salatiga Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/salatiga/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Thu, 15 Aug 2024 15:41:20 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 salatiga Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/salatiga/ 32 32 135956295 Liburan Sederhana di Salatiga https://telusuri.id/liburan-sederhana-di-salatiga/ https://telusuri.id/liburan-sederhana-di-salatiga/#respond Sun, 18 Aug 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42526 Sebuah masa yang ditunggu semua orang telah menghantui. Rencana telah dirancang sedemikian rupa hingga siap merajut memori baru. Libur tengah tahun menjadi momentum menggembirakan baik bagi pelajar, mahasiswa, pekerja, terlebih para perantau. Semusim telah dilalui...

The post Liburan Sederhana di Salatiga appeared first on TelusuRI.

]]>
Sebuah masa yang ditunggu semua orang telah menghantui. Rencana telah dirancang sedemikian rupa hingga siap merajut memori baru. Libur tengah tahun menjadi momentum menggembirakan baik bagi pelajar, mahasiswa, pekerja, terlebih para perantau. Semusim telah dilalui dengan memenuhi kaleng kerinduan terhadap kampung halaman. Saya adalah salah satunya. 

Merantau jauh di luar pulau yang saya kenal tentu mengundang banyak kerinduan. Berusaha mengalihkan perhatian dari Bumi Sriwijaya untuk senantiasa kerasan di Yogyakarta cukup menguras tenaga. Bagi saya, liburan kali ini tidak seistimewa seperti para perantau yang mengindahkan masa cutinya untuk mudik ke tanah kelahiran. Saya tetap di Pulau Jawa. Mengunjungi kerabat yang berada di Salatiga, sebuah kota yang terkenal dengan julukan “Hati Beriman”.

Liburan Sederhana di Salatiga
Menemui bapak-bapak di sawah saat menghabiskan waktu liburan di Salatiga/Karisma Nur Fitria

Perjalanan Menuju Salatiga

Saya menempuh perjalanan dari Yogyakarta menuju Salatiga dengan memesan travel. Saya sudah merasa cukup untuk naik bus antarkota Solo–Semarang dengan segala problematikanya. Sungguh, travel adalah pilihan terbaik apabila dompet tidak sedang paceklik. Cukup menyiapkan ongkos sebesar Rp65.000 sudah dapat menikmati perjalanan dengan nyaman dan aman—semoga.

Jalan berliku-liku mulai diterjang bus shuttle berwarna merah ini. Ditemani pemandangan yang tidak selalu menyejukkan mata, perjalanan selama kurang lebih 2 jam 30 menit itu cukup menyegarkan diri dari hiruk-piruk padatnya Kota Yogyakarta. Sekali, dua kali, akan disuguhkan indahnya pemandangan sawah yang terbentang. Tidak lupa pula dengan suasana macetnya jalanan di sore hari, dibarengi keriuhan pengendara yang ingin segera sampai rumah selepas letih bekerja. 

Saya memilih jadwal perjalanan pada pukul 15.30 WIB. Saya sengaja tidak ingin terburu waktu untuk menyiapkan diri agar lebih nyaman menikmati perjalanan di sore hari. Tepat 30 menit sebelum keberangkatan, saya disiplin dan sudah menunggu shuttle yang akan membawa menuju Salatiga. Tidak butuh waktu lebih lama lagi untuk segera berangkat. Minibus yang saya nantikan telah tiba. 

Sewaktu berjalan bersama serombongan orang yang memiliki tujuan sama, saya bertanya kepada seorang ibu paruh baya soal tujuannya. Dengan sangat kebetulan, ternyata saya adalah penumpang yang duduk tepat di sebelahnya. Begitu ramah ia membuka pembicaraan.

Perbincangan kami singkat, tetapi mampu membuat saya terkagum-kagum kepadanya. Ia merupakan seorang ibu yang sengaja meliburkan diri sebagai seorang ibu. Berangkat dari Bintaro, lalu merebahkan diri sejenak di Yogyakarta, hingga berlabuh ke Salatiga. Sendirian. Begitu hebatnya ia menceritakan “me timenya. 

Selepas beradu cerita, saya dan si Ibu terlelap. Tidak terasa, berpedoman pada aplikasi peta di gawai, ternyata tidak kurang dari 15 menit lagi saya tiba. Sekitar pukul 18.00 sopir menuruti perintah saya untuk memberhentikan mobil di Terminal Tingkir. Suasana dingin menyambut kedatangan saya dengan kasar, menusuk hidung dan tulang belakang. Rasa-rasanya memang tidak ada yang menandingi hawa dingin tempat ini sejauh saya pergi.

Liburan Sederhana di Salatiga
Kawanan bebek adus kali di pinggir sawah/Karisma Nur Fitria

Menjelajah Sawah, Meleburkan Diri

Besok paginya, Sabtu (29/6/2024), saya diajak berkeliling sekitar. Siapa yang tidak setuju dengan kenikmatan udara pagi di sawah?

Tidak jauh dari rumah, cukup lurus saja—begitu petunjuknya. Saya menemukan keajaiban alam Tuhan yang dibantu manusia dalam menatanya. Bentangan sawah seperti anak tangga yang menyegarkan sejauh mata memandang. 

Suasana tersebut belum pernah saya temukan di tanah kelahiran. Apalagi ditambah bumbu kesejukan yang datang dari gemercik sungai jernih menambah kekhidmatan sawah ini. Seketika saya ingat lirik lagu Bebek Adus Kali. Begitulah yang terlintas dalam benak saya ketika melihat sekumpulan bebek dengan riang, nyaman, dan gembira bermain air di kali. Pemandangan ini baru saya dapatkan di sini. Sederhana saja, melihat lenggak-lenggok bebek berenang dengan anggun dan membuat saya tertawa. Sembari membayangkan lirik lagu tadi, bagi saya pengalaman seperti ini sudah cukup bikin puas. 

Melanjutkan penjelajahan, saya dipertemukan dengan seorang petani. Ia tengah khusyuk membajak sawah dengan “sapi modern” yang disebut traktor. Tanah yang tadinya rata menjadi tak keruan bentuknya. Begitulah prosesnya. Sesuatu yang tampak baik belum tentu cocok untuk sesuatu yang tengah disiapkan. 

Liburan Sederhana di Salatiga
Seorang petani tengah membajak lahan sawahnya/Karisma Nur Fitria

Pagi yang sejuk mulai memancarkan sengatan matahari. Tentu saja hal ini tidak menyurutkan semangat petani itu membajak sawahnya. Mendorong traktor andalannya mondar-mandir, yang tampaknya mudah dan sangat seru.

Petani tersebut menyadari kehadiran saya lalu memberikan senyum ramah dan berbalas sapaan pula. Terjadilah percakapan singkat di antara kami. Sebatas bertanya dari mana petani itu mengenal saya sebagai kerabat dari salah seorang warga di sana.

Sebuah desa di Salatiga bernama Medayu, benar-benar menunjukkan keramahtamahan khas orang Jawa. Sepanjang saya melalui jalan menuju sawah, banyak orang dengan ramahnya saling tegur sapa. Mengobrol dengan nyaman di pinggir sawah sambil mengisap tembakau sungguh menjadi pemandangan yang damai. Seperti bapak-bapak itu, yang perbincangannya terdengar menarik sekali. Layaknya para pemuda yang tengah asyik nongkrong di kafe, mereka—para mantan pemuda—nongkrong di sawah dengan nikmat.

Liburan kali ini memang belum jadi liburan terbaik, tapi sudah jadi momen liburan saya yang paling istimewa. Melihat sawah beserta para penghuninya sungguh menenangkan. Celengan kerinduan terhadap Sungai Musi tidak tergadai dengan keberadaan sungai di sawah ini. Akan tetapi, Medayu mampu membawa saya mengagumi Salatiga.

Sawah yang mahal, begitulah sekiranya ungkapan paling tepat untuk tempat ini. Tentu mahal, dilihat dari segala hasil alamnya sebagai ciptaan Tuhan yang tidak ada tandingannya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Liburan Sederhana di Salatiga appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/liburan-sederhana-di-salatiga/feed/ 0 42526
Tapak Tilas Leluhur Gus Dur di Desa Ngroto (2) https://telusuri.id/tapak-tilas-leluhur-gus-dur-di-desa-ngroto-2/ https://telusuri.id/tapak-tilas-leluhur-gus-dur-di-desa-ngroto-2/#respond Fri, 12 Jan 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40900 Selain yang disampaikan oleh Mbah Bejo, saya juga menemukan versi lain terkait silsilah leluhur Gus Dur. Dari buku Jejaring Ulama Diponegoro: Kolaborasi Santri dan Ksatria Membangun Islam Kebangsaan Awal Abad ke-19 (2019) karya Zainul Milal...

The post Tapak Tilas Leluhur Gus Dur di Desa Ngroto (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Selain yang disampaikan oleh Mbah Bejo, saya juga menemukan versi lain terkait silsilah leluhur Gus Dur. Dari buku Jejaring Ulama Diponegoro: Kolaborasi Santri dan Ksatria Membangun Islam Kebangsaan Awal Abad ke-19 (2019) karya Zainul Milal Bizawie, diketahui nama ayah Kiai Asy’ari adalah Kiai Abdul Wahid. Bukan Kiai Khoiron.

Zainul Milal Bizawie menyebutkan bahwa Kiai Abdul Wahid atau Pangeran Gareng mendirikan pesantren di Ngroto, Grobogan yang saat itu masih wilayah Demak. Putranya, Kiai Asy’ari lahir di Demak, Jawa Tengah, sekitar tahun 1830. 

Zainul Milal Bizawie juga menyebutkan, Kiai Abdul Wahid menjadi komandan pasukan Pangeran Diponegoro di bawah panglima senior Alibasyah Prawirodirdjo. Nasab Kiai Asy’ari merujuk hingga ke Pangeran Benowo bin Jaka Tingkir (Sultan Pajang).  

Versi lainnya lagi, sebagaimana diungkap oleh Ainul Yaqin dan Muhammad Malik dalam artikel berjudul Menyelisik Identitas Buyut Gus Dur (2020), menyebutkan antara Kiai Asy’ari dan Kiai Abdul Wahid terdapat nama Abu Sarwan. Dengan begitu, Asy’ari adalah putra Abu Sarwan, bukan Abdul Wahid. Jadi, jika dirunut, bisa disebutkan Kiai Asy’ari bin Abu Sarwan bin Kiai Abdul Wahid. Maka timbul kemungkinan Abu Sarwan adalah nama lain dari Mbah Gareng. 

Tapak Tilas Leluhur Gus Dur di Desa Ngroto (2)
Buku Zainul Milal Bizawie yang menyebutkan silsilah leluhur Gus Dur/Toko Buku Oase

Mengurai Silsilah yang masih Menyimpan Pertanyaan 

Di sisi lain, ada penemuan makam buyut K. H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) lainnya lagi di Tingkir, Salatiga. Sekitar tahun 2000-an, makam tersebut ditemukan lalu disematkan oleh masyarakat sebagai makam Mbah Abdul Wahid. Akan tetapi, sejauh penelusuran, Abu Sarwan juga berasal dari Tingkir sebagaimana asal Mbah Gareng yang telah dijelaskan sebelumnya.

Hal ini semakin tepat kalau Mbah Gareng merupakan Pangeran Gareng seperti disebut Zainul Milal Bizawie. Ditambah lagi, masih di dalam bukunya, Zainul Milal Bizawie juga menyebutkan Pangeran Gareng atau Kiai Abdul Wahid pernah mendirikan pesantren di Ngroto. Dari ragam nama yang muncul dalam silsilah leluhur Gus Dur tersebut, saya menduga nama Khoiron, Abdul Wahid, Abu Sarwan, dan Mbah Gareng atau Pangeran Gareng, mengerucut pada satu sosok yang sama. 

Kesimpangsiuran semacam ini, sebagaimana disebutkan Ainul Yaqin dan Muhammad Malik, boleh jadi disebabkan Abdul Wahid—yang dikenal sebagai Pangeran Gareng—pernah ditangkap oleh Belanda dan diasingkan. Lalu beliau melarikan diri dari kejaran Belanda dan menyamar dengan berganti-ganti nama. Untuk itu sulit mengetahui nama asli dan asal-usulnya.

Tapak Tilas Leluhur Gus Dur di Desa Ngroto (2)
Gapura masuk ke makam Mbah Abdul Wahid di Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir, Salatiga/tangkapan layar channel YouTube GSM Berbudaya

Mempertanyakan Makam Leluhur Gus Dur di Salatiga

Lalu, siapa sebenarnya nama leluhur Gus Dur yang terdapat di makam Tingkir, Salatiga?

Juru kunci makam Mbah Abdul Wahid di Tingkir, Sadzali Marjan, dalam sebuah video wawancara dengan rombongan peziarah yang diunggah di YouTube oleh channel Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah pada 15 November 2021, menyebutkan Abdul Wahid adalah ayah dari Mbah Khoiron alias Mbah Gareng yang makamnya ada di Ngroto. Sadzali Marjan juga mengatakan Mbah Gareng juga dikenal dengan nama Abu Sarwan dan Khoiron.  

Di kesempatan lain, Sadzali Marjan, seperti dikutip dari Tribun Muria (05/01/2023), menyebut makam Mbah Abdul Wahid yang ada di Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga, merupakan salah satu keluarga Gus Dur. Mbah Abdul Wahid merupakan salah satu pasukan telik sandi pada Perang Jawa sekitar tahun 1825 dan ditempatkan di Salatiga.

Masih menurut Sadzali Marjan, Mbah Abdul Wahid bergabung dengan laskar yang dipimpin oleh Kiai Modjo. Mbah Wahid ditugaskan memata-matai pergerakan Belanda di Salatiga dan cukup lama ikut dalam perang melawan penjajah. 

Mbah Wahid direkrut oleh Kiai Modjo, yang saat itu diberi tugas oleh Pangeran Diponegoro untuk merekrut kiai ngaji dan warga untuk laskar Pangeran Diponegoro. Adapun Mbah Abdul Wahid berasal dari Kabupaten Boyolali. Mengingat penugasannya sebagai mata-mata, keluarga Mbah Abdul Wahid tidak diajak ke Salatiga.

Namun, Sadzali Marjan mengaku warga sekitar mengenal Mbah Abdul Wahid sebagai Mbah Maksum. Nama Mbah Wahid sendiri, menurutnya, baru dikenal 20 tahun ke belakang berdasarkan catatan dari keluarga Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang.

Tapak Tilas Leluhur Gus Dur di Desa Ngroto (2)
Kompleks makam Mbah Abdul Wahid/Muhamad Nuraeni

Namun, silsilah yang disampaikan oleh Sadzali Marjan bertentangan dengan apa yang disampaikan oleh K. H. M. Ishom Hadziq, salah seorang cucu K. H. Hasyim Asy’ari. Menurut K. H. M. Ishom Hadziq, sebagaimana dikutip oleh Fathoni Ahmad dalam artikel berjudul Sosok Kiai Asy’ari, Ayahanda Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari di NU Online (17/02/2020), ayah Kiai Asy’ari bernama Abdul Wahid bin Abdul Halim. Abdul Wahid merupakan salah seorang komandan pasukan Diponegoro yang menggunakan nama Pangeran Gareng di bawah Panglima Sentot Alibasyah Prawirodirdjo. 

Dari situ, saya menduga makam yang ada di Tingkir adalah makam Abdul Halim—bila memang dinisbatkan dengan nasab Gus Dur. Bukan Abdul Wahid sebagaimana yang tersemat. Rujukan lain saya dapat dari ceramah K. H. Ahmad Muwafiq alias Gus Muwafiq, seorang ulama muda NU dari Yogyakarta yang juga dikenal sebagai seorang pengkaji sejarah Islam Nusantara.

Dalam sebuah kesempatan mengisi pengajian di sebuah desa di Boyolali, Gus Muwafiq sempat menyampaikan urutan silsilah keilmuan Mbah Gareng atau Mbah Khoiron. Menurut Gus Muwafiq, Mbah Asy’ari belajar ke Mbah Khoiron atau Mbah Gareng. Lalu Mbah Khoiron belajar ke Mbah Abdul Halim. Maka, dari sini tampak sangat berkesinambungan dan terdapat benang merah jika Asy’ari adalah putra Abdul Wahid, lalu Abdul Wahid merupakan putra Abdul Halim.

Dengan demikian, menjadi lebih jelas dan logis dengan urutan silsilah berikut: Abdul Halim menurunkan Khoiron alias Abdul Wahid alias Abu Sarwan alias Mbah Gareng alias Pangeran Gareng, lalu menurunkan Asy’ari, lalu menurunkan Hasyim, lalu menurunkan Wahid, lalu menurunkan Abdurrahman Ad-Dakhil (Gus Dur). Kendati demikian, silsilah ini hanyalah analisis ringan saya mengacu pada sejumlah sumber yang ada. Tentu butuh analisis dan penelusuran lebih mendalam dari para ahli, sehingga didapatkan silsilah yang lebih valid dan autentik. Wallahu a’lam.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Tapak Tilas Leluhur Gus Dur di Desa Ngroto (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/tapak-tilas-leluhur-gus-dur-di-desa-ngroto-2/feed/ 0 40900
Sepenggal Kisah dari Lawatan ke Pendiri Salib Putih Salatiga https://telusuri.id/kisah-dari-lawatan-ke-makam-pendiri-salib-putih-salatiga/ https://telusuri.id/kisah-dari-lawatan-ke-makam-pendiri-salib-putih-salatiga/#respond Thu, 01 Dec 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36272 Tempo hari setelah seharian singgah ke Salib Putih Salatiga, hari berikutnya saya putuskan untuk ziarah menuju pusara dua dermawan berbeda kebangsaan sekaligus pendiri Salib Putih yakni Adolf Theodorus Jacobus van Emmerik dan Alice Cleverly. “Oh,...

The post Sepenggal Kisah dari Lawatan ke Pendiri Salib Putih Salatiga appeared first on TelusuRI.

]]>
Tempo hari setelah seharian singgah ke Salib Putih Salatiga, hari berikutnya saya putuskan untuk ziarah menuju pusara dua dermawan berbeda kebangsaan sekaligus pendiri Salib Putih yakni Adolf Theodorus Jacobus van Emmerik dan Alice Cleverly.

“Oh, makam Emmerik di tengah kebun kopi, Mas! Lurus sama gereja.”

Dengan mengandalkan GPS (Gunakan Penduduk Setempat), saya memberanikan diri berangkat menuju makam Emmerik. Hanya ada satu jalan menuju ke sini, yakni melalui perkebunan kopi milik PTPN Banaran.

Jalan menembus hutan
Jalan menuju makam keluarga Van Emmerik/Ibnu Rustamadji

Pintu Masuk Pusara Emmerik dan Alice Cleverly

Dari jalan utama Salatiga–Kopeng, ke arah makam lewat jalan tanah, kanan dan kirinya terhampar perkebunan kopi. “Asli kebun kopi. Ceri merah atau biji kopi matang siap panen,” gumam saya ketika menapaki jalan menuju makam.

Perjalanan membutuhkan waktu kurang lebih 20 menit, dengan mengendarai motor dari jalan raya. Setibanya di sana, saya kaget bukan kepalang karena saya kira hanya ada dua makam, ternyata tiga!

Berbekal informasi dari Hans Boers, seorang rekan pemerhati makam Belanda di Indonesia, saya mendapatkan cerita di balik keluarga Emmerik.

Adolf Theodorous Jacobus van Emmerik, kelahiran Jacob van Campenstraat 40 Amsterdam tanggal 2 September 1857. Ia merupakan anak dari Jan. Jacobus van Emmerik dan Elisabeth Getruida van Schie. Adolf Th. Jacobus van Emmerik, dikenal sebagai pemimpin “Bala Keselamatan” Salib Putih Salatiga. 

Di Salatiga, ia memiliki dua orang istri. Istri pertama bernama, Charlotta Elisabeth Louise Zeijdel. Mereka menikah pada tanggal 4 April 1888, namun pernikahannya tidak berlangsung lama. Sang istri wafat, enam bulan kemudian tepatnya tanggal 11 Oktober 1888.

Istri kedua bernama, Alice Cornelia Cleverly dinikahi pada tanggal 21 November 1897 di Semarang. Alice Cleverly kelahiran Weistraat No. 87 Bis. London, anak dari Harij Cleverleij dan Sarah Moseij.

Pasca pernikahannya, Alice Cleverly menjadi ajudan Emmerik di “Bala Keselamatan” Salib Putih Salatiga. Menurut Han Boers, mereka tidak bekerja sendirian. Ada beberapa organisasi masyarakat yang membantunya, beberapa di antaranya Vereeniging Oost en West, Vrouwencomité Batavia, dan Assistant Vereeniging Deli. Tidak hanya tenaga, mereka membantu Emmerik dari sisi finansial dan ketrampilan, terutama dari Vrouwencommite Batavia.

“Mereka [Vrouwencommite] membantu memberikan keterampilan untuk para perempuan. Ya, namanya saja vrouw punya artinya nona atau nyonyah, bisa juga ibu,” lanjutnya.

Selain organisasi yang saya sebut sebelumnya, Emmerik dan Cleverly juga mendapatkan dukungan dari Pa van der Steur dan beberapa anggota Vrijmetselarij Magelang. ”Tahu kan tokoh kemanusiaan dari Magelang, Pa van der Steur, dan perannya mengurus anak asuhnya? Bayangkan kalau Salib Putih sampai saat ini bekerjasama dengan organisasi milik Pa van der Steur. Tentu akan sangat bermanfaat untuk anak-anak kurang mampu.”

Emmerik wafat pada 9 Juli 1924, pukul empat sore. Menurut catatan sejarah milik Hans Boers, upacara pemakaman Emmerik dipimpin oleh Dr. Kamp. Nyanyian pujian oleh anak-anak Sekolah Dasar Kristen Pribumi Tingkir, anak didik Emmerik, dan tiga anak asuh Pa van der Steur mengawali prosesi pemakaman. Cleverly kemudian memberikan sambutan dan ucapan terima kasih sebelum akhirnya upacara selesai pukul enam sore.

  • Cungkup makam
  • Makam Kristen
  • Pohon kopi

Sepeninggal Emmerik, Cleverly meneruskan pelayanan. Misi berikutnya selain mengurus anak-anak kurang mampu yakni mendirikan beberapa sarana pendukung upaya penyelamatan.

“Beberapa misi Cleverly yakni mendirikan Nieuwe Keuken, Nieuwe Ziekenhuis, Nieuwe Rijstschuur, Nieuwe Werkloods voor Rijst-Stampen, dan memperluas ajaran Kristen bagian dari misi Zending di Jawa Tengah,” jelas Hans Boers.

Tahun 1930, pemerintah kerajaan Belanda menganugerahi Alice Cleverly dengan “Orde van de Nederlandse Leuw, graad Zilver” dan “Orde Oranje-Nassau, Rider”. 

“Luar biasa mereka berdua itu, Mas,” lanjutnya.

“Siapa Louise Cleverly, apakah anaknya?” tanya saya pada Hans.

“Bukan, Louise Cleverly [yang dimakamkan di sini] merupakan adik dari Alice Cleverly. Ia datang di Salatiga tahun 1903, untuk membantu para ibu di Salib Putih. Louise Cleverly wafat pada tanggal 26 Juli 1942.

Simbol Keabadian Cinta

Alice Cleverly wafat 5 bulan kemudian setelah sang adik, yakni pada tanggal 20 Desember 1942. Ketiganya dikubur berdampingan di rumah mereka Salib Putih Salatiga. Yang menjadikan menarik, makam keluarga van Emmerik ini adalah inskripsi menyentuh di salah satu nisanya.

“… Di mana Engkau Bermalam, 

Disitu Jugalah Aku Bermalam.

Bangsamulah Bangsaku.

Kamu adalah Aku, dan

Aku adalah Kamu.

Di mana Engkau Mati

Akupun  Mati Disana, dan 

Di sanalah Aku Dikuburkan Dengan Engkau…”

Inskripsi ini terpahat di nisan Alice Cleverly, tepatnya di atas sebuah pahatan berbentuk buku yang terbuat dari batu andesit. Simbol kasih sayang dua orang dermawan di Salatiga ini menurut saya meski sederhana, namun memiliki makna yang dalam.

Nisan Makam
Nisan Keluarga Van Emmerik dan Alice Cleverly/Ibnu Rustamadji

Pada waktu-waktu tertentu makam Emmerik diziarahi, kemungkinan oleh pengelola Yayasan dan anak-anak panti asuhan Salib Putih.

Langit Salib Putih mulai berubah warna kuning keemasan, tidak saya sadari sudah sore sekitar pukul setengah lima lebih. Masih sore, tapi karena berada di tengah kebun kopi, saya putuskan untuk menyudahi ziarah.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Sepenggal Kisah dari Lawatan ke Pendiri Salib Putih Salatiga appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kisah-dari-lawatan-ke-makam-pendiri-salib-putih-salatiga/feed/ 0 36272
Berburu Kuliner Bersejarah Khas Salatiga (2) https://telusuri.id/berburu-kuliner-bersejarah-khas-salatiga-2/ https://telusuri.id/berburu-kuliner-bersejarah-khas-salatiga-2/#respond Fri, 19 Aug 2022 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=34863 Di Jawa Tengah, beberapa daerah populer dengan kuliner sotonya, seperti Kudus (soto kudus), Pati (soto kemiri), Semarang (soto semarang), Kebumen (Soto Petanahan), Tegal (sauto), Pekalongan (tauto), Boyolali (soto seger), Blora (soto kletuk),  dan lain sebagainya....

The post Berburu Kuliner Bersejarah Khas Salatiga (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Di Jawa Tengah, beberapa daerah populer dengan kuliner sotonya, seperti Kudus (soto kudus), Pati (soto kemiri), Semarang (soto semarang), Kebumen (Soto Petanahan), Tegal (sauto), Pekalongan (tauto), Boyolali (soto seger), Blora (soto kletuk),  dan lain sebagainya. Salatiga juga memiliki kuliner soto meski tak secara spesifik disebut sebagai soto khas Salatiga.

Ada beberapa soto terkenal di Salatiga, di antaranya soto parmoso, soto kesambi, soto Cak Kur, soto reksa, Soto Pak Iket, dan soto esto. Dua di antara soto yang saya sebutkan itu, masuk ke dalam 10 Kuliner Bersejarah (Culinary Heritage) Salatiga, yaitu soto kesambi dan soto esto.

Akhirnya, Soto Esto yang saya pilih sebagai destinasi kuliner bersejarah kedua dalam lawatan ke Salatiga kali ini. Setelah jeda sejenak dari menyantap seporsi tumpang koyor Mbah Rakinem, saya memanfaatkan kesempatan meluncur ke Jalan Langensuko—tempat Soto Esto berada. Kebetulan jadwal saya mengisi acara literasi bakda zuhur.

Soto Esto Sejak Tahun 1940

Berpose di depan Soto Esto di Jalan Langensuko 4, Salatiga. [Badiatul Muchlisin Asti]
Berpose di depan Soto Esto di Jalan Langensuko 4, Salatiga/Badiatul Muchlisin Asti

Seperti telah saya sampaikan, soto esto masuk sebagai salah satu dari 10 Kuliner Bersejarah Salatiga (Salatiga Culinary Heritage). Karena itu, selepas tandas menyantap seporsi soto esto, saya segera menemui Sulasmi—generasi kedua penerus Soto Esto. Saya ingin mengulik sejarah Soto Esto langsung dari sumbernya.

Menurut Ibu Sulasmi—begitu kemudian saya menyapanya, Soto Esto dirintis oleh kedua orangtuanya, Martosetiko dan Sudarmi, sejak tahun 1940. Awal-awal berjualan keliling, dan ketika sore hari mangkal sebentar di depan garasi Bus Esto. Lalu pada tahun 1953 mulai berjualan menetap di depan garasi Bus Esto, sehingga kemudian nama sotonya terkenal dengan nama Soto Esto hingga sekarang. 

Saat Martosetiko masih berjualan keliling, kelezatan sotonya memikat lidah para kru Bus Esto. Sehingga mereka menjadikan soto itu sebagai langganan. Pelanggan yang semakin ramai—tidak hanya dari kru Bus Esto, membuat pemilik bus memberikan tempat berjualan di depan garasi pada tahun 1953. Sejak saat itu, Martosetiko tak perlu berjualan keliling lagi.

Esto sendiri merupakan nama bagi perusahaan otobus legendaris di Salatiga yang tercatat telah berdiri sejak zaman kolonial Belanda. Purwanti Asih Anna Levi dalam artikel “Esto, Bus Legendaris Salatiga” (Kompasiana, 2/2/2015) menyebutkan, cikal bakal Esto adalah perusahaan transportasi pertama di Salatiga yang didirikan pada 1921 oleh Kwa Tjwan Ing. Nama Esto diberikan pada tahun 1923. Esto merupakan singkatan dari Eerste Salatigasche Transport Onderneming (Perusahaan Transportasi Pertama Salatiga). 

Dari nama tempat mangkal inilah, sekali lagi, nama Soto Esto berasal. Nama itu diberikan oleh para pembeli untuk mempermudah menyebut soto langganan mereka. Jadilah, nama Soto Esto tersemat hingga sekarang—meski pada tahun 2009 pindah berjualan ke tempatnya yang sekarang, yaitu di Jalan Langensuko No.  4 Salatiga atau belakang Grand Wahid Hotel.

Tahun 1991, Soto Esto diwariskan ke generasi kedua yaitu Sulasmi yang mengelola Soto Esto hingga sekarang. Sejarah yang panjang menjadikan Soto Esto ditetapkan sebagai salah satu dari 10 kuliner bersejarah Salatiga.

Soto Santan dengan Toping Kerupuk Karak

Soto Esto dengan lauk pelengkapnya. [Badiatul Muchlisin Asti]
Soto Esto dengan lauk pelengkapnya/Badiatul Muchlisin Asti

Soto esto sendiri adalah soto bersantan dengan warna kekuningan—karena penggunaan kunyit dalam bumbunya. Cita rasanya gurih, namun gurihnya lembut dengan rasa rempah yang kuat. Proteinnya menggunakan ayam kampung—yang ini menjadi ciri khas yang tetap dipertahankan.

Kepada saya, Ibu Sulasmi mengatakan, resep soto estonya masih otentik seperti resep dari orangtuanya. Tidak berubah sama sekali. Dalam seporsi soto esto berisi nasi dengan kuah yang dipadukan dengan suwiran ayam, tauge, kemudian diberi taburan daun seledri. Ciri khas lainnya adalah adanya toping kerupuk karak yang diremuk, sehingga mencuatkan cita rasa sedap yang khas.

Sebagaimana sajian soto pada umumnya, soto esto juga dilengkapi berbagai lauk sebagai pendamping menyantap soto, yaitu berupa aneka sate seperti sate ayam dan sate telur puyuh; juga gorengan seperti perkedel dan tempe goreng.

Warung Soto Esto buka mulai jam 06.00 hingga jam 13.00. Bila datang dan ingin mencicipi soto esto usahakan pagi, karena kalau siang bisa jadi sotonya sudah habis. Soto esto sangat cocok disantap selagi panas atau hangat, sebagai menu sarapan atau makan siang, di tengah kondisi Kota Salatiga yang berhawa dingin. 

Selepas dari Soto Esto, saya bertolak menuju Masjid Raya Darul Amal Salatiga untuk menunaikan jemaah salat Zuhur. Setelah itu, bergegas menuju lokasi tempat acara literasi—yang menjadi tujuan utama saya melawat ke Salatiga.  

Membeli Oleh-oleh Getuk Kethek

Getuk Kethek, getuk satu rasa khas Salatiga sejak 1965-an. [Badiatul Muchlisin Asti]
Getuk Kethek, getuk satu rasa khas Salatiga sejak 1965-an/Badiatul Muchlisin Asti

Tak lengkap rasanya kulineran tanpa membawa oleh-oleh khas daerah setempat. Karenanya, saya pun mengagendakan untuk membeli oleh-oleh khas Salatiga. Getuk kethek akhirnya yang saya pilih. Getuk kethek sendiri adalah kuliner yang juga termasuk dalam daftar 10 kuliner bersejarah khas Salatiga yang ditetapkan oleh Pemkot Salatiga. 

Jam tiga kurang sedikit, saat misi utama saya mengisi acara literasi usai, saya bergegas pulang kembali ke Grobogan. Namun sebelum pulang, terlebih dahulu, saya bertolak menuju Jalan Argo Tunggal, Salatiga—tempat kedai getuk kethek berada.

Apa yang istimewa dari getuk kethek? Kalau saya sih, pertama-tama tentu soal namanya yang unik dan eksentrik. Kenapa kok disebut getuk kethek? Ini yang membuat penasaran.

Getuk kethek sebenarnya adalah sejenis getuk satu rasa alias getuk pada umumnya. Berbeda dengan getuk ala Magelang yang menamakan diri sebagai getuk tiga rasa. Namun, nama getuk satu rasa kurang populer, yang populer dan moncer justru nama getuk kethek.

Dari mana nama kethek berasal? Ternyata, nama kethek berasal dari monyet yang dipelihara oleh pemilik usaha getuk. Monyet itu diikat pada sebatang pohon di teras rumah. Adanya monyet itulah yang membuat warga kerap menyebut getuk kethek. Kethek adalah bahasa Jawa yang berarti monyet. 

Hingga saat ini, bila kita bertandang ke kedai getuk kethek di Jalan Argo Tunggal No. 9 Salatiga, kita masih bisa menjumpai monyet itu di teras rumah. Meski monyetnya konon sudah berganti, namun monyet di teras rumah itu seolah menjadi ikon yang dilestarikan untuk memperkuat brand getuk kethek.  

Getuk kethek sendiri memiliki jejak historis yang panjang. Dirintis Suwarni sejak tahun 1965-an. Lalu beralih generasi tahun 1988—diteruskan oleh anaknya yang bernama Santoso, hingga sekarang. Getuk kethek dijual per kotak  berisi 20 potong. Tersedia dua pilihan, yang original (basah) dan yang goreng.

Getuk kethek digemari tidak hanya warga lokal Salatiga, namun juga pendatang dari berbagai penjuru luar kota. Getuk kethek kini telah menjelma menjadi oleh-oleh khas Salatiga yang cukup populer.

Perburuan saya terhadap kuliner bersejarah khas Salatiga berhenti hanya pada tiga kuliner saja,  mengingat keterbatasan waktu. Mobil yang saya tumpangi pun bergegas melaju menuju Grobogan—kota tinggal saya, berharap esok bisa mencicipi kuliner bersejarah khas Salatiga lainnya. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Berburu Kuliner Bersejarah Khas Salatiga (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/berburu-kuliner-bersejarah-khas-salatiga-2/feed/ 0 34863
Berburu Kuliner Bersejarah Khas Salatiga (1) https://telusuri.id/berburu-kuliner-bersejarah-khas-salatiga-1/ https://telusuri.id/berburu-kuliner-bersejarah-khas-salatiga-1/#comments Thu, 18 Aug 2022 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=34862 Dalam pustaka kuliner Indonesia, nama Salatiga nyaris luput disebut. Meski sebenarnya, Salatiga sebagai destinasi kuliner cukup menarik untuk diperbincangkan. Apalagi pada 2021, Salatiga telah diusulkan sebagai City of Gastronomy (Kota Gastronomi) kepada UNESCO Creative Cities...

The post Berburu Kuliner Bersejarah Khas Salatiga (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Dalam pustaka kuliner Indonesia, nama Salatiga nyaris luput disebut. Meski sebenarnya, Salatiga sebagai destinasi kuliner cukup menarik untuk diperbincangkan. Apalagi pada 2021, Salatiga telah diusulkan sebagai City of Gastronomy (Kota Gastronomi) kepada UNESCO Creative Cities Network (UCCN).

Pengusulan City of Gastronomy ini berkaitan dengan upaya membangun Salatiga sebagai kota kreatif kuliner dengan historisnya. Dan hal itu didukung penuh oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Salahudin Uno saat menghadiri Salatiga International Gastronomy Conference pada Juni 2021.

Senyatanya, kota yang pernah mendapat julukan sebagai De Schoonste Stad van Midden-Java alias kota terindah di Jawa Tengah ini memiliki sejumlah kuliner khas yang memiliki jejak historis yang panjang. Sehingga dapat dijadikan sebagai bahan memperkuat narasi bagi gastronomi Salatiga.

Sebagai wujud komitmen merealisasikan Salatiga sebagai Kota Gastronomi, sejak 2021 Pemerintah Kota (Pemkot) Salatiga juga telah menetapkan 10 destinasi kuliner terbaik yang memiliki jejak sejarah panjang—yang disebut sebagai Kuliner Bersejarah (Culinary Heritage) Salatiga.

Kesepuluh kuliner itu adalah: Bakso Babat Taman Sari, Ronde Sekoteng Jago, Kopi Babah Kacamata, Roti Tegal, Enting-Enting Gepuk Cap Klenteng & 2 Hoolo, Getuk Kethek, Soto Esto, Soto Kesambi Pak Wianto (Tan Ping Tjwan), Tumpang Koyor Mbah Rakinem, dan Tumpang Koyor Bu Kori.

Pertengahan Juni 2022 lalu, saya berkesempatan melakukan lawatan ke Salatiga atas undangan dari sebuah lembaga pendidikan untuk menjadi narasumber sebuah acara literasi. Kesempatan itu saya manfaatkan untuk berburu kuliner bersejarah khas Salatiga. 

Saya datang lebih awal dari jadwal saya mengisi acara. Waktu tempuh dari rumah saya di Grobogan ke Salatiga sekira dua setengah jam perjalanan. Jam tujuh persis saya berangkat, harapannya sekira jam sembilan lewat tiga puluh menit nanti saya sudah sampai di Salatiga dan bisa menikmati salah satu atau beberapa kuliner bersejarah tersebut.   

Tumpang Koyor Mbah Rakinem

Berpose di depan Warung Makan Sambel Tumpang Koyor Mbah Rakinem. [Badiatul Muchlisin Asti]
Berpose di depan Warung Makan Sambel Tumpang Koyor Mbah Rakinem/Badiatul Muchlisin Asti

Destinasi kuliner bersejarah Salatiga pertama yang saya tuju adalah Tumpang Koyor Mbah Rakinem. Sengaja saya tidak sarapan dari rumah, berharap dapat sarapan Tumpang Koyor Mbah Rakinem. Jam sembilan lebih, mobil yang saya tumpangi berjalan perlahan menuju halaman sebuah rumah yang di depannya terpampang tulisan “Warung Makan Sambel Tumpang Koyor Mbah Rakinem Sejak 1950”.

Warung nampak sepi saat saya datang. Saya disambut oleh seorang pria, yang kemudian saya tahu, dia adalah suami dari Jumiyati—generasi  kedua penerus Tumpang Koyor Mbah Rakinem. Saya dipersilahkan duduk dan tak berapa lama kemudian, Mbak Jumiyati—begitu kemudian saya menyapanya—keluar dari dalam rumah.

Mbak Jumiyati--generasi kedua penerus Tumpang Koyor Mbah Rakinem, sedang melayani pembeli. [Badiatul Muchlisin Asti]
Mbak Jumiyati–generasi kedua penerus Tumpang Koyor Mbah Rakinem, sedang melayani pembeli/Badiatul Muchlisin Asti

Warung makan Tumpang Koyor Mbah Rakinem memang berkonsep rumahan. Bentuknya tak seperti lazimnya sebuah warung makan. Tempat jualannya menyatu dengan dapur yang masih bergaya tempo dulu. Memasaknya masih memakai pawon atau tungku tradisional dengan kayu bakar.

Satu-satunya yang menunjukkan bahwa rumah itu juga sekaligus merupakan warung makan adalah adanya meja dan kursi panjang di depan rumah dan papan nama bertuliskan Tumpang Koyor Mbah Rakinem. Di antara papan nama itu adalah pemberian dari Pemkot Salatiga, karena Tumpang Koyor Mbah Rakinem memang termasuk salah satu dari 10 Kuliner Bersejarah (Culinary Heritage) yang ditetapkan oleh Pemkot Salatiga.

Terbuat dari Tempe Busuk

Tumpang Koyor Mbah Rakinem, salah satu kuliner bersejarah khas Salatiga. [Badiatul Muchlisin Asti]
Tumpang Koyor Mbah Rakinem, salah satu kuliner bersejarah khas Salatiga/Badiatul Muchlisin Asti

Setelah saya memesan tumpang koyor, Mbak Jumiyati langsung sigap meraciknya untuk saya. Tumpang koyor merupakan masakan yang terdiri dari sambal tumpang dengan tambahan koyor atau otot sapi. Sambal tumpang sendiri terbuat dari tempe semangit atau orang Jawa lazim menyebutnya dengan sebutan tempe bosok (busuk).

Meski namanya tempe busuk, namun sebenarnya tempe itu tidak benar-benar busuk. Tempe busuk hanya istilah untuk menyebut tempe yang  diolah dengan proses fermentasi yang relatif lebih lama (over-fermented).

Tempe busuk seperti itu, menurut sejumlah penelitian—seperti yang dilansir alodokter.com, justru kandungan antioksidannya lebih tinggi dibandingkan dengan tempe yang masih segar. Antioksidan ini sangat berguna, antara lain untuk meningkatkan daya tahan tubuh, melancarkan metabolisme, menambah stamina, memperbaiki nafsu makan, mencegah pembentukan sel kanker, dan banyak lagi manfaat lain bagi kesehatan.

Dalam seporsi Tumpang Koyor terdapat dari nasi yang diberi daun pepaya dan cacahan pepaya muda rebus, tahu, koyor, lalu diguyur kuah sambal tumpang.

Sambal tumpang sendiri tidak terlalu asing bagi saya, karena di Grobogan tempat tinggal saya juga tak sedikit dijumpai penjual sambal tumpang—meski tastenya berbeda dengan sambal tumpang ala Salatiga. Apalagi ada tambahan koyor yang menjadikan kuliner bersejarah ini semakin sedap dan cita rasanya sangat khas.

Bagi yang tidak menyukai koyor, ada pilihan tulang muda dan cingur alias bagian moncong sapi. Rasanya empuk dan kenyal. Saya sendiri memilih paket komplit, yaitu tumpang koyor plus tulang muda dan cingur. Saat menyantapnya ditemani kerupuk karak—atau di daerah saya disebut dengan kerupuk puli atau kerupuk gendar—yang sangat gurih dan kriuk, yang menjadikan cita rasa nasi tumpang koyornya terasa semakin mantap.    

Dirintis Mbah Rakinem Sejak 1950

Warung Makan Tumpang Koyor Mbah Rakinem buka hanya empat jam saja. Mulai jam 06.00 hingga 10.00 WIB. Sehingga pagi-pagi warung ini sudah ramai dikunjungi pelanggannya, baik yang berasal dari Kota Salatiga maupun yang datang dari luar kota. 

Saat saya datang, warung nampak sepi. Namun di tengah-tengah  saya menikmati seporsi nasi tumpang koyor, pelanggan mulai berdatangan lagi—meski koyornya sudah habis dan yang tersisa hanya tulang muda dan cingur.

Ketika saya tanyakan kenapa hanya berjualan selama empat jam saja? Mbak Jumiyati menjawab, bahwa ia berjualan hanya empat jam alias hanya sampai jam 10.00 karena setelahnya ia harus segera kulakan bahan untuk membuat Tumpang Koyor untuk dijual keesokan harinya. 

Sorenya, tumpang koyor harus sudah diolah dan dibuat, lalu diinapkan semalam. Paginya, tumpang koyor dihangatkan kembali. Dengan cara seperti itu, menurut Mbak Jumiyati, tumpang koyor menjadi lebih lezat dan sedap. Apalagi memasaknya masih menggunakan cara tradisional menggunakan pawon dengan kayu bakar. Cara seperti itu, diyakini menjadikan cita rasa masakan lebih sedap aromatik. 

Dia juga mengaku,  tumpang koyornya masih mempertahankan  resep otentik warisan Mbah Rakinem—ibunya. Mbah Rakinem sendiri mulai berjualan tumpang koyor sejak tahun 1950 dengan cara berjualan keliling. Berangkat dari rumahnya di Jalan Nakula Sadewa II No. 13 Kembangarum, menuju ke pasar.

Setelah sekian lama berjualan keliling, tahun 2009 Mbah Rakinem memutuskan berjualan di rumah saja, menyudahi berjualan keliling mengingat usianya yang sudah lanjut dan tenaganya sudah mulai melemah. Sekira dua belas tahun kemudian, tepatnya hari Selasa, 6 Juli 2021, Mbah Rakinem wafat dan usaha warung tumpang koyor diteruskan oleh anaknya, Jumiyati, hingga kini.

Menurut Mbak Jumiyati, lima tahun sebelum ibunya meninggal, ia telah membantu memasak tumpang koyor secara intensif, sehingga ia tahu betul cara membuat Tumpang Koyor sesuai resep ibunya.  Sehingga dia menjamin, resep dan cita rasa tumpang koyornya masih otentik sebagaimana tumpang koyor buatan Mbah Rakinem—ibunya.

Jumiyati bersyukur, tumpang koyor warisan ibunya ditetapkan oleh Pemkot Salatiga sebagai salah satu kuliner bersejarah Salatiga. Sehingga penetapan itu, membuat warungnya terbantu secara publikasi, sehingga menjadi semakin ramai. Banyak orang dari luar kota yang penasaran dengan menu nasi tumpang koyornya.Warung Nasi Tumpang Koyor Mbah Rakinem beralamat di Jalan Nakula Sadewa III No.13, Kembangarum, Dukuh, Sidomukti, Kota Salatiga. Bila tidak ingin kehabisan, bisa pesan terlebih dahulu di nomor WhatsApp: 083836186332.  


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Berburu Kuliner Bersejarah Khas Salatiga (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/berburu-kuliner-bersejarah-khas-salatiga-1/feed/ 1 34862
Salib Putih, Saksi Bisu Kedermawanan Van Emmerik dan Alice Cleverly di Salatiga https://telusuri.id/salib-putih-saksi-kedermawanan-van-emmerik-dan-alice-cleverly-di-salatiga/ https://telusuri.id/salib-putih-saksi-kedermawanan-van-emmerik-dan-alice-cleverly-di-salatiga/#respond Wed, 13 Jul 2022 03:50:13 +0000 https://telusuri.id/?p=34561 Perjalanan kali ini saya mulai di “Kota Terindah di Jawa Tengah”, Salatiga. Julukan ini diberikan ketika masa pemerintahan kolonial Belanda sebagai bentuk gambaran keindahan pemandangan kota Salatiga. Kota Salatiga lokasinya sangat strategis, tepat di persimpangan...

The post Salib Putih, Saksi Bisu Kedermawanan Van Emmerik dan Alice Cleverly di Salatiga appeared first on TelusuRI.

]]>
Perjalanan kali ini saya mulai di “Kota Terindah di Jawa Tengah”, Salatiga. Julukan ini diberikan ketika masa pemerintahan kolonial Belanda sebagai bentuk gambaran keindahan pemandangan kota Salatiga. Kota Salatiga lokasinya sangat strategis, tepat di persimpangan jalan lima jurusan, yakni Semarang, Bringin, Ambarawa, Magelang dan Surakarta. Kotanya diapit Gunung Merbabu, Gunung Rong, Gunung Telomoyo, dan Gunung Ungaran.

Masa kolonial Belanda, Kota Salatiga mulai berbenah. Bukan hanya sebagai kota penghubung, tetapi juga kota singgah. Sebagai kota singgah tentu banyak orang Belanda, berbondong-bondong menuju Kota Salatiga. Banyak diantaranya akhirnya menetap di sini, dengan berbagai alasan.

Kali ini saya menelusuri keluarga Belanda yang menetap di Kota Salatiga hingga masa tuanya dengan membawa misi “penyelamatan”.

“Hah, menyelamatkan apa, dari apa, siapa yang diselamatkan?” Begitu pasti pertanyaan pertama yang terlontar. 

Misi Penyelamatan dari wabah kelaparan di Salib Putih.

Ambang pintu masuk berinskripsi Injil Markus di Gereja Salib Putih Salatiga
Ambang pintu masuk berinskripsi Injil Markus di Gereja Salib Putih Salatiga/Ibnu Rustamadji

Salib Putih, Kesetiaan Van Emmerik dan Alice Cleverly di Salatiga

Mungkin ada yang tahu Salib Putih atau Gereja Salib Putih?

Nah, tujuan pertama saya ada di Salib Putih. Lokasinya di jalan Salatiga – Kopeng km 4, tepatnya Jalan Hasanudin, Kumpulrejo, Argomulyo, Salatiga. 

Setibanya saya di Gereja Salib Putih, langsung disambut pengurus gereja. Mereka juga mengizinkan saya untuk mengambil foto gereja hingga masuk ke dalam. Mendokumentasikan detail gereja yang berdiri dari tahun 1920-an, sudah tentu membutuhkan waktu. Sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui. Dokumentasi dan sejarah Salib Putih juga saya dapatkan dari pengurus gereja.

Kediaman penjaga Gereja Salib Putih Salatiga
Kediaman penjaga Gereja Salib Putih Salatiga/Ibnu Rustamadji

Yang Tersisa dari “Koloni Salib Putih” Salatiga

Salib Putih di era kolonial, bernama Witte Kruis-Kolonie Salatiga atau Koloni Salib Putih, awalnya bernama “Leger des Heils” atau Bala Keselamatan rintisan dua penginjil beda negara. 

Mereka yakni Tuan Adolf Theodorus Jacobus van Emmerik (penginjil dari Belanda) dan Ibu Alice Cornelia Cleverly (penginjil dari Inggris) pada 14 Mei 1902. Setibanya di Hindia Belanda (Indonesia) tahun 1885, mereka bekerja sebagai pengurus Gereja Bala Keselamatan Semarang dan tinggalnya di Salatiga.

Diceritakan lebih lanjut, di tahun 1901 muncul wabah kelaparan di Semarang dan Demak. Banyak warga yang kemudian jatuh sakit. Lantas, Bala Keselamatan Semarang mengutus Emmerik, menggalang dana untuk mereka yang kelaparan dan sakit. Tidak diduga sebelumnya, Emmerik memberikan bantuan barak penampungan, makanan, dan pengobatan untuk mereka secara sukarela.

Sisi depan Gereja Salib Putih Salatiga
Sisi depan Gereja Salib Putih Salatiga/Ibnu Rustamadji

Barak penampungan yang kemudian menjadi kawasan Salib Putih, pun dibangun secara sukarela oleh Emmerik. Selain barak penampungan untuk perawatan, Emmerik juga membangun tempat tinggal seluas 40 hektar secara swadaya. Sementara para pengungsi ditampung di kediaman pribadinya di pusat kota Salatiga.

Pembangunan selesai 14 Mei 1902, disaat itulah Emmerik dan Alice Cleverley menjadi pendiri sekaligus pelayan di Salib Putih. Barak penampungan Salib Putih mulai dikelola, pemindahan pengungsi tidak lama setelahnya. 

Tanah yang dipakai untuk membangun barak penampungan, didapat dari hibah wedana Salatiga dan sebagian tanah hasil pembelian swadaya keluarga Emmerik. Pengungsi berada di Salib Putih, sama dengan tinggal di tanah milik keluarga Emmerik. 

Mereka di sini juga diajari beternak, bertani dan membuka lahan perkebunan kopi dan teh di lahan milik keluarga Emmerik. Menariknya, setelah mereka mapan dan pulih diberikan dua pilihan, transmigrasi ke Pulau Sumatra dan Sulawesi, atau tinggal dan menetap di Salib PutihKebanyakan dari mereka memilih menetap dan memeluk agama Kristen di Salib Putih, di tanah seluas 12 hektar milik Emmerik. 

“Terus kapan Gereja Salib Putih dibangun?”

Sebentar, begini ceritanya. 

Gereja Salib Putih, Dedikasi untuk Emmerik

Menurut pihak pengurus, Gereja Salib Putih dirancang oleh Tuan Seters, atas inisiasi istri residen Semarang Bernama van Gigh. Ini desain terakhir karena Emmerik wafat dan dana sumbangan yang terkumpul tidak mencukupi pembangunan, alhasil desain gereja dibuat lebih sederhana tapi masih mewah. Kemuncak gereja berhias lonceng berangka tahun 1882, hadiah pemerintah kolonial untuk Leger des Heils atau Bala Keselamatan milik Emmerik. 

Gereja Salib Putih, diresmikan 9 Agustus 1926 dihadiri tamu penting. Turut hadir peresmian, residen Semarang dan asisten residen Salatiga, wakil Gereformeerde Kerk, wakil Leger des Heils, wakil Salatiga Zending, dan kepala Kamp Kusta Plantungan. Bagian luar berhias salib putih diatas bola batu dengan satu ayat kitab Injil Yohanes 3:16.

Bagian dalam Gereja Salib Putih Salatiga
Bagian dalam Gereja Salib Putih Salatiga//Ibnu Rustamadji

Lalu, di belakang mimbar di dalam gereja berinskripsi pujian, berbunyi “…Aku ora pedhot-pedhot anganthi marang kowe kongsi tumeka wekasaning jaman,” artinya “…Saya tidak putus-putus menggandeng pada kamu semua pada akhir jaman.”

Hampir kelupaan. Gereja Salib Putih menurut saya sama tuanya dengan Gereja Kaliceret Grobogan. Bedanya, Gereja Salib Putih dibangun dengan elemen tambahan batu bata, sedangkan Gereja Kaliceret dibangun dengan gaya arsitektur panggung dan secara keseluruhan masih berbahan dasar kayu. Hal ini tentunya karena lokasi geografis kedua gereja yang berbeda. Salib Putih berada di tengah perkebunan kopi, sedangkan Kaliceret di tengah perkebunan kayu jati.

Salib Putih berada di pinggir jalan, namun sepi dari hingar bingar kota. Sangat sepi, karena posisinya diapit perkebunan kopi dan karet. Sepintas, Salib Putih seperti Radiator Spring Route 66  dari Chicago ke Los Angeles di Amerika Serikat.

Tugu Peringatan 50 Tahun Gereja Salib Putih Salatiga
Tugu Peringatan 50 Tahun Gereja Salib Putih Salatiga/Ibnu Rustamadji

Benar-benar pinggiran Kota Salatiga. Kalau mau cari cemilan malam, tentu sulit karena tidak ada supermarket, ataupun warung terdekat. Kalaupun ada, waktu buka dan tutupnya tidak bisa dipastikan. Sulit, begitulah pikiran saya ketika seharian di Salib Putih.

Sisa-sisa Salib Putih saat ini selain Gereja Salib Putih, adapula panti wredha, klinik kesehatan, dan beberapa keluarga yang menetap cukup lama di sana. Saat ini, Salib Putih lebih dikenal untuk wisata keluarga dengan nama D’Emmerik.

Setelah berkeliling, saya memasuki kebun kopi yang berada di seberang gereja untuk ziarah ke makam Adolf Theodorus Jacobus van Emmerik dan Alice Cleverly.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Salib Putih, Saksi Bisu Kedermawanan Van Emmerik dan Alice Cleverly di Salatiga appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/salib-putih-saksi-kedermawanan-van-emmerik-dan-alice-cleverly-di-salatiga/feed/ 0 34561
Mengunjungi Prasasti Plumpungan, Menggali Sejarah Kota Salatiga https://telusuri.id/mengunjungi-prasasti-plumpungan-menggali-sejarah-kota-salatiga/ https://telusuri.id/mengunjungi-prasasti-plumpungan-menggali-sejarah-kota-salatiga/#respond Thu, 03 Mar 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=32893 Sekitar jam sepuluh pagi saya menuju prasasti yang masih tersisa di sekitar Kota Salatiga. Tujuan saya adalah Museum Salatiga yang memiliki koleksi prasasti Plumpungan. Museum ini terletak di Dukuh Plumpungan, Kelurahan Kauman Kidul, Kecamatan Sidorejo,...

The post Mengunjungi Prasasti Plumpungan, Menggali Sejarah Kota Salatiga appeared first on TelusuRI.

]]>
Sekitar jam sepuluh pagi saya menuju prasasti yang masih tersisa di sekitar Kota Salatiga. Tujuan saya adalah Museum Salatiga yang memiliki koleksi prasasti Plumpungan. Museum ini terletak di Dukuh Plumpungan, Kelurahan Kauman Kidul, Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga.

Jika ingin berkunjung ke sini, kita bisa naik angkutan umum yang mudah untuk dicari. Tinggal naik angkot nomor 3 yang menuju ke arah Pabelan Kabupaten Semarang. Kemudian turun di pertigaan bawah flyover atau pertigaan Watu Rumpuk. Lalu kita tinggal jalan kaki ke arah timur kurang lebih 200 meter, di kiri jalan kita bisa menemui museum Salatiga. Museum Salatiga buka hari Senin sampai Jumat pukul 8 sampai 3 sore. Sedangkan untuk hari Sabtu dan Minggu dapat berkunjung asalkan reservasi terlebih dahulu. Biaya masuknya juga gratis, entah berkunjung sendiri ataupun rombongan.

Prasasti Plumpungan
Museum Salatiga/Abdul Karim

Prasasti Plumpungan adalah asal-usul berdirinya Kota Salatiga. Prasasti ini berbentuk batu dengan 6 pesan yang berisi deklarasi sebuah daerah perdikan. Daerah perdikan itu bernama Desa Hampra yang kini dikenal dengan Dukuh Plumpungan yang terletak di daerah Trigramyama yang kini dikenal dengan Kota Salatiga. Hampra dibebaskan pada tahun 672 penanggalan saka atau tahun 750 masehi, tepatnya tanggal 24 Juli, kini tanggal tersebut diperingati sebagai menjadi hari jadi Kota Salatiga.

Saya disambut oleh penjaga museum, Surotun (32). Beliau mengajak saya berkeliling melihat pelbagai koleksi museum seperti arca, yoni, lapik, dan beberapa bagian candi. Semuanya berasal dari Kota Salatiga. Surotun dengan sigap mengenalkan saya dengan satu per satu koleksi di dalam museum. Ia seperti sudah hafal di luar kepala setiap detil sejarah yang ada di Kota Salatiga.

Museum Salatiga hanya memiliki satu ruangan saja sebagai etalase koleksi. Untuk prasasti Plumpungan sendiri berada di halaman dekat jalan dan dibuatkan pendopo. Beberapa koleksinya juga ditempatkan di halaman, terutama koleksi dengan ukuran besar. Walaupun tempatnya cukup kecil, museum ini memiliki 70-an koleksi.

Prasasti Plumpungan
Prasasti plumpungan/Abdul Karim

Saya dan Surotun lebih asyik ngobrol dan diskusi seputar sejarah Kota Salatiga. Ia sedikit menjelaskan kenapa di Kota Salatiga tidak ditemukan bangunan candi. Hanya ditemukan sisa-sisa candi seperti batuan dinding, hiasan candi, atau hanya arca.

Menurutnya, dulu Belanda pernah mendirikan sebuah benteng di daerah Pasar Loak Shoping. Benteng tersebut menggunakan batuan dari candi—yang terbuat dari batuan adesif keras—sebagai bahan bangunan benteng. Namun kini, benteng tersebut telah diratakan menjadi taman, lalu dijadikan sebagai pasar.

Ketika saya mau melihat prasasti Plumpungan, gerimis mulai turun dan hujan. Saya diberitahu oleh Surotun, jika ingin melihat prasasti Plumpungan waktu paling tepat adalah di sore hari. Ketika sore cahaya matahari akan jatuh di atas prasasti, sehingga tulisan di atas prasasti akan lebih mudah dilihat. Bukit tempat prasasti ini berada juga tepat mengarah ke barat, seolah telah sengaja ditaruh di sini.

Prasasti Plumpungan
Prasasti plumpungan/Abdul Karim

Prasasti Plumpungan ditulis dengan  aksara jawa kuno dan berbahasa sansekerta. Terjemahan dari prasasti Plumpungan kurang lebih seperti ini, “Semoga bahagia! Selamatlah rakyat sekalian! Tahun Saka telah berjalan 672/4/31 (24 Juli 760 M) pada hari Jumat tengah hari. Dari dia, demi agama untuk kebaktian kepada yang Maha Tinggi, telah menganugerahkan sebidang tanah atau taman, agar memberikan kebahagiaan kepada mereka yaitu Desa Hampra yang terletak di wilayah Trigramyama (Salatiga) dengan persetujuan dari Siddhi Dewi (Sang Dewi yang Sempurna atau Mendiang) berupa daerah bebas pajak atau perdikan ditetapkan dengan tulisan aksara atau prasasti yang ditulis menggunakan ujung mempelam dari dia yang bernama Bhanu. (Dan mereka) dengan bangunan suci atau candi ini. Selalu menemukan hidup abadi.”

Menurut penjelasan Surotun, dari teks tersebut bisa disimpulkan jika dulu daerah Salatiga adalah tempat beribadah. Sampai wilayah ini dijadikan sebagai tanah perdikan atau daerah bebas pajak. Namun teks ini juga masih memiliki misteri, para sejarawan belum mengetahui siapa itu “Bhanu”. Tidak dijelaskan apakah Bhanu merupakan seorang utusan atau penguasa di wilayah Hampra ini.

Museum Salatiga sering digunakan untuk berbagai kegiatan.  Setiap tahunnya, pada peringatan hari jadi Kota Salatiga selalu digelar pertunjukan wayang di halaman museum. Pada hari-hari tertentu umat Hindu di sekitar museum juga beribadah di halaman Prasasti Plumpungan. Menurut mereka, di area Plumpungan masih memiliki aura yang positif untuk berdoa.

Tak jarang pengunjung dengan tujuan mistis kerap datang. Entah untuk sekedar berkunjung atau memenuhi beberapa ritual. Terkadang mereka hanya memberikan persembahan bunga, membakar kemenyan, bahkan memandikan keris.

  • Prasasti Plumpungan
  • Prasasti Plumpungan
  • Prasasti Plumpungan

Pihak museum sendiri juga sering mengadakan kegiatan. Tiap tiga bulan sekali, diadakan konservasi benda museum untuk menjaga koleksi. Museum juga mengadakan kegiatan gali sejarah secara tematik, seperti pada zaman klasik atau zaman Hindia-Belanda. Kegiatan seru yang patut ditunggu adalah pelatihan menulis di atas daun lontar. Konon menulis di atas daun lontar merupakan budaya nenek moyang kita sebelum mengenal kertas. Kitab-kitab kuno dan serat ditulis menggunakan bahan ini.

Surotun sangat menyayangkan akan pengunjung museum yang masih sepi. Ia menyadari bahwa koleksi dan fasilitas yang diberikan juga belum maksimal. Namun ia akan dengan senang hati menerima dan memandu pengunjung museum berapapun jumlahnya.

Museum Salatiga ini bisa menjadi alternatif kunjungan jika mampir ke Salatiga. Apalagi jika mencari wisata sejarah, maka kita akan menemukan banyak sumber di sini. Apalagi di museum kecil ini kita masih pemandu yang kompeten.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mengunjungi Prasasti Plumpungan, Menggali Sejarah Kota Salatiga appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mengunjungi-prasasti-plumpungan-menggali-sejarah-kota-salatiga/feed/ 0 32893
Mencicipi Sate Suruh di Salatiga https://telusuri.id/sate-suruh-salatiga/ https://telusuri.id/sate-suruh-salatiga/#respond Wed, 11 Sep 2019 06:38:46 +0000 https://telusuri.id/?p=17208 Suara bising klakson kendaraan memekakkan telinga. Tumben sekali Salatiga macet sore-sore begini, gumam saya dalam hati. Langit pun mulai gelap. Saya mendadak merasa takut kalau-kalau warung sate yang jadi tujuan saya sudah tutup. Saya lalu...

The post Mencicipi Sate Suruh di Salatiga appeared first on TelusuRI.

]]>
Suara bising klakson kendaraan memekakkan telinga. Tumben sekali Salatiga macet sore-sore begini, gumam saya dalam hati. Langit pun mulai gelap. Saya mendadak merasa takut kalau-kalau warung sate yang jadi tujuan saya sudah tutup. Saya lalu meminta rekan yang menyetir kendaraan untuk lebih bergegas, tentunya dengan tetap berhati-hati.

Warung Sate Sapi Suruh namanya. Hanya ada lima Sate Sapi Suruh di jagat raya ini. Awalnya, saya mengira sate ini adalah bisnis waralaba. Tapi, selidik punya selidik, sate ini ternyata bisnis kuliner keluarga yang dikelola turun-temurun. Saat ini Sate Sapi Suruh dijalankan oleh generasi ketiga.

warung sate sapi suruh
Warung Sate Sapi Suruh/Mauren Fitri

Nama Suruh sendiri berasal dari Pasar Suruh, tempat kali pertama warung sate ini dibuka. Meskipun secara geografis Suruh terletak di Kabupaten Semarang, tak sedikit orang yang mengira Suruh bagian dari Kota Salatiga.

Yang bikin saya selalu ingin kembali untuk menyantap sate ini tak lain tak bukan adalah rasanya yang khas dan dagingnya yang sangat empuk. Lucunya, favorit saya bukanlah sate sapi yang jadi menu andalan warung ini, melainkan sate ayam.

daftar harga makanan sate sapi suruh
Daftar harga makanan di Sate Sapi Suruh/Mauren Fitri

Warung sate yang saya datangi sore itu berada di Kompleks Buah No. 8a, Pertokoan Makutarama.

“Mau ke Sate Suruh, Mbak? Parkirnya di sebelah sana saja!” ujar juru parkir yang meminta kami memarkir kendaraan di tempat yang lebih jauh. Bukan apa-apa, kendaraan kami sekarang berhenti di depan toko pakaian.

Daging sate Suruh yang empuk seempuk-empuknya

Tulisan “SATE SAPI SURUH” terpampang di kaca etalase. Di atas bangunan, tergantung spanduk besar warna kuning dengan tulisan sama. Dinding dan beberapa titik lainnya juga tak luput dari tulisan “SATE SAPI SURUH.” Saya jadi bertanya-tanya dalam hati, “Untuk apa nama tempat dipasang sebanyak ini?”

sate
Daging sate sedang dipanggang/Mauren Fitri

Sebaskom sate sapi mentah saya intip dari balik gerobak. Warnanya merah kecokelatan dan sudah dibalut dengan bumbu kacang kasar berwarna agak kekuningan. Bau rempahnya pun tipis-tipis tercium.

Warung ini tampak sangat sederhana. Kecil, hanya ada tiga meja lengkap dengan “kursi bakso.” Tak ber-AC, namun bersih dan nyaman untuk makan. Menu tertempel di salah satu sisi dinding warung, cukup besar dan jelas.

daging sate dipanggang
Daging sate sedang dibalik agar matang/Mauren Fitri

Tiga porsi sate saya pesan, yakni sate ayam, sate sapi campur (gajih/lemak), dan sate sapi daging lengkap dengan ketupat. Iya, ketupat! Di sini tidak disediakan lontong layaknya warung sate pada umumnya. Sebagai pengganti, empunya warung menyediakan ketupat dan nasi.

Tiga porsi sate pesanan saya kemudian diracik, dibumbui lagi sebelum dibakar. Baunya sangat menggoda! Aroma rempah dan kecapnya berbalut dengan bau khas arang. Sate ini pun tak dibakar lama-lama, tidak sampai gosong, hingga akhirnya disajikan dalam sebuah piring beralas daun pisang.

seporsi sate suruh
Seporsi sate Suruh siap disantap/Mauren Fitri

Di atas ketupat, sate-sate yang sudah matang ini diletakkan dan disiram dengan bumbu kacang kasar. Meleleh seketika! Rasa bumbunya gurih, manis, dan sedikit pedas. Mungkin kerena menggunakan gula merah sebagai campuran. Daging satenya pun empuk seempuk-empuknya, tak alot sama sekali. Tak sampai sepuluh menit, tiga porsi sate Suruh ludes. Bukan karena lapar, melainkan karena rasa sate dan bumbunya memang enak. Kalau berhenti makan, rasanya lidah mendadak jadi pahit.

Nah, soal harga, sate Suruh relatif murah. Harganya sesuai sekali dengan porsi yang terhidang. Tapi, yang jelas, rasa sate dan bumbunya bakal bikin kamu kangen untuk balik lagi ke Sate Sapi Suruh.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mencicipi Sate Suruh di Salatiga appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sate-suruh-salatiga/feed/ 0 17208