sastra Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/sastra/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 25 Jun 2025 13:37:08 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 sastra Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/sastra/ 32 32 135956295 Mengambil Honorarium di Kedaulatan Rakyat https://telusuri.id/mengambil-honorarium-di-kedaulatan-rakyat/ https://telusuri.id/mengambil-honorarium-di-kedaulatan-rakyat/#comments Mon, 20 Jan 2025 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45407 “…dalam perkembangannya yang terseok-seok, Sastra Indonesia selama ini telah menerima banyak jasa dari media massa, khususnya koran dan majalah.” —Ariel Heryanto1 Sekali ini kita hidup di masa koran yang sudah senjakala. Setidaknya demikianlah kabar-kabarnya. Hal...

The post Mengambil Honorarium di Kedaulatan Rakyat appeared first on TelusuRI.

]]>

“…dalam perkembangannya yang terseok-seok, Sastra Indonesia selama ini telah menerima banyak jasa dari media massa, khususnya koran dan majalah.”

—Ariel Heryanto1

Sekali ini kita hidup di masa koran yang sudah senjakala. Setidaknya demikianlah kabar-kabarnya. Hal ini jelas terasanya. Hanya dengan membuka ponsel, kita bisa memasukkan entri huruf-huruf sesuai keinginan untuk mengakses informasi, entah informasi itu sekadar di kecamatan tetangga, atau jauh di sana di Alaska. Oleh karena itu, kini jarang kita dengar pujian atau kekagetan pada kawan kita yang “masuk koran”. Hal itu kini biasa saja. 

Sekali ini, saya hendak membicarakan soal sastra koran. Cukuplah kita sederhanakan sastra koran menjadi karya sastra yang terbit di koran. Dahulu, saat majalah Sastra masih eksis, HB Jassin menjelma paus sastra Indonesia, seperti pernyataan Hamsad Rangkuti. Siapa yang lolos dari HB Jassin, maka dia sah sastrawan. 

Mengambil Honorarium di Kedaulatan Rakyat
Tampak depan kantor koran harian Kedaulatan Rakyat di daerah Tugu, Yogyakarta/Abdillah Danny

Sedikit Soal Sastra Koran

Kemudian zaman beralih. Tibalah koran atau majalah yang menjadi penentu mutu suatu karya. Beberapa sastrawan senior, yang kini masih sering bergiat di komunitas-komunitas, tak dapat menyembunyikan gelagat kekaguman mereka ketika salah satu karya dari kawan saya dimuat di koran. Juga tak dapat mereka sembunyikan kekecewaan, semisal, dengan beralihnya Koran Tempo menjadi sepenuhnya digital dan banyaknya koran-koran yang mulai menghilangkan rubrik sastra atau menghilangkan honornya saja.2

Maka sekali ini kita hidup di masa koran yang sudah senjakala. Akibatnya tentu banyak sekali, dan dari aspek atau bidang yang sama sekali jauh dan berbeda. Dalam konteks sastra, saya rasa ini mendukung pernyataan Budi Darma soal kesepintas-laluan sastra kita.

Sebenarnya, kurang tepat juga bila dikatakan koran sudah senjakala. Pasalnya, beberapa media seperti Kompas, Jawa Pos, dan Tempo, dan lain-lainnya lagi, telah melakukan penyesuaian dengan mengadaptasi sistem berlangganan secara daring. Tentu saja hal tersebut turut kembali menghidupkan semangat sastra koran. Ditambah, majalah Kalam kini juga telah menjadi media daring yang bisa diakses kapan saja.

Tetapi lihatlah kerutan di pelipis para senior saya di komunitas itu. Dia begitu resah dengan merosotnya mutu karya yang dimuat media daring hari ini. Saya pun tidak tahu alasannya dan dengan apa saya dapat memperbaikinya. Sebab, bahkan sekarang ini pun saya menulis pun untuk media daring.

Dari mata para senior itu, tampaklah kecintaan berlebih terhadap kertas koran yang perca itu. Namun, apa boleh buat. Toh, nasib adalah kesunyian masing-masing,3 dan kita sama-sama tidak ingin berhenti sampai di sajak.4 Maka mari kita terima sepenuh rasa, sebab bisa jadi, kalian hanya mimpiku saja/ dunia dan seluruh semesta yang kukenali ini/ karang-karangan sederhana/ yang ditulis penyair setengah mabuk setengah ngantuk.5

Mengambil Honorarium di Kedaulatan Rakyat
Kursi-kursi penantian bagi penerima honorarium/Abdillah Danny

Kedaulatan Rakyat

Sudah jalan tiga tahun saya tinggal di Jogja. Rasanya kota ini, dengan beberapa catatan, telah terpatri di sanubari sehingga dengan suka rela saya berani berkata: seperti kekasih aku pun enggan melepasmu. Sebab di kota ini aku merasa kembali dilahirkan, meski harus berebut tempat dengan kecemasan.6

Kemarin sore, saya mendengar kabar dari pihak Kedaulatan Rakyat (KR) yang membuat saya semalaman terjaga karena perasaan yang sulit dijelaskan. Maka pagi ini, saya segera bersiap-siap untuk pergi ke daerah Tugu. Kabarnya, selain mereka mau memuat cerpen saya yang belum apa-apa, mereka juga menyuruh saya untuk datang ke kantornya, untuk mengambil honor. Maka Kedaulatan Rakyat adalah seperti kenangan yang terus dihidupkan, tatkala sekarang ini, bahkan kriuk ayam goreng diantar ke depan pintu dan kota dikepung minimarket 24 jam.7

Jujur saja, pagi itu, sedari keluar kos, melintasi jalanan Condongcatur, kemudian belok kiri ke Jalan Affandi, lantas sedikit masuk, mungkin sekitaran Cik Di Tiro, dan sampai di Tugu, bahkan sampai di bibir pintu kantor KR, saya rasakan udara yang jernih tanpa serbuk seakan Jogja tidak sedang darurat sampah sehingga dapat bernafas sepenuh tenaga sambil membusungkan dada. Kepada satpam yang bertanya, saya berkata sambil mengeluarkan koran yang saya beli kemarin sore, “Mengambil honor, Pak!” Lalu dia seakan lebih mempersilakan masuk meski saya tahu itu hanya di mata saya.

Mengambil Honorarium di Kedaulatan Rakyat
Di loket tujuh/Abdillah Danny

Di bagian keuangan, saya ulangi dialog yang meninggikan hati itu. Lalu saya dioper-oper dari loket tujuh ke tiga, kemudian ke tujuh dan kembali lagi ke tiga. Keruwetan administratif itu dengan ikhlas tulus hati saya jalani, sebab cerpen saya dimuat dan rasanya tiada yang lebih penting dari itu.

Dan inilah wajah masa lalu itu. Tentu masa lalu yang indah. Saya pun berfoto, dengan keyakinan: Tak semua kenangan bisa diulang.8

Setelah menerima uang, saya celingak-celinguk keluar, mencari-cari di manakah kedai mi ayam yang kabarnya makan di sana adalah ritual para penulis KR setelah menerima honor? Saat hendak mencarinya di Maps, saya dapati notifikasi dari media-media daring, yang membuat hati saya kacau, mengurungkan niat mi ayam, dan tak berani menengok nota atau kuitansi untuk mengetahui berapakah jumlah honor, juga pajaknya?


Catatan Kaki

  1. Sastra, Koran dan Sastra Koran oleh Ariel Heryanto, dimuat di Sinar Harapan, 12 Januari 1985. ↩︎
  2. Ruang Sastra, https://ruangsastra.com/alamat-email-redaksi-koran, diakses pada 19 Desember 2024. ↩︎
  3. “Pemberian Tahu” (1946), Chairil Anwar. ↩︎
  4. “Tidak Berhenti Sampai di Sajak!”, Indrian Koto dalam Pleidoi Malin Kundang (Yogyakarta: JBS, 2024). ↩︎
  5. “Mimpi”, Ibid. ↩︎
  6. “Yogya: Kelahiran Kedua”, Ibid. ↩︎
  7. Ibid. ↩︎
  8. “Perujumpaan”, Ibid. ↩︎

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mengambil Honorarium di Kedaulatan Rakyat appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mengambil-honorarium-di-kedaulatan-rakyat/feed/ 1 45407
Umbul Dunga 40 Hari Joko Pinurbo: “Selesai Sudah Tugasku Menulis Puisi” https://telusuri.id/umbul-dunga-40-hari-joko-pinurbo-selesai-sudah-tugasku-menulis-puisi/ https://telusuri.id/umbul-dunga-40-hari-joko-pinurbo-selesai-sudah-tugasku-menulis-puisi/#respond Thu, 25 Jul 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42398 “Tadi pagi saya nyekar ke makam suami saya,” Ibu Nuraeni Amperawati Firmina memberi jeda, “dan setiap kali saya nyekar ke makam suami saya, saya selalu ingat puisi Pacarkecilku.”  Perempuan yang biasa dipanggil Ibu Ning itu...

The post Umbul Dunga 40 Hari Joko Pinurbo: “Selesai Sudah Tugasku Menulis Puisi” appeared first on TelusuRI.

]]>
“Tadi pagi saya nyekar ke makam suami saya,” Ibu Nuraeni Amperawati Firmina memberi jeda, “dan setiap kali saya nyekar ke makam suami saya, saya selalu ingat puisi Pacarkecilku.” 

Perempuan yang biasa dipanggil Ibu Ning itu lantas membuka lembar kertas yang digenggamnya erat; pandang serta tuturnya meloncat langsung pada bait terakhir:

Pacarkecilku tak akan mengerti: pelangi dalam botol cintanya
bakal berganti menjadi kuntum-kuntum mawar-melati
yang akan ia taburkan di atas jasadku, nanti.(2001)

“Ternyata, Mas Joko sudah mengatakan ini jauh-jauh hari,” pungkasnya.

Saya cuma bisa duduk termenung bersama hadirin lain. Sesekali saya coba mencuri pandang ke arah bulu matanya, yang kata mendiang suaminya, bulu matamu: padang ilalang, di tengahnya sebuah sendang.

Umbul Dunga 40 Hari Joko Pinurbo: “Selesai Sudah Tugasku Menulis Puisi”
Gerobak angkringan dan langit sore jelang kumandang azan/Abdillah Danny

Sore yang gerimis di hati saya (dan tentu banyak orang). Dari arah selatan jalanan tak begitu ramai kendaraan. Sementara beberapa kali orang-orang yang melintas menyempatkan diri menoleh, mengira-ngira apa yang sedang diselenggarakan di Monumen Serangan Umum 1 Maret, Kota Yogyakarta ini. Udara terasa sempit, mungkin sesak oleh doa-doa yang merangsek naik ke langit. Rabu yang khidmat (5/6/2024) untuk mengenang penyair keramat.

Sambil menunggu acara dimulai, saya membakar tembakau yang sudah saya linting dari kos pagi tadi. Sejak kemarin saya mendapat informasi dari cerita Instagram beberapa teman dan guru, sehingga sedapat mungkin saya berusaha menyelakan diri untuk hadir hari ini. Umbul Dunga, Mengenang 40 Hari Joko Pinurbo. Sambil berharap kesempatan kongko-kongko bersama kawan lama yang semoga saja bertemu. Maka inilah sekarang, saya sudah di tempat sebelum waktunya.

Benar saja. Belum dapat selinting, datang kawan saya Aqsha. Ia mengenakan kaus putih dan topi fedora khasnya. Di jemarinya tergenggam selembar puisi. Saya jadi tahu, ia nanti akan membaca puisi bersama penyair serta budayawan lain.

Persembahan untuk Sang Penyair

Pembawa acara datang dan membuka dengan salam. Tibalah acara pertama, yakni pembacaan puisi dari komunitas-komunitas sastra, seperti Jejak Imaji (kawan saya Aqsha ikut di sini), Komunitas Kutub, dan Lingkar Pena. 

Di waktu yang bersamaan, sekumpulan pelukis melakukan live painting, mengalihwahanakan puisi-puisi Jokpin—sapaan Joko PInurbo—menjadi sebuah lukisan. Juga, di jarak sekitaran lima langkah dari panggung utama, sekumpulan perajin bekerja sama untuk membuat potret Jokpin dalam bentuk patung dengan ukuran seperempat badan dan skala 1:1. Sambil menikmati hal tersebut, saya melihat beberapa orang sedang sibuk di bakul angkringan. Terdapat total enam gerobak angkringan, yang menurut pendengaran saya, itu dari Danais (Dana Keistimewaan DIY) dan nantinya akan dibuka gratis. Sementara telinga saya menyimak pembacaan puisi, mata saya dimanjakan dengan momen-momen sengkarut yang puitis ini. Saya merasa katarsis.

Umbul Dunga 40 Hari Joko Pinurbo: “Selesai Sudah Tugasku Menulis Puisi”
Para perajin sedang berkarya/Abdillah Danny

Barulah kemudian azan Magrib berkumandang. Pembawa acara memberitahu sekarang waktunya jeda salat. Beberapa hadirin mengangkat badan dan mulai beranjak. Sedikit jauh, di jalanan, kendaraan melintas pelan; terlihat capek dan lesu. Sedang langit menyala jingga. Saya jadi teringat puisi Pacar Senja dan Cita-cita. Sila membacanya di buku atau laman internet.

Selepas salat, acara kembali bergulir. Kali ini, personil pembawa acara bertambah satu. Saya sedikit kaget sebab dari lagak-lagaknya, acara seakan dibuka ulang. Dua orang itu membacakan susunan acara (lagi). Katanya, akan ada sambutan-sambutan terlebih dahulu. Seperti dari Ketua Dinas Budaya DIY sampai Sri Sultan Hamengku Buwono X serta pejabat-pejabat lain. Yang membikin ini menarik adalah bagaimana orang-orang tersebut tak hanya sekadar memberi sambutan yang formal. Lebih dari itu, tiap-tiap mereka membacakan setidaknya satu puisi Jokpin yang mereka pilih sendiri. Ambil contoh Sri Sultan. Beliau memilih puisi berjudul Kota Kecil sambil sebelumnya mengaku bahwa ini adalah pertama kalinya beliau membacakan puisi.

Kembali pembawa acara masuk. Setelah coba-coba menyapa saya (dan tentu seluruh hadirin), disampaikanlah acara berikutnya, yakni pembacaan testimoni dari keluarga, kawan, serta penyair atau budayawan (perorangan, tak seperti kawan saya, Aqsha, sore tadi yang mewakili komunitas). 

“Namun, sebelum itu mari kita dengarkan musikalisasi puisi dari Oppie Andaresta featuring Bagus Mazasupa!” potong pembawa acara cewek membuyarkan lamunan saya. Masuklah orang yang dimaksud dan sungguh, begitu suara keyboard Mas Bagus mulai mengalun, kemudian suara Mbak Oppie menyanyikan puisi Pacarkecilku. Sebuah “sendang” tercipta di tengah bulu mata saya. Belum lagi sesekali Mbak Oppie melirik ke arah Ibu Ning, istri mendiang Jokpin. Saya merasa haru.

Mereka yang Ikut Mendoakan Joko Pinurbo

Adapun setelahnya, Ibu Ning naik ke panggung mewakili keluarga besar Jokpin. Ia menyatakan bahwa baginya, malam ini adalah malam yang penuh syukur. Malam yang bertepatan dengan 40 harinya orang yang dikasihi dipanggil Tuhan. 

“Tentu saja kami juga bersedih, tapi kami juga diajarkan untuk beriman, sebab Tuhan punya rencana yang baik bagi kami.” tambahnya. 

Sebelum mengakhiri, Ibu Ning sempat menyampaikan pesan titipan dari mendiang Jokpin. Katanya, saat masih dirawat di RS Panti Rapih sekitar Februari lalu, Jokpin menitip pesan maaf untuk semua orang. “Kalau-kalau kadang gojlokannya suka kelewatan, dan kesalahan-kesalahan lain. Kami memohon maaf kepada semua. Semoga perjalanan Mas Joko semakin terang dan lapang,” terangnya.

Kemudian, Ibu Ning bercerita soal nyekar dan membacakan puisi Pacarkecilku. Lantas ia meminta pamit.

Umbul Dunga 40 Hari Joko Pinurbo: “Selesai Sudah Tugasku Menulis Puisi”
Ibu Nuraeni Amperawati Firmina membaca puisi Pacarkecilku/Abdillah Danny

Selanjutnya adalah Butet Kertaradjasa. Dengan mimik wajah yang gagah, Pak Butet membacakan puisi Kamus Kecil. Saya merasakan perbedaan yang besar saat melihat beliau beraksi. Seakan ketika beliaulah yang membacakan, ‘anak panah kata’ akan semakin tepat sasaran, sebab dibawakan dengan mantap dan yakin. Kemudian dilanjutkan oleh Landung Simatupang. Lantas Faruk HT (saya meminta tanda tangan pada beliau selepas acara), Hairus Salim, Joni Ariadinata, Kris Budiman, hingga Raudal Tanjung Banua. Barulah kemudian seorang Romo masuk, memimpin hadirin melangitkan doa untuk Bapak Philipus Joko Pinurbo.

Pembawa acara itu masuk lagi. Namun, kali ini kabar yang ia bawa begitu menggembirakan hati. Katanya, sebelum acara kembali dilanjutkan, para hadirin dipersilakan untuk menikmati sajian di angkringan yang sudah siap. 

Umbul Dunga 40 Hari Joko Pinurbo: “Selesai Sudah Tugasku Menulis Puisi”
Seperti kata Jokpin, Jogja terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan/Abdillah Danny

Langsung saja, begitu pembawa acara memberi aba-aba, dengan tangkas saya mengambil nasi kucing dan sate usus. Namun, ternyata keserakahan saya tak disambut dengan keserakahan orang lain. Jadilah saya malu sendiri, lalu untuk kedua kalinya, kembali ke gerobak angkringan lantas menyeduh kopi dengan santai dan perlahan. Di sela keramaian itu, pembawa acara mengulang-ulang kutipan Jokpin soal angkringan: Jogja terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan.

Acara berlanjut. Dari kelompok aktor, terdapat Kedung Darma Romansha yang baru saja main film Tuhan, Izinkan Aku Berdosa. Lalu dari kalangan yang lebih muda, terdapat Mutia Sukma selaku sastrawan dan pengelola JBS (Jual Buku Sastra), juga Komang Ira Puspitaningsih yang kini gemar berpuisi di kamar dapur. Dilanjutkan dengan Ons Untoro, Heru Joni Putra, serta masih banyak lagi. Ada pula Rumah Pantomim yang menyajikan pertunjukan singkatnya sebagai penutup.

Umbul Dunga 40 Hari Joko Pinurbo: “Selesai Sudah Tugasku Menulis Puisi”
Mutia Sukma membaca puisi Jokpin/Abdillah Danny

Menyadari betapa menyentuh hatinya hari ini, saya tertunduk memekur. Ransel di punggung saya buka dan mengambil buku puisi Jokpin yang berjudul Malam Ini Aku Akan Tidur di Matamu. Selalu saja saya ngakak saat berjumpa puisi yang berjudul Duel. Kemudian saya menutup buku itu, melihat sekeliling yang tetiba hilang suara. Langit yang sesak, untuk sementara menyembunyikan bintang. Jalan raya terlihat ayem. Padahal ini hari seharusnya saya sedih. Namun, entah mengapa saya merasa belum. Hingga angin tiba-tiba berhenti dan terdengar suara jelas sekali di telinga saya:

Selesai Sudah Tugasku Menulis Puisi

Sebab kata-kata sudah besar,
sudah selesai studi,
dan mereka harus pergi
cari kerja sendiri.

(Telepon Genggam, 2003)*

* tentu saja kalimat terakhir di paragraf akhir tersebut adalah fiksi.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Umbul Dunga 40 Hari Joko Pinurbo: “Selesai Sudah Tugasku Menulis Puisi” appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/umbul-dunga-40-hari-joko-pinurbo-selesai-sudah-tugasku-menulis-puisi/feed/ 0 42398