sape Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/sape/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Thu, 29 Jun 2023 08:30:21 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 sape Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/sape/ 32 32 135956295 Orang Baik Sape (2) https://telusuri.id/orang-baik-sape-2/ https://telusuri.id/orang-baik-sape-2/#respond Sat, 01 Apr 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=37423 Saya awalnya sempat ragu, tapi saya teringat budaya tumpang-menumpang di Pulau Sumbawa adalah hal yang lazim. Saya segera mengiyakan tawarannya dan berkenalan dengan dua orang di dalamnya; pertama adalah Bang Muhajir atau Kaka Bintang, yang...

The post Orang Baik Sape (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Saya awalnya sempat ragu, tapi saya teringat budaya tumpang-menumpang di Pulau Sumbawa adalah hal yang lazim. Saya segera mengiyakan tawarannya dan berkenalan dengan dua orang di dalamnya; pertama adalah Bang Muhajir atau Kaka Bintang, yang kedua adalah Bang Firin atau Kaka Fir. “Kami rencana mau ke Sondo, mau bawa Kaka ini berobat,” jawab Bang Muhajir sambil menunjuk Bang Firin di samping kemudinya. Bang Firin tampak memegangi perutnya, apakah ia sakit perut?

“Kata dokter sih maag akut,” ucapnya seraya merintih.

Jalanan Sape–Bima yang naik turun bukit membuat Bang Muhajir harus menghentikan mobil di tepi jalan. Saya yang awalnya duduk di belakang kemudian harus berpindah ke depan, agar Bang Firin bisa merebahkan badannya. Tentang pengobatan di Sondo, saya pernah mendengar Pak Zainuddin berbicara tentang itu. “Pokoknya kalau orang berobat ke situ dijamin sembuh,” cerita Pak Zainuddin kala itu.

Saya jadi penasaran, apakah orang itu dokter, ustadz, atau dukun?

Ternyata bukan ketiganya. Latarnya, kata Bang Muhajir, memang berasal dari akademisi dan dia tahu mengenai obat-obatan. Tapi seperti biasa, dalam pengobatan tradisional pasti ada diselingi kisah klenik. “Beliau tu cuma kita bilang sakitnya doang bisa tahu penyebab sakitnya karena apa.”

Sape
Sekeliling Pelabuhan Sape yang ramai aktivitas warga/M. Irsyad Saputra

Kami bercerita banyak hal sepanjang perjalanan. Salah satunya adalah bagaimana Sape terkenal sebagai daerah yang berbahaya di Pulau Sumbawa. Sape, menurut Bang Muhajir, orang-orangnya bernyali tinggi dan seringkali terjadi perkelahian antar sesama maupun dengan orang luar. Saya baru tahu reputasi Kecamatan Sape sebegitunya, tapi karena saya datang tanpa ekspektasi apapun, jadi tidak ada masalah dalam benak saya.

“Di sini [Sape] banyak keturunan habaib-habaib. Hampir semua ada darah habaibnya meski dari wajah sudah tak nampak,” ujarnya. Ketika saya menanyakan marganya, dia dengan lugas menjawab BSA (Bin Syekh Abu Bakar). Marga BSA merupakan keturunan dari Syekh Abu Bakar bin Salim bin Abdullah bin Abdurrahman yang berasal dari Hadramaut, Yaman, yang kemudian keturunannya tersebar sampai ke Indonesia seperti Habib Sholeh Tanggul, Habib Salim Jindan, bahkan hingga Habib Umar bin Hafiz yang terkenal merupakan keturunan dari BSA.

Matahari mulai terseok-seok ditelan bukit di sepanjang jalan menuju Bima. Sekali lagi Bang Firin merintih kesakitan. Bang Muhajir kemudian menepikan mobil, saya dan Bang Firin kemudian bertukar tempat duduk. Sakit perutnya tidak tertahankan hingga ia harus merebahkan diri di kursi belakang. Sementara Bang Firin mencoba untuk tidur, kami melanjutkan pembicaraan.

“Kamu udah nikah belum?”

“Belum, Bang.”

“Nanti kalau nikah jangan sama orang jauh. Dulu paman saya memberi nasihat begitu.”

“Mengapa?”

“Nanti apa-apa sulit kalau jauh.”

Bang Muhajir menceritakan pengalaman salah satu temannya yang mempunyai istri dari luar pulau. Ketika istrinya rindu kampung halaman, terpaksa sang suami  menahan sang istri agar tidak pulang dengan alasan nunggu anak pertama lahir. Konon, sampai anak ketiga lahir, sang istri juga belum bisa pulang dan terpaksa menahan tangis di tanah Bima. Kemudian kisah berlanjut bagaimana kisah cinta Bang Muhajir dan istrinya kala bertemu di konter pulsa. Kisah kasih mereka telah membuahkan satu orang putri. “Semoga nanti kamu cepat nyusul ya,” doanya. Saya hanya terkekeh mendengarnya, padahal baru sebulan yang lalu saya putus cinta.

Di tengah asyiknya pembicaraan kami sepanjang jalan, saya memutuskan untuk ikut mereka ke Sondoh. Berkali-kali saya menghubungi nomor salah satu teman kuliah saya, memastikan saya bakal bertemu dengan dia dan tidak kesepian. Selain karena bingung harus tinggal di mana kalau sampai di Bima, saya juga penasaran bagaimana pengobatan ini terkenal sampai seantero NTB–NTT.

Sape
Bersama Bang Firin dan Bang Muhajir di Taman Kota Bima/M. Irsyad Saputra

Langit sudah mulai gelap kala kami mampir untuk makan di salah satu rumah makan di Bima untuk mengisi perut yang sudah berdendang. Kami semua ditraktir Bang Firin.

Mobil melaju dengan kecepatan yang tidak main-main. Kota Bima yang temaram dalam lampu jalanan layaknya mata kucing hanya mampu mendengkur diterjang knalpot mobil yang meraung-raung. Di luar sedikit dari Kota Bima, suasana sudah seperti kota hantu Silent Hill–meski tanpa kabut. Beberapa titik kadang ramainya seperti ada hajatan, di beberapa titik sunyinya seperti kuburan. Saat mata saya mulai terpejam karena kantuk yang menggantung terlalu berat. Kami sampai di sebuah rumah dekat tanah lapang yang gemerlap lampunya hampir sama dengan alun-alun Kota Bima. Saya tidak menyangka pengobatan ini bakal sepopuler ini.

“Bang ini beneran tempatnya?”

“Iya, ini tempatnya.”

Saung-saung kecil berdiri di depan rumah yang ramai dengan para pengunjung dan warung! Warung di sana berjejer sudah seperti di tempat wisata, menjual minuman, kopi, hingga mi instan. Bang Firin langsung mengantri untuk masuk ke dalam rumah sederhana yang menjadi tempat praktik. Saya dan Bang Muhajir lantas minum kopi di saung. 

“Rame juga ya Bang yang datang.”

Kendaraan segala jenis terparkir di lapangan: bus mini, mobil bak, Avanza, hingga sepeda motor terparkir rapi di tanah lapang. Pengobatan tradisional selalu memenangkan hati rakyat kecil yang enggan ke rumah sakit karena takut biaya yang besar. “Dulu pernah ada orang datang, saya tanya ternyata dari Bali,” Bang Muhajir membuka obrolan. Selain yang sakit, tidak diperbolehkan untuk masuk ke dalam tempat praktik, jadi kami hanya bisa menunggu di sini. Antrian pasien malam itu cukup banyak, kami terus mengobrol dan memesan kopi sampai giliran Bang Firin tiba.

Seusai berobat, Bang Firin bercerita hasil pemeriksaannya. “Maagnya karena sering minum alkohol dan begadang,” ucapnya. Ternyata memang berkaitan dengan pekerjaannya sebagai kru salah satu agen wisata. Dari raut mukanya yang sumringah, tampaknya gejala maag tadi mulai membaik. Kami kembali ke Bima, dan saya harus berpisah dengan mereka dan memutuskan untuk bermalam di halaman Museum Asi Mbojo.

Sape
Bermalam di pelataran Museum Mbojo Asi yang kebetulan sedang dibuka/M. Irsyad Saputra

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Orang Baik Sape (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/orang-baik-sape-2/feed/ 0 37423
Orang Baik Sape (1) https://telusuri.id/orang-baik-sape-1/ https://telusuri.id/orang-baik-sape-1/#respond Fri, 31 Mar 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=37422 Setelah hampir satu bulan berada di Labuan Bajo, saya berencana untuk berkemas pulang besok hari. Hari-hari nan panas di sini mungkin tidak akan saya temui beberapa waktu mendatang. Saya pun berpamitan kepada Bang Ipul untuk...

The post Orang Baik Sape (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Setelah hampir satu bulan berada di Labuan Bajo, saya berencana untuk berkemas pulang besok hari. Hari-hari nan panas di sini mungkin tidak akan saya temui beberapa waktu mendatang. Saya pun berpamitan kepada Bang Ipul untuk yang kedua kalinya—setelah sebelumnya menunda kepulangan.

“Jadi, besok pagi pulangnya?” tanyanya.

“Iya, Bang. Soalnya hari ini kan jadinya jadwal kapal sore, mending besok pagi.”

Siang itu menjadi santap terakhir saya di warung Bang Ipul, sekaligus minum es kelapa jualannya. Setelah itu, saya menyempatkan diri untuk bertemu Pak Zainuddin untuk pamit pulang. Saya mendapati rumahnya sepi, hanya istrinya yang menyambut saya.

“Bapak kemana, Bu?” 

“Sebentar ya, bapak tadi di samping. Lagi bikin kapal.”

Sape
Pak Zainuddin sedang menyelesaikan kapal buatannya/M. Irsyad Saputra

Saya teringat akan omongannya beberapa waktu lalu, ia mengatakan ingin membuat sebuah kapal, entah untuk dijual atau dipakai sendiri. Tak lama, ia datang sambil berpeluh yang membasahi dahinya. Seketika saya menyalaminya dan meminta izin untuk pulang.

“Jadinya pulang besok?”

Saya menanggukan kepala dan kami terlibat pembicaraan lagi hingga waktu Asar hampir tiba. Saya sempat melihat bagaimana perahu buatannya yang masih setengah jadi terbentang di samping rumahnya. Sebulan belakangan banyak hal yang saya lalui di sini, tiba-tiba saja, saya merasa terikat secara emosional dengan tempat ini, entah karena saya sering makan pagi di warung Bang Ipul atau karena penghujung senja yang saya sering habiskan di Waterfront.

Malamnya, pertunjukan 1000 sasambo memeriahkan Waterfront yang biasanya senyap. Layar-layar perahu pinisi ikut dibentangkan. Pemain sasando, yang didatangkan dari sekolah-sekolah di Kupang memainkan sasando dengan lincah. Sayang, pertunjukan malam itu dinodai oleh panitia yang kurang persiapan. Suara sasando sama sekali tidak terdengar, malah yang paling lama justru konser musik pop.

Keesokan kala matahari sudah hampir meninggi, saya berangkat menuju Sape dengan menumpang kapal feri. Kapal sudah tertambat, penumpang mulai masuk satu per satu. Saya melamun di pinggir jendela kapal, memotret pemandangan kota dari laut. Hotel Meurorah tampak memagari pinggir kota dengan kokoh. Saya kembali berpisah dengan NTT.

Sape, sebuah kecamatan di ujung timur Pulau Sumbawa akan menyambut saya setibanya di NTB. Saya tidak asing dengan tempat ini. Beberapa waktu sebelumnya, saya juga menyempatkan diri menyinggahi Sape dari Labuan Bajo, dan berjalan kaki menuju ke Bima. Sekarang pun saya berpikir demikian, sesampainya di sana akan berjalan kaki ke arah Bima dan mencari tumpangan sekenanya. 

Angin laut berdesir di telinga. Kapal feri membawa penumpang melintasi gugusan Kepulauan Komodo, menyisakan panas membara di geladak kapal. Birunya laut tidak membuat saya betah duduk manis di dalam kapal. Ada rasa gelisah, entah karena saya tidak ada teman seperjalanan atau karena jalannya kapal terlalu lambat. Saya memutuskan untuk duduk di geladak bersama orang-orang yang mungkin juga dihimpit rasa bosan.

Sape
Sepanjang perjalanan menuju Sape/M. Irsyad Saputra

Saya mengeluarkan kamera, memotret pulau-pulau kecil yang dilewati sepanjang perjalanan. Saya kemudian memutuskan untuk duduk di salah satu bangku untuk melihat hasil foto, tepat di depan seorang bapak yang sedang asyik dengan gawai dan rokoknya. Tepat di sebelah kanan, ada seorang bapak yang nampak sedang mengganggu beberapa anak muda yang nongkrong. Saya cuma diam dan tidak menggubris. Tak lama, kejadian tak mengenakan pun menghampiri saya.

Tiba-tiba saja punggung saya dipegang oleh si bapak yang tadi. Dia mulai memijat leher saya, dan saya menolaknya.

“Nggak pegel, Pak,” ucap saya. Dari tampilannya yang nyentrik, saya teringat pelawak Tessy.

Dan plek! Sebuah ciuman mendarat di pipi saya. Saya terkejut. Bapak yang sedari tadi merokok di depan saya juga terkejut. Bingung dan marah, tapi saya tidak bisa berbuat apa-apa, takut membuat keributan di kapal.

“Kamu mau ke mana, Dek?”

Saya menjawab sekenanya. “Ke Jakarta.”

“Oh, saya juga mau ke Jakarta. Boleh minta nomor HP kamu? Nanti kalau di Jakarta kita ketemuan lagi.”

Ini orang sudah gila! Sudah melakukan pelecehan, dengan santainya meminta nomor HP. Baiklah, karena tidak sedang dalam mood ingin berkelahi, saya memberinya nomor yang tidak aktif lagi. Buru-buru saya turun dan masuk ke ruangan penumpang untuk ke kamar mandi, membasuh bekas ciumannya di pipi. Blah! Saya membilas muka dan membasuhnya dengan sabun. Siang itu terasa semakin panjang. Saya kemudian menghabiskan waktu menonton film bersama penumpang lainnya. Saya sempat mengobrol lagi dengan seseorang sebelum kemudian beranjak tidur.

Sape
Menuju Sape dari Labuan Bajo/M. Irsyad Saputra

Namanya tidur di atas gelombang, tak pernah benar-benar tidur nyenyak. Menjelang sore, kapal telah bersandar di pelabuhan. Para penumpang mulai mengambil barangnya dan mengantri untuk turun. Di antara laki-laki dan perempuan yang berjejal itu, saya kembali melihat si bapak yang tadi, menggoda tiga wanita transpuan. Saya langsung ambil ancang-ancang  pergi dari kapal secepat mungkin. 

Di luar pelabuhan, berbagai macam bus mini sudah menunggu penumpang yang turun dari kapal. Ada sekitar lima bus yang siap berangkat ke Bima sekarang juga. 

“Bima, Bima, Bima,” seru salah satu kernet.

Saya tidak menggubris ajakan mereka. Satu-satunya jalan adalah terus berlalu tanpa menoleh. Jarak Pelabuhan Sape–Bima adalah 45 kilometer, melewati perbukitan tandus yang berkelok-kelok. Dengan memanggul tas carrier ukuran 45 liter, saya menapaki jalanan Sape yang berdebu. 

Anak-anak berkejaran. Rumah-rumah panggung ala Bugis dan Bajo berjajar memagari pinggir jalan. Pemandangan bukit tandus, kambing yang makan sampah, jalan yang lengang yang mengingatkan saya tiga tahun silam kala berjalan di tempat yang sama. Tak sampai lima menit saya berjalan, Avanza silver yang datang dari arah pelabuhan menghampiri saya.

“Mau ke mana Bang?” seru seseorang dari dalam mobil.

“Mau ke Bima nih Bang,” jawab saya.

“Yaudah, bareng aja. Kita juga mau menuju Bima nih,” selorohnya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Orang Baik Sape (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/orang-baik-sape-1/feed/ 0 37422