semarang Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/semarang/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 11 Jun 2025 11:23:07 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 semarang Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/semarang/ 32 32 135956295 Ketika Hidup Warga Pesisir Semarang Ditanggung Tanggul Laut https://telusuri.id/ketika-hidup-warga-pesisir-semarang-ditanggung-tanggul-laut/ https://telusuri.id/ketika-hidup-warga-pesisir-semarang-ditanggung-tanggul-laut/#respond Wed, 11 Jun 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47379 Perahu-perahu nelayan yang biasanya berdengung bising pada malam hari kini tak terdengar lagi dari kediaman Gofur. Laut Jawa yang kadang ombaknya menjilat-jilat pelatarannya itu juga sudah tak tampak. Hanya tembok beton setinggi dua meter memanjang...

The post Ketika Hidup Warga Pesisir Semarang Ditanggung Tanggul Laut appeared first on TelusuRI.

]]>
Perahu-perahu nelayan yang biasanya berdengung bising pada malam hari kini tak terdengar lagi dari kediaman Gofur. Laut Jawa yang kadang ombaknya menjilat-jilat pelatarannya itu juga sudah tak tampak. Hanya tembok beton setinggi dua meter memanjang yang kini terlihat, juga sebuah kubangan luas yang di dalamnya terdapat petak-petak tambak milik warga.

Kubangan luas itu dulunya adalah daratan, lalu terkena abrasi dan menjadi bagian dari Laut Jawa. Setelah tanggul laut sepanjang 3,6 kilometer dibangun dengan memotong sebagian laut dangkal itu, bagian dalam laut itu berubah menjadi kolam “kubangan” retensi pengendali banjir rob.

Gofur tinggal di Tambak Lorok, sebuah kampung nelayan yang berada di Kecamatan Tanjung Mas, Semarang Utara. Ia sendiri adalah seorang nelayan. Tiap menjelang malam Gofur berangkat melaut untuk menjaring udang dengan perahu oranye miliknya. Tengah malam Gofur kembali lagi ke darat, lalu menyetorkan hasil tangkapannya ke tempat pelelangan ikan di kampungnya.

“Bulan Desember itu harga hasil laut memang naik. Tapi kalau udang naiknya nggak seberapa. Yang naiknya melambung itu, ya, kerang hijau, kerang dara, ikan-ikan. Itu mahal semua. Kerang hijau dari lima ribu bisa naik sepuluh sampai lima belas (ribu),” katanya.

Saya pertama kali menemui Gofur di rumahnya pada Minggu, 8 Desember 2024. Kala itu, ia sedang duduk santai dengan salah seorang tetangganya di depan rumahnya. Ia mengenakan kaus putih bergambar wajah paslon Pilpres 2024, celana pendek hitam, dan sandal selop coklat. Sebuah ketu hitam tersampir di kepalanya, menutupi rambutnya yang mulai beruban. Umurnya 52 tahun.

Ketika Hidup Warga Pesisir Semarang Ditanggung Tanggul Laut
Gofur dan perahu warga oranye miliknya di dermaga sebelah timur kampung/Adinan Rizfauzi

Tambak Lorok Hari ini dan Muasal Warganya

“Orang Tambak Lorok ini rata-rata perantauan, orang pendatang. Yang asli Tambak Lorok, ya, yang masih kecil muda itu. Yang tua-tua aslinya orang luar. Banyak yang dari Demak seperti saya.” Gofur bercerita tentang kampungnya. Saya manggut-manggut mendengarkannya. 

Sebuah situs Pemerintah Provinsi Jawa Tengah menyebut Tambak Lorok adalah perkampungan nelayan terbesar di Kota Semarang. Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Jawa Tengah mencatat ada 700 lebih warga Tambak Lorok yang berprofesi sebagai nelayan. Kini, kampung itu memiliki 11.056 penduduk.

Belakangan ini Tambak Lorok tampak mendapat sorotan pemerintah. Sebuah pasar direvitalisasi. Saat saya berkunjung, pasar dua lantai dengan tembok biru itu banyak diisi oleh pedagang yang menjajakan hasil laut. Sebuah taman juga dibangun. Terletak di antara jalan satu arah kampung, memanjang lurus mengikuti jalan utama kampung. Banyak tetumbuhan di sana, juga tempat bermain dan kursi-kursi panjang, menjadi oase di tengah permukiman warga yang saling berdesakan.

Yang terakhir adalah pembangunan tanggul laut. Akhir 2024 lalu Presiden Joko Widodo meresmikan tanggul sepanjang 3,6 kilometer itu.

“Waktu pembangunan tanggul belum jadi, Pak Jokowi ke sini jam dua belas malam, hanya sama sopirnya saja. Nggak ada pengawalnya,” kata Gofur dengan suara bangga. “Sekarang kampung Tambak Lorok aman dari gelombang, aman dari pasang surut laut.” 

Efektifitas Tanggul Laut

Pemerintah mengklaim tanggul laut di Tambak Lorok akan bertahan sampai 30 tahun. Tapi saya mendengar bahwa tanggul laut itu sudah merembes pada waktu-waktu tertentu. Beberapa pakar menyebut tanggul laut memang efektif menanggulangi air pasang, gelombang, dan rob. Namun, ia hanya bisa diandalkan dalam jangka pendek. Di pesisir Semarang–Demak, daya tahan tanggul juga berpacu dengan penurunan muka tanah. Di sana penurunan muka tanah bisa mencapai 12 sentimeter per tahun.

“Menurut saya tanggul laut merupakan solusi yang efektif untuk jangka pendek. Tidak menyelesaikan akar masalah walau investasinya besar,” kata Ketua Departemen  Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Diponegoro Semarang Ing Wiwandari Handayani dalam sebuah wawancara radio pada pekan ketiga Februari 2025 lalu.

Ketika saya menyusuri tanggul laut di Tambak Lorok, beberapa pemancing sedang khusyuk melakukan aktivitasnya. Kawasan industri Tanjung Mas terlihat jelas dari balik tanggul yang dibangun dengan anggaran 386 miliar itu. Seekor burung kuntul putih mencari mangsa di kubangan luas di kolam retensi. Melihat ada orang melintas tak jauh darinya, ia terbang rendah.

“Di Jakarta Utara tanggul laut dibangun lebih tinggi. Tapi sudah retak, air-airnya masuk ke dalam,” kata salah seorang rekan yang hari itu turut serta ke Tambak Lorok. Ia orang Bekasi. Barangkali ia sering menelusuri Jakarta Utara.

Jangan jauh-jauh sampai Jakarta Utara. Sekitar tiga tahun lalu, tanggul di PT Lamicitra Nusantara yang berlokasi di kawasan Pelabuhan Tanjung Mas jebol. Akibatnya, air rob masuk ke kawasan pelabuhan, sampai berhari-hari. Aktivitas industri terhenti. Tambak Lorok yang hanya berjarak selemparan batu dari pelabuhan juga kena rob. Saat itu, tanggul di kampung tersebut belum selesai dibangun.

  • Ketika Hidup Warga Pesisir Semarang Ditanggung Tanggul Laut
  • Ketika Hidup Warga Pesisir Semarang Ditanggung Tanggul Laut

Tanggul Tol Laut Semarang–Demak

Kini, sebuah tanggul laut versi mercusuar sedang dibangun oleh pemerintah pusat. Tol Tanggul Laut Semarang–Demak. Tanggul sekaligus jalan tol sepanjang 27 kilometer itu akan melahap anggarannya 15 triliun. Sepuluh juta bambu digunakan sebagai material proyek tersebut, dirakit dan ditata sedemikian rupa menjadi matras untuk bangunan tanggul dan tol di atasnya. Konon, penggunaan matras bambu itu bisa menahan penurunan tanah.

Selain mempertanyakan efektivitas dan kekuatan matras bambu, beberapa kalangan khawatir keberadaan tol tanggul laut justru membawa malapetaka bagi daerah lain. Sebab, keberadaan tanggul Tol Tanggul Laut Semarang–Demak itu diperkirakan bakal mengubah arus laut. Daerah-daerah yang sebelumnya aman malah berpotensi kena rob hanya karena tidak dilalui tanggul.

Lantas, apa yang seharusnya juga dilakukan oleh pemerintah agar tak melulu bergantung pada pembangunan tanggul laut? Ing Wiwandari Handayani mengatakan, “Akar masalah di hulu harus mulai diperbaiki dengan menjaga kawasan resapan air dan tata kelola kota yang baik.”

Ketika Hidup Warga Pesisir Semarang Ditanggung Tanggul Laut
Matras bambu pembangunan tol tanggul laut terdampar karena terbawa gelombang besar pada akhir Januari lalu/Achmad Rizki Muazam via Mongabay Indonesia

Pada hari lain Gofur mengajak saya ke dermaga sebelah timur kampung. Ia tetap mengenakan kaus kampanye. Hanya saja, hari itu ia mengenakan kaus milik paslon lain. Tampaknya kaus kampanye menjadi pemberian yang berguna betul bagi orang seperti Gofur.

Terdapat sebuah tangga kayu di tanggul yang membatasi dermaga dengan permukiman warga. Kami menaiki tangga itu agar tidak harus berjalan jauh memutar. Ketika kaki saya sudah menapaki dermaga, saya melihat bambu-bambu sepanjang tiga meter yang teronggok di pojokan, tepat di samping tanggul. “Itu bambu-bambu proyek tol tanggul laut. Lepas dari kerangka dan terbawa sampai sini,” tuturnya. 

Awan hitam menggantung di langit sebelah utara, di atas Laut Jawa yang airnya berkecipak membentur tepian dermaga. Gofur duduk di sebatang bambu yang melintang. Ia merogoh saku celananya, meraih bungkus rokok dan geretan. Asap tipis meliyuk-liyuk di udara. Baunya berbaur dengan aroma laut. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Ketika Hidup Warga Pesisir Semarang Ditanggung Tanggul Laut appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/ketika-hidup-warga-pesisir-semarang-ditanggung-tanggul-laut/feed/ 0 47379
Kisah dari Sebuah Kampung yang Pernah Menjadi Laut https://telusuri.id/kisah-dari-sebuah-kampung-yang-pernah-menjadi-laut/ https://telusuri.id/kisah-dari-sebuah-kampung-yang-pernah-menjadi-laut/#respond Thu, 22 May 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47154 Sebuah patung berdiri di muka Kampung Tambak Lorok. Bentuknya menyerupai ikan marlin, ikan yang menjadi primadona para pelaut. Melihat patung tersebut, saya teringat sosok Santiago, si lelaki tua dalam novel The Old Man and The...

The post Kisah dari Sebuah Kampung yang Pernah Menjadi Laut appeared first on TelusuRI.

]]>
Sebuah patung berdiri di muka Kampung Tambak Lorok. Bentuknya menyerupai ikan marlin, ikan yang menjadi primadona para pelaut. Melihat patung tersebut, saya teringat sosok Santiago, si lelaki tua dalam novel The Old Man and The Sea gubahan Ernest Hemingway. Di atas perahunya, Santiago pontang-panting menangkap ikan marlin raksasa di Laut Kuba.

Pada Minggu (8/12/2024), saya melintasi patung marlin itu, lalu berkelok ke jalan utama Kampung Tambak Lorok, Tanjung Mas, Semarang Utara. Tak butuh waktu lama, rongga hidung saya langsung berjumpa dengan aroma ikan asin. Warga memang menjemur ikan asin di pinggiran jalan kampung. Pukul sembilan pagi, matahari sudah menyorot hebat. Semarang panas seperti biasanya. 

Setelah melewati pasar kampung Tambak Lorok, kendaraan yang saya tumpangi berhenti di sekitar bangunan Pos TNI AL. Beberapa orang berkumpul di pelataran dan di taman samping bangunan bercat putih itu. “Ada kunjungan Mbak Ita,” kata Bu Suntiah, 54 tahun, salah seorang warga Tambak Lorok, menjelaskan mengapa pagi itu ada ramai-ramai. 

Mbak Ita adalah nama sapaan Hevearita Gunaryanti Rahayu. Mantan Wali Kota Semarang yang kini sedang terjerat kasus korupsi dan pemerasan di lingkup Pemkot Semarang. Hari itu, ia datang ke Tambak Lorok untuk membagi-bagikan sembako.

Kisah dari Sebuah Kampung yang Pernah Menjadi Laut
Suasana Kampung Tambak Lorok/Adinan Rizfauzi

Kami dipersilakan masuk ke ruang depan Pos TNI AL. Sebuah karpet benang warna-warni digelar untuk kami. Lantai keramik warna putih dan cat bangunan yang serba putih membuat gerah sedikit tertahankan. Di salah satu sudut tembok, terbentang peta Kampung Tambak Lorok.

Saya tidak tahu persis mengapa Pos TNI AL menjadi tempat pertemuan kami dengan Bu Suntiah. Barangkali karena hari itu ada kunjungan wali kota, dan Bu Suntiah yang juga turut hadir ke pertemuan ingin agar kami sekalian menemuinya di sana.

Saya datang bergerombol bersama delapan orang lain. Lima orang di antaranya, ditambah saya, adalah peserta Urban Citizenship Academy (UCA) 2024. Itu adalah program pengembangan kapasitas dan kampanye untuk mengatasi masalah kota yang diselenggarakan oleh Kota Kita, sebuah organisasi nonpemerintah yang berbasis di Surakarta, Jawa Tengah. Tiga orang lain yang turut serta adalah fasilitator kegiatan dari Kota Kita. Sementara Bu Suntiah adalah fasilitator kami dari Kampung Tambak Lorok. 

Boleh dibilang Bu Suntiah adalah kunci. Ia memberi kami akses ke narasumber sesuai dengan kriteria yang kami butuhkan. Tiap orang dari kami memiliki kriteria narasumber yang berbeda, sebuah cara yang tepat untuk membuat Bu Suntiah repot. Di Kota Semarang, UCA 2024 mengambil tema soal keadilan iklim. Kami berusaha menggali informasi tentang dampak krisis iklim terhadap masyarakat pesisir. Dan kedatangan kami ke Kampung Tambak Lorok tak lain dan tak bukan adalah untuk itu.

Kisah dari Sebuah Kampung yang Pernah Menjadi Laut
Dermaga sebelah timur Kampung Tambak Lorok/Adinan Rizfauzi

Kampung Pemanen Hasil Laut

Kampung yang diimpit oleh dua dermaga ini memiliki 11.056 penduduk. Rumah-rumah dibangun berdempetan. Sebuah kampung yang sesak. Dari beberapa titik kampung, cerobong-cerobong Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) milik PT Indonesia Power di sebelah barat kampung terlihat memuntahkan kepulan asap hitam. Kampung ini bisa ditempuh 13 menit dari pusat Kota Semarang, dan hanya empat menit dari Pelabuhan Tanjung Mas. Kebanyakan warganya bekerja dengan mengandalkan tangkapan laut.

Selang beberapa saat setelah kami mulai menyusuri kampung, kami melihat beberapa perempuan sedang membersihkan cangkang kerang hijau. Dian Lestari (29), warga Kampung Tambak Lorok yang hari itu kami temui mengatakan bahwa pagi itu, ia dan tiga rekannya sudah membersihkan delapan ember kerang. 

“Per ember 15 kg. Sehari bisa dapat empat ember, kadang sampai delapan ember. Tergantung ambil banyak atau dikit,” katanya. “Per ember sepuluh ribu.”

Kisah dari Sebuah Kampung yang Pernah Menjadi Laut
Kerang hijau yang sudah dibersihkan oleh Mbak Dian dan rekan-rekannya/Adinan Rizfauzi

Mbak Dian duduk di sebuah dingklik kayu di pelataran sempit rumahnya. Tangannya cekatan menggerakkan gagang pisau. Caranya membersihkan cangkang kerang terlihat sederhana. Mula-mula, ia memisahkan kerang-kerang yang bergerombol. Seketika pisaunya sudah memangkas kerak-kerak yang menempel di bagian cangkang kerang, lalu memotong julaian rambut pada bagian sudut-sudut kerang. Mata saya tak berkedip ketika melihat gerakan kilat itu.

“Nanti dijual ke pasar. Kalau dimasak siputan, dimasak sama kulitnya. Kalau digoreng cuma diambil dagingnya,” tuturnya. Sesekali ia berhenti bekerja, menjawab pertanyaan kami dengan suara bertempo cepat.

Tak jauh dari pelataran tempat Mbak Dian dan perempuan lain bekerja, ada dua orang bapak sedang bercengkrama. Mereka duduk di sebuah balai-balai panjang yang merekat di tembok belakang rumah warga lain. Salah satu dari mereka adalah seorang nelayan. Namanya Gofur, 52 tahun.

“Kemarin libur karena gelombang lagi tinggi. Desember memang sering gelombang tinggi.” Kepada kami Pak Gofur sering tersenyum ramah. Ketika kami dipersilakan turut duduk di balai-balai, salah seorang lelaki lain malah menyingkir.

Nestapa Warga Pesisir di Hadapan Gelombang Ganas

Gelombang tinggi memang jadi musuh nelayan seperti Pak Gofur. Gara-gara gelombang tinggi, para nelayan terpaksa meliburkan diri. Libur artinya tak ada pemasukan. Pak Gofur pernah tidak melaut sampai dua minggu. Saya bertanya, “Terus bagaimana?”

“Pakai simpanan. Kalau kepepet, ya, utang,” tukasnya.

Bagi warga pesisir, gelombang tinggi tidak sekadar berpengaruh pada urusan pekerjaan dan pendapatan, tapi juga pada seluruh aktivitasnya. Sebab, biasanya gelombang tinggi juga diikuti oleh malapetaka lain: banjir rob. Setidaknya itulah yang terjadi di wilayah pesisir Semarang–Demak. Sampai hari ini, beberapa wilayah di dua tempat itu tak bisa lolos dari bencana rob. Untungnya kini Tambak Lorok menjadi satu kampung yang selamat.

Pada 2024 lalu, pemerintah meresmikan pembangunan tanggul laut yang mengitari separuh Kampung Tambak Lorok. Tanggul laut sepanjang 3,6 kilometer itu melahap anggaran 386 miliar. Saya sudah dua kali menyusuri tanggul itu dari ujung ke ujung. Panjang juga. Tanggul itulah yang menjadi penyelamat Tambak Lorok dari rob dan gelombang tinggi, yang sebelumnya sempat memorak-porandakan hunian warga. 

“Itu rumah saya kena gelombang, sampai sekarang belum saya perbaiki. Sudah satu tahun lebih, mau dua tahun,” tutur Mbak Dian, menunjuk ke arah bekas rumahnya. Karena peristiwa itu, sejak Desember 2023, ia beserta suami dan dua orang anaknya terpaksa tinggal satu rumah bersama mertuanya. 

Pak Gofur mengingat betapa dulu kampungnya menjadi langganan rob, “Dulu nggak ada tanggul ini, waduh, Tambak Lorok itu seperti lautan.” Rumah Gofur berada persis di sebelah bekas rumah Mbak Dian. Rumah itu kini lebih menyerupai rumah panggung yang berdiri di atas laut. Padahal, kata Mbak Dian, dua tahun silam rumah itu masih menapaki tanah.

Terbebas dari rob bukan berarti semua masalah telah selesai. Seperti daerah pesisir Semarang–Demak lain, Tambak Lorok juga mengalami penurunan permukaan tanah (land subsidence). Setiap tahunnya tanah di pesisir Aemarang bisa amblas sampai 12 sentimeter. Maka, saya tidak terkejut ketika melihat beberapa rumah di Tambak Lorok memiliki lantai yang jauh lebih rendah dari permukaan jalanan di hadapannya. Saya juga kerap melihat jendela yang menyentuh dasar lantai rumah atau rumah dengan kusen pintu rendah. Pak Gofur mesti merunduk apabila ingin keluar masuk rumah. Semua itu gara-gara penurunan muka tanah.

  • Kisah dari Sebuah Kampung yang Pernah Menjadi Laut

Mbak Dian merencanakan akan pindah ke tempat lain. Satu petak tanah telah dibeli di daerah Genuk, sebuah kecamatan di Semarang yang berjarak sekitar delapan kilometer dari Tambak Lorok. Kini ia bersama suaminya secara bertahap mulai membeli material untuk bangunan rumahnya kelak. 

“Sebenernya enak di Tambak Lorok. Di sini cari kerja agak gampang. Cuma kendalanya di sini tanahnya gerak. Pengeluarannya banyak untuk renovasi rumah,” kata Amin Marzuki. Mas Amin, 30 tahun, adalah suami Mbak Dian. Melihat ada orang berkumpul di pelatarannya, ia ikut nimbrung.

Setelah menyusuri beberapa ruas gang di Kampung Tambak Lorok, kami singgah di dermaga sebelah timur kampung. Ada beberapa orang berjongkok menghadap laut sambil memegang joran pancing. 

Menjelang siang, perahu-perahu nelayan di dermaga dengan berbagai ukuran dan warna terombang-ambing oleh gelombang laut. Tidak terlihat nelayan yang berkegiatan. Angin masih berembus kencang. Hari itu, barangkali Pak Gofur akan kembali absen ke laut. Untuk keselamatannya, Pak Gofur memang memilih untuk tidak meniru Santiago yang mati-matian menangkap ikan marlin.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kisah dari Sebuah Kampung yang Pernah Menjadi Laut appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kisah-dari-sebuah-kampung-yang-pernah-menjadi-laut/feed/ 0 47154
Menelusuri Gereja Katolik Santo Yusuf dan Susteran St. Fransiskus di Kampung Lawas Gedangan Semarang (1) https://telusuri.id/menelusuri-gereja-katolik-santo-yusuf-dan-susteran-st-fransiskus-di-kampung-lawas-gedangan-semarang-1/ https://telusuri.id/menelusuri-gereja-katolik-santo-yusuf-dan-susteran-st-fransiskus-di-kampung-lawas-gedangan-semarang-1/#respond Tue, 26 Nov 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=43971 Perjalanan saya kali ini berada di Kota Semarang. Tepatnya kampung lawas Gedangan di Jalan Ronggowarsito, yang membelah dua kecamatan: Semarang Timur dan Semarang Utara. Gedangan menjadi tujuan berikutnya setelah puas berkutat di Kota Lama. Suatu...

The post Menelusuri Gereja Katolik Santo Yusuf dan Susteran St. Fransiskus di Kampung Lawas Gedangan Semarang (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Perjalanan saya kali ini berada di Kota Semarang. Tepatnya kampung lawas Gedangan di Jalan Ronggowarsito, yang membelah dua kecamatan: Semarang Timur dan Semarang Utara. Gedangan menjadi tujuan berikutnya setelah puas berkutat di Kota Lama.

Suatu kebetulan, perjalanan saya lakukan saat hari kerja, sehingga lalu lintas kendaraan tidak terlalu ramai. Bisa dibayangkan jika akhir pekan, jalan protokol kota dan kampung sekitar akan macet. Membuat saya kurang puas menikmati momen.

Kemacetan terjadi bukan karena hilir mudik warga, melainkan mobilitas wisatawan dengan armada bus besar yang memenuhi badan jalan. Masyarakat kota lebih memilih tinggal di rumah. Sekalinya mereka pergi pun akan menuju luar kota.

Menelusuri Gereja Katolik Santo Yusuf dan Susteran St. Fransiskus di Kampung Lawas Gedangan Semarang (1)
Tampak depan Gereja Katolik Santo Yusuf Semarang/Ibnu Rustamadji

Setibanya di Kampung Gedangan, saya lekas menuju sisi timur Jalan Pengapon. Di antara bangunan-bangunan indis yang menghiasi sepanjang jalan, tujuan utama saya ada di depan mata dan saling berhadapan. Keduanya adalah Gereja Katolik Santo Yusuf dan Susteran Ordo Santo Fransiskus (OSF) atau St. Fransiskus.

Gereja Katolik Pertama di Kota Semarang

Cuaca panas Kota Semarang tak menjadi penghalang bagi saya untuk berkunjung ke gereja tersebut. Setelah mendapat izin dari ibu paruh baya, yang ternyata koster gereja, lensa kamera tak henti bekerja.

Ingin menyaksikan keindahan secara dekat. Itulah alasan utama saya berkunjung. Saat perlahan melangkahkan kaki memasuki gereja, mata dibuat terbelalak dengan keindahan ornamen yang ada. 

“Wah. Depan saja indah. Ternyata bagian dalam lebih indah dan menawan,” begitu kira-kira kalimat pertama yang saya ucapkan.

Di tengah asyik mengamati detail ornamen, muncul ingatan untuk mencari tahu masa lalu gereja dan susteran di kampung lawas Gedangan itu. Saya pun menghubungi seorang rekan, Albertus Kriswandono, untuk mendapat jawaban atas rasa penasaran saya.

Menurut dia, Gereja Katolik Santo Yusuf Gedangan dibangun atas dasar keprihatinan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels, atas kondisi umat Katolik di Hindia Belanda yang harus beribadah secara sembunyi-sembunyi. Mereka melakukan hal tersebut lantaran takut terhadap cengkeraman kuasa Vereeniging Oost-Indie Compagnie (VOC), sebagai akibat kebencian VOC terhadap agama Katolik pascaperang antara Belanda-Spanyol. Banyak imam Katolik dipenjara, sehingga misa tidak bisa dilakukan terang-terangan.

Sekian lama tenggelam dalam perdebatan, Daendels yang dikenal kejam mengizinkan umat Katolik di Hindia Belanda kembali beribadah. Pada 8 April 1808, Gereja Katolik Vatikan lantas mengutus dua pastor misionaris, yakni Jacobus Nielsen dan Lambertus Prinsen ke Batavia. Dua hari kemudian, mereka merayakan misa umum di Batavia yang dihadiri ratusan umat Katolik.

Menelusuri Gereja Katolik Santo Yusuf dan Susteran St. Fransiskus di Kampung Lawas Gedangan Semarang (1)
Pintu masuk menuju ruang utama gereja/Ibnu Rustamadji

Misa perdana tanggal 10 April 1808 itu lantas dikenang sebagai hari kelahiran misionari Katolik di Hindia Belanda. Delapan bulan berselang, tepatnya 27 Desember 1808, Pastor Lambertus Prinsen tiba di Kota Semarang. Hanya saja,  umat Katolik di Semarang belum memiliki gereja sendiri. Misa pertama digelar dengan cara menumpang di Gereja Protestan “Blenduk” pada 18 Januari 1809.

Lazim terjadi jika satu gereja digunakan untuk ibadah dua agama secara bergantian, karena keterbatasan kemampuan umat. Mereka beribadah sesuai dengan keyakinan masing-masing tanpa adanya segregasi di gereja yang sama, tetapi dengan waktu yang berbeda. Kedua umat saling menghormati menghadapi kondisi tersebut.

Meski begitu, Pastor Prinsen memahami jika umatnya tidak bisa menumpang di gereja Protestan lebih lama. Pada 1825, ia kemudian berinisiatif membeli sebuah gedung berlantai dua—kini dikenal Semarang Contemporary Art Gallery di utara paradeplein atau Taman Srigunting saat ini—seharga 6.000 gulden. Setelah itu, misa pertama di gereja Katolik pertama di Semarang akhirnya digelar.

Ketika Gubernur Jenderal C.F. Paud berkunjung ke Kota Semarang tahun 1859, ia melihat tempat ibadah umat Katolik dalam kondisi memprihatinkan. Setelah terjadi perdebatan di kerajaan, akhirnya pemerintah menyetujui hibah dana sebesar 50.000 gulden. Hanya saja, dana baru turun sekitar 10 tahun kemudian.

Awal perencanaan gereja dibangun di Heerenstraat atau Jalan Letjend Soeprapto di dalam Kota Lama. Namun, karena lahan dirasa kurang luas, akhirnya rencana pembangunan dipindah ke areal kebun gedang (pisang) di sisi timur kota. Warga lalu biasa menyebut kedua bangunan itu Gereja Katolik Santo Yusuf Gedangan dan Susteran St. Fransiskus Gedangan.

Beragam Tantangan sepanjang Pembangunan Gereja

Proyek pembangunan berjalan perlahan lantaran adanya permasalahan penggunaan lahan dan dana untuk membiayai pembangunan gereja. Setelah masalah teratasi, akhirnya upacara peletakan batu pertama pembangunan gereja dilakukan oleh Pastor Lijnen pada 1 Oktober 1870.

Akan tetapi, masalah berikutnya muncul. Hasil perhitungan dana hibah tidak mencukupi pembangunan. Pastor Sander kemudian menggalang dana dengan menjual tanah dan bangunan gereja yang lama. Setelah mendapat sumbangan dana dari seorang dermawan, proyek pembangunan gereja pun dilanjutkan. W. van Bakel dipercaya sebagai perancang gereja. Ia lantas mendesain gereja bergaya Neo-Gothic.

Menelusuri Gereja Katolik Santo Yusuf dan Susteran St. Fransiskus di Kampung Lawas Gedangan Semarang (1)
Sudut kiri altar/Ibnu Rustamadji

Pada 12 Mei 1873, saat pembangunan tengah berlangsung, tiba-tiba bagian atap gereja roboh tanpa diketahui penyebabnya. Alhasil, pihak berwenang memutuskan perubahan total rancangan gereja. Bagian depan yang sedianya berhias lonceng dan struktur gedung gereja yang monumental, harus dipangkas karena khawatir bahaya bencana alam,

Setelah melalui beragam tantangan, gereja Katolik ini akhirnya selesai. Tanggal 12 Desember 1875, gelaran upacara pentasbihan gereja Katolik Kota Semarang digelar. Gereja Katolik Gedangan Kota Semarang menjadi gereja Katolik terindah di Hindia Belanda saat itu, jauh sebelum Gereja Katedral Batavia (Jakarta) dibangun.

Warna merah pada bangunan gereja sejatinya bersumber dari ekspos batu bata merah yang didatangkan langsung dari Eropa dengan kapal dagang. Bagian pintu dan jendela tetap bergaya Neo-Gothic seperti rancangan awal. 

Gereja ini semakin menawan dengan adanya patung Pastor Lijnen, sang peletak batu pertama pembangunan gereja, berdiri di sudut barat daya. Orgel kuno buatan 1903 masih bertengger apik di balkon—di atas pintu masuk utama— menghadap altar. Sisi kanan dan kiri terdapat panil lukisan kisah Perjanjian Baru dan penggalan doa dalam bahasa Belanda.

Pilar bundar di bagian tengah gereja dan deretan kaca patri bergambar santo semakin memberikan kesan mewah. Altar pada bagian depan yang bergaya gotik diimpor langsung dari Düsseldorf, Jerman. Namun, kondisinya masih terawat dan terjaga meski kini tidak lagi digunakan.

Menelusuri Gereja Katolik Santo Yusuf dan Susteran St. Fransiskus di Kampung Lawas Gedangan Semarang (1)
Gedung pastoran Gereja Katolik Santo Yusuf Semarang/Ibnu Rustamadji

Puas mengabadikan keindahan di bagian dalam gereja, tidak lupa saya mampir sejenak di pastoran yang berada tepat di samping gereja. Salah satu uskup Pastoran Gedangan yang cukup terkenal dari kalangan pribumi adalah Monsinyur Mgr. Soegijapranata, S.J. Sebuah kehormatan bagi saya dapat menyaksikan jejak Romo Soegija di Kota Semarang.

Matahari mulai bergeser ke ufuk barat. Saya bergegas menyambangi gedung susteran yang terletak persis di seberang Gereja Katolik Gedangan. Menurut catatan yang Kriswandhono miliki, gedung susteran tersebut berusia lebih tua. Paling tua di Gedangan.

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menelusuri Gereja Katolik Santo Yusuf dan Susteran St. Fransiskus di Kampung Lawas Gedangan Semarang (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menelusuri-gereja-katolik-santo-yusuf-dan-susteran-st-fransiskus-di-kampung-lawas-gedangan-semarang-1/feed/ 0 43971
Menjelajah Hutan Indrakila, Sisi Barat Gunung Ungaran https://telusuri.id/menjelajah-hutan-indrakila-sisi-barat-gunung-ungaran/ https://telusuri.id/menjelajah-hutan-indrakila-sisi-barat-gunung-ungaran/#respond Wed, 15 May 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41925 Semenjak aku bergabung di unit kegiatan mahasiswa (UKM) pencinta alam kampusku, kegiatan pendakian yang aku lakukan tidak lagi sekadar trekking di jalur pendakian biasa, mendirikan tenda, lalu pulang. Lebih dari itu, pendakian yang dilakukan biasanya...

The post Menjelajah Hutan Indrakila, Sisi Barat Gunung Ungaran appeared first on TelusuRI.

]]>
Semenjak aku bergabung di unit kegiatan mahasiswa (UKM) pencinta alam kampusku, kegiatan pendakian yang aku lakukan tidak lagi sekadar trekking di jalur pendakian biasa, mendirikan tenda, lalu pulang. Lebih dari itu, pendakian yang dilakukan biasanya sekaligus membuka jalur baru yang belum ada ataupun menjelajah jalur yang paling sepi dan sudah lama tidak dilalui oleh para pendaki. Bukan tanpa maksud apa-apa, melainkan bertujuan untuk melatih keterampilan ilmu navigasi serta skill survival kami di alam bebas.

Gunung yang sering kami jadikan tempat latihan adalah Gunung Ungaran. Jika biasanya para pendaki melalui jalur pendakian Mawar, Gedong Songo, Promasan, atau Perantunan, kami justru memilih Indrakila. Mungkin tidak terkenal di kalangan para pendaki, tetapi jalur tersebut cukup sering dilalui warga untuk berburu dan dijadikan tempat latihan bagi para kelompok pencinta alam. 

Dimulai dari Dukuh Indrakila

Jalur pendakian Indrakila berada di Dukuh Indrakila, Desa Lerep, Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang. Kami menuju Indrakila menggunakan mobil bak untuk menampung sepuluh orang personel tim beserta peralatan. Dari kampus kami, perjalanan memakan waktu sekitar 45 menit. Jalan menuju dukuh lumayan sempit dan hanya cukup dilalui satu kendaraan roda empat, sehingga kami harus berhati-hati terutama saat melewati jalan yang berkelok-kelok dan menanjak. 

Titik awal pendakian jalur ini adalah rumah kepala dukuh yang berada paling ujung dan tidak bisa dijangkau dengan kendaraan roda empat. Kami harus berjalan kaki sejauh 400 meter dari lokasi pemberhentian terakhir di mana kendaraan bisa parkir. Memang tidak jauh, tetapi medan yang langsung menanjak tajam membuat kami sedikit terengah-engah. Sesampainya di sana, kami meminta izin kepada kepala dukuh untuk melakukan pendakian. 

“Hati-hati, ya. Kalau hujan jalannya licin. Selalu utamakan keselamatan,” pesannya setelah memberi kami izin. Kami pun mengangguk patuh dan berterima kasih.

Untuk meregangkan otot-otot kami, terlebih dahulu kami melakukan pemanasan. Kemudian dilanjutkan dengan orientasi medan untuk menentukan titik koordinat awal perjalanan yang akan kami lalui. Meski dengan GPS bisa saja kami mengetahui koordinat dengan mudah, tetapi kali ini kami harus menggunakan peta manual dengan dibantu kompas. Beres menentukan koordinat, tak lupa kami berdoa bersama sebelum melangkahkan kaki memasuki hutan Indrakila.

Menjelajah Hutan Indrakila, Sisi Barat Gunung Ungaran
Menjelajah rimbunnya hutan Indrakila/Lya Munawaroh

Perubahan Rencana

Di awal pendakian, medan yang kami lalui berupa jalan setapak yang sering dilewati warga dengan vegetasi berupa kebun kopi. Setengah jam kami berjalan, kami istirahat sejenak selama lima menit. Manajemen perjalanan seperti ini kami lakukan secara berkala untuk menjaga kondisi fisik supaya tidak mudah lelah. 

Di sela-sela istirahat, kami kembali melaksanakan orientasi medan. Lantas kami melakukan resection untuk mengetahui sampai mana perjalanan kami dan medan seperti apa yang akan kami lewati selanjutnya. Saat resection kami membidik dua objek berupa punggungan dan tower yang terlihat menggunakan kompas. Dengan begitu kami bisa mengetahui titik koordinat lokasi kami pada peta. Agar lebih akurat, kami mencocokkan koordinat hasil resection dengan GPS yang kami bawa.

Setelah satu jam perjalanan, kami memasuki kawasan vegetasi berupa pohon pinus dengan medan jalan setapak yang semakin menanjak. Kami terus menyusuri jalan setapak yang telah kami plotting sebelumnya. Namun, ternyata itu adalah jalan buntu dan yang kami temui malah semak belukar. Kami segera berkumpul dan mengeluarkan peta, lalu merapatkan rencana perubahan jalur pendakian.

Menjelajah Hutan Indrakila, Sisi Barat Gunung Ungaran
Briefing singkat perubahan jalur pendakian/Lya Munawaroh

“Punggungan ini sepertinya daerah Curug Lawe,” tunjuk Mas Hardi (pendamping tim pendakian) pada punggungan sebelah kanan jalur yang kami plotting. Ia pun bertanya dan meminta kami mengambil keputusan, “Kalau kita teruskan jalan ke atas punggungan ini harus babat jalur. Jadi, kalian mau babat jalur ke atas atau pindah punggungan?”

Akhirnya setelah briefing singkat, kami memutuskan untuk pindah punggungan karena mempertimbangkan waktu dan kondisi fisik tim. Itu berarti kami harus menuruni bukit dulu sebelum naik ke punggungan di sebelah kanan. 

Kami sedikit kesulitan berjalan kala menuruni bukit yang lumayan curam. Ditambah dengan tekstur tanah yang gembur membuat kami beberapa kali terperosok saat menginjakkan kaki. Kami semakin dalam menuruni bukit hingga akhirnya kami sampai di lembahan dan menemukan sungai. 

Menjelajah Hutan Indrakila, Sisi Barat Gunung Ungaran
Foto bersama sebelum menyantap makan siang di tepi sungai/Lya Munawaroh

Sebelum melanjutkan perjalanan, kami beristirahat sebentar untuk mengisi perut dan melaksanakan salat Duhur. Kami membuka satu per satu bekal yang kami bawa lalu menggelarnya di tanah untuk dijadikan satu.

Makan siang kali ini begitu syahdu, ditemani kicauan burung dan suara gemericik air sungai. Embusan angin menggerakkan dedaunan pohon-pohon yang menjulang tinggi, terasa begitu sejuk kala menerpa tubuh. Seusai makan dan salat, kami mengisi botol-botol kami dengan air sungai sebagai bekal melanjutkan perjalanan. Tujuan kami adalah Promasan, desa terakhir di kaki Gunung Ungaran.

Menuju Kebun Teh Promasan

Kondisi medan setelah menyeberangi sungai lebih sulit daripada sebelumnya. Selain jalur yang semakin terjal, terdapat banyak pohon tumbang yang menyulitkan pendakian. Pun semak belukar di kanan-kiri jalur bisa saja melukai tangan atau kulit sehingga kami harus berhati-hati. Ada kalanya kami melewati medan di samping jurang yang mengharuskan kami tetap fokus supaya tidak celaka.

Menjelajah Hutan Indrakila, Sisi Barat Gunung Ungaran
Perjalanan menuju Kebun Teh Promasan/Lya Munawaroh

Tak berselang lama kami sampai di tempat yang sedikit terbuka dengan terdapat satu pohon besar menjulang. Ternyata tempat ini adalah Pos 4 jalur Indrakila. Pos ini lumayan luas, setidaknya bisa muat untuk 5–7 tenda dome. Terdapat sisa-sisa kayu bakar bekas api unggun dan tercecer beberapa sampah plastik. Di jalur pendakian yang sepi masih ada saja pendaki bandel yang meninggalkan sampah.

Kami beristirahat sejenak meluruskan kaki sambil menyantap camilan untuk menambah energi. Karena kami yakin setelah ini medan akan semakin berat dan menguras fisik. Benar saja, kala beberapa meter kami berjalan, medan berubah menjadi bukit yang curam dengan tanah gembur yang tertutup dedaunan kering. Kami harus berpegangan pada rumput atau tanaman di setiap sisi jalur agar bisa menapakkan kaki dengan tegak.

Usai tiga jam berjalan, kami akhirnya tiba di kebun teh Promasan. Pemandangan luar biasa menyambut kami. Pesona Gunung Ungaran yang dikelilingi hamparan hijau kebun teh dan langit biru di atasnya merupakan perpaduan yang sempurna. Seakan kelelahan kami membelah hutan Indrakila sebelumnya menguap begitu saja saat melihatnya.

Puas berfoto dengan latar lanskap Gunung Ungaran, kami bergegas menuju salah satu rumah warga yang sudah akrab dengan kami. Beliau adalah Pak Min, rumahnya berada tepat di samping rumah Pak RT. Di rumah Pak Min kami mengistirahatkan tubuh sejenak, kemudian beranjak ke Sendang Promasan untuk membersihkan diri. Sendang ini memiliki mata air yang jernih dan sering digunakan para pendaki untuk mengisi air sebagai bekal mendaki serta membilas badan.

Sebenarnya berdasarkan informasi di situs Candi Promasan, sendang tersebut bernama Sendang Pengilon. Namun, karena terletak di dekat Candi Promasan sehingga lebih dikenal dengan Sendang Promasan. Malam itu kami menginap di rumah Pak Min dan menghabiskan waktu dengan mengevaluasi perjalanan kami hari itu dan mempersiapkan kegiatan untuk esoknya.

Walaupun melelahkan, perjalanan menjelajahi hutan Indrakila tetap asyik dan seru. Dari perjalanan ini kami bisa menjelajah medan yang belum pernah kami lalui dengan mengandalkan ilmu navigasi yang telah kami pelajari. Medan yang tidak mudah justru semakin membuat kami terlatih dan meningkatkan kemampuan kami.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menjelajah Hutan Indrakila, Sisi Barat Gunung Ungaran appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menjelajah-hutan-indrakila-sisi-barat-gunung-ungaran/feed/ 0 41925
Mendaki Gunung Ungaran di Akhir Pekan https://telusuri.id/mendaki-gunung-ungaran-di-akhir-pekan/ https://telusuri.id/mendaki-gunung-ungaran-di-akhir-pekan/#comments Mon, 19 Feb 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41184 Awan hitam mengerumuni langit Bantul, Yogyakarta. Rintik-rintik hujan pun perlahan mulai turun. Saya mulai sedikit ragu untuk pergi meninggalkan kamar kos yang pengap oleh keringat ini. Hamparan kasur tampak lebih menggoda dari sebelum-sebelumnya. Belum lagi,...

The post Mendaki Gunung Ungaran di Akhir Pekan appeared first on TelusuRI.

]]>
Awan hitam mengerumuni langit Bantul, Yogyakarta. Rintik-rintik hujan pun perlahan mulai turun. Saya mulai sedikit ragu untuk pergi meninggalkan kamar kos yang pengap oleh keringat ini. Hamparan kasur tampak lebih menggoda dari sebelum-sebelumnya. Belum lagi, setelah Andi kutanya, apakah di Magelang hujan? Ia menjawab, sudah reda. Godaan kasur saya tepis, keputusan saya bulat. Tidak ada alasan untuk tidak berangkat menuju Magelang dan meluncur ke jalur pendakian Gunung Ungaran Via Mawar. 

Pukul tiga sore saya berangkat menuju Magelang, diguyur rintik-rintik hujan yang mungkin saja perlahan akan membesar. Namun lambat laun, semakin jauh dari Bantul, memasuki area Moyudan, Sleman, jalanan basah. Hujan telah pergi, semoga tak kembali lagi, gumamku sambil mengendalikan setang motor.

Pendakian kali ini masih akan sama seperti pendakian sebelumnya, pikirku. Hanya dengan 200 meter perjalanan menanjak, Andi akan mulai merasakan denyut otot kaki yang tegang karena terlampau jarang didesak aktif, dan rongga napas yang kembang kempis sebab hanya digunakan untuk sekadar bernapas. Kekhawatiran itu ditambah lagi dengan suasana dini hari yang mencekam. Pohon yang rimbun menimbulkan hawa sejuk dan menjadi sumber oksigen yang menenangkan. Akan tetapi, hal itu hanya di siang hari. Di malam hari suasananya tentu berbeda, pohon adalah lawan yang harus ditaklukkan.

Dari Magelang ke Basecamp Mawar 

Pukul empat sore lewat saya sampai di kontrakan Andi. Seperti dugaan saya, Andi belum siap untuk langsung bergegas. Alhasil kami berangkat pukul 17.00. Dari Magelang menuju basecamp butuh waktu satu jam lebih. Saya prediksi, kami akan sampai pukul 18.30.

Namun, itu sudah meleset sebelum berlangsung karena Andi belum juga tuntas. Ia memang sangat doyan menilap waktu. Coba bayangkan, bisa-bisa ia masih harus mampir di swalayan untuk membeli beberapa keperluan pribadinya dan saya harus menunggunya cukup lama. Sepuluh hingga 20 menit berlalu, belum kelihatan batang hidungnya. Kurang lebih 30 menit kemudian baru ia muncul dengan satu kantung plastik besar penuh belanjaan.

“Kenapa nggak nanti saja? Saat pulang ‘kan bisa,” gerutu saya dengan nada sedikit humor agar ia tidak tersinggung. Namun, tanpa harus begitu pun saya yakin ia tak akan tersinggung.

“Santai,” jawabnya betul-betul santai dan tak peduli saya sudah satu jam lebih mengendarai motor dari Jogja.

Kiranya pukul 19.30 kami baru sampai di basecamp, dengan badan yang mulai kelelahan dan perut mulai keroncongan. Tanpa berlama-lama Andi memarkirkan motor dan kami menuju warung, lalu memesan seporsi nasi telur untuk menuntaskan rasa lapar yang mulai kelojotan.

Pukul 10 malam kami masuk ke basecamp dan meletakkan tas yang sekaligus menandai tempat yang akan kami jadikan ruang untuk tidur. Kami duduk sebentar menghabis sebatang rokok dan setelah itu bergegas tidur. Rencananya pukul tiga pagi kami akan memulai berjalan menerobos gelap dan hawa dingin yang cukup mencekam. Sambil merokok kami mengobrol banyak hal soal politik. Betapa menggodanya isu ini di tengah masa kampanye pilpres lalu.

Di tengah obrolan yang tak ada ujung itu, rombongan pendaki lain datang. Mereka masuk ke basecamp lalu meminang tempat untuk merebahkan badan. Rombongan itu telah melihat tas kami tergeletak. Saya rasa mereka sangat tahu, jika ada tas tergeletak artinya tempat itu sudah jadi “milik” orang lain. Mereka pun bertanya kepada saya dan Andi, ini tas siapa. Andi menjawab, itu tas kami. Lalu rombongan itu meminta izin untuk menguasai area sekitarnya. Setelah itu aku tak bisa luput memandangi tas.

Pengalaman saya, tidak ada pendaki yang akan mencuri barang pendaki lain. Dan betul saja, tas kami tetap aman di posisinya. Namun, malam itu kami telah “kemalingan”. Tempat tidur yang telah kami sekat dengan tas itu telah dikuasai rombongan yang sangat sopan meminta izin, tetapi keterlaluan karena tidak menyisakan tempat untuk kami istirahat.

Rasanya saya ingin sekali marah kepada rombongan itu. Bisa-bisanya mereka yang datang belakangan lalu menyerobot tempat yang sudah kami pinang. 

Nggak apa-apa, nanti kita tidur di musala,” jawab Andi sambil melihat ke arah ruang berukuran 3×3 meter di pojok basecamp

“Tapi itu sudah keterlaluan,” jawabku setengah emosi. Kami pun lanjut ngobrol. Sekitar pukul 00.00, saya mengambil tas lalu menuju musala dengan perasaan yang sama.

Mendaki Gunung Ungaran di Akhir Pekan
Jalur di tengah perkebunan kopi yang harus dilewati menuju puncak Gunung Ungaran/Janika Irawan

Sempat Salah Jalur

Malam itu saya tidur cukup lelap. Pukul tiga pagi kami memulai pendakian. Namun, rencana tampaknya hanya sekadar wacana belaka. Kami telat satu jam. Prediksi berdasarkan peta, butuh waktu 2,5 sampai 3 jam untuk sampai ke puncak. Itu artinya kami tidak akan mendapatkan panorama matahari terbit (sunrise) yang kontras di puncak Banteng Raider, titik tertinggi Gunung Ungaran Via Mawar. 

Berjalan di malam hari tidak semudah berjalan saat siang. Suasana gelap ditambah suhu udara yang makin menggigilkan badan. Meskipun jalur Gunung Ungaran Via Mawar ini sangat jelas, tetapi keliru memilih jalur bisa jadi tak terhindarkan. Belum lagi kami pendaki yang masih sangat-sangat amatiran. Berbekal senter HP kami menembus hutan. 

Menjelang Pos II, gemercik suara air terdengar jelas. Sebuah sungai yang menyejukkan. Begitu memukau daya gedornya. Kami pun terus berjalan menuju sungai. Lagi-lagi, dengan jangkauan senter handphone yang tak melebihi jangkauan dua meter itu adalah petaka. Kami melewati begitu saja petunjuk jalan yang mengisyaratkan untuk berbelok. 

Kira-kira setengah jam kami terjebak di area sungai. Beberapa kali kami mengikuti jalan yang tampaknya betul-betul jalur pendakian dan hasilnya buntu. Tidak ada jalan. Setelah beberapa lama, kami putuskan untuk sedikit turun. Tak jauh dari situ kami menemukan jalur kembali. Kami pun lanjut berjalan menuju Pos II.

Di pos tersebut kami tidak mampir. Kami langsung lanjut mengambil jalur kanan. Karena jalurnya sangat jelas kami pun tidak merasa mengambil jalur yang salah. Setelah itu, kami melewati sebuah permukiman di tengah kebun kopi. Ada beberapa rumah di sana. Setelah kami perhatikan tidak ada satu rumah pun yang menandakan ada penghuninya. Permukiman itu terlihat sedikit menyeramkan walaupun kami sampai di sana saat matahari perlahan mengusir gelap.

Mendaki Gunung Ungaran di Akhir Pekan
Andi berjalan melewati permukiman tak berpenghuni. Kami tidak sadar telah mengambil jalur lama/Janika Irawan

“Mungkin sudah tidak lagi ditinggali,” kata Andi kepada saya. 

“Sepertinya begitu,” jawab saya.

Saya membuka selebaran peta yang diberikan oleh pihak pengelola wisata saat kami membayar retribusi. Setelah perkampungan itu ada percabangan jalur. Berdasarkan peta, kami harus berbelok ke kiri. 

Kami melewati jalan bebatuan yang tersusun rapi dan lebar. Jalan yang tampaknya diperuntukkan agar bisa dilalui kendaraan roda empat untuk mengangkut hasil panen kopi. Namun, di jalur itu kami mulai curiga, apakah kami telah memilih jalur yang salah?

Sekitar pukul enam pagi kami sampai di Pos IV tanpa menemukan Pos III. Ini cukup aneh. Di peta sangat jelas, ada lima pos persinggahan untuk pendaki. Akan tetapi, karena jalur yang kami lewati sangat jelas, kami terus berprasangka baik bahwa kami telah menyusuri jalur yang benar.

Sebelum sampai di Tanggul Angin, kami melihat pendaki lain yang kami temui di basecamp semalam. Saya rasa rombongan pendaki itu ada di belakang kami, tetapi mereka malah sudah di berada di depan tanpa berpapasan dengan kami. 

Sekitar pukul 06.20 kami sampai di Puncak Tanggul Angin, di ketinggian 1.876 meter di atas permukaan laut (mdpl). Dan betul saja, setelah kami tanya rombongan itu, saya dan Andi memang memilih trek yang keliru meskipun tetap tembus puncak yang sama. Kami telah melalui jalur lain yang lebih jauh. Mungkin itu jalur lama.

  • Mendaki Gunung Ungaran di Akhir Pekan
  • Mendaki Gunung Ungaran di Akhir Pekan
  • Mendaki Gunung Ungaran di Akhir Pekan

Menuju Puncak Tertinggi

Di Puncak Tanggul Angin, kami beristirahat sebentar. Andi tampak malu-malu membuka kameranya untuk foto selfie demi kepentingan update status di media sosial.

Beberapa saat kemudian, kira-kira berjalan 200 meter kami sampai di Puncak Batu (1.908 mdpl). Di puncak ini kami tidak beristirahat dan melanjutkan perjalanan. Tak lama lagi kami akan sampai di Banteng Raider, puncak tertinggi Gunung Ungaran Via Mawar dengan ketinggian 2.050 mdpl.

Kami sampai di puncak sekitar pukul delapan pagi. Meskipun perjalanan ke gunung ini tak begitu melelahkan, tetapi karena kami memilih jalur yang sedikit melebar dan lebih jauh dari trek pendakian, sambil tertawa halus kami mengerti telah memilih jalan yang keliru.

Kiranya satu jam saya dan Andi—begitu pun dua pendaki lainnya—menghabiskan waktu di puncak. Cuaca lamat-lamat berkabut, tetapi toh, cuaca cerah hanya bonus. Tujuan kami hanya refreshing akhir pekan di tengah kesibukan bekerja dan itu sudah terlaksana.

Mendaki Gunung Ungaran di Akhir Pekan
Andi (kanan) dan pendaki lain duduk menikmati suasana di Puncak Banteng Raider/Janika Irawan

Pukul 09.30 kami bergegas turun. Karena tak menyiapkan satu pun perbekalan, kami ingin segera sampai ke basecamp, tak kuasa membuat perut makin menderita.

Di perjalanan pulang kami tidak lagi melewati jalur seperti saat berangkat. Di bawah Puncak Tanggul Angin kami memilih ke kanan, meniti jalur yang disarankan. Kami menemukan Pos V, Pos IV, dan Pos III—yang tidak kami temukan sebelumnya.

Tiba-tiba, kesialan tak pernah hilang: hujan turun. Dan di tengah gempuran hujan kami hanya punya satu tujuan, menuntaskan rasa lapar.

Namun, yang sedikit menggembirakan dari pendakian ini adalah Andi mulai terlihat sebagai pendaki yang lumayan tangguh. Tidak seperti pendakian sebelumnya di gunung yang sama, tetapi via Perantunan. Tak lebih dari dua ratus meter dia sesak napas dan harus beristirahat cukup lama. Kondisi yang sangat membuatku risau saat itu.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mendaki Gunung Ungaran di Akhir Pekan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mendaki-gunung-ungaran-di-akhir-pekan/feed/ 1 41184
Cerita dari Pasar Jatingaleh https://telusuri.id/cerita-dari-pasar-jatingaleh/ https://telusuri.id/cerita-dari-pasar-jatingaleh/#respond Mon, 04 Dec 2023 06:00:20 +0000 https://telusuri.id/?p=40069 Biasanya di hari Minggu aku menyempatkan diri untuk berolahraga. Seperti lari, jalan kaki, atau sekedar bersepeda. Namun, hari Minggu pagi ini sedikit terasa berbeda karena aku berencana mengikuti kegiatan memotret suasana Pasar Jatingaleh bersama kawan-kawan...

The post Cerita dari Pasar Jatingaleh appeared first on TelusuRI.

]]>
Biasanya di hari Minggu aku menyempatkan diri untuk berolahraga. Seperti lari, jalan kaki, atau sekedar bersepeda. Namun, hari Minggu pagi ini sedikit terasa berbeda karena aku berencana mengikuti kegiatan memotret suasana Pasar Jatingaleh bersama kawan-kawan dari komunitas Hunting Pasar Semarang.

Sebelum pandemi COVID-19, komunitas Hunting Pasar Semarang rutin mengadakan kegiatan memotret suasana pasar tradisional. Berpindah dari satu pasar ke pasar lainnya. Namun pada tahun 2020, saat pandemi COVID-19 melanda, mereka vakum mengadakan kegiatan selama beberapa waktu.

Penghujung tahun 2022, situasi pandemi membaik. Komunitas ini kembali menggeliat. Tetapi sayangnya, beberapa kali kegiatan dibatalkan karena di hari berlangsungnya acara, hujan turun sepanjang hari. Dan, akhirnya Pasar Jatingaleh menjadi pasar pertama yang mereka kunjungi setelah hiatus selama hampir tiga tahun.

Aku, yang gemar blusukan ke pasar-pasar tradisional sudah sudah sejak lama penasaran kegiatan ini. Secara kebetulan, Pasar Jatingaleh terletak tidak jauh dari rumahku. Pun, Pasar Jatingaleh memiliki bentuk bangunan yang unik dan cerita sejarah yang sangat panjang. Alasan-alasan tersebutlah yang membawaku hadir pagi itu.

  • Pasar Jatingaleh
  • Pasar Jatingaleh

Sejarah Singkat Pasar Jatingaleh

Keberadaan daerah Jatingaleh tidak lepas dari cerita Sunan Kalijaga, saat itu beliau sedang mencari pohon jati yang akan digunakan sebagai tiang Masjid Agung Demak. Di daerah ini, Sunan Kalijaga menemukan pohon jati yang ketika ditebang bukannya roboh, tetapi malah berpindah tempat (ngaleh). Oleh sebab itu, Sunan Kalijaga memberikan nama Jatingaleh (pohon jati yang berpindah) untuk tempat ini.

Pada masa kolonial, pemerintah Hindia Belanda menjadikan Jatingaleh—yang berbatasan langsung dengan daerah perbukitan Gombel—sebagai daerah perbatasan di bagian selatan Kota Semarang. Bahkan Belanda mendirikan sebuah pos perbatasan di sini. Orang-orang yang melintasinya berasal dari Kabupaten Semarang, Ungaran, Surakarta, Yogyakarta, dan sekitarnya.

Jatingaleh terus berkembang pesat. Hal tersebut dapat dilihat dari munculnya perkampungan-perkampungan warga. Pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk membangun sebuah pasar karena di dekat sana juga terdapat sebuah markas militer. Sekitar tahun 1930–1931, arsitek asal Belanda yang bernama Thomas Karsten diberi kepercayaan untuk membangun Pasar Jatingaleh.

Ciri khas Pasar Jatingaleh terletak pada tiang yang berbentuk seperti cendawan atau jamur dan ventilasi pada atap bangunan. Ventilasi tersebut berfungsi sebagai sirkulasi udara dan sumber penerangan alami pada pasar.

Pasar Jatingaleh menjadi pasar rintisan dengan konsep tiang cendawan yang kemudian diterapkan oleh Thomas Karsten pada pembuatan Pasar Johar tahun 1936. Ia berharap, kelak Pasar Johar akan menjadi pasar terbesar di Asia Tenggara pada masanya.

Pasar Jatingaleh
Tiang-tiang penyangga Pasar Jatingaleh/Rivai Hidayat

Memotret Suasana Pasar Jatingaleh

Terhitung ada tujuh orang mengikuti kegiatan ini. Semuanya laki-laki. Kami mengawali kegiatan dengan berdoa, perkenalan diri, dan tentu saja mempraktikkan beberapa arahan yang diberikan selama kegiatan berlangsung. Arahan tersebut salah satunya yakni, kami harus meminta izin kepada pedagang atau siapa pun yang akan kami potret. Sebuah hal dasar sebagai bentuk menghormati dan persetujuan kepada orang tersebut.

Tidak ada rute khusus ketika berkeliling Pasar Jatingaleh. Kami memasuki pasar melalui pintu utama, kemudian berpencar sesuai dengan keinginan masing-masing. Begitu menginjakkan kaki di dalam pasar, tiang-tiang cendawan dan ventilasi berukuran besar yang menjadi ikon dari bangunan Pasar Jatingaleh menyambut. Kondisi bangunan pasar pun masih berdiri kokoh meski telah melewati perubahan zaman.

Para pedagang dan pengunjung tidak terkejut melihat kami yang berkeliling pasar sambil membawa kamera di tangan. Sepertinya mereka sudah tahu jika kami sedang memotret di Pasar Jatingaleh. Barangkali, mereka sudah biasa melihat orang-orang seperti kami ini. Pun, para pedagang juga tidak keberatan ketika kami meminta izin untuk memotret mereka. Bahkan beberapa dari mereka malah meminta untuk kami potret.

Aku menekan tombol shutter secara perlahan. Mengabadikan keadaan pasar dan para pedagang yang sedang beraktivitas. Terus berkeliling pasar sambil melihat aktivitas para pedagang melayani pembeli. Saking asyiknya, tiba-tiba aku sudah berada di bagian belakang pasar. Di sini aku berhadapan dengan dua kios penggilingan daging.

  • Pasar Jatingaleh
  • Pasar Jatingaleh
  • Pasar Jatingaleh

Suasana tampak lebih sepi pengunjung jika dibandingkan bagian utama pasar. Namun, suara mesin penggiling daging sangatlah berisik. Suara bisa memekakkan telinga, meskipun aku berada di luar kios. Para pegawai tampak tidak terganggu dengan suara mesin tersebut. Mereka tetap tenang saat memasukan daging dan tepung ke dalam mesin. Di dinding kios tertulis harga jasa penggilingan daging. Harga tersebut belum termasuk dengan tepung, bumbu, dan bahan lainnya. Kios ini juga menjual tepung dan bahan lainnya sebagai bahan pelengkap adonan bakso.

Biasanya, permintaan penggilingan daging meningkat pada Hari Raya Iduladha. Orang-orang yang mendapatkan daging kurban, hanya perlu membawa daging yang sudah dibersihkan ke kios ini. Menggiling, dan mengolahnya bersama bumbu dan tepung sesuai takaran hingga menjadi adonan bakso.

Pasar Jatingaleh seperti halnya pasar tradisional lainnya. Ada berbagai macam kios, mulai dari kios daging,  ikan, kelontong, sayur, jajanan, hingga kios pakaian. Dari semua kios yang ada, kios bumbu dapur milik pasangan suami istri menarik perhatianku.

Aku berhenti dan mengobrol dengan berbincang dengan mereka. Sayangnya, aku lupa menanyakan nama mereka berdua. Dari cerita mereka, aku tahu bahwa mereka sudah lebih dari 30 tahun berjualan di sini.

“Pada awalnya kami berjualan beras dan sembako, Mas.”

“Karena banyak saingan, akhirnya kami beralih menjual bumbu dan rempah-rempah,” jelas ibu penjual bumbu.
Selain menjual bumbu dan rempah, mereka berdua juga menjual jamu racikan, dan meracik bumbu aneka makanan seperti rendang, gulai, juga tengkleng.

Bisa dibilang bumbu dapur dan rempah-rempah di kios ini lengkap. Ada jahe, kunyit, kencur, temulawak, lengkuas, pala, kapulaga, daun salam, daun jeruk, hingga kayu manis. Mereka mendapatkan pasokan bumbu dapur dan rempah-rempah dari petani di sekitar Kota Semarang. Mulai dari Salatiga, Kabupaten Semarang, hingga Boyolali.

Pasar Jatingaleh
Penjual bumbu dapur dan rempah/Rivai Hidayat

Pagi itu, saat tangan sang istri sibuk meracik bumbu, mulutnya memberikan banyak sekali penjelasan mengenai manfaat masing-masing rempah. Aku seperti sedang mengikuti sebuah kelas perkenalan aneka rempah Nusantara. Sama halnya dengan penggilingan daging, permintaan bumbu dapur meningkat ketika Hari Raya Iduladha. Saat orang-orang memiliki banyak persediaan daging kurban. 

Sebenarnya perkenalanku dengan pasangan suami istri ini sudah terjadi saat aku masih kecil. Ibuku sering mengajakku ke kios ini. Di kios ini, ibuku sering membeli bumbu dapur dan jamu racikan. Dari dulu hingga sekarang, ibu menjadi pelanggannya. Tak jarang, ibu mendapatkan tambahan bumbu dan rempah-rempah dari pasangan suami istri ini.

Penjual bumbu dapur dan rempah-rempah di Pasar Jatingaleh tidak banyak. Hanya ada 2–3 kios saja. Kios milik pasangan suami istri ini merupakan yang terlengkap jika dibandingkan kios lain.

Aku lalu pamit dan berterima kasih kepada keduanya karena telah mengizinkan singgah, berbincang banyak hal tentang rempah, hingga memotret aktivitas mereka. Kemudian, aku menyusul teman-teman Hunting Pasar Semarang yang sedang beristirahat di bagian pasar.

Kegiatan ini ternyata menyenangkan. Di setiap sudut pasar tradisional, aku menemukan aktivitas yang melibatkan masyarakat dengan berbagai status sosial dan latar belakang. Jika ada kesempatan lain lagi, akan aku akan mengulangi apa yang sudah aku lakukan hari ini.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Cerita dari Pasar Jatingaleh appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/cerita-dari-pasar-jatingaleh/feed/ 0 40069
Kuliner Sate Terlezat Joglosemar: Sate Sapi Semarang (3) https://telusuri.id/kuliner-sate-terlezat-joglosemar-sate-sapi-semarang-3/ https://telusuri.id/kuliner-sate-terlezat-joglosemar-sate-sapi-semarang-3/#respond Wed, 10 May 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=38606 Semarang juga sangat kaya khazanah kuliner. Beberapa kuliner ikonis akan muncul di benak ketika menyebut kota yang pernah berjuluk “Venesia dari Timur” itu: lumpia, wingko babat, soto bangkong, mi kopyok, tahu bakso, dan tahu gimbal....

The post Kuliner Sate Terlezat Joglosemar: Sate Sapi Semarang (3) appeared first on TelusuRI.

]]>
Semarang juga sangat kaya khazanah kuliner. Beberapa kuliner ikonis akan muncul di benak ketika menyebut kota yang pernah berjuluk “Venesia dari Timur” itu: lumpia, wingko babat, soto bangkong, mi kopyok, tahu bakso, dan tahu gimbal.

Bila menyelisik lebih jauh, masih banyak lagi kuliner legendaris di Semarang. Salah satunya adalah Sate Sapi Pak Kempleng. Lokasinya memang bukan di jantung kota Semarang, melainkan berada di Ungaran, ibu kota Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.

Meski hanya kota kecil, lokasi Ungaran strategis karena berada di jalan utama Kota Semarang ke Solo dan Yogyakarta atau sebaliknya. Daerah yang terletak di kaki Gunung Ungaran ini populer dengan julukan “Kota Seribu Rumah Makan”. Banyak rumah makan yang menawarkan beragam menu bagi pejalan. Sate Sapi Pak Kempleng, menurut saya, termasuk yang paling menonjol karena sudah teruji oleh waktu.

Rumah Makan Sate Sapi Pak Kempleng 3 di Jalan Diponegoro 180, Ungaran
Rumah Makan Sate Sapi Pak Kempleng 3 di Jalan Diponegoro 180, Ungaran/Badiatul Muchlisin Asti

Asal Usul Nama “Kempleng”

Di kalangan penggemar satenya, setidaknya terdapat dua versi asal usul nama “Kempleng”. Versi pertama berasal dari kebiasaan Pak Sakimin, sang pendiri, memiringkan kepala (kempleng) saat jualan sate sapi dengan berkeliling di sekitar alun-alun Ungaran. Istilah itulah yang akhirnya melekat pada Pak Sakimin, yang di kemudian hari menjadi nama keberuntungan untuk usahanya. Termasuk mewariskannya ke anak-anak dan keturunannya.

Versi kedua mengacu pada cita rasa sajian satenya, yakni “sega ngampleng”. Istilah ini bermakna nasi dengan potongan daging sapi yang dibakar, dan rasanya seperti ngampleng (menampar) mulut saking lezatnya. 

Konon para pelanggan dari etnis Tionghoa susah melafalkan kata “ngampleng”. Mereka menyebutnya dengan kempleng”, yang berlanjut menjadi julukan Pak Sakimin.

Dua versi yang berkembang tersebut biasa menjadi bumbu cerita penghangat obrolan. Umumnya para penikmat sate Pak Kempleng tidak terlalu peduli. Mereka lebih tertarik dengan cita rasa sate sapi Pak Kempleng yang memang istimewa.

Seporsi sate sapi Pak Kempleng
Seporsi sate sapi Pak Kempleng/Badiatul Muchlisin Asti

Perkembangan Bisnis Sate Sapi Pak Kempleng

Pak Sakimin memulai usaha sate pada tahun 1946. Di masa-masa setelah kemerdekaan Republik Indonesia itu, Pak Sakimin menjajakan satenya secara berkeliling menggunakan pikulan. Ia berjualan malam hari di sekitar kota Ungaran.

Setiap malam, Pak Sakimin alias Pak Kempleng keluar masuk gang di sudut-sudut kota. Alun-alun Ungaran biasanya menjadi akhir perjalanannya. Rutinitas itu Pak Sakimin lakukan dengan tekun hingga akhir hayatnya pada 1972. 

Sepeninggal Pak Sakimin, hampir saja tidak ada generasi penerus yang melanjutkan usaha satenya. Padahal ketika itu nama “Sate Sapi Pak Kempleng” sudah cukup kondang. 

Beruntung akhirnya Sumorejo, salah seorang anak Pak Sakimin, mau meneruskan usaha sang ayah. Bermodal nama besar Pak Kempleng, Sumorejo jualan sate sapi secara berkeliling seperti ayahnya biasa lakukan. 

Kehadiran kembali Sate Sapi Pak Kempleng menjadi penawar rindu para penggemarnya, yang merasa kehilangan sejak Pak Sakimin wafat. Banyaknya pelanggan menjadikan usaha Sumorejo relatif lebih mudah dan tidak mendapatkan kendala berarti. Kelezatannya pun terjaga sehingga memiliki banyak pelanggan dari berbagai kalangan, termasuk etnis Tionghoa.

Pada tahun 1986, Sumorejo mampu menyewa sebidang lahan di pinggir jalan raya Ungaran untuk membuka warung sate. Saat ini generasi penerus sate sapi Pak Kempleng, meliputi anak-anak dan keponakannya, membuka rumah makan dengan nama Sate Sapi Pak Kempleng 1, 2, 3, 4, dan seterusnya. Semuanya berlokasi di ruas jalan yang sama.

Seorang pengunjung bersiap menyantap sate sapi Pak Kempleng pesanannya
Seorang pengunjung bersiap menyantap sate sapi Pak Kempleng pesanannya/Badiatul Muchlisin Asti

Cita Rasa Khas Sate Sapi Pak Kempleng 

Berbeda dengan sate klathak Yogyakarta dan sate buntel Solo yang anti mainstream, sate sapi racikan Pak Kempleng merupakan prototipe sate pada umumnya. Berupa potongan daging yang ditusuk sujen lalu dibakar. Namun, ketiganya sama-sama enak.

Sate sapi di warung Pak Kempleng bercita rasa manis yang agak mirip sate maranggi di Purwakarta dan Cianjur, Jawa Barat. Formula bumbunya mengandung gula aren dan bahan rempah lainnya. Ciri khas sate sapi di sini adalah proses pembuatannya, yaitu dengan cara merendam potongan daging terlebih dahulu dalam bumbu marinasi agak lama, sehingga dagingnya empuk dengan bumbu yang meresap. 

Saya sudah beberapa kali menyantap sate sapi Pak Kempleng sejak tahun 2016, ketika beberapa kali agenda lawatan ke Ungaran. Sejak awal mencicipi, saya langsung terpikat dengan kelezatannya. Maka setiap kali ke Ungaran, hampir pasti saya tidak akan melewatkan kesempatan mampir ke warung Pak Kempleng. 

Keistimewaan sate sapi Pak Kempleng adalah potongan dagingnya relatif besar, tetapi tetap empuk. Tingkat kematangannya medium well, yang membuat daging terasa kenyal dan juicy

Penyajian sate sapi Pak Kempleng umumnya bersamaan dengan saus kacang, irisan lombok dan bawang merah yang ditempatkan terpisah. Bumbu tambahan tersebut tidak langsung kita siramkan pada sate. Namun, karena sate sapinya sudah dibumbui sebelum dibakar, sebenarnya tanpa saus kacang pun rasanya sudah sangat lezat.

Selain daging, sate sapi Pak Kempleng juga memakai jeroan sapi, seperti babat, usus, dan paru. Namun, satu tusuk berisi satu jenis jeroan dan tidak bercampur. Satu porsi sate sapi Pak Kempleng sebanyak 10 tusuk bisa kita nikmati dengan sepiring nasi atau lontong sesuai selera.

Dalam peta kuliner Nusantara, sate sapi Pak Kempleng termasuk yang paling mendapat sorotan. Bango dalam buku 80 Warisan Kuliner Nusantara (2008) merekomendasikan Sate Sapi Pak Kempleng untuk kategori sate sapi manis.

Alamat: Jalan Diponegoro No. 180, Genuk, Ungaran Barat, Kabupaten Semarang (klik di sini untuk membuka peta)
Jam buka: 09.00-21.00 WIB


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kuliner Sate Terlezat Joglosemar: Sate Sapi Semarang (3) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kuliner-sate-terlezat-joglosemar-sate-sapi-semarang-3/feed/ 0 38606
Singgah Kembali ke Kampoeng Kopi Banaran Semarang https://telusuri.id/singgah-kembali-ke-kampoeng-kopi-banaran-semarang/ https://telusuri.id/singgah-kembali-ke-kampoeng-kopi-banaran-semarang/#respond Wed, 26 Apr 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=38444 Hari belum terlalu siang saat saya tiba di Kampoeng Kopi Banaran, Bawen, Kabupaten Semarang (16/3/2023). Arloji di pergelangan tangan kiri saya menunjukkan pukul 09.00 lebih sedikit. Ini kali kedua saya singgah di destinasi wisata yang...

The post Singgah Kembali ke Kampoeng Kopi Banaran Semarang appeared first on TelusuRI.

]]>
Hari belum terlalu siang saat saya tiba di Kampoeng Kopi Banaran, Bawen, Kabupaten Semarang (16/3/2023). Arloji di pergelangan tangan kiri saya menunjukkan pukul 09.00 lebih sedikit.

Ini kali kedua saya singgah di destinasi wisata yang terletak di Jalan Raya Bawen—Solo KM 1,5 itu. Kunjungan pertama saya terjadi lumayan lama, sekitar Desember 2016. Sudah enam tahun berlalu.

Secara umum, potret Kampoeng Kopi Banaran tidak banyak berubah. Setidaknya begitulah pengamatan saya.

Wisata Kampoeng Kopi Banaran Semarang
Berpose dengan latar belakang tulisan Kampoeng Kopi Banaran/Badiatul Muchlisin Asti

Tidak Hanya Wisata Kopi di Kampoeng Kopi Banaran

Sesuai namanya, Kampoeng Kopi Banaran menawarkan ragam atraksi wisata. Misalnya, merasakan sensasi jelajah kebun kopi dan menikmati kopi khas yang diolah dari perkebunan sendiri.

Namun, tidak hanya itu. Kampoeng Kopi Banaran juga memiliki beragam fasilitas penunjang lainnya, seperti kafe, restoran, area bermain anak, hingga water park. Terdapat pula wahana-wahana untuk melatih ketangkasan, seperti paintball, ATV, off-road, high rope, flying fox, dan lain sebagainya.

Kampoeng Kopi Banaran juga menawarkan panorama alam yang cukup apik. Objek wisata berbasis perkebunan kopi seluas 400 hektare ini dikelilingi tujuh gunung, yaitu Merbabu, Sindoro, Sumbing, Andong, Ungaran, Telomoyo, dan Ungaran. 

Kereta wisata keliling perkebunan kopi di Kampoeng Kopi Banaran
Naik kereta wisata berkeliling perkebunan kopi/Badiatul Muchlisin Asti

Keliling Perkebunan Kopi dengan Kereta Wisata

Tak banyak ragam fasilitas Kampoeng Kopi Banaran yang saya eksplorasi, karena keterbatasan waktu. Salah satu yang bisa saya lakukan—seperti kunjungan pertama dahulu—adalah berkeliling perkebunan kopi dengan kereta wisata. 

Saya datang pada hari Kamis, sehingga sopir kereta wisata yang bertugas tak sebanyak ketika akhir pekan. Di tempat mangkal kereta wisata hanya ada satu petugas. Saya harus rela antre dengan pengunjung yang lain.    

Kampoeng Kopi Banaran menyediakan fasilitas kereta wisata dengan tarif Rp85.000 sekali naik. Satu kereta dapat memuat sekitar 5—7 orang. Adapun durasi keliling sekali putaran sekitar 15 menit. 

Dalam rentang durasi tersebut, kita akan diajak menikmati suasana perkebunan kopi yang berada di ketinggian antara 480–600 meter di atas permukaan laut (mdpl). Udara sekitar cukup sejuk dengan suhu antara 23º—27ºC. Dari salah satu sudut perkebunan, selama berkeliling kita juga bisa melihat pemandangan danau alami Rawa Pening di sisi selatan.

Setelah dapat giliran naik, saya memilih tempat paling depan. Saya duduk di samping sopir yang bertugas. Namanya Mardian. Tujuannya agar saya bisa berbincang santai dengan beliau.

Menurut Mas Mardian, begitu saya menyapanya, panen raya di kebun kopi ini terjadi setiap tahun sekali. Tepatnya pada periode bulan Juli—Agustus. Ketika saya datang rata-rata buah kopinya masih hijau. Hanya beberapa yang sudah mulai menguning atau memerah. 

“Kopi di sini jenis robusta dan sebagian besar hasil panen diekspor ke luar negeri, antara lain Italia, Amerika Serikat, Jepang, dan Cina. Sisanya diolah di sini untuk dijual di kafe dan resto yang ada di Kampoeng Kopi Banaran sendiri, maupun dijual sebagai oleh-oleh pengunjung,” tutur Mas Mardian.

Saat berkeliling perkebunan, saya sempat meminta Mas Mardian agar menghentikan kereta wisata sebentar. Saya ingin turun untuk sekadar melihat-lihat pohon kopi dari jarak lebih dekat. 

“Boleh, Pak, silakan. Mumpung ini tidak sedang ramai. Kalau weekend, tidak bisa santai dan berhenti-berhenti seperti ini,” kata Mas Mardian menanggapi permintaan saya.

Oleh-oleh kain batik motif Semarangan di Banaran Coffee
Salah satu sudut Banaran Coffee yang memajang kain batik motif Semarangan, sebagai alternatif oleh-oleh untuk pengunjung selain kopi/Badiatul Muchlisin Asti

Banyak Pilihan Minuman Kopi di Banaran Coffee

Usai naik kereta wisata, saya bergegas menuju Banaran Coffee yang terletak tak jauh dari pintu masuk Kampoeng Kopi Banaran. Kafe ini berada di antara toko oleh-oleh dan musala.

Saat itu Banaran Coffee belum ramai. Hanya ada beberapa rombongan kecil. Setelah mendapat tempat duduk yang pas dan nyaman, saya memesan kopi Banaran Tubruk dan es kopi spesial. Saya ingin mencicipi cita rasa orisinal kopi Banaran. Walaupun sejujurnya saya tidak terlalu bisa membedakan jenis-jenis cita rasa kopi secara spesifik.

Umumnya Banaran Coffee menawarkan dua jenis kopi, yaitu panas dan dingin. Harga secangkir atau segelas kopi berkisar antara Rp12.000 sampai dengan Rp28.000. Masih sangat terjangkau.

  • Jenis-jenis minuman kopi di Banaran Coffee
  • Oleh-oleh kopi bubuk khas Kampoeng Kopi Banaran

Untuk kategori hot coffee, pilihannya meliputi: Banaran Tubruk, Banaran Spesial, Banaran Spesial Cream, Americano Coffee, Cafe Latte, Mochacino, Espresso, Cappuccino, Macchiato, dan Thai Latte Coffee.

Adapun kategori cold terdiri dari: Ice Coffee Spesial, Ice Coffee Spesial Cream, Ice Frappuccino, Ice Avocado Coffee, Ice Banana Coffee, Ice Cappucino, Ice Cafe Latte, Ice Mochacino, Ice Macchiato, Ice Americano Coffee, Ice Vanilla Latte, dan Iced Thai Latte Coffee.

Dari kedai tersebut saya berpindah ke toko oleh-oleh yang terletak persis di sebelah Banaran Coffee. Di sini saya memborong kopi tubruk asli produksi Kampoeng Kopi Banaran. Saya membeli beberapa pak, tak lain dan tak bukan, karena untuk persediaan di rumah ketika ingin ngopi tubruk.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Singgah Kembali ke Kampoeng Kopi Banaran Semarang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/singgah-kembali-ke-kampoeng-kopi-banaran-semarang/feed/ 0 38444
Gedong Duwur, Semarang: Sang ‘Sarang Garuda’ yang Terlupa https://telusuri.id/gedong-duwur-sarang-garuda-semarang/ https://telusuri.id/gedong-duwur-sarang-garuda-semarang/#respond Mon, 13 Feb 2023 04:00:05 +0000 https://telusuri.id/?p=37228 Gedong Duwur “Sarang Garuda” pada awalnya adalah sebuah rumah seorang pengusaha asal Artsakh, Armenia yang bertempat tinggal di Semarang. Gedong Duwur bermakna rumah gedongan yang tinggi, berlokasi di Jalan Pamularsih Dalam III, Bukit Malaya Simongan,...

The post Gedong Duwur, Semarang: Sang ‘Sarang Garuda’ yang Terlupa appeared first on TelusuRI.

]]>
Gedong Duwur “Sarang Garuda” pada awalnya adalah sebuah rumah seorang pengusaha asal Artsakh, Armenia yang bertempat tinggal di Semarang. Gedong Duwur bermakna rumah gedongan yang tinggi, berlokasi di Jalan Pamularsih Dalam III, Bukit Malaya Simongan, Semarang. Julukan ‘Sarang Garuda’ disematkan karena letaknya di Puncak Bukit Malaya Simongan, yang memperlihatkan pemandangan langsung ke arah laut Jawa dan Pelabuhan Tanjung Mas. Kawasan ini mempunyai sejarah yang panjang sebelum berakhir menjadi pemukiman padat penduduk.

Perjalanan saya ke Gedong Duwur untuk menuntaskan rasa penasaran mengenai eksistensi warga Armenia di Semarang dan Jawa Tengah, khususnya. Gedong Duwur, sebagai salah satu bukti yang absah atas keberadaan mereka di Semarang.

Awalnya saya sempat berpikir jika tidak ada orang Armenia yang pernah tinggal di Semarang atau di Jawa Tengah. Ternyata, praduga saya selama ini salah. Hans Boers, rekan saya di Belanda, ternyata keluarganya berasal dari Armenia dan ia mengetahui siapa pemilik awal Gedong Duwur.

  • Gedong Duwur Agha Hovsep
  • Gedong Duwur Agha Hovsep
  • Gedong Duwur Agha Hovsep
  • Gedong Duwur Agha Hovsep

“Pemilik awal Gedong Duwur itu moyang saya, orang Armenia yang  tinggal di Semarang. Namanya Agha Hovsep Hovhannes Amirkhan, kelahiran Nagorno–Karabakh, Artsakh, Armenia,” jelas Hans Boers.

Kala itu, Artsakh masuk wilayah Republik Nagorno–Karabakh dengan pusat kerajaan di Khachen. Keberadaan Kerajaan Artsakh diproklamasikan pasca invasi Turki yang terjadi di abad ke-11 hingga ke-14.

Nagorno–Karabakh abad pertengahan adalah pusat gejolak emansipasi bagi warga Armenia Timur. Ketika Armenia dipimpin Tigran II, munculah Triganakert bagian ‘Kota Suci’ di Artsakh. Reruntuhan kota berada di timur Nagorno–Karabakh. 

Artsakh adalah bagian dari provinsi ke 10 dari ‘Armenia Greater of Haik Meitz in Armenia,’ terutama setelah penyebaran ajaran Kristen oleh Misionaris St. Gregory. Gandzasar Monastery, bagi warga Armenia, adalah cikal bakal pusat pemerintahan Armenia. Atas peristiwa bertubi-tubi menimpa Artsakh, banyak warganya pindah ke negara ketiga untuk mencari perlindungan juga mencari peruntungan, salah satunya adalah Agha Hovsep Hovhannes Amirkhan.

Gedong Duwur dan Jejak Keluarga Armenia di Semarang

Gedong Duwur awalnya adalah rumah pribadi keluarga Agha Hovsep Hovhannse Amirkhan, seorang tuan tanah sekaligus pejuang kemerdekaan Artsakh Armenia dari pasukan Azeri Turki. Agha Hovsep kelahiran Fereidan, Isfahan Iran tahun 1778 dari keluarga bangsawan Artsakh Armenia.

Masa gentingnya terjadi di usia ke-18 tahun, Agha Hovsep dikirim orangtuanya untuk mengenyam pendidikan di sekolah Armenia di Kalkuta, India. 

“Antara disekolahkan, atau diasingkan dari negaranya sendiri, tidak jelas seperti apa,” jelas Hans Boer.

Setelah lulus, Agha Hovsep tidak kembali ke Armenia namun menetap dan bertahan hidup dengan bekerja sebagai kuli di India. Agha Hovsep sempat mencoba kembali ke Armenia tetapi karena kondisi yang tidak memungkinkan, tujuannya kemudian beralih ke Belgia. Ia menetap sementara di sana dan bertahan hidup dengan bekerja sebagai kuli di Pelabuhan Antwerp. 

Menginjak usia 30 tahun, Agha Hovsep kembali mencari peruntungan di negara ketiga. Pelayaran dengan kapal De Tyger pun dilakukannya dari Armenia, dengan tujuan akhir di Semarang tahun 1808. 

“Agha Hovsep memilih Semarang, karena ingin terbebas dari gejolak tanah kelahirannya Artsakh, Armenia. Tapi juga menghimpun dukungan untuk membebaskan tanah leluhurnya,” lanjut Hans. Setibanya di Semarang, Agha Hovsep tidak langsung mendirikan Gedong Duwur.

Agha Hovsep sempat tinggal di Pelabuhan Tanjung Mas, karena latar belakangnya sebagai pekerja pelabuhan. “Kerja di pelabuhan selain untuk mendapat uang, juga menyamarkan diri dari kejaran tentara koloni.”

Gedong Duwur Agha Hovsep
Portrait David Melik Shah via Hans Boers

Selama pelarian, terutama di Persia, Agha Hovsep menggunakan nama samara David Melik Shahnazaria. Ada dua negara yang ia singgahi sebelum tiba di Semarang, yakni Persia dan Filipina.

“Awal peruntungannya ada di Filipina, akan tetapi ia sedikit mengalami masalah, hingga akhirnya memutuskan berangkat ke Semarang. Alasannya adalah sedikit pesaing bisnis dan mudahnya akses darat dan laut,” lanjut Hans.

Agha Hovsep mulai merintis perdagangan berupa mutiara, kain sutra, gula, tembakau, mentega, dan marmer Italia di Semarang. Ia juga mulai membeli tanah di sekitaran Bukit Mlaya Simongan untuk perkebunan kopi dan teh.

Kejayaan Agha Hovsep di Semarang terjadi tahun 1810, ketika terjadi perebutan wilayah jajahan antara Kerajaan Inggris dan Belanda atas Indonesia kala itu. Agha Hovsep satu-satunya pendonor semua kebutuhan prajurit Inggris di Jawa.

Kerajaan Inggris tentunya menaruh harapan besar kesuksesan atas bantuan Agha Hovsep. Atas jasa baiknya, Thomas Stamford Raffles yang kelak menjadi Letnan Gubernur Hindia Belanda memberikan tanah di Bukit Mlaya Simongan kepada Agha Hovsep.

Setelah diberikan, Agha Hovsep menyematkan ‘Johannesburg’, yang artinya ‘Bukit Johannes’ diambil dari nama orangtua Agha Hovsep Hovhannes Amirkhan yakni Josep Johannes. 

Setelahnya, Agha Hovsep menjadikan Bukit Mlaya sebagai kediaman dan perkebunan, sisanya sebagai pemakaman keluarga Armenia dan Kristen–Belanda.

Gedong Duwur selain sebagai tempat tinggal juga rumah singgah tamu Belanda, Armenia dan Konstantinopel. Tentu banyak hal yang bisa dibicarakan. Mengetahui kediamannya berisikan tamu penting, Agha Hovsep tidak menyiakan kesempatan. Agha Hovsep kemudian ekspansi bisnis di bidang ekspedisi distribusi opium dari Uttar Pradesh India, dengan kapal dagang miliknya. 

Tahun 1825–1830 ketika Perang Jawa meletus, pemerintah Kerajaan Belanda menemui Agha Hovsep untuk meminjam dana 930.000 gulden dengan jaminan surat berharga. Agha Hovsep memilih memberikan pinjaman dana, dengan jaminan tanah.

Baginya tanah di bawah kepemilikannya dapat menghasilkan, daripada surat berharga. “Memalukannya, pemerintah kerajaan Belanda tidak membayar hutang kepada Agha sampai wafatnya,” terang Hans.

  • Gedong Duwur Agha Hovsep
  • Gedong Duwur Agha Hovsep

Tanggal 25 Maret 1835, Agha Hovsep Hovhannes Amirkhan wafat setelah 7 bulan mengidap stroke. Setelahnya, seluruh aset milik Agha Hovsep termasuk budak dan tanah di Zoetendal dijual berkala di Kantor Daendels & Co. Semarang.

Sang istri yang bernama H.J. Werich wafat 11 bulan kemudian, dikubur berdampingan di makam keluarga Bukit Mlaya Simongan. Tahun 1874, makam dan kediaman Agha Hovsep dijual ke warga Tionghoa sebesar 200.000 gulden.

“Gedong Duwur, kemudian dibeli Oei Tjie Sien, tidak lain ayah dari Oei Tiong Ham,” jelas Djongkie Tio, sejarawan Kota Semarang. “Penjualan dengan syarat, makam keluarga Armenia tetap dijaga. Tapi yang terjadi sebaliknya, hanya disisakan makam utama Agha Hovsep Amirkhan,” pungkasnya.

Kondisi saat ini, Gedong Duwur hanya menyisakan satu rumah saja, tanpa bukti pendukung keberadaan makam keluarga Agha Hovhannes. Hanya memori warga kelahiran tahun 60-an yang menjadi saksi kejayaan Gedong Duwur dan keberadaan makam Armenia di Semarang.

Gedong Duwur sampai sekarang masih ditempati warga pensiunan militer. Hanya bisa berharap yang terbaik, semoga segera mendapat perlindungan sebagai cagar budaya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Gedong Duwur, Semarang: Sang ‘Sarang Garuda’ yang Terlupa appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/gedong-duwur-sarang-garuda-semarang/feed/ 0 37228
Apakah Tambakrejo akan Tenggelam? https://telusuri.id/apakah-tambakrejo-akan-tenggelam/ https://telusuri.id/apakah-tambakrejo-akan-tenggelam/#respond Thu, 05 Jan 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36815 Jalan masih lengang pagi itu, ketika saya bersama tiga orang kawan menyusuri Semarang. Tujuan kami adalah Mangrove Edupark Tambakrejo. Bersama LindungiHutan dan Kelompok CAMAR (Cinta Alam Mangrove Asri dan Rimbun), kami akan menanam sebanyak 1.130...

The post Apakah Tambakrejo akan Tenggelam? appeared first on TelusuRI.

]]>
Jalan masih lengang pagi itu, ketika saya bersama tiga orang kawan menyusuri Semarang. Tujuan kami adalah Mangrove Edupark Tambakrejo. Bersama LindungiHutan dan Kelompok CAMAR (Cinta Alam Mangrove Asri dan Rimbun), kami akan menanam sebanyak 1.130 bibit pohon mangrove hasil dari kampanye Pendekar Lingkungan TelusuRI di sana.

Roda kendaraan kami mengaspal jalan, dari Jatingaleh menuju Pelabuhan Tanjung Mas. Truk tronton merayap parkir di sayap kiri, pada sepanjang jalan menuju gang masuk kawasan Tambakrejo. Usai melewati pabrik-pabrik di kawasan pelabuhan, kami berhenti tak sampai satu menit pada sebuah masjid berwarna hijau di kiri jalan. Aroma “asin” mulai tercium, menjadi tanda bahwa tujuan kami sudah dekat. “Ini kita jalan saja lurus mentok, lalu belok kiri,” ucap saya pada dua kawan lain yang mengendarai motor berbeda.

Jalan aspal mulus berganti dengan tanah kering. Kami memperlambat laju kendaraan karena jalan bergelombang. Gapura “Selamat Datang di Tambakrejo” dengan warna merah khas salah satu BUMN menghantarkan kami masuk ke kawasan Tambakrejo. Aroma khas pinggir pantai makin terasa. Begitu juga dengan udara yang terasa panas, menyengat meski matahari belum naik ke atas kepala.

Sekitar satu kilometer setelahnya, di depan Sekretariat CAMAR, Pak Yazid menyambut kedatangan kami dengan hangat. “Silakan masuk ke dalam Mbak, yang lain sudah menunggu di dalam.”

Sehari sebelumnya, beliau mengucurkan banyak rasa terima kasih karena kami karena “kembali” ke Tambakrejo. Dua tahun lalu, saya memang sempat singgah ke sini, melakukan hal yang sama dengan apa yang akan saya lakukan hari ini. Kali ini masih dengan misi yang sama, namun dengan teman perjalanan yang berbeda, saya datang mewakili para Pendekar Lingkungan yang sudah berdonasi pohon mangrove untuk penghijauan pesisir Tambakrejo.

Di sudut lain, Pak Julaimi, Ketua Kelompok CAMAR sedang asyik berbincang dengan Rivai dan Rifqi. Ketiganya tampak begitu serius. Saya menyela obrolan seru mereka dan memberikan informasi bahwa kegiatan akan segera kami mulai.

persiapan acara
Persiapan sebelum acara dimulai/Mauren Fitri

Semua berkumpul. Ada 12 orang selain anggota Kelompok CAMAR yang akan ikut menyeberang. Tiga dari LindungiHutan, lima dari TelusuRI, dan sisanya adalah relawan. Hasan memberikan arahan perjalanan ini, sebelum akhirnya kami menaiki kapal lalu menyeberang.

Langit Semarang membiru, matahari makin naik. Suara deru kapal menemani perbincangan kami yang kebanyakan baru saling kenal pagi hari itu.

“Dulu kawasan ini merupakan area tambak atau budidaya ikan. Rejo artinya hasilnya melimpah sekali. makanya orang menamainya Tambakrejo,” Pak Julaimi membuka diskusi di gazebo edupark.

“Pada waktu saya masih lulus SD, kiranya sekitar tahun 1986, untuk ke bibir pantai, saya harus berjalan satu setengah kilometer dari pemukiman. Parah-parahnya sekitar tahun 2000-an, abrasi mulai mengguncang kawasan ini. Pada tahun tersebut, saat saya buka pintu belakang rumah, ternyata sudah laut.”

Tahun 2011 baru Kelompok CAMAR didirikan. Dari sini para anggota kelompok yang terdiri dari masyarakat setempat bertekad untuk mengembalikan tanah mereka yang kini tenggelam. Tanah yang dulunya tambak, tanah yang dulunya identik dengan mangrove.

Pak Julaimi melanjutkan, “Dulu, menurut orang tua saya, mangrove itu adalah benalu karena akar-akarnya menjadi tempat ikan bersembunyi sehingga pas musim panen, tangkapan nggak maksimal.”

Lain dulu, lain pula sekarang. Kondisi Tambakrejo sangat jauh berbeda. Pak Yazid, kemudian melanjutkan sesi diskusi mengenai mangrove itu sendiri. Jenis apa saja yang tumbuh di sini, hingga bagaimana mangrove dapat bermanfaat untuk masyarakat selain untuk mengembalikan ekosistem Tambakrajo. Kami berjalan perlahan, mengitari jalur trekking yang terbuat dari bambu sepanjang kurang dari 300 meter.

“Awalnya, kawasan ini menjadi tempat untuk memberikan edukasi mangrove kepada orang-orang yang berkunjung. Sayangnya, tak banyak orang yang singgah. Apalagi saat pandemi. Apa yang kami bangun, akhirnya kurang maksimal. Hanya segelintir orang saja yang datang, itupun kebanyakan dari mahasiswa dan akademisi; bukan wisatawan.”

Bapak paruh baya yang mengenakan kaus hijau dengan logo LindungiHutan ini seorang nelayan ikan di Tambakrejo. Selain menjadi nelayan, ia juga menjadi petani pohon mangrove bersama kelompok CAMAR. Ia melakukan pembibitan mangrove di atas lahan sempit, di belakang rumahnya. Pak Yazid dan Kelompok CAMAR mulai melakukan pembibitan secara otodidak, berdasar pada pengalaman dan berguru pada stakeholder yang lebih ahli di bidang ini. 10 tahun sudah ia bergabung di kelompok ini, bahkan ia mendapatkan julukan “profesor” karena pengalamannya berjibaku dengan mangrove.

“Ayo kita ke lokasi penanaman,” ajaknya kepada kami semua setelah menghabiskan sekitar 20 menit di edupark. Kami kembali naik ke atas kapal, Pak Yazid memimpin di depan. Mesin kapal kali ini tak dinyalakan, Pak Yazid dengan galahnya yang panjang mendorong kapal perlahan menuju titik penanaman. Tak jauh ternyata, hanya sekitar 20 meter, namun tak bisa dijangkau dengan jalan kaki.

Kaki kami mulai basah. Tak ada dermaga untuk mendaratkan kaki-kaki ini. Sampah-sampah di bibir pantai pun menyambut. Saya dan kawan-kawan lain yang baru kali pertama tiba di sini tiba-tiba terperangah mendapati ada makam yang tenggelam juga ikut mengucapkan selamat datang.

“Dulu ada jalan dari sana, sampai sini. Sekarang jalan itu ikut tenggelam, jadi makam ini tidak digunakan lagi,” terang Pak Yazid pada kami.

Sebagian makam memang sudah ada yang dipindahkan, namun tidak semua. Biaya untuk memindahkan makam memang tak murah, gumam saya. Menariknya, saya menemukan makam yang terbilang baru. Di nisannya tertulis meninggal pada tahun 2014 dan 2015—artinya, pada masa itu area tersebut belum tenggelam. Kalau saya hitung, jaraknya hanya sekitar 7 tahun dari sekarang. Cepat juga tenggelamnya!

Fakta lain yang baru saya tahu, ternyata tak hanya air laut yang naik hingga menyebabkan Tambakrejo tenggelam, tetapi juga ada penurunan muka tanah. “Beberapa tahun sekali, warga di sini meninggikan rumah mereka setidaknya satu hingga dua meter, Mbak.” Pak Yazid menjelaskan.

“Di mana ada reklamasi, di situ ada abrasi. Lihat saja itu pelabuhan, reklamasi bukan? Abrasinya di sini, Mbak,” sahut Pak Julaimi.

Meninggikan rumah supaya tidak terkena banjir rob, apakah solusi? Entahlah, saya tak mau berpikir berat siang itu. Matahari makin menyengat, yang berarti tanda untuk kami harus bergegas untuk mulai menanam.

Sebanyak enam orang anggota Kelompok CAMAR sudah memulai penanaman lebih dulu sehingga kami bisa melanjutkannya. Satu per satu dari kami mengambil bibit-bibit mangrove yang setiap polybag-nya berisi dua batang bibit. Tujuannya, jika satu pohon mati, masih ada pohon lain yang akan berpeluang hidup. “Kita, manusia saja diciptakan berpasang-pasangan. Begitu juga mangrove,” canda Pak Julaimi pada kami.

  • Peserta tanam mangrove
  • anggota CAMAR
  • Penanaman mangrove

Keringat mengucur sedikit demi sedikit dari kepala dan punggung kami. Topi di kepala tak cukup untuk menghalau panas. Kami pun mempercepat penanaman. “Ini caranya begini, gali dulu tanahnya, lalu masukkan polybag ke dalamnya. Setelah itu, tutup dengan tanah lagi.” Pak Yazid tampak menjelaskan bagaimana cara menanam mangrove yang benar kepada kami. Tentu, tak boleh asal tanam supaya bibit-bibit ini tetap bisa tumbuh dan bertahan saat air laut pasang nanti.

“Rata-rata, tingkat kehidupannya di atas 90%. Jadi nggak usah khawatir. Asal pohon-pohon ini tidak jatuh, dia akan tumbuh ke atas.”

1.130 pohon yang terbagi menjadi 565 polybag sudah berada di tempatnya, tertanam di tanah lumpur Tambakrejo yang tenggelam. Kaus kaki yang kami kenakan juga sudah mulai molor ke mana-mana, pertanda kami harus kembali ke daratan.

Sebelum mengakhiri perjalanan, Pak Yazid mengajak kami untuk melihat tempat pembibitan mangrovenya. Ia juga menjelaskan bagaimana cara pembibitan. Di sini, saya mendapatkan satu fakta baru lagi bahwa ternyata pohon mangrove juga bisa hidup di darat. “Ada yang pernah coba menanam, bisa hidup. Mangrove itu kan tumbuhan yang sifatnya adaptif, jadi bisa menyesuaikan dengan lingkungan dia tumbuh.”

“Wah bisa nih, kita tanam di pot! Lumayan, bisa mengurangi polusi di sekitar rumah,” celetuk salah satu di antara kami. 

***

Saya percaya, Tambakrejo tak akan tenggelam jika ada Pak Julaimi, Pak Yazid, Kelompok CAMAR, LindungiHutan, dan juga kamu yang kini berkomitmen untuk menjadi Pendekar Lingkungan.

Tabik!


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Apakah Tambakrejo akan Tenggelam? appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/apakah-tambakrejo-akan-tenggelam/feed/ 0 36815