sampah kita Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/sampah-kita/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 29 Mar 2022 08:28:03 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 sampah kita Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/sampah-kita/ 32 32 135956295 Menjadi ‘Aesthetic’ Sambil Mengurangi Sampah Kita https://telusuri.id/menjadi-aesthetic-sambil-mengurangi-sampah-kita/ https://telusuri.id/menjadi-aesthetic-sambil-mengurangi-sampah-kita/#respond Tue, 02 Feb 2021 08:58:00 +0000 https://telusuri.id/?p=26772 Terhitung sejak 12 hari yang lalu aku bersama dengan temanku bepergian sebentar untuk mencari keperluan guna menunjang pekerjaan. Singkat cerita, karena ada meeting bersama klien kuputuskan menepi dan duduk sebentar di salah satu kedai kopi...

The post Menjadi ‘Aesthetic’ Sambil Mengurangi Sampah Kita appeared first on TelusuRI.

]]>
Terhitung sejak 12 hari yang lalu aku bersama dengan temanku bepergian sebentar untuk mencari keperluan guna menunjang pekerjaan. Singkat cerita, karena ada meeting bersama klien kuputuskan menepi dan duduk sebentar di salah satu kedai kopi ternama. Aku sangat suka dengan suasananya, tercium aroma kopi dan terdengar alunan musik menenangkan; tidak terlalu keras dan memekakkan telinga. 

“Sudah lumayan lama juga gak duduk-duduk di sini ya,” gumamku.

Pasalnya, minum kopi-kopi seperti ini saat pandemi biasanya ku lakukan dengan layanan pesan antar melalui aplikasi ojek online. Senang bisa berkunjung kembali!

Aku kemudian memesan vanilla frappuccino sedangkan temanku memesan green tea matcha. Dua-duanya memakai whip cream dan juga ekstra caramel.

Ketika sedang asyik ngobrol tentang pekerjaan kami—yang mana aku masih sibuk mengelola Instagram dan rekanku membuat artwork untuk podcast milikku, namaku disebut oleh pramusaji. Lalu, datanglah dua cup minuman enak ini bersama dengan dua piring camilan yang juga sudah ku pesan.

Aku yang sudah tak sabar mencicipi  suguhan tadi terpaksa menahan diri karena ada panggilan masuk dari klien. Rekanku hanya tertawa sambil memberikan jempol pertanda semangat, ia lalu terlihat lahap menyeruput green tea matcha.

“Akhirnya bisa minum juga,” ucapku sembari menghela napas.

  • Paper Straw Starbucks
  • Paper straw Starbucks
  • Stainless Straw

Dan saat membuka sedotannya lalu tersenyum sendiri, “Eh kok unik banget?”

“Dari paper based kan, Gas? Sensasinya beda ya?” 

Aku mengangguk dan mulai meneguk. Rasanya enak, ada sensasi seperti tengah menggigit sebuah astor rasa vanilla. Sebuah terobosan dan langkah yang baik untuk bisa mengurangi sampah plastik meski jalan yang ditempuh dimulai dari hal sederhana: sedotan.

Bicara tentang sedotan, aku sebenarnya punya pengalaman agak memalukan. Aku kerap mengabadikan momen dalam bentuk foto, tak sedikit di antaranya makanan dan minuman kucoba. Dan komentar yang selalu kuingat dalam benak ialah: “Kak, gak mau coba pake stainless straw? Kakak kan public figure bisa jadi contoh lho buat audience Kakak yang lain.”

Deg! Lewat komentar itu aku jadi kepikiran terus. Akhirnya saat ini aku sudah termasuk pengguna stainless straw yang selalu kubawa pergi ke manapun. Apalagi di era pandemi seperti ini, rasanya jadi lebih tenang dan higienis kalau bawa peralatan makan dan minum sendiri dari rumah. Dan hal yang menjadi penting di sini ialah, meminimalisir produksi sampah kita.

“Enak gak vanilla-nya?” Suara temanku menyadarkanku dari lamunan dan suara meeting klien.

Terpecah antara informasi yang didapat juga bertabrakan dengan segala ideation atas banyak hal yang ingin segera kubuat. “Enak banget lah woi,” jawabku semangat.

Sehabis dari kedai kopi kami pergi ke lantai dua, menuju ke Gramedia. Ada sebuah notes dan buku juga pulpen yang ingin kubeli. Kebetulan stock di rumah juga sudah habis. 

Paper Bag Gramedia
Paper Bag Gramedia/Helobagas

Saat membayar di kasir ternyata mereka sudah tidak menyediakan plastik lagi, “Maaf ya Kak saat ini Gramedia tidak menyediakan kantong plastik—” ditambah sebuah informasi bahwa mereka menyediakan paper bag yang sangat aesthetic sebagai gantinya.

Paper bag ini kalau gak salah harganya berkisar antara Rp3 ribu. Memang jauh lebih mahal dibanding kantong plastik gratis bahkan jika pun harus masuk dalam struk belanja hanya dinilai Rp500-an saja.

Sederhana memang, tapi dampaknya besar.

Kebayang gak sih kalau ada banyak sekali konsumsi sampah [plastik] yang kita lakukan dalam jangka waktu sehari? Apalagi sebulan? Apalagi setahun? Lantas untuk menghancurkannya dan menguraikannya tidak pernah sesederhana yang kita kira, kan?

Oke baik cerita tentang kedai kopi dan toko buku berakhir di sini ya. Aku akan membawamu ke next case. Mungkin kamu juga sudah tahu kalau minimarket seperti Indomaret dan Alfamart yang mereka juga sudah tidak lagi menyediakan kantong plastik untuk pengunjung yang berbelanja.

Dari hal-hal yang tampak sederhana tersebut, aku kini mulai membiasakan diri untuk selalu membawa totebag—yang saat dulu kupakai dipanggil “Bocah indie” atau “Anak Senja”. Kalau ingat-ingat yang begitu memang membikin flashback jaman SMA.

Sambil membayar belanjaan juga beberapa titipan ibu, kasir memasukkan barang-barang belanjaan ke totebag milikku. Terlihat sangat aesthetic belanja ke minimarket dekat dengan rumah seperti ini.

Dan untuk panggilan tadi “Bocah Indie” atau “Anak Senja” itu, aku sama sekali tidak tersinggung kok. Justru aku senang banget kalau mereka—teman-temanku sudah mengenalku sedalam itu. Lagipula playlist Spotify tidak jauh dari musik indie kok.

Sebelum tulisan ini berakhir, aku ingin berterima kasih untuk teman-teman pembaca yang bahkan sudah melakukan hal-hal yang kusebutkan di atas lebih dulu dibanding aku. Terima kasih ya sudah sayang dan turut menjaga rumah kita bersama—bumi. Sampah kita, tentu saja konsekuensi dan tanggung jawab kita juga. Selamat mencoba! Jikalau belum, hal-hal aesthetic juga bermanfaat buat bumi.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menjadi ‘Aesthetic’ Sambil Mengurangi Sampah Kita appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menjadi-aesthetic-sambil-mengurangi-sampah-kita/feed/ 0 26772
Sampah dan Kebiasaan, Kapan Bisa Berubah? https://telusuri.id/sampah-dan-kebiasaan/ https://telusuri.id/sampah-dan-kebiasaan/#respond Sun, 24 Jan 2021 05:34:18 +0000 https://telusuri.id/?p=26546 “Sudah dari dulu sampah dibuangnya ke jagang juga nggak kenapa-kenapa” ujar salah seorang ibu-ibu yang menanggapi dengan bahasa Jawa halus. Malam itu, beberapa tahun yang lalu, kami (beberapa mahasiswa yang sedang KKN di sebuah dusun...

The post Sampah dan Kebiasaan, Kapan Bisa Berubah? appeared first on TelusuRI.

]]>

“Sudah dari dulu sampah dibuangnya ke jagang juga nggak kenapa-kenapa” ujar salah seorang ibu-ibu yang menanggapi dengan bahasa Jawa halus.

Malam itu, beberapa tahun yang lalu, kami (beberapa mahasiswa yang sedang KKN di sebuah dusun di Jawa Tengah) duduk bersama ibu-ibu warga dusun sekitar selepas pengajian mingguan. Di tengah bercengkrama dan melahap suguhan tuan rumah, Pak Kades mampir menyampaikan informasi program yang dicanangkan Pak Presiden terkait pengukuran lahan untuk sertifikasi tanah dan secuil informasi mengenai pemilu presiden.

Setelah Pak Kades pamit, seorang mahasiswa pria mampir untuk mengajukan pengelolaan program sampah yang bisa dikembangkan bersama karang taruna desa. Namun ibu-ibu nampak tidak antusias.

Pemilihan Sampah

Foto: Slum Dwellers International (Flickr)

“Sudah dari dulu sampah dibuangnya ke jagang juga nggak kenapa-kenapa” ujar salah seorang ibu-ibu yang menanggapi dengan bahasa Jawa halus.

Setelah beberapa kali mencoba menjelaskan lebih lanjut, tidak nampak reaksi berbeda dari para ibu-ibu. Menyadari hal itu si mahasiswa pun menutup diskusi, berterima kasih dan pamit pulang. 

Sebelum tidur, aku mengulang-ulang skenario yang barusan kusaksikan itu di kepalaku. Muncul berbagai pertanyaan di pikiranku, salah satunya adalah “kenapa ya mereka menolak untuk mengubah kebiasaan mereka?” 

Soal Kebiasaan

Di pikiranku aku pun bernostalgia pengalaman berbeda yang kurasakan tepat setahun sebelumnya. Saat itu aku adalah mahasiswa tahun ke-3 yang tengah melakukan pertukaran pelajar ke salah satu negara Nordik. Aku dan kedua teman sekelasku belajar selama 2 semester di sebuah kota industri bernama Malmö di provinsi Skåne, di area selatan Swedia.

Sewaktu di sana ada beberapa kebiasaan yang sulit kuubah. Pertama, tidak adanya Ayam Geprek Bu Rum, dan yang kedua adalah cara membuang sampah yang ribet.

Di asrama khusus pelajar mancanegara, tidak semua mahasiswa pertukaran pelajar tahu cara memilah sampah layaknya warga Skandinavia. Maka, selama masa orientasi pihak asrama memuat informasi sistem pemilahan sampah mereka.

Bukan, ini bukan masalah pemilahan sampah organik dan sampah anorganik seperti yang biasa kita temukan di Indonesia. Sistem pengolahan sampah di sana, khususnya di asrama dibagi menjadi 5 bagian, yakni sampah gelas, sampah dus, sampah karton, sampah plastik, dan sampah kaleng. Ini belum termasuk sampah organik yang wajib dibuang setiap malam menggunakan kantong sampah kertas khusus. 

Awalnya aku menganggap enteng hal ini. Aku membuang dus bekas susu ke tempat sampah untuk dus, toples saus pasta bekas ke tempat sampah kaca. Mudah, tidak masalah.Pemilihan Sampah

Pada hari piket, aku mengumpulkan kantong-kantong sampah organik ke dalam plastik sampah hitam besar agar lebih mudah dibawa. Kemudian aku membawa kelima jenis sampahnya turun untuk dibuang ke ruang pembuangan sampah di luar gedung.

Di lain hari, kulihat seorang teman selantai mengambil sampah kaca bekas pasta dari tempat sampah dan mencucinya sambil menggerutu. Rupanya dia kesal bahwa masih ada yang tidak membersihkan sampah gelas kacanya.

Aku pun tertegun, pikirku “oh kita harus membersihkannya dulu sebelum membuangnya?”. Walaupun sampah yang diambilnya bukan milikku, dengan sedikit malu-malu aku pun memancing penjelasan lebih lanjut mengenai pembuangan sampah yang benar. 

Setelah ngobrol panjang lebar, ternyata cara buang sampah yang selama ini kulakukan masih salah. Ketika membuang sampah dus susu, seharusnya aku mencuci dus tersebut lebih dulu supaya bisa didaur ulang, begitu juga dengan toples kaca bekas saus pasta. Selain itu, aku juga harus memisahkan dulu dus susu dengan tutup plastiknya karena pengolahan dua jenis sampah ini berbeda meski berasal dari satu kemasan yang sama.

Kemudian yang paling penting adalah jika membuang sampah organik menggunakan kantong plastik di ruang pembuangan sampah maka pengelola gedung bisa dikenakan denda.

Daur Ulang Sampah di Seminyak Bali

Daur ulang sampah di Seminyak Bali/Johannes P Christo (TEMPO)

Kalau dilihatnya saat ini, mungkin kita kagum atau iri dengan pengelolaan sampah di Swedia. Tapi, jangan salah, sistem ini juga tidak diterapkan secara instan. Sejarahnya, isu lingkungan di Eropa pada abad ke-19 memang merupakan isu yang didominasi oleh masyarakat elit (Rootes C, 2008). Lambat laun, kepedulian masyarakat meningkat melalui kebijakan yang mempertimbangkan aspek lingkungan. 

Swedia menerapkan sistem deposit kaleng bekas pada 1984, menyusul botol pada 1994. Artinya, sistem pendukung pengelolaan sampah itu, dan sosialisasinya, sudah terjadi sejak dua puluh-an tahun lalu. Pastinya bukan hal mudah untuk menerapkannya. 

Bahkan sampai sekarang pun, Swedia masih melakukan upaya-upaya perbaikan. Misalnya yang dilakukan oleh Beteendelabbet alias ‘laboratorium tingkah laku’. Fokus organisasi tersebut adalah mengubah cara masyarakat Swedia hidup agar lebih berkelanjutan. 

Ida Lemoine, pendiri Beteendelabbet, mengatakan tujuan mereka adalah membuat layanan yang memudahkan orang melakukan hal yang benar. “Kita harus bisa menjadikan diri kita sendiri, sebagai konsumen, mau berbagipakai dan pakai ulang berbagai gadget, pakaian dan perabotan. Bahkan ruang kerja dan rumah,” kata Lemoine

Butuh Waktu dan Upaya Lebih

Kalau Swedia, yang relatif kecil dibandingkan Indonesia, butuh waktu lama untuk menerapkan sistem mereka. Dan masih terus melakukan perbaikan. Apakah kita mau berharap bahwa omongan mahasiswa ‘sok tau’ di depan warga bisa mengubah perilaku? Jelas tidak. 

Jelas butuh upaya yang lebih menyeluruh. Misalnya, kebijakan soal sampah ini juga harus memperhatikan kesejahteraan masyarakat. Mengutip Kang Bagja, pendiri ForestDigest, saat menceritakan tentang pencapaian warga Desa Bendungan. Ia mengatakan, kebijakan yang berfokus lingkungan akan menghasilkan peningkatan perekonomian yang lebih baik. 

Sepulang dari dua bulan mengabdi di dusun itu, aku menceritakan hal ini ke Bapak. Bertemu dan mensosialisasikan program perusahaan kepada warga merupakan bagian dari pekerjaan Bapak. Aku pun menceritakan program pengolahan sampah itu kepada Bapak.

Mendengar itu Bapak pun menjawab dengan santai “Nih ya, bertahun-tahun mereka buang sampah ke jagang, dari kecil mereka diajarkan kalo buang sampah ya ke jagang, terus ada mahasiswa KKN yang baru datang tiba-tiba nyuruh jangan buang sampah ke jagang, ya mana bisa!”

Mendengar tanggapan Bapak, pikirku “ah ternyata memang tidak bisa semudah itu ya mengubah kebiasaan dan cara hidup di tempat yang bukan kampung halaman sendiri. Pastinya nggak mungkin dilakukan hanya dalam kurun waktu 2 bulan oleh anak-anak yang baru tahu teori.”

Dari situ aku belajar, mungkin warga setempat punya kearifan lokal mengenai pembuangan sampah. Siapapun patut memahami dari mana datangnya kearifan itu dan mengerti asal-usul sebuah kebiasaan, sebelum serta-merta mengubahnya. Lain ladang, lain belalang.  


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Sampah dan Kebiasaan, Kapan Bisa Berubah? appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sampah-dan-kebiasaan/feed/ 0 26546
6 Tips Traveling Minim Sampah https://telusuri.id/6-tips-traveling-minim-sampah/ https://telusuri.id/6-tips-traveling-minim-sampah/#respond Thu, 21 Jan 2021 08:57:20 +0000 https://telusuri.id/?p=26516 Membahas perkara sampah memang nggak ada habisnya. Dari hari ke hari bukannya semakin berkurang justru semakin bertambah. Apalagi kalau mau ditelisik ke hal-hal yang sering kita jumpai sehari-hari, dengan mudah kita bisa menemukan sampah di...

The post 6 Tips Traveling Minim Sampah appeared first on TelusuRI.

]]>
Membahas perkara sampah memang nggak ada habisnya. Dari hari ke hari bukannya semakin berkurang justru semakin bertambah. Apalagi kalau mau ditelisik ke hal-hal yang sering kita jumpai sehari-hari, dengan mudah kita bisa menemukan sampah di tempat umum. Tentunya sampah-sampah yang tidak terkontrol keberadaan dan jenisnya ini berdampak pada masalah lingkungan yang serius. Mulai dari pencemaran lingkungan, sumber kuman penyakit, hingga mengganggu kehidupan makhluk hidup lain.

Lalu, belum lagi kalau kita bicara tentang tren perjalanan yang kian meningkat dari waktu ke waktu, kecuali selama pandemi ini. Di Bali, timbunan sampah plastik mencapai 856,2 ton per hari pada 2019. Sedangkan jumlah sampah plastik yang dikumpulkan mulai dari perairan Labuan Bajo hingga kawasan Taman Nasional Komodo perharinya bisa mencapai lima sampai 10 ton. Di awal tahun ini, Pantai Kuta, Bali disambut hamparan sampah yang bikin ngelus dada. Sampah buangan yang entah dari mana datangnya.

Nggak munafik, seringkali ketika traveling masih melakukan hal-hal praktis tapi menghasilkan sampah yang lebih banyak untuk lingkungan. Misalnya aja nih, pas traveling pasti kita mampir ke minimarket untuk sekedar beli air minum kemasan atau snack. Kemasan produknya sendiri terbuat dari plastik, tas wadah snack tersebut juga dari plastik, semuanya berpotensi menjadi sampah baru.

Kadang mindset, “kan aku udah bayar, kan aku udah beli, ya gapapa dong! Toh buangnya ke tempat sampah juga, nggak buang sembarangan!” jadi senjata.

Tanpa kita sadari, dari dalih-dalih ini lah sampah kian hari kian menggunung.

Sebetulnya ada banyak langkah sederhana untuk mengurangi sampah baru yang dihasilkan selama traveling. Cara ini dikenal sebagai zero waste traveling yang memungkinkan kamu untuk menghindari segala upaya menghasilkan sampah baru.

Lalu apa saja yang bisa dilakukan dalam zero waste traveling ini? 

Bawa makanan sendiri saat berangkat

Foto: Unsplash/Markus Spiske

Bandara, stasiun, dan terminal bukanlah tempat untuk mencari makanan yang zero waste friendly. Cara ini terbukti menyelamatkan banyak traveler untuk tidak berakhir dengan plastik, wrapper, sendok garpu plastik, atau sedotan plastik. 

Kamu bisa membawa berbagai bahan makanan yang mudah dan enak untuk dibawa. Beberapa contohnya seperti cookies, sandwich, pisang, jeruk, atau bahkan energy bites sangat cocok jadi teman perjalanan kamu. Makanan tersebut ringan dan bisa dimasukkan ke dalam kotak makan. Kalau kotor tinggal dicuci, bisa dipakai lagi untuk makanan berikutnya. 

Bawa tumbler atau botol minum

Saat haus di perjalanan, memang  paling praktis adalah minum dari air mineral plastik yang dibeli di minimarket. Tapi, ini bisa menjadi sampah baru karena pasti botol yang sudah kosong akan langsung terbuang begitu saja. 

Oleh karenanya, kamu bisa membawa tumbler atau botol minum pribadi. Ada banyak tempat yang memiliki dispenser atau water fountain, jadi nggak perlu bingung saat akan isi ulang.

Jangan lupa mengosongkan botol tersebut saat boarding, ya! Kamu nanti bisa minta tolong kepada pramugari(a) untuk mengisi ulang botolmu saat di pesawat. Begitu juga saat di kereta, restoran, hotel, bahkan warteg, dan tempat lain yang memungkinkan untuk refill air minum.

Selain hemat, cara ini juga bisa mengurangi sampah dibandingkan harus membeli air mineral dalam kemasan yang “katanya” lebih praktis. 

Bawa reusable kit

Foto: Unsplash/Good Soul Shop

Prinsip zero waste traveling bukan hanya sebagai tindakan pengurangan sampah. Namun juga sebagai mental yang perlu dibangun agar terhindar dari situasi yang memaksa untuk membuang sampah. Reusable kit ini terdiri dari small container, reusable coffee cup, utensils (sendok dan garpu), sapu tangan, dan reusable bag multifunction yang bisa dilipat kecil. 

Barang-barang ini bakal sangat berguna saat dibawa perjalanan. Banyak pedagang kaki lima yang membungkuskan makanannya dengan plastik sekali pakai atau kertas. Kamu bisa meminta mereka untuk menyajikan makanan yang dibeli pada tempat makanan yang kamu bawa.

Nah, lebih lagi pas pandemi seperti sekarang ini ya. Para pejalan ‘dipaksa’ untuk membawa berbagai peralatan pribadi yang lebih bersih dan steril. Nggak kebayang ‘kan kalau misal piring dan alat makan dari tempat makan hanya dicuci pada sebuah ember?

Kotak makan yang kamu bawa juga bisa berguna untuk membungkus makanan tersisa dan layak untuk dimakan nantinya.

Bawa kantong atau tas belanja

Foto: Unsplash/Markus Spiske

Langkah selanjutnya yang bisa kamu lakukan untuk upaya zero waste traveling adalah membawa kantong atau tas belanja sendiri. Sebagian kota besar di Indonesia seperti Banjarmasin, Semarang, Bali, dan Balikpapan lewat peraturan walikota (Perwal atau Perwali), sudah tidak memperbolehkan menggunakan kantong plastik sekali pakai di pusat perbelanjaan atau swalayan. Jadi, ya wajib membawa tas belanja sendiri atau bisa membeli tas belanja yang mereka sediakan untuk dipakai berulang kali kalau memang belum punya.

Cara ini juga bisa kamu lakukan ketika berbelanja kebutuhan dasar atau peralatan di minimarket yang masih menyediakan kantong plastik. Kebiasaan ini bisa kamu mulai tidak hanya saat traveling tapi setiap harinya, ya!

Gunakan pouch kedap air dan pilih pakaian berbahan Dri-Fit

Plastik kresek sering diandalkan untuk membungkus pakaian kering saat musim hujan tiba. Bisa juga dipakai sebagai wadah pakaian kotor selama traveling. Namun jelas, menggunakan plastik kresek akan cepat menimbulkan sampah baru karena plastik kresek  mudah rusak. Paling sekali pakai, lalu buang. 

Kamu bisa mengakalinya dengan pouch kedap air agar pakaian kotor tetap bisa terpisah dengan barang lain, apalagi dengan kondisi yang basah. Harganya di online shop sekitar Rp9 ribu sampai Rp15 ribu saja, lho. 

Selain itu, kamu juga bisa mengenakan jenis pakaian cepat kering atau berbahan Dri-Fit. Pakaian yang basah akibat hujan atau aktivitas lain yang kena air pastinya bisa bikin beban pulang makin berat. Belum lagi bau apek menyengatnya saat tiba di rumah. Kalau mengenakan pakaian berbahan Dri-Fit, bisa lebih kering dengan cepat dan tentu bobotnya lebih ringan.

Bawa toiletries sendiri

Foto: Unsplash/Ignacio F

Biasanya hotel atau tempat penginapan menyediakan travel toiletries untuk tamu. Perlengkapan ini kadang nggak jelas terbuat dari apa, dan dikemas dalam kemasan plastik kecil-kecil. Kalau hanya menginap semalam dua malam, kerap kali toiletries nggak habis dan secara otomatis menjadi sampah baru.

Makanya, sebaiknya kamu membawa toiletries sendiri dari rumah agar tidak tergoda membuka toiletries yang sudah disediakan. Hal ini, bukan berarti mubazir lho, tapi dengan melakukan cara ini kamu sudah berkontribusi untuk meminimalkan sampah toiletries selama traveling. 

Konsep zero waste traveling memang bisa kamu awali mulai dari diri sendiri. Baru kemudian mengajak orang terdekat untuk melakukan upaya yang sama dalam meminimalkan sampah saat traveling. 

Bukan buat gaya-gayaan atau lebay, tapi dengan upaya sederhana itu kamu sudah bisa selangkah menyelamatkan bumi.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post 6 Tips Traveling Minim Sampah appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/6-tips-traveling-minim-sampah/feed/ 0 26516
Berkemah Tanpa Sampah, Apakah Jadi Susah? https://telusuri.id/berkemah-tanpa-sampah-apakah-jadi-susah/ https://telusuri.id/berkemah-tanpa-sampah-apakah-jadi-susah/#respond Wed, 20 Jan 2021 04:34:40 +0000 https://telusuri.id/?p=26454 Melakukan perjalanan berkemah tanpa menimbulkan tumpukan sampah ternyata bukan hal yang susah untuk dilakukan. Tapi, bukan berarti ini kemudian akan dilakukan semua orang. Karena, terus terang, masih banyak orang yang akan memilih cara gampang.  Pelajaran...

The post Berkemah Tanpa Sampah, Apakah Jadi Susah? appeared first on TelusuRI.

]]>
Melakukan perjalanan berkemah tanpa menimbulkan tumpukan sampah ternyata bukan hal yang susah untuk dilakukan. Tapi, bukan berarti ini kemudian akan dilakukan semua orang. Karena, terus terang, masih banyak orang yang akan memilih cara gampang. 

Pelajaran soal berkemah tanpa sampah alias ‘zero waste camping’ ini saya dapatkan beberapa tahun lalu. Jauh sebelum pandemi menguasai kecemasan kita semua. Tepatnya di 2018 dalam sebuah kegiatan berkemah untuk keluarga pelaku (ataupun peminat) homeschooling

Disclaimer dulu ya. Saya tidak bisa dibilang sebagai penggiat berkemah. Kalau boleh memilih, saya lebih suka pantai daripada gunung. Meskipun, di sisi lain, saya lebih suka cuaca atau udara dingin daripada panas. 

Sebelum ikut kegiatan berkemah bersama pelaku pembelajar mandiri lainnya, pengalaman berkemah saya sungguh sangat minim dan cupu. Bahkan bisa dihitung dengan jari di satu tangan. 

Pengalaman berkemah

Coba saya runut mundur. Terakhir kali tidur di tenda adalah saat outing kantor bersama kompas.com. Tapi kala itu, tendanya didirikan oleh penyelenggara kegiatan. 

Sebelumnya, pernah berkemah di Sukamantri, Bogor. Bersama beberapa rekan dari detikcom. Lumayan lah, kalau yang ini tendanya kami yang dirikan mandiri. Tapi jangan ditanya seberapa besar kontribusi saya dalam memastikan tenda itu berdiri ya. Jangan lah, pokoknya.  

Lalu, lompat jauh ke masa-masa sekolah. Tepatnya di masa SMP, ketika kemah bersama kegiatan Palang Merah Remaja maupun ketika berangkat bersama-sama sekelompok teman untuk berkemah di Curug Nangka, Bogor. 

Cukup ya. Sudah jelas bahwa pengalaman berkemah saya bahkan tak cukup layak untuk jadi bahan tertawaan teman-teman pendaki, pencinta alam atau pegiat berkemah lainnya. 

Nah, bayangkan bahwa, dengan pengalaman sedangkal itu, tiba-tiba saya harus membawa keluarga untuk berkemah dengan konsep ‘zero waste’ alias minim (bahkan tanpa) sampah. 

Aduhai memang hidup ini kalau sedang memberi pelajaran. Tidak tanggung-tanggung!

Apa sih ‘Zero Waste Camping’ itu?

Soal berkemah tanpa sampah, sungguh sebuah tantangan. Konsep ‘zero waste’-nya saja saya masih harus belajar banyak. Nah, menerapkan konsep itu dalam sebuah kegiatan yang di luar zona nyaman adalah hal yang terasa sangat membuat gentar. 

Tapi, semua dimulai dari langkah pertama. Dan sebagai seorang newbie berkemah dan newbie zero waste, solusinya sangatlah sederhana: belanja! 

Ya. Sebagaimana lazimnya semua orang yang baru mulai, antusiasme menggebu bukannya diarahkan pada riset, belajar atau persiapan mental, tapi malah diarahkan pada belanja barang-barang keperluan camping

Mulai dari kompor parafin tahan angin, ceret air outdoor, plastic case untuk membawa telur hingga jaket, kupluk dan sarung tangan. 

Ternyata, semua itu sungguh sangat jauh dari apa yang seharusnya disiapkan dalam sebuah kegiatan ‘zero waste camping’. 

Jadi, apa saja yang perlu disiapkan sebelum pergi berkemah tanpa sampah? 

  1. Mental. Ini yang paling penting. Semua diawali dari niat dan diperkuat oleh komitmen untuk konsisten. 
  2. Tempat sampah. Wajib banget, supaya lokasi berkemah tak banyak sampah berserakan. Tempat sampah ini bisa berupa tempat sampah pada umumnya atau wadah plastik besar yang bisa digunakan kembali. Bekal kita yang tak bisa diurai alam (misalnya kemasan makanan ringan) juga harus dibawa pulang, dan dipilah.
  3. Peralatan makan. Gunakan botol minum, gelas dan alat makan yang bisa dipakai berulang kali. (Dalam camping yang kami ikuti, panitia berkoordinasi dengan menyiapkan galon isi ulang untuk digunakan bersama.) 
  4. Sabun atau pembersih organik, untuk mencuci alat makan dan alat masak yang digunakan selama berkemah.  
  5. Hindari minuman sachet atau makanan dalam kemasan, kalau tidak bisa hidup tanpa kopi sachet, ya setidaknya tak perlu membawa terlalu banyak lah. 
  6. Sapu tangan atau lap kain. Daripada tisu, lap atau sapu tangan bisa dipakai berulang-ulang. 
  7. Minimalkan kantong plastik. Ada dry bag yang bisa digunakan berkali-kali untuk mengakomodir barang bawaan yang mengandung air.
  8. Sekop kecil. Pastikan dengan pengelola camping ground, apakah boleh mengubur sampah organik di lokasi. Jika boleh, jangan lupa bawa peralatannya. (Dalam hal perkemahan yang kami ikuti, lubang sampah ini sudah disiapkan penyelenggara.) 

Seru dan mudah, tapi bukan yang paling gampang 

Saya bersyukur pengalaman berkemah di acara itu sangat menyenangkan. Kami pun bisa taat pada skema ‘zero waste’ yang dicanangkan penyelenggara. Kebanyakan peserta juga demikian. 

Walaupun, harus diakui, ada juga area abu-abu. Misalnya, ada warung mie instan di dekat area perkemahan. Begitu ada satu yang memesan, tentu saja banyak yang tergoda aroma luar biasa itu. Padahal bungkusnya, entah dibuang ke mana.

Di waktu yang sama, kebetulan ada rombongan lain yang melakukan kegiatan perkemahan. Mereka hanya berjarak sekitar 10-15 meter dari batas ujung area yang kami gunakan.

Keberadaan rombongan sebelah ini sungguh membuka mata kami pada berkemah minim sampah. Bukan bermaksud sombong atau sok suci, tapi tumpukan sampah bekas nasi boks di perkemahan sebelah begitu ‘menusuk mata’ kami. 

Di hari terakhir, saat kami hendak pulang, sampah rombongan sebelah makin menggunung, membuat pilu rasanya. Dalam hati saya berdoa, semoga penyelenggara rombongan sebelah punya rencana baik dalam membuang sampah mereka. Sedangkan saat melihat bekas area kemah kami, rasanya lebih lega karena sampah organik dikubur dengan baik dan sampah lain dibawa pulang oleh masing-masing keluarga. 

Meskipun sebenarnya terlihat mudah untuk dilaksanakan, tapi berkemah tanpa sampah ternyata butuh persiapan ekstra. Saya yakin banyak orang yang akan berkata, persiapan tersebut akan sangat merepotkan dan lain sebagainya. 

Sedangkan cara gampang sudah ada di ujung jari, yakni menyiapkan konsumsi dengan nasi boks, menyiapkan ‘tempat sampah’ yang kemudian akan ditinggal untuk jadi masalah pengelola camping ground. Apalagi dengan dalih: kan, sudah bayar uang kebersihan. 

Selalu ada cara gampang dan penggampangan yang bisa dipilih. Padahal, ada cara lain yang juga mudah. 

Upaya-upaya kecil seperti membawa pulang sampah seharusnya jadi hal paling minim yang bisa dilakukan dalam sebuah perjalanan. Ya, mungkin tidak akan tercapai “total zero waste” tapi setidaknya ada usahanya. 

Kutipan bijak ini sungguh mengena: cukup kenangan yang disimpan dan jejak yang ditinggalkan. 

Yuk, lebih bijak dengan sampah kita.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI. Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Berkemah Tanpa Sampah, Apakah Jadi Susah? appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/berkemah-tanpa-sampah-apakah-jadi-susah/feed/ 0 26454