Sampang Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/sampang/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 20 May 2025 15:22:49 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Sampang Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/sampang/ 32 32 135956295 Di Hutan Itu, Raden, Mengapa Kau Ditelan Sejarah? (2) https://telusuri.id/di-hutan-itu-raden-mengapa-kau-ditelan-sejarah-2/ https://telusuri.id/di-hutan-itu-raden-mengapa-kau-ditelan-sejarah-2/#respond Sun, 08 Sep 2024 21:00:42 +0000 https://telusuri.id/?p=42626 Dan hari itu adalah kali keduaku ke Pantai Hutan Nipah setelah tiga puluh tahun yang lalu. Meskipun bernama “nipah”, kenyataannya, hutan itu lebih banyak ditumbuhi pohon buni yang buah-buahnya menjadi makanan makaka. Di tepi hutan,...

The post Di Hutan Itu, Raden, Mengapa Kau Ditelan Sejarah? (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Dan hari itu adalah kali keduaku ke Pantai Hutan Nipah setelah tiga puluh tahun yang lalu. Meskipun bernama “nipah”, kenyataannya, hutan itu lebih banyak ditumbuhi pohon buni yang buah-buahnya menjadi makanan makaka. Di tepi hutan, kesenyapan itu meruapkan hawa wingit. Apalagi di belakang kami tiba-tiba muncul sosok tua bertongkat kayu dengan kemeja dan celana pendek belel.

“Siapa, ya?” bisikku kepada Iko.

“Jangan bilang beliau siluman,” jawab pemuda itu sambil melepas dan melilitkan jaket Reebok dongker di pinggang, menampakkan kaus kelabu yang membungkus torsonya. 

Sebenarnya aku tahu, si orang tua berharap kami memberinya sedekah. Kondisi pariwisata yang oleng mungkin mendesaknya meminta-minta. Kami membiarkannya mengikuti kami. Siapa tahu ia bisa menghalau bila ada monyet edan mendadak menyerang.

Legenda Raden Segara 

Merasuki relung hutan, beberapa makaka mulai terlihat, campur-baur suara satwa terdengar, dan cahaya matahari tertutup rimbun pepohonan. Jalan setapak Nipah cukup lebar, tak banyak kelokan, teduh, dan sedikit gelap. Beberapa meter setelah tikungan terakhir, jalan buntu.

Di sudut hutan itulah sejulang pohon buni bertubuh lebar berdiri kokoh meski telah sepuh, setua kisah Raden Segara. Raga pohon diselimuti selembar kain berwarna kuning mencolok, menunjukkan bahwa makhluk itu dikeramatkan.

Suatu kali, ketika melihat foto pohon itu, seorang kawan bertanya, “Kenapa kuning? Itu Jawa sekali.” Aku tak punya jawaban pasti. Bisa jadi sarung kuning itu cuma kebetulan. Namun, kalau mau othak athik gathuk, aku ingat empat warna dalam kisah Dewa Ruci, cerita yang amat berarti dalam falsafah kebatinan orang Jawa. Dalam kisah itu, Werkudara masuk ke perut Dewa Ruci. Di lambung sang dewa liliput, ia menjumpai empat warna hasrat. Kuning merepresentasikan nafsu supiah, hasrat duniawi.

“Itu petilasan Raden Segara,” ucap si kakek sambil menunjuk rantai batu yang melingkar di bawah pohon buni. Kualihkan pandang ke papan besi yang berdiri di sebelah buni. Plakat bercat putih tersebut menerakan kisah Raden Segara. Di akhir cerita, hulubalang Gilingwesi bertanya kepada Tanjung Sekar perihal ayah Raden Segara. Ketika perempuan itu menjawab, “Siluman”, kedua ibu-anak mendadak lenyap seolah-olah menyusul sang ayah ke negeri para peri. Lokasi moksa tersebut ditandai kain kuning yang melilit pohon buni dengan lingkaran batu di kakinya.  

Maka, kain supiah menjadi penanda bahwa Raden melepaskan takhta dan syahwat duniawi. Sebab, di situlah dahulu keraton sang pangeran didirikan. Warna kuning berunsur air, seperti ‘Segara’, nama daging sang Raden yang harus ditanggalkan untuk menyongsong jati dirinya yang lain, identitas gaib sang ayah sebagai sosok yang berasal dari dunia roh.

Karena tak dibutuhkan lagi, aku merogoh selembar rupiah dan menyerahkannya kepada si kakek. Kepergian orang tua itu berbarengan dengan berkumpulnya beberapa makaka di sekitar kami. Aku menyesal tidak membawa pisang atau kacang. Sementara Iko masih khusyuk menekuni cerita Raden Segara di papan itu.

Sungguh, kisah Raden Segara punya beberapa varian. Cerita Raden Segara di papan itu seversi dengan yang ditulis Zainal Fattah dalam Sedjarah Tjaranja Pemerintahan di Daerah-Daerah di Kepulauan Madura dengan Hubungannja (1951). Namun, Sangkolan: Lègènda bȃn Sajara Madhurȃ (2005) karya A. Sulaiman Sadik mengakhiri kisah dengan kembalinya Raden Segara dan ibunya ke Jawa setelah berhasil mengalahkan legion Cina yang berusaha menginvasi Kalingga.

Baik versi satu maupun versi yang lain bagiku memiliki motif politis. Aku menduga, hilang atau perginya Raden Segara dalam kisah itu merupakan penolakan orang Madura sebagai zuriat Jawa. Sebab, sang pangeran hengkang dari Madura ketika ia masih lajang dan tak meninggalkan keturunan. Penafian ini bisa jadi didorong oleh rasa tak senang orang Madura atas ekspansi Jawa di tanah mereka. Penampikan akar genealogis tersebut mengembalikan kita pada spekulasi Rifai bahwa penduduk mula-mula Madura berasal dari gelombang migrasi Proto-Melayu. Jika tidak, kita hanya akan menemui riwayat Madura yang berselubung halimun.

Di Hutan Itu, Raden, Mengapa Kau Ditelan Sejarah? (2)
Kawanan Makaka nongkrong di pohon tumbang/Royyan Julian

Para Penggawa Raden Segara

“Aku baru tahu legenda ini,” tukas Iko usai membaca papan itu.

Aku lebih beruntung karena telah mendengar cerita Raden Segara ketika masih duduk di sekolah menengah awal. Waktu itu, seorang teman mempresentasikan tugasnya yang mengangkat kisah Raden Segara di depan kelas. Saat pertama berkunjung, aku hanya tahu Hutan Nipah dihuni para monyet tanpa mengerti legenda satwa tersebut. Kini, lawatanku ke Nipah semacam tapak tilas cerita Raden Segara dan Tanjung Sekar.  

“Jadi, monyet-monyet di sini jelmaan para penggawa Raden Segara setelah ia pergi dan keratonnya ikut lenyap,” simpul Iko dengan mengedipkan mata sipitnya. Kami berjalan meninggalkan pohon buni bersarung kuning. “Tapi, kenapa harus jadi monyet? Kenapa enggak jadi sapi aja?”

“Monyet lebih mirip manusia,” tebakku sekenanya. Karena kemiripan morfologis itulah, dalam banyak dongeng, monyet sering dihubungkan dengan manusia: Subali Sugriwa, Lutung Kasarung, Ciung Wanara. Bahkan, dalam kitab suci, Bani Israel dikutuk jadi monyet ketika melanggar hari Sabat. Jauh sebelum Charles Darwin menyiarkan manifesto ilmiahnya tentang kekerabatan genetik manusia dengan monyet, legenda-legenda itu telah menyiratkan keintiman asosiatif kita dengan primata berekor panjang tersebut.

Eman, kita enggak bisa ngomong sama monyet-monyet ini,” keluh Iko sambil mencari tempat duduk aman di pendopo bertabur tahi cicak dan kalong. Sebagaimana semua sarana di sini, pendopo itu juga terbengkalai.

“Padahal makaka punya tiga ratus kosakata,” sahutku menghampiri kawanan monyet yang nongkrong berjajar di bekas pohon tumbang. Seekor ibu monyet tampak waspada dengan mendekap erat-erat bayinya yang menyesap ambing.

“Kalau paham bahasa mereka, kita bakal bisa menyimak khotbah tentang Raden Segara versi tradisi monyet Nipah,” gelak Iko, melambaikan helai-helai rambutnya yang lurus.

“Kita butuh ilmuwan gigih kayak Jane Goodall yang memahami bahasa simpanse. Atau, orang yang meneliti tiga ratus kosakata makaka perlu kita undang untuk berbicara dengan monyet-monyet di sini.” 

Sayang, percakapan itu harus diakhiri matahari yang bergeser ke barat dan dingin yang mulai menyusup. Kami keluar dari permukiman monyet seperti Raden Segara meninggalkan hutan itu. Di gerbang, kami tak menjumpai kakek pembuntut. Kami hanya bersemuka dengan derau gelombang laut, pasir putih, dan orang-orang yang tak ada lagi. Aku bayangkan, beginilah suasana Nipah setelah Raden Segara sirna, setelah pangeran Jawa itu ditelan kabut misteri, setelah ia memutus riwayat di jantung sejarah Madura yang sayup.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Di Hutan Itu, Raden, Mengapa Kau Ditelan Sejarah? (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/di-hutan-itu-raden-mengapa-kau-ditelan-sejarah-2/feed/ 0 42626
Di Hutan Itu, Raden, Mengapa Kau Ditelan Sejarah? (1) https://telusuri.id/di-hutan-itu-raden-mengapa-kau-ditelan-sejarah-1/ https://telusuri.id/di-hutan-itu-raden-mengapa-kau-ditelan-sejarah-1/#respond Sat, 07 Sep 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42620 Madura menetas dari sejarah yang berkabut. Peristiwa itu terjadi ketika malam bertelekung langit nila. Roh bulan turun dan singgah di mahligai Tanjung Sekar. Membuahi rahim putri Gilingwesi dengan saripati yang bersinar. Demikianlah awal kehamilan partenogenesis...

The post Di Hutan Itu, Raden, Mengapa Kau Ditelan Sejarah? (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Madura menetas dari sejarah yang berkabut.

Peristiwa itu terjadi ketika malam bertelekung langit nila. Roh bulan turun dan singgah di mahligai Tanjung Sekar. Membuahi rahim putri Gilingwesi dengan saripati yang bersinar. Demikianlah awal kehamilan partenogenesis tersebut berlangsung. Seperti Anunsiasi Maria saat Ruhul Kudus meniup janin di garwa perawan sunti.

Namun, bukan suka yang jatuh pada hayat Tanjung Sekar, melainkan duka. Maka, pembunuhan atas gadis itu disiapkan. Sebab, Hyang Tunggal tak ingin negerinya cemar. Meski demikian, nasib menumpulkan rencana raja. Tanjung Sekar lolos dari pisau maut. Ke laut, ia kabur dengan rakit kayu. Kelak, ia dan putranya yang terlahir di tengah segara terdampar di sebuah pulau dan menetap di tepi pantai antah-berantah, terra incognita yang hanya dihuni pohon dan mambang. Ke pantai inilah aku dan Iko hendak ziarah.

Di Hutan Itu, Raden, Mengapa Kau Ditelan Sejarah? (1)
Pantai utara Madura/Ikrar Izzulhaq

Genealogi Pulau Madura

Pantai Monyet Nipah terhampar di hutan utara Sampang. Kami harus menyisir 70 kilometer dari kota Pamekasan. Motor Honda Beat putih akan membawa kami ke sana.

Tapi, motor itu belum datang. Padahal jam telah menunjuk angka sepuluh. Pada waktu segitu kami sepakat bertemu di Loka Coffee. Ikrar Izzulhaq atau Iko baru tiba tujuh menit berselang dengan seringai kucing Cheshire dan garukan di kepala yang tak gatal. Lalu, pemuda tinggi-ramping itu berapologia dengan rasa bersalah yang dibuat-buat, “Sori, Bro, bangkit dari ranjang ternyata enggak semudah petuah Marcus Aurelius.”

Kami pun berangkat dengan laju rata-rata 70 kilometer per jam. Matahari duha akhir Mei memang tak ramah. Akan tetapi, cahaya kemarau akan membuat semuanya terlihat zahir. Apalagi, rute yang bakal kami lalui membentangkan panorama elok. Jalur ke utara tak selempang jalan selatan. Melewati trayek utara, motormu akan berkelok-kelok, naik-turun bukit dan lembah.

Memasuki Pakong, jalan raya menggantung di lereng curam. Suhu udara surut. Di sanalah kulihat seekor bubut alang-alang melayang turun, merentangkan sayap terakota dengan ekor berayun anggun. Hinggap ke dahan kepuh yang menancap di punggung tebing.

Namun, hanya di Waru kau akan bersyukur menyaksikan tubuh bukit-bukit gamping dengan monokromatik dan geometri yang tegas. Bertemu para raksasa batu mengingatkan kita bahwa manusia adalah makhluk kerdil, gentar di hadapan kontur bumi yang mirip punggung Godzilla. Di sini, udara kian berat. Aku merapatkan jaket. 

Dahulu, di awal abad ke-10, konon wilayah Madura masih berupa tonjolan-tonjolan karang di permukaan air. Ketika laut susut, kita akan paham bawah pucuk-pucuk cadas tersebut adalah puncak bukit. Itulah mengapa, ada yang bilang, nama Madura berasal dari kata lemah dhura yang berarti ‘tanah niskala’. Sebab, wujud daratan itu antara ada dan tidak. Tiada yang tahu mengapa akhirnya eksistensi geologis pulau ini tak lagi dipengaruhi pasang-surut segara. 

Kubayangkan, jalan yang kususuri dulunya menjadi dasar laut yang kian dalam bila permukaan air ditarik gravitasi bulan. Aku lupa bagaimana hawa lautan. Tapi, saat Waru telah menjelma dataran tinggi, tentu terjadi transformasi drastis temperatur hangat pesisir ke suhu sejuk perbukitan. 

Ketika jalan menurun, suhu udara naik. Di Pasean, Iko membelokkan kemudi ke barat, menuju Sampang. Sisi kanan telah berubah pantai, sedangkan di kiri jalan sering kami jumpai deretan batuan karst yang rompal dicungkil tambang. Seorang klerus cum aktivis Sumenep, A. Dardiri Zubairi, pernah memaparkan bahwa ekosida di Madura dioperasikan melalui strategi makan bubur. Bukit-bukit gamping digerus dalam gerak sentripetal. Eksploitasi dengan modus demikian kelak mendorong pulau ini mengalami kekeringan di wilayah pinggir, lalu menjalar ke pusat. 

Barisan bukit kapur di Madura sesungguhnya merupakan perpanjangan gunung gamping Jawa sebelum bagian barat dan selatan tanah ini dipatahkan gempa. Lindu tersebut dikabarkan Nagarakretagama. Adikarya Prapanca itu tidak menyebut tahun berapa goncangan terjadi. Tentu, berita gempa ala Nagarakretagama tidak akan dipercaya jika kita meyakini teori tentang dataran rendah Madura yang berubah selat pascaperiode glasial. Itulah mengapa, kedalaman selat Madura kurang dari seratus meter.

Apa pun itu, yang jelas, forsir atas batu karst sama dengan merusak waduk rubanah yang ditatah alam. Bila gunung-bukit kapur hancur, bumi tak lagi sanggup membendung air. Tragedi kematian mata air menjadi sirine bahwa kiamat akan digelar. 

Kiamat memang pernah dialami leluhur orang Madura, tetapi bukan di tanah ini, melainkan di negeri asal mereka. Empat ribu tahun yang lalu, ketika imperium Tiongkok memperluas teritori, bangsa-bangsa di semenanjung Indocina bergerak ke selatan, hijrah ke pulau-pulau di Nusantara. Beberapa di antaranya mendarat di Madura dan menjadi moyang orang-orang Pulau Garam. Spekulasi semacam ini pernah dijabarkan Mien A. Rifai dalam Lintasan Sejarah Madura (1993) yang tentu saja bisa memiliki selisih waktu dengan catatan metahistoris. Anakronisme tersebut dapat terjadi karena perbedaan kalender antara kronik modern dengan tarikh kebudayaan lama; juga dengan narasi legenda yang berputar dalam waktu obskur. 

Dari situlah arah utara disimpan sebagai memori kolektif orang Madura tentang masa lalu yang kelam. Pengalaman arketipal ini memengaruhi tradisi fengshui mereka yang percaya bahwa selatan adalah kiblat prospektif. Rumah yang memunggungi utara berarti siap menyambut masa depan cerah yang memancar dari selatan. 

Ditegakkan untuk Ditinggalkan

Namun, perjalanan kami justru melawat masa lalu yang dianggap gelap itu. Dan ketika sampai di Sokobanah, kami harus menuntaskan jarak 33 kilometer lagi. Rumah-rumah terlihat mulai renggang. Celah tersebut membiarkan suara debur ombak lautan menyusup ke telinga. Sementara itu, angin muson yang mengembuskan musim timur cukup meringankan tubuh dari beban panas surya. 

Di Sokobanah, zaman terasa berhenti. Jalur utara memang lebih sepi kendaraan karena rute selatanlah yang menjadi jalan provinsi Madura–Jawa. Namun, kesunyian di utara terkesan seperti disebabkan oleh jejak mereka yang merantau ke tanah jiran. Madura utara memang dikenal sebagai daerah dengan tradisi rantau yang tinggi. Rumah-rumah ditegakkan hanya untuk ditinggalkan; monumen megah sebagai simbol dari kerja keras di negeri seberang. Rumah-rumah itu kadang cuma dihuni kaum lansia dan anak-anak; kadang tikus, kampret, dan burung-burung yang menitipkan sarang.

Ironi yang menyelubungi pikiranku sepanjang jalan itu sirna saat kami melewati jembatan yang merintangi Sungai Nipah, lalu belok kanan. Pohon-pohon nipah berjejer di tepi sungai berkulit hijau dengan tekstur rata. Dari celah pokok-pokok palma kulihat perahu-perahu besar berlambung putih ditambatkan. Di geladak perahu, sejumlah nelayan yang tak melaut tampak memeriksa mesin, jala, dan perkakas. Ekosistem Sungai Nipah setenang lanskap negeri dongeng.

Ketenangan itu pecah saat azan Zuhur berkumandang. Kami telah memarkir motor di salah satu halaman rumah warga yang mendadak jadi lahan parkir. Permukiman di Desa Batioh tak seriuh kampung-kampung nelayan pada umumnya. Beberapa monyet makaka berlalu lalang di pekarangan, memanjat pohon, dan seekor pejantan bertengger di bubungan, memindai kemahaluasan cakrawala. 

Di mulut kampung, kami berpapasan dengan papan bertuliskan “Selamat Datang di Pantai Hutan Kera Nepa”. Di belakangnya, buih ombak susul-menyusul dari kaki langit yang membelah laut dan angkasa, membuat gradasi biru dengan warna lebih pekat di bawah dan lebih pucat di atas. Seekor dara laut melayang-layang dan mematuk ikan di permukaan air yang tak tenang. 

Warung-warung dengan bentuk dan cat hijau yang seragam berbaris rapi di tepi pantai. Kami menyusuri deretan kedai. Hari itu memang bukan waktu libur. Hanya segelintir warung yang buka dan satu-dua warga nongkrong di sekitarnya. 

Akan tetapi, aku juga tak yakin objek wisata itu bakal ramai di hari libur. Sebab, ketika memasuki gerbang hutan yang telah usang, sebuah gazebo terlihat suwung dan kotor, seperti tak pernah digunakan. Di Madura, kita akan sering menjumpai tempat-tempat wisata yang telantar karena sudah tidak dikunjungi lagi. 

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Di Hutan Itu, Raden, Mengapa Kau Ditelan Sejarah? (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/di-hutan-itu-raden-mengapa-kau-ditelan-sejarah-1/feed/ 0 42620
Suara Kerang di Hutan Mangrove https://telusuri.id/suara-kerang-di-hutan-mangrove/ https://telusuri.id/suara-kerang-di-hutan-mangrove/#respond Sat, 28 Oct 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39961 Hutan mangrove itu riuh. Saya bisa mendengar bunyi berbagai jenis burung. Kuntul, raja udang biru, cekakak, dan entah apa lagi. Di antara itu semua, saya mencoba menangkap sebuah suara. “Coba kamu dengar itu” kata Ipung....

The post Suara Kerang di Hutan Mangrove appeared first on TelusuRI.

]]>
Hutan mangrove itu riuh. Saya bisa mendengar bunyi berbagai jenis burung. Kuntul, raja udang biru, cekakak, dan entah apa lagi. Di antara itu semua, saya mencoba menangkap sebuah suara. “Coba kamu dengar itu” kata Ipung. Saya memejamkan mata, mencoba menajamkan indera pendengaran. Terdengar bunyi “klak” kecil—saya tak tahu lagi harus menyebutnya apa. Ipung melihat saya. “Dengar, kan? Itu suara kerang,” katanya.

Rasanya sudah cukup lama sejak terakhir kali saya mencari kerang. Biasanya, saya menunggu waktu-waktu tertentu di mana orang kampung berbondong-bondong ke pantai untuk mengumpulkan kerang. Oleh karena itu, saat Bibi mengajak saya ikut mencari kerang, saya bertanya, memangnya sekarang musim kerang?

Kami berangkat sore hari. Usai azan Asar berkumandang, kami menenteng ember dan kursi kecil. Dengan topi di kepala, saya siap beraksi.

Hanya lima menit mengayuh sepeda, saya tiba di tepi pantai. Angin berembus. Burung-burung terbang di atas mangrove. Saya mengamati mereka. Ada dara laut, cekakak suci, cangak merah, dan… ah, tidak, ini bukan saatnya birdwatching. Tak lama, Bibi, Elly, Ipung, dan Syifa menyusul. Air surut, kami turun ke laut.

“Di mana tempatnya?” tanya saya.

“Di situ, di mangrove,” jawab Elly.

“Bukannya biasanya di pasir, ya?”

“Enggak, kita cari di situ saja.”

Suara Kerang di Hutan Mangrove
Berjalan menuju hutan mangrove/Asief Abdi

Berburu Kerang

Kami melangkah ke hutan mangrove. Tanpa alas kaki, saya harus waspada memilih pijakan. Salah sedikit, tiram atau cangkang siput bisa melukai telapak kaki. Biasanya, orang-orang menggunakan kaus kaki atau sepatu. Namun, saya lebih suka bertelanjang kaki dan merasakan lumpur menyentuh kulit. Benar saja, tak butuh waktu lama saya merasakan goresan-goresan kecil di tapak kaki. Lama-lama perih juga.

Lumpur menelan setiap langkah. Benar-benar lambat, tetapi kami tiba juga. Pohon api-api menyambut. Akar-akarnya mencuat ke permukaan. Jika lazimnya akar tunduk pada gravitasi, tumbuhan dari genus Avicennia ini memiliki akar napas yang malah tumbuh ke atas. Geotropisme negatif, kata buku biologi.  Bagus, setelah menghindari tiram, sekarang saya harus berhati-hati agar kaki saya tak tertancap akar-akar itu.

“Ini serius mau cari kerang di sini?” saya setengah protes.

“Iya, kemarin aku juga ke sini dan dapat satu ember,” jawab Elly.

“Ini tempat rahasia. Coba lihat, sepi, kan?” Ipung menimpali.

Ya, tempat itu sepi karena hanya orang bodoh yang mau menyiksa kakinya dengan masuk ke situ.

Suara Kerang di Hutan Mangrove
Hasil tangkapan Ipung/Asief Abdi

Ipung langsung mencari tempat. Ia mengenakan sarung tangan, membenamkan tangannya ke lumpur sambil meraba-raba. Tiba-tiba ia tersenyum. Anak muda itu mengeluarkan tangannya dari lumpur dan memperlihatkan tangkapannya.

“Ini kerang minnyan, dagingnya besar,” katanya.

Saya berjongkok dan turut mencari. Benar, saya di sini untuk mencari kerang, bukan bikin konten. Saya meraba-raba lumpur dan merasakan sesuatu lalu mengangkatnya. Kerang pertama saya hari ini. Saya menunjukkannya pada Ipung.

“Itu kerang parot, dagingnya kecil, tetapi enak juga,” ia menanggapi.

Saya tak tahu jenis-jenis kerang. Usai mengamatinya sejenak, saya masukkan kerang itu ke ember. 

“Jadi, kalian memang sering cari kerang ke sini?” tanya saya.

“Enggak, ya, sesekali saja, buat hiburan. Hasilnya juga buat dimakan sendiri, bukan dijual,” jawab Ipung santai sambil melemparkan kerang ke ember.

Dia memberi tahu saya bahwa kerang mengeluarkan bunyi. Saya tak tahu kalau binatang itu bisa melakukannya. Apakah itu suara ketika mereka makan atau masuk ke dalam lumpur, entahlah. Namun, tetap saja itu menarik.

Ipung kemudian menunjukkan tempat-tempat yang berpotensi dihuni kerang. Jarinya menunjuk permukaan dengan serpihan cangkang kerang mati. “Biasanya di situ banyak kerang sembunyi. Pintar mereka itu, biar dikira enggak ada kerang di bawahnya,” jelasnya.

Ah, yang benar saja. Saya skeptis. Sepertinya itu logika dia saja. Meski begitu, ia terus memungut kerang demi kerang, sementara saya menjamah tanpa hasil.

Kami berpindah dari satu tempat ke tempat lain di sekitar pohon api-api. Karena tak membawa kursi kecil, saya harus berjongkok. Lutut saya pegal. Ipung sudah menanggalkan sarung tangannya. Tampaknya ia tak nyaman jika kulitnya tak merasakan target secara langsung. Jika kaki saya sudah lecet-lecet, kini giliran tangan saya yang tergores tiram atau benda tajam lainnya di dalam lumpur. Namun, saya mulai terbiasa dengan cara ini. Barangkali, beginilah yang dilakukan para leluhur dulu. Menghabiskan waktu di pantai sambil memungut kerang dan binatang laut lainnya untuk camilan jelas bukan ide buruk.

Kerang, Mangrove, dan Lautan

Kerang merupakan makanan lezat. Kecuali para pengidap alergi seafood, semua orang sepakat soal itu. Manusia rupanya telah menyukai rasa daging kerang sejak ribuan tahun lalu. Tentu saja, mengumpulkan kerang tak seperti mengejar hewan buruan besar yang butuh banyak energi. Jika hidup sebagai seorang pemburu pengumpul, saya lebih memilih menghabiskan berjam-jam di pantai mengumpulkan kerang daripada berburu mamut. James Suzman, dalam bukunya yang berjudul Work, menulis bahwa komunitas manusia awal yang tinggal di pesisir biasa mengumpulkan kerang untuk dimakan. 

Tak terasa sudah satu jam kami berjibaku dengan lumpur. Ember saya sudah setengah penuh—terdengar sangat optimistis. Sesekali saya berdiri untuk menghibur kaki yang lama tertekuk. Elly dan Bibi sibuk mencari tempat yang pas. Sepertinya, mereka tak mendapat banyak tangkapan. Syifa, entah di mana anak itu. Ia sudah biasa masuk ke dalam rimbunnya mangrove bersama Ipung, kakaknya, untuk mengumpulkan berbagai jenis kerang.

Suara Kerang di Hutan Mangrove
Syifa di tempat favoritnya/Asief Abdi

“Memangnya mencari kerang bisa setiap waktu?” tanya saya.

“Kalau kerang tertentu, seperti lorjhu’, memang ada musimnya. Tapi, kalau kerang macam ini nggak usah nunggu waktu. Langsung saja,” jelas Ipung.

“Kok nggak ada orang selain kita, ya?”

“Orang-orang pada enggak tahu kalau di sini banyak kerang.”

Ipung menunjuk sesuatu di lumpur.

“Lihat itu. Dia ada di permukaan.”

“Oh, ya? Mana?”

Saya menajamkan pandangan. Itu bukan gundukan lumpur. Seekor kerang menyembul ke permukaan. Cuma sedikit, mata orang akan melewatkannya dengan mudah. Saya mencongkelnya dari lumpur. Seekor kerang parot. Barangkali ia sedang mengisap makanan atau bernapas dan harus muncul ke permukaan.

Kerang merupakan filter feeder, ia menyaring dan memakan plankton di perairan. Oleh karena itu, mereka berperan sebagai pembersih lautan, seperti ginjal di tubuh manusia. Dengan memakan ganggang mikroskopik, kerang mencegah blooming algae dan memelihara air tetap jernih. Selain itu, binatang bercangkang itu juga penting dalam siklus biogeokimia lingkungan akuatik. Lebih-lebih di daerah pesisir Madura yang memiliki banyak tambak udang.

Suara Kerang di Hutan Mangrove
Pohon api-api dan akar napasnya/Asief Abdi

Aktivitas budidaya udang menghasilkan limbah nitrogen. Sisa-sisa pakan mencemari lingkungan, membuat air berbau busuk dan berbuih. Keberadaan kerang di hutan mangrove bisa menjadi penyelamat ekosistem berkat perannya dalam daur nitrogen.

Namun, gaya hidup semacam itu bukan tanpa konsekuensi. Kerang akan mudah mengakumulasi polutan di suatu perairan. Itulah sebabnya banyak kerang di daerah-daerah tertentu tak layak dikonsumsi karena terpapar logam berat, seperti yang terjadi pada kerang hijau di Teluk Jakarta. Beruntung Madura bukan kawasan Industri yang punya banyak pabrik penghasil limbah beracun. Jadi, tampaknya, para kerang bisa menghirup air segar di sini. Namun, bukan berarti tak ada ancaman bagi kerang dan ekosistemnya.

Dilansir dari situs Mongabay, hutan mangrove Madura banyak dibabat untuk dijadikan tambak udang. Di daerah-daerah tertentu juga banyak reklamasi yang mencaplok lahan mangrove. Orang-orang membangun rumah di tepi laut, menimbun lahan tak bertuan dengan batu dan tanah terlebih dahulu. Jalan-jalanlah ke Sampang dan kamu akan melihat bagaimana orang membuat petak-petak di tepi laut.

Hilangnya ekosistem mangrove bukan hanya ancaman bagi biota air, tetapi juga ekosistem pantai. Daratan akan lebih rentan terkena abrasi. Saat naik bus beberapa waktu lalu, saya ngeri ketika bus melintasi jalan raya di pinggir laut. Saat itu air pasang dan hempasan ombak hampir mencapai jalan raya. Barangkali, suatu saat, Madura—dan kawasan pesisir di tempat lain—akan tenggelam. Dan, siapa sangka, meningkatnya suhu bumi juga mengancam eksistensi kerang dan kerabatnya.

Mendidihnya suhu bumi disebabkan polusi CO2. Elizabeth Kolbert dalam bukunya, Kepunahan Keenam, menjelaskan bahwa tingginya kadar CO2 di laut—benar, CO2 tak hanya terakumulasi di udara—menyebabkan pengasaman samudra. Menurunnya pH air laut mempersulit klasifikasi moluska. Akibatnya, bivalvia dan hewan lunak lainnya kesulitan membuat cangkang. 

Suara Kerang di Hutan Mangrove
Mencari kerang sambil mengobrol/Asief Abdi

Pulang

Langit kian lembayung. Tak terasa, kami sudah dua jam di antara pepohonan api-api. Air makin surut, menyisakan gundukan-gundukan pasir yang menyembul ke permukaan. Ember saya hampir penuh. Sepertinya cukup untuk lauk esok hari. 

“Sudah mau Magrib. Ayo, pulang!” seru Bibi di kejauhan.

Apaan, masih jam segini. Tunggu sampai azan,” balas Syifa.

“Enggak asyik ngajak orang tua,” timpal Ipung.

Di bawah langit senja, kami berkelakar. Tangkapan kami cukup banyak. Kerang yang terkumpul tinggal dibersihkan lalu dimasak. Jika tak dibersihkan dengan benar, mulutmu akan penuh pasir saat memakannya.

“Ayolah, kita pulang saja,” kata Elly sambil menengok hasil tangkapannya. Rupanya setengah ember sudah cukup baginya.

“Oke, kalian bagaimana?” tanya saya pada Ipung dan Syifa.

“Kalian duluan saja, kami masih betah, nih,” jawab Ipung.

Kakak beradik itu memang tinggal tak jauh dari laut. Jadi, saya pikir tak perlu dikhawatirkan. Mereka kenal pantai itu seperti telapak tangannya sendiri. Kami menyibak rimbunnya api-api. Air surut meringankan langkah kami. Di ufuk barat, matahari tenggelam di cakrawala, meninggalkan berkas-berkas cahaya. Ia tengah pulang, begitu pula kami.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Suara Kerang di Hutan Mangrove appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/suara-kerang-di-hutan-mangrove/feed/ 0 39961