sejarah Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/sejarah/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Thu, 06 Mar 2025 04:18:15 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 sejarah Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/sejarah/ 32 32 135956295 Sejarah Garam Madura Tak Semanis Madu https://telusuri.id/sejarah-garam-madura-tak-semanis-madu/ https://telusuri.id/sejarah-garam-madura-tak-semanis-madu/#respond Thu, 20 Feb 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45702 Antropolog Sidney W. Mintz menuliskan karya monumentalnya yang berjudul Sweetness and Power: The Place of Sugar in Modern History (1985). Karya tersebut mengisahkan bahwa sejarah gula tidaklah semanis yang dibayangkan, tetapi penuh dengan eksploitasi buruh,...

The post Sejarah Garam Madura Tak Semanis Madu appeared first on TelusuRI.

]]>
Antropolog Sidney W. Mintz menuliskan karya monumentalnya yang berjudul Sweetness and Power: The Place of Sugar in Modern History (1985). Karya tersebut mengisahkan bahwa sejarah gula tidaklah semanis yang dibayangkan, tetapi penuh dengan eksploitasi buruh, penjajahan, perbudakan, dan pamer kekayaan. Indonesia tentu paham betul dengan kondisi ini. Di sekolah-sekolah, sejarah Indonesia diajarkan sebagai penjajahan yang mengejar komoditas yang kini sepele, tetapi dulu jadi rebutan, seperti pala dan cengkih.

Tentu, pelajaran sekolah tidak bisa mencakup semua sejarah di Indonesia. Apalagi, sejarah komoditas yang menyimpan banyak cerita ini bisa berbeda-beda dari satu wilayah ke wilayah lain. Kisah tersebut jadi makin seru karena komoditas bukan hanya berpengaruh di tempatnya berasal, melainkan “bertualang” melalui proses pengangkutan ke tempat-tempat lainnya. Untuk itu, sejarah “petualangan” komoditas tersebut perlu dilengkapi dengan catatan-catatan dari masing-masing komoditas dan daerah. 

Buku Sejarah Garam Madura: Rivalitas Pengangkutan Garam Madura 1912–1981 adalah salah satunya. Buku yang ditulis Imam Syafi’i ini diangkat dari tesisnya di Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro. Pembahasannya berfokus pada aspek penting dalam pengelolaan komoditas, yakni pengangkutan, khususnya garam Madura. Jadi, bagaimanakah rasa petualangan garam?

Sejarah Garam Madura Tak Semanis Madu
Sampul buku Sejarah Garam Madura karya Imam Syafi’i terbitan LIPI/Meita Safitri via LIPI

Sejarah Madura: Di Antara Tegalan dan Pantai

Sebelum bertualang, hendaknya kita mengenali wilayah keberangkatan. Syafi’i memulai dengan membedah ekologi Madura terlebih dahulu melalui pendekatan ekologi budaya, yakni adaptasi konsep dan asas ekologi pada aspek-aspek spesifik partikular dari kehidupan sosial dan kebudayaan manusia (hal. 13). Hasilnya, Syafi’i melihat industri garam di Madura dibentuk oleh ekologi pesisir.

Garam Madura memang sudah terkenal. Banyak kajian yang membahasnya. Namun, Madura juga dikenal karena pertaniannya, seperti yang dituliskan sejarawan Kuntowijoyo dalam Perubahan Sosial Pada Masyarakat Agraris: Madura 1850‒1940 (2002). Sayangnya, Kuntowijoyo meletakkan garam Madura dalam sudut pandang ekologi pertanian atau disebutnya “ekologi tegalan” (hal. 14). 

Itu sebabnya, Syafi’i merasa perlu menjelaskan ekologi pesisir sebagai latar garam Madura, dari curah hujan, angin, sampai salinitas (keasinan) air laut (hal. 27) yang seolah-olah menakdirkan garam untuk Madura. Tidak hanya geografi Madura, tetapi juga kependudukan serta pergantian kekuasaan di Madura turut berpengaruh, terutama karena kepemilikan tanah yang bergantung pada pihak yang berkuasa (hal. 43). Aspek penting lainnya adalah komunitas masyarakat yang terlibat dalam industri garam tersebut, atau “masyarakat pegaraman” tersebut, mulai dari interaksi dengan VOC sampai pedagang Arab dan Tionghoa.

Suasana tambak garam di Madura (kemungkinan Sumenep), 1920/KITLV

Garam dan Kekuasaan

Kekuasaan memang memiliki pengaruh utama. Madura bukanlah tempat pertama penghasil garam di Nusantara. Garam merupakan komoditas yang dihasilkan di banyak daerah di pantai utara Jawa. Namun, sejak 1870 industri garam dibatasi oleh pemerintah kolonial hanya dilakukan di Madura (hal. 57). Pegaraman, atau disebut paderen, juga dibagi dua: menjadi milik rakyat dan pemerintah kolonial. Industri garam diatur dalam sistem monopoli pemerintah kolonial yang disebut zoutregie. Rakyat yang ingin memproduksi garam perlu memperoleh izin terlebih dahulu dari pemerintah kolonial berupa pepel.

Produksi garam dilakukan secara sederhana dengan membuat plot-kolam pembuatan garam. Produksinya amat bergantung kondisi alam, sehingga terkadang produksinya bisa berlebih atau bahkan berkurang. Monopoli pemerintah kolonial mengatur jumlah produksi ini serta menyimpan stok di gudang. Contohnya pada 1928, produksi garam dibatasi karena jumlahnya sudah berlimpah akibat kemarau panjang pada 1925–1926 (hal. 62). Monopoli ini bahkan bertahan sampai setelah kemerdekaan dan secara resmi tidak diberlakukan lagi pada 1957 (hal. 86).

Kelompok penghasil garam disebut mantong. Oleh Kuntowijoyo, kelompok ini terbagi menjadi pemilik lahan sekaligus petani garam dan pegawai yang mengurus hal lainnya, seperti administrasi (hal. 66–67). Syafi’i menambahkan bahwa ada kelompok lain, yakni pekerja pengangkutan garam (hal. 70). Pengangkutan ini tidak lepas dari sektor pelabuhan dan pergudangan garam. 

Tiga pelabuhan utama industri garam di Madura adalah Pelabuhan Kalianget, Pelabuhan Kertasada, dan Pelabuhan Pantai di Muara Sungai Raja (hal. 71). Urusan pengangkutan kadang menggunakan perahu tradisional yang disebut janggolan. Gudang disiapkan untuk menyimpan garam baik di area pegaraman dan gudang di beberapa wilayah distribusi yang dimiliki oleh beberapa cabang niaga Perusahaan Garam (hal. 77). Menelusuri pergudangan ini menunjukkan kita lokasi-lokasi garam “berkelana” dari Tjepper (Vorstenlanden), Selatpandjang dan Tandjoengbalai (pantai timur Sumatra), Emmahaven (pantai barat Sumatra), Koeala Kapoeas (Kalimantan), serta Bintoehan (Bengkulu).

Sejarah Garam Madura Tak Semanis Madu
Perahu janggolan di muara Sungai Rajeh Sreseh, Kabupaten Sampang, yang sudah digunakan sejak abad ke-19/Dokumentasi Imam Syafi’i tahun 2012

Perjalanan dan Pengangkutan Garam

Setelah melihat produksi garam, menarik untuk menelusuri penyebarannya, terutama melalui proses pengangkutannya. Pengangkutan ini meliputi pengangkutan via darat maupun laut. Lagi-lagi, bukti sejarah menunjukkan bahwa pengangkutan garam via darat bahkan telah ditemukan di Pariaman, bukan hanya di Madura. Ini makin menunjukkan bahwa industri garam Madura amat dibentuk oleh kekuasaan pemerintah kolonial. 

Dengan kebijakan monopoli, industri garam Madura berkembang seiring dengan usaha penangkapan dan pengolahan ikan. Monopoli memerlukan pengaturan pengangkatan karena dampaknya pada harga garam. Tidak jarang, monopoli pengangkutan dan penjualan ini dilawan melalui penyelewengan, seperti yang dilakukan empat perempuan pada 1935 (hal. 97).

Di laut, monopoli pemerintah telah menetapkan perusahaan tertentu untuk mengangkut garam, yakni KPM, MSM, dan kemudian OJZ (hal. 99). KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij) merupakan perusahaan milik Kerajaan Belanda. Monopoli pengangkutan garam diberikan pada perusahaan ini pada 1894. Perusahaan lain yang mendapatkan hak monopoli tersebut adalah MSM (Madoera Stoomtram Maatschappij), perusahaan swasta.

Sejarah Garam Madura Tak Semanis Madu
Foto seorang nakhoda dan anak buah kapal perahu janggolan. Keduanya berada di salah satu studio foto di Palembang setelah mengangkut ga-ram dari Madura ketika menunggu muatan kayu menuju Jakarta/Dokumentasi Maksum tahun 1983

Monopoli ini kemudian menjadi bumerang karena mahalnya biaya yang dikeluarkan untuk kedua perusahaan tersebut. Untuk mengatasinya, dibentuklah dinas pengangkutan garam yang disebut OJZ (Oost-Java Zeevervoer) pada 1912. KPM kerap beraktivitas di Pelabuhan Kalianget, sedangkan OJZ di pelabuhan lainnya. Ironisnya KPM tetap mendominasi, yang salah satunya ditandai dengan jumlah pengangkutan yang dilakukan KPM jauh lebih besar dibanding OJZ pada 1935.

Garam Madura Sepeninggal Belanda

Setelah Belanda terusir dari Indonesia, industri garam Madura turut berubah. Data di masa Jepang sulit ditemukan sehingga yang bisa dilihat adalah setelah kemerdekaan. Sebelumnya telah disinggung bahwa monopoli garam baru dihapuskan pada 1957. Di sektor pengangkutan, monopoli ini mulai dilonggarkan sejak 1908 dengan membuka kesempatan pengangkutan oleh pelayaran swasta.

Pada 1950-an, swasta ini berkembang menjadi kongsi. Sistem kongsi setelah kemerdekaan ini banyak juga yang dilakukan orang Tionghoa. Meski demikian, ada pula kongsi yang dimiliki oleh orang Madura sendiri. Namun, di kongsi Tionghoa pekerjanya juga merupakan orang Madura. Di masa kongsi ini bahkan terjadi “swasembada garam” yakni pada 1952 dengan ekspor garam ke Jepang.

Sayangnya, menurut Syafi’i, kongsi tidak berbeda dengan monopoli karena kuatnya pengaruh perusahaan garam. Setelah monopoli dihapuskan pada 1957, aktor lokal mulai mengambil pengaruh. Ini terutama dilakukan masyarakat menggunakan janggolan. Sistem pengaturan keuntungannya adalah bagi hasil atau telon (hal. 122).

Bukan berarti bahwa masyarakat Madura di masa sebelumnya tidak berperan. Peran mereka ada, tetapi tertutupi dengan dominasi monopoli perusahaan. Industri garam sendiri justru amat berpengaruh pada kehidupan masyarakat, baik ekonomi maupun sosial budaya. Itu sebabnya, ekologi Madura penghasil garam ini oleh Syafi’i disebut ekologi pesisir, yang berbeda dengan ekologi sawah maupun tegalan. Untuk membaca lebih lengkap, buku ini dapat diunduh gratis melalui situs penerbitnya di tautan LIPI Press (sekarang Penerbit BRIN).


Judul buku: Sejarah Garam Madura: Rivalitas Pengangkutan Garam Madura 1912–1981
Penulis: Imam Syafi’i
Penerbit: LIPI Press
Cetakan: Pertama, Desember 2021
Tebal: xxv + 186 halaman
ISBN: 978-602-496-296-8

Foto sampul oleh Meita Safitri via LIPI


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Sejarah Garam Madura Tak Semanis Madu appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sejarah-garam-madura-tak-semanis-madu/feed/ 0 45702
Kisah Casper Frederik Deuining dan Nisan Polyglot yang Tersisa dari Keluarga Portier https://telusuri.id/kisah-casper-frederik-deuining-dan-nisan-polyglot-yang-tersisa-dari-keluarga-portier/ https://telusuri.id/kisah-casper-frederik-deuining-dan-nisan-polyglot-yang-tersisa-dari-keluarga-portier/#respond Thu, 23 Feb 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=37293 Usai mengabadikan nisan Adolph B. Andreas, 10 langkah ke utara, saya menyambangi nisan Casper Frederik Deuining. Ia seorang pengawas senior Pabrik Gula Cokro Tulung Klaten. Berdasar keterangan Hans Boers, beliau suami dari Djeminem Kamijoyom, anak...

The post Kisah Casper Frederik Deuining dan Nisan Polyglot yang Tersisa dari Keluarga Portier appeared first on TelusuRI.

]]>
Usai mengabadikan nisan Adolph B. Andreas, 10 langkah ke utara, saya menyambangi nisan Casper Frederik Deuining. Ia seorang pengawas senior Pabrik Gula Cokro Tulung Klaten. Berdasar keterangan Hans Boers, beliau suami dari Djeminem Kamijoyom, anak dari Raden Tumenggung Kamidjoyo dan Raden Ayu Soemantri.

Pernikahan Deuning dan Djeminem digelar di Ceper pada 9 Septmber 1884. Pascamenikah, Djeminem berubah nama menjadi Johanna Trouwen, dan keduanya sempat tinggal sementara di Boyolali sebelum menetap di Klaten.

Menurut Hans, keluarga besar Deuning memiliki hubungan kekerabatan dengan keluarga August Jan Caspar Dezentje (Boyolali), P.A. Van Der Steur (Magelang), dan Kasunanan Solo.

Kerkhof Ceper
Nisan milik Casper Frederik Deuning, Pengawas Senior Pabrik Gula Cokro Tulung/Ibnu Rustamadji

Sebelum bekerja sebagai pengawas Pabrik Gula Cokro Tulung, ia seorang distributor suku cadang mesin pabrik gula dan kopi. Deuning bekerja sebagai insinyur mesin di Cokro Tulung sejak tahun 1886, kala itu John van der Linden menjadi atasannya.

Semasa bekerja, Deuning tercatat berperilaku baik. Ia pun mendapat kehormatan dari pemilik dan karyawan Pabrik Gula Cokro Tulung. Karirnya melonjak tajam. Berawal dari insinyur mesin dan pengawas pabrik, tahun 1890, Deuning mampu mengakuisisi seluruh manajemen Pabrik Gula Cokro Tulung. 

Sayangnya, tidak lama kemudian sang istri wafat pada 29 Mei 1898 di Klaten, disusul pemberitaan miring mengenai keluarganya dan kabar mengenai ditangkapnya adik bungsu Deuning yang bernama Ferdinandus, atas tuduhan membunuh bayinya yang baru dilahirkan. Hal ini merupakan pukulan bertubi-tubi baginya yang sedang di puncak kejayaan.

“Itu ternyata isu, untuk menutupi masalah sewa tanah perkebunan antara si orang (tidak diketahui siapa) dan Ferdinandus” terang Hans. “Untungnya, Deuning dapat mengatasi masalah hingga pergantian pengawas perkebunan gula Pabrik Gula Cokro Tulung hingga tahun 1899” tambahnya.

Enam tahun kemudian Casper Frederik Deuning wafat tanggal 9 September 1905, di usia 68 tahun dimakamkan di Ceper Klaten berdampingan dengan Adolph B. Andreas. Sedangkan makam istri Casper Deuning tidak diketahui berada di mana. Ada dugaan istri dan anak juga dimakamkan di sini.

Saudara kandung Deuning, mayoritas bekerja dengan Tuan Dorrepal dan Dezentje. Ada juga keluarganya, penyewa tanah perkebunan di Kaliwingko untuk budidaya padi. 

Nisan Polyglot yang Tersisa dari Keluarga Portier

Ada satu nisan Eropa yang berada di pemakaman ini masih utuh lengkap dengan epitaf tiga bahasa Jawa, Arab dan Belanda, biasa disebut makam polyglot. Baru kali ini, saya menemukan tiga bahasa dalam satu nisan.

Epitaf berbahasa Belanda berbunyi, “Hier Rust. Arend Alexander Portier. Geborend den 22 Augustus 1880, Overleden den 13 Januari 1886.” 

Epitaf nisan berbahasa Arab Pegon dan Jawa berbunyi, “Ing ngriki ajalipun. Arind Alexander Purtier, Lahir Ahad 22 Agustus 1880 Wulan Siyam ing Tahun Wawu 1071. Ajal Rabu Legi Tanggal Kaping 7 Robi’ul Akhir Tahun Dal 1818.” 

Ketiga epitaf artinya, “Di sini beristirahat. Arend Alexander Portier, lahir Minggu (puasa) 22 Agustus 1880, wafat Rabu (Legi) 13 Januari 1886/7 Robiu’ul Akhir Tahundal 1818.” 

  • Kerkhof Ceper
  • Kerkhof Ceper
  • Kerkhof Ceper
  • Kerkhof Ceper

Selain tiga bahasa berbeda, ada juga simbol kematian berupa pahatan berwujud tengkorak.

“Di Solo dan Jogja, banyak kerabat Portier. Kalau saya mencari menurut nama orang tua, atau leluhurnya ketemu nama Alexander Leendert Portier,” terang Hans. 

Tahun 1876 di Solo, ada penerbit dan penjual buku Namanya Jonas, usahanya bernama Jonas Portier en Co, tambahnya. Buku yang diterbitkan berbahasa Jawa kuno tentang perawatan sawah untuk mendapat hasil panen optimal. 

“Tahun 1881 toko Jonas Portier en Co dijual kepada tuan C.L. Baier,” sambungnya. Kediaman Jonas L. Portier en Co di Kedung Kopi, Solo juga dijual tanggal 1 Oktober 1880.

Nah, apakah mereka memiliki keterkaitan? Hans tidak bisa memberikan kepastian. Yang jelas ibunya priyayi dan sang ayah pegawai Belanda. 

  • Kerkhof Ceper
  • Kerkhof Ceper

Terakhir, ada satu makam lagi yang berada di timur makam Alexader Portier. Makam tidak dikenal, karena nama yang terukir rusak. Hanya tersisa hiasan makam berbentuk cincin yang artinya kehidupan abad.

Sebelum meninggalkan kawasan pemakaman, tidak lupa saya mengirim doa untuk mereka yang telah mendahului. Harapan saya, empat makam ini tidak dirusak demi menjaga bukti arkeologis bagi peneliti generasi mendatang.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kisah Casper Frederik Deuining dan Nisan Polyglot yang Tersisa dari Keluarga Portier appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kisah-casper-frederik-deuining-dan-nisan-polyglot-yang-tersisa-dari-keluarga-portier/feed/ 0 37293
Jejak Adolph Barsikh Andreeas di Kerkhof Ceper Klaten https://telusuri.id/jejak-adolph-barsikh-andreeas-di-kerkhof-ceper-klaten/ https://telusuri.id/jejak-adolph-barsikh-andreeas-di-kerkhof-ceper-klaten/#respond Wed, 22 Feb 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=37278 Saya melanjutkan penelusuran kerkhof yang ada di sekitar Kabupaten Klaten. Kali ini di Dukuh Pason, Desa Sinden, Kecamatan Ceper Klaten. Dukuh Pason sendiri ada di sisi utara bekas Pabrik Gula Ceper, dipisahkan oleh tembok pabrik...

The post Jejak Adolph Barsikh Andreeas di Kerkhof Ceper Klaten appeared first on TelusuRI.

]]>
Saya melanjutkan penelusuran kerkhof yang ada di sekitar Kabupaten Klaten. Kali ini di Dukuh Pason, Desa Sinden, Kecamatan Ceper Klaten. Dukuh Pason sendiri ada di sisi utara bekas Pabrik Gula Ceper, dipisahkan oleh tembok pabrik dan saluran irigasi.

Kerkhof Ceper
Gapura Dukuh Pason, Desa Ceper Klaten. Pintu masuk Kerkhof Ceper/Ibnu Rustamadji

Setelah menelusuri jalanan dukuh sekitar 20 menit, saya sampai di gapura dukuh. Dari gapura, saya masuk dan melihat sebuah rumah—atau mungkin pendapa—yang berada di ujung jalan. Tanpa berpikir panjang, saya menuju ke sana.

Semakin mendekat, barulah terlihat bahwa bangunan ini adalah balai pertemuan warga. Sayangnya, tidak ada warga yang beraktivitas di sana yang bisa saya tanyai mengenai Kerkhof Ceper. Saya diam sejenak hingga lima menit kemudian, seorang pria paruh baya terlihat keluar dari belakang balai pertemuan.

Saya yang terlanjur penasaran akan letak kerkhof, memutuskan untuk menunggu pria tadi. Setidaknya saya bisa bertanya, bukan? Pikir saya.

Sayangnya, ia tak kunjung muncul kembali. Saya kemudian nekat pergi ke belakang balai pertemuan, dan menemukan hal tak terduga. Di sinilah Kerkhof Ceper berada. 

Sepintas Kerkhof Ceper tampak seperti makam pada umumnya, makam modern dengan kijing keramik mendominasinya. Namun, di sela-sela kijing keramik, terdapat nisan-nisan milik orang Eropa. Yang pertama adalah nisan yang terbuat dari batu granit berwarna hitam, dan berbentuk persegi panjang.

Saya menduga nisan ini pernah diperbaiki sebelumnya, terlihat dari marmer yang masih mengkilap dan tidak usang. Mendiang yang dikuburkan di sini bernama Adolph Barsikh Andreeas, seorang pria kelahiran Semarang memiliki darah Armenia dan Iran.

Dulunya, beliau pengawas senior di Pabrik Gula Ceper. Daripada saya dikira menduga, beberapa dokumentasi saya kirim ke Hans Boers. Tidak lama, Hans membalas pesan saya dengan mengirimkan sejumlah informasi mengenai Adolph Barsikh Andreas.

Kerkhof Ceper
Nisan Adolph Barsikh Andreas/Ibnu Rustamadji

“Adolph Andreas berdarah Armeia. Tahun 1602 ada beberapa keluarga orang Armenia berasal dari Nagorno Karabakh (dahulu bernama Artsakh), pindah ke Iran atas undangan Shah Abas dari Persia di kota Nor Jugha (Isfahan).” 

Hans melanjutkan, “Mereka berangkat ke Iran karena, di sana, membutuhkan bantuan dana dan sukarelawan untuk berperang melawan Turki.” Warga negara Armenia di Iran kala itu, ternyata diijinkan membangun gereja, sekolah dan tempat tinggal sendiri.

Lantas bagaimana sebagian dari mereka bisa sampai di Indonesia?

“Mereka (orang Armenia) berdagang di India, Indonesia, Thailand, Kamboja, Filipina dan Birma; kemudian, ada yang tinggal di negara tersebut dan kembali ke Iran.”

Adolph Barsikh Andreas, anak dari Barsikh Andreas sepupu dari Agha Hovsep Hovhannes Amirkan.

“Agha Hovsep Hovhannes, ini moyang saya,” tambahnya. Saya semakin penasaran tentunya. 

Adolph Barsikh Andreas kelahiran Semarang 25 Mei 1842, anak dari Barsikh Andreas yang merupakan warga Armenia dan Augustina Carolina Waitz yang berdarah Belanda dan Jerman. Adolph Barsikh merupakan seorang perwira militer KNIL Semarang. Beliau lahir ketika orangtuanya berdinas di Semarang. Istrinya bernama Josephine Andreas van Waardenburg.

Kerkhof Ceper
Nisan milik Adolph B. Andreas, Casper F. Deuning dan Arend A. Portier berdampingan/Ibnu Rustamadji

Ia wafat dan dimakamkan di Ceper karena selain sebagai pengawas senior, beliau juga pemilik Sebagian saham Pabrik Gula Ceper.

Selama pengawasannya, Pabrik Gula Ceper tidak lagi mengekspor gula berskala kecil. Keputusan berani yang ia pilih kala itu. Hans Boers menambahkan, “Enam tahun kemudian, tepatnya tanggal 16 Mei 1898, Adolph B. Andreas tergabung dalam Solosche Landhuurders-Vereeniging wilayah Ceper Klaten.” 

Solosche Landhuurders-Verening, merupakan organisasi berisikan pemilik sekaligus penyewa tanah di Solo. Ketua organisasinya Jhr. W.D. van Nispen, sekaligus ketua Maconniek Solo. Anggotanya sejumlah 11 orang tuan tanah. Menurut Hans, sisi menarik Adolph B. Andreas tidak hanya nisannya, tetapi mengenai kehidupannya di Solo.

Selama aktif berorganisasi, Adolph B. Andreas sering menulis kritik di koran ‘De Locomotief’—surat kabar Semarang era Hindia Belanda. Inti kritikan ditujukan ke organisasinya, karena tidak puas dalam keterbukaan antar anggota.

Puncak kritikan Adolph B. Andreas terjadi saat pembukaan Soos (Societeit) di Solo. Pembukaan dirayakan dengan gelaran pentas “Kantata”. Pengisi acaranya yakni anak-anak pengusaha, pemilik modal. Adolph B. Andreas mengetahui hal ini geram. Beliau menyatakan pentas “Kantata” harusnya diramaikan semua kalangan, tidak hanya anak keluarga pengusaha. 

Warga lokal lalu diperkenankan hadir dan memeriahkan perayaan sejak pukul 7 malam. Soos yang dibangun oleh organisasi Adolph B. Andreas, ditujukan untuk sarana hiburan para priyayi Jawa dan Eropa di Kota Solo. Adolph B. Andreas mengkritik karena kesewenangan para anggota, supaya organisasi Solosche Landhuurder-Vereeniging mendapat tempat di masyarakat. 

Tanggal 8 Oktober 1900 adalah masa terpuruk bagi keluarga Adolph B. Andreas. Anak sulungnya yang bernama Angelique Adolphine wafat pada usia sangat sekitar 15 bulan. 

“Hanya saja, lokasi makam Angelique Adolphine berada, di Ceper atau tempat lain, tidak ada catatannya,” ujar Hans Boers.

Sejauh pengamatan saya di Kerkhof Ceper, jangankan makam Angelique Adolphine, makam Josephine Andreas van Waardenburg juga tidak ada. 

Adolph Barsikh Andreas wafat 25 Oktober 1902 pada usia 54 tahun karena mengidap stroke cukup lama, tepat dua tahun setelah Angelique Adolphine wafat. Hingga akhir hayat, beliau menjabat pengawas senior di Pabrik Gula Ceper. Pascapemakaman, barulah jabatan pengawas senior digantikan Tuan Knoops mantan pengawas Pabrik Gula Kaliwungu.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Jejak Adolph Barsikh Andreeas di Kerkhof Ceper Klaten appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/jejak-adolph-barsikh-andreeas-di-kerkhof-ceper-klaten/feed/ 0 37278
Gedong Duwur, Semarang: Sang ‘Sarang Garuda’ yang Terlupa https://telusuri.id/gedong-duwur-sarang-garuda-semarang/ https://telusuri.id/gedong-duwur-sarang-garuda-semarang/#respond Mon, 13 Feb 2023 04:00:05 +0000 https://telusuri.id/?p=37228 Gedong Duwur “Sarang Garuda” pada awalnya adalah sebuah rumah seorang pengusaha asal Artsakh, Armenia yang bertempat tinggal di Semarang. Gedong Duwur bermakna rumah gedongan yang tinggi, berlokasi di Jalan Pamularsih Dalam III, Bukit Malaya Simongan,...

The post Gedong Duwur, Semarang: Sang ‘Sarang Garuda’ yang Terlupa appeared first on TelusuRI.

]]>
Gedong Duwur “Sarang Garuda” pada awalnya adalah sebuah rumah seorang pengusaha asal Artsakh, Armenia yang bertempat tinggal di Semarang. Gedong Duwur bermakna rumah gedongan yang tinggi, berlokasi di Jalan Pamularsih Dalam III, Bukit Malaya Simongan, Semarang. Julukan ‘Sarang Garuda’ disematkan karena letaknya di Puncak Bukit Malaya Simongan, yang memperlihatkan pemandangan langsung ke arah laut Jawa dan Pelabuhan Tanjung Mas. Kawasan ini mempunyai sejarah yang panjang sebelum berakhir menjadi pemukiman padat penduduk.

Perjalanan saya ke Gedong Duwur untuk menuntaskan rasa penasaran mengenai eksistensi warga Armenia di Semarang dan Jawa Tengah, khususnya. Gedong Duwur, sebagai salah satu bukti yang absah atas keberadaan mereka di Semarang.

Awalnya saya sempat berpikir jika tidak ada orang Armenia yang pernah tinggal di Semarang atau di Jawa Tengah. Ternyata, praduga saya selama ini salah. Hans Boers, rekan saya di Belanda, ternyata keluarganya berasal dari Armenia dan ia mengetahui siapa pemilik awal Gedong Duwur.

  • Gedong Duwur Agha Hovsep
  • Gedong Duwur Agha Hovsep
  • Gedong Duwur Agha Hovsep
  • Gedong Duwur Agha Hovsep

“Pemilik awal Gedong Duwur itu moyang saya, orang Armenia yang  tinggal di Semarang. Namanya Agha Hovsep Hovhannes Amirkhan, kelahiran Nagorno–Karabakh, Artsakh, Armenia,” jelas Hans Boers.

Kala itu, Artsakh masuk wilayah Republik Nagorno–Karabakh dengan pusat kerajaan di Khachen. Keberadaan Kerajaan Artsakh diproklamasikan pasca invasi Turki yang terjadi di abad ke-11 hingga ke-14.

Nagorno–Karabakh abad pertengahan adalah pusat gejolak emansipasi bagi warga Armenia Timur. Ketika Armenia dipimpin Tigran II, munculah Triganakert bagian ‘Kota Suci’ di Artsakh. Reruntuhan kota berada di timur Nagorno–Karabakh. 

Artsakh adalah bagian dari provinsi ke 10 dari ‘Armenia Greater of Haik Meitz in Armenia,’ terutama setelah penyebaran ajaran Kristen oleh Misionaris St. Gregory. Gandzasar Monastery, bagi warga Armenia, adalah cikal bakal pusat pemerintahan Armenia. Atas peristiwa bertubi-tubi menimpa Artsakh, banyak warganya pindah ke negara ketiga untuk mencari perlindungan juga mencari peruntungan, salah satunya adalah Agha Hovsep Hovhannes Amirkhan.

Gedong Duwur dan Jejak Keluarga Armenia di Semarang

Gedong Duwur awalnya adalah rumah pribadi keluarga Agha Hovsep Hovhannse Amirkhan, seorang tuan tanah sekaligus pejuang kemerdekaan Artsakh Armenia dari pasukan Azeri Turki. Agha Hovsep kelahiran Fereidan, Isfahan Iran tahun 1778 dari keluarga bangsawan Artsakh Armenia.

Masa gentingnya terjadi di usia ke-18 tahun, Agha Hovsep dikirim orangtuanya untuk mengenyam pendidikan di sekolah Armenia di Kalkuta, India. 

“Antara disekolahkan, atau diasingkan dari negaranya sendiri, tidak jelas seperti apa,” jelas Hans Boer.

Setelah lulus, Agha Hovsep tidak kembali ke Armenia namun menetap dan bertahan hidup dengan bekerja sebagai kuli di India. Agha Hovsep sempat mencoba kembali ke Armenia tetapi karena kondisi yang tidak memungkinkan, tujuannya kemudian beralih ke Belgia. Ia menetap sementara di sana dan bertahan hidup dengan bekerja sebagai kuli di Pelabuhan Antwerp. 

Menginjak usia 30 tahun, Agha Hovsep kembali mencari peruntungan di negara ketiga. Pelayaran dengan kapal De Tyger pun dilakukannya dari Armenia, dengan tujuan akhir di Semarang tahun 1808. 

“Agha Hovsep memilih Semarang, karena ingin terbebas dari gejolak tanah kelahirannya Artsakh, Armenia. Tapi juga menghimpun dukungan untuk membebaskan tanah leluhurnya,” lanjut Hans. Setibanya di Semarang, Agha Hovsep tidak langsung mendirikan Gedong Duwur.

Agha Hovsep sempat tinggal di Pelabuhan Tanjung Mas, karena latar belakangnya sebagai pekerja pelabuhan. “Kerja di pelabuhan selain untuk mendapat uang, juga menyamarkan diri dari kejaran tentara koloni.”

Gedong Duwur Agha Hovsep
Portrait David Melik Shah via Hans Boers

Selama pelarian, terutama di Persia, Agha Hovsep menggunakan nama samara David Melik Shahnazaria. Ada dua negara yang ia singgahi sebelum tiba di Semarang, yakni Persia dan Filipina.

“Awal peruntungannya ada di Filipina, akan tetapi ia sedikit mengalami masalah, hingga akhirnya memutuskan berangkat ke Semarang. Alasannya adalah sedikit pesaing bisnis dan mudahnya akses darat dan laut,” lanjut Hans.

Agha Hovsep mulai merintis perdagangan berupa mutiara, kain sutra, gula, tembakau, mentega, dan marmer Italia di Semarang. Ia juga mulai membeli tanah di sekitaran Bukit Mlaya Simongan untuk perkebunan kopi dan teh.

Kejayaan Agha Hovsep di Semarang terjadi tahun 1810, ketika terjadi perebutan wilayah jajahan antara Kerajaan Inggris dan Belanda atas Indonesia kala itu. Agha Hovsep satu-satunya pendonor semua kebutuhan prajurit Inggris di Jawa.

Kerajaan Inggris tentunya menaruh harapan besar kesuksesan atas bantuan Agha Hovsep. Atas jasa baiknya, Thomas Stamford Raffles yang kelak menjadi Letnan Gubernur Hindia Belanda memberikan tanah di Bukit Mlaya Simongan kepada Agha Hovsep.

Setelah diberikan, Agha Hovsep menyematkan ‘Johannesburg’, yang artinya ‘Bukit Johannes’ diambil dari nama orangtua Agha Hovsep Hovhannes Amirkhan yakni Josep Johannes. 

Setelahnya, Agha Hovsep menjadikan Bukit Mlaya sebagai kediaman dan perkebunan, sisanya sebagai pemakaman keluarga Armenia dan Kristen–Belanda.

Gedong Duwur selain sebagai tempat tinggal juga rumah singgah tamu Belanda, Armenia dan Konstantinopel. Tentu banyak hal yang bisa dibicarakan. Mengetahui kediamannya berisikan tamu penting, Agha Hovsep tidak menyiakan kesempatan. Agha Hovsep kemudian ekspansi bisnis di bidang ekspedisi distribusi opium dari Uttar Pradesh India, dengan kapal dagang miliknya. 

Tahun 1825–1830 ketika Perang Jawa meletus, pemerintah Kerajaan Belanda menemui Agha Hovsep untuk meminjam dana 930.000 gulden dengan jaminan surat berharga. Agha Hovsep memilih memberikan pinjaman dana, dengan jaminan tanah.

Baginya tanah di bawah kepemilikannya dapat menghasilkan, daripada surat berharga. “Memalukannya, pemerintah kerajaan Belanda tidak membayar hutang kepada Agha sampai wafatnya,” terang Hans.

  • Gedong Duwur Agha Hovsep
  • Gedong Duwur Agha Hovsep

Tanggal 25 Maret 1835, Agha Hovsep Hovhannes Amirkhan wafat setelah 7 bulan mengidap stroke. Setelahnya, seluruh aset milik Agha Hovsep termasuk budak dan tanah di Zoetendal dijual berkala di Kantor Daendels & Co. Semarang.

Sang istri yang bernama H.J. Werich wafat 11 bulan kemudian, dikubur berdampingan di makam keluarga Bukit Mlaya Simongan. Tahun 1874, makam dan kediaman Agha Hovsep dijual ke warga Tionghoa sebesar 200.000 gulden.

“Gedong Duwur, kemudian dibeli Oei Tjie Sien, tidak lain ayah dari Oei Tiong Ham,” jelas Djongkie Tio, sejarawan Kota Semarang. “Penjualan dengan syarat, makam keluarga Armenia tetap dijaga. Tapi yang terjadi sebaliknya, hanya disisakan makam utama Agha Hovsep Amirkhan,” pungkasnya.

Kondisi saat ini, Gedong Duwur hanya menyisakan satu rumah saja, tanpa bukti pendukung keberadaan makam keluarga Agha Hovhannes. Hanya memori warga kelahiran tahun 60-an yang menjadi saksi kejayaan Gedong Duwur dan keberadaan makam Armenia di Semarang.

Gedong Duwur sampai sekarang masih ditempati warga pensiunan militer. Hanya bisa berharap yang terbaik, semoga segera mendapat perlindungan sebagai cagar budaya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Gedong Duwur, Semarang: Sang ‘Sarang Garuda’ yang Terlupa appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/gedong-duwur-sarang-garuda-semarang/feed/ 0 37228
Menelusuri Sejarah Bogor bersama Bogor Historical Walk https://telusuri.id/menelusuri-sejarah-bogor-bersama-bogor-historical-walk/ https://telusuri.id/menelusuri-sejarah-bogor-bersama-bogor-historical-walk/#respond Mon, 30 Jan 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36861 Dari keinginan untuk mengenal kota sendiri lebih dekat, Bogor Historical Walk telah berkembang menjadi sebuah komunitas sejarah kota yang tidak hanya belajar bersama, tapi juga sebagai ajang silaturahmi dan mendekatkan diri satu sama lain dengan...

The post Menelusuri Sejarah Bogor bersama Bogor Historical Walk appeared first on TelusuRI.

]]>
Dari keinginan untuk mengenal kota sendiri lebih dekat, Bogor Historical Walk telah berkembang menjadi sebuah komunitas sejarah kota yang tidak hanya belajar bersama, tapi juga sebagai ajang silaturahmi dan mendekatkan diri satu sama lain dengan kota tercinta.

Kota Bogor, sama seperti kota-kota lainnya di Indonesia; mempunyai kenangan dan juga sejarah bagi setiap insan yang pernah hidup di dalamnya. Kota ini memiliki banyak peninggalan sejarah, baik dari masa kerajaan kuno seperti Prasasti Batu Tulis atau peninggalan masa kolonial seperti Kebun Raya Bogor, Istana Bogor, Gereja Zebaoth, ataupun Gedung Balai Kota Bogor. Namun, kerap kali tinggalan sejarah tersebut banyak yang luput dari perhatian masyarakat sekitarnya; entah karena terlalu sibuk dengan urusan masing-masing atau karena memang kurang peduli akan sejarah kota. Untuk itulah, Bogor Historical Walk hadir merangkul segenap masyarakat Kota Bogor untuk lebih mengenal kota tempat tinggalnya.

TelusuRI berkesempatan mewawancarai Ramadhian Fadillah—salah satu pengurus Bogor Historical Walk—yang merintis dan memprakarsai jalan-jalan sejarah di Kota Bogor bersama teman-temannya. Bang Ian—sapaan akrabnya—yang juga seorang jurnalis ini mempunyai tekad bahwa orang Bogor harus mengenal Bogor itu sendiri.

Apa latar belakang pendirian Bogor Historical Walk?

Bogor Historical Walk sebenarnya dulu kegiatan iseng-iseng sambil ngasuh anak keliling Kota Bogor, ke tempat-tempat sejarah. Lama-lama, beberapa teman ikut kemudian teman ngajak temannya lagi dan lagi, dan kemudian mereka usul, “Kang, kok nggak dibuka untuk umum saja karena kan kegiatannya menyenangkan?”

Akhirnya dibuka untuk umum tanggal 19 November 2019. Karena kami seringkali kolaborasi dengan komunitas, pas pertama kali jalan ‘tuh sudah banyak yang ikut dan terus berkembang. Pas pandemi, terpaksa kita stop semua kegiatannya. Hampir dua tahun lebih tidak ada acara dan kegiatan baru mulai lagi pada Januari 2022. Eh, nggak lama kemudian ada Omicorn. Setelah lebaran baru mulai intens lagi dan bisa mulai berkolaborasi lagi dengan berbagai komunitas.

Kehidupan orang-orang sekarang serba cepat, kami justru mengajak mereka cooling down gitu lalu kita sama-sama jalan mengenali kota kita. Banyak orang kerja di Jadetabek, pagi-pagi sudah berangkat kerja, terus pulang malam, dan Sabtu–Minggu nggak tahu harus ngapain. Dengan kondisi seperti itu, sulit akan ada rasa memiliki untuk kota sendiri. Kami membangun awareness akan kecintaan pada suatu kota [Bogor]. Selain mengenalkan sejarah dan budaya, kita juga mengenalkan bahwa Bogor itu kota multikultural, yang sejak zaman dulu sudah banyak suku dan kepercayaan. Pengurus BHW sekitar 5-7 orang. Setiap kegiatan, kita buka untuk umum, dan siapapun yang sudah pernah ikut tur udah jadi keluarga besar Bogor Historical Walk.

Bagaimana kesan tur pertama saat dibuka untuk umum?

Responnya bagus dan menarik. “Bikin lagi dong yang lain,” itulah yang membuat kami semangat.

Tapi, karena baru pertama jalan pasti banyak kurangnya lah. BHW itu konsepnya selalu dekat, BHW itu ibarat anak kampung sini terus kayak ngajak temen kita main ke kampung kita. Terus ada masukkan dari teman-teman juga yang membuat BHW semakin berkembang, semisal pakai speaker ketika ngomong. 

Para peserta kebanyakan berasal dari mana dan usia berapa, serta apa yang mereka inginkan ketika mengikuti tur?

Rentang umur dari bayi sampai umur 81 tahun. Ada macam-macam motivasi mereka buat ikut tur ini, tapi saya tuh senang mereka tuh ingin mengenal kota. Ada juga yang karena iseng ikut teman terus akhirnya kecanduan.

Ada juga yang senang foto, ada juga yang ingin sekedar menambah ilmu, ada yang senang walking tour. Tapi yang dari saya simpulkan adalah ingin belajar sejarah dan ingin mengenal kotanya lebih baik lagi.

  • Dokumentasi perjalanan
  • vihara dhanagun
  • kebun raya bogor

Adakah peserta yang memiliki keunikan tersendiri? Misalnya, ternyata ada peserta BHW yang seorang ahli sejarah, atau punya koneksi dengan tempat yang dituju.

Sering. Misalnya kita cerita soal ini, tiba-tiba ada yang nambahin, ternyata dia adalah dosen. Kami senang bisa saling berbagi. Kami juga sering kalau ingin masuk ke bangunan-bangunan bersejarah, ternyata ada anggota BHW yang bekerja di situ sehingga mempermudah kita untuk izin masuk ke dalam gedung.

Yang menarik lagi, kita ada anggota yang punya rumah zaman kolonial gitu. Ia memperbolehkan kami masuk ke dalam rumahnya. Kalau ada warga senior yang ikut tur, itu pasti kami suruh buat cerita-cerita tentang Bogor tempo dulu. Cerita-cerita itu akhirnya yang memperkaya cerita kami. —dalam menjelaskan suatu tempat—jadi kami menyampaikan beberapa versi cerita dari suatu tempat.

Apa yang menjadi dasar pengambilan tema pada suatu tur? Apakah tur juga menyesuaikan minat yang sedang populer?

Saat ini BHW punya sembilan rute. Biasanya kita bikin polling di Instagram, biasanya kita pilih tiga teratas dari situ [polling]. Ada juga rute-rute yang tidak bisa kita buka tiap bulan karena izinnya susah karena kami tidak ingin hanya di luar pagar saja.

Alhamdulillah, orang-orang juga open karena kami bersurat dan berusaha tertib. Ada banyak pertimbangan sih.

Dalam penyampaian materi dari tempat-tempat yang dikunjungi, apakah setelah tur ada pembahasan lebih lanjut melalui media lainnya?

Nggak. Jadi, pada 2019 itu kita punya grup WA setiap habis kegiatan, jadi banyak yang nggak terawat. Kita komunikasi via DM saja jadinya.

Dari postingan instagram, sepertinya BHW seringkali mengadakan kerja sama menggelar kunjungan dengan berbagai komunitas, apa yang ingin dicapai oleh BHW dengan terjalinnya kerja sama antar komunitas?

Setiap komunitas itu menarik! Semisal dengan TelusuRI waktu itu: 10.000 steps for corals. TelusuRI ingin menciptakan perjalanan berkelanjutan yang nggak cuma datang dan pergi. Jadi, kami melihat komunitas itu sesuatu yang menarik Ada juga sama Bogor Runner, jadi kami nunggu para pelari di titik-titik yang bersejarah terus kami cerita, tapi kami nggak ikut lari, takut pingsan soalnya. Haha.

Kami berkolaborasi dengan setiap komunitas yang pertama, biar saling kenal. Yang kedua  banyak yang bisa dikerjasamakan. Semisal ada bencana, kita bisa galang bantuan dengan komunitas. Kami bisa belajar dengan komunitas tersebut, belajar manajemennya, belajar gerakannya, bisa menghadirkan ide-ide menarik yang secara tidak sengaja.

Saya percaya, kekuatan suatu kota itu terletak di komunitas. Makin solid komunitasnya, akan makin hidup kotanya.

Adakah hal-hal yang menjadi goals BHW, namun belum tercapai hingga saat ini? Apa saja kendala untuk mewujudkannya?

Bikin buku tentang sejarah Bogor. Itu salah satu keinginan kita yang belum tercapai. Mudah-mudahan tahun depan bisa tercapai. Kami berjejaring dengan komunitas literasi yang di Bandung, mereka tuh aktif menerbitkan buku tentang sejarah Bandung, budaya Bandung. Jadi ditulis independen, diterbitkan independen, dan dipasarkan juga sama mereka. Mereka menggelar diskusi kayak di warung kopi, dan cara pemasarannya seperti itu. Benar-benar gerakan yang dari bawah dan indie gitu.

Bagaimana kondisi pelestarian situs sejarah di Bogor secara umum dan apa harapan BHW kedepannya terhadap kelestarian bangunan bersejarah di Bogor? 

Alhamdulillah, cagar budaya dan bangunan-bangunan tua masih lumayan terjaga, dan kami bersyukur. Mudah-mudahan kedepannya semakin baik lagi. Katanya kawasan Empang mau ditata, dan alhamdulillah sudah ada perhatian dari pemerintah. Bogor ‘kan kota bersejarah dan bangunan bersejarahnya masih banyak, baik yang sudah ditetapkan sebagai cagar budaya ataupun belum. Harapan kami, semoga makin banyak bangunan bersejarah itu yang dilestarikan. Ada kawasan yang sudah ditata semisal di Surya Kencana, tapi banyak bau pesing di sana. Sayang kalau sudah ditata, tapi masyarakatnya belum sadar.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menelusuri Sejarah Bogor bersama Bogor Historical Walk appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menelusuri-sejarah-bogor-bersama-bogor-historical-walk/feed/ 0 36861
Kisah di Balik Kerkhof Gombong (2) https://telusuri.id/kisah-di-balik-kerkhof-gombong-2/ https://telusuri.id/kisah-di-balik-kerkhof-gombong-2/#respond Wed, 04 Jan 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36803 Perjalanan saya menelusuri Kerkhof Gombong berlanjut. Setelah dari makam W.H. Poepaart, mata saya tertuju pada satu nisan utuh berdiri di tengah nisan lain, kondisinya rusak parah. Ternyata makam tersebut milik seorang letnan infanteri di Gombong. ...

The post Kisah di Balik Kerkhof Gombong (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Perjalanan saya menelusuri Kerkhof Gombong berlanjut. Setelah dari makam W.H. Poepaart, mata saya tertuju pada satu nisan utuh berdiri di tengah nisan lain, kondisinya rusak parah. Ternyata makam tersebut milik seorang letnan infanteri di Gombong. 

“Lah, kenapa tidak dimakamkan di ereveld, tapi malah di kerkhof?” pikir saya. Ereveld dan kerkhof artinya sama yakni pemakaman. Hanya berbeda fungsi. 

Ereveld makam pahlawan bagi pejuang berdarah Belanda di Indonesia. Kerkhof makam elit warga Belanda di halaman gereja. Memang tidak semua prajurit Belanda di Indonesia yang gugur dimakamkan di ereveld. Tergantung keluarga, dikebumikan di ereveld, kerkhof, atau kremasi. 

Biasanya prajurit yang dikebumikan di luar ereveld, atas kehendak keluarga atau mendiang sendiri karena merasa terikat batin dengan wilayah setempat. Seperti beberapa makam yang saya abadikan kali ini. Menariknya makamnya berbaur dengan milik orang Belanda lain di Kerkhof Gombong. 

Makam C.F.H Campen

“Wah, nama depan disingkat, terus siapa beliau?” 

Pada nisan, tertulis nama C.F.H. Campen. Karena rasanya tidak mungkin menerka-nerka, pilihan terakhir untuk mengetahui nama lengkapnya adalah saya menghubungi Hans Boers. Tidak lama, saya mendapatkan balasan petunjuk pembuka dari Hans Boers.

“Orang militer ini Mas, apa mungkin dahulu bekerja di Benteng Gombong?” 

“Kemungkinan pak, 1e Luit. der Inf. Ridder. M.W.O. Tidak ada keterangan lain.” Kami sama-sama bingung sejadinya. Tidak lama, masuk pesan singkat kembali dari Hans Boers. 

“Mas, makam ini milik instruktur sekolah siswa militer di Gombong!” Akhirnya mulai terbuka siapa orang di balik nisan tua ini. Saya dan Hans Boers sempat bercanda, “Coba bayangkan, namamu disingkat, terus kamu aku kenalkan dengan nama singkatanmu. Enak didengar tidak?” Kami hanya bisa saling menertawakan.

Makam Letnan C.F.H. Campen
Makam Letnan C.F.H. Campen. Salah satu makam Belanda yang utuh di Kerkhof Gombong/Ibnu Rustamadji

Sembari menunggu kabar lebih lanjut, saya putuskan untuk mengabadikan lebih jauh nisan lain yang tersisa di Kerkhof Gombong. Tiba-tiba Hans Boers mengirim pesan kembali mengenai C.F.H. Campen. Dalam pesan singkatnya, berikut detail mengenai C.F.H. Campen.

Letnan 1 Prajurit Infanteri C.F.H. Campen, Instruktur Sekolah Siswa militer Gombong. Kala itu, bernama Militaire Pupillen School Gombong. Inisiatif dari Institusi Pendidikan Angkatan Darat Hindia Belanda atau Koninklijk Nederlands Indisch Leger (KNIL). Sekolah Militer Gombong, didirikan untuk melatih anak-anak terlantar menjadi prajurit KNIL. 

Sekolah militer Gombong pertama kali dibangun tahun 1835 atas perintah Mayor Jenderal Hubert de Steurs. Kala itu sekolah militer masih menempati rumah sang mayor. Barulah di tahun 1848 dibangunkan sebuah gedung permanen di Kedong–Kebo oleh Mayor Jenderal Von Lutzow. Sekolah Militer dari Kedong–Kebo kemudian dipindahkan menuju Gombong, dan menempati areal di Benteng Van Der Wijck. 

Sebelum bernama Van Der Wijck, benteng itu bernama Fort Cochius. Letnan Campen adalah Instruktur Sekolah Militer Gombong, ketika sekolah berada di Benteng Van Der Wijck. Namun sayang, C.F.H. Campen tidak berumur panjang. Hans Boers menambahkan, “Campen terbunuh dengan cara ditusuk belati oleh seorang pribumi, tidak diketahui motifnya apa.” 

Letnan Campen dikenal aktif menulis mengenai perkembangan Sekolah Siswa Militer Gombong. Karena pentingnya karya tulis Letnan Campen mengenai sekolah militer Gombong, pihak pemerintah Belanda menggandakan sebanyak 1000 eksemplar dan diberikan secara cuma-cuma ke warga sekitar sekolah. Salah satu judul artikelnya yakni Het Korps Pupillen te Gombong. 

Sebelum tugas di Gombong, Letnan Campen diketahui dirotasi bersama beberapa prajurit lain dari Surabaya. Letnan Campen wafat usia 33 tahun pada 24 Januari 1886, pemakaman dihadiri Asisten Residen Kebumen, Kepala Distrik Kebumen dan Gombong, seluruh warga Gombong dan siswa Sekolah Militer Gombong

H. Heffelaar, Makam Prajurit lain di Kerkhof Gombong

Puas mengabadikan detail nisan makam dan mendapat informasi mengenai Letnan C.F.H. Campen, langkah saya berikutnya berhenti di makam milik H. Heffelaar. Nisan masih utuh, tapi kalau tidak jeli membaca hurufnya seakan berbunyi “HFFFFLPPP”.  

Informasi siapa Haffelaar, masih saya dapatkan dari Hans Boers. Makam ini milik Hermanus Heffelaar lahir di Rotterdam 6 Maret 1881, dan wafat di Gombong 29 April 1924 usia 43 tahun. Sang istri bernama Nyonya Painam, pernikahanya digelar di Kotaraja 25 Mei 1916. 

“Nikah di Kotaraja, jauh sekali, Pak?”

 “Iya. Karena, Hermanus Haffelaar, prajurit militer KNIL tugas akhir di Gombong!” 

Makam Hermanus Heffelaar
Makam Hermanus Heffelaar/Ibnu Rustamadji

H. Heffelaar anak dari Johannes Bernardus Heffelaar dan Anna van Hoewijk. Hermanus Heffelaar, dan Poepaart satu kesatuan di militer Angkatan Darat. Tapi, H. Heffelaar lebih banyak di KNIL-nya, begitu informasi yang saya dapat dari Hans Boers. 

Pantas mereka dimakamkan di Kerkhof Gombong, dekat Benteng Van Der Wijck dan Kamp militer Gombong tempat Heffelaar dan Poepaart bekerja. Nisan milik H. Heffelaar bertuliskan, “Hier Rust. Mijn Lieve Man en Vader H. Heffelaar in Der Ouderdom Van 41 Jaaren. R.I.P.”. 

Artinya “Di sini Beristirahat. Ayah sekaligus pria yang kami sayang, Hermanus Heffelaar di Umur 41 Tahun”.

Nisan K. Emor, Makam Tersembunyi di Balik Pohon

Makam berikutnya setelah Poepaart dan Heffelaar yang saya datangi ini pria kelahiran Manado tinggal di Gombong. Makamnya ditumbuhi pohon liar setinggi orang dewasa yang menyembunyikan batu nisannya.

Sebelum melihat nama mendiang lebih jauh, saya dikejutkan suara si bapak juru kunci. “Ini Mas nisannya, saya bersihkan dulu. Semoga kelihatan. Soalnya pohon ini tumbuh liar ini Mas, jadi makamnya rusak.”

Makam ini rusak bukan karena nisan marmer yang dicuri, tapi oleh pohon liar, yang menurut saya salah satu faktornya adalah karena tidak diziarahi dan dibersihkan secara rutin.

Inskripsi pada nisan, berbunyi “Hier Rust onze Innig Geleiefde Vader K. Emor, Overleden 19 September 1899 in den Ouderdom van 74 jaar”. K. Emor wafat usia 74 tahun pada 19 September 1899. Hanya saja tidak diketahui apa yang menyebabkannya wafat. Bahkan untuk siapa keluarga K. Emor, tidak banyak informasi.

Hans Boers, merujuk satu nama yakni Karel Emor. “Susah Mas, karena ada beberapa orang yang menyandang nama Karel Emor tapi tidak ada satupun yang cocok dengan keterangan nisannya.” 

“Juga ada seorang dokter dari Jawa yang terkenal bernama Jan Emor, lahir di Tana Kwangkot, Kecamatan Tombari, Minahasa, Manado; dan pada tahun 1711, dan seorang  perempuan bernama Ida Emor (nama Yahudi) dibaptis di Belanda.”

Juru kunci Kerkhof Gombong
Juru kunci Kerkhof Gombong, tengah membersihkan nisan milik Karel Emor/Ibnu Rustamadji

“Saya sendiri memiliki gagasan kuat kalau Karel Emor adalah orang kelahiran Manado dan dia pegawai militer KNIL,” lanjutnya. Karel Emor diketahui wafat di Karanganyar Kebumen di usia 74.

“Adakah keluarganya, Pak?” tanya saya penasaran.

Menurut Hans ada; yakni, Johanna Antoinette Emor meninggal 4 Oktober 1959 di Zwollerkerspel pada usia 75, lahir sekitar tahun 1884. Mungkinkah dia putri Karel Emor? 

“Saya belum menemukan data lebih jauh mengenai hubungan keduanya.” Alhasil, informasi mengenai keluarga K. Emor di Gombong hanya sebatas praduga, bahwa K. Emor bernama asli Karel Emor seorang perwira militer KNIL di Gombong.

Yang Tersisa dari Kerkhof Gombong

Sebelum mengakhiri penelusuran di Kerkhof Gombong, saya mengabadikan beberapa makam lain yang kondisinya rusak parah. Kerkhof Gombong, menurut saya sejatinya sudah selayaknya diselamatkan dan dilestarikan. Miris rasanya melihat berbagai nisan teronggok begitu saja tanpa terawat. 

Kerkhof Gombong bagi saya, adalah saksi bisu Kecamatan Gombong, Kabupaten Kebumen, dari waktu ke waktu. Jelas, di balik orang Belanda dalam mengembangkan Gombong, tidak lepas juga dari peran warga Gombong sendiri.

  • Makam keluarga tidak teridentifikasi.
  • De Bruijn
  • Makam Obelisk
  • Makam Obelisk
  • makam unik

Situs peninggalan di Gombong sangat banyak. Selain kerkhof, ada juga ngebong atau areal pemakaman warga Tionghoa yang tidak kalah menarik untuk kami telusuri. Belum lagi, Benteng Van Der Wijck, Pabrik Rokok Klembak Menyan, satu lagi Rumah Martha Tilaar, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Oiya, saya hampir kelupaan. Tidak semua orang Belanda di Gombong yang wafat dikebumikan di Kerkhof Gombong. Ada juga yang di luar kota, atau mungkin kembali ke keluarga di Belanda. 

Sekarang, bukan saatnya menyalahkan mana yang benar dan yang salah. Tapi, bagaimana cara untuk menghargai apa yang telah diwariskan generasi sebelum kita. 

Seperti Kerkhof Gombong ini, bukti masa lalu untuk pelajaran hidup di masa depan. Terima kasih saya ucapkan kepada teman-teman penelusuran Kerkhof Gombong, teman-teman di Rumah Martha Tilaar yang setia menemani dan menerima kritikan dan saran saya, dan mohon maaf tidak bisa saya sebut semuanya.

Perjalanan ke Kerkhof Gombong berakhir dengan semua memori di kamera. Satu minggu tidaklah cukup untuk mengenal Gombong lebih jauh, suatu saat pasti kembali. “Sekarang, saatnya kembali ke Solo, dan buka bersama di kereta!”

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kisah di Balik Kerkhof Gombong (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kisah-di-balik-kerkhof-gombong-2/feed/ 0 36803
Singgah ke Museum H.O.S Tjokroaminoto https://telusuri.id/singgah-ke-museum-h-o-s-tjokroaminoto/ https://telusuri.id/singgah-ke-museum-h-o-s-tjokroaminoto/#respond Mon, 26 Dec 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36734 Di Kota Surabaya terdapat sebuah museum yang terbilang unik. Museum tersebut merupakan sebuah rumah huni yang dulunya merupakan sebuah rumah indekos. Dari sekedar rumah yang berfungsi sebagai kos tersebut, banyak melahirkan buah pemikiran yang tidak...

The post Singgah ke Museum H.O.S Tjokroaminoto appeared first on TelusuRI.

]]>
Di Kota Surabaya terdapat sebuah museum yang terbilang unik. Museum tersebut merupakan sebuah rumah huni yang dulunya merupakan sebuah rumah indekos. Dari sekedar rumah yang berfungsi sebagai kos tersebut, banyak melahirkan buah pemikiran yang tidak disangka-sangka akan menjadi landasan pemikiran oleh founding father negara Indonesia di masa depan. Mari menelusurinya, Museum H.O.S. Tjokroaminoto.

Museum H.O.S. Tjokroaminoto berada di kawasan Peneleh, Kota Surabaya. Kota yang dijuluki sebagai Kota Pahlawan ini memang terkenal memiliki beragam objek bersejarah dan berbagai museum yang tersebar di penjuru kota. Dahulu Presiden Republik Indonesia pertama yakni Ir. Soekarno pada masa mudanya pernah menetap di sini.

Rumah H.O.S. Tjokroaminoto dan Para Tokoh Nasional Bangsa

Museum ini dulunya merupakan rumah dari salah satu tokoh pergerakan nasional yakni Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Beliau merupakan salah satu tokoh pergerakan yang cukup identik dengan kelompok organisasi Sarekat Islam pada masa tersebut. Rumah yang terbilang cukup sederhana ini, menjadi saksi bisu lahirnya buah-buah pemikiran dan ideologi para pendiri bangsa saat masih muda. Rumah yang berdesain klasik dengan sentuhan khas Jawa dari era abad ke-19 hingga awal abad ke-20 inilah menjadi tempat bernaung sekaligus berdiskusi para penghuninya.

Rumah HOS Cokroaminoto
Rumah HOS Cokroaminoto/Zahir

Mulai dari Ir. Soekarno, Musso, Semaoen, hingga pentolan DI/TII semacam Kartosoewirjo pernah indekos di rumah tersebut. Para penghuni rumah yang kebanyakan memang masih usia belia seringkali menimba ilmu sekaligus berdiskusi tentang berbagai hal. Dunia politik, pandangan agama serta ideologi, bisa dibilang menjadi menu rutin anak-anak kos di rumah tersebut. H.O.S. Tjokroaminoto tentunya berperan sebagai ayah asuh sekaligus mentor dalam ilmu kebangsaan dan perpolitikan bagi mereka, sehingga membentuk pola pemikirannya masing-masing.

Ruangan-ruangan di Museum H.O.S. Tjokoroaminoto

Lazimnya rumah pada umumnya, tentu kondisi ruangan dalam museum ini juga menyesuaikan bentuk asli rumah tersebut. Bagian depan rumah masih mempertahankan desain rumah khas Jawa yang dihiasi pagar kayu yang dicat berwarna hijau. Area ruangan depan atau ruang tamu banyak dihiasi koleksi asli dari empunya, mulai dari beragam pernak Pernik hiasan dinding, beberapa buah kursi lengkap dengan mejanya, dan beberapa plakat penghargaan juga terpasang di ruangan ini.

Bagian lantai rumah ini juga masih menggunakan ubin klasik yang tentunya menambah kesan vintage. Berlanjut di ruangan berikutnya yakni di sisi kiri ketika memasuki sebuah lorong akan disuguhi beragam koleksi milik H.O.S. Tjokroaminoto sewaktu aktif berorganisasi di Sarekat Islam. Mulai dari beragam buku-buku lama, arsip-arsip kuno hingga beragam surat kabar yang memuat pemberitaan mengenai Sarekat Islam kala itu terpajang di dinding-dinding lorong yang berukuran tidak terlalu luas ini. Ada pula ragam koleksi benda-benda asli milik H.O.S. Tjokroaminoto yang tersimpan rapi menjadi koleksi di ruangan tersebut. Selain itu, ada beberapa infografis yang menceritakan perjalanan hidup H.O.S. Tjokroaminoto sewaktu aktif berorganisasi. 

Menuju ke ruangan berikutnya, beberapa foto-foto penghuni dari rumah ini mulai dari Ir. Soekarno, Musso, dan beberapa tokoh lainnya menjadi suguhan. Kamar mereka berada di lantai dua di sisi kanan ruangan belakang tersebut. Di sanalah, kerap kali terjadi diskusi antara para penghuninya.

Salah satu koleksi yang bisa dibilang menjadi ikon dari rumah H.O.S. Tjokroaminoto ini adalah setelan baju yang dulunya dipergunakan oleh Soekarno sewaktu muda. Baju ini tersimpan rapi di lorong belakang dalam sebuah lemari kaca yang bersebelahan dengan lemari kuno. Selain baju milik Soekarno, juga terdapat setelan baju milik H.O.S. Tjokroaminoto.

  • Area Ruang Tengah Museum Cokroaminoto
  • Area Ruang Tamu Museum
  • Replika Baju Soekarno
  • koleksi koran kuno
  • Logo PSII

Ada pula sebuah kamar pribadi yang dulunya merupakan tempat tidur H.O.S. Tjokroaminoto bersama dengan sang istri yakni Soeharsikin. Kamar yang berukuran tidak terlalu luas ini terdapat berbagai macam perabotan asli mulai dari meja rias, lemari, bahkan ranjang asli juga berada di tempat ini. Para pengunjung diperbolehkan untuk mengambil foto namun tidak diperbolehkan untuk menyentuh apalagi duduk di ranjang tersebut. 

Rumah yang telah menjadi museum ini tidak dapat dipungkiri menjadi salah satu saksi bisu dalam perkembangan pemikiran para tokoh nasional bangsa Indonesia kala itu masih muda. Meskipun dalam perjalanannya, mereka seringkali berseberangan pendapat dan ideologi, tidak dapat dipungkiri melalui proses diskusi dan bimbingan dari H.O.S. Tjokroaminoto juga turut memberi tuntunan terhadap pola pemikiran mereka.

Museum tersebut buka setiap hari Selasa–Minggu mulai pukul 08.00 WIB hingga pukul 15.00 WIB. Lokasi museum ini berada di Jl. Peneleh Gang VII No. 29-31, Kel. Peneleh, Kec. Genteng. Jika ingin mengunjungi rumah sekaligus museum H.O.S. Tjokroaminoto, kamu harus melakukan pendaftaran secara daring melalui tiketwisata.surabaya.go.id. Setelah melakukan pendaftaran, kamu cukup menunjukan barcode yang tercetak dalam tiket tersebut saat berkunjung.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Singgah ke Museum H.O.S Tjokroaminoto appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/singgah-ke-museum-h-o-s-tjokroaminoto/feed/ 0 36734
Sepenggal Kisah dari Lawatan ke Pendiri Salib Putih Salatiga https://telusuri.id/kisah-dari-lawatan-ke-makam-pendiri-salib-putih-salatiga/ https://telusuri.id/kisah-dari-lawatan-ke-makam-pendiri-salib-putih-salatiga/#respond Thu, 01 Dec 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36272 Tempo hari setelah seharian singgah ke Salib Putih Salatiga, hari berikutnya saya putuskan untuk ziarah menuju pusara dua dermawan berbeda kebangsaan sekaligus pendiri Salib Putih yakni Adolf Theodorus Jacobus van Emmerik dan Alice Cleverly. “Oh,...

The post Sepenggal Kisah dari Lawatan ke Pendiri Salib Putih Salatiga appeared first on TelusuRI.

]]>
Tempo hari setelah seharian singgah ke Salib Putih Salatiga, hari berikutnya saya putuskan untuk ziarah menuju pusara dua dermawan berbeda kebangsaan sekaligus pendiri Salib Putih yakni Adolf Theodorus Jacobus van Emmerik dan Alice Cleverly.

“Oh, makam Emmerik di tengah kebun kopi, Mas! Lurus sama gereja.”

Dengan mengandalkan GPS (Gunakan Penduduk Setempat), saya memberanikan diri berangkat menuju makam Emmerik. Hanya ada satu jalan menuju ke sini, yakni melalui perkebunan kopi milik PTPN Banaran.

Jalan menembus hutan
Jalan menuju makam keluarga Van Emmerik/Ibnu Rustamadji

Pintu Masuk Pusara Emmerik dan Alice Cleverly

Dari jalan utama Salatiga–Kopeng, ke arah makam lewat jalan tanah, kanan dan kirinya terhampar perkebunan kopi. “Asli kebun kopi. Ceri merah atau biji kopi matang siap panen,” gumam saya ketika menapaki jalan menuju makam.

Perjalanan membutuhkan waktu kurang lebih 20 menit, dengan mengendarai motor dari jalan raya. Setibanya di sana, saya kaget bukan kepalang karena saya kira hanya ada dua makam, ternyata tiga!

Berbekal informasi dari Hans Boers, seorang rekan pemerhati makam Belanda di Indonesia, saya mendapatkan cerita di balik keluarga Emmerik.

Adolf Theodorous Jacobus van Emmerik, kelahiran Jacob van Campenstraat 40 Amsterdam tanggal 2 September 1857. Ia merupakan anak dari Jan. Jacobus van Emmerik dan Elisabeth Getruida van Schie. Adolf Th. Jacobus van Emmerik, dikenal sebagai pemimpin “Bala Keselamatan” Salib Putih Salatiga. 

Di Salatiga, ia memiliki dua orang istri. Istri pertama bernama, Charlotta Elisabeth Louise Zeijdel. Mereka menikah pada tanggal 4 April 1888, namun pernikahannya tidak berlangsung lama. Sang istri wafat, enam bulan kemudian tepatnya tanggal 11 Oktober 1888.

Istri kedua bernama, Alice Cornelia Cleverly dinikahi pada tanggal 21 November 1897 di Semarang. Alice Cleverly kelahiran Weistraat No. 87 Bis. London, anak dari Harij Cleverleij dan Sarah Moseij.

Pasca pernikahannya, Alice Cleverly menjadi ajudan Emmerik di “Bala Keselamatan” Salib Putih Salatiga. Menurut Han Boers, mereka tidak bekerja sendirian. Ada beberapa organisasi masyarakat yang membantunya, beberapa di antaranya Vereeniging Oost en West, Vrouwencomité Batavia, dan Assistant Vereeniging Deli. Tidak hanya tenaga, mereka membantu Emmerik dari sisi finansial dan ketrampilan, terutama dari Vrouwencommite Batavia.

“Mereka [Vrouwencommite] membantu memberikan keterampilan untuk para perempuan. Ya, namanya saja vrouw punya artinya nona atau nyonyah, bisa juga ibu,” lanjutnya.

Selain organisasi yang saya sebut sebelumnya, Emmerik dan Cleverly juga mendapatkan dukungan dari Pa van der Steur dan beberapa anggota Vrijmetselarij Magelang. ”Tahu kan tokoh kemanusiaan dari Magelang, Pa van der Steur, dan perannya mengurus anak asuhnya? Bayangkan kalau Salib Putih sampai saat ini bekerjasama dengan organisasi milik Pa van der Steur. Tentu akan sangat bermanfaat untuk anak-anak kurang mampu.”

Emmerik wafat pada 9 Juli 1924, pukul empat sore. Menurut catatan sejarah milik Hans Boers, upacara pemakaman Emmerik dipimpin oleh Dr. Kamp. Nyanyian pujian oleh anak-anak Sekolah Dasar Kristen Pribumi Tingkir, anak didik Emmerik, dan tiga anak asuh Pa van der Steur mengawali prosesi pemakaman. Cleverly kemudian memberikan sambutan dan ucapan terima kasih sebelum akhirnya upacara selesai pukul enam sore.

  • Cungkup makam
  • Makam Kristen
  • Pohon kopi

Sepeninggal Emmerik, Cleverly meneruskan pelayanan. Misi berikutnya selain mengurus anak-anak kurang mampu yakni mendirikan beberapa sarana pendukung upaya penyelamatan.

“Beberapa misi Cleverly yakni mendirikan Nieuwe Keuken, Nieuwe Ziekenhuis, Nieuwe Rijstschuur, Nieuwe Werkloods voor Rijst-Stampen, dan memperluas ajaran Kristen bagian dari misi Zending di Jawa Tengah,” jelas Hans Boers.

Tahun 1930, pemerintah kerajaan Belanda menganugerahi Alice Cleverly dengan “Orde van de Nederlandse Leuw, graad Zilver” dan “Orde Oranje-Nassau, Rider”. 

“Luar biasa mereka berdua itu, Mas,” lanjutnya.

“Siapa Louise Cleverly, apakah anaknya?” tanya saya pada Hans.

“Bukan, Louise Cleverly [yang dimakamkan di sini] merupakan adik dari Alice Cleverly. Ia datang di Salatiga tahun 1903, untuk membantu para ibu di Salib Putih. Louise Cleverly wafat pada tanggal 26 Juli 1942.

Simbol Keabadian Cinta

Alice Cleverly wafat 5 bulan kemudian setelah sang adik, yakni pada tanggal 20 Desember 1942. Ketiganya dikubur berdampingan di rumah mereka Salib Putih Salatiga. Yang menjadikan menarik, makam keluarga van Emmerik ini adalah inskripsi menyentuh di salah satu nisanya.

“… Di mana Engkau Bermalam, 

Disitu Jugalah Aku Bermalam.

Bangsamulah Bangsaku.

Kamu adalah Aku, dan

Aku adalah Kamu.

Di mana Engkau Mati

Akupun  Mati Disana, dan 

Di sanalah Aku Dikuburkan Dengan Engkau…”

Inskripsi ini terpahat di nisan Alice Cleverly, tepatnya di atas sebuah pahatan berbentuk buku yang terbuat dari batu andesit. Simbol kasih sayang dua orang dermawan di Salatiga ini menurut saya meski sederhana, namun memiliki makna yang dalam.

Nisan Makam
Nisan Keluarga Van Emmerik dan Alice Cleverly/Ibnu Rustamadji

Pada waktu-waktu tertentu makam Emmerik diziarahi, kemungkinan oleh pengelola Yayasan dan anak-anak panti asuhan Salib Putih.

Langit Salib Putih mulai berubah warna kuning keemasan, tidak saya sadari sudah sore sekitar pukul setengah lima lebih. Masih sore, tapi karena berada di tengah kebun kopi, saya putuskan untuk menyudahi ziarah.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Sepenggal Kisah dari Lawatan ke Pendiri Salib Putih Salatiga appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kisah-dari-lawatan-ke-makam-pendiri-salib-putih-salatiga/feed/ 0 36272
Dark Tourism: Apa, Mengapa, dan Bagaimana https://telusuri.id/dark-tourism-apa-mengapa-dan-bagaimana/ https://telusuri.id/dark-tourism-apa-mengapa-dan-bagaimana/#respond Fri, 25 Nov 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=34952 Dark Tourism: Apa, Mengapa, dan Bagaimana Sebagai salah satu bentuk pariwisata, pariwisata kelam atau dark tourism menawarkan pengalaman yang berbeda dibanding wisata sejarah biasa. Ada tragedi, air mata, dan darah dari masa lalu untuk dipelajari,...

The post Dark Tourism: Apa, Mengapa, dan Bagaimana appeared first on TelusuRI.

]]>
Dark Tourism: Apa, Mengapa, dan Bagaimana

Sebagai salah satu bentuk pariwisata, pariwisata kelam atau dark tourism menawarkan pengalaman yang berbeda dibanding wisata sejarah biasa. Ada tragedi, air mata, dan darah dari masa lalu untuk dipelajari, direnungkan, dan dipahami.

Dari tragedi sejarah yang saya pelajari di bangku sekolah, akhirnya saya menjejakkan diri ke Lubang Buaya, sebuah tempat di Jakarta Timur yang sarat dengan sejarah G30S/PKI. Bagaimana kawasan Lubang Buaya menjadi peristirahatan terakhir para pahlawan revolusi yang kematiannya memilukan. Di museumnya, saya melihat rentetan diorama peristiwa pada malam kejadian, ditambah dengan koleksi bekas pakaian para pahlawan revolusi yang masih menyisakan noda darah, bekas peluru, juga sobekan akibat penyiksaan. Di depan patung tujuh pahlawan revolusi yang menghadap langsung ke sumur tempat kejadian, saya termenung.

Apa yang saya kunjungi ketika berada di Lubang Buaya merupakan sebuah pengalaman menelusuri sejarah kelam bangsa kita. Ada aroma kengerian dan ketakutan ketika menyaksikan peristiwa tersebut dari tempat kejadian aslinya. Pengalaman yang saya lihat dan saya rasakan ini dalam istilah pariwisata modern disebut juga sebagai wisata kelam atau dark tourism.

Upacara Rambu Solo
Sejumlah warga mengarak jenazah dalam upacara adat pemakaman Rambu Solo di Sa’dan To’Barana, Rantepao, Toraja Utara, Sulawesi Selatan, 27 Juni 2017. Ritual Ma’pasonglo merupkan ritual arak-arakan jenazah dari Tongkonan (rumah adat Toraja) ke Lakkian (tempat persemayaman jenazah) yang masih dalam rangkain upacara adat pemakaman Rambu Solo(TEMPO/Frannoto)

Istilah dark tourism muncul untuk memberikan definisi berbeda pada kunjungan ke tempat-tempat yang memicu perasaan takut, sedih, tidak nyaman akibat dari suatu peristiwa yang menyeramkan (pembantaian, kematian masal, bencana alam, dan sebagainya). Dalam sebuah buku berjudul Thanatourism: Witnessing Difficult Pasts istilah dark tourism juga disebut thanatourism yang secara definisi kurang lebih menjelaskan perjalanan jangka panjang dengan berbagai motivasi untuk melihat kematian dan penderitaan. Istilah ini populer dalam dua dekade terakhir, dimulai dari Dark Tourism karya Lennon dan Foley, Dissonant Heritage oleh Tunbridge dan Ashworth, Horror and Human Tragedy Revisited, dan The Dark Side of Travel  karya Sharpley dan Stone. Dark tourism sendiri masih menurut Lennon dan Foley adalah buah dari masyarakat modern yang menginginkan semuanya bisa dijual dan dikonsumsi. 

Kita tidak bisa menaifkan diri bahwa dari pariwisata ada pundi-pundi uang yang dihasilkan sehingga negara mendorong jauh pemanfaatan suatu tempat untuk menjadi tempat wisata. Termasuk diantaranya adalah wisata kelam, yang mana wisata kelam dikategorikan oleh Lennon ke dalam 7 bentuk antara lain: dark fun factories, dark exhibitions, dark dungeons, dark shrines, dark conflict sites, dark resting places, dan dark camps of genocide.

Tidak bisa dipungkiri, setiap tempat pasti memiliki banyak kisah untuk diceritakan, termasuk perkara kejadian menyedihkan dan membuat bulu roma berdiri. Sejarah tidak mengenal apakah itu peristiwa memilukan atau menyenangkan, sejarah akan tetap mencatat setiap peristiwa untuk kemudian diwartakan pada masa mendatang. Bagaimana bisa kita menghilangkan peristiwa sejarah yang kelam di suatu tempat, padahal nilai pembelajarannya ada di situ? 

Selalu ada yang tertarik dari segmen kelam dari sebuah tempat. Dalam Dark Tourism: Practice and Interpretation menuliskan, bahwa ketika dark tourism ditambahkan sebagai salah satu bentuk pariwisata, ada perkembangan yang secara potensi dapat membawa turis jenis baru–yang memiliki perhatian besar pada kelemahan dan kegagalan umat manusia.

Berdasarkan penelitian yang berjudul Dark tourism in South East Asia: Are Young Asian Travelers up for It? Mereka  melakukan penelitian kepada para wisatawan asal Asia Tenggara tentang apa yang menarik minat mereka untuk mengunjungi spot wisata kelam. Perhatian besar tercipta karena beberapa faktor: ketertarikan akan sejarah, ingin merasakan atmosfer yang membuat bulu kuduk merinding, ada ketertarikan terhadap budaya, nilai pendidikan, sebagai pengingat akan kejadian lampau, sebagai arena uji nyali, ingin melihat situs secara langsung, melihat atau mendengar peristiwa kematian yang telah lalu.

Namun, apakah dark tourism cukup etis untuk dipertontonkan dan dijadikan komoditi wisata?

Keetisan Dark Tourism sebagai Sarana Wisata

Ada banyak pro dan kontra yang menyelimuti dark tourism sebagai ajang pariwisata. Di satu sisi dark tourism mendatangkan keuntungan dari penyelenggaraanya seperti ekonomi, pendidikan, budaya, dan sejarah. Di sisi lainnya, dark tourism mengindahkan tragedi yang terjadi dan mempertontonkan kengerian dan sisi kelam suatu tempat, yang tentu berkaitan pada perasaan seseorang yang memiliki keterikatan akan tempat tersebut.

Pendapat dari Lennon dan Hooper bahwa dark tourism perlu diidentifikasi lebih jauh oleh akademisi dan pelaku industri soal menanggapi masalah etika yang muncul dalam manajemen dan pemasaran, perlu diskusi lebih lanjut bagaimana dark tourism dapat dimanfaatkan secara ekonomi dengan tidak terlalu mengeksploitasi trauma pada situs tersebut. 

Sharpley dan Stone dalam The Darker Side of Travel, dark tourism memberikan banyak pertanyaan mengenai definisi, namun menurut mereka, ada semakin banyak bukti kenaikan supply dan demand dan akhirnya mendeskripsikan studi mengenai wisata kelam ini sebagai ‘penting dan dapat dibenarkan’. Namun, Stone juga mengingatkan perlu pertimbangan lebih lanjut dan kehati-hatian dalam pemanfaatan situs dark tourism, karena hal ini tidak hanya melibatkan orang-orang yang masih hidup, tetapi juga untuk orang-orang yang telah tiada.

Kuburan Tebing Batu
Wisatawan asing mengambil gambar Tau-tau, patung boneka dari orang yang dikuburkan di tebing batu di kompleks kuburan tebing batu bangsawan suku Toraja di Suaya, Kecamatan Sanggala, Tana Toraja, Sulawesi Selatan, Selasa, 27 September 2016. Di kompleks kuburan tebing batu ini, Puang Sangalla yang merupakan raja pertama Tana Toraja dimakamkan.(TEMPO/Sakti Karuru)

Sedangkan Lovelock pada The Moralization of Flying: Cocktails in Seat 33G, Famine and Pestilence menyatakan bahwa dalam pariwisata ada agensi moral yang dikaburkan oleh konteks neoliberal yang menyajikan struktur di mana perilaku tak bermoral diharapkan muncul dan dihargai. Yang mana, berdasarkan pernyataan ini, Korstanje & George dalam Virtual Traumascapes and Exploring The Roots of Dark Tourism, sepakat bahwa dark tourism adalah hasil korespondensi antara dispositif neoliberal dalam sektor pariwisata.

Pemanfaatan situs wisata kelam tidak dapat dicegah karena pertumbuhan masyarakat modern yang semakin haus akan relaksasi dan pembelajaran. Standar moral bisa jadi berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Yang perlu diperhatikan dalam pro dan kontra mengenai adanya wisata kelam ini adalah kembali lagi pada niat kunjungan. Apabila ada penyelenggaraan wisata model ini, tentu sebelumnya ada kesepakatan oleh berbagai pihak. Terkait norma ketika berkunjung, gunakanlah sesuai standar yang berlaku universal (tidak merusak, tidak berbuat yang dilarang, patuhi semua aturan yang berlaku).

Dark Tourism di Indonesia

Dalam konteks besarnya, menemukan spot wisata kelam di Indonesia tidaklah susah. Penggolongan wisata kelam memang tidak umum dikenal, tapi barangkali sebagian besar dari kita sudah pernah mengunjunginya. Ide wisata kelam di Indonesia tidak sepenuhnya berangkat dari penyajian tempat-tempat menyeramkan sebagai atraksi utama, melainkan lebih menonjolkan sisi sejarah dan budaya yang ada di berbagai belahan Indonesia.

Coba kita tengok, beberapa atraksi wisata yang menampilkan kuburan/makam yang ada di Desa Trunyan, Batu Lemo, dan Passiliran. Kesemuanya menampilkan kuburan sebagai atraksi utama, namun yang lebih disorot adalah bagaimana Bali dan Tana Toraja mempunyai penghormatan yang unik pada orang yang telah meninggal. 

Atraksi wisata yang masuk dalam wisata kelam dengan konteks sejarah diantaranya ada Museum Lubang Buaya, Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda, Makam Juang Mandor, dan masih banyak lagi. Meskipun nuansa pembantaian dan juga kesedihan terasa ketika mengunjungi tempat-tempat di atas, tapi tempat-tempat tersebut lebih memiliki nilai jual sejarah yang tinggi dibanding nilai seramnya yang hanya menjadi pemanis saja.

Ada lagi tempat wisata yang dibangun sebagai peringatan untuk mengenang kejadian bencana  yang terjadi di negara kita. Semisal Museum Tsunami Aceh sebagai bentuk memoar bencana tsunami Aceh yang sempat menghebohkan dunia pada 2004, Bunker Kaliadem yang dibuat pada awalnya sebagai tempat untuk menyelamatkan diri, Monumen Bom Bali untuk mengenang korban-korban yang berjatuhan dari peristiwa Bom Bali, dan lain sebagainya. Selain sebagai pengingat, spot-spot tersebut dibangun untuk menandai peristiwa getir yang kedepannya harus ada antisipasi supaya tidak terulang.

Di beberapa tempat wisata populer seperti Lawang Sewu dan Kota Tua Jakarta juga menyimpan sejarah kelam dengan cerita penjara dan tempat eksekusi para tahanan masa kolonial, tetapi seringkali wisata kelamnya tidak banyak terekspos dibanding dengan arsitektur kolonialnya.

Bagaimana Seharusnya Pemanfaatan Situs Kelam

Hal yang paling sakral dalam mengidentifikasi suatu situs adalah harus melihat keletakkan situs tersebut pada lingkup tempat berdirinya. Semisal, apakah dia masih memiliki arti atau terbengkalai bagi masyarakat sekitar. Wajib hukumnya bagi pemangku kebijakan untuk memperhatikan dampak jangka panjang pariwisata pada masyarakat setempat. Apakah dengan adanya pariwisata khususnya yang merujuk pada wisata kelam akan memperburuk stigma tempat tersebut dengan anggapan ‘angker’, ‘mistis’, ‘horor’ sehingga nanti akan memunculkan narasi baru yang mungkin berimbas buruk pada tempat tersebut (dihancurkan/dirusak).

Ritual adat Ma'nene
Keluarga menyaksikan jenazah leluhur yang telah selesai dibersihkan dalam ritual adat Ma’nene di Kecamatan Panggala, Toraja Utara, Sulawesi Selatan, 26 Agustus 2017. Ritual Ma’nene merupakan tradisi mengganti pakaian jenazah para leluhur sebagai rasa cinta dari keluarga yang masih hidup. (TEMPO/Sakti Karuru)

Hal yang perlu diperhatikan selanjutnya adalah branding narasi yang digunakan untuk tidak lebih menonjolkan sisi mistis/horor dibandingkan konteks tempat tersebut (semisal budaya, sejarah, ritus agama, dan sebagainya) karena branding tempat tersebut akan mempengaruhi cara pandang masyarakat terhadap tempat wisata yang sebenarnya mengandung lebih banyak pembelajaran dibanding mitos. Semisal Gua Jepang di Bandung lebih terkenal dengan mitos “lada” daripada sebagai tempat barak tentara dan kerja romusha. Pendapat ini juga diutarakan oleh Muhammad Saddam dalam artikel sebelumnya sebagai bentuk kegelisahannya akan penurunan nilai suatu situs karena terdegradasi nilai horor.

Selebihnya, hal-hal lainnya yang perlu diperhatikan selayaknya sebuah tempat wisata adalah bagaimana memberdayakan masyarakat sekitar agar tidak menjadi penonton di rumah sendiri, pembangunan yang memperhatikan lingkungan agar tidak terjadi pemanfaatan yang berlebihan, dan tidak mengubah bentuk asli suatu benda cagar budaya agar tidak menghilangkan keotentikan dari benda tersebut.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Dark Tourism: Apa, Mengapa, dan Bagaimana appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/dark-tourism-apa-mengapa-dan-bagaimana/feed/ 0 34952
Babah Kuya Legendaris dan De Zon yang Nyaris Rata dengan Tanah https://telusuri.id/babah-kuya-legendaris-dan-de-zon-yang-nyaris-rata-dengan-tanah/ https://telusuri.id/babah-kuya-legendaris-dan-de-zon-yang-nyaris-rata-dengan-tanah/#respond Wed, 26 Oct 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=35316 Hari masih sangat pagi. Lalu-lintas masih lengang. Cuaca masih adem. Aku berada di seberang Hotel Surabaya, Jalan Kebon Jati, Bandung. Seorang pencari barang rongsokan melintas bersama gerobaknya di depanku. Ia berjalan melawan arus ke arah...

The post Babah Kuya Legendaris dan De Zon yang Nyaris Rata dengan Tanah appeared first on TelusuRI.

]]>
Hari masih sangat pagi. Lalu-lintas masih lengang. Cuaca masih adem. Aku berada di seberang Hotel Surabaya, Jalan Kebon Jati, Bandung. Seorang pencari barang rongsokan melintas bersama gerobaknya di depanku. Ia berjalan melawan arus ke arah barat.

Jalan Kebonjati melintang dari barat ke timur. Arus lalu lintas di jalan ini berlaku satu arah. Selain sejumlah penginapan, di Jalan Kebon Jati terdapat pula rumah sakit, rumah ibadah, rumah duka, sekolah, beragam jenis kedai makan, bengkel maupun toko-toko.

Aku langkahkan kaki perlahan menyusuri Jalan Kebon Jati hingga akhirnya aku bersua Jalan Suniaraja, di mana terdapat Terminal Stasiun Hall. Kulihat seorang polisi yang berjaga sedang menggeser-geser beton pembatas jalan ke tepi jalan.

Jalan Kebon Jati, Kota Bandung
Jalan Kebon Jati, Kota Bandung/Djoko Subinarto

Di depan terminal, lima kendaraan Elf jurusan Bandung–Panjalu terparkir. Di depan Elf, sebuah angkot hijau muda jurusan Stasiun Hall–Gede Bage berhenti, mencari sejumlah muatan.

Aku menyeberang dan belok ke Jalan Pasar Barat. Di mulut jalan, sebelah kanan dari posisiku berjalan, seorang pria penjual buah-buahan, berkaus oblong putih dan bercelana gelap, tengah menata jongko-nya. Pagi itu ia telah bersiap-siap membuka jongkonya. Sementara itu, jongko-jongko lain masih terlihat tutup. 

Aku susuri Jalan Pasar Barat hingga aku berada di depan Babah Kuya, toko herbal nan legendaris yang sampai sekarang ini masih berdiri kokoh di Kota Bandung.

Toko herbal ini sudah beroperasi sejak tahun 1800-an. Pendirinya yaitu Tan Shio, yang oleh warga sekitar kala itu dijuluki Babah Kuya. Ada dua bangunan toko milik Babah Kuya. Satu menghadap ke timur, di Jalan Pasar Barat. Satunya lagi menghadap ke utara, di pojokan antara Jalan Pasar Barat dan Pasar Selatan. Saban hari, Toko Babah Kuya tak pernah sepi pembeli. Aneka ramuan herbal tersedia di sini. Aku sendiri pernah beberapa kali membeli daun sembung dan daun sirsak di Babah Kuya, guna membuat ramuan herbal untuk ibuku.

Toko Jamu Babah Kuya Bandung
Toko Babah Kuya yang menjual obat herbal tradisional/Djoko Subinarto

Pagi itu, kedua Toko Babah Kuya masih tutup. Sebuah mobil putih terparkir di depan toko. Di seberangnya, seorang pengemudi ojek daring tengah menunggu order.

Aku terus melangkah. Dari Jalan Pasar Barat masuk ke Jalan Pasar Selatan. Kemudian, menyeberang Jalan Otto Iskandardinata dan masuk ke Jalan Pecinan Lama hingga ujung, dan akhirnya bersua dengan Jalan Banceuy. 

Jalan Banceuy sekarang lebih terkenal sebagai sentra onderdil mobil. Deretan toko maupun jongko yang menjual onderdil mobil, baik yang seken maupun yang anyar, berdiri sepanjang Jalan Banceuy. Dulu, di Banceuy ini pernah berdiri sebuah lembaga pemasyarakatan (LP). Presiden pertama Indonesia, Soekarno, pernah dijebloskan ke LP Banceuy oleh pemerintah kolonial Belanda. Sejak tahun 1983, LP di Banceuy itu beralih tempat ke Jalan Soekarno–Hatta. 

Khusus bagi para pecinta dan penikmat kopi, Jalan Banceuy boleh jadi memiliki tempat tersendiri di hati mereka. Pasalnya, di salah satu sudut Jalan Banceuy dan Jalan Pecinan Lama, berdiri pabrik dan toko kopi yang masyhur. Namanya Aroma. Pabrik dan toko kopi ini telah ada sejak tahun 1930-an. Dua jenis kopi tersedia di sini, robusta dan arabika. Antrean pembeli selalu terlihat di Aroma pada hari-hari kerja, saat toko melayani konsumen dari pagi hingga petang.

Dari pertemuan Jalan Banceuy dan Pecinan Lama, aku bergerak ke selatan. Tak terlalu lama, aku sampai ke Kantor Pos Besar Bandung, yang menghadap ke Jalan Asia–Afrika. Gedung Kantor Pos Besar Bandung dibangun pada tahun 1928 oleh J Ven Gendt, arsitek yang juga membangun Stasiun KA Manggarai. Di masa kolonial Belanda, Kota Bandung merupakan pusat pelayanan pos pemerintahan Hindia Belanda. 

Dulu, di depan Kantor Pos Besar Bandung berjejer penjual yang menawarkan aneka keperluan surat-menyurat dan alat-tulis. Saban menjelang Hari Raya Lebaran, para penjual itu selalu menyediakan kartu Lebaran aneka jenis dan ukuran. Di masa lalu pula, saban menjelang Lebaran, aku belanja kartu Lebaran di depan Kantor Pos Besar Bandung ini.

Kini, di era serba digital, nyaris tak ada lagi orang yang berkirim kartu lebaran. Ucapan selamat lebaran lebih lazim dilakukan via pesan instan dengan memanfaatkan akses internet. Lebih cepat, lebih praktis. Beda sekali dengan kartu lebaran. Setelah membeli kartu, kita harus menulis dan menandatangani, memasukkan ke dalam amplop, menempelkan perangko dan menuliskan alamat si penerima, serta mengirimkannya—sebelum kemudian sampai ke alamat yang dituju.

Tak begitu jauh dari Kantor Pos Besar Bandung, ke sebelah barat, berdiri deretan toko. Di antara deretan toko itu, ada bangunan yang hanya tinggal struktur bagian depannya saja. Di bagian atasnya tertulis: De Zon NV. 

  • Gedung Dezon NV
  • Gedung Kantor Pos Besar Kota Bandung

Merujuk data cagar budaya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung, Gedung Dezon NV berdiri sekitar tahun 1925 dan kini telah menjadi salah satu bangunan pusaka Kota Bandung. Gedung ini bergaya art deco. Dulu, gedung ini adalah pertokoan besar di Kota Bandung. Pemiliknya merupakan seorang warga negara Jepang.

Sayang, sekarang gedung ini sudah tidak utuh sama sekali. Bagian dalamnya sudah benar-benar rata dengan tanah. Di dinding atas bagian depan gedung ini, terpasang banner kecil. Tertulis di banner itu: Proyek Whiz Prime Hotel Asia–Afrika Bandung.

Dari depan gedung De Zon NV, aku berjalan menyusuri trotoar ke arah barat. Sepanjang pagi itu, aku belum sarapan. Aku ingat ada tukang bubur ayam yang biasa mangkal di Jalan Jenderal Sudirman, dan punya banyak pelanggan. Aku menuju ke sana. 
Sembari berjalan, aku membayangkan betapa sedapnya menikmati bubur ayam hangat-hangat berkuah kuning kental, dengan taburan kedelai, brambang goreng, serta irisan seledri, dan bawang daun segar, di pagi nan cerah itu.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Babah Kuya Legendaris dan De Zon yang Nyaris Rata dengan Tanah appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/babah-kuya-legendaris-dan-de-zon-yang-nyaris-rata-dengan-tanah/feed/ 0 35316