sabu/ 32 32 135956295 Lontar, Kacang Hijau, dan Gula Sabu https://telusuri.id/lontar-kacang-hijau-dan-gula-sabu/ https://telusuri.id/lontar-kacang-hijau-dan-gula-sabu/#respond Tue, 04 Oct 2022 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=35454 Jauh sebelum beras masuk dan menjelma menjadi makanan pokok; jagung, sorgum dan kacang hijau adalah sumber pangan utama untuk memenuhi tenaga orang Sabu sehari-hari. Selain makanan pokok, orang Sabu juga punya minuman pokok yakni air...

The post Lontar, Kacang Hijau, dan Gula Sabu appeared first on TelusuRI.

]]>
Jauh sebelum beras masuk dan menjelma menjadi makanan pokok; jagung, sorgum dan kacang hijau adalah sumber pangan utama untuk memenuhi tenaga orang Sabu sehari-hari. Selain makanan pokok, orang Sabu juga punya minuman pokok yakni air gula dan tuak dari lontar. “Kalau minum air gula, itu bisa seharian kerja mereka [orang-orang dulu],” terang Abed Rabe, sepupu Kaleb Piga. Kami duduk di ruang tengah rumah Kaleb Piga, diterpa angin sepoi dari lubang besar tanpa daun pintu.

Abed Rabe sedang bercerita/Arah Singgah

Abed juga menjelaskan kalau hasil panen bagus pun, orang-orang dahulu kadang cuma makan saat siang hari, dan tentunya tidak setiap hari. “Jadi mungkin sekarang saja yang sudah maju, ada beras masuk dari Makassar, Kupang, dan Sumba. Makanya beralih dari situ,” ujar Abed. Berdasarkan pengalaman Abed dan Kaleb Piga, mereka masih sempat menikmati masa dikala komoditas tersebut masih menjadi tuan rumah di Sabu.

Sekarang, makanan pokok mereka telah berubah sepenuhnya menjadi beras yang dipasok dari luar Pulau Sabu. Tanpa suplai dari kedua daerah tersebut, pasokan beras Sabu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Di pulau ini, sawah hanya terdapat di beberapa daerah timur Pulau Sabu.

Saat beras belum mendominasi, transportasi laut dari dan ke Pulau Sabu masih mengandalkan perahu layar. Pusat Pulau Sabu pun ada di Lobohede, bukan di Seba. “Kompasnya hanya bulan dan bintang,” tambah Abed menjelaskan lebih lanjut mengenai keadaan zaman dulu. Perahu motor masuk pada 1997 dan menggasak perahu layar untuk tidak leluasa mengarungi lautan dan pusat keramaian pun mulai beralih ke Seba, daerah sebelah timur Pulau Sabu.

Kini beras pun sudah umum diperjual belikan, tapi yang unik dari Sabu adalah bagaimana pembelian beras tidak dihitung per kilogram, melainkan per karung. “Kita tidak pernah beli kilo, katong beli karung saja. Jadi kalau waktu hujan itu, bulan 12, kita sudah beli beras 3-4 karung,” cerita Kaleb Piga. 

Ada sebuah cerita lucu bagaimana orang Jawa yang baru tiba di Pulau Sabu kebingungan untuk membeli beras dengan takaran per kilo di pasar. Dia berkeliling ke seluruh penjuru Sabu dan tidak menemukan ada orang di Sabu yang menjual beras per kilo. Akhirnya orang itu bertemu Kaleb Piga.

“Dia ketemu saya dan perkenalkan diri, dia juga tanya di mana ada beli beras per kilo, dia juga tanya di mana bisa beli minyak goreng per liter.” Hitung-hitungan kilo dan liter tidak berlaku di Sabu. Begitu pun ketika membeli beras dan minyak goreng, yang tersedia di kios-kios hanya per karung dan per jerigen. Gula sabu yang kami beli pun begitu, semua dihitung dengan jerigen.

Perihal kacang hijau, saya sudah mencoba bagaimana nasi yang dicampur dengan kacang hijau. Dibandingkan dengan nasi jagung, nasi kacang hijau terasa lebih gurih karena kacang hijau yang bercampur menjadi pecah, tapi bulir-bulirnya yang tidak pecah cukup membuat masalah ketika mengunyah. Yang lebih tradisional, kacang hijau mentah dimakan dengan gula, kemudian diselingi air lontar. Bukankah kacang hijau saja terlalu keras untuk digigit? Faktanya orang-orang Sabu menyukai makanan yang sedikit keras, dan berpengaruh pada gigi mereka yang mempunyai struktur yang kuat. 

Masyarakat memulai bulan tanam pada Desember, bersamaan dengan musim hujan yang membuat tanah siap untuk ditanami. Kalau diselingi hujan yang cukup intens, dalam waktu empat bulan tanaman sudah bisa dipanen. Sebaliknya, bila hujan tak kunjung datang maka bulan tanam akan mengalami pergeseran, begitu pun bulan panen.

“Kalender kita bisa berjalan lain dengan kalender Masehi, tergantung dari putaran bulan.”

Tanah Sabu yang menunggu untuk ditanam/Arah Singgah

Ketika masa tanam sudah dimulai, pemuka adat—dalam Desa Lobohede ini Bapak tua Kale Lele—akan berkeliling. Segala bentuk keributan di malam hari tidak lagi ditolerir seperti sebelum masa tanam. Meskipun dominannya di sini adalah agama Kristen, budaya Jingitiu lah yang tetap menjadi pegangan orang-orang sekampung untuk ritual adat.

Bagaimana jika ada yang melanggar aturan adat? Sebenarnya tidak ada denda adat khusus yang diberlakukan, tetapi alam akan menjawab segalanya. Pernah suatu ketika ada yang melanggar dengan menanam sesuatu mendahului waktu yang disepakati. Konon hasil panen yang didapat selalu mendapat gangguan atau tidak bagus. Mau tidak mau atau suka tidak suka, apapun latar belakang kepercayaannya akan tetap mengikuti tatanan adat yang telah berlaku.

Aturan lainnya: ketika menanam tumbuhan berbulir seperti jagung dan kacang hijau, pantangan bagi yang menanamnya untuk memakan buah lontar dan meminum airnya. Konon, jika hal tersebut tetap dilakukan, dapat mengundang hewan-hewan pengganggu tanaman  seperti ulat dan burung untuk menggagalkan panen yang sudah di depan mata. Percaya atau tidak, kejadian ini sungguh terjadi—setidaknya menurut Kaleb Piga.

Menyusuri jalan/Arah Singgah

Kami menyusuri jalan setapak yang melintasi perkebunan kelapa dan lontar, melintasi jalan aspal, kemudian masuk lagi ke jalan setapak yang sudah mendekati pesisir. Sepanjang sore, orang-orang berkumpul di pantai, dengan sekat-sekat dari tali plastik yang mengkotak-kotakan pantai. Rupanya, orang-orang sedang sibuk untuk menaruh bibit rumput laut. Laut yang mulai surut telah menumpah ruahkan anak-anak untuk membantu orang tua mereka merangkai bibit rumput laut di tali plastik yang panjang. Ada dua jenis rumput laut yang saya lihat, berwarna hijau dan berwarna coklat. Seorang ibu berkaos lengan panjang yang berwarna hitam merah dan mengenakan topi, tampak serius mengikat bibit-bibit rumput laut yang akan direntangkan setelah semua selesai. “Bibit rumput laut sekarang kurang bagus,” ungkap Kaleb Piga, menerjemahkan pembicaraan seorang kakek yang kami temui, sedang memukul patok untuk mengaitkan tali batas ladang.Entah kenapa bibit yang didapat dari Sabu Timur ini dibilang kurang bagus. 

Seorang ibu tua sedang merangkai bibit rumput laut yang akan direntangkan/Arah Singgah

Gubuk-gubuk sederhana yang berdiri di sepanjang tepi pantai ini menjadi gudang penyimpanan rumput laut sekaligus tempat bersantai kala panas menerjang. Anak-anak berumur sekitar tiga tahun, sibuk bermain kejar-kejaran, melihat ke arah kami dengan tatapan menelisik, yang mungkin merasa asing sekaligus merasa senang di saat bersamaan dengan kehadiran orang baru di tengah mereka. Di tepi laut yang langsung menghadap Australia ini, semua sedang sibuk mencari cara terbaik untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, termasuk dari untaian rumput laut yang menjelma doa mereka agar besok dan seterusnya, perut mereka selalu terisi.

***

Bapak tua adat, ketika berperan sebagai manusia biasa, sehari-harinya bekerja mencari ikan dan gurita, juga membuat gula sabu dari air lontar. Setiap paginya, Kale Lele menyiapkan gula sabu yang diambil dari air lontar yang dimasak selama tiga jam. Halena, anak keempat dari Kale Lele mengatakan setiap harinya gula cair yang sudah jadi akan dijual ke pasar, atau ada yang mengambil ke rumahnya. Sebagian lainnya disimpan untuk dipakai sendiri.

Halena sedang memasak gula sabu
Halena sedang memasak gula sabu/Arah Singgah

Bagian yang diambil dari pohon lontar adalah kali banni dan kali mone, sejenis batang yang nanti akan dikupas untuk diambil cairannya langsung dari pohon. Saya membayangkan bapak tua memanjat pohon lontar yang tinggi dengan dariwake (wadah khas Sabu untuk menampung air lontar) yang mengikat di pinggang. Satu pohon bisa menghasilkan sekitar dua jerigen ukuran lima liter. Du’e yang didapat itulah yang menjadi cikal bakal gula sabu.

Kale Lele sedang menumbuk sirih pinang dan diganggu oleh cucunya yang mendekap erat tangannya yang masih kekar. Giginya yang sudah kurang kuat harus dibantu alat besi untuk menumbuk sirih dan pinang yang keras, yang kalau dikunyah bisa merontokkan giginya seketika.

Kale Lele bersiap naik/Arah Singgah

Kaki kurus itu dengan cekatan mengambil kuda-kuda. Pohon setinggi 10 meter itu dipanjat hanya dalam waktu hitungan detik. Sarung tenun Samarinda berwarna hijau dengan aksen kotak-kotak tidak pernah terpisah dari pahanya, ikut bergelayut terbawa angin dan tenaga yang datang dari kakinya.

Ajo rima leba lara ubu lara meha

Do’anga mata mara dahi tu ya do kehi’a ajo dara damu keri mata

Gel’a djami ina moi dila

Mami moko nga’a mate namone

Do ja’u ru jara.

Robe ngakebe’e hilo nga do mangngu lai

Jaga wada ripi mangu doke hiji howo.

Syair-syair terus berkumandang dari mulutnya di ketinggian, tercampur dengan melodi yang dimainkan angin yang terbawa dari pantai. Apa gerangan yang dipikirkan oleh leluhur orang Sabu hingga bisa mewariskan syair indah ini sebagai kebiasaan? 

Kaleb Piga kemudian memberitahu saya bahwa dulu orang-orang yang naik pohon lontar, bersama-sama menyanyi dari atas, hingga menimbulkan keramaian di Sabu yang sepi.

Lontar adalah pohon kehidupan Sabu. Sabu adalah pulau sejuta lontar. Gula sabu sudah dikenalkan kepada orang-orang Sabu sejak mereka keluar dari rahim ibunya. Lontar memberikan daun, buah, air, gula, hingga kayu bakar untuk orang-orang Sabu. Dari lontar juga, kebudayaan Sabu berkembang. Daun menjadi atap, buah menjadi makanan, air menjadi arak dan gula, kayu menjadi bahan bakar untuk dapur tetap mengepul. 

 ***

Pada Agustus 2022, TelusuRI mengunjungi Bali, Kupang, Pulau Sabu, hingga Flores Timur dalam Arah Singgah: Menyisir Jejak Kepunahan Wisata, Sosial, Budaya—sebuah perjalanan menginventarisasi tempat-tempat yang disinggahi dalam bentuk tulisan dan karya digital untuk menjadi suar bagi mereka yang ceritanya tidak tersampaikan.

Tulisan ini merupakan bagian dari catatan perjalanan tersebut. Nantikan kelanjutan ceritanya di TelusuRI.id.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Lontar, Kacang Hijau, dan Gula Sabu appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/lontar-kacang-hijau-dan-gula-sabu/feed/ 0 35454
Penganut Jingitiu dan Silat yang Hilang https://telusuri.id/penganut-jingitiu-dan-silat-yang-hilang/ https://telusuri.id/penganut-jingitiu-dan-silat-yang-hilang/#respond Mon, 03 Oct 2022 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=35647 Menanam bukan hanya persoalan tanah dan petani, tapi ada adat yang mengatur jauh lebih dari itu. Sewaktu musim tanam tiba, masyarakat tidak boleh membunyikan apapun dan membuat berisik. Pantangan ini dijaga oleh penganut Jingitiu, yang...

The post Penganut Jingitiu dan Silat yang Hilang appeared first on TelusuRI.

]]>
Menanam bukan hanya persoalan tanah dan petani, tapi ada adat yang mengatur jauh lebih dari itu. Sewaktu musim tanam tiba, masyarakat tidak boleh membunyikan apapun dan membuat berisik. Pantangan ini dijaga oleh penganut Jingitiu, yang masih memimpin dan dituakan secara adat. Jingitiu sendiri awalnya bukanlah sebuah kepercayaan yang mempunyai nama—nama Jingitiu tersebut diberikan Portugis untuk memisahkan penganut Kristen dan penganut kepercayaan lama yang memuja arwah nenek moyang dan alam.

Di Sabu, kata kafir melekat pada penganut Jingitiu karena mereka belum mau menerima ajaran Kristen yang berkembang pesat di Sabu. Di Desa Lobohede, hanya ada empat keluarga yang menganut Jingitiu, satu keluarga penganut Katolik, dan sisanya adalah penganut Kristen Protestan. Sedangkan untuk kaum muslim di Lobohede tidak ada, mereka hanya tersebar di sekitar Pelabuhan Seba dan sebagian besar merupakan orang perantau dari Jawa, Bugis, dan Madura.

Kale Lele dan Kaleb Piga sedang memperlihatkan pusaka/Tim Arah Singgah
Kale Lele dan Kaleb Piga sedang memperlihatkan pusaka/Arah Singgah

Kami mendatangi sebuah rumah sederhana yang dikelilingi oleh pohon lontar dan kelapa. Seorang bapak tua dengan sarung hijau terlihat bingung dengan kedatangan kami yang didampingi oleh Kaleb Piga. Berdasarkan petunjuk dia, bapak tua ini merupakan seorang tetua adat yang dihormati dan masih menganut kepercayaan Jingitiu. Seusai bersalaman, kami menuturkan maksud kami ke sini, namun beliau kesulitan untuk memahami apa yang kami ucapkan dalam bahasa Indonesia. Untungnya Kaleb Piga dengan sigap menjadi penerjemah di antara kami. Bapak tua itu bernama Kale Lele yang masuk ke dalam salah satu anggota Mone Ama, dewan adat Sabu.

“Beliau ini yang menentukan, kalau tanam itu pada hari apa,” terang Kaleb Piga.

Saat waktunya tiba, Kale Lele akan berkeliling satu kecamatan, dengan memukul gong tanda dimulainya musim tanam. Kalau sudah begitu, semua orang dipersilahkan menanam apa saja; kacang hijau, sorgum, singkong, dan lainnya.

Kaleb Piga juga menceritakan soal Upacara Hole yang puncaknya adalah proses adat yang melarungkan miniatur perahu mini ke laut yang diisi dengan ayam yang baru menetas, anak anjing berkisar umur dua bulan, kacang hijau yang ditaruh di dalam ketupat yang terbuat dari daun lontar, sorgum merah. Perahu kayu itu dilarungkan ke arah Pulau Sumba dengan harapan mengusir penyakit dari Pulau Sabu. Ritual ini dilakukan rutin setahun sekali, sekitar bulan Mei pada kalender masehi.

Tradisi apa yang kemudian mulai hilang? Hila atau silat khas Sabu adalah salah satu yang tidak lagi banyak dipraktikkan oleh masyarakat Sabu. Di masa Kale Lele masih muda, praktisi hila begitu mudah ditemui. Sekarang, hanya ada beberapa orang saja yang masih menguasainya dan itu pun terhitung sudah sepuh.

“Setau beta yang besar di desa, masih ada [hila] itu kalau di tempat-tempat berdoa. Sekarang tidak ada lagi.”

Kale Lele berkenan untuk memperagakan beberapa gerakan untuk saya tonton. Beliau kencangkan sarung yang melekat di pinggangnya dan sebuah gerakan mengalun dengan lancar. Otot-ototnya tampak mengencang karena gerakan yang mengharuskannya lincah bergerak. Gerakan ditutup dengan sebuah pukulan tepat ke arah perut Kaleb Piga.

Hila sudah tidak terlihat. Hila sudah dianggap tidak diperlukan sehingga orang-orang tua dahulu tidak mengajarkan kembali. Keterampilan ini dianggap sering disalahgunakan untuk menyebabkan keonaran. Hila yang berkembang liar dan tidak pernah diorganisir harus rela tecabut dari Sabu yang berangsur-angsur menjadi modern. Meski tidak mendapatkan penjelasan lebih lanjut, saya sudah kagum dengan apa yang Kale Lele peragakan di depan kami.

Mone Ame di Hawu Mehara
Mone Ama di Hawu Mehara/Arah Singgah

Peran tetua adat cukup tereduksi akibat adanya pemerintahan resmi yang menaungi lembaga desa (kepala desa, ketua RW, ketua RT). Namun, tetua adat tetap diundang sebagai tokoh masyarakat, tapi pengambilan keputusan terkait masalah yang tidak berhubungan dengan adat tetap kepada perangkat desa. Beliau juga seringkali menerima undangan dari bupati untuk hadir sebagai tamu kehormatan acara kabupaten atau provinsi. Jingitiu yang semula menjadi kepercayaan dominan juga harus merelakan banyak pengikutnya untuk beralih menjadi Kristen. Di keluarga Kale Lele, hanya tersisa ia saja yang menganut Jingitiu. Anak-anaknya memilih untuk berpindah keyakinan menjadi Kristen.

Berbincang dengan Efer di Kelabba Maja
Berbincang dengan Efer di Kelabba Maja/Arah Singgah

Efer, salah satu penganut Jingitiu merangkap penganut Kristen, yang juga menjaga Kelabba Maja, menerangkan Kelabba Maja sebagai salah satu tempat yang dikeramatkan oleh penganut Jingitiu.

“Sebelum menjadi tempat wisata, awalnya kan dia (Kelabba Maja) salah satu tempat doa. Saya melihat [Kelabba Maja] diunggah oleh beberapa orang yang berkunjung ke sini untuk syuting, ternyata pada umumnya masyarakat suka.”

“Saya melihat dan sadar bahwa ini adalah salah satu tempat wisata yang berguna bagi Kabupaten Sabu Raijua,” tambahnya.

Dengan kesadaran sendiri, ia membersihkan dan merawat area sekitar yang nantinya bisa digunakan untuk berkunjung. Sebelum itu, dia meminta izin dan restu ayah kandungnya karena tempat ini merupakan tempat suci bagi suku Napuhina, penduduk di sekitar kawasan Kelabba Maja. Pemerintah Daerah Sabu kemudian mengajaknya untuk bekerja sama mengelola Kelabba Maja sebagai destinasi wisata di Pulau Sabu. Ajakkan ini diterima dengan senang hati oleh Efer. Dan ketika resmi menjadi tempat wisata, Efer ingin pengunjung tetap mematuhi himbauan yang telah ia sepakati dengan pemerintah daerah. Selayaknya tempat wisata, ia ingin tempat ini lebih dikenal agar perputaran ekonomi di Sabu berjalan lancar.

Banyak yang hilang dari Sabu. Syair-syair bapak tua yang disusun dengan bahasa yang tinggi sudah tidak dimengerti kaum muda. Silat khas Sabu sudah mulai pudar dari benak mereka. Penganut Jingitiu yang semakin sedikit. Menyadap lontar memang masih dilakukan, upacara masih tetap berlangsung, tapi urat nadi lainnya, sedikit demi sedikit sudah mulai terpotong..

Kale Lele sedang menyadap lontar
Kale Lele sedang menyadap lontar/Arah Singgah

Mencium hidung di Sabu adalah penghargaan tertinggi yang bisa diberikan orang Sabu kepada sesama. Cium hidung ditampakkan pada suasana duka untuk turut merasakan kehilangan, ketika lama tidak bersua sebagai dekapan, hingga masalah sengketa yang akan selesai dengan damai. Cium hidung tidak pamali. Lelaki perempuan boleh saling cium hidung. Tidak ada batasan dalam merangkul sesama. Sabu adalah satu. Jiwa orang-orang Sabu berada dalam satu genggaman Deo Ama.

Sabu ingin dikenal. Sabu ingin dikunjungi. Kepala Desa Lobohede ingin sekali Desa Lobohede bisa seperti desa-desa di Jawa yang dikunjungi saban harinya dan menjadi panorama pariwisata. Lagi-lagi masalah Sabu adalah akses. NTT saja sudah cukup jauh dari Jawa, bagaimana dengan Sabu, yang untuk menuju ke sini dari Kupang harus menumpang kapal 11 jam lagi? 

Bersama pak desa dan Irwan
Bersama Pak Desa dan Irwan/Arah Singgah

Irwan Rictoson, pemuda Desa Lobohede, membuat beberapa konten untuk mengenalkan Sabu kepada penduduk luar NTT, tapi dia sendiri cukup kewalahan untuk. Belum lagi soal regulasi yang mengurung Irwan dan teman-temannya dengan sejuta birokrasi yang ribet.

Irwan ingin suatu saat Lobohede menjadi desa wisata yang bisa memberi manfaat ekonomi kepada warganya. Jalan menuju ke sana masih panjang, setidaknya Irwan sudah berusaha mengompori teman-temannya untuk memulai. Dari konten video hingga sosial media, mereka sudah mencoba segalanya.

Gemerlap bintang-bintang terpancar jernih dari bukit dengan tiang pemancar. Lampu di desa ini belum sebanyak lampu di kota, tapi perlahan desa ini mengalami kemajuan. Beberapa ruas jalan diterangi cahaya dari lampu tenaga matahari. Meski gelap tetap mencekam, setidaknya desa ini punya penerangan untuk membuat jalan yang sepi ini sedikit bercahaya, bersinar seperti keinginan orang Sabu tentang pulaunya yang ingin dikenal dan dikunjungi.

 ***

Pada Agustus 2022, TelusuRI mengunjungi Bali, Kupang, Pulau Sabu, hingga Flores Timur dalam Arah Singgah: Menyisir Jejak Kepunahan Wisata, Sosial, Budaya—sebuah perjalanan menginventarisasi tempat-tempat yang disinggahi dalam bentuk tulisan dan karya digital untuk menjadi suar bagi mereka yang ceritanya tidak tersampaikan.

Tulisan ini merupakan bagian dari catatan perjalanan tersebut. Nantikan kelanjutan ceritanya di TelusuRI.id.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Penganut Jingitiu dan Silat yang Hilang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/penganut-jingitiu-dan-silat-yang-hilang/feed/ 0 35647
Tenun yang Menghidupi https://telusuri.id/tenun-yang-menghidupi/ https://telusuri.id/tenun-yang-menghidupi/#respond Sun, 02 Oct 2022 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=35455 Di Sabu, saya melihat beberapa pohon pisang yang secara sengaja ditanam oleh warga, selain sayur-sayuran. Di Lobohode, ada beberapa pohon pisang dan pepaya yang ditanam oleh Henderina Dida, yang hasil kebunnya adalah untuk dimakan sendiri....

The post Tenun yang Menghidupi appeared first on TelusuRI.

]]>
Di Sabu, saya melihat beberapa pohon pisang yang secara sengaja ditanam oleh warga, selain sayur-sayuran. Di Lobohode, ada beberapa pohon pisang dan pepaya yang ditanam oleh Henderina Dida, yang hasil kebunnya adalah untuk dimakan sendiri. Pisangnya berjenis pisang kepok, orang sini menyebutnya sebagai pisang abu-abu. Selain berkebun, Henderina juga mempunyai ternak dan menenun. Tenun menjadi pekerjaan utamanya. Sedangkan hasil dari berkebun, cukup untuk memenuhi kebutuhan dia dan keluarga sehari-hari. Di tanah yang tandus, harapan untuk hidup selalu ada dari orang-orang yang impiannya sederhana. Rumput laut, lontar, dan tenun, adalah sendi kehidupan yang mengikat orang-orang Lobohede—secara umumnya masyarakat Sabu.

Dia mempersilakan saya untuk masuk ke dalam rumahnya, melihat sarung èi worapi setengah jadi yang terdiam di pojok ruang.

Tenun sebagai identitas orang Sabu
Tenun sebagai identitas orang Sabu/Arah Singgah

“Sarung ini biasa dipakai saat acara duka atau pernikahan,” terangnya. Pengerjaan sarung ini mengambil waktu yang tidak menentu, tergantung motif yang ingin dibuat—bisa memakan waktu sampai satu bulan lebih. Henderina bahkan mengungkapkan dengan kata “setengah mati” pada kain yang ia tenun kali ini, sebab bahannya adalah mesrai—yang ia rasa sulit untuk dirajut. Ada tiga kain yang diproduksi masyarakat Sabu di Lobohede untuk dipakai; èi adalah sarung, hi’i huri adalah selimut, dan heleda adalah selendang.

Di siang hari yang panas diikuti kidung-kidung Kristiani yang mengalun dari rumah-rumah warga, kami mengikuti Kaleb Piga ke rumah salah satu warga yang juga bekerja sebagai penenun. Tangan mungilnya cekatan melingkar satu benang antar sisi. Benang berwarna hitam, putih, kuning, coklat membentuk suatu pola yang bernama wohèpi dan bodda. Rismeli Radja Uli, perempuan yang sibuk menenun ini, sudah bisa menenun semenjak usia belasan, untuk membantu orang tuanya mencari penghidupan.

Kain yang kali ini ia tenun, menurutnya termasuk dalam kisaran harga murah di antara kain-kain lainnya, sebab kain ini tidak menggunakan pewarna alami yang bahan bakunya sulit untuk didapatkan—utamanya pada musim panas. “Kalau pewarna alami, bisa mencapai 500 ribu sampai jutaan,” ungkapnya dengan bahasa Indonesia yang terbata-bata. 

Di bawah atap daun lontar ammu iki yang meneduhkan, kami berbincang banyak mengenai bagaimana ia mendistribusikan penjualan kain tersebut. Saya melihat sarung yang dikenakan oleh Rismeli tampak berbeda dengan kain yang sedang ia tenun. Sarung itu bernama èi raja, berwarna merah kecoklatan dengan campuran biru dan aksen putih yang membentuk suatu pola bunga palem besar, kain yang ia pakai ini adalah buatan tangan ibunya—juga salah satu kain yang masih menggunakan pewarna alami.

“Biasanya ada yang datang ke rumah untuk beli,” Rismeli menerangkan bagaimana alur penjualannya.

Rismeli hanya menjual kain buatannya dari rumah saja. Selebihnya bagaimana kain ini sampai ke daerah lain, dia tidak tahu. Keahlian yang ia dapat dari umur 12 tahun ini cukup membantu perekonomian keluarganya, menambah pundi-pundi uang sang suami yang pergi melaut. Rata-rata per bulannya bisa terjual sebanyak 10 lembar, tapi itu pun tidak menentu.

Besok hari, kain yang ia tenun diperkirakan akan selesai. Tidak ada kata istirahat dalam kamus Rismeli. Ia akan kembali menenun untuk kain berikutnya dan berikutnya. Kalau laku terjual, ia bisa menghela nafas lebih panjang untuk bulan ini, kalaupun tidak, setidaknya dia sudah memperbanyak stok kain buatannya untuk dijual di lain waktu.

Suaminya menawarkan kami beberapa buah kelapa muda yang langsung dipetik dari pohon. Air kelapa yang melimpah mampu meresapi sedikit pengetahuan yang saya dapat dari kain Sabu.

Di sudut lain Lobohede, sama seperti Rismeli, Mariana Ledehaba juga menggantungkan hidupnya dari tenun. Dari kain tenun yang ia buat, ia juga berhasil membantu penghasilan suaminya yang berprofesi sebagai nelayan.

Mariana Ledehaba
Mariana Ledehaba sedang menenun/Arah Singgah

“Karena dari tenun ikat inilah kita hidup,” tegasnya meyakinkan kami.

Pewarna yang ia pakai juga merupakan pewarna sintetis, sebab untuk mencari pewarna alami harus menunggu musim hujan, belum lagi harga kainnya yang akan menjadi mahal dan peminatnya sedikit. Selendang èi raja yang ia tenun bermotif hebe kelakku—yang pada awalnya ditujukkan kepada para hubi ae, yang masih keturunan raja. Namun sekarang pemakaian motif ini sudah umum untuk diperjual belikan. Pengetahuan motif yang ia dapat, diwariskan secara turun temurun dari ibunya yang juga berprofesi sebagai penenun. Perempuan Lobohede dianugerahi keahlian menenun yang baik.

Dr. Geneviève Duggan membagi tenun Sabu ke dalam dua jenis: tenun tradisional untuk penganut Jingitiu–kepercayaan lokal–dan tenun yang memiliki nilai komoditas/ekonomis. Tenun yang dibuat oleh pelaku Jingitiu lebih ketat dalam menerapkan aturan-aturan, dan dalam beberapa tahap seperti pewarnaan dan proses penenunan memerlukan upacara-upacara. Sedangkan penenun komoditas cenderung bebas dan tidak terikat.

Salah satu motif tenun Sabu/Arah Singgah

“Tetapi bagi mereka yang mengikuti kepercayaan dunia modern dan menjalankan hidup sebagai orang Sabu modern, peraturan tradisional sudah kadaluarsa, karena tenun yang dihasilkan tidak lagi dikaitan pada kepercayaan tradisional, tetapi dianggap sebagai barang komersial yang memenuhi keinginan sang pembeli dan mengikuti permintaan pasar,” tulisnya dalam buku Bunga Palem dari Sabu.

Anehnya, yang paling populer di sini justru sarung samarinda cap manggis dibanding sarung buatan mereka. Alasannya cukup simpel, sarung samarinda bisa dipakai kapan saja—tidak harus pada waktu-waktu tertentu seperti kain Sabu. Hampir setiap lelaki Lobohede mempunyai sarung samarinda, namun hanya lelaki Lobohede yang sudah berkeluarga saja yang memakai sarung samarinda berwarna hijau tua dengan aksen kotak-kotak, yang dikenal dengan harga yang paling mahal dibanding sarung samarinda motif lainnya.

***

Pada Agustus 2022, TelusuRI mengunjungi Bali, Kupang, Pulau Sabu, hingga Flores Timur dalam Arah Singgah: Menyisir Jejak Kepunahan Wisata, Sosial, Budaya—sebuah perjalanan menginventarisasi tempat-tempat yang disinggahi dalam bentuk tulisan dan karya digital untuk menjadi suar bagi mereka yang ceritanya tidak tersampaikan.

Tulisan ini merupakan bagian dari catatan perjalanan tersebut. Nantikan kelanjutan ceritanya di TelusuRI.id.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Tenun yang Menghidupi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/tenun-yang-menghidupi/feed/ 0 35455
Tanah Air Sabu https://telusuri.id/tanah-air-sabu/ https://telusuri.id/tanah-air-sabu/#comments Sat, 01 Oct 2022 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=35457 Mobil yang dikemudikan Rio melesat membawa kami menyusuri jalanan kecil Kota Kupang. Kupang adalah kota yang hidup, meski sarana dan prasarana yang tidak bisa dibandingkan dengan ibu kota provinsi di Jawa. Bemo yang menggarong di...

The post Tanah Air Sabu appeared first on TelusuRI.

]]>
Mobil yang dikemudikan Rio melesat membawa kami menyusuri jalanan kecil Kota Kupang. Kupang adalah kota yang hidup, meski sarana dan prasarana yang tidak bisa dibandingkan dengan ibu kota provinsi di Jawa. Bemo yang menggarong di jalanan sedikit mengingatkan saya akan jalanan Kota Bogor, meski jumlahnya kalah jauh. “Bemo di sini, kalau belok bahkan tidak pakai lampu sein,” ucap Oswald menambahkan. Angkutan umum yang sejenis memang sama seramnya, melibas siapapun yang menghalangi jalannya. Kami berkeliling hingga ke bagian kota lama. Mural-mural dan gedung tua serta pinggir laut mengisahkan gejala kota yang mengalami perubahan zaman.

Sepanjang jalan, saya bertanya pada Rio, kenapa pohon pisang tidak terlihat? Padahal di pinggir jalan di Jawa dan Bali, pohon-pohon pisang bisa tumbuh sembarangan.

“Mungkin karena tanah karang, jadi pohon pisang sulit tumbuh,” ucapnya menjawab pertanyaan polos saya. Tumbuhan yang termasuk dalam famili Musaceae hanya dapat tumbuh subur dalam curah hujan yang sedang-tinggi, dan di tanah Kupang adalah tanah yang musim kemaraunya lebih panjang dibanding musim hujan.

Tujuannya kami sebenarnya adalah Pulau Sabu. Kupang hanya perhentian selama beberapa jam saja, sebelum kami naik ke kapal. Oswald dan Rio mengajak kami melihat bagaimana matahari terbenam di Kupang. Matahari tenggelam di Kupang yang kami lihat, selalu ditemani laut dan satu-dua kapal yang sedang mengangkut kontainer dari dan ke Kupang. Cantiknya, langit tidak hanya berhenti sampai warna oren tua, melainkan hingga warna agak keunguan. Malam harinya, kami diantar menuju Pelabuhan Helong untuk masuk ke kapal Cantika 9E yang berangkat menuju Sabu pukul 9 malam dan tiba di Pulau Sabu pukul 8 pagi.

Kapal Cantika
Kapal Cantika/Arah Singgah

“Sabu apa-apa serba mahal,” terang Kaleb Piga saat mengisi bahan bakar oto yang menjemput kami di pelabuhan. Harga bensin di sini bukan lumayan mahal, tapi sangat mahal! Harga standarnya–untuk pertalite—saja sudah menyentuh angka 25 ribu dan beberapa waktu lalu pernah naik hingga 75 ribu per liternya.

“Masyarakat di sini sudah biasa, tidak pernah demo,” ucapnya dengan nada setengah tertawa. Bayangkan, jika harga tersebut menyentuh orang-orang yang hidup di perkotaan di pulau-pulau besar Indonesia. Paling tidak, demo tidak akan selesai hanya dalam dua jilid. Orang-orang Sabu, sudah dibiasakan sejak dulu bahwa untuk hidup, apa-apa harus membayar mahal.

Bersama Kaleb Piga naik oto
Bersama Kaleb Piga naik oto/Arah Singgah

Oto yang kami tumpangi merambat pelan di jalanan aspal, kemudian harus tergopoh-gopoh menaiki bukit yang berbatu ketika batas aspal sudah mulai pudar. Peradaban berjalan lambat di timur, pembangunan mesti menunggu puluhan tahun untuk sekedar mendapatkan jalan beraspal. Apalagi listrik, di Desa Lobohede—desa tempat kami akan menginap—baru ada listrik semenjak 2012.

Internet cepat? Desa ini baru dapat merasakan sinyal 4G pada tahun 2021, sebelumnya, orang-orang Desa Lobohede harus menempuh 2 kilometer ke atas bukit untuk bisa menikmati internet dengan kecepatan tinggi. “Dulu itu tiap sore sampai malam, orang-orang nongkrong di sana,” seraya menunjuk ke arah bukit yang telah kami lewati.

Kami berhenti tepat di depan rumah Kaleb Piga. Sebuah rumah sederhana yang terbuat dari batako menyambut kami, yang berjalan ke dalamnya sambil menggotong tas yang lumayan berat. “Taruh di kamar saja,” Kaleb Piga memberi arahan pada kami. Seorang wanita tua menyambut kami dengan sepatah kata yang tidak kami mengerti, tapi dari bahasa  tubuhnya, wanita itu mengisyaratkan kegembiraan.

Kaleb Piga dan keluarga
Kaleb Piga dan keluarga/Arah Singgah

Pekerjaan sehari-hari Kaleb Piga bekerja sebagai buruh bangunan–kalau tidak ada panggilan kerja, dia menikmatinya dengan menghabiskan hari-harinya bersama temannya. Selama seminggu kedepan, dia akan menemani kami menjelajahi sudut-sudut Lobohede. Panas sudah menjelang suhu tertingginya di Sabu, saatnya kami beristirahat barang sejenak sebelum kembali beraktivitas.

Hari-hari di Sabu diisi oleh kambing, anjing, sapi, dan kuda. Beberapa dengan santai menyeberang jalan, karena jalanan yang tidak sering dilalui kendaraan. Tahi kambing adalah warna lain di tanah selain warna coklat rumput yang mengering. Gurat senja tidak pernah terkekang mendung dan angin muson timur berhembus di sela-sela tembok rumah Kaleb Piga yang belum diplester. Rumah modern yang mulai menggantikan rumah ammu iki, rumah khas Sabu yang beratapkan daun lontar kering.

Rumah ammu iki yang menghiasi pinggir jalanan Pulau Sabu
Rumah ammu iki yang menghiasi pinggir jalanan Pulau Sabu/Arah Singgah

Rumah-rumah di Lobohede lumayan berjarak satu sama lain, sehingga ada ruang yang luas untuk anak-anak bermain. Anak-anak belajar menari tarian lendo untuk pementasan acara 17 Agustus mendatang. Dengan masih memakai seragam sekolah, mereka dengan lincah menari diikuti irama gendang dan gong.

Anak-anak yang berlatih tari ledo khas Sabu (2)
Anak-anak yang berlatih tari ledo khas Sabu/Arah Singgah

Irama gendangnya mengingatkan saya dengan tabuhan genderang para pendukung sepak bola ketika menyaksikan tim kesayangan mereka bertanding. Derap langkah mereka menerbangkan kumpulan tanah gersang. Gerakan yang apik itu terus menyatu dengan tabuhan gendang yang semakin intens. Hanya tersisa lima hari sebelum pementasan berlangsung. 

Di Sabu, hari-hari berlalu dengan terik yang memanggang di siang hari. Sama seperti di kota, smartphone memegang peranan penting untuk menghubungkan Sabu dengan dunia luar. Orang Sabu tidak ketinggalan untuk tetap mengikuti tren yang terjadi di luar jangkauan mereka—termasuk kasus Sambo. Untuk berita lokal, mereka mengikuti satu grup Facebook yang cukup aktif memberikan informasi terbaru bagi warga Sabu. Dari sekedar info antrian bensin hingga jadwal kapal. Berita menyebar secepat kilat di pulau yang tidak lebih luas dari Jakarta.

Lobohede tidak pernah kekurangan air. Meski terik membakar peluh dan mengusir hujan, air-air di Lobohede selalu tersedia. Intensitas hujan yang sedikit hanya mempengaruhi rasa dari air yang berubah menjadi sedikit asin. Sumur-sumur bertebaran di sekitar pekarangan warga. Yang jelas, Lobohede hanya kekurangan hujan, bukan kekurangan air.

Patung Yesus/Arah Singgah

Patung Yesus yang baru dibangun itu merentangkan tangan, terlihat jelas dari jalanan yang menghadap bandara. Bandara kecil Pulau Sabu melayani berbagai rute dari dan ke Sabu. Pesawat yang digunakan pun pesawat rintisan yang masih memakai baling-baling. Tapi bandara itu tidak seramai aktivitas Pelabuhan Seba yang selalu ramai oleh orang-orang yang berjubel keluar masuk kapal.

***

Pada Agustus 2022, TelusuRI mengunjungi Bali, Kupang, Pulau Sabu, hingga Flores Timur dalam Arah Singgah: Menyisir Jejak Kepunahan Wisata, Sosial, Budaya—sebuah perjalanan menginventarisasi tempat-tempat yang disinggahi dalam bentuk tulisan dan karya digital untuk menjadi suar bagi mereka yang ceritanya tidak tersampaikan.

Tulisan ini merupakan bagian dari catatan perjalanan tersebut. Nantikan kelanjutan ceritanya di TelusuRI.id.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Tanah Air Sabu appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/tanah-air-sabu/feed/ 1 35457