sampah Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/sampah/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 27 May 2025 15:23:32 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 sampah Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/sampah/ 32 32 135956295 Perjalanan Sampah dari Rumah ke Pembuangan Akhir (2) https://telusuri.id/perjalanan-sampah-dari-rumah-ke-pembuangan-akhir-2/ https://telusuri.id/perjalanan-sampah-dari-rumah-ke-pembuangan-akhir-2/#respond Wed, 09 Apr 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46586 Sopir truk sabar mengantre, menunggu arahan operator ekskavator yang tengah sibuk mengeruk bukit sampah, menggeser dan memindahkan sampah ke sudut lain. Sopir dump truck maju duluan memuntahkan bawaannya. Disusul truk arm roll dengan muatan jumbo,...

The post Perjalanan Sampah dari Rumah ke Pembuangan Akhir (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Sopir truk sabar mengantre, menunggu arahan operator ekskavator yang tengah sibuk mengeruk bukit sampah, menggeser dan memindahkan sampah ke sudut lain. Sopir dump truck maju duluan memuntahkan bawaannya. Disusul truk arm roll dengan muatan jumbo, mencari posisi yang pas untuk memundurkan kontainer, lalu membuka pintu belakang. Sampah pun berhamburan.

Truk model dump truck membuang muatan dengan mengangkat bak terbukanya sampai sampah merosot keluar. Sedangkan truk arm roll yang membawa kontainer sampah, didesain bisa memundurkan gendongan hingga terlepas. Truk jenis ini punya belalai pengait untuk menaikkan kontainer ke punggung kendaraan. Saat melepas sampah, arm roll menurunkan separuh kontainer sampai miring. Sopir memainkan pedal gas, maju sedikit-sedikit, lalu sampah terjun ke tanah.   

Ekskavator mondar-mandir di antara buldoser yang meratakan timbunan sampah. Para pemulung asyik saja menyambut kedatangan sampah yang masih “segar”. Seolah mereka sedang berlomba mencari “harta karun” dengan besi pengait. Saya membayangkan mereka adalah atlet anggar yang tengah memainkan pedangnya menusuk sasaran. Seru pokoknya!

Karena jalanan becek dan berlumpur, truk-truk yang sudah menunaikan hajatnya, kesulitan melaju. Terjebak. Saya sampai sangsi mereka bisa lolos dari jeratan lumpur. Sejurus kemudian, tak terpikirkan oleh “turis” seperti kami, operator dengan sigap menempelkan kepala belalai ekskavator ke bokong truk lalu mendorongnya. Sukses! Truk bebas dari kepungan lumpur, lanjut ngegas ke jalur aman.          

Muhammad, anak ketiga dari lima bersaudara itu terpana. Ini pengalaman pertamanya menyaksikan truk besar pengangkut sampah membuang muatan di “markas besar”. Di sana segala sampah warga kota terkumpul. Kata “menjijikkan” dan “jorok” seketika kehilangan makna. Sirna begitu saja. Berganti pemandangan tentang ketabahan hidup dari para manusia yang mengais rezeki di lautan sampah. Mereka tak pernah sekolah tinggi. Tak kenal apa itu korupsi. 

Dump truck hijau ketiga datang. Menunggu sebentar sebelum menumpahkan bawaan, menanti aba-aba dari “avatar” pengendali beko. Saat arm roll rampung mengosongkan gendongan, sopir muda truk ketiga segera mengarahkan kendaraan ke arena perpisahan. Sampah-sampah dilepaskan ke sebuah penjuru, lalu para pemburu sampah menyerbu.

Dump truck hijau menunggu giliran membuang sampah (kiri) dan ekskavator yang berada di medan berlumpur TPAS Kopi Luhur/Mochamad Rona Anggie

Cerita dari Pemulung

Saya lalu mengajak Muhammad ke seberang, tempat gubuk-gubuk milik pemulung. Kami waspada sebelum melintas. Saya perhatikan pergerakan belalai ekskavator dan dump truck yang sedang maju mundur. Setelah dirasa aman, jauh dari jangkauan keduanya, baru kami menyeberang. Melewati jalur lumpur yang sebelumnya dilindas roda truk.

Di salah satu gubuk beratap terpal rombeng, seorang pria paruh baya duduk dikelilingi tumpukan wadah plastik dan gelas-botol air mineral. “Namanya siapa, Pak?” tanya saya setengah berteriak, di antara bising suara ekskavator dan truk yang “batuk-batuk” berusaha melepaskan cengkeraman lumpur di roda. 

“Abdul Hamid,” katanya terdengar sayup.

“Usia berapa?”

“Kelahiran 1964,” jawabnya.

Warga Kelurahan Argasunya yang satu kawasan dengan TPAS Kopi Luhur itu lantas berbagi cerita. Dia mulai jadi pemulung di sana sejak 1999. Persis setahun setelah TPAS Kopi Luhur resmi beroperasi. “Tadinya saya kerja di Jakarta,” ujarnya.

Abdul Hamid pergi memulung selepas salat Subuh. Dia pulang kembali ke rumah pukul satu siang. Sampah yang diincarnya adalah tempat makan plastik dan bekas kemasan air minum. Pembeli datang sendiri ke gubuknya. Biasanya para pengepul barang bekas yang akan didaur ulang pabrik.

“Sebulan penghasilan berapa, Pak?”

Abdul Hamid sejenak berpikir. “Sekitar empat juta,” sahutnya. Wow, lumayan besar juga, batin saya.

Ayah sepuluh anak itu kini ditemani anak bungsu yang juga pengumpul sampah. Jumlah pemulung yang terdata di sana, kata Abdul Hamid, ada 170 orang. “Tapi di lapangan bisa sampai dua ratus. Bergantian memulung, beda waktu,” terangnya.  

Pemulung lain, lanjut dia, ada yang datang pukul 09.00 atau selepas zuhur hingga Magrib. Malamnya, juga ada yang memulung, tetapi tidak banyak. “Masing-masing sudah ada rezekinya. Kami di sini saling menghargai. Tidak berebutan,” tutur kakek delapan cucu itu.

  • Perjalanan Sampah dari Rumah ke Pembuangan Akhir (2)
  • Perjalanan Sampah dari Rumah ke Pembuangan Akhir (2)

Soal jalanan yang becek dan berlumpur, Abdul Hamid menyebutnya hanya di musim hujan saja. “Kalau kemarau, jalanan kering. Truk lancar melintas,” ucapnya. Saat disinggung sering beraktivitas di tempat sampah, apakah tidak takut kena penyakit? Abdul Hamid membandingkan dengan masa pandemi COVID-19. 

“Waktu COVID-19 saja, alhamdulillah pemulung tidak kena,” katanya dengan senyum mengembang. Saya berseloroh, “Virusnya takut datang ke sini, Pak!” Lelaki bersepatu bot itu tergelak.

Ketika sedang serius menghimpun keterangan Abdul Hamid, tiba-tiba saya merasa ada sesuatu membelit kaki. Saya tak berani langsung melihat ke bawah. Menerka-nerka dulu. Binatang melatakah (ular) dari tumpukan sampah merambat naik ke kaki? Berdebar saat memastikannya. Saya mengentak-entakkan kaki kiri, berharap yang menempel segera lepas. Pas dilihat, eh, anak kucing! Si meong menggelendotkan tubuhnya sambil mengusapkan buntut ke kaki saya. Huh, mengagetkan saja!

Pemulung di TPAS Kopi Luhur tidak didominasi kaum lelaki. Wanita juga ada. Salah satunya Keni (46). Ibu enam anak itu sedang memanggul keranjang berisi sampah kemasan air mineral dan menjinjing sekarung “sumber rupiah” lainnya, ketika saya ajak ngobrol. “Saya memulung bareng suami, untuk membantu perekonomian keluarga,” tuturnya. 

Dia mengaku sudah belasan tahun bekerja sebagai pemulung. Selain karena rumahnya di Argasunya dekat TPAS, aktivitas harian di tempat sampah mampu memberinya penghasilan. “Sebulan bisa satu sampai dua juta,” beber nenek tiga cucu itu.   

Kaum perempuan ikut memulung guna menyokong ekonomi keluarga. Seperti yang dilakukan Keni (kiri), nenek tiga cucu/Mochamad Rona Anggie

Usia TPAS Kopi Luhur Dua Tahun Lagi

Sudah 27 tahun beroperasi, TPAS Kopi Luhur kini masuk fase kritis over kapasitas. Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Cirebon, dr. Yuni Darti Sp.GK., melalui Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) TPAS Kopi Luhur, Jawahir Kusen mengungkapkan, hitungan di atas kertas umur area pembuangan akhir sampah itu tinggal dua tahun.

Solusi jangka panjang, kata dia, memindahkannya ke lokasi baru. “Tapi belum tahu di mana,” ucapnya lirih. Sementara untuk jangka pendek, DLH Kota Cirebon sedang mengupayakan kehadiran teknologi pengolahan sampah Refuse Derived Fuel (RDF), demi menyiasati perpanjangan usia TPAS Kopi Luhur. “Dari provinsi (Jabar) sudah survei. Semoga tak lama lagi terwujud,” ujar Jawahir kepada penulis, Rabu (26/2/2025).

Menurutnya, mesin RDF akan membantu mengurangi timbunan sampah, karena memiliki kemampuan memilah sampah organik dan anorganik. Mempercepat proses daur ulang hingga bisa dijadikan briket. 

Jawahir menjelaskan, saat ini dalam sehari TPAS Kopi Luhur menampung 600 sampai 700 kubik sampah. Luasnya 14,2 hektare, tetapi hanya digunakan delapan hektare sebagai tempat pembuangan sampah. Lahan sisanya terlalu dekat permukiman penduduk. Jika dipaksakan rentan gejolak sosial.  

Perjalanan Sampah dari Rumah ke Pembuangan Akhir (2)
Tas kain ramah lingkungan koleksi pribadi/Mochamad Rona Anggie

Peduli Lingkungan dari Kecil

Senang bisa mendampingi buah hati ke TPAS Kopi Luhur. Saya berharap Muhammad mulai memahami, kenapa ibunya selalu membawa kantung berbahan kain setiap belanja ke pasar tradisional atau supermarket. 

Termasuk mengapa kasir di beberapa swalayan kini tegas tak menyediakan kresek, dan menawarkan paper bag (kantung berbahan kertas) untuk membawa belanjaan? Tidak lain—semoga Muhammad mengerti—sebagai upaya global mengurangi sampah plastik.

Seiring waktu, kepekaan Muhammad dan rekan seusianya bakal terasah. Orang tua berperan penting mengedukasi anak-anaknya. Bagaimana turut aktif menjaga bumi dari gempuran sampah plastik. Kita biasakan mereka untuk memakai tas ramah lingkungan berbahan kanvas atau anyaman, ketika membeli kebutuhan sehari-hari. 

Kaki saya dan Muhammad (kiri) sama-sama sempat terbenam lumpur/Mochamad Rona Anggie

Kami pun balik kanan. Melangkah ke parkiran. Eh, drama belum usai. Gantian Muhammad terperosok ke lumpur. Dia meringis. Kedua kakinya “disedot” lumpur. Cepat saya tarik tangannya, biar tidak semakin dalam.

“Angkat (kakimu)!” perintah saya. Ya, berhasil. Namun, sandal sebelah kiri menjadi martir (putus). “Sudah, pulang nyeker saja,” kata saya, dibalas dengan cemberut.    

Begitulah petualangan kami di TPAS Kopi Luhur. Menziarahi persemayaman terakhir kasur jebol, sofa bodol hingga lemari ambrol. Sampah busuk yang berserakan adalah “permata” bagi setiap pemulung. Lalat-lalat hijau mendengung dan camar terbang rendah melepas kepulangan kami.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Perjalanan Sampah dari Rumah ke Pembuangan Akhir (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/perjalanan-sampah-dari-rumah-ke-pembuangan-akhir-2/feed/ 0 46586
Perjalanan Sampah dari Rumah ke Pembuangan Akhir (1) https://telusuri.id/perjalanan-sampah-dari-rumah-ke-pembuangan-akhir-1/ https://telusuri.id/perjalanan-sampah-dari-rumah-ke-pembuangan-akhir-1/#respond Tue, 08 Apr 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46573 Kehidupan manusia selalu menghasilkan sampah. Ketika masih kecil, kita membuang sampah jajanan: plastik es, bungkus chiki, permen, cokelat, susu kotak, sampai kemasan makanan instan. Saat sudah berkeluarga, sampah yang kita keluarkan semakin banyak. Paling dominan...

The post Perjalanan Sampah dari Rumah ke Pembuangan Akhir (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Kehidupan manusia selalu menghasilkan sampah. Ketika masih kecil, kita membuang sampah jajanan: plastik es, bungkus chiki, permen, cokelat, susu kotak, sampai kemasan makanan instan. Saat sudah berkeluarga, sampah yang kita keluarkan semakin banyak. Paling dominan sampah kresek pembungkus barang yang kita beli. Baik di pasar tradisional maupun supermarket. Sampah semakin bertambah, karena produk yang dibawa ke rumah juga sudah dalam kemasan, yang ujung-ujungnya kita lempar ke tempat sampah.

Saya juga mengamati bekas popok dan pembalut wanita sekali pakai. Sampah bawaan produk semacam ini ternyata mengerikan. Saat membeli barangnya kita diberi kresek, tambah kemasan produk. Selesai digunakan, kresek, plastik kemasan, si produknya sendiri berikut kotoran manusianya, akan menghuni tempat sampah.

Di bak sampah depan rumah, bercampurlah segala sampah. “Rajanya” tetap sampah plastik aneka rupa. Ada kemasan makanan dan minuman, dus-dus, sisa buah dan sayuran busuk, kulit telur, jeroan ikan serta unggas, tulang-belulang berbelatung hingga dedaunan kering hasil menyapu halaman.   

Perjalanan Sampah dari Rumah ke Pembuangan Akhir (1)
Sampah keluarga kami/Mochamad Rona Anggie

Sebelum diangkut tukang sampah kompleks, biasanya sampah rumah tangga disatroni lebih dulu oleh para pemulung. Penampilan mereka khas: membawa karung di punggung, besi pengait, serta menutupi kepala dengan selembar kaus lusuh. Umumnya berjalan kaki keliling perumahan sejak gelap subuh. Ada juga yang naik sepeda, memodifikasinya, memasang dua karung di kanan dan kiri boncengan belakang.

Terkadang para pemulung membuat kesal pemilik rumah. Bagaimana tidak, sampah yang biasanya sudah dibungkus kresek besar dan diikat kuat—guna menghindari bau tak sedap—malah dibongkar memakai besi pengait. Mereka mencari sampah yang punya nilai ekonomis, seperti botol plastik (bekas air mineral) dan botol kaleng (bekas minuman ringan).

Para pemulung itu lantas pergi setelah mendapat apa yang dicari. Mereka tidak peduli sudah memberantakkan isi tempat sampah, sehingga bau sisa sampah makanan dan kotoran di popok menyeruak mengganggu penciuman. Saya pribadi, kalau mendapati pemulung hendak mencerai-beraikan sampah yang sudah terbungkus, segera menegur dengan suara keras, “Jangan diberantakin!”, membuat yang ‘disemprot’ lekas berlalu.

Perjalanan Sampah dari Rumah ke Pembuangan Akhir (1)
Pemulung menggeledah bak sampah kami/Mochamad Rona Anggie

Pak Uri, Tukang Angkut Sampah Kompleks Kami

Dalam dua hari, biasanya tumpukan sampah di bak atau tong milik warga bakal meninggi. Tambah hari akan terlihat menyembul melewati batas tempat sampah. Setelah pemulung beraksi, selanjutnya petugas angkut sampah yang bercengkerama dengan sampah-sampah itu.   

Tukang angkut sampah di kompleks kami, RW 04 Darmamukti, Rajawali Barat, bernama Uri. Badannya gempal. Dia bertugas mengangkut sampah warga seminggu tiga kali. “Tapi kalau lagi enggak fit, saya muternya sepekan sekali,” kata Uri kepada penulis, di sela aktivitas mengambil sampah. 

Lelaki 69 tahun itu menggunakan sepeda motor yang disambung tak permanen dengan gerobak pengangkut sampah. Berkeliling dari satu bak sampah ke tong sampah yang ada di depan rumah warga. Jam kerjanya mulai dini hari sampai pagi. 

  • Perjalanan Sampah dari Rumah ke Pembuangan Akhir (1)
  • Perjalanan Sampah dari Rumah ke Pembuangan Akhir (1)

Ketika ditanya mengapa tidak mengangkut sampah dari pagi ke siang? Uri menjelaskan kalau sampah warga beres terangkut ke Tempat Pembuangan Sampah Sementara (TPSS) sejak masih pagi sekali, dirinya tak perlu antre menunggu giliran buang di TPSS. “Sengaja dari jam dua pagi saya keliling ambil sampah. Paginya bisa langsung ke TPSS tanpa harus antre,” papar ayah enam anak itu.

Tujuan Uri dan gerobaknya adalah TPSS Rajawali yang bersisian dengan Sungai Kriyan. Di sana, kata Uri, tukang angkut sampah dari masing-masing perumahan atau RW, wajib memasukkan sendiri sampah yang mereka bawa ke kontainer penampung. Proses ini memakan waktu cukup lama. Tambah siang, akan semakin banyak tukang angkut sampah antre untuk membuang bawaannya ke kotak sampah raksasa.

“Bisa saja buang di sekitar kontainer, di bawah. Lebih mudah itu. Tapi harus bayar lima belas ribu,” sebutnya.   

Tidak terasa, sudah 12 tahun Uri bekerja mengangkut sampah di kompleks kami. Sebelumnya, sejak 1976 ketika masih umur 20 tahun, ia menjadi petugas kebersihan jalan di Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Cirebon. “Saya pegawai honorer, pensiun tahun 2013,” ujar warga Pamengkang, Mundu, Kabupaten Cirebon.   

Tugas keseharian Uri saat aktif berseragam kuning adalah menyapu pinggiran Jalan Rajawali. Hingga akhirnya kenal dekat dengan pengurus RW setempat. Tawaran jadi tukang angkut sampah datang saat dirinya purnatugas. “Biar tetap produktif di usia senja,” ucap kakek 15 cucu itu.

Ketika mengangkut sampah warga, Uri kerap dibantu anak ketiganya, Abdul Kholiq (37). Dia mengaku kalau bekerja sendirian, sering tak kuat membungkuk untuk mengambil sampah dari tempatnya. “Suka sakit pinggang,” keluhnya. Halangan lain yang membuat Uri terkadang hanya mampu sepekan sekali menjalankan tugas adalah masuk angin. “Maklum sudah berumur,” imbuhnya.   

Memakai sepatu bot, slayer penutup setengah wajah, dan topi. Begitu tampilan Uri menyusuri tempat sampah warga. Sesekali dia terlihat mengisap rokok kretek. “Supaya enggak ngantuk sekaligus penetral bau sampah,” katanya memberi alasan akrab dengan asap nikotin.   

Apakah penghasilannya saat ini cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari? Uri mensyukuri yang ia dapat. Terlebih ketika ingat awal jadi tukang angkut sampah, bergaji hanya Rp150.000 sebulan. “Sekarang sudah satu juta,” beber kepala keluarga dua rumah tangga itu. Ya, Uri tak sungkan mengakui statusnya yang beristri dua. “Istri saya yang muda, bekerja juga. Jadi, bisa meringankan beban saya,” tuturnya.

Motor roda tiga dipakai untuk angkut sampah (kiri) dan kontainer sampah di TPSS Rajawali/Mochamad Rona Anggie

Berikutnya: Urusan Truk Sampah

Saya kemudian mendatangi TPSS Rajawali. Siang itu sebuah dump truck parkir. Dua petugas berjibaku menyerok tumpahan sampah dari gerobak yang sengaja digulingkan.  Petugas lainnya di atas mobil, menyambut operan ember berisi sampah. Terus mereka bekerja demikian, memasukkan sampah ke bak truk, sampai benar-benar tak menyisakan secuil ruang.   

Di balik kemudi kendaraan milik Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Cirebon itu, si sopir sedang memejamkan mata. Tapi tak marah begitu saya bangunkan. Namanya Taya (48).

Dia menyebutkan jam kerjanya pukul 07.00 sampai 13.00. Truk yang dibawanya biasa mengirim sampah ke Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) Kopi Luhur setelah waktu zuhur, menunggu bak truk penuh maksimum. “Kapasitas (mobil) aslinya satu ton. Tapi kalau sampah dipadatkan bisa dua–tiga ton. Apalagi kalau musim hujan, air membuat muatan tambah berat,” paparnya.

Taya menerangkan ada lima kru yang menyertainya selama pengumpulan sampah di TPSS hingga pembuangan ke TPAS. Mereka tak punya jadwal libur. Kalau mau izin untuk suatu keperluan, mesti mengabari pimpinan sehari sebelumnya. Agar alih tugas kepada sopir lainnya tidak mendadak, demi menjaga layanan angkut sampah terus berjalan. 

Taya bangga mendapat bagian tugas di TPSS Rajawali karena salah satu yang terbesar di Kota Cirebon. Menampung sampah dari sebagian wilayah Kecamatan Harjamukti, Kesambi, dan Lemahwungkuk. Dalam sehari, kata dia, ada hampir 50 gerobak sampah yang merapat. Sebenarnya beban angkut truk Taya hanya untuk 32 gerobak. Sementara satu gerobak bisa dua kali balikan membawa sampah ke TPSS Rajawali. 

  • Perjalanan Sampah dari Rumah ke Pembuangan Akhir (1)
  • Perjalanan Sampah dari Rumah ke Pembuangan Akhir (1)

“Kelihatan, kan, berapa banyak kelebihan sampah yang mesti diangkut?” tanyanya coba berbagi kesah jika daya tampung sampah sudah over kapasitas. “Tapi ya, namanya juga tugas, tetap kami angkut ke Kopi Luhur,” imbuh pegawai berstatus ASN yang berdinas sejak 2012.

Tentang tukang sampah kompleks dikenai biaya ekstra jika membuang muatannya tidak langsung ke kontainer, sebagaimana penjelasan Uri, Taya menampiknya. Dia mengungkapkan itu sebatas ke-sukarela-an. Bentuk solidaritas kepada petugas kebersihan TPSS. “Kalau enggak ngasih, tidak masalah. Kami tetap bekerja profesional,” kata ayah tiga anak itu.

Taya menceritakan satu waktu pernah didatangi pengurus RW yang komplain soal biaya tak resmi tersebut. Menurutnya, kadang orang salah persepsi dan menganggapnya sebuah keharusan. “Setelah saya jelaskan, baru mereka paham. Jadi, tidak ada pungutan di sini,” ucapnya seraya menyebutkan selain Rajawali, Kota Cirebon memiliki TPSS Galunggung, Kimia Jaya, Buyut, Kalibaru, Sukalila Utara, Penggung, Evakuasi, Grenjeng, Sunyaragi, Tuparev, dan Krucuk. 

Perjalanan Sampah dari Rumah ke Pembuangan Akhir (1)
Pemulung mencari peruntungan di TPSS Rajawali/Mochamad Rona Anggie

Menyambangi Kopi Luhur

Besok siangnya, sengaja saya ajak Muhammad (10) ke TPAS Kopi Luhur di Kelurahan Argasunya. Jaraknya 10 kilometer dari TPSS Rajawali. Mengarah ke ujung selatan wilayah kota. Melintasi jembatan di atas jalan tol Palikanci yang menuju Jawa Tengah.

Mendekati Kopi Luhur, jalan menanjak dan berkelok. Permukiman penduduk semakin jarang, berganti pepohonan dan belukar. Melewati lapangan tembak milik Korem 063 SGJ, terus naik lantas mulai tercium aroma tidak sedap, dan pemandangan bukit-bukit sampah. Ada gerbang masuk sekadarnya. Saya parkir motor dekat tenda semipermanen milik pemulung yang tengah memilah botol bekas air mineral.

Tak menanti lama, apa yang saya harapkan datang. Sebuah dump truck penuh sampah berpenutup jaring di atasnya menggilas jalan berlumpur yang dilewati. Hitungan menit, menguntit di belakangnya sebuah truk arm roll menggendong kontainer sampah. Lajunya menderu, mengepulkan asap pekat dari knalpot serupa bazoka. Muhammad takjub melihatnya. Pelajar kelas 4 MI itu tak berkedip! 

Perjalanan Sampah dari Rumah ke Pembuangan Akhir (1)
Muhammad (kanan) menyaksikan kedatangan truk arm roll pengangkut sampah di TPAS Kopi Luhur/Mochamad Rona Anggie

“Ayo, ikuti truk-truk itu!” kata saya.

Setengah berlari, kami mengikuti jejak roda besar yang membelah tanah becek berlumpur hitam. Awalnya meniti pinggiran, lalu terhalang sampah botol beling yang sudah pecah setengah—bahaya! Mau tak mau melangkah agak ke tengah, dan akhirnya apa yang dikhawatirkan terjadi: kaki terjerembap dalam lumpur berbau busuk. Show must go on, saya terus berjalan hingga melihat titik finis truk-truk tadi. 

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Perjalanan Sampah dari Rumah ke Pembuangan Akhir (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/perjalanan-sampah-dari-rumah-ke-pembuangan-akhir-1/feed/ 0 46573
Wisata Regeneratif, untuk Apa? https://telusuri.id/wisata-regeneratif-untuk-apa/ https://telusuri.id/wisata-regeneratif-untuk-apa/#respond Fri, 06 Jan 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36825 Sebagai sektor yang rentan terhadap aktivitas konsumsi berlebihan (overconsumption), industri pariwisata dan hospitality selama ini menghasilkan sampah dalam jumlah yang tidak kecil dan sangat berpotensi mencemari lingkungan, dan tentu saja mengancam keanekaragaman hayati. Diperkirakan, secara...

The post Wisata Regeneratif, untuk Apa? appeared first on TelusuRI.

]]>
Sebagai sektor yang rentan terhadap aktivitas konsumsi berlebihan (overconsumption), industri pariwisata dan hospitality selama ini menghasilkan sampah dalam jumlah yang tidak kecil dan sangat berpotensi mencemari lingkungan, dan tentu saja mengancam keanekaragaman hayati. Diperkirakan, secara global, sektor pariwisata dan hospitality menghasilkan rata-rata sekitar 35 juta ton sampah per tahunnya. 

Menurut Sustainable Travel International—lembaga nirlaba yang mengusung misi antara lain mendorong aktivitas wisata berkelanjutan—para wisatawan, entah itu wisatawan domestik maupun wisatawan mancanegara, umumnya menghasilkan sampah hingga dua kali lipat dibandingkan penduduk lokal. 

Jika mengambil rata-rata dalam sehari, seorang wisatawan memproduksi sekitar 1,67 kilogram sampah (Obersteiner et al, 2021). Menurut United Nations Environment Programme (UNEP), para wisatawan menghasilkan setidaknya 4,8 juta ton sampah padat per tahun.

Jika tidak ditangani dengan baik, problem sampah ini sudah barang tentu bakal merugikan sektor pariwisata sendiri. Salah satunya yakni akan membawa citra buruk bagi destinasi wisata, yang akan berimbas kemudian pada enggannya para wisatawan untuk datang berkunjung. 

Dari aspek medis, sampah dapat menjadi sumber penyebaran dan penularan sejumlah penyakit yang pada gilirannya dapat memicu wabah. Di sisi lain, sampah juga merusak ekosistem tertentu. Misalnya, sampah telah terbukti merusak terumbu karang.

Dengan demikian, sampah yang dihasilkan wisatawan dapat memberikan tekanan yang cukup berat pada aspek kesehatan lingkungan yang ujungnya akan berimbas pada masa depan bisnis pariwisata itu sendiri. Belum lagi sampah-sampah yang dihasilkan dari sektor industri hospitality seperti hotel, restoran, katering, dan gedung konvensi.

Lantas, bagaimana solusinya?

Jika kita telisik lebih jauh, industri pariwisata dan hospitality umumnya menghasilkan dua jenis sampah padat. Yang pertama yaitu sampah plastik. Dalam hal ini, plastik sekali pakai yang menimbulkan permasalahan sangat serius bagi lingkungan dan keanekaragaman hayati. Laporan UNEP tahun 2021 bertajuk From Pollution to Solution: A Global Assessment of Marine Litter and Plastic, menyebut bahwa sampah plastik telah meningkat dari tahun ke tahun.

Menurut laporan tersebut, sekarang ini terdapat antara 75–199 juta ton sampah plastik di lautan. Pada tahun 2016 lalu, terdapat 9–14 ton sampah plastik masuk ke ekosistem perairan dunia. Diperkirakan, pada tahun 2040, jumlah tersebut bakal meningkat hampir tiga kali lipat menjadi 23–37 juta ton. 

Plastik adalah sampah laut terbesar, paling berbahaya dan paling persisten. Sampah ini menyumbang setidaknya 85 persen dari semua sampah di lautan. Menurut The National Trust, lembaga swadaya yang berbasis di Swindon, Inggris, dan hirau akan masalah-masalah konservasi, per satu kali kita melangkah di pantai, setidaknya kita akan menemui dua kepingan sampah—yang boleh jadi salah satunya, atau bahkan keduanya, adalah sampah plastik.

Diperkirakan pada tahun 2025 mendatang akan ada sekurangnya 1 ton sampah plastik untuk setiap 3 ton ikan, dan pada tahun 2050, jumlah sampah plastik justru akan melampaui jumlah ikan yang ada di lautan. Dengan kata lain, lautan akan lebih banyak dipenuhi sampah plastik daripada ikan (Gatehouse, 2019). 

Secara umum, ada dua jenis sampah plastik yang mencemari lautan. Pertama, plastik makro. Ini adalah plastik dengan diameter lebih dari 20 milimeter. Kedua, plastik mikro, yang diameternya kurang dari 5 milimeter. Pengelolaan sampah yang tidak memadai dan pembuangan yang sembarangan merupakan jalur utama masuknya plastik ke lingkungan laut. 

Tatkala hewan-hewan laut—termasuk ikan dalam hal ini—mengkonsumsi potongan sampah plastik, zat-zat kimia yang terdapat dalam plastik masuk ke dalam tubuh hewan. Dan ketika manusia mengkonsumsi hewan-hewan laut itu, zat-zat tadi pun lantas masuk pula ke dalam tubuh manusia. Hasil penelitian yang dilakukan Helene et al dan kemudian dipublikasikan baru-baru ini di jurnal Environmental Science & Technology menyimpulkan dari sekitar 10.500 bahan kimia dalam plastik, hampir 2.500, atau 24%, mampu terakumulasi dalam organisme hidup, termasuk manusia dan hewan, dan berpotensi meracuni tubuh atau menyebabkan kanker.

Jenis sampah padat kedua yang dihasilkan oleh industri pariwisata dan hospitality adalah sampah makanan. Sampah ini menjadi salah satu problem besar bagi lingkungan yang dewasa ini sedang kita hadapi. Organisasi Pangan Dunia (FAO) menaksir sekitar 1,3 miliar ton sampah makanan dihasilkan per tahunnya dan ikut bertanggung jawab terhadap terus menumpuknya gas rumah kaca di atmosfer, yang menyebabkan pemanasan global.

Sejumlah sumber menyebut, pada tahun 2030 mendatang, jumlah sampah makanan diperkirakan bakal meningkat sebesar 60 persen dan akan menimbulkan kerugian finansial sekitar 1,5 miliar dollar AS.

Wisata Regeneratif

Mempertimbangkan dampak negatif yang dapat ditimbulkan oleh industri pariwisata dan hospitality bagi lingkungan, belakangan ini muncul konsep yang disebut sebagai wisata regeneratif (regenerative tourism).

Selandia Baru disebut-sebut sebagai salah satu negara yang sukses mengembangkan wisata regeneratif. Tourism New Zealand, badan pariwisata resmi negara itu, dinilai telah berhasil mengajak semua wisatawan di negara itu untuk menepati Tiaki Promise. Ini adalah janji untuk merawat Selandia Baru, baik orang-orangnya, budayanya, tanahnya, lautnya, dan alamnya. Bunyi Tiaki Promise antara lain: “Saat bepergian di Selandia Baru, saya akan merawat tanah, laut, dan alam, melangkah dengan ringan dan tidak meninggalkan jejak; bepergian dengan aman, menunjukkan perhatian dan pertimbangan untuk semua; menghormati budaya, bepergian dengan hati dan pikiran terbuka.”

braga
Mungkinkah nantinya wisata regeneratif akan menjadi hal yang umum?/Djoko Subinarto

Menurut Pollock (2019), wisata regeneratif bertujuan untuk memulihkan kerusakan yang telah dilakukan terhadap alam, dengan menggunakan prinsip-prinsip alam, untuk menciptakan kondisi kehidupan untuk berkembang. Pollock berpandangan bahwa pendekatan regeneratif untuk industri pariwisata dapat dimulai dari rumah dan dari dalam diri kita sendiri, kemudian tempat kerja kita dan komunitas kita.

Sementara itu, dalam pandangan Bellato (2022), wisata regeneratif lebih merujuk kepada cara berpikir holistik di mana semua pemangku kepentingan, termasuk para wisatawan, membangun hubungan timbal balik yang saling menguntungkan dengan cara berupaya untuk secara aktif meningkatkan sistem sosial dan lingkungan serta menyelaraskan segalanya untuk menopang planet Bumi ini sehingga semua makhluk dapat berkembang.

Intinya, lewat pengembangan konsep wisata regeneratif diharapkan dapat kian meningkatkan kesadaran lingkungan para wisatawan sehingga akhirnya turut secara aktif berperan dalam mengembangkan aktivitas wisata yang lebih pro-lingkungan. 

Misalnya, dalam kaitannya dengan sampah yang dihasilkan wisatawan, wisatawan diharapkan selalu membawa kantong yang dapat dipakai berkali-kali untuk menggantikan kantong plastik sekali pakai saat berwisata. Ketika membeli sesuatu pada saat wisata, mereka diharapkan pula mampu menghindari membeli produk-produk yang menggunakan kemasan plastik dan mengupayakan untuk membeli produk-produk yang menggunakan bahan-bahan daur ulang.

Contoh lainnya yaitu dalam hal penggunaan transportasi. Para wisatawan diharapkan memilih menggunakan transportasi publik, berjalan kaki atau bersepeda ketika menuju destinasi wisata. Begitu juga dalam hal menggunakan air dan listrik ketika berwisata, para wisatawan menggunakannya secara bijak sehingga tidak terjadi penghamburan atau pemborosan.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Wisata Regeneratif, untuk Apa? appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/wisata-regeneratif-untuk-apa/feed/ 0 36825
Wahyu dalam Pengolahan Sampah Lembongan https://telusuri.id/wahyu-dalam-pengolahan-sampah-lembongan/ https://telusuri.id/wahyu-dalam-pengolahan-sampah-lembongan/#respond Sun, 25 Sep 2022 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=35315 Saya memasuki sebuah halaman yang dipenuhi kaleng rongsok yang sudah dipenyek, hingga ketika menginjakkan kaki di atasnya terasa seperti berjalan di atas tumpukan aspal. Saya kemudian masuk dan menemui segerombolan manusia yang sedang duduk di...

The post Wahyu dalam Pengolahan Sampah Lembongan appeared first on TelusuRI.

]]>
Saya memasuki sebuah halaman yang dipenuhi kaleng rongsok yang sudah dipenyek, hingga ketika menginjakkan kaki di atasnya terasa seperti berjalan di atas tumpukan aspal. Saya kemudian masuk dan menemui segerombolan manusia yang sedang duduk di atas dipan. Kesemuanya memperhatikan saya dengan keheranan.

Lahan Wahyu Segara
Lahan Wahyu Segara/Tim Arah Singgah

“Selamat siang Pak, boleh saya masuk?”

Mereka semua serempak menjawab salam, saya kemudian memperkenalkan diri dan maksud tujuan saya datang ke sini. Seorang bapak yang nampak berusia 50-an dengan rambut gondrong terikat, menyambut saya  dengan senyum yang terkembang di bibirnya. Setelah selesai menyalami satu per satu, si Bapak kemudian mempersilakan saya duduk di sampingnya dan memperkenalkan diri sebagai Putu Gondrong.

Mengingat urusan sampah bukanlah urusan remeh, patut kiranya Putu Gondrong diapresiasi untuk mengentaskan masalah sampah di Lembongan (M. Irsyad Saputra)
Mengingat urusan sampah bukanlah urusan remeh, patut kiranya Putu Gondrong diapresiasi untuk mengentaskan masalah sampah di Lembongan/M. Irsyad Saputra

“Orang-orang lebih ingat kalau Putu Gondrong, semacam nama panggung lah,” kelakarnya yang memiliki nama asli Putu Asmara.

Siang itu menjadi medan perbincangan seputar sampah di Nusa Lembongan dan bagaimana  Putu Gondrong mengelolanya dan kemudian menghasilkan uang dari sana.

“Saya sih secara nggak sengaja ke sini, ingin jalan-jalan aja,” terangnya memulai pembicaraan.

“Tapi memang basic saya sendiri di Denpasar adalah pengolahan sampah,” lanjutnya.

Masalah sampah memang menjadi momok bagi semua tempat, namun bagi Nusa Lembongan, sampah yang dihasilkan oleh limbah rumah tangga dan aktivitas pariwisata bukan lagi sekedar momok yang bisa dihindari, namun harus dikelola agar pulau kecil ini tidak terkubur oleh timbunan sampah. Kehadiran Putu Gondrong, bukan sekedar untuk mengolah sampah menjadi uang, tapi juga membebaskan pulau ini dari sampah. Untungnya, ajakannya untuk memerangi sampah diterima dengan tangan terbuka oleh semua pihak.

Dukungan dari semua pihak juga turut andil atas pengolahan sampah milik Putu Gondrong (M. Irsyad Saputra)
Dukungan dari semua pihak juga turut andil atas pengolahan sampah milik Putu Gondrong/M. Irsyad Saputra

Namun, pengelolaan sampah di Nusa Lembongan bukan tanpa halangan. Masalah utama di pulau-pulau kecil adalah transportasi dari dan ke pulau besar yang cukup mahal untuk ukuran pengelolaan dan manajemen, yang mana di Lembongan sendiri masih menggunakan kapal kayu untuk pengangkutan sampah ke Denpasar. Pengolahan sampah di Lembongan hanya terbatas pada pencacahan dan pengepresan. Sampah-sampah ini sebagian besar berasal dari sampah hotel dan restoran, sisanya merupakan sampah rumahan.  

Pada 2017, pengolahan sampah masih dilakukan secara manual, yang sampai saat ini sudah semakin diperlengkapi dengan alat-alat pencacah bantuan dari KKP. Untungnya juga, keahlian Putu dalam mengolah sampah membuat mesin ini menjadi awet dan tidak cepat rusak.

“Karena mendapatkan subsidi minyak dari KLHK, kami mengambil sampah rumahan secara gratis dari masyarakat di sini. Kalau masyarakat mau memilah sampah, kami akan memberikan nilai ekonomi pada masyarakat tersebut.”

Sampah kardus yang sudah dipilah,dan siap untuk diolah (M. Irsyad Saputra)
Sampah kardus yang sudah dipilah, dan siap untuk diolah/M. Irsyad Saputra

“Kalau saya punya barang [sampah] seperti ini di Denpasar, mungkin saya milyuner. Tapi karena dipotong biaya transportasi, bayaran tenaga kerja, biaya hidup, jadi pada intinya saya di sini menjalankan kepedulian dan bisnis.”

Memang kalau soal kepedulian terhadap alam, kita tidak bisa hanya sekedar peduli dan membiarkan perut kita kosong karena kepedulian, kan? Apalagi semisal hanya mengandalkan uluran tangan dari para donatur. Pasti ada dua sisi ataupun beberapa sisi dari pengelolaan lingkungan, salah satunya untuk bertahan hidup dan menghasilkan uang. “Ada di satu sisi saya harus peduli, dan di satu sisi saya harus menjalankan bisnis. Untuk apa? Ya untuk membayar anak-anak, dan sebagai penghasilan sendiri secara pribadi.”

Salah satu sampah paling umum di Lembongan adalah botol bir (M. Irsyad Saputra)
Salah satu sampah paling umum di Lembongan adalah botol bir/M. Irsyad Saputra

Memang, awal mula mengolah sampah bukanlah berasal dari niat kepedulian terhadap lingkungan, melainkan melihat peluang yang tidak banyak digeluti orang. Sebagian dari kita tentu menganggap sampah sebagai sesuatu yang tidak patut, konotasinya selalu negatif dan kesannya selalu buruk. Putu kemudian melihat peluang tersebut, kenapa tidak mengolah sampah saja? Yang bisa dimulai dengan modal berapapun, kompetisi yang tidak terlalu ketat, dan pastinya juga mudah. Meskipun pengolahan sampah di Lembongan baru dimulai semenjak enam tahun yang lalu, Putu Gondrong sudah bergelut dengan sampah semenjak tahun 1989. Di saat orang-orang Bali melihat pariwisata sebagai titik kunci, Putu justru melihat sampah sebagai potensi.

“Mereka buang, saya pungut, lalu saya jual.”

“Disaat itupun saya berpikir ‘kayaknya jadi pemulung tuh nggak susah kelaparan deh, yang penting nggak malu aja’,” tuturnya.

Meski orang tuanya berprofesi sebagai tentara, Putu muda tidak malu untuk memilih jalan hidup bersama sampah. Sebagai anak pertama, dia juga ikut bertanggung jawab terhadap keberlangsungan pendidikan adik-adiknya, dan syukurnya, orang tuanya tidak mempermasalahkan bagaimana ia mencari uang, yang penting halal.

Selain sampah biasa, sampah organik juga menjadi perhatian Putu Gondrong (M. Irsyad Saputra)
Selain sampah biasa, sampah organik juga menjadi perhatian Putu Gondrong/M. Irsyad Saputra

“Padahal menurut orang-orang, kerja proyek lebih gede bonafitnya dibanding kerja sampah, jika diukur soal penghasilan, penghasilan lebih banyak di kerja sampah daripada di proyek, tapi pada kenyataannya tetap ini [kerja sampah] adalah pilihan terakhir.”

Menurutnya, memulung itu adalah cara efisien untuk mendapatkan uang. Kalau bisa dibilang, selama ada manusia pasti bakal ada sampah, sekarang siapa yang mau mengelola sampah sebanyak itu? Bukankah ini lahan basah yang tidak semua orang mau berebut dan tumpah ruah di dalamnya? Timbulah sebuah pemikiran ajaib dari Putu, kenapa Indonesia tak bikin sekolah khusus penanganan sampah? Sumber daya sampah ini berlimpah, dan dipastikan tidak akan pernah habis hingga hari penghakiman.

Memang, seringkali pandangan umum tentang pemulung itu adalah pekerjaan yang tak penting dan tak prestisius. Ibarat kasta, pemulung itu ada di tingkatan paling bawah, jauh dari kesan baik bahwa sebenarnya pekerjaan ini halal dan membantu mengurangi sampah.

Putu Gondrong berhasil memberdayakan beberapa orang untuk bekerja bersamanya mengolah sampah. Jumlah pekerja yang dimiliki  Putu Gondrong kini berjumlah delapan orang. Kesemuanya berasal dari daerah luar Bali, utamanya Pulau Jawa dan Madura. Karena personil yang terbatas, beberapa orang punya beberapa jabatan sekaligus. Istri Putu yang juga tidak ketinggalan ikut membantunya mengurus bisnis ini.

Bagaimana dengan orang Nusa Lembongan sendiri? Apakah mereka tidak diberdayakan?

Menurut Putu, dia sebisa mungkin senantiasa mengajak masyarakat di sini untuk bersama-sama mengelola sampah dari pulau. Tapi sayang sekali, ajakan dia seringkali ditolak oleh mereka, karena daya tarik pariwisata yang lebih kuat. Soal gaji, Putu bahkan menawarkan lebih dari yang biasa mereka dapatkan ketika bekerja di restoran atau resort. Tetap saja, hal itu tidak berpengaruh banyak pada keinginan mereka.

Saya diizinkan untuk melihat-lihat sekitar. 

Di bawah pohon-pohon yang menaungi area tersebut, ada beberapa jenis sampah yang bisa dilihat secara keseluruhan; botol kaleng, botol kaca, botol plastik, kardus, kabel, minyak jelantah, hingga sampah organik. Kesemua itu ada yang sudah dipilah, ada yang masih berhamburan, ada yang sudah dipres, ada yang sudah menjadi barang jadi. 

“Nah ini mesin untuk ngepres-nya,” katanya sambil menunjukkan kepada saya sebuah mesin berwarna merah yang saya lihat lebih mirip lemari tanpa dinding dan sekat. Ada juga mesin pencacah botol plastik yang sedang diasah oleh salah satu anak buah Putu Gondrong. Saya baru melihat bagaimana hasil plastik yang dicacah, bentuknya mirip sekali dengan petasan kertas untuk ulang tahun yang berhamburan kala balon sudah pecah.

“Kenapa direndam dalam air, Pak?”

“Itu supaya pas sudah keluar langsung bersih hasilnya.”

Saya beralih pada area pengomposan sampah organik. Sampah-sampah organik yang dihasilkan oleh pulau ini pun jumlahnya cukup besar. Meskipun area pengomposan ini terlihat jauh lebih kecil dibanding area pengolahan sampah lainnya. Kompos yang dihasilkan lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan kebun yang mereka kelola di tanah seberangnya. “Hasil komposnya bagus, bahkan bisa bikin kebun kecil kami tumbuh di sini, sayang kebunnya tidak bisa lagi dirawat karena kami kekurangan tenaga,” ucapnya sambil melihat ke arah kebun.

Wahyu Segoro, pengelolaan sampah ini dinamakan pemiliknya demikian. Mungkin Putu ingin menjelma sebagai wahyu dari segoro untuk alam Lembongan. Mungkin juga, Putu memohon wahyu dari segoro untuk tetap kuat melakukan melakukan pengelolaan sampah di Lembongan. Mungkin saja, saya belum tahu pasti dan juga tidak bertanya kepada beliau mengapa dinamakan begitu. Apapun itu, Putu Gondrong telah menjadi wahyu, setidaknya bagi keluarga dan para pegawainya, dan bagi pulau ini.

***

Pada Agustus 2022, TelusuRI mengunjungi Bali, Kupang, Pulau Sabu, hingga Flores Timur dalam Arah Singgah: Menyisir Jejak Kepunahan Wisata, Sosial, Budaya—sebuah perjalanan menginventarisasi tempat-tempat yang disinggahi dalam bentuk tulisan dan karya digital untuk menjadi suar bagi mereka yang ceritanya tidak tersampaikan.

Tulisan ini merupakan bagian dari catatan perjalanan tersebut. Nantikan kelanjutan ceritanya di TelusuRI.id.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Wahyu dalam Pengolahan Sampah Lembongan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/wahyu-dalam-pengolahan-sampah-lembongan/feed/ 0 35315
Sampah yang Berlabuh https://telusuri.id/sampah-kita-rejeki-mereka/ https://telusuri.id/sampah-kita-rejeki-mereka/#respond Tue, 13 Sep 2022 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=35257 Tiga truk pengangkut sampah melaju beriringan dari arah Padalarang menembus kemacetan yang rutin terjadi di depan Pasar Rajamandala, Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Sabtu (30/7/2022) pagi, bertepatan dengan Tahun Baru Islam 1444 Hijriyah, yang...

The post Sampah yang Berlabuh appeared first on TelusuRI.

]]>
Tiga truk pengangkut sampah melaju beriringan dari arah Padalarang menembus kemacetan yang rutin terjadi di depan Pasar Rajamandala, Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Sabtu (30/7/2022) pagi, bertepatan dengan Tahun Baru Islam 1444 Hijriyah, yang juga merupakan hari libur nasional.

Truk sampah antre
Truk sampah antre/Djoko Subinarto

Ketiga truk sampah itu sedang menuju TPA Sarimukti, yang berlokasi di antara Rajamandala dan Cipeundeuy. Meski hari itu adalah hari libur, truk-truk sampah itu tetap beroperasi menunaikan tugasnya. 

Bagi mereka yang rutin melintasi Jalan Raya Rajamandala, pemandangan truk sampah yang wara-wiri lengkap dengan tebaran aroma sampahnya yang menyengat adalah hal yang biasa.

Saban hari, dari pagi hingga menjelang malam, truk-truk sampah bolak-balik seperti setrikaan di ruas Jalan Raya Rajamandala. Selain menebar aroma tak sedap, tak jarang truk-truk sampah itu membuat kemacetan lumayan panjang tatkala mesti berbelok dari Jalan Raya Rajamandala ke Jalan Ciburahol yang menuju TPA Sarimukti maupun sebaliknya.

Jarak dari Pasar Rajamandala ke TPA Sarimukti kurang lebih sekitar 5,8 kilometer ke arah utara. Sebagian besar jalannya berupa beton dengan kontur naik turun. Maklum, berada di wilayah pegunungan. Lokasi TPA Sarimukti sendiri berada dalam sebuah cekungan yang dikelilingi gunung dan hutan, yang jika hujan lebat, di beberapa titiknya, rawan mengalami longsor.

Sabtu pagi itu, setelah menikmati bubur kacang hijau ketan hitam dari pedagang yang mangkal di depan Pasar Rajamandala, saya kayuh sepeda lipat besi 16 inci, single speed buatan Tiongkok, ke arah Jalan Ciburahol, mendahului ketiga truk sampah yang sedang berjuang untuk lepas dari kemacetan yang menyergap Jalan Raya Rajamandala.

Sampah di pinggir Jalan Ciburahol
Sampah di pinggir Jalan Ciburahol/Djoko Subinarto

Memasuki Jalan Ciburahol, suasana lengang. Satu dua sepeda motor melintas, baik dari arah yang sama maupun dari arah berlawanan. Setelah melaju beberapa ratus meter, saya berpapasan dengan lima truk sampah yang baknya telah kosong melompong setelah usai menumpahkan sampahnya di TPA Sarimukti.

Ceceran-ceran sampah saya temui di jalan yang saya lewati. Tentu saja, ceceran sampah itu tak lain dan tak bukan berasal dari truk-truk pengangkut sampah.

Nya, eta pan treuk runtah. Aya we nu bacacar,” (Ya, itu dari truk pengangkut sampah. Ada saja sampah yang tercecer) kata salah seorang pemilik warung yang lokasinya persis menghadap Jalan Ciburahol, berbicara dalam bahasa Sunda, saat diminta komentarnya mengenai ceceran sampah yang mengotori Jalan Ciburahol.

Kendati sebagian besar bak truk-truk sampah yang menuju TPA Sarimukti itu sudah berusaha dilapisi penutup, toh karena rata-rata truk sampah itu membawa sampah melebihi kapasitas truk. Maka ada saja sampah yang terlempar atau terbang dari bak truk, dan langsung jatuh mengotori jalan. 

Hawa sejuk pegunungan, kicauan sejumlah burung liar di rerimbunan pohon tinggi, dan kupu-kupu yang menari-nari mengelilingi bunga kaliandra putih, yang menghiasi sebagian sudut ruas Jalan Ciburahol yang saya lewati pagi itu, tak bisa sepenuhnya saya nikmati akibat terdistorsi oleh panorama ceceran sampah berikut aromanya yang menusuk-nusuk hidung. 

Semakin mendekati TPA Sarimukti, ceceran sampah terlihat semakin banyak. Oleh warga, sampah yang berceceran itu hanya ditepikan ke pinggir jalan. Akibatnya, aneka sampah kemudian memenuhi pinggir jalan.

Di sebuah tikungan, beberapa ratus meter sebelum gerbang TPA Sarimukti, saya melambatkan laju sepeda. Beberapa truk sarat sampah tampak sedang antre memasuki lokasi TPA. Perlahan, saya melintas melewati barisan truk sampah itu. 

Menunggu giliran
Menunggu giliran/Djoko Subinarto

Persis di depan gerbang TPA, saya tuntun sepeda dan masuk ke lokasi TPA. Jalan menurun. Becek. Licin. Aneka jenis sampah terhampar di sekeliling TPA. Sejumlah truk sampah juga harus antre menunggu giliran memuntahkan sampah yang diangkutnya.

Terlihat sebuah buldoser sanitasi bergerak maju mundur merapikan gundukan-gundukan sampah yang baru saja dimuntahkan dari truk-truk pengangkut sampah.

Sementara itu, di sudut lain, sejumlah pria terlihat sibuk mengais-ngais tumpukan sampah. Mereka memungut sampah-sampah yang sekiranya laku dijual, seperti potongan plastik, pipa, besi atau botol. Sampah-sampah itu mereka kumpulkan untuk kemudian mereka setorkan kepada pengepul.

Lingkungan TPA sampah yang mungkin bagi sebagian besar orang menjijikkan, bagi para pemungut sampah itu justru adalah ladang “harta karun” yang mengucurkan sejumlah rupiah untuk menumbu kehidupan mereka. Sampah-sampah yang kita buang justru adalah rejeki buat mereka.  

Luas TPA Sarimukti sekarang ini sekitar 25 hektare. Awalnya, TPA Sarimukti hanya difungsikan sebagai TPA darurat, menyusul meledaknya TPA Leuwigajah, Cimahi, pada awal 2005 silam. Namun, sejak tahun 2006, TPA Sarimukti lantas difungsikan sebagai TPA utama untuk menampung sampah dari Kota Bandung, Kota Cimahi, dan Kabupaten Bandung Barat.

Warga memungut sampah di TPA
Warga memungut sampah di TPA/Djoko Subinarto

Saat ini, TPA Sarimukti menampung rata-rata 2.000 ton sampah per hari. Padahal, TPA ini disiapkan hanya untuk menampung 1.200 sampah ton per hari. Jadi, ada kelebihan sekitar 800 ton sampah per hari.

Ada yang berpandangan bahwa jumlah produksi sampah berbanding lurus dengan peningkatan konsumsi. Maka, pengendalian hasrat konsumtif diyakini dapat turut berkontribusi menekan jumlah sampah yang kita produksi.

Realita menunjukkan tidak sedikit dari kita yang berbelanja atau membeli barang atau makanan didorong sepenuhnya oleh faktor keinginan belaka. Bukan oleh faktor kebutuhan. Akibatnya, kita cenderung boros dan tak sedikit barang atau makanan yang kita beli itu akhirnya mubazir dan akhirnya menjadi sampah yang mengotori lingkungan.

Oleh karena itu, membiasakan membeli barang atau juga makanan-minuman yang selaras dengan yang kita butuhkan bakal membawa perbaikan signifikan pada kondisi lingkungan kita, lantaran akan turut mengurangi jumlah produksi sampah yang kita hasilkan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Sampah yang Berlabuh appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sampah-kita-rejeki-mereka/feed/ 0 35257
Plastik Kembali: Mengolah Sampah Menjadi Seni https://telusuri.id/plastik-kembali-mengolah-sampah-menjadi-seni/ https://telusuri.id/plastik-kembali-mengolah-sampah-menjadi-seni/#respond Fri, 24 Dec 2021 10:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=31789 Masalah sampah plastik adalah masalah serius yang paling susah ditangani oleh masyarakat modern. Kebutuhan akan plastik sangat tinggi, berbagai inovasi pun diciptakan untuk menggantikan plastik sekali pakai, namun tampaknya jauh dari kata selesai. Sampah plastik...

The post Plastik Kembali: Mengolah Sampah Menjadi Seni appeared first on TelusuRI.

]]>
Masalah sampah plastik adalah masalah serius yang paling susah ditangani oleh masyarakat modern. Kebutuhan akan plastik sangat tinggi, berbagai inovasi pun diciptakan untuk menggantikan plastik sekali pakai, namun tampaknya jauh dari kata selesai. Sampah plastik mulai menghantui berbagai wilayah di bumi, salah satunya Indonesia yang terkenal sebagai penghasil sampah plastik terbesar kedua di dunia setelah Cina. 

Adalah Plastik Kembali, sebuah art and product studio yang memproduksi sampah plastik menjadi sebuah benda yang bernilai kembali. Dilansir dari situs web mereka, Plastik Kembali dirintis oleh pasangan suami istri Elissa Gjertson dan Daniel Schwizer yang setelah pindah ke Lombok melihat kekhawatiran tersendiri dengan banyaknya sampah plastik yang bertebaran di pantai, mengotori air laut, hingga membuat daratan terlihat jorok karena sampah plastik.  Pasangan suami istri ini begitu jatuh cinta dengan Lombok sekaligus merasa risau karena masalah plastik ini belum bisa diatasi.

Untuk membuat perubahan, mereka berinisiatif untuk mengelola sampah-sampah yang ada menjadi sesuatu yang bernilai dan artistik, maka lahirlah Plastik Kembali pada 2019. Plastik Kembali mengusung filosofi membuat barang baru dari sampah yang tak terpakai untuk berkontribusi mengurangi sampah plastik di Indonesia. Kedengarannya seperti klise, nyatanya kehadiran Plastik Kembali justru sangat menggairahkan, tidak hanya mengurangi sampah plastik, tetapi juga memutar roda ekonomi lokal. 

Saya tercengang bagaimana plastik-plastik tersebut disulap menjadi karya seni yang sangat menarik. Contohnya artisan bowls dengan berbagai diameter dari 17 cm – 45 cm dari biru, merah, kuning, hingga pelangi. Bahan utamanya adalah plastik polypropylene yang 100% daur ulang. Polypropylene merupakan jenis plastik populer kedua di dunia setelah polyethylene yang umum digunakan sebagai bungkus makanan, minuman dan sebagainya.

Ada juga egg-shell bowls yang juga terbuat dari plastik polypropylene daur ulang dengan bentuk menyerupai cangkak telur. Selain mangkok, Plastik Kembali memproduksi beberapa jenis barang seperti tekstil, tali, dan rotan yang masing-masing dengan keunikan dan campuran lainnya, yang tentu saja juga mengandung plastik daur ulang. 

Plastik Kembali
Hasil kerajinan dari limbah bekas via Facebook/Plastik Kembali

Plastik Kembali semuanya memanfaatkan tenaga manusia untuk membentuk sebuah karya seni yang cantik. Plastik Kembali mempekerjakan orang-orang lokal, terutama dari Selong Belanak untuk turut serta memberdayakan sampah plastik menjadi seni. Ada beberapa tim yang dibagi untuk beberapa jenis produk barang semisal tim tali, tim  rotan, tim tekstil, dan tim silver. Mereka juga dibantu oleh Pak Azrin sebagai Project Manager dan Ibu Ida sebagai Creative Manager untuk membimbing para pengrajin.

“Pada dasarnya, tidak susah bagi Plastik Kembali untuk memulainya. Bahan bakunya mudah ditemukan di mana-mana: plastik kresek bekas. Tas kresek bekas tersebut dijadikan berbagai kerajinan tangan sederhana yang mengandung unsur seni. Plastik Kembali juga menggunakan butiran (palet) plastik bekas: tutup botol, sedotan, tutup galon air untuk dijadikan mangkuk, gantungan kunci. Sehingga biayanya tidak besar,” papar Pak Azrin.

“Hal ini bertujuan untuk menginspirasi dan memudahkan banyak orang untuk peduli pada lingkungan melakukan hal yang serupa dengan memanfaatkan plastik bekas,” tambahnya.

“Tas kresek bekas ini dikumpulkan dari berbagai tempat. Lalu, dicuci bersih dan dijemur. Setelah kering, dipotong tipis dan panjang, dipintal menjadi tali plastik atau dikombinasikan dengan tali goni bekas atau daun pandan, untuk dijadikan produk, seperti tas, karpet, keset, dan lain lain,” kata Pak Azrin.

Saya menanyakan apakah ada kemungkinan Plastik Kembali mendaur ulang sampah-sampah potensial lainnya, seperti karet atau kaca yang juga sama banyaknya dengan sampah plastik. Namun menurut Pak Azrin, belum ada rencana pengembangan limbah lainnya. Begitu pula barang-barang di luar produk seni seperti barang kebutuhan sehari-hari juga belum ada rencana dari Plastik Kembali untuk membuatnya.

Apakah Plastik Kembali akan merambah pulau-pulau lainnya seperti Lombok? Tidak tahu, tetapi Pak Azlin berharap Plastik Kembali memberi inspirasi bagi masyarakat Pulau Lombok dan Indonesia pada umumnya untuk peduli akan bahaya sampah plastik dan bergerak aktif untuk menangani dan memanfaatkannya. Sampah plastik sangat sulit hancur dan telah menjadi ancaman terhadap lingkungan dan kehidupan. 

Seni berharga dari sebuah sampah; kiranya begitulah yang bisa saya sematkan kepada Plastik Kembali. Pada 2020, mereka telah mendaur ulang sekitar 75.000 tas kresek dan 1.100 kilogram plastik HDPE dan PP dan juga melaksanakan pembersihan pantai dengan Selong Belanak Community Association (SBCA). Elissa Gjertson ingin sekali kehadiran Plastik Kembali tidak hanya sebatas euforia bisnis, namun menginspirasi masyarakat lainnya untuk berkontribusi aktif dalam meminimalisir sampah plastik. 

“Kami tergerak untuk membawa antusiasme ke masyarakat, mencari solusi, berkreasi, bekerja sama dan berkolaborasi,” pungkas Elissa. Harapannya jelas, membawa Plastik Kembali berdampak positif kepada sekitar membantu mengurangi beban bumi akibat sampah plastik.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu
!

The post Plastik Kembali: Mengolah Sampah Menjadi Seni appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/plastik-kembali-mengolah-sampah-menjadi-seni/feed/ 0 31789
Lautan yang Indah Kini Menjelma Tumpukan Sampah https://telusuri.id/lautan-yang-indah-kini-menjelma-tumpukan-sampah/ https://telusuri.id/lautan-yang-indah-kini-menjelma-tumpukan-sampah/#respond Sat, 02 Oct 2021 21:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=29493 Daratan telah dihuni oleh gedung-gedung pencakar langit dan kendaraan-kendaraan berpolusi yang terkesan membosankan sekaligus melelahkan, sehingga lautan kerap kali dijadikan sebagai sisi lain bumi untuk melepas rasa lelah. Lautan juga kerap kali menjadi tempat para...

The post Lautan yang Indah Kini Menjelma Tumpukan Sampah appeared first on TelusuRI.

]]>
Daratan telah dihuni oleh gedung-gedung pencakar langit dan kendaraan-kendaraan berpolusi yang terkesan membosankan sekaligus melelahkan, sehingga lautan kerap kali dijadikan sebagai sisi lain bumi untuk melepas rasa lelah. Lautan juga kerap kali menjadi tempat para manusia berwisata yang katanya ingin mencari ketenangan, sebab di daratan yang ditemui cenderung hanya keramaian dan jeritan keluh yang tak berkesudahan.

Di antara biru lautan itu, terdapat fauna-fauna langka yang bisa dinikmati dengan aktivitas menyelam. Mereka adalah harta karun yang tak ternilai harganya, namun justru keberadaannya kini terancam oleh keserakahan makhluk berkaki dua yang hendak menukarnya dengan deretan angka yang tidak seberapa. Di pinggir hamparan pasir-pasir putih pantai, berhembus semilir angin yang membuat pikiran tenang, melayang-layang: tersadar bahwa hidup tak hanya sekadar cerita tentang mengumpulkan uang, tetapi juga kisah tentang keindahan alam yang perlu dikenang. Sayangnya, kini keindahan lautan itu terancam oleh keserakahan dan ketakpedulian oleh makhluk berkaki dua.

Diungkapkan oleh Lindsey Hoshaw di dalam New York Times edisi 10 November 2009, bahwa tumpukan sampah yang berserakan di Samudera Pasifik terus berlipat ganda pada setiap dekade dan dipercaya telah mencapai dua kali luas Texas. Mau diakui atau tidak, kenyataannya di tengah birunya lautan terdapat sebuah ‘pulau’ sebesar dua kali luas texas yang berupa sampah. Sialnya lagi, ‘pulau’ itu kini bisa berkali-kali lipat lebih luas dibandingkan dengan sebelas tahun yang lalu—mengingat sekarang sudah memasuki pertengahan tahun 2021. 

Lautan yang Indah
Lautan yang Indah/Akhmad Idris

Jika sudah seperti ini, ke manakah manusia akan melepas rasa lelah? Di daratan sudah terasa melelahkan sekaligus membosankan, sedang di lautan pun terasa memprihatinkan. Seyogianya jika daratan berasa di dalam neraka, maka setidaknya lautan dapat seolah menjadi surga sebagai penawarnya. Entahlah apa yang terjadi ketika di daratan dan lautan tak ada lagi bedanya. Belum lagi lautan tak hanya sekadar tempat menyegarkan pikiran, tetapi juga menjadi sumber mata pencaharian dan sumber makanan. 

Beberapa orang mengandalkan profesi nelayan untuk menghidupi anak dan istrinya yang menanti di rumah, namun ikan-ikan yang tersangkut dalam jaring maupun pancing sudah terkontaminasi oleh zat-zat kimia berbahaya yang menurut medis dapat memicu penyakit kanker. Tak hanya nelayan beserta keluarganya, beberapa hewan laut juga bergantung dengan hewan laut lainnya sebagai siklus rantai makanan yang berkelanjutan. Ikan-ikan besar memakan ikan-ikan kecil, lalu bagaimana jika semua ikan-ikan itu terkontaminasi oleh zat-zat kimia berbahaya? Bukankah sama saja mereka melakukan bunuh diri tanpa disadari?

Masih terngiang di dalam ingatan tentang kejadian penemuan bangkai ikan paus sperma sepanjang 9,5 meter dan lebar 1,85 meter di Pulau Kapota, Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara pada Senin, 19 November 2018 lalu. Bukan tentang ikan pausnya yang membuat kejadian ini membekas di dalam ingatan, tetapi tentang penemuan sampah di dalam perut ikan paus tersebut yang membuat kejadian itu begitu lekat di dalam pikiran.

Tidak tanggung-tanggung, ditemukan tumpukan sampah plastik seberat 5,9 kilogram di dalam perut ikan paus tersebut. Jenis sampahnya juga cukup ‘berwarna-warni’, mulai dari botol plastik seberat 150 gram; kantong plastik seberat 260 gram; sandal jepit seberat 270 gram; plastik keras seberat 140 gram; serpihan kayu seberat 740 gram; gelas plastik seberat 750 gram; karung nilon seberat 200 gram; dan tali rafia seberat 3.260 gram. 

Pertanyaannya sederhana saja, jika manusia akan mengalami kesakitan saat mengonsumsi sampah-sampah plastik sejenis itu (anggap saja manusia dipaksa menelan sandal jepit atau serpihan kayu), maka bagaimanakah ikan paus menanggung rasa sakit itu? Pertanyaan selanjutnya sudah jelas, siapakah yang menjadi penyebab sampah-sampah plastik itu sampai ke laut? Jawabannya juga sejatinya sudah jelas, tidak mungkin sampah-sampah plastik itu berjalan atau berenang sendiri ke laut karena sampah-sampah itu adalah benda mati. 

Artinya, ada ‘makhluk hidup’ yang membawanya ke laut, entah secara sengaja maupun secara membabi buta. Mereka yang hidup dengan egois, menganggap dirinya sebagai makhluk yang manis, padahal apatis. Mereka yang disebut ‘makhluk hidup’ itu hanya sibuk meminta dipenuhi keinginannya tanpa pernah peduli terhadap keberlangsungan alam yang memenuhi kebutuhannya. Mereka yang katanya memiliki hati, namun nyatanya hati mereka sudah lama mati, berganti dengan virus keserakahan yang terus-terusan mengembangkan diri.

Akibatnya, banyak ikan-ikan di laut dan air tawar yang dikonfirmasi telah tercemar merkuri beserta bahan-bahan kimia organik lainnya. Ironisnya lagi, ikan-ikan yang telah terkontaminasi tersebut akan berakhir di meja-meja makan untuk dikonsumsi oleh mereka yang disebut ‘makhluk hidup’. Setidaknya hubungan ini terkesan ‘adil’, mereka yang berulah dan mereka juga yang harus menanggung akibatnya. Dalam hal ini, ikan-ikan tak boleh menanggung sakit sendirian. Mereka yang disebut ‘makhluk hidup’ juga perlu merasakan rasanya sakit. 

Membersihkan sampah di laut
Membersihkan sampah di laut/Akhmad Idris

Oleh sebab itu, untuk mengakhiri hubungan yang sama-sama menyakitkan ini, dibutuhkan kesadaran bahwa keberadaan alam tak sekadar hanya untuk dinikmati, tetapi juga untuk dilindungi. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Lautan yang Indah Kini Menjelma Tumpukan Sampah appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/lautan-yang-indah-kini-menjelma-tumpukan-sampah/feed/ 0 29493
Peduli dengan Lingkungan, Mulai dari Keluarga https://telusuri.id/peduli-dengan-lingkungan-mulai-dari-keluarga/ https://telusuri.id/peduli-dengan-lingkungan-mulai-dari-keluarga/#comments Tue, 13 Jul 2021 01:48:00 +0000 https://telusuri.id/?p=28683 Memiliki perbedaan pandangan akan sampah terkadang menjengkelkan, hal inilah yang saya alami baru-baru ini.  Cerita tentang sampah ini bermula ketika saya beserta dua adik sepupu, tante, dan om hendak ke rumah nenek. Bukan untuk liburan,...

The post Peduli dengan Lingkungan, Mulai dari Keluarga appeared first on TelusuRI.

]]>
Memiliki perbedaan pandangan akan sampah terkadang menjengkelkan, hal inilah yang saya alami baru-baru ini.  Cerita tentang sampah ini bermula ketika saya beserta dua adik sepupu, tante, dan om hendak ke rumah nenek. Bukan untuk liburan, kami berencana berziarah ke makam datuk.

Bagi kami keluarga Jawa, ziarah makam merupakan hal yang lumrah dilakukan. Apalagi jika mendekati bulan puasa. Ziarah ini dimaksudkan untuk mengunjungi keluarga yang sudah meninggal, mendoakan mereka, serta membersihkan makam dari rumput-rumput liar.

Perjalanan ke rumah nenek

Selama perjalanan ke rumah nenek, dua adik saya tidur. Satu di pelukan saya dan satu lagi menggunakan paha saya sebagai bantal. Hampir tiga perempat perjalanan sudah kami lewati. Sisa perjalanan kemudian terasa lamban, jalan yang kami lalui tidaklah mulus. Terdiri dari bebatuan dan tanah yang kalau hujan tentunya sangat sulit untuk dilewati. 

Dari rumah kami ke rumah nenek, memakan waktu sekitar tiga jam. Estimasi waktu ini tentunya tidak termasuk macet di jalan. Hal pertama yang harus sekali saya persiapkan sebelum berangkat adalah makanan. Saya sangat tidak bisa kelaparan, menahan perut kosong selama perjalanan. Jika itu terjadi, dapat dipastikan bahwa saya akan mengalami mabuk perjalanan.

Kami mampir ke tempat pengisian bahan bakar, Pertamina, untuk mengisi bahan bakar mobil. Sembari itu, saya bersama adik pergi ke toilet untuk buang air. Setelahnya kami kembali melakukan perjalanan. Karena perut sudah mulai berbunyi, akhirnya saya membuka makanan ringan yang dibawa. Ternyata tante saya juga membeli jajanan lain ketika berhenti di pertamina tadi, dan jajanan tersebut lumayan banyak. 

Kami pun satu persatu mengambil jajanan yang diinginkan untuk dikonsumsi. Tidak lama, hal yang tidak mengenakkan pun terjadi. Ketika adik saya selesai akan satu bungkus makanannya, ia hendak membuang sampah. Namun sampah tersebut diberikan kepada bundanya. 

Adakah yang bisa menebak nasib sampah tersebut? Dibuang ke jalan. Hanya dengan membuka kaca pintu mobil, sampah tersebut keluar dan tidak tahu keberadaan hingga sekarang. Ironi bukan? Ketika saya melarang hal tersebut, tante saya hanya mengatakan “dak papo” yang berarti “tidak apa-apa” dalam Bahasa Indonesia. Hal inilah yang mulai membuat saya jengkel. Padahal sampah tersebut merupakan sampah plastik yang sulit untuk terurai. 

Kejadian tersebut tidak selesai di situ saja. Ketika tante saya mengambil kacang kulit, dirinya membuka kaca mobil lagi. Selanjutnya mengupas kacang dan membuang kulitnya di jalan. Sungguh saya tidak habis pikir. Karena tidak dapat menghentikan aksi tersebut, akhirnya ketika adik saya menghabiskan satu bungkus makanan lagi, saya mengambil bungkus tersebut dan menyimpannya. Hal ini saya lakukan untuk membuang sampah tersebut setelah sampai di rumah nenek. 

Sontak kedua adik saya bertanya akan hal itu. “Ngapo di simpan mbak? Buang be” (kenapa disimpan mbak? buang aja) begitu katanya. 

Saya pun memberikan penjelasan bahwa bungkus makanan tersebut merupakan sampah. Tidak baik untuk membuang sampah secara sembarangan. Sampah tersebut akan mengganggu pemandangan, dan juga dapat menyebabkan banjir. Adik saya antara menerima atau tidak akan penjelasan tersebut. Mereka masih menganggap bahwa tidak masalah membuang sampah sembarangan, toh itulah hal yang dilakukan oleh bundanya kala di mobil. Ketika sampai di tempat penitipan mobil, kami pun turun. Perjalanan akan dilanjutkan dengan menggunakan sepeda motor. Hal ini karena jalanan yang sempit sehingga mobil tidak dapat masuk. 

Penampakan dekat rumah nenek dengan sungai yang keruh/Pitnia Ayus

Sembari menunggu jemputan, saya melihat ke sekitar. Daerah ini merupakan daerah aliran Sungai Batanghari. Sayangnya anak sungai ini sangatlah keruh, dan memiliki banyak sekali sampah. Kami memang tidak menggunakan ketek atau sampan untuk sampai ke rumah nenek saat itu. Namun saya pernah menggunakannya, dan tentunya ada banyak sekali sampah di sungai tersebut. Air yang keruh tersebut merupakan air yang digunakan oleh warga. Mulai dari mencuci motor, mandi, hingga buang air besar. Saya nggak sampai hati ngebayangin air sekotor itu sehari-hari.

Memang tidak semua aspek kehidupan menggunakan air tersebut. Masyarakat terbiasa menampung air hujan untuk kebutuhannya seperti memasak. Namun untuk mandi, beberapa di antaranya masih menggunakan air tersebut. 

Tidak jarang pula anak-anak kampung bermain di dalamnya yang dipenuhi oleh lumpur serta sampah. Sedih bukan? 

Sungai arah ke rumah nenek/Pitnia Ayus

Padahal kampung nenek merupakan salah satu daerah yang masih asri. Banyak sekali tanaman hijau tumbuh di sini, dan juga mata pencaharian masyarakat sekitar yaitu petani pinang, kopi, kelapa, dan kelapa sawit. 

Dari perjalanan tersebut saya mengetahui satu hal bahwa sebelum menggambarkan hidup ramah sampah kepada orang lain, alangkah lebih baik untuk menerapkan hal tersebut pada keluarga. Akan terasa percuma jika orang lain susah payah diberikan edukasi akan hal tersebut namun ternyata keluarga yang dekat pun masih acuh akan sampah. 

Sedikit saran saya bagi pada pengguna kendaraan roda empat, sediakanlah tong sampah di mobil tersebut. Tidak perlu mahal, yang murah-murah saja. Ketika sedang di perjalanan dan mengonsumsi makanan atau minuman, sampah yang dihasilkan dapat dikumpulkan. Lalu ketika menjumpai tempat pembuangan sampah, barulah sampah tersebut dikeluarkan. 

Selain itu, saya juga mulai memberikan edukasi mengenai sampah sedikit demi sedikit kepada keluarga. Mulai dari yang lebih kecil dan masih dapat diasah rasa kepeduliannya akan alam, hingga orang tua yang masih menganggap bahwa membuang sampah bisa dimana saja. 

Semoga suatu saat nanti semua orang yang ada di bumi ini sadar dan peduli akan lingkungan. Berharap tentu tidak masalah bukan? 

The post Peduli dengan Lingkungan, Mulai dari Keluarga appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/peduli-dengan-lingkungan-mulai-dari-keluarga/feed/ 1 28683
Alam Bebas Sampah sebagai Esensi Kawasan Wisata https://telusuri.id/alam-bebas-sampah-sebagai-esensi-kawasan-wisata/ https://telusuri.id/alam-bebas-sampah-sebagai-esensi-kawasan-wisata/#respond Wed, 09 Jun 2021 01:09:00 +0000 https://telusuri.id/?p=28305 Tak dipungiri, Indonesia kaya akan tempat pariwisata yang memukau mata dan memikat hati. Daya tarik wisata ini kebanyakan adalah alam yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Wisatawan rela datang jauh-jauh, tak hanya dari lokal tapi...

The post Alam Bebas Sampah sebagai Esensi Kawasan Wisata appeared first on TelusuRI.

]]>
Tak dipungiri, Indonesia kaya akan tempat pariwisata yang memukau mata dan memikat hati. Daya tarik wisata ini kebanyakan adalah alam yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Wisatawan rela datang jauh-jauh, tak hanya dari lokal tapi juga dari mancanegara. Untuk sebagian wisatawan, menyusuri tempat baru dengan pemandangan indah adalah obat untuk kejenuhan serta lelah.

Air Terjun Kabut Pelangi via Unsplash/Mifanbima

Pesona wisata alam Indonesia memang begitu ajaib hingga mampu menjadi salah satu aspek yang diunggulkan negara di kancah dunia. Namun, tetap saja ada problema yang sulit sekali sirna dari beberapa kawasan wisata alam Indonesia. Permasalahan itu adalah tebaran sampah di sebagian daerah wisata Indonesia. Padahal sampah merupakan masalah besar yang tak jarang disepelekan oleh orang-orang, termasuk para wisatawan yang terkadang kurang peduli dengan lingkungan. Perilaku membuang sampah sembarangan di kawasan wisata bukan asing lagi. Hal yang mengejutkan adalah perilaku tersebut tidak hanya karena wisatawan luar negeri, tetapi juga wisatawan lokal yang justru tidak menyayangi tanah kebanggaan mereka sendiri. Akan tetapi, kembali lagi perilaku kurang terpuji itu sebenarnya hanya dilakukan segelintir orang yang kurang sadar betapa berharganya alam.

Daya Tarik Wisata

Lingkungan bersih menjadi faktor penting untuk keberlanjutan daerah wisata itu sendiri. Berbagai hal yang harus ditekankan adalah tentang dampak yang nantinya akan dirasakan, apabila daerah wisata alam tidak diperhatikan kebersihannya, terutama dari tumpukan sampah kecil yang mungkin menggunung kelak. Semua orang tidak bisa menampik bahwa keindahan alam merupakan daya tarik suatu daerah wisata. Keindahan alam digambarkan dengan kesejukan, keteduhan, dan kedamaian kala mata para wisatawan memandang sekitar. Jika suatu tempat wisata bebas sampah, tentunya tempat tersebut akan indah dipandang dan dapat memberikan perasaan sukacita. Selain itu, tempat wisata alam yang bersih tentu tidak akan mengecewakan para wisatawan yang mungkin telah melewati medan penuh rintangan untuk sekadar menuju tempat wisata tersebut. Suguhan alam bersih tanpa sampah benar-benar mengisi penuh kekosongan yang dirasakan.

Sampah Pantai via Unsplash/Oceancleanupgroup

Wisata alam bebas sampah pasti akan menarik wisatawan-wisatawan untuk datang. Bahkan, mereka tanpa segan datang berkali-kali karena merindukan nuansa yang tidak bisa dijumpai di tempat asal. Hal itu berlaku untuk para wisatawan dalam negeri maupun luar negeri. Semua orang tidak bisa mengelak bahwa nanti saat satu tempat wisata alam sudah tak indah, maka para wisatawan pun memalingkan wajah untuk kembali. Fakta tersebut berpeluang besar terjadi bila sampah dibiarkan berserakan begitu saja di tempat wisata, apalagi sampah yang sulit terurai oleh tanah. Jika sampai tempat wisata kehilangan pamor, maka akibatnya pun tidak hanya merugikan satu atau dua pihak saja.

Keberlanjutan Wisata

Sekarang ini sedang digembar-gemborkan optimalisasi sumber daya untuk pengembangan daerah wisata dengan tetap mempertimbangkan aspek keberlanjutan. Salah satu upaya dalam realisasi wisata berkelanjutan adalah dengan menjaga kebersihan lingkungan di daerah wisata. Namun, segelintir orang masih belum menyadari bahwa dengan menjaga kebersihan daerah wisata dari sampah juga merupakan satu aksi bermanfaat jangka panjang.

Tindakan tidak membuang sampah sembarangan mempengaruhi kelestarian alam secara tidak sadar. Dengan terjaganya suatu daerah wisata alam, alam di sana pun akan lestari dan dapat mendatangkan kebaikan di masa mendatang. Satu manfaat yang akan dirasakan contohnya saat satu tempat wisata alam akan tetap menjadi tempat wisata di kemudian hari karena alamnya yang masih asri nan alami. Ketika tempat tersebut masih dapat dijadikan tempat wisata, masyarakat sekitar dapat menggantungkan hidup mereka di sana. Entah mereka bekerja sebagai pemandu wisata, penjual makanan, atau bahkan sesederhana tukang parkir.

Menjaga kawasan wisata tetap bersih tanpa sampah pun nyatanya tidak semudah mengedipkan mata. Untuk mewujudkan itu, partisipasi berbagai pihak sangat diperlukan. Para wisatawan tidak dapat memberatkan tugas semacam itu hanya pada pengelola dan pemerintah. Peran wisatawan dalam memastikan kawasan wisata alam yang mereka kunjungi tetap lestari sangat penting. Koordinasi antara pemerintah, pengelola, masyarakat, serta wisatawan memang harus terjalin baik agar mampu mewujudkan kawasan wisata alam yang lestari.

Di saat seperti ini sebenarnya sudah ada banyak wisatawan yang melek akan peristiwa ini. Mereka sudah mencintai alam dengan tidak membuang sampah, bahkan memungut sampah yang ada. Namun, angka wisatawan yang peduli masih lebih kecil daripada yang tidak peduli dan mementingkan diri sendiri. Mereka hanya belum merenungi bahwa sesungguhnya alam bersih merupakan suatu kebahagiaan besar, baik untuk generasi sekarang ataupun generasi masa depan.

Indonesia memang memiliki beragam kawasan wisata alam yang masyhur di jenjang internasional. Tidak hanya Bali maupun Raja Ampat, tetapi di Pulau Sumatra pun merupakan aset berharga pariwisata Indonesia. Akan tetapi, bukan berarti dengan banyaknya kawasan alam menjadikan manusia Indonesia mengesampingkan kelestarian dari salah satunya. Aksi kecil dengan tidak membuang sampah sembarangan cukup untuk membuat masa depan lebih baik. Alam telah memberi kita kehidupan, sehingga mari kita hargai alam sebelum menyesal kemudian.

The post Alam Bebas Sampah sebagai Esensi Kawasan Wisata appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/alam-bebas-sampah-sebagai-esensi-kawasan-wisata/feed/ 0 28305
Sampahku, Tanggung Jawabku https://telusuri.id/sampahku-tanggung-jawabku/ https://telusuri.id/sampahku-tanggung-jawabku/#respond Tue, 18 May 2021 00:28:00 +0000 https://telusuri.id/?p=27966 “Sampahku, Tanggung Jawabku” adalah suatu kalimat yang terus teringat sampai hari ini. Kalimat tersebut mengingatkan saya pada tahun 2017 ketika saya dan teman-teman memiliki kesempatan untuk berlibur ke CMC (Clungup Mangrove Conservation) Tiga Warna. CMC...

The post Sampahku, Tanggung Jawabku appeared first on TelusuRI.

]]>
“Sampahku, Tanggung Jawabku” adalah suatu kalimat yang terus teringat sampai hari ini. Kalimat tersebut mengingatkan saya pada tahun 2017 ketika saya dan teman-teman memiliki kesempatan untuk berlibur ke CMC (Clungup Mangrove Conservation) Tiga Warna. CMC Tiga Warna merupakan kawasan konservasi hutan mangrove yang dilindungi di Jawa Timur. Hutan Mangrove merupakan jenis hutan yang dominan berada di ekosistem pantai. 

Clungup Mangrove Conservation/Martha Yohana

Saat itu kami merupakan mahasiswa tingkat pertama yang berasal dari Bekasi dan Yogyakarta. Berkunjung ke CMC Tiga Warna merupakan ide salah satu teman saya yang bernama Ardhan, seorang mahasiswa kedokteran. Perjalanan kami menuju Malang menggunakan pesawat dan kereta. Saya dan teman saya Petris berangkat dari Bandara Halim sedangkan teman saya Ardhan dan Fariz berangkat dari stasiun Yogyakarta. Saat itu titik temu kami adalah di kota Malang. 

Tiba di kota Malang, kami beristirahat terlebih dahulu. Keesokan harinya, kami menyewa mobil untuk menuju CMC Tiga Warna. Sungguh perjalanan yang cukup panjang dari kota Malang menuju CMC Tiga Warna. Selama perjalanan kami melewati begitu banyaknya pantai yang indah dan terbuka untuk umum. Sejenak saya terdiam dan bingung di dalam mobil, mengapa untuk masuk CMC Tiga Warna harus bayar dan reservasi terlebih dahulu, padahal sepanjang pantai yang kami lewati, memiliki akses gratis untuk masuk.

Tiba di parkiran CMC Tiga Warna, ternyata kami harus berjalan kaki sekitar 15 menit untuk sampai di pos utama. Saat itu musim hujan dan jalan di sana hanya dari tanah. Jadi, kami harus melepas sandal karena tanahnya sangat licin. Sungguh liburan kami seperti petualangan, sangat seru.

Hutan Dataran Tinggi/Martha Yohana

Ketika sampai di pos, kami disambut oleh petugas disana dan sebelum masuk ada pencatatan serta pengecekan barang untuk menjaga kawasan konservasi tetap bersih dari sampah. Setelah itu diberikan selembar kertas yang berisi barang-barang apa saja yang kami bawa. Begitu juga ketika keluar akan ada pengecekan kembali, dimana jika kami meninggalkan sampah akan dikenakan denda 100 ribu rupiah. 

Sebagai anak yang tinggal di kota, peraturan ini sungguh mengejutkan dan membuat saya terpesona. Ini merupakan pembelajaran yang sangat mahal, melihat semangat para  pengelola menjaga kebersihan kawasan konservasi hutan mangrove dari sampah. Mulai dari situ, sepanjang perjalanan kami terus saling mengingatkan agar tidak membuang sampah sembarangan, sungguh berkesan.

Saat itu kami memilih rute dari sektor Barat untuk menuju Pantai Tiga Warna, yang dimulai dari pos utama kemudian menyusuri hutan mangrove dan melewati beberapa pantai. Perjalanan pertama, kami mulai dengan menyusuri hutan mangrove bersama tour guide.

Kemudian, kami berjalan menuju Pantai Clungup. Saat itu keadaan Pantai Clungup sedang surut. Pantai Clungup ini memiliki banyak pohon mangrove. Sepanjang perjalanan, tour guide kami memberikan edukasi tentang mangrove. Tim CMC Tiga Warna juga sering memberikan edukasi kepada pelajar di daerah sekitar dan penanaman mangrove secara langsung. 

Saat sedang mengambil foto, saya melihat tour guide kami memungut sebuah sampah plastik yang sepertinya terbawa arus dari tempat lain. Jujur, saya sangat kagum dengan pengelola di kawasan konservasi ini. Terlihat sekali bahwa mereka sangat menghargai dan menyatu bersama alam untuk menjaga hutan. 

Di Pantai Clungup pun kami mengambil foto dengan pohon mangrove tertua di Pulau Jawa. Setelah menyusuri hutan mangrove dan Pantai Clungup, selanjutnya kami berjalan menuju  Pantai Gatra. Di Pantai Gatra ini diberikan fasilitas gratis untuk menggunakan kano. Di pantai ini juga terdapat warung makan, kamar mandi dan mushola. Pantai Gatra menyajikan pemandangan yang sungguh indah, serasa di Raja Ampat versi Jawa timur. 

Kemudian kami melanjutkan perjalanan kami menyusuri hutan dataran tinggi untuk menuju Pantai Tiga Warna yang merupakan bagian dari kawasan konservasi. Menuju ke Pantai Tiga Warna, kami harus melewati Pantai Savanna. Dinamakan Pantai Savanna karena terdapat hamparan padang savana yang luas dan juga bukit-bukit yang indah. Pasir di pantai ini juga sangat putih dan lembut serta terdapat bebatuan karang di permukaan airnya. 

Pantai Savanna/Martha Yohana

Sepanjang perjalanan, tour guide kami tidak bosan-bosan mengingatkan agar tidak membuang sampah sembarangan karena saat itu kami membawa beberapa cemilan. Berkali-kali kami terpeleset bahkan hampir jatuh ke jurang karena jalan tanah yang sangat licin dan curam. Tiada hentinya kami terus bertanya, butuh waktu berapa lama lagi untuk sampai ke Pantai Tiga Warna, karena kami yang sudah begitu letih dan kaki teman saya yang terluka karena batu karang di Pantai Savanna. 

Ternyata memerlukan waktu kurang lebih 15 menit dari Pantai Savana menuju Pantai Tiga Warna. Terbayar sudah rasa penasaran saya dan teman-teman ketika sampai. Sungguh terpesona dengan keindahan dan kebersihan pantainya. Dinamakan Tiga Warna karena pantai ini memiliki 3 warna yaitu merah, hijau dan biru. Sepanjang perjalanan, setiap pantai benar-benar bebas dari sampah kecuali di Pantai Clungup. 

Sampai akhirnya terjawab semua pertanyaan yang muncul dalam pikiran saya, mulai dari mengapa harus reservasi, pengecekan serta pencatatan barang dan sebagainya. Ya karena ini merupakan kawasan konservasi, serta hutan mangrove memiliki fungsi sebagai penahan abrasi, juga mempunyai fungsi lainnya yaitu sebagai rumah untuk berbagai flora dan fauna.

Pembelajaran yang saya dapat dari liburan ini adalah saya belajar untuk lebih bertanggung jawab lagi dengan sampah, karena sampah yang dibuang dengan sembarangan akan mengancam kehidupan flora dan fauna di dalamnya bahkan akan mempengaruhi mata pencaharian masyarakat sekitar dan kehidupan saya yang tinggal di kota. Bertanggung jawab dan lebih bijak lagi dalam menggunakan sampah merupakan suatu hal yang harus dimulai dari diri sendiri dan dari sekarang juga. Dimanapun kita berada dan sekecil apapun kegiatan kita, akan selalu membuat dampak. Oleh karena itu, mari jaga hutan kita dari sampah untuk bumi yang lestari.

The post Sampahku, Tanggung Jawabku appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sampahku-tanggung-jawabku/feed/ 0 27966