sekolah telusuri Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/sekolah-telusuri/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 04 Jul 2023 09:34:24 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 sekolah telusuri Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/sekolah-telusuri/ 32 32 135956295 Sekolah TelusuRI: Menjadi Creative Storyteller bersama Anggertimur https://telusuri.id/sekolah-telusuri-menjadi-creative-storyteller-bersama-anggertimur/ https://telusuri.id/sekolah-telusuri-menjadi-creative-storyteller-bersama-anggertimur/#respond Sat, 01 Jul 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39179 Saat ini penggunaan media sosial untuk menyampaikan sebuah berita dan cerita sudah biasa dilakukan oleh banyak orang. Seringkali masyarakat lebih memilih untuk mendapatkan informasi dan mempelajari suatu isu melalui visual fotografi. Namun, untuk bisa membuat...

The post Sekolah TelusuRI: Menjadi Creative Storyteller bersama Anggertimur appeared first on TelusuRI.

]]>
Saat ini penggunaan media sosial untuk menyampaikan sebuah berita dan cerita sudah biasa dilakukan oleh banyak orang. Seringkali masyarakat lebih memilih untuk mendapatkan informasi dan mempelajari suatu isu melalui visual fotografi. Namun, untuk bisa membuat photo story yang baik dan menarik, butuh kemampuan yang cakap dalam mengamati objek, memahami cerita, berdialog dengan subjek dan menuangkannya ke dalam bentuk visual serta tulisan.

Oleh karena itu, TelusuRI mengadakan “Sekolah TelusuRI: Menjadi Creative Storytellersecara daring, Sabtu, 17 Juni 2023,  sebagai wadah untuk belajar bagaimana menafsirkan visual, menuliskan pengamatan serta pengalaman pada setiap perjalanan. Narasumber dalam kelas ini adalah Anggertimur Lanang Tinarbuko, seorang creative storyteller yang berbasis di Yogyakarta. Adapun Novrisa Briliantina dari TelusuRI menjadi moderator acara. Peserta yang hadir dalam webinar berdurasi 1 jam 30 menit itu mencapai 45 orang yang berasal dari latar belakang dan daerah berbeda-beda.

Sekolah TelusuRI kali ini merupakan bagian dari “Perjalanan Lestari”. Sebuah program inisiasi TelusuRI yang bertujuan meningkatkan blue carbon dan membantu menghambat peningkatan panas bumi. Setiap registrasi dari peserta berarti telah memberikan kontribusi berupa donasi pohon mangrove untuk pesisir Bedono, Demak, Jawa Tengah.

Langkah Awal Menjadi Creative Storyteller

Usai memperkenalkan diri dan portofolio yang sangat menarik, Angger, sapaan akrabnya, langsung tancap gas. Alumni Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta itu menegaskan seorang pencerita kreatif harus menguasai sejumlah keterampilan fundamental. Ia menyebut ada empat aspek dasar, yaitu membaca, menulis, media, dan storytelling. Seluruh keterampilan tersebut berawal dari kemauan mengumpulkan bahan dengan baik (riset).

Karena fokus kelas kali ini tentang cara membuat cerita foto (photo story), Angger memberi beberapa contoh karyanya. Salah satunya adalah photo story bertema Bali dengan judul “Mengeja Tanah Dewata”. Sebagai orang dari luar Bali—Angger tinggal di Yogyakarta—ia memandang penting untuk riset terlebih dahulu sebelum membuat karya. Tujuannya adalah menghindari kesalahan persepsi dan data seputar tema yang akan digali. Biasanya Angger mengandalkan jaringan pertemanan lokal yang ia miliki, serta mempelajari bahasa setempat untuk bumbu komunikasi.

Sekolah TelusuRI: Menjadi Creative Storyteller bersama Anggertimur
Seorang pencerita kreatif harus mau riset dan menggali banyak bahan untuk ceritanya/Anggertimur

Selain riset, menurut Angger, harus berpikir pula cara pendekatan dengan sumber-sumber cerita. Interaksi yang sopan dan luwes akan memudahkan pembuat karya mendapatkan cerita. Lebih gampang saat memotret, sehingga hasilnya sesuai dengan rencana dan kemauan. Pun, agar tidak terjadi pengulangan, penting untuk fokus dan taat pada angle atau sudut pandang cerita yang akan diangkat.

Selanjutnya, tak kalah penting untuk teliti dan detail pada hal-hal teknis. Misalnya, urusan editing, yang mencakup pengaturan warna foto, tata letak publikasi (tergantung kebutuhan media tujuan), hingga memilih foto yang menjadi sampul untuk memikat audience atau pengikut media sosial. Terakhir, memmbuat narasi atau menuliskannya sebagai pengiring cerita.

Angger mengingatkan, fotografi tidak hanya sekadar memerhatikan visual atau estetika semata. “Bukan perkara cerita yang kompleks serta visual yang memesona, tetapi bagaimana menghadirkan cerita yang dekat dan dapat dirasakan pembacanya,” kata mantan jurnalis Kompas dan The Jakarta Post itu.

Aspek-aspek Penting dalam Visual Storytelling

Dalam visual storytelling, terdapat beberapa hal penting yang harus menjadi pagar saat berkarya. Menurut Angger, setidaknya seorang creative storyteller mesti mempertimbangkan lima faktor, yaitu alasan membuat karya, profil atau segmentasi audience, media yang digunakan, angle atau sudut pandang, dan dampak yang mungkin timbul.

Melalui visual storytelling, seorang pencerita bisa menyampaikan pesan bermakna filosofis dalam foto-fotonya. Angger coba mencontohkan dengan menampilkan sebuah foto menarik. Di foto tersebut, tampak dua pria dan seorang perempuan berpakaian adat khas Bali, melakukan ritual Melasti di pesisir salah satu pantai di Pulau Dewata. Prosesi ini berlangsung sebelum Nyepi. Kontras dengan umat Hindu tersebut, ada satu anak kecil tertangkap lensa berlari ke arah si fotografer. Pesan yang ingin Angger sampaikan adalah segala hal yang jelek dalam diri dibuang ke laut, lalu berharap kembali suci atau bersih yang disimbolkan dengan anak tersebut.

  • Sekolah TelusuRI: Menjadi Creative Storyteller bersama Anggertimur
  • Sekolah TelusuRI: Menjadi Creative Storyteller bersama Anggertimur

Visual storytelling berarti menenun keterkaitan tanda-tanda yang terhimpun dalam sebuah narasi visual yang bercerita. Satu lagi yang tak kalah penting adalah relevansi tema cerita dengan audience. Orang umumnya akan tertarik pada kisah yang diangkat seorang creative storyteller, karena pernah, tengah, akan, atau ingin dialaminya. Contohnya, foto-foto tradisi cekok jamu ala Jawa. Beberapa pengikuti Angger di Instagram merasa memiliki keterikatan dan terlontar memorinya ke masa kecil. Dalam bahasa terkini: relate.

Topik cerita apa pun, dengan narasumber siapa pun, pasti bisa menjadi cerita menarik. Tidak perlu kamera mahal untuk merekamnya. Bagi Angger, kamera hanyalah instrumen semata. Bahkan handphone justru menjadi alat yang bisa jadi andalan karena ringkas dan tidak mencolok.

Namun, ia mengingatkan, “Hati-hati menggunakan handphone.” Pemakaian ponsel pintar untuk berkarya bisa mengangkat kita setinggi-tingginya, tetapi juga sekaligus mampu menjatuhkan kita sejatuh-jatuhnya. Intinya, bijak dalam memilah dan membuat narasi cerita, mengumpulkan gambar, sebelum mengunggahnya di media sosial.

Misi Promosi Kebudayaan Khas Nusantara

Dunia yang Angger geluti berawal dari sebuah keresahan. Ia gundah karena melihat banyak foto-foto karya orang mancanegara dengan subjek-objek khas nusantara, dan lokasi di Indonesia begitu menonjol di internet. Sementara beberapa orang di dalam negeri kadang menganggap negatif terhadap kearifan lokal di Indonesia. Bahkan dengan ekstrem ada yang menyebutnya syirik, dan lain sebagainya. Ia merasa harus berbuat sesuatu dan menjaga kelestarian budaya lokal tersebut.

Melalui creative visual storytelling, Angger “berkampanye” untuk misi mempromosikan dan melestarikan kebudayaan khas Nusantara. Prosesnya panjang, sampai ia menyadari bahwa kiprahnya berdampak positif. Menginspirasi banyak orang untuk membuat dan mengangkat karya dengan format serupa.

Sekolah TelusuRI: Menjadi Creative Storyteller bersama Anggertimur
Salah satu sesi tanya jawab dengan peserta/TelusuRI

Pemaparan materi dan pengalaman tentu mengundang banyak pertanyaan dari peserta. Salah satunya Kristian Patrasio. Peserta dari Bekasi tersebut melempar dua pertanyaan, yaitu tentang cara pendekatan Angger saat pergi ke suatu daerah untuk menggali cerita, serta proses berpikir yang ia lakukan dalam menentukan judul karya.

Menjawab pertanyaan pertama, Angger berbagi sejumlah tips. Dalam konteks profesional, biasanya ia mencari orang lokal yang bisa menjadi penerjemah dan membuka akses ke sumber cerita. Paling utama, katanya, minta izin untuk “masuk” dan jangan memaksakan diri jika tidak mendapatkan izin. Cara pendekatan yang bagus adalah melalui komunikasi dan ngobrol, syukur-syukur bisa bahasa daerah setempat. Kuncinya adalah membuka diri, membuka pertanyaan-pertanyaan yang relate satu sama lain sehingga bisa dekat dan terbuka akses untuk pendekatan berikutnya.

Sekolah TelusuRI: Menjadi Creative Storyteller bersama Anggertimur
Foto bersama secara virtual setelah kelas selesai/TelusuRI

Mengenai teknik membuat judul, Angger memang kerap menggunakan frasa-frasa tertentu dan kadang tidak umum. Tak familiar terdengar. Ia mempunyai tujuan sendiri, yakni untuk “menyetop” orang yang sedang berselancar di internet. Ia ingin menggeret audience di tengah banjirnya informasi dengan metode komunikasi yang unik, seperti memberi judul yang berima bahkan mungkin nyeleneh. Memancing rasa penasaran pengikutnya, sehingga mereka akan berhenti berselancar dan fokus membaca.

Sebagai penutup, ia memberi kiat klasik dalam berkarya. Terutama soal mempertahankan konsistensi memotret. Kuncinya, “Mulai dulu, lalu bikin kebiasaan yang sama secara terus-menerus.”


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Sekolah TelusuRI: Menjadi Creative Storyteller bersama Anggertimur appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sekolah-telusuri-menjadi-creative-storyteller-bersama-anggertimur/feed/ 0 39179
Sekolah TelusuRI: Menulis Refleksi Perjalanan bersama Rifqy Faiza Rahman https://telusuri.id/sekolah-telusuri-menulis-refleksi-perjalanan-bersama-rifqy-faiza-rahman/ https://telusuri.id/sekolah-telusuri-menulis-refleksi-perjalanan-bersama-rifqy-faiza-rahman/#respond Wed, 24 May 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=38774 Dewasa ini banyak kita temukan orang yang bepergian ke alam untuk healing, tetapi tidak semua orang menuliskan refleksi dari perjalanannya. Untuk bisa menuliskan refleksi selama perjalanan, perlu kemampuan yang cakap untuk mengamati, memahami, dan merangkai...

The post Sekolah TelusuRI: Menulis Refleksi Perjalanan bersama Rifqy Faiza Rahman appeared first on TelusuRI.

]]>
Dewasa ini banyak kita temukan orang yang bepergian ke alam untuk healing, tetapi tidak semua orang menuliskan refleksi dari perjalanannya. Untuk bisa menuliskan refleksi selama perjalanan, perlu kemampuan yang cakap untuk mengamati, memahami, dan merangkai refleksi pikiran yang ada dan menuangkannya ke dalam bentuk tulisan.

Oleh karena itu, TelusuRI menyelenggarakan “Sekolah TelusuRI: Menulis Refleksi Perjalanan” secara daring pada Sabtu, 13 Mei 2023, untuk belajar cara menuliskan refleksi perasaan, pengamatan, kajian, serta pengalaman pada setiap perjalanan. Narasumber dalam kelas ini adalah Rifqy Faiza Rahman, seorang travel writer, penulis buku SELÉSA: Di Balik Sekat-Sekat Perjalanan (2021) dan sejumlah antologi, serta kini menjadi content strategist di TelusuRI. 

Adapun yang menjadi moderator adalah M. Irsyad Saputra, seorang pejalan dan penulis yang berbasis di Banjarmasin. Peserta yang hadir dalam webinar berdurasi 1 jam 55 menit itu mencapai 49 orang yang berasal dari latar belakang dan daerah berbeda-beda.

Perjalanan sebagai Media Refleksi Diri

Sebagai pembuka, Rifqy menjabarkan beberapa tujuan penulisan cerita perjalanan. Selain sebagai sumber informasi, tulisan perjalanan dapat berfungsi dengan banyak tujuan. Antara lain sebagai konektivitas untuk membangun hubungan antara tempat yang jadi latar cerita penulis dengan pembaca, menumbuhkan ekspektasi pembaca, menjadi rujukan pengetahuan baru, sebagai media mengenal dan memahami diri sendiri, serta untuk merawat dan mengabadikan ingatan.

Tak hanya sebatas itu saja. Tulisan perjalanan juga bisa berfungsi pada tahap yang lebih tinggi, yaitu sebagai refleksi yang bersifat inspiratif dan spiritual, serta mampu mengubah pandangan maupun perspektif kemanusiaan. Dua manfaat ini yang menjadi tema besar seminar daring kali ini, bahwa betapa pentingnya menyuarakan refleksi diri dalam perjalanan seorang penulis.

Berbeda dengan tulisan perjalanan biasa yang bersifat panduan atau informasi dasar ala Wikipedia, tulisan refleksi perjalanan memiliki “nilai jual” lebih. Terdapat tiga alasan utama pentingnya menulis perjalanan reflektif, yaitu tak akan lekang oleh waktu, bisa menyentuh sisi personal pembaca maupun penulis itu sendiri, dan berpotensi memperbaiki jati diri atau perspektif seseorang terhadap kehidupan.

Ekspektasi dan Realitas dalam Refleksi Perjalanan

Di segmen berikutnya Rifqy menampilkan dua buah foto yang berlokasi sama, tetapi dengan kondisi cuaca yang berbeda. Foto tersebut menggambarkan kerumunan wisatawan di anjungan pandang Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, Jawa Timur. Mereka sama-sama menunggu momen matahari terbit. Bedanya, cuaca pada foto pertama sangat cerah dan pemandangan terlihat jelas, sedangkan foto kedua tertutup kabut tebal dan berawan.

Foto tersebut menjadi salah satu bahan tulisan Rifqy di blog pribadinya dengan judul Perjalanan: Ekspektasi dan Realita, pada 13 April 2016. Ia menulis karena terinspirasi dengan artikel Kanika Saxena di Travel Triangle, yang menampilkan belasan foto harapan dan kenyataan di tempat-tempat wisata populer dunia. Ia membandingkan kondisi destinasi terkenal itu saat sepi dan ramai. Mulai dari Tembok Besar China hingga Stonehenge. 

Beberapa situs berita daring lainnya bahkan menyebut media sosial, khususnya Instagram dan filter-filternya, menjadi biang kerok hancurnya bayangan eksotisme suatu tempat. Apa yang tertuang dalam konten—yang telah melewati proses penyuntingan—acap kali bertolak belakang dengan situasi sebenarnya.

Pada akhirnya berujung pada pariwisata massal yang bisa berdampak negatif pada lingkungan, keselamatan, dan kenyamanan. Akibatnya, menurut Rifqy, “Esensi perjalanan pun memudar.”

Melihat itu, Rifqy berpandangan bahwa meskipun sering terjadi gap, ekspektasi dan realitas akan tetap ada sebagai warna dalam perjalanan. Keadaan tersebut dapat menjadi refleksi penulis dalam tulisannya. 

Sebagai tips, Rifqy mengajak peserta kelas agar lebih menghargai proses dan menikmati perjalanan. “Turunkan ekspektasi serendah-rendahnya, lalu menerima realitas yang terjadi,” katanya.

Baginya menulis refleksi menuntut kita untuk mencari sudut pandang lain yang lebih menarik dan belum semua orang tahu. Senyampang begitu, penulis bisa menyisipkan nilai edukasi kepada pembaca dalam catatan refleksi perjalanannya.

Pertanyaan-pertanyaan dasar sebelum memulai perjalanan dan menuliskan refleksinya/TelusuRI
Pertanyaan-pertanyaan dasar sebelum memulai perjalanan dan menuliskan refleksinya/TelusuRI

Cara Mencari Refleksi Diri dalam Perjalanan

“Perjalanan memang menuntut untuk terus dan selalu bergerak,” kata Rifqy. Namun, dengan lebih menahan diri agar tidak terlalu terburu-buru dan meniatkan perjalanan sebagai media belajar, akan membuat perjalanan tersebut lebih bernilai. 

Sebelum menuangkan hasil perjalanan ke dalam tulisan, Rifqy meminta peserta untuk terlebih dahulu mengoptimalkan kesempatan perjalanan yang mereka alami. Sebagai panduan singkat, ia memberikan tips cara mencari refleksi diri dalam perjalanan:

  • Memaksimalkan pancaindra
    Buka lebar-lebar seluruh panca indra (mata, hidung, mulut, telinga, dan indra peraba) selama melakukan perjalanan. Melibatkan perasaan dan objektivitas bisa menumbuhkan empati pada apa atau siapa pun.
  • Interaksi-komunikasi
    Tanpa bermaksud menjadi terlalu terbuka, memberi kesempatan berhubungan dengan orang-orang yang ditemui dapat berpotensi menggali cerita yang lebih menarik.
  • Beri ruang keheningan
    Menepilah sejenak dari hiruk-pikuk “dunia” yang serba cepat. Luangkan waktu untuk melakukan perenungan, menguji pemikiran, dan mencari makna perjalanan.

Seperti halnya dalam teknik-teknik dasar menulis perjalanan, selain menerapkan metode jurnalistik 5W+1H untuk menggali cerita, segala hal yang diperoleh melalui reportase harus segera dicatat dalam buku catatan maupun aplikasi di gawai. Rifqy menegaskan, “Jangan terlalu mengandalkan ingatan, karena kita mudah lupa.”

Teknik dasar menulis perjalanan yang perlu diperhatikan/TelusuRI
Teknik dasar menulis perjalanan yang perlu diperhatikan/TelusuRI

Menurut Rifqy, yang paling penting dari kegiatan menulis refleksi perjalanan adalah, “Menuntut kita agar lebih berani menyampaikan keresahan, kebahagiaan, dan pemikiran sendiri saat melakukan perjalanan.”

Dalam pandangan penulis yang saat ini berdomisili di Magelang tersebut, sah-sah saja menuangkan unsur subjektivitas dalam tulisan, karena pandangan penulis tidak selalu bisa memuaskan setiap orang. Namun, setidaknya penulis telah menunjukkan pendirian dan keberpihakan dari perjalanan yang telah dilakukan.

Sesi Tanya Jawab

Sesi tanya jawab mengisi segmen terakhir dalam  “Sekolah TelusuRI: Menulis Refleksi Perjalanan”. Beberapa peserta antusias mengirim pertanyaan, baik melalui kolom chat maupun bertanya langsung kepada narasumber.

Seperti pertanyaan dari Achmad Wildan Achyar dari Malang. Ia kadang merasa bingung cara memulai pembicaraan dengan orang-orang yang dianggap narasumber—terutama di desa dengan budaya berbeda—padahal sudah tahu ingin menulis tentang apa.

Menurut Rifqy, pada dasarnya jangan sekali-kali melakukan perjalanan dalam keadaan kosong tanpa bekal apa pun. Sebelum berangkat, penulis harus melakukan riset pendahuluan. Data atau pertanyaan hasil observasi awal tersebut menjadi pegangan yang akan dikonfirmasi saat di lapangan. Di antaranya mencakup: siapa tokoh setempat yang bisa menjadi pendamping untuk menemui narasumber inti, topik apa yang ingin dibahas dan diangkat dalam tulisan, rute perjalanan, dan lain sebagainya. Dengan begitu perjalanan penulis akan lebih terarah.

Sesi foto bersama usai kelas/TelusuRI
Sesi foto bersama usai kelas/TelusuRI

Hal lain yang tak kalah penting adalah makna “tak lekang oleh waktu” dalam tulisan perjalanan, serta relevansi makna cerita dan waktu perjalanan. Seperti yang ditanyakan oleh Bu Adanta Afia Mirza. Peserta dari Depok tersebut memiliki pengalaman perjalanan di masa lalu, tetapi belum ia ceritakan. Ia masih ragu apakah cerita dan dokumentasinya saat itu masih relevan untuk saat ini, lalu apakah tetap perlu menuliskan hari, tanggal, bulan, dan tahun terjadinya perjalanan tersebut untuk memberitahukan konteks waktu.

Tanggapan Rifqy atas pertanyaan tersebut adalah sangat perlu, karena selain memenuhi kaidah “when” dalam prinsip jurnalistik, pembaca juga perlu tahu bahwa perjalanan tersebut memang sudah berlalu dan mungkin kondisi saat ini memiliki perbedaan. Maksud dari “tak lekang oleh waktu” adalah refleksi dan makna perjalanan penulis akan tetap relevan sebagai pelajaran pembaca dan penulis itu sendiri sampai kapan pun, terlepas masa perjalanan tersebut sudah terlewati cukup lama.

Masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan menarik dari peserta. Sebagian besar ingin memastikan keraguan tentang cara menulis perjalanan mereka, serta hal-hal mendasar seputar teknik menulis cerita perjalanan. Sebagai penutup, Rifqy mendorong peserta—baik yang baru memulai maupun sudah berpengalaman—untuk tetap terus menulis, menemukan gaya sendiri dalam menulis, dan menyampaikan pandangan-pandangan baru dalam tulisan refleksi perjalanan mereka. Tujuannya tidak lain agar ke depannya tercipta karya-karya cerita perjalanan yang berkualitas.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Sekolah TelusuRI: Menulis Refleksi Perjalanan bersama Rifqy Faiza Rahman appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sekolah-telusuri-menulis-refleksi-perjalanan-bersama-rifqy-faiza-rahman/feed/ 0 38774
Sekolah TelusuRI: Menulis Catatan Perjalanan bersama Fatris MF https://telusuri.id/sekolah-telusuri-menulis-catatan-perjalanan-bersama-fatris-mf/ https://telusuri.id/sekolah-telusuri-menulis-catatan-perjalanan-bersama-fatris-mf/#respond Mon, 02 Jan 2023 03:38:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36783 Semua orang melakukan perjalanan, semua orang bepergian, tetapi tidak semua orang melakukan pengamatan dan menuliskan perjalanannya. Untuk bisa menuliskan pengamatan selama perjalanan, dibutuhkan kemampuan yang cakap untuk merasa, meraba, dan merangkai sebuah imaji yang kita...

The post Sekolah TelusuRI: Menulis Catatan Perjalanan bersama Fatris MF appeared first on TelusuRI.

]]>
Semua orang melakukan perjalanan, semua orang bepergian, tetapi tidak semua orang melakukan pengamatan dan menuliskan perjalanannya. Untuk bisa menuliskan pengamatan selama perjalanan, dibutuhkan kemampuan yang cakap untuk merasa, meraba, dan merangkai sebuah imaji yang kita lihat dan menuangkannya ke dalam bentuk catatan perjalanan.

Sebagai salah satu media perjalanan yang memuat banyak catatan perjalanan, TelusuRI  mengadakan “Sekolah TelusuRI: Menulis Catatan Perjalanan” untuk belajar bagaimana menuliskan perasaan, pengamatan, kajian, serta pengalaman pada setiap perjalanan bersama Fatris MF, seorang penulis catatan perjalanan yang telah menelurkan berbagai macam buku seperti: Kabar dari Timur, Merobek Sumatera, Lara Tawa Nusantara, Banda Journal. Kegiatan ini berlangsung pada Sabtu (10/12/2022) dan berlangsung selama dua jam.

Dalam membuka materinya, Fatris menyebutkan ada dua tipe tulisan perjalanan atau penulisan kreatif perjalanan yang biasanya dituliskan: travel journalism atau jurnalisme perjalanan dan travel writing atau catatan perjalanan. Meskipun terlihat sama, dua-duanya mempunyai prinsip yang berbeda. Jurnalisme perjalanan menekankan pada prinsip jurnalistik, sedangkan catatan perjalanan lebih condong sebagai produk sastra. Namun, keduanya mempunyai jalur yang sama, yakni mengambil perjalanan sebagai tema besar, 

Langkah paling awal yang diperlukan oleh para penulis perjalanan adalah mulailah menulis apa yang paling dekat dengan hidup. ”Menulis perjalanan bukan soal bagaimana kita berjalan jauh,” ucap Fatris. Orang sering mengasumsikan tulisan perjalanan adalah melihat negeri-negeri asing atau suatu tempat yang baru, tapi alangkah baiknya penulis mulai dengan hal-hal di sekitarnya. Semisal tetangga sebelah rumah, selokan kecil di gang, atau tentang barang peninggalan kakek.

Selanjutnya adalah melakukan riset. Dalam tulisan, tentunya penulis membutuhkan sebuah tema untuk acuan. Untuk menghasilkan sebuah tulisan yang utuh, maka penulis harus mengumpulkan informasi sebanyak mungkin. Wacana yang kuat dihasilkan dari riset yang serius, baik riset pustaka yang meliputi pencarian sumber bacaan dan riset lapangan yang mengharuskan penulis terjun langsung. Dengan riset, penulis akan lebih mengenal objeknya sebelum menjadi bahan tulisan.  Riset akan menguatkan wacana awal, juga bisa menentukan posisi penulis, juga berguna untuk memetakan objek.

“Riset juga akan dapat menentukan sudut pandang penulis,” jelasnya. Pada tahap inilah nanti penulis akan menentukan keberpihakkannya. Ada enam tahapan riset yang bisa penulis aplikasikan. 

Pertama temukan isu yang ingin ditulis, ide ini bisa didapat melalui fenomena yang kerap atau jarang diperbincangkan, dan cara menemukannya bisa dari berbagai media seperti buku, koran, televisi, diskusi, hingga pengalaman pribadi. Kedua adalah kritik sumber, yang dibutuhkan untuk melihat secara curiga semua sumber untuk mendapatkan sudut pandang terbaik. Penulis dituntut untuk tidak mudah percaya narasumber lokal, namun bukan berarti menjadikannya lawan untuk berdebat.

Ketiga adalah lakukan perjalanan dan amati segala hal termasuk suasana dan gunakan semua panca indra untuk merasa, meraba, dan melihat. Keempat adalah lakukan dialog dan wawancara dengan narasumber yang kredibel, usahakan selalu mengecek keterangan dari narasumber. Tahap kelima adalah analisis semua data yang didapat untuk menyaring data yang penting dan tidak penting. Yang keenam ada membentuk kerangka untuk menyusun data yang telah dipilih dan agar penulis tidak kehilangan alur.

Fatris mengingatkan kepada para peserta untuk sebisa mungkin menghindari kata sifat. Kata sifat, dalam hematnya bisa saja membuat tulisan membosankan dan biasa saja. 

“Jangan hanya gadis itu sangat cantik, tapi cantiknya gimana,” tuturnya. Metafora akan melahirkan keindahan-keindahan linguistik dan membantu pembaca untuk “melihat” apa yang ditulis. 

“Ketika kalimat verbal yang akan kita sampaikan tidak mampu untuk menggambarkan keadaan, gunakan metafora,” pungkasnya.

Terakhir, proses penyuntingan. Sebelum mulai untuk menyunting tulisan, ada baiknya tulisan yang ditulis harus selesai terlebih dahulu. Tulisan yang baik adalah tulisan yang selesai, kemudian saat proses penyuntingan, penulis bisa meminta saran dan masukan kepada orang-orang maupun editor. “Jangan pernah menyunting tulisan yang belum selesai,” pungkasnya.

Berlanjut ke sesi tanya–jawab, Fatris mempersilakan para peserta untuk bertanya ataupun masih penasaran akan penjelasannya. Para peserta yang hadir antusias bertanya melalui kolom chat ataupun bertanya langsung. 

“Bagaimana cara menuliskan tulisan perjalanan tentang budaya tanpa terjebak eksotisme?” tanya seorang peserta yang berasal dari Ternate.

“Rata-rata penulis perjalanan adalah orang yang hidup di kota besar dan mereka akan melihat dengan cara pandang mereka yang urban sekali,” ujar Fatris yang kemudian ia lanjutkan “bagaimana agar dia tidak terjebak bias tersebut? Siapapun, saya kira akan punya bias terhadap apa yang ia tulis. Persoalannya adalah bagaimana meminimalisir bias tersebut.”

Menurutnya, catatan perjalanan yang dekat dengan pariwisata yang menutup luka-luka bangsa dan manusia, dan akhirnya hanya memperlihatkan “eksotisme” dan keindahannya hingga menutup tragedi yang terjadi di suatu tempat. Eksotisme sendiri adalah cara pandang orang barat terhadap daerah-daerah di timur yang dianggap berbeda. “Saya kira itu [cara pandang eksotisme] adalah pelanjutan dari bagaimana kolonialisme bekerja. Kita hanya komoditi bagi kacamata kolonial.”

“Bagaimana cara mulai menulis catatan perjalanan?” tanya peserta yang lain.

Fatris menjawab dengan mengandaikan petani pemula yang bisa melihat petani lain untuk mengolah ladangnya. Begitu pula untuk yang ingin memulai menulis, bisa dengan cara membaca tulisan-tulisan perjalanan yang telah ada. Yang terpenting adalah coba untuk menulis! 

Terakhir, Fatris menyampaikan para penulis harus adil dalam menilai dan melihat apa yang terjadi. Penulis harus mampu menjadi pengantar yang baik akan kejadian di suatu tempat dan tidak menjadi juri dalam menyimpulkan suatu peristiwa. “Saking ramahnya sekelompok orang, mereka tidak akan membiarkan seekor kucing kedinginan di teras rumahnya, tapi akan menutup mata terhadap puluhan orang yang kelaparan di belakang rumahnya,” pungkasnya menutup acara kali ini.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Sekolah TelusuRI: Menulis Catatan Perjalanan bersama Fatris MF appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sekolah-telusuri-menulis-catatan-perjalanan-bersama-fatris-mf/feed/ 0 36783
Serunya Belajar Aksara di Sekolah TelusuRI https://telusuri.id/serunya-belajar-aksara-di-sekolah-telusuri/ https://telusuri.id/serunya-belajar-aksara-di-sekolah-telusuri/#respond Wed, 15 Sep 2021 10:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=30586 TelusuRI kembali berhasil menggelar Sekolah TelusuRI yang bertajuk ”Bikin Karya Tipografi dari Aksara di Nusantara”, bertepatan pada Hari Aksara Internasional pada tanggal 8 September 2021 lalu. Harapannya,  Sekolah TelusuRI kali ini berhasil untuk menggaet minat...

The post Serunya Belajar Aksara di Sekolah TelusuRI appeared first on TelusuRI.

]]>
TelusuRI kembali berhasil menggelar Sekolah TelusuRI yang bertajuk ”Bikin Karya Tipografi dari Aksara di Nusantara”, bertepatan pada Hari Aksara Internasional pada tanggal 8 September 2021 lalu. Harapannya,  Sekolah TelusuRI kali ini berhasil untuk menggaet minat generasi muda untuk mempertahankan warisan budaya yang telah diwariskan nenek moyang turun temurun.

Aditya Bayu dari Aksara di Indonesia dan Adien Gunarta dari Wikimedia Indonesia menemani para peserta menerangkan berbagai ragam aksara di nusantara, upaya pelestarian aksara di nusantara, serta implementasi aksara pada karya visual. 

Rangkaian kegiatan yang terdiri dari temu wicara dan lokakarya ini membahas juga seluk beluk sejarah dan keberagaman Aksara Nusantara serta lokakarya cara menulis aksara daerah serta Aksara Challenge dimana TelusuRI mengajak para peserta untuk membuat karya visual dari aksara. Acara ini dipandu oleh Azlina Fitri dan Irsyad Saputra yang menyapa hangat para peserta.

aksara indonesia

Keragaman Aksara Nusantara

Pemateri pertama, Aditya Bayu menyampaikan materinya dengan seksama. Aksara Nusantara terdiri dari beberapa aksara diantaranya Aksara Kawi, Lontara, Bali, Jawa, Sunda, Lampung, dan lainnya. Semua aksara ini berakar pada kebudayaan India yang kemudian beradaptasi dengan kebiasaan lokal hingga menjadi otentik. Aksara- aksara ini awalnya ditulis pada daun lontar atau dipahat pada batu. Berbagai karya dihasilkan pada masa Hindu-Budha seperti prasasti-prasasti, serat, hingga kitab-kitab, begitupun pada masa Islam.

Pada masa kolonial, aksara semakin termodernisasi akibat adanya mesin cetak. Berbagai Aksara Nusantara dipakai, dipelajari dan ditampilkan pada berbagai media seperti surat kabar, buku, dan lainnya. Aksara Nusantara dinilai mempunyai estetika dan nilai jual selain nilai politik. Setelah masa kemerdekaan, aksara-aksara penggunaanya mulai meredup, masa ini biasa disebut the messy period. Penggunaan aksara-aksara hanya digunakan pada hal yang bersifat seremonial seperti penamaan di plang nama jalan, di kantor-kantor pemerintahan. Huruf alfabet dianggap dapat mewakili seluruh Indonesia untuk bersatu.

Sampai masa sekarang, penulisan aksara seringkali terdapat kesalahan yang membuat huruf-huruf yang ditulis dibaca dengan salah atau tidak memiliki makna sama sekali, hal ini akibat dari berkurangnya minat dari generasi ke generasi untuk mempelajari pembacaan Aksara Nusantara. Aksara-aksara juga terdapat gaya penulisan yang unik hingga bisa membingungkan pembaca awamnya untuk mengenali huruf per hurufnya.

Syukurnya, menurut Adit, beberapa pemuda mulai melakukan perubahan dengan menyadari pentingnya aksara sebagai identitas dan budaya bangsa yang harus dipertahankan, salah satunya dengan cara mengajarkannya kepada sekitar.  Beberapa komunitas yang didirikan seperti komunitas desain yang menggaet anak-anak muda untuk mendesain menggunakan font Aksara Nusantara. Ada juga pendesainan ulang logo-logo populer seperti Coca Cola, KFC, Burger King, dan lain lain dengan menggunakan Aksara Nusantara. Penggunaan logo-logo populer menurut Adit, bisa memicu para pemuda untuk bersemangat dalam melihat aksaranya dipakai secara komersial seperti yang telah kita lihat pada negara dengan aksara bukan alphabet seperti Thailand, Arab, India, dan lainnya.

Sesi tanya jawab berlangsung seru. Para peserta saling berebut mengajukan pertanyaan kepada Adit menyoal Aksara Nusantara.  Salah satu penanya menanyakan langkah selanjutnya dalam mempelajari aksara, karena dia sudah belajar sedari sekolah tentang Aksara Jawa. Adit menjawab bahwa belajar aksara jangan hanya terhenti dari bangku sekolah, mulai mengeksplorasi apa saja yang bisa jadi media belajar, bisa dari majalah, naskah, dan bisa kembali mempraktikkan penulisannya juga. 

aksara indonesia

Aksara Nusantara dalam Karya Visual

Berlanjut ke sesi selanjutnya, ada Adien Gunarta yang merupakan kreator visual dan juga pengajar di Universitas Airlangga. Ia memaparkan kepada peserta beragama cara memajukan aksara di Nusantara.  Adien menjelaskan bagaimana Indonesia adalah pengguna Aksara Latin terbesar kedua setelah Amerika Serikat. Faktanya, penggunaan masif Aksara Latin di Indonesia bukan tanpa sebab; sejak Bangsa Barat mengenalkan aksara tersebut sebagai aksara populer dalam penyebaran pengetahuan dan pers, aksara ini kemudian menjadi lebih familiar dan dipilih oleh founding father sebagai aksara yang menyatukan seluruh Indonesia. 

Menurut Adien, kita bisa melestarikan pengajaran aksara dengan mengenal, berkarya, dan memberi pengaruh. Derajat fungsionalitas aksara di Nusantara ada beberapa macam seperti murni ornamen, ornamen terbaca, aksara pendamping, murni dwi aksara, dan aksara utama. Adien menambahkan ada 17 sektor ekonomi kreatif yang bisa dipadukan dengan 10 objek pemajuan kebudayaan Nusantara antara lain bisa dalam bentuk animasi, musik, televisi, kriya, kuliner, arsitektur, dan lain lain.

Saran oleh Adien adalah kita bisa memberikan pengaruh dari diri kita sendiri. Pengaruh perseorangan  bisa dalam bentuk publikasi. Dengan adanya sosial media, kita jadi lebih mudah untuk berbagi kesukaan maupun hobi, termasuk dalam membagikan kesadaran mengenai aksara yang kita miliki. Beberapa komunitas juga aktif menjadi katalisator aksara daintaranya komunitas WMID, writingtradition.id, komunitas Aksara Sunda Jabar. Pemerintah sudah aktif dalam penyelenggaraan pelestarian khususnya dalam produk hukum seperti UUD 1945 pasal 32 ayat 2, UU No 5 tahun 2007 pasal 5, Perpres 63 Tahun 2019 dalam beberapa pasalnya. 

Adien juga memaparkan kesalahan-kesalahan dalam penggunaan Aksara Nusantara. Kesalahan ini didapati cukup umum terjadi dan tidak kita sadari. Menulis Aksara Latin bergaya Aksara Nusantara tidak sama dengan menulis Aksara Nusantara, membuat Aksara Nusantara dengan ejaan yang keliru, tidak berkonsultasi dengan ahli, selalu mengasosiasikan Aksara Nusantara dengan kekunoan. Hal-hal diatas sedapatnya harus kita hindari. Memasuki sesi tanya jawab, para peserta kembali antusias menanyakan beberapa pertanyaan kepada Adien. Pertanyaan demi pertanyaan sudah terjawab hingga akhirnya tidak terasa waktu untuk praktik menulis aksara dimulai!

aksara indonesia

Praktik Menulis Aksara Jawa

Pada praktik penulisan aksara kali ini yang digunakan adalah Aksara Jawa dan dipandu oleh Aditya Bayu. Para peserta memperhatikan dengan seksama dengan modul yang sudah diberikan sebelumnya. Aditya menjelaskan bagaimana penulisan Aksara Jawa serta perubahan-perubahan bentuknya. Peserta saling mengirim nama yang ingin dijadikan contoh dalam penulisan Aksara Jawa. “Pembelajaran awal lebih penting untuk terbiasa dengan sistem menulisnya daripada hafal tabel terlebih dahulu,” jelas Adit. 

Dengan telaten, para peserta mengikuti instruksi yang telah diberikan oleh Adit untuk menuliskannya di pulpen dan kertas masing-masing. Peserta memamerkan hasil tulisan mereka masing-masing dan diikuti dengan sesi foto bersama. Acara diakhiri dengan Aksara Challenge untuk membuat karya visual dengan tema perjalanan dan pariwisata dengan inspirasi dari aksara yang ada di Indonesia. Peserta yang menang berhak mendapatkan merchandise yang akan diproduksi oleh Tokome.


Ditulis oleh: M. Irsyad Saputra

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Serunya Belajar Aksara di Sekolah TelusuRI appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/serunya-belajar-aksara-di-sekolah-telusuri/feed/ 0 30586
Mau Pakai Drone? Simak 5 Tips dari Sekolah TelusuRI https://telusuri.id/mau-pakai-drone-simak-5-tips-dari-sekolah-telusuri/ https://telusuri.id/mau-pakai-drone-simak-5-tips-dari-sekolah-telusuri/#respond Fri, 29 Jan 2021 06:10:59 +0000 https://telusuri.id/?p=26678 Beberapa waktu lalu aku mengikuti Sekolah TelusuRI yang diadakan oleh TelusuRI secara daring via Zoom dan disiarkan secara langsung melalui YouTube. Sekolah TelusuRI kali ini membuka kelas tentang “Aerial Videography 101” dengan mendatangkan seorang videografer,...

The post Mau Pakai Drone? Simak 5 Tips dari Sekolah TelusuRI appeared first on TelusuRI.

]]>
Beberapa waktu lalu aku mengikuti Sekolah TelusuRI yang diadakan oleh TelusuRI secara daring via Zoom dan disiarkan secara langsung melalui YouTube. Sekolah TelusuRI kali ini membuka kelas tentang “Aerial Videography 101” dengan mendatangkan seorang videografer, filmmaker, yang juga sekaligus founder dari Skygrapher, yakni Bram Aditya.

Selama berjalannya acara Bram Aditya berbicara seputar pengalamannya menerbangkan drone untuk kepentingan pembuatan video dokumentasi. Bagiku, acara yang berlangsung selama kurang lebih satu jam itu cukup memberikan bekal pengetahuan baru soal videografi dari sudut pandang pengambilan gambar lain menggunakan kamera udara.

Kelas dimulai dengan paparan Bram mengenai sejarah drone. Saya baru tahu, drone dibuat pertama kali tahun 1849 dengan kegunaan untuk membawa bom dalam situasi perang, dan masih terus berlanjut hingga tahun 1940 yakni saat perang dunia ke 2. Sampai akhirnya tahun 1970 drone berubah fungsi, tidak lagi untuk mengangkut bom melainkan sebagai pesawat pengintai saat perang. Hingga sekarang drone berfungsi untuk pengambilan gambar, pengecekan tambang, pemadam kebakaran, mapping, farming, delivery, bahkan taxi.

Makin kesini teknologi makin canggih ya? Bisa-bisa di masa mendatang udah nggak ada ‘tu yang pergi ke sawah, nggak ada yang jadi tukang ojek, antar makanan macam gofood, semua udah dilakuin sama teknologi ini.

Sebelum masuk ke materi lebih dalam Bram juga menjelaskan mengenai tipe-tipe drone sekaligus spesifikasinya meskipun tidak begitu lengkap. Ada Mavic air, Mavic Mini 2, Mavic Pro 2, Phantom Pro 2, Inspire 2, dan Matrice 600. 

“Saat ketemu klien, semua aksesoris drone dipasang aja semua biar klien makin percaya dan yakin sama kita. Meskipun nanti aksesorisnya nggak kepakai semua bahkan ada yang dilepas”, pesan Bram.

Meski Bram seorang filmmaker, ia sendiri mengatakan kalau ngedrone atau pengambilan video menggunakan drone sangat jarang dilakukan dalam pembuatan sebuah film. Biasanya gambar dari drone hanya digunakan sebagai “insert” atau sisipan saja.

Lalu, langkah awal yang harus dipahami oleh seseorang yang baru belajar adalah cara mengoperasikannya. Nah, untuk pembelian drone tentu sudah satu set dengan remote-nya dong, lalu gimana cara kerjanya?

Di Sekolah TelusuRI kemarin dijelaskan bahwa di remote drone terdapat dua tombol yang ada di kanan dan kiri. Untuk tombol kiri berfungsi untuk memutar drone dan menaik turunkan drone, sedangkan tombol yang kanan berfungsi untuk mengarahkan drone maju mundur dan geser kanan kiri. Selain fitur dasar tersebut, kamu juga harus membaca manual fitur dan cara penggunaannya supaya drone dapat digunakan dengan lebih maksimal.

Selain cara pengoprasian Bram  juga menjelaskan mengenai aturan-aturan dalam menerbangkan drone. Karena cara kerja drone harus diterbangakan, maka ketinggian yang dicapai tidak boleh lebih dari 120 meter di atas tanah atau bangunan untuk menghindari pertemuan dengan helikopter; tidak menerbangkan drone di area bandara dan objek vital (monas, istana negara, dubes, dll); pastikan drone selalu terlihat oleh mata, sehingga jika ingin mengambil gambar yang agak jauh lebih disarankan pilotnya yang pindah; hindari kerumunan dan terbang di atas tempat ibadah; pastikan drone berasa searah dan didepan kita menghadap, supaya tidak bingung saat mengoperasikannya; selalu terbang dengan observer, guna untuk memberitahu lingkungan sekitar drone; ikuti peraturan lokal, jika tidak diperbolehkan menggunakan drone jangan ngeyel, atau kamu harus mengurus surat izin terbang drone; dan tentunya pastikan drone terbang di tempang terbuka ya, supaya drone mendapatkan GPS.

Bram juga memberikan 5 tips ala dirinya kepada seluruh peserta Sekolah TelusuRI, yaitu:

  1. Tidak perlu terbang terlalu tinggi karena semakin tinggi maka semakin nggak kelihatan pergerakan drone tersebut. Bram juga menyarankan untuk selalu terbang rendah dan pelan supaya bisa memantau pergerakan drone.
    Tidak perlu terbang terlalu kencang apalagi menggunakan mode speed karena jika drone sudah terbang kencang, maka agak susah dipelankan. Tapi, jika drone terbang pelan, kecepatannya bisa ditingkatkan. 
  2. Selalu menggunakan auto exposure biar nggak ribet dan hasil gambarnya bagus, kecuali jika video editornya yang meminta. Pahami juga semua fitur yang dipunyai oleh drone.
    Jangan membuat pergerakan kamera dan drone secara tiba-tiba karena akan bisa-bisa harus mengulangi pengambilan gambar dari awal. Dalam pengambilan gambar, paling tidak berikan durasi minimal 10 detik dengan posisi yang sama supaya bisa dipilih mana yang akan digunakan.
  3. Lakukan survei melalui Google Street, Google Maps, atau Instagram gunamelihat keadaan situasi lapangan dan menentukan ide konsep pengambilan gambar akan seperti apa. Pergerakan drone juga bisa direncanakan saat survei ini.
    Sebelum terbang cek bangunan sekitar apakah terdapat pohon, tiang, gedung, benang layangan, dan kabel listrik karena jika ada hambatan yang tidak terlihat akan berakibat fatal misalnya saja tabrakan drone dengan bangunan-bangunan tersebut.
  4. Banyak gunakan tripod mode, supaya pergerakan drone dapat lebih pelan dan hasil pengambilan gambar bisa smooth. Rubah RTH (Return To Home) menjadi remote jika take off dari perahu/pelabuhan karena mode RTH tidak berfungsi maksimal pada posisi ini.
    Perhatikan medan magnet di lokasi terbang karena jika banyak medan magnet akan menyebabkan drone terbalik ketika take off
  5. Belok kanan jika bertemu dengan objek terbang (misalnya pesawat, drone, helikopter, dll). Tapi, jika diserang burung, jangan langsung turun, melainkan naikkan lalu ke kanan kiri sambil turun pelan-pelan. 

Satu jam berlalu begitu cepat saat menyimak Bram di kelas “Aerial Videography 101”. Menurutku, materi-materi dasar pengambilan gambar menggunakan drone cukup bermanfaat bagi peserta yang sudah memiliki drone maupun yang belum.

Selain yang sudah kutulis, jika mau tau materi menarik dan lengkap yang dibagikan Bram Aditya, silahkan simak video yang sudah diunggah di kanal YouTube TelusuRI.


 Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI. Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mau Pakai Drone? Simak 5 Tips dari Sekolah TelusuRI appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mau-pakai-drone-simak-5-tips-dari-sekolah-telusuri/feed/ 0 26678
Menyimak “Tips Fotografi Perjalanan” dari Fotografer Profesional di Sekolah TelusuRI https://telusuri.id/menyimak-tips-fotografi-perjalanan-dari-fotografer-profesional-di-sekolah-telusuri/ https://telusuri.id/menyimak-tips-fotografi-perjalanan-dari-fotografer-profesional-di-sekolah-telusuri/#respond Wed, 07 Oct 2020 03:12:18 +0000 https://telusuri.id/?p=24314 Saat menggulir media sosial, aku menemukan unggahan soal Sekolah TelusuRI. Acara itu bagian dari Pekan Raya Pariwisata yang diadakan oleh KokBisa dan TelusuRI, digelar secara daring via Zoom pada Kamis, 24 September 2020. Aku menyimaknya...

The post Menyimak “Tips Fotografi Perjalanan” dari Fotografer Profesional di Sekolah TelusuRI appeared first on TelusuRI.

]]>
Saat menggulir media sosial, aku menemukan unggahan soal Sekolah TelusuRI. Acara itu bagian dari Pekan Raya Pariwisata yang diadakan oleh KokBisa dan TelusuRI, digelar secara daring via Zoom pada Kamis, 24 September 2020. Aku menyimaknya lewat siaran YouTube yang bisa diakses kapan saja.

Kelas “Tips Fotografi Perjalanan” itu mendatangkan dua orang yang sudah malang melintang di dunia fotografi perjalanan, yakni Ranar Pradipto (fotografer perjalanan, pendiri Potret Indonesia Tour) dan Ricky Martin (fotografer National Geographic Indonesia). Ranar Pradipto berbicara dari sudut pandang fotografi perjalanan secara umum, sementara Ricky Martin secara spesifik menjelaskan tentang fotografi jurnalistik. Bagiku, acara yang berlangsung selama dua jam itu cukup banyak memberikan pengetahuan baru soal fotografi perjalanan.


Dewasa ini, mengekspresikan sesuatu menjadi semakin simpel, mudah, dan dapat saja dilakukan oleh semua orang. Mengekspresikan pengalaman perjalanan, contohnya. Kini kita tak perlu lagi punya kamera DSLR untuk menangkap foto-foto apik. Dengan sebuah ponsel pintar saja seseorang sudah bisa mengabadikan pengalaman perjalanan, yang kemudian bisa diunggah ke media sosial. 

Namun, bagi fotografer perjalanan profesional seperti Ranar Pradipto yang juga memotret untuk kebutuhan komersial, mengekspresikan sesuatu tidak sesimpel menjepret foto dengan ponsel lalu mengunggahnya sebagai konten media sosial. Ada banyak hal yang mesti diperhatikan, yakni aspek-aspek [teknis] fotografi dan etika menjadi seorang fotografer perjalanan. Ranar menjelaskan soal tiga hal penting yang mesti dilakukan sebelum mempraktikkan fotografi perjalanan. 

Pertama, mencari informasi secara detail tentang lokasi yang akan dikunjungi, entah informasi soal titik memotret, tentang budaya, sejarah, maupun kearifan lokal. Tujuannya adalah agar kita punya konsep tentang foto yang nantinya akan diambil. “Jangan pernah pergi tanpa informasi apa pun,” pesan Ranar.

Kedua, membawa peralatan kamera sesuai kebutuhan. Agar tidak ribet di lokasi, membawa peralatan yang sesuai adalah hal yang tepat. Lalu bagaimana cara mengetahui apa saja peralatan yang tepat untuk dibawa? Jawabannya kembali ke poin pertama: cari tahu informasi secara detail. Survey dahulu lokasinya, entah langsung atau secara digital, agar kita bisa tahu gambaran lokasi dan peralatan apa yang cocok untuk dibawa ke sana.

Soal peralatan ini, ada satu hal yang kuingat dari penjelasan Ranar. “Saat traveling jangan sayang sama shutter,” ujarnya. Persoalan jumlah hitungan rana ini memang sering dibahas oleh pehobi foto, mengingat setiap kamera punya batasan masing-masing. “Dokumentasikan sebanyak mungkin,” imbuh Ranar.

Ketiga, datanglah pada waktu terbaik dan pada cuaca yang tepat. Lokasi yang bagus secara fotografis perlu dukungan waktu dan cuaca yang tepat. Jangan sampai kita malah dapat awan mendung dan hujan padahal yang diharapkan adalah foto pemandangan ketika langit cerah.

Ranar Pradipto sedang membahas salah satu foto perjalanannya/TelusuRI

Ranar Pradipto juga memberikan wawasan soal bermacam-macam genre fotografi. Sebagai contoh genre fotografi lanskap (pemandangan dan alam), ia menampilkan foto pemandangan air terjun di tengah hutan. Selanjutnya, ia menampilkan foto-foto bergenre human interest (HI) yang ampuh untuk menceritakan aktivitas di sekitar kita. Kemudian ia juga memperlihatkan contoh foto bergenre potret (portrait) yang diharapkan dapat memotret “jiwa” seseorang, lewat kejelian sang fotografer memilih latar belakang yang polos, mencari pencahayaan yang sesuai, dan menangkap ekspresi yang tepat termasuk tatapan mata subjek. Lalu Ranar menyajikan contoh foto budaya dan konsep entire-detail-moment (EDM) yang secara integral dapat menceritakan suasana, mengambil detail, lalu menangkap momen, seperti momen ketika subjek sedang menari, berkuda, memanah, mendayung, ataupun sekadar bercengkerama. Ranar juga tak lupa bercerita tentang genre fotografi jalanan (street photography) yang pas dicoba mereka-mereka yang sedang belajar.


Saat menyimak materi dari Ricky Martin, aku jadi memahami (sedikit) perbedaan antara fotografi perjalanan dan fotografi jurnalistik. Letak perbedaannya ada di kebutuhan foto, jenis, dan cara menceritakannya. 

Fotografer jurnalistik berhubungan dengan publikasi pesan di media massa secara periodik (terbit teratur setiap rentang waktu tertentu, misalnya jam). Karena itulah, sebagaimana reporter, wartawan, pewarta video, atau pembawa berita (news anchor), sebutan jurnalis juga disematkan kepada para pewarta foto.

Tujuan seorang jurnalis adalah menceritakan kejadian atau keadaan pada khalayak, dengan menyampaikan pesan yang mudah dipahami masyarakat luas. Rumus dasar yang biasanya dipakai untuk mengumpulkan fakta dan mengemas topik yang akan disampaikan adalah 5W1H (what/apa, who/siapa, where/di mana, when/kapan, why/mengapa atau kenapa, dan how/bagaimana)

Ricky menjelaskan mengenai lima jenis foto jurnalistik yang perlu dipahami sebagai fotografer jurnalistik. Pertama, hard news atau foto tentang aktivitas yang terikat dengan waktu, contohnya foto kecelakaan, kebakaran, bencana alam, dan lain-lain. Kedua, feature. Jenis foto ini tidak terikat waktu. Isinya adalah berita-berita ringan seperti tentang sejarah, tokoh, kuliner, acara adat, dll. Kapan pun diterbitkan, foto-foto jenis ini akan tetap punya nilai baca (lihat) dan akan masih tetap aktual. Ketiga, potret. Biasanya foto jenis ini digunakan sebagai pelengkap suasana. Keempat, ilustrasi, yang berfungsi sebagai informasi pelengkap, terutama jika yang diliput adalah hal-hal yang tidak bisa ditangkap kamera atau terlalu sensitif. Lalu, kelima, ada photo story yang berupa foto-foto yang ditampilkan secara berurutan dan saling menguatkan satu dengan lainnya. Jenis ini biasanya muncul dalam esai foto, seri, dokumenter, dan diptych (dua foto yang dikombinasikan kemudian ditampilkan dalam satu bingkai).

Ricky Martin membuka sesi fotografi jurnalistik/TelusuRI

Bercerita dengan foto, jelas Ricky Martin, bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu deskriptif dan naratif.

Cara deskriptif dilakukan dengan menyusun foto yang memaparkan suatu peristiwa atau keadaan namun tidak dengan alur cerita yang lengkap namun tetap bersifat informatif.

Sementara, jika memakai cara naratif, foto-foto disusun membentuk sebuah hubungan saling terkait, memiliki alur cerita, dan membentuk sebuah makna tertentu bagi yang melihat. Lebih dalam lagi, ada tiga bentuk foto naratif: essay (esai), menjelaskan sudut pandang pemotret terhadap sebuah keadaan atau peristiwa; series (serial), memotret objek-objek yang berbeda namun menggunakan sudut pandang dan teknik foto yang sama; dyptich (diptik), menyandingkan dua buah foto yang berbeda untuk menghasilkan makna baru.

“Setiap foto, jika memiliki deskripsi atau penjelasan, akan lebih mudah untuk dipahami publik,” ujar Ricky.

Dua jam berlalu tanpa terasa saat menyimak “Tips Fotografi Perjalanan.” Menurutku, materi-materi dasar fotografi perjalanan di kelas itu sangat berguna bagi fotografer amatir dan pemula. Selain yang kutulis di atas, sebenarnya masih banyak materi menarik lain dari Ranar Pradipto dan Ricky Martin. Jika penasaran, silakan simak video yang sudah diunggah di kanal YouTube TelusuRI.

The post Menyimak “Tips Fotografi Perjalanan” dari Fotografer Profesional di Sekolah TelusuRI appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menyimak-tips-fotografi-perjalanan-dari-fotografer-profesional-di-sekolah-telusuri/feed/ 0 24314
Pengalaman Ikut Kelas Kenal Teh di Sekolah TelusuRI https://telusuri.id/pengalaman-ikut-kelas-kenal-teh-di-sekolah-telusuri/ https://telusuri.id/pengalaman-ikut-kelas-kenal-teh-di-sekolah-telusuri/#respond Sat, 14 Mar 2020 16:53:17 +0000 https://telusuri.id/?p=20148 Teh adalah salah satu minuman yang paling banyak dikonsumsi masyarakat di dunia, begitu juga di Indonesia. Hampir di setiap warung makan dan restoran tersedia minuman satu ini. Begitulah, minum (es) teh telah dianggap sebagai kebiasaan...

The post Pengalaman Ikut Kelas Kenal Teh di Sekolah TelusuRI appeared first on TelusuRI.

]]>
Teh adalah salah satu minuman yang paling banyak dikonsumsi masyarakat di dunia, begitu juga di Indonesia. Hampir di setiap warung makan dan restoran tersedia minuman satu ini. Begitulah, minum (es) teh telah dianggap sebagai kebiasaan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia.

Teh berasal dari China. Di sana minuman ini telah dikonsumsi selama ribuan tahun, sebelum sekitar abad ke-16 dibawa ke Eropa dan menjadi populer sehingga Portugis dan Belanda mendirikan perkebunan teh skala besar di daerah jajahan beriklim tropis.

Kebetulan sekali, akhir pekan lalu TelusuRI mengadakan Sekolah TelusuRI Semarang #8: “Kelas Kenal Teh bersama WIKITI.” WIKITI ini adalah platform dari Koperasi Edukarya Negeri Lestari (KEN8) yang menjadi wadah untuk kamu belajar tentang teh. Karena Galeri Wisata dapat undangan dari TelusuRI, juga karena kebetulan saya memang suka minum es teh, jadilah saya ikut acara ini.

Perlengkapan minum teh/Deta Widyananda

Setelah mengikuti Kelas Kenal Teh, baru saya tahu kalau ternyata banyak sekali yang bisa dibahas soal teh, mulai dari sejarah, jenis pohon teh, jenis teh itu sendiri, pengolahan, hingga cara menyeduh teh dengan benar sekaligus belajar soal alat-alat seduhnya.

Acara dibuka dengan kenalan satu sama lain, dipandu sama yang punya gawe, Mauren Fitri dari TelusuRI. Lalu acara diteruskan dengan sesi “Kenal Teh” yang dibawakan oleh Mas Tauhid Aminullah dari WIKITI.

“Kalau kopi, di antara kalian mungkin sudah banyak yang memahami. Nah, hari ini kita akan berkenalan lebih dalam dengan teh,” ujar Mas Tauhid membuka sesinya.

Agama teh

Saya baru tahu bahwa ternyata ada agama teh! Jadi, di abad ke-6 SM di China ada dua agama yang berkembang, yakni Taoisme dan Konfusianisme.

Nah, kedua agama ini menyebut teh, yang dimanfaatkan sebagai medium penyembuhan, sebagai minuman keabadian. Tak hanya itu, para biksu Taois menggunakan teh sebagai sarana utama yang membantu untuk berkonsentrasi saat meditasi. Di era selanjutnya, Taoisme berakulturasi dengan agama Buddha menjadi Zen, agama yang kali pertama memperkenalkan tata cara ibadah teh.

Mas Tauhid memeragakan cara menyeduh teh/Deta Widyananda

Perjalanan teh dari Dinasti Tang hingga era kolonial

Saya sempat kaget ketika tahu ternyata pohon teh zaman dulu tinggi-tinggi. Ya, seperti pohon pada umumnya yang bisa mencapai tinggi belasan meter. Konon, untuk memudahkan pemetikan, pohon teh kemudian “dimodifikasi” menjadi pendek atau bonsai.

“Evolusi minum teh di China bergulir dalam tiga tahap: direbus, dikocok, dan diseduh. Hal itu menggambarkan tiga era dinasti, yakni Tang, Song, dan Ming,” jelas Mas Tauhid.

Zaman Dinasti Tang diyakini sebagai masa awal mula teh dikonsumsi. Pada zaman ini, daun teh masih diolah dengan cara-cara sederhana, misalnya langsung merebus daun teh segar. Metode pengolahan teh terus berkembang pada zaman Dinasti Song, Yuan, dan Ming, hingga akhirnya teh tiba di Jepang, India, dan ke Eropa. Pada masanya, teh dibawa oleh VOC ke Indonesia sampai akhirnya saat ini kita mengenal teh sebagai minuman seduh.

Beberapa jenis teh yang dicoba saat Kelas Kenal teh/Deta Widyananda

Teh zaman sekarang dan varietasnya

Pohon-pohon teh sekarang ukurannya pendek, tidak lebih dari satu setengah meter, supaya proses pemanenan daun lebih mudah dan cepat. Pun, banyak jenis produk teh bermunculan, mulai dari yang merakyat sampai yang kelas supermarket, dari yang bentuknya masih daun teh kering sampai yang sudah jadi teh celup.

Di Indonesia, teh bisa dipanen 25 kali dalam setahun, bahkan bisa lebih. Ini karena curah hujan di Indonesia cukup tinggi sehingga pertumbuhan pohon teh tergolong cepat. Selain secara manual, pemanenan dauh teh juga sudah mulai memanfaatkan mesin.

Daun teh ternyata juga punya varietas, Camellia sinensis dan Camellia sinensis var. assamica. Daun teh sinensis ukurannya lebih kecil jika dibandingkan dengan daun teh varietas assamica, lebih kaku, dan warnanya juga lebih terang. Sedangkan varietas assamica punya daun lebih lonjong dan warna yang lebih mengilap. Assamica pun bisa dipanen lebih cepat daripada sinensis karena perkembangan pertumbuhannya juga lebih lebih cepat.

Menuangkan teh ke gelas/Deta Widyananda

Jenis teh yang diseduh di Kelas Kenal Teh

Sebagai pembuka, saya dan peserta lain disuguhi teh matcha yang diseduh dengan air dingin karena sudah berupa bubuk. Ini berbeda dari teh-teh yang kami seduh kemudian, yang masih berbentuk daun teh kering. Rasanya—hmmm—agak pahit karena memang diminum tanpa gula.

Ada pula teh pu-erh yang berasal dari Yunnan, China. Sebagai teh tua yang disimpan selama 15 tahun, pu-erh punya cita rasa sangat khas. Aromanya seperti tanah basah saat hujan. Menariknya, harga pu-erh mencapai Rp3 juta per kilogram.

Meminum teh/Deta Widyananda

Kami juga mencoba teh putih (white tea) yang warnanya tidak mencolok, yang warnanya lebih mirip air putih dengan sentuhan kuning tipis. Rasanya ringan, tak terlalu pahit dan juga tak terlalu sepet. Kami juga sempat mencoba salah satu varian teh putih, Bai Mu Dan (White Peony) yang ditanam di Pacet, Jawa Tengah. Bentuknya tidak seperti teh putih kebanyakan, melainkan seperti versi lebih kecil dari daun teh pada umumnya.

Selain itu, kami juga diajak mencicipi green tea (yang kadang disebut ocha), Java green (dari kembang langit, Jawa Tengah), Java Souchong (teh merah dengan rasa khas), smoked oolong (dengan aroma seperi kayu dibakar), Baozhong oolong (flower tea atau spring tea), Matcha Iri Genmaicha (teh gurih yang dicampur dengan beras merah sangrai), Earl Grey, masala chai, sampai jasmine tea (teh melati). (Kamu sebaiknya perlu tahu bahwa teh melati bukanlah teh yang dicampur dengan melati, melainkan dibuat dengan metode pengasapan menggunakan bunga melati sebagai bahan utama.)

Intinya, sih, Kelas Kenal Teh yang berdurasi sekitar 3,5 jam ini masih kurang untuk mempelajari segala jenis teh. Semoga akan ada kelas lagi!


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Pengalaman Ikut Kelas Kenal Teh di Sekolah TelusuRI appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pengalaman-ikut-kelas-kenal-teh-di-sekolah-telusuri/feed/ 0 20148
Menelusuri Jejak Sejarah Masa Lalu Kota Lama-Pecinan Semarang* https://telusuri.id/menelusuri-jejak-sejarah-masa-lalu-kota-lama-pecinan-semarang/ https://telusuri.id/menelusuri-jejak-sejarah-masa-lalu-kota-lama-pecinan-semarang/#respond Thu, 05 Dec 2019 01:00:52 +0000 https://telusuri.id/?p=18930 Minggu, 20 Oktober, sore hari, cuaca cerah namun panas dan cenderung berawan. Dengan mengendarai motor bebek, saya tergesa-gesa pergi ke acara Sekolah TelusuRI ke-6 yang diadakan oleh Telusuri.id. Acaranya di pamflet dimulai pukul 15.30, sedangkan...

The post Menelusuri Jejak Sejarah Masa Lalu Kota Lama-Pecinan Semarang* appeared first on TelusuRI.

]]>
Minggu, 20 Oktober, sore hari, cuaca cerah namun panas dan cenderung berawan. Dengan mengendarai motor bebek, saya tergesa-gesa pergi ke acara Sekolah TelusuRI ke-6 yang diadakan oleh Telusuri.id. Acaranya di pamflet dimulai pukul 15.30, sedangkan saya baru saja berangkat dari rumah pukul 15.35, sehabis Asar. Saya pikir saya akan terlambat, tapi ternyata ketika saya memarkirkan motor di samping Restoran Pringsewu Kota Lama, saya belum menjumpai rombongan peserta Sekolah Telusuri yang akan berangkat.

Saya tiba di Restoran Pringsewu, titik kumpul peserta rombongan Sekolah TelusuRI, sekitar pukul 15.50. Ternyata, panitia Sekolah TelusuRI ke-6 baru saja membuka acara ini pukul 16.00 dengan singkat oleh Mauren. Jadi saya dapat dikatakan belum terlambat banget lah, ya.

Rombongan Sekolah TelusuRI ke-6 ini dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah kelompok yang beranggotakan teman-teman difabel, BISINDO, yang diarahkan menelusuri rute Kota Lama, dipandu oleh Mbak Guru Dea Ayu Anastasia, biasa dipanggil Mbak Dea. Sedangkan kelompok kedua, yang beranggotakan teman-teman non-difabel, menelusuri rute sebagian Kota Lama-Pecinan, dipandu oleh Mas Guru Juliansyah Ariawan, yang kerap disapa Mas Awan. Saya ikut nimbrung dengan kelompoknya Mas Awan.

Kelompok Mas Awan dipersilakan berangkat terlebih dahulu. Kami pertama-tama dikumpulkan Mas Awan di samping Restoran Pringsewu, tepatnya di trotoar Jl. Suari. Mas Awan menyebut dirinya tidak suka dipanggil ahli sejarah, ia lebih suka dipanggil dengan sebutan “pencerita,” karena informasi kebanyakan ia peroleh dari cerita-cerita orang ahli, orang-orang lokal, dan diperkuat oleh referensi-referensi ilmiah dan data faktual.

Peserta Sekolah TelusuRI #6 sedang menerima informasi/Mauren Fitri

Mas Awan bercerita, dulunya Restoran Pringsewu merupakan kantor pusat dari NV Kian Gwan, yang kemudian berubah nama menjadi Oei Tiong Ham Concern pada tahun 1910. Oei Tiong Ham Concern adalah perusahaan gula terbesar se-Asia Tenggara, bahkan mungkin saja se-Asia, menurut saya. Perusahaan gula ini dimiliki oleh saudagar gula terkenal asal Semarang, Oei Tiong Ham, terkenal dengan sebutan Raja Gula. Kantor cabang dari perusahaan gula Oei Tiong Ham ini tersebar di berbagai negara, ada di London, Bangkok, New York, Singapura, Paris, dan beberapa kota di negara lain.

“Nanti kita akan masuk sebentar ke dalam gedung Oei Tiong Ham Concern dan melihat brankas tempat penyimpanan uang Oei Tiong Ham. Kita akan membuktikan seberapa kayanya orang terkaya se-Asia itu,” ujar mas Awan sembari mengajak kami masuk ke dalam Restoran Pringsewu, lewat pintu utama Pringsewu.

Brankas orang terkaya se-Asia

Oei Tiong Ham menguasai hampir seluruh jaringan pabrik dan perusahaan gula se-Pulau Jawa. Beliau lahir tahun 1866 dan wafat 1924. Ia memiliki delapan istri resmi dan banyak selir. Selirnya tak terhitung banyaknya. Mengapa perusahaannya bangkrut? Menurut Mas Awan, salah satu penybebabnya adalah perebutan harta warisan.

”Jadi buat para bapak-bapak, kalau punya istri, cukup satu istri saja,” canda Mas Awan.

Tuh dengerin tuh, Pak!” celetuk salah satu ibu-ibu peserta rombongan kepada suaminya.

Kami memasuki brankas orang terkaya se-Asia, yang ternyata temboknya tepat di samping Jl. Suari. Di seberang bekas gedung Oei Tiong Ham Concern, yang sekarang menjadi Bank Mandiri, dulunya adalah Nederland-Indische Handelsbank, Bank Dagang Hindia-Belanda, salah satu bank terbesar di dunia.

Baik Restoran Pringsewu dan Bank Mandiri termasuk bangunan Cagar Budaya, sehingga penanganannya harus khusus serta diawasi oleh Tim Ahli Cagar Budaya (TACB). Salah satu syarat bangunan cagar budaya adalah berumur 50 tahun atau lebih dan style-nya mewakili zaman itu. Karena masuk golongan Bangunan Cagar Budaya, bangunan itu tidak boleh dibongkar, facade-nya tidak boleh dikurangi atau ditambahi, dan catnya memakai cat khusus. Kebanyakan cat yang dipakai di Kota Lama adalah oplosan propan atau archipaint.

Peserta Sekolah TelusuRI Semarang #6 sedang berjalan di pedestrian Kota Lama/Chrisianto Harsadi

Kembali ke brankas Oei Tiong Ham. Brankas Oei Tiong Ham ini, baik ruangannya maupun lemari besinya, tidak pernah berubah keadaannya dan posisinya sejak tahun 1863 hingga sekarang. Brankas Oei Tiong Ham berada di dalam ruangan Restoran Pringsewu, agak masuk ke dalam. Bentuk ruangannya berlantai dua, berpintu besi dengan gagang putar, dengan dua lemari besi dan sebuah tangga besi kecil untuk menuju ke lantai dua. Langit-langitnya kayu dengan tinggi sekitar 1,7 meter. Jangan dibayangkan anda menemukan uang Oei Tiong Ham di sini—anda hanya bisa menemukan bahan-bahan makanan Restoran Pringsewu di lantai dua!

Pendapatan utama bisnis sang raja gula dari bisnis gulanya sebesar 200 juta gulden. Akan tetapi, sang raja gula ini juga memiliki pemasukan lain, yaitu perdagangan opium/candu. Jumlah pendapatan dari perdagangan opium ini, kata Mas Awan yang mendapatkan data dari National Geographic, dalam setahun adalah Rp96 miliar bila dikonversikan ke jumlah uang yang sekarang.

Lalu, saat jam menunjukkan pukul 16.20 dan kami bergegas melanjutkan perjalanan ke Pecinan.

Napak tilas jalur Pekojan dan Pecinan

Jalan utama menuju ke Kota Lama zaman dahulu melalui Jl. Suari. Dari abad ke-16 hingga detik ini, jalur di Kota Lama tidak pernah berubah. Kami menyusuri Jl. Suari menuju ke Pecinan, juga melewati Jl. Sendowo. Jalan Sendowo dahulu bernama Westerwalstraat, yang [jika] diartikan ke Bahasa Indonesia berarti Jalan Benteng Barat. Mas Awan mengatakan, Kota Lama pada zaman kolonial berbentuk benteng. Sepanjang Jl. Mpu Tantular, sungai kecil di depan polder Stasiun Tawang adalah bekasnya. Jadi, Stasiun Tawang zaman dahulu berada di luar benteng.

Di Kota Lama terdapat dua gereja dan tiga masjid. Dua gereja yaitu Gereja Blenduk dan Kesusteran Gedangan, tiga masjid yaitu Masjid Kauman, Masjid Jami’ Petolongan, dan Masjid Layur. Sebenarnya ada satu masjid lagi di Pecinan, yaitu Masjid Diponegoro (masjid yang didirikan oleh salah satu pengikut Pangeran Diponegoro) di Jl. Beteng.

Di Kota Lama ada Badan Pengelola Kawasan Kota Lama (BP2KL) yang menyediakan Kawasan Parkir Umum di bekas Hotel Jansen dan sebelah gedung DMZ (gedung bekas percetakan Van Dorp), guna menghindari parkir liar yang mahal. Kami melewati pabrik sirup Fresh yang sekarang telah menjadi gudang, karena BP2KL tidak menginginkan pabrik yang menggunakan mesin di Kota Lama, kecuali Pabrik Praoe Lajar, karena mereka menggunakan tenaga manusia, terutama kaum perempuan yang harus mampu melinting 2.000 linting rokok per hari.

Peserta Sekolah TelusuRI Semarang #6 sedang berjalan menelusuri Kota Lama/Julfikar

Sebelum abad 18, persebaran orang Tionghoa di Semarang terkonsentrasi di daerah sekitar Sam Poo Kong dan Panjangan. Kemudian terjadi peristiwa pembantaian orang Tionghoa di Belanda tahun 1740, sehingga orang-orang Tionghoa dan Jawa memberontak ke VOC, yang kemudian terkenal dengan peristiwa Geger Pecinan. Peristiwa Geger Pecinan ini meluas hingga ke Lasem.

Untuk mengamankan warga Eropa dari amukan massa Tionghoa dan Jawa, pemerintah Belanda kemudian mengumpulkan dan mengkotak-kotakkan warga Melayu, Arab, Jawa, dan Tionghoa dalam kebijakan wijkenstelsel, agar pemerintah kolonial mampu mengontrol mereka semua. Untuk masyarakat Tionghoa, pemerintah kolonial menunjuk majoor, luitnant, capitain (mayor, letnan, kapten) tituler sebagai tangan kanan kolonial mengontrol masyarakat Tionghoa.

Salah satu majoor der Chinezen (mayor Tionghoa) adalah Oei Tiong Ham. Oei Tiong Ham yang bisa berbahasa dengan fasih itu juga diberi hak mengolah dan mengurus candu (opiumpacht) dan ia diperbolehkan memotong rambut kucir yang merupakan tanda kesetiaan orang Tionghoa kepada kaisar mereka di China Daratan. Ia orang yang pertama menyeberangi benteng Kota Lama dan mendirikan rumah di luar benteng. Untuk masuk ke Kota Lama pada zaman kolonial—yang harus melewati pos penjagaan tentara kolonial Belanda Maluku/Ambon di tanah kosong sebelah gedung perabotan makan Sanyo—perlu menggunakan “kartu lewat.”

Informasi tambahan dari Mas Awan: Jalan tertua di Kota Semarang adalah Jl. Mataram yang sekarang menjadi Jl. M.T. Haryono; Jalan tertua yang kedua adalah Jl. Bodjong (Jl. Pemuda); Ketiga adalah Heerenstraat (Jalan Tuan-tuan Besar), yang sekarang menjadi Jl. Letjend. Suprapto; Kenapa dinamakan Jl. Mataram? Karena jalan tersebut langsung menuju ke wilayah Kerajaan Mataram, yaitu jalan menuju Tanah Putih, lanjut ke Jatingaleh, terus sampai ke Ungaran, Bawen, Salatiga, Kasunanan Surakarta, Kadipaten Mangkunegaran, berakhir di Kasultanan Ngayogyakarta; Setiap jarak antarkota pada jalur tersebut selalu berkisar antara 25 sampai 30 km, karena untuk ganti kuda; Khusus kota Salatiga untuk istirahat kuda; Jalan Pos Besar (Grootepostweg) yang dibuat Daeendels hanya tinggal melanjutkan jalur yang sudah ada saja dan diperbagus; Museum Mandala Bakti dulunya rumah Van Hartingh, Gubernur VOC di Semarang yang memberikan bantuan tanah untuk membangun Masjid Kauman.

Persinggahan di Masjid Jami´ Petolongan (Masjid Pekojan)

Konon, nama Jalan Petolongan berasal dari toponimi kata talang, karena di sekitar Petolongan pada abad 17-18 banyak tukang dandani talang banyu (memperbaiki talang air). Kedua, berasal dari toponimi kata pertolongan, karena zaman dahulu ada perempuan yang diyakini salah satu keturunan Rasulullah Muhammad SAW yang bernama Fatimah, yang suka memberikan pertolongan ke orang-orang sekitar. Makam Fatimah ada di dalam Masjid Pekojan. Pekojan adalah kampung orang-orang Koja, orang-orang yang berasal dari Gujarat/Koja.

Berhenti di depan sebuah pintu tua yang masih kokoh hingga sekarang/Christianto Harsadi

Di dalam Masjid Pekojan juga terdapat dua pohon bidara, yang se-Kota Semarang hanya terdapat di sana saja. Kuburan-kuburan leluhur dan warga-warga lokal dalam masjid juga berusia sekitar 600 tahun, sama tuanya dengan masjid. Masjid Pekojan juga terdaftar dalam Bangunan Cagar Budaya, yang plakatnya terdapat di dinding sebelum gerbang keluar. Setiap bulan Ramadan, Masjid Pekojan selalu menyediakan bubur rempah yang dinamakan bubur India. Zaman kolonial, Masjid Pekojan bentuknya hanya bangunan yang di tengah saja dan terbuat dari kayu.

Sebelum kami masuk ke Pekojan, tepat di seberang gerbang Masjid Pekojan ada kaligrafi aksara China yang terukir menempel di tembok jalan Petolongan, yang disebut Ci Soa, yang berarti “semoga arwah-arwah yang dipindahkan dapat beristirahat dengan tenang.”Aksara China tersebut dibuat guna menolak bala, dan doa-doa dari pemuka agama akibat dari pemindahan kuburan-kuburan orang Tionghoa ke luar kawasan Pekojan dan Petolongan, sebagai imbas dari pembangunan permukiman Pecinan. Matahari semakin redup, kami melangkahkan kaki menuju Kelenteng Tay Kak Sie.

Cerita Kelenteng Tay Kak Sie

Sebelum menuju Tay Kak Sie, kami melewati Jl. Sekolan, berasal dari toponimi sekul (tempat menanak nasi), karena waktu jaman geger Perang Diponegoro kampung jalan tersebut memasok perbekalan bagi pasukan Pangeran Diponegoro.

Di pinggiran jalan menuju Tay Kak Sie, ada beberapa pusat jajanan legendaris, kata mas Awan. Beberapa di antaranya: Pertama, Rumah Makan Mie Siang Kie Purwodinatan. Sudah ada sejak jaman kolonial Belanda abad ke-18 dan lebih tua daripada Es Krim Oen Pemuda. Menunya hanya ada mie dan mengandung babi. Beratap khas bangunan Tionghoa, yaitu atap pelana dan ada atap kecil, yang dalam arsitektur disebut rumah burung, agar dalam rumah tidak panas. Informasi tambahan: mengapa rumah kolonial Tionghoa dan yang lain selalu memanjang ke belakang? Karena jaman kolonial pajak rumah berdasarkan lebar rumah. Pascatahun 1900, pajak lebar rumah tidak berlaku lagi

Kedua, Jajanan Bolang Baling sebelum jembatan menuju Tay Kak Sie. Menjual gelek, cakue, dan bolang-baling setiap sore. Gelek merupakan saudara dari bolang-baling, karena jaman dulu orang yang menjual selalu diusung/disunggi dan menampakkan ketiak dan telanjang dada, yang dalam bahasa Jawa disebut kelek. Ketiga, Es Campur sebelum Loenpia Gang Lombok. Es campur ini, kata Mas Awan, seharga Rp30.000—mahal sekali! Rasanya juga sudah biasa saja. Keempat, Loenpia Gang Lombok. Asal usul loenpia berasal dari dua nama keluarga, yaitu keluarga Loen dan keluarga Pia. Kedua keluarga ini selalu bersaing dagangan dan, karena lelah bersaing, akhirnya mereka menikahkan putra-putri mereka, sehingga lahirlah kata loenpia.

Sampailah kami di titik terakhir rute Sekolah TelusuRI ke-6, yaitu di Kelenteng Tay Kak Sie. Jalan di seberang Tay Kak Sie bernama Jalan Kalikuping, berasal dari nama saudagar pengusaha kulit yang bernama Tuan Khouw Ping. Karena berada di pinggiran kali, maka nama jalannya “kalikuping.” Kali yang berada di depan Tay Kak Sie adalah Kali Semarang, yang zaman dulu sangat lebar (sebagai gambaran, lebarnya Kali Semarang zaman dahulu digambarkan Mas Awan sampai ke pos satpam Tay Kak Sie) sehingga menjadi akses transportasi utama warga Semarang. Guna menyeberang Kali Semarang, ada jembatan yang terbuat dari pohon yang bergelantungan (nggandul-Bahasa Jawa). Jadi, nama jalan tersebut Jl. Worgandul, yang kalau air sungai meluap, ya, hilang. Kali Semarang ini melewati Jembatan Mberok (dari kata brug, bahasa Belanda) yang tembus hingga ke Pelabuhan Tanjung Emas. Pasokan utama kulit saudagar Khouw Ping juga [datang] melalui jalur ini.

Para peserta Sekolah TelusuRI Semarang #6/Mauren Fitri

Kantor pusat pemerintahan orang Tiong Hoa disebut kongkowan, berada di dekat Rumah Abu Kong Tik Soe. Kelenteng Tay Kak Sie merupakan kelenteng termuda di Pecinan, dibangun pada tahun 1771 M, dengan dewa terlengkap di Indonesia. Tay Kak Sie dibangun  di pinggir kali agar orang Tionghoa yang melewati Kali Semarang bisa menghormat kepada dewa-dewi mereka di kelenteng ini. TK, SD, SMP Kuncup Melati yang berada di kawasan Tay Kak Sie adalah sekolah gratis tanpa dipungut bayaran sama sekali. Orang yang berobat ke Klinik Pratama Tjie Lam Tjay juga tidak dipunggut bayaran sama sekali.

Menarik untuk disimak beberapa fakta unik bangunan di kelenteng Tay Kak Sie: Peresmian TK, SD, SMP Kuncup Melati yang gratis itu dilakukan oleh tangan kanan Sun Yat Sen, tokoh dan pahlawan nasional China; Kayu-kayu jati Rumah Abu Kong Tik Soe yang terbakar akibat korsleting listrik masih tersisa dan rata-rata diameter kayu penyangganya 20 cm. Sampai saat ini, BP2KL masih belum menemukan kayu tersebut; Mas Awan merupakan saksi utama terbakarnya Rumah Abu 2018 lalu; Setiap bangunan di Kelenteng Tay Kak Sie didirikan oleh berbagai donatur, dari yang jumlahnya sen sampai ribuan gulden, dan nama-nama donatur tersebut tertulis di papan batu samping kongkowan; Setiap jendela ventilasi Tay Kak Sie konon terbuat dari giok.

Matahari sore telah meredup. Jam menunjukkan pukul 17.25 ketika kami kembali ke Restoran Pringsewu. Kami pulang menyusuri kawasan permukiman warga sepanjang Kalikuping, menembus permukiman kumuh sebelum Pasar Johar, yang ternyata, tanpa disangka, menembus kawasan karaoke dan berakhir di Jl. Sendowo. Agenda perjalanan masih belum berakhir, karena rombongan Mbak Dea masih ada acara cupping coffee di kedai Filosofi Kopi, tetapi saya tidak ikut ke sana.

Acara terakhir adalah bersantap camilan yang disediakan oleh Pringsewu dan berfoto bersama. Kami pun pulang sekitar pukul 19.35.


*) Ini adalah tulisan pemenang writing challenge pada Sekolah TelusuRI Semarang #6.

The post Menelusuri Jejak Sejarah Masa Lalu Kota Lama-Pecinan Semarang* appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menelusuri-jejak-sejarah-masa-lalu-kota-lama-pecinan-semarang/feed/ 0 18930
Sekolah TelusuRI Semarang #6: TelusuRI Sejarah Jalur Kota Lama–Pecinan https://telusuri.id/sekolah-telusuri-semarang-6/ https://telusuri.id/sekolah-telusuri-semarang-6/#comments Mon, 07 Oct 2019 11:19:40 +0000 https://telusuri.id/?p=17851 Kawasan Kota Lama Semarang kini kian menarik perhatian. Revitalisasi yang berjalan beberapa tahun belakangan mulai tampak rupanya. Gedung-gedung tua tak terawat mulai berkurang sehingga wajahnya kini terlihat lebih apik. Begitu juga dengan cerita sejarah di...

The post Sekolah TelusuRI Semarang #6: TelusuRI Sejarah Jalur Kota Lama–Pecinan appeared first on TelusuRI.

]]>
Kawasan Kota Lama Semarang kini kian menarik perhatian. Revitalisasi yang berjalan beberapa tahun belakangan mulai tampak rupanya. Gedung-gedung tua tak terawat mulai berkurang sehingga wajahnya kini terlihat lebih apik. Begitu juga dengan cerita sejarah di baliknya yang makin menarik untuk ditelusuri.

Sebenarnya, tak hanya Kota Lama yang punya ribuan kisah sejarah. Kawasan Kampung Melayu, Kampung Arab, dan Pecinan yang berada di sekeliling Kota Lama juga menyimpan ragam cerita menarik untuk dikulik.

Kawasan Cagar Budaya Nasional yang kini sedang ditata kembali oleh Pemerintah Kota Semarang ini juga makin ramah untuk pejalan kaki. Cocok banget buat kamu yang ingin menjelajahinya dengan santai.

Menelusuri jalur penghubung Kota Lama–Pecinan

Nah, 20 Oktober 2019 besok, TelusuRI bakal ngadain “Sekolah TelusuRI Semarang #6: TelusuRI Sejarah Jalur Kota Lama–Pecinan.”

Acara yang didukung oleh DigiTiket dan Pringsewu Kota Lama Semarang ini mengajak kamu menelusuri sejarah beberapa gedung tua sepanjang jalur penghubung kawasan Kota Lama dan Pecinan Semarang dengan berjalan kaki.

Mas Juliansyah Ariawan dan Dea Ayu Natasia bakal memandu perjalanan kamu di Sekolah TelusuRI Semarang #6. Dari mereka, kamu bakal dapat cerita sejarah gedung-gedung tua antara Kota Lama dan Kawasan Pecinan, mulai dari gedung Restoran Pringsewu di Jalan Suari, Jalan Pekojan, Gang Lombok, sampai Pasar Semawis di Gang Warung (di mana kita bakalan kulineran). Jadi, persiapkan saja pertanyaan-pertanyaan yang bikin kamu penasaran.

sekolah telusuri semarang
Poster Sekolah TelusuRI Semarang #6/TelusuRI

Berkesempatan dapat kaos merah TelusuRI dan tiket Jepara Ourland Park

Di Sekolah TelusuRI Semarang #6 ini, TelusuRI membuka kesempatan buat kamu untuk menuliskan cerita perjalanan selama mengikuti walking tour.

Dua (2) orang peserta dengan cerita paling menarik masing-masing bakal dapat satu (1) kaos merah TelusuRI dan dua (2) tiket berwisata di Jepara Ourland Park dari DigiTiket. Bakal banyak giveaway juga, lho, yang akan dibagikan saat acara berlangsung. Menarik, ‘kan?

Kontribusi untuk acara ini cuma Rp25.000 dan kamu akan mendapatkan camilan dan air minum. Kalau kamu berminat ikutan, langsung daftar aja di http://bit.ly/telusurismg6. Pendaftaran akan dibuka hingga 18 Oktober 2019. Ssst… Jangan ditunda-tunda, kuota peserta hanya 25 orang saja!


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.


Pemutakhiran terakhir 13/10/2019 pukul 09:51 WIB.

The post Sekolah TelusuRI Semarang #6: TelusuRI Sejarah Jalur Kota Lama–Pecinan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sekolah-telusuri-semarang-6/feed/ 1 17851
Kratoon Channel x TelusuRI: Sekolah TelusuRI Bogor #2 https://telusuri.id/sekolah-telusuri-bogor-2/ https://telusuri.id/sekolah-telusuri-bogor-2/#respond Mon, 25 Jun 2018 09:18:01 +0000 https://telusuri.id/?p=9370 Setelah jeda hampir setahun, Sekolah TelusuRI kembali digelar. Kali ini TelusuRI ngajak kamu berkontemplasi alias merenung lewat menggambar. “Kontemplasi lewat menggambar? Emang urgensinya apa?” Begini, Sob. Orang yang bekerja terlalu banyak sering kali melupakan kebutuhannya...

The post Kratoon Channel x TelusuRI: Sekolah TelusuRI Bogor #2 appeared first on TelusuRI.

]]>
Setelah jeda hampir setahun, Sekolah TelusuRI kembali digelar. Kali ini TelusuRI ngajak kamu berkontemplasi alias merenung lewat menggambar.

“Kontemplasi lewat menggambar? Emang urgensinya apa?” Begini, Sob. Orang yang bekerja terlalu banyak sering kali melupakan kebutuhannya akan pencarian makna hidup.

Gerald Corey dalam Teori dan Praktek: Konseling & Psikoterapi (2009) bilang bahwa orang-orang yang mengalami frustrasi eksistensial karena gagal mencari makna dalam hidup akan lebih membatasi kesadaran dan menutup kemungkinan-kemungkinan yang merupakan manifestasi dari rasa “ada.”

Serem, ya? Tapi tenang aja, soalnya ada penawarnya: terapi menggambar. Bill Wylie, seorang art therapist, seniman, penulis, dan peneliti, dalam jurnal ini berpendapat bahwa terapi menggambar mendorong individu membuat karya seni yang melibatkan proses berpikir serta perasaannya.

Setiap karya seni yang diciptakan bakal bikin kesadaran individu terhadap pengalaman-pengalaman hidup makin berkembang. Ini bakal sangat bermanfaat buat meningkatkan potensi positif dalam diri dalam mencegah atau menghadapi permasalahan di kemudian hari.

sekolah telusuri bogor #2

Menggambar bareng Kratoon Channel di Sekolah TelusuRI Bogor #2

Dalam Sekolah TelusuRI Bogor #2, TelusuRI bakal kolaborasi dengan Kratoon Channel buat ngajak kamu menggambar bareng di Situ Gunung, Sukabumi, Jawa Barat. Destinasi yang lagi ngehits ini terkenal dengan jembatan gantung sepanjang 250 meter yang… tergantung 150 meter di atas tanah.

Yang bakal jadi mentor kamu adalah Muh. Reza Azmi. Dia adalah ilustrator dan animator di Kratoon Channel. Kamu semua pasti sudah tahu Kratoon Channel, master licensor yang fokus di dunia ilustrasi dan animasi lokal. Dengan ngajarin ilmu animasi dan ilustrasi ke anak muda, Kratoon Channel berharap dunia animasi Indonesia “banjir” intellectual property (IP) lokal.

Reza akan mengarahkan kamu buat menggambar apa yang kamu lihat dan imajinasikan selama kelas berlangsung.

“Pengen ikut, sih. Tapi apa daya daku tak bisa menggambar.” Jangan jiper dulu. Buat ikutan Sekolah TelusuRI Bogor #2 kamu nggak harus bisa gambar. Soalnya materi yang diberikan bakal sangat ringan dan bisa diterima semua kalangan.

Selain Muh. Reza Azmi, kamu juga bakal ditemani satu mentor lagi, yakni Ridho Mukti Aji, Project Officer TelusuRI yang bakal memfasilitasi kamu buat menceritakan apa yang kamu gambar.

Jadi, tunggu apa lagi? Catat tanggalnya: 30 Juni-1 Juli 2018. Buat ikutan Sekolah TelusuRI Bogor #2, kamu hanya perlu mendaftar di sini dan membayar Rp 50 ribu sebagai bukit komitmen buat mengikuti kelas. Uang itu bakal dikembalikan lagi ke kamu pas hari-H. Pembayarannya cuma dilayani lewat transfer ke rekening BCA 0373206005 a/n Ridho Mukti Aji. Paling lambat 28 Juni 2018, ya!

Tertarik? Buruan daftar!


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kratoon Channel x TelusuRI: Sekolah TelusuRI Bogor #2 appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sekolah-telusuri-bogor-2/feed/ 0 9370