sawahlunto Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/sawahlunto/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Thu, 29 May 2025 04:06:40 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 sawahlunto Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/sawahlunto/ 32 32 135956295 Menapak Jejak Kejayaan dan Nestapa di Museum Goedang Ransoem https://telusuri.id/menapak-jejak-kejayaan-dan-nestapa-di-museum-goedang-ransoem/ https://telusuri.id/menapak-jejak-kejayaan-dan-nestapa-di-museum-goedang-ransoem/#respond Tue, 27 May 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47232 Sawahlunto akan mematahkan ekspektasi orang-orang yang menganggap bahwa daerah dengan label ‘kota’ adalah wilayah besar yang penuh kesibukan. Nyatanya, kota berjuluk ‘Kota Arang’ ini justru menawarkan hidup yang tenang, santai, dan jauh dari hiruk-piruk—slow living...

The post Menapak Jejak Kejayaan dan Nestapa di Museum Goedang Ransoem appeared first on TelusuRI.

]]>
Sawahlunto akan mematahkan ekspektasi orang-orang yang menganggap bahwa daerah dengan label ‘kota’ adalah wilayah besar yang penuh kesibukan. Nyatanya, kota berjuluk ‘Kota Arang’ ini justru menawarkan hidup yang tenang, santai, dan jauh dari hiruk-piruk—slow living kata orang zaman sekarang.

Sawahlunto hari ini ibarat orang dewasa yang sudah lelah dengan ambisi dan persaingan kehidupan, ia sudah selesai dengan semangat mudanya. Jauh sebelum mencapai ketenangan ini, ia telah melewati masa-masa penuh gejolak dengan gelimang kekayaan, kemakmuran, juga masa kelam yang pahit.

Dulu, Sawahlunto hanyalah daerah antah-berantah di pedalaman Pulau Sumatra, hingga W.H. de Greve, dalam petualangannya pada tahun 1868 menemukan tempat ini.1 Geolog muda Belanda itu menemukan lapisan batu bara di Ulu Aie, daerah aliran Batang Ombilin yang saat itu belum berpenghuni.2

Temuan ini diabadikan dalam publikasi berjudul Het Ombilin-kolenveld in de Padangsche Bovenlanden en het Transportstelsel op Sumatra’s Westkust tahun 1871.3 Diceritakanlah ihwal ratusan juta ton emas hitam yang bersemayam di rahim bumi Sawahlunto, titik balik sebuah wilayah yang sebelumnya nyaris tak dikenal menjadi salah satu kota penghasil batu bara berkualitas di dunia, mengubah nasib kota ini selamanya.4

Menapak Jejak Kejayaan dan Nestapa di Museum Goedang Ransoem
Potret Sawahlunto masa lampau yang terpajang di Museum Goedang Ransoem/Adzkia Arif

Masa itu, Sawahlunto benar-benar jaya—dari cerita orang tua di sini. Entah lebih masyhur mana kota ini daripada Batavia. Wilayah ini bahkan mendapat julukan Belanda Kecil.

Antropolog asal Amerika Serikat, Susan Rodgers menerangkan bahwa sebagai tanah jajahan, Sawahlunto menempati posisi elit bahkan di antara orang-orang Belanda itu sendiri. Kelas sosial orang-orang kulit putih yang ada di sini berada pada tingkatan yang berbeda.5 Begitulah suksesnya Sawahlunto kala itu, 600.000 ton batu bara yang dikeluarkan dari perutnya membuat 90% kebutuhan energi di Hindia Belanda dapat tercukupi.6

Pascakepergian Belanda, hingga pusat pertambangan di Sawahlunto dikelola oleh PT Bukit Asam UPO, kemakmuran itu mulai memudar. Sebab, cadangan batu bara mulai menipis. Tahun 2001 menjadi titik transformasi selanjutnya bagi Sawahlunto demi menyongsong kehidupan pascatambang. 

Persiapan terus dilakukan. Pada tahun 2019 Sawahlunto ditetapkan menjadi salah satu kota Warisan Dunia UNESCO dengan nama Ombilin Coal Mining Heritage of Sawahlunto. Banyak bangunan yang menjadi saksi sejarah kejayaan dan kesibukan kota ini pada masa lalunya, salah satunya adalah Museum Goedang Ransoem.

Menapak Jejak Kejayaan dan Nestapa di Museum Goedang Ransoem
Potret kesibukan di dapur umum pada masa lampau/Adzkia Arif

Hiruk-piruk dalam Catatan Sejarah

Lokasi Museum Goedang Ransoem agak tersembunyi di sudut kota. Pendatang baru tak akan menemukannya tanpa pemandu atau bertanya pada warga lokal. Begitu memasuki museum, kita seolah berada dalam mesin waktu. Melihat masa lalu sedang memamerkan keperkasaan dan kesuksesan luar biasa dari kota ini.

Gedung ini dibangun Belanda sebagai dapur umum untuk memenuhi kebutuhan makan para pekerja tambang. Bayangkan betapa sibuknya dapur ini karena harus memasak 3,9 ton beras setiap harinya untuk ribuan pekerja.7

Kita dapat menemukan papan menu terpajang di dinding. Isinya informasi makanan untuk disantap tiap harinya oleh para pekerja. Pada hari-hari tertentu mereka akan disajikan menu daging, jeroan, roti goreng, dan telur asin. Pada hari-hari biasa, mereka akan mendapat nasi, ikan asin, sayur, dan lepeh-lepeh (sejenis cemilan atau teman makan nasi seperti tumisan).

Ketel raksasa buatan firma Senking, perusahaan alat masak terkenal yang berasal dari Jerman, masih bisa kita lihat di sini. Sebelumnya, ketel-ketel ini berada di rumah warga dan digunakan sebagai penampungan air. Ini karena alih fungsi gedung pada tahun 1950 sebagai kantor administrasi tambang batu bara ombilin. Barulah pada saat akan dijadikan museum, ketel ini diambil dan ditata kembali di museum.8

Ketel yang ada terdiri atas dua jenis dengan fungsi yang berbeda. Satu untuk memasak air dan satu lagi untuk memasak nasi. Teknologi yang digunakan untuk memasak sangat canggih pada masanya. Uap panas yang berasal dari tungku pembakaran raksasa yang berada di luar gedung ini dialirkan dengan pipa besi ke bagian bawah tungku dapur utama.

  • Menapak Jejak Kejayaan dan Nestapa di Museum Goedang Ransoem
  • Menapak Jejak Kejayaan dan Nestapa di Museum Goedang Ransoem

Berjalan di dalam museum, udara terasa sejuk namun sunyi. Seakan memberikan kesempatan untuk kita merenung dan mereka ulang kejadian di masa lalu yang terjadi di sini. Adegan sejarah dalam kepala kita akan menjadi lebih nyata dengan adanya foto dan cerita kejadian masa lalu yang disediakan pengelola. Ada pula QR code yang bisa dipindai untuk melihat video dokumentasi kegiatan di dapur ini. Video-video ini juga dapat dilihat pada saluran Youtube Southeast Asia Museum Services, dan saluran “bidang warisan budaya” yang dikelola oleh Dinas Kebudayaan Kota Sawahlunto.

Di kompleks Museum Goedang Ransoem juga terdapat pabrik es, pabrik kedua di Sumatra Barat setelah Padang. Pada masa kolonial, e dari pabrik digunakan untuk memenuhi kebutuhan kompeni Belanda, rumah sakit dan masyarakat, hingga didistribusikan ke Padang, Bukittinggi, dan Solok.9

Inilah yang saya suka dari museum sejarah. Mereka menampilkan kecanggihan di masa lalu yang bahkan membuat kita takjub meski hidup pada zaman yang jauh di depan. Saya selalu bertanya, kenapa hanya sejarahnya saja yang bertahan melintasi zaman, sementara kejayaannya tidak?

Ada yang berpendapat, daerah bekas jajahan Belanda memang begini. Berbeda dengan bekas jajahan Inggris yang lebih maju. Entah memang begitu adanya, atau sebenarnya hanya menjadi pembenaran atas kegagalan mengelola warisan kejayaan dari masa lalu?

Dari kiri ke kanan: Pakaian koki dan mandor yang bekerja di dapur umum. Menu makanan yang disajikan di dapur umum untuk para pekerja tambang ombilin, ada menu harian dan menu khusus yang lebih mewah. Tungku pembakaran yang ada di belakang gedung utama Museum Goedang Ransoem, yang berfungsi sebagai sumber uap panas untuk dialirkan menggunakan pipa ke dapur utama/Adzkia Arif

Noda Hitam dalam Catatan Sejarah Kejayaan

Dalam gemerlap kejayaan, ada noda hitam yang tak akan bisa terhapus dari catatan sejarah. Pada salah satu lemari kaca yang ada di ruangan ini, terdapat batu nisan tanpa nama milik ‘orang rantai’. Sejarah perbudakan kelam yang mengutuk pertambangan batu bara ombilin. Mereka adalah pekerja tambang yang dipaksa bekerja dengan cara tak manusiawi. Kondisi kaki dan badan yang dirantai satu sama lain agar tak ada yang kabur. Bagi Belanda kala itu, mereka adalah orang-orang pembuat onar.

Beberapa orang rantai di Sawahlunto adalah orang yang menentang Belanda dan dijadikan tawanan politik. Sementara yang lainnya adalah pelaku kriminal atau dianggap sebagai “penjahat”.10

Orang rantai juga tak diterima oleh masyarakat karena propaganda Belanda tentang keburukan mereka. Mereka mati dan dikuburkan tanpa identitas, tak diberi nama. Hanya angka, dan dipisahkan dari pemakaman masyarakat umum.

Bagaimana rasanya mati di tempat asing, tempat ketika hidup kita telah diasingkan? Hingga akhir hayat, nama kita pun tak pernah disebut lagi, digantikan hanya dengan angka.

  • Menapak Jejak Kejayaan dan Nestapa di Museum Goedang Ransoem
  • Menapak Jejak Kejayaan dan Nestapa di Museum Goedang Ransoem

Kini jadi Destinasi Wisata Sejarah

Mengunjungi Goedang Ransoem menjadi salah satu pengalaman paling berkesan bagi saya setelah tiga tahun tinggal di Sawahlunto. Melihat sisi lain kota yang saat ini hanya meninggalkan kisah untuk diceritakan. Goedang Ransoem adalah saksi sebuah kota yang telah melewati masa kekosongan, memimpin kejayaan, hingga meninggalkan sunyi yang mengajarkan banyak hal.

Bagi yang ingin berkunjung, museum ini beralamat di Jl. Abdurrahman Hakim, Tanah Lapang, Kecamatan Lembah Segar, Kota Sawahlunto, Sumatra Barat. Jalan menuju lokasi bagus dan luas, tetapi padat penduduk. Untuk tempat parkir tak perlu khawatir, museum ini punya kantung parkir yang luas untuk mobil keluarga ataupun bus pariwisata. 

Tiket masuknya sangat terjangkau, hanya Rp10.000 untuk orang dewasa, dan Rp7.000 untuk anak-anak. Tak hanya itu, museum ini juga memiliki IPTEK Center yang menyediakan permainan edukatif yang menarik untuk anak-anak. Layak untuk dikunjungi!


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

  1. R. A. van Sandick, “Het laatsche hoofdstruk van de Ombilin-guestie”, (Amsterdam: De Indische Gids, 14 Jrg (1892). ↩︎
  2. Erwiza Erman, “Membaranya Batubara: Konflik Kelas dan Etnik Ombilin-Sawahlunto-Sumatra Barat (1892—1996)”, (Depok: Desantara, 2005), h. 29. ↩︎
  3. Widjaja Martokusumo, “The Ex-Coal Mining City of Sawahlunto Revisited: Notions on Revitalization, Conservation and Urban Development”, makalah dalam Seminar on Recent of Research Works at the School of Architecture, Planning and Policy Development ITB, Bandung, 17 April 2008. ↩︎
  4. Andi Asoka dkk., “Sawahlunto Dulu, Kini, dan Esok. Menyongsong Kota Wisata Tambang yang Berbudaya”, (Padang: Pusat Studi Humaniora Unand, 2005), h. 9-10. ↩︎
  5. Susan Rodgers, “A Nederlander woman’s recollections of colonial and wartime Sumatra: from Sawahlunto to Bankinang interment camp”, Indonesia, 79, April 2005. h. 99-100 ↩︎
  6. Carin van Empel, “Dark mine. Labour conditionsof coolies in the State coal mines of West Sumatra”, dalam Vincent J. H. Houben, J. Thomas Linblad, dkk. Coolie Labour in Colonial Indonesia. A Studi of Labour Relations in the Outer Islands, c. 1900-1940, (Wiesbaden: Harrassowitz, 1999), h. 179. ↩︎
  7. Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat, (2020, 2 Oktober), “Cerita Dari Gudang Ransum Sawahlunto”, Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat, https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbsumbar/cerita-dari-gudang-ransum-sawahlunto/. ↩︎
  8. Dinas Kebudayaan Kota Sawahlunto, (2024, 3 November), “Pabrik Es Museum Goedang Ransoem”, Bidang Warisan Budaya, https://www.youtube.com/watch?v=vQ42u8vB61k. ↩︎
  9. Ibid. ↩︎
  10. Dahlia Braga Yova, Abdul Rahman, dan Maisatun Najmi, “Ekspositori Orang Rantai Sawahlunto”, Cinelook: Journal of Film, Television and New Media, 2024, Volume 2(2), DOI: http://dx.doi.org/10.26887/cl.v2i2.4653. ↩︎

The post Menapak Jejak Kejayaan dan Nestapa di Museum Goedang Ransoem appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menapak-jejak-kejayaan-dan-nestapa-di-museum-goedang-ransoem/feed/ 0 47232
Perjalanan Singkat ke Sawahlunto https://telusuri.id/perjalanan-singkat-ke-sawahlunto/ https://telusuri.id/perjalanan-singkat-ke-sawahlunto/#comments Tue, 30 Mar 2021 14:34:01 +0000 https://telusuri.id/?p=27511 Percaya atau tidak, perjalanan mendadak itu punya peluang lebih besar untuk terlaksana ketimbang perjalanan yang penuh dengan persiapan dan direncanakan sejak lama. Setidaknya, itu yang saya rasakan sendiri selama ini. Jumat malam tepatnya pada 4...

The post Perjalanan Singkat ke Sawahlunto appeared first on TelusuRI.

]]>
Percaya atau tidak, perjalanan mendadak itu punya peluang lebih besar untuk terlaksana ketimbang perjalanan yang penuh dengan persiapan dan direncanakan sejak lama. Setidaknya, itu yang saya rasakan sendiri selama ini.

Jumat malam tepatnya pada 4 September 2020, tiba-tiba muncul notifikasi di ponsel saya dari orang terdekat, ia mengajak bepergian. Sontak langsung saja saya respon pesan tersebut dan mengatakan “ayo.” Akhirnya didapatkan kesepakatan bahwa kami—saya beserta Kak Onya, Bang Denas, Bang Faisal) akan pergi ke Sawahlunto hari Minggu, 6 September 2020. 

Di Minggu pagi, kami semua berkumpul di kos saya. Sebelum berangkat tentunya tidak lupa untuk sarapan. Bagi orang Padang, sarapan yang terenak adalah lontong gulai atau lontong pical. Namun saya lebih memilih untuk mengambil donat gula yang sangat saya sukai dan tentunya sangat murah, hanya Rp1 saja. 

Setelah selesai sarapan, kami langsung bergerak pergi ke Sawahlunto. Perjalanan dari Padang menuju Sawahlunto diperkirakan sekitar 2,5 – 3 jam. Saya berpasangan dengan Bang Faishal, dan Kak Onya berpasangan dengan Bang Denas. 

Museum Situs Lubang Tambang Mbah Suro
Perjalanan menuju Sawahlunto/Pitnia Ayu Saputri

Sungguh, perjalanan dari Padang ke Sawahlunto sangatlah menyenangkan. Kami melewati Sitinjau Laut yang curam namun sangat udaranya sangat sejuk. Sepanjang jalan, kami hanya ditemani pepohonan hijau. Padahal kami pergi pada hari Minggu, namun tidak terlalu banyak kendaraan lalu lalang. Perkiraan saya, mungkin saja karena hari masih pagi. Setelah melewati Sitinjau Laut, kami pun masuk ke daerah Kabupaten Solok. Susana perjalanan pun masih sama.

Singkat cerita, kami sampai di simpang Muaro Kalaban. Di sana kami bertemu dengan Bang Zilal lalu bersama-sama melanjutkan perjalanan ke Lapangan Segitiga, Sawahlunto. Di lapangan tersebut, kami bertemu dengan Bang Adhmi, dan pasukan perjalanan singkat inipun lengkap.  

Setelah melepas lelah sebentar, kami kemudian menyusun rencana untuk mengitari Sawahlunto. Tujuan pertama adalah Museum Situs Lubang Mbah Suro. 

Menyusuri Museum Situs Lubang Tambang Mbah Suro

Tiba di parkiran, kami segera masuk ke dalam museum tersebut. Sesuai dengan namanya, tempat ini adalah kawasan museum, namun ada juga lubang-lubang galian yang dulunya digunakan untuk tambang di sini.

Sebelum masuk, tentu saja kami harus menaati protokol kesehatan yang berlaku seperti memeriksa suhu tubuh dan mencuci tangan. Setelah diperkenankan masuk, terdapat iuran yang harus dibayar untuk setiap pengunjung, harganya bisa dibilang tidak mahal. Dengan Rp10 ribu saja, kita sudah bisa mendapatkan banyak informasi di museum sekaligus kita diperkenankan masuk ke lubang tambang tersebut. 

Kami memutuskan untuk mengunjungi museum terlebih dahulu, melihat-lihat apa saja yang ada di dalamnya. Layaknya museum, di sana terdapat benda-benda peninggalan sejarah. Ada pakaian, senjata, serta peralatan yang digunakan pada zamannya. Ada juga mading yang berisi informasi untuk menjelaskan mengenai perjalanan tempat ini waktu ke waktu.

Museum Situs Lubang Tambang Mbah Suro
Museum Lubang Tambang Mbah Suro/Pitnia Ayu Saputri

Setelah puas berkeliling dan mendapatkan banyak sekali informasi, kami menuju ke Lubang Mbah Suro. Sebelum masuk, kami diminta untuk menyimpan tas dan seluruh barang bawaan di loker, tak lupa kami juga mengganti alas kaki dengan sepatu boot dan mengenakan helm tambang. Hal ini dilakukan untuk menjaga keselamatan, karena di dalam cukup licin, berbahaya jika mengenakan sepatu biasa.

Tidak lupa kami berswafoto. Di halaman museum terdapat sebuah miniatur yang menggambarkan kondisi penambangan pada zaman dahulu. Lanjut, kami dikumpulkan oleh pemandu Lubang Tambang Mbah Suro dan diberikan instruksi di sana. 

Setelah itu, kami masuk mengikuti arahan dari pemandu. Gelap dan licin adalah kata yang tepat untuk menggambarkan keadaan di dalam lubang. Kami turun menggunakan tangga dan disinari oleh cahaya senter. Selama menyusuri lubang, pemandu menceritakan banyak sekali informasi edukasi terkait dengan lubang. Di tengah perjalanan, kami menemukan sekop dan juga peralatan tambang lainnya. Di sana kami diperbolehkan untuk berfoto namun hanya sebentar saja.

Lubang yang dapat dimasuki pun tidaklah panjang karena pada bagian dalam terdapat genangan air dan kadar oksigen rendah. Tentunya, kondisi ini tidak baik untuk manusia. Bahkan kami yang hanya masuk sebentar saja dalam bagian yang aman saja, merasa pengap.

Saat ini, bagian dalam lubang tersebut hanya diperbolehkan masuk oleh orang tertentu seperti para penambang maupun mahasiswa jurusan tambang. Walaupun masuk ke bagian yang lebih dalam, mereka juga tidak dapat masuk ke bagian terdalam karena atmosfer di sana sangat tidak cocok untuk manusia. Saya pun berpikir, lantas bagaimana ya dengan orang yang dulu bekerja di dalam sana?

Kami terus mengikuti arahan pemandu, hingga akhirnya tiba di pintu keluar lubang tambang. Singkat namun bermakna, itulah yang bisa saya deskripsikan dari perjalanan di Situs Lubang Tambang Mbah Suro ini.

Karena hari sudah menunjukkan pukul 13.00 WIB dan sudah masuk waktu salat, kami memutuskan untuk salat terlebih dahulu di Masjid Agung Nurul Islam Sawahlunto sebelum melanjutkan perjalanan. Dahulu masjid ini merupakan bangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), namun karena tambang tidak berjalan lagi, bangunan tersebut dijadikan masjid. Nah, salah satu pintu keluar dari lubang tambang tadi adalah di masjid ini. 

Puncak Cemara, melihat Sawahlunto dari ketinggian

Tempat kedua yang kami kunjungi setelah salat dan makan siang adalah Puncak Cemara. Di Puncak Cemara ini kita bisa melihat pemandangan Sawahlunto dari ketinggian. Sayangnya, tempat satu ini tidak terawat. Sekitar dua tahun sebelumnya, saya pernah ke sini, keadaannya jauh lebih baik. Di sini terdapat kursi-kursi taman yang bisa digunakan untuk sekedar bersantai, balon-balon yang menarik, dan juga gembok pasangan. Karenanya, kami sedikit kecewa. Padahal kami sudah mengeluarkan kocek untuk masuk ke kawasan ini.

Selama di sini, kami hanya sedikit berfoto dan berbincang-bincang di gazebo. Saat sore tiba, saya beserta rekan-rekan pun memutuskan untuk turun dan menuju Lapangan Segitiga untuk berfoto di depan kantor PT. Bukit Asam Tbk (Unit Pertambangan Ombilin). 

Di sinilah tempat terakhir perjalanan dan merupakan tempat perpisahan dengan rekan perjalanan saya kali ini. Sebenarnya masih banyak yang ingin saya kunjungi di Sawahlunto, semoga di lain waktu lebih untuk menelusurinya.

The post Perjalanan Singkat ke Sawahlunto appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/perjalanan-singkat-ke-sawahlunto/feed/ 1 27511