sedekah bumi Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/sedekah-bumi/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Thu, 18 Jul 2024 16:46:54 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 sedekah bumi Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/sedekah-bumi/ 32 32 135956295 Melihat Keunikan Prosesi Sedekah Bumi Desa Ngombak Grobogan https://telusuri.id/melihat-keunikan-prosesi-sedekah-bumi-desa-ngombak-grobogan/ https://telusuri.id/melihat-keunikan-prosesi-sedekah-bumi-desa-ngombak-grobogan/#respond Sun, 21 Jul 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42371 Orang Jawa memiliki tradisi selamatan. Selamatan adalah upacara makan bersama dari hidangan yang telah diberi doa terlebih dahulu sebelumnya. Sesuai namanya, selamatan bertujuan memperoleh keselamatan hidup supaya tidak ada berbagai gangguan atau marabahaya apapun. Upacara...

The post Melihat Keunikan Prosesi Sedekah Bumi Desa Ngombak Grobogan appeared first on TelusuRI.

]]>
Orang Jawa memiliki tradisi selamatan. Selamatan adalah upacara makan bersama dari hidangan yang telah diberi doa terlebih dahulu sebelumnya. Sesuai namanya, selamatan bertujuan memperoleh keselamatan hidup supaya tidak ada berbagai gangguan atau marabahaya apapun. Upacara selamatan biasanya dipimpin oleh modin, seorang pegawai desa yang umumnya bertugas mengurusi keperluan keagamaan di desa, termasuk memimpin doa selamatan.

Selamatan sendiri memiliki banyak ragamnya sesuai peristiwa atau kejadian dalam siklus kehidupan manusia. Salah satunya adalah selamatan dalam rangka bersih desa atau di sejumlah tempat populer dengan sebutan sedekah bumi.

  • Melihat Keunikan Prosesi Sedekah Bumi Desa Ngombak Grobogan
  • Melihat Keunikan Prosesi Sedekah Bumi Desa Ngombak Grobogan

Sedekah Bumi, Simbol Ungkapan Syukur

Di Jawa, sedekah bumi telah menjadi tradisi turun-temurun sejak ratusan tahun lampau. Sedekah bumi diadakan dalam sebuah rangkaian upacara adat sebagai simbol ungkapan rasa syukur kepada Tuhan yang telah memberikan limpahan rezeki melalui bumi berupa segala bentuk hasil bumi.

Karena itulah, sedekah bumi menjadi tradisi di perdesaan yang penduduknya rata-rata berprofesi sebagai petani atau berladang. Mereka menggantungkan sumber ekonominya dari mengolah sawah atau ladang. Melalui upacara adat sedekah bumi, selain sebagai sarana mengekspresikan rasa syukur kepada Tuhan, juga bentuk doa agar mendapatkan rezeki yang lebih baik dari hasil bumi di masa mendatang 

Di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, tradisi sedekah bumi telah menjadi bagian dari kebudayaan warisan leluhur sejak dulu kala. Hingga kini pun masih terus dilestarikan. Hampir semua desa di wilayah Grobogan menyelenggarakan tradisi yang juga populer disebut Apitan

Disebut Apitan karena umumnya pelaksanaan upacara adat sedekah bumi diselenggarakan pada bulan Apit atau Zulkaidah (Dzulqa’dah) dalam kalender Hijriah. Setiap desa memiliki bentuk dan waktu yang berbeda dalam prosesi tradisi Apitan, sesuai adat istiadat dan kearifan lokal yang diwariskan leluhur masing-masing.

Desa Ngombak, Kecamatan Kedungjati, juga melaksanakan tradisi sedekah bumi setiap tahun di bulan Apit. Tahun ini, pelaksanaan sedekah bumi Desa Ngombak diadakan pada Minggu Kliwon (2/6/2024).

Prosesi Penyembelihan Kerbau

Upacara adat sedekah bumi di Desa Ngombak tergolong unik dan khas. Prosesi yang unik itulah yang mengantarkan saya berkunjung dan melihat langsung tradisi sedekah bumi di desa tersebut.

Prosesi dimulai dengan penyembelihan seekor kerbau pada pagi hari sekitar pukul 06.00 WIB. Tak sekadar menyembelih kerbau, prosesi penyembelihan juga diiringi pernak-pernik ritual yang mungkin tidak dijumpai pada acara sedekah bumi di desa lainnya.

Usai kerbau direbahkan dan siap disembelih, Ibu Lurah—panggilan akrab istri kepala desa—disaksikan warga desa yang hadir, berjalan mengitari kerbau tiga kali putaran sembari mengucurkan air kendi ke tubuh kerbau. Setelah itu, ia menepuk-nepuk kerbau yang akan disembelih dengan entong, dilanjutkan duduk sebentar di atas tubuh kerbau tersebut

Selesai? Belum. Prosesi masih berlanjut, karena setelah mendudukinya, Ibu Lurah masih harus menyiramkan air kembang ke sekujur tubuh kerbau, dilanjutkan Pak Lurah yang turut melakukan prosesi penyiraman air kembang. Baru kemudian kerbau disembelih oleh Mbah Modin. Uniknya, saat penyembelihan diiringi gending Kebo Giro.

Sembari warga mengolah daging kerbau yang sudah disembelih, Ibu Lurah melanjutkan prosesi adat berikutnya. Kali ini ia “berjualan” jajan pasar. Uniknya, warga yang ingin membeli jajan pasar cukup menggunakan kreweng (pecahan genting) sebagai pengganti uang. Tak pelak, Ibu Lurah pun dikerubuti warga. Terutama para ibu yang antusias ingin “membeli” jajan pasar itu.

Selamatan dan Pagelaran Langen Tayub

Daging kerbau yang sudah dipotong-potong kemudian dimasak oleh para ibu di dapur rumah Pak Lurah. Daging kerbau dimasak asem-asem untuk nanti dijadikan hidangan selamatan dan dimakan bersama-sama warga bakda Zuhur.

Menjelang Zuhur, warga menyetor makanan berupa nasi dan kondimennya (pelengkap) ke rumah Pak Lurah. Setoran makanan dari warga itu kemudian disajikan dalam bentuk ambeng atau ambengan—istilah Jawa untuk menyebut nasi dan lauk yang diletakkan di atas tampah untuk kenduri. 

Selain warga, para ibu yang bertugas memasak di dapur juga menyiapkan sejumlah ambengan. Dalam satu ambengan, setidaknya terdapat nasi, mi goreng, tahu dan tempe goreng, telur dadar, oseng-oseng buncis, dan asem-asem daging hasil olahan kerbau yang tadi pagi disembelih.

Setelah Zuhur, warga Desa Ngombak, baik para bapak, ibu, dan anak-anak, berbondong-bondong datang dan berkumpul secara lesehan di halaman depan rumah Pak Lurah untuk melaksanakan selamatan sebagai puncak acara sedekah bumi. Begitu warga berkumpul, ambeng-ambeng diletakkan di tengah-tengahnya. Ambeng-ambeng itu nanti akan disantap bersama setelah pembacaan doa oleh modin.

Sebelum prosesi selamatan dilaksanakan, ternyata masih ada prosesi “berjualan” dawet oleh Ibu Lurah. Prosesi ini yang ditunggu-tunggu. Warga berjubel mengerubuti Ibu Lurah untuk “membeli” dawet. Alat untuk transaksi, seperti jajan pasar tadi pagi, juga memakai kreweng.  

Dalam waktu sebentar saja, dawet pun ludes. Setelah dawet habis, barulah prosesi selamatan dimulai. Seketika usai doa bersama, warga menyantap hidangan dalam ambeng-ambeng yang telah disediakan. Prosesi ditutup dengan gelaran pentas langen tayub.

  • Melihat Keunikan Prosesi Sedekah Bumi Desa Ngombak Grobogan
  • Melihat Keunikan Prosesi Sedekah Bumi Desa Ngombak Grobogan
  • Melihat Keunikan Prosesi Sedekah Bumi Desa Ngombak Grobogan

Menggali Pesan Filosofis

Saya mencoba mencari tahu pesan filosofis dalam rangkaian prosesi upacara adat sedekah bumi Desa Ngombak itu. Namun, sayangnya tak ada yang bisa menjelaskan secara pasti—selain rangkaian prosesi tersebut sudah berlangsung turun-temurun. 

Kepala Desa Ngombak, Drs. Herianto menyatakan prosesi yang berlangsung dalam tradisi sedekah bumi di Desa Ngombak sudah berlangsung ratusan tahun lalu. Pihaknya hanya melaksanakan dan melestarikan sesuai adat istiadat dan kearifan lokal yang diwariskan oleh leluhur.

Tokoh masyarakat Desa Ngombak, Tamsir, saat saya temui menjelaskan dulu kerbau merupakan hewan ternak yang umum dipelihara oleh warga Desa Ngombak. Karena itu, dalam prosesi sedekah bumi di Desa Ngombak, kerbaulah yang disembelih. Selain itu, kerbau disembelih mengingat wejangan dari Sunan Kalijaga yang melarang menyembelih sapi sebagai satwa sakral agama Hindu. Kerbau dipilih dengan tujuan menghormati umat Hindu yang ketika itu masih banyak keberadaannya di Desa Ngombak. 

“Saat ini, penduduk Desa Ngombak hampir seratus persen beragama Islam,” tutur Tamsir.

Adapun ritual-ritual lainnya, menurut Tamsir, hanya pernak-pernik yang mewarnai tradisi. Misalnya, jualan jajan pasar dan dawet dengan alat beli kreweng. Mulanya itu hanyalah cara untuk menarik anak-anak agar ikut meramaikan tradisi sedekah bumi. Namun, kini tidak hanya anak-anak, tapi orang dewasa juga banyak yang tertarik dan antusias dengan prosesi tersebut.

Hemat saya, setelah menyaksikan sendiri upacara adat tradisi sedekah bumi Desa Ngombak, ada pesan-pesan filosofis lainnya yang kiranya perlu digali dan disigi lebih dalam. Agar sedekah bumi yang unik itu jauh lebih bernilai dan memiliki makna.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Melihat Keunikan Prosesi Sedekah Bumi Desa Ngombak Grobogan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/melihat-keunikan-prosesi-sedekah-bumi-desa-ngombak-grobogan/feed/ 0 42371
Melihat dari Dekat Tradisi Sedekah Bumi Desa Sugihmanik https://telusuri.id/melihat-dari-dekat-tradisi-sedekah-bumi-desa-sugihmanik/ https://telusuri.id/melihat-dari-dekat-tradisi-sedekah-bumi-desa-sugihmanik/#respond Sun, 26 Nov 2023 07:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40149 Bulan Apit atau bulan Dzulqadah dalam kalenderium Hijriyah menjadi momentum sebagian masyarakat Jawa untuk melakukan tradisi apitan atau sering juga disebut merti desa atau sedekah bumi. Sedekah bumi sendiri menurut Ensiklopedi Islam Nusantara: Edisi Budaya...

The post Melihat dari Dekat Tradisi Sedekah Bumi Desa Sugihmanik appeared first on TelusuRI.

]]>
Bulan Apit atau bulan Dzulqadah dalam kalenderium Hijriyah menjadi momentum sebagian masyarakat Jawa untuk melakukan tradisi apitan atau sering juga disebut merti desa atau sedekah bumi. Sedekah bumi sendiri menurut Ensiklopedi Islam Nusantara: Edisi Budaya (2018) merupakan upacara tradisi yang dilakukan sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan atas hasil bumi yang diperoleh pada tahun-tahun sebelumnya sebagai rezeki, sekaligus bentuk permohonan kepada Tuhan agar hasil bumi pada periode yang akan datang berhasil dengan baik.

Tradisi sedekah bumi banyak kita temui pada masyarakat Pulau Jawa, khususnya daerah pantai utara. Umumnya, mereka berprofesi sebagai petani atau berladang yang menggantungkan hidup dengan memanfaatkan kekayaan alam.

Beberapa waktu lalu, saya singgah ke Desa Sugihmanik, Kecamatan Tanggungharjo, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Desa ini juga melangsungkan tradisi sedekah bumi setiap setahun sekali di bulan Apit dalam penanggalan Jawa, tepatnya pada hari pasaran Selasa Kliwon. Pemerintah desa beserta masyarakat Desa Sugihmanik menggelar tradisi yang sudah berlangsung sejak ratusan tahun lalu ini.

Prosesi pembersihan Telaga Sendangsari
Prosesi pembersihan Telaga Sendangsari/Badiatul Muchlisin Asti

Prosesi Pembersihan Sendangsari

Sedekah bumi Desa Sugihmanik tahun ini jatuh pada hari Selasa, 13 Juni 2023. Masyarakat memulai tradisi dengan prosesi pembersihan telaga Sendangsari, sebuah sumber mata air peninggalan Sunan Kalijaga di desa tersebut. Prosesi membersihkan telaga dilakukan pagi hari sekitar pukul 07.00, seluruh masyarakat desa menyaksikannya.

Prosesi pembersihan telaga berlangsung unik, karena sesuai adat yang telah berlaku turun-temurun, mereka yang bertugas membersihkan telaga harus merupakan keturunan asli Desa Sugihmanik. Selain itu, saat membersihkan telaga, para petugas tidak boleh mengenakan celana dan baju, cukup mengenakan sarung saja. Di tengah pembersihan telaga, mereka juga harus menyantap ingkung bebek dan minum air tape (badeg).

Siangnya sekitar pukul 13.00, di Balai Panjang yang juga merupakan peninggalan Sunan Kalijaga, terselenggara langen tayub. Balai Panjang memiliki jejak sejarah sebagai tempat Sunan Kalijaga beristirahat (ngaso) bersama para pendherek-nya saat misi pencarian kayu sirap dan saka untuk bahan mendirikan Masjid Agung Demak. Selain menjadi balai, tempat ini berfungsi sebagai tempat musyawarah, mengajar, dan mengaji.

Sebelum dan sesudah prosesi pembersihan telaga dan pagelaran langen tayub, masyarakat melakukan doa dan makan bersama sejumlah ambengan yang telah disediakan.

Prosesi dalam tradisi sedekah bumi tersebut merupakan napak tilas jejak Sunan Kalijaga dalam mensyiarkan Islam di Desa Sugihmanik, sekaligus wujud rasa syukur masyarakat terhadap Tuhan yang telah memberikan rezeki yang melimpah.

  • Penduduk Desa Sugihmanik tengah menikmati ambengan yang telah disediakan sebagai rangkaian dalam prosesi pembersihan Telaga Sendangsari
  • Ambengan yang berisi nasi dan lauk pauk dalam tampah yang menyertai setiap prosesi sedekah bumi di Desa Sugihmanik
  • Penduduk Desa Sugihmanik tengah menikmati ambengan yang telah disediakan sebagai rangkaian dalam prosesi pembersihan Telaga Sendangsari

Kirab Bendhe Pusaka

Sehari sebelum prosesi pembersihan sendang, terselenggara kirab budaya. Jajaran perangkat desa dan BPD serta sejumlah elemen masyarakat terlibat. Ratusan warga pun berduyun-duyun menyaksikan kirab yang bermula di kompleks Sendangsari menuju ke Balai Desa Sugihmanik ini.

Bendhe—pusaka peninggalan Sunan Kalijaga—ikut serta dalam kirab. Bendhe dimasukkan dalam sebuah kotak berlapis kain putih dan digotong empat pemuda yang berperan sebagai manggala yudha. Kasi Pemerintahan Desa, Evien Hidayanto, yang memimpin rombongan ini.

Malamnya, selepas Isya, dihelat pentas wayang yang malam itu menghadirkan dalang Ki Anom Dwijo Kangko dari Surakarta. Pagelaran wayang ini menyedot antusiasme masyarakat untuk menyaksikannya. Sebelum pentas wayang, digelar prosesi penyerahan bendhe pusaka oleh Kasi Pemerintahan Desa, Evien Hidayanto, kepada Kepala Desa Sugihmanik, Imam Santoso. Setelahnya, dilakukan pembacaan sejarah ringkas asal-usul Desa Sugihmanik oleh tokoh masyarakat yang juga mantan kades Sugihmanik, Istiyanto.

  • Gunungan hasil bumi berupa buah-buahan dan sayuran juga ikut memeriahkan Kirab Budaya Merti Desa, Desa Sugihmanik
  • Kirab budaya di Desa Sugihmanik dalam rangka sedekah bumi 2023
  • Kirab budaya di Desa Sugihmanik dalam rangka sedekah bumi 2023

Napak Tilas Jejak Sunan Kalijaga

Semua prosesi sedekah bumi di Desa Sugihmanik bermaksud untuk napak tilas kisah asal-usul Desa Sugihmanik, khususnya yang berkaitan dengan jejak Sunan Kalijaga dan para pendherek-nya.

Diceritakan, suatu saat, rombongan Sunan kalijaga dalam misi pencarian kayu sirap dan saka untuk pembangunan Masjid Demak sampai di suatu perkampungan pinggir hutan, yang konon perkampungan itu bernama “Matamu”. Rombongan berhenti untuk beristirahat dan melaksanakan salat.

Pemerhati sejarah lokal Grobogan, Heru Hardono, dalam sebuah kesempatan menceritakan kepada penulis bahwa setelah salat, Sunan Kalijaga pergi memeriksa hutan di sekitarnya. Ternyata di sebelah selatan kampung Matamu, terdapat kawasan hutan jati yang pohonnya lurus-lurus dan berusia tua. Sunan Kalijaga kemudian memerintahkan para santri untuk menebang pohon-pohon jati itu. Beberapa hari kemudian, tampak genting sirap berjajar rapi di pinggir hutan. Sunan Kalijaga senang melihat genting-genting sirap itu, sehingga Sunan Kalijaga memberi nama hutan itu ”Hutan Jati Sirap”.

Suatu hari, Sunan Kalijaga memerintahkan para santrinya untuk membuat surau. Siang dan malam surau tersebut dikerjakan para santri, sehingga tidak lama kemudian surau itu pun berdiri. Sunan Kalijaga juga memerintahkan untuk dibuatkan kentongan dan bedug. Pergilah beberapa orang santri mencari kayu, yang akan dibuat kentongan dan bedug. 

Konon, kayu yang diperoleh terlalu panjang, hingga Sunan Kalijaga memerintahkan memotongnya menjadi dua. Bagian ujung dibuat bedug dan dipasang di surau yang baru didirikan. Sedangkan bagian pangkalnya juga dibuat bedug, yang dipersiapkan dipasang di Masjid Agung Demak nantinya. 

Setelah surau lengkap dengan bedug dan kentongan selesai didirikan, Sunan Kalijaga masih punya keinginan dibuatkan sebuah balai. Balai itu akan digunakan sebagai tempat mengajar para santri, serta akan digunakan sebagai tempat bermusyawarah. Balai didirikan di atas tanah agak tinggi. Dinding dan lantainya terbuat dari lembaran kayu jati tebal, serta atapnya dibuat dari genting sirap. Karena balai itu bentuknya memanjang, para santri memberi nama “Balai Panjang”.

Konon ketika itu datang musim kemarau, sehingga mata air dan sumur penduduk kering. Sunan Kalijaga sangat prihatin melihat hal itu. Ia kemudian duduk di atas sebuah batu agak jauh dari Balai Panjang, memohon ampun kepada Allah SWT dan memanjatkan doa agar perkampungan Matamu terhindar dari bahaya kekeringan. 

Setelah selesai berdoa, tiba-tiba dari bawah batu terdengar suara ikan berenang. Mendengar suara itu, diperintahlah beberapa orang santri mengangkat batu besar yang tadi didudukinya. Ternyata, di bawah batu terdapat sumber mata air yang sangat jernih. Di dalam telaga ada beberapa ekor ikan palung yang sedang berenang di air yang sangat jernih. 

Air dalam telaga memancar keluar, disertai riak-riak yang berkilauan seperti manik-manik. Melihat riak air yang keluar dari telaga seperti butiran manik, Sunan Kalijaga berkenan mengganti nama perkampungan “Matamu” menjadi perkampungan “Sugihmanik”. 

Batu Betuah Petilasan Kanjeng Sunan Kalijaga
Batu Betuah Petilasan Kanjeng Sunan Kalijaga/Badiatul Muchlisin Asti

Sugih artinya kaya, manik artinya air yang berkilau bak manik-manik. Karena telaga itu berjasa menolong penduduk dari kekeringan, Sunan Kalijaga kemudian memberi nama telaga itu dengan nama “Sendang Sentono Dalem”. Sekarang lebih akrab disebut sebagai “Sendangsari” karena letaknya berada di Dusun Sendangsari, Desa Sugihmanik.

Karena suara ikan palung membuat Sunan Kalijaga dapat menemukan telaga, ia kemudian berpesan, yang intinya melarang penduduk Sugihmanik mengonsumsi ikan palung. Hingga saat ini, larangan itu ditaati oleh masyarakat Desa Sugihmanik. 

Setelah kebutuhan genting sirap tercukupi, para santri memikulnya untuk dibawa ke Demak. Namun sampai di tengah perjalanan, barulah ingat bahwa bendhe pusaka milik Sunan Kalijaga tertinggal. Ada seorang santri berniat mengambil bendhe tersebut, tetapi dicegah oleh Sunan Kalijaga dengan berkata: ”Wis ben bendhe kuwi keri ana Kampung Sugihmanik, mergo mbesuk dukuh kuwi bakal dadi desa sing rame” (Biarkanlah bendhe itu tertinggal di kampung Sugihmanik, karena kelak pedukuhan itu akan jadi desa yang ramai). Ucapan Sunan Kalijaga itu terbukti. Saat ini Desa Sugihmanik sangat ramai dan padat penduduknya.

Bendhe peninggalan rombongan Sunan Kalijaga sampai sekarang masih ada, disimpan oleh penduduk Sugihmanik. Akan tetapi bendhe tersebut sekarang sudah lapuk dan pecah, sehingga pada pelaksanaan tradisi sedekah bumi digunakanlah bendhe duplikatnya. Balai Panjang juga masih digunakan sebagai tempat pelaksanaan upacara sedekah bumi yang diselenggarakan oleh masyarakat setiap tahun sekali. Bedug yang dibuat para santri dulu juga masih ada, tersimpan dan terawat dengan baik hingga saat ini.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Melihat dari Dekat Tradisi Sedekah Bumi Desa Sugihmanik appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/melihat-dari-dekat-tradisi-sedekah-bumi-desa-sugihmanik/feed/ 0 40149