semasa corona Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/semasa-corona/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Mon, 14 Dec 2020 06:02:02 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 semasa corona Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/semasa-corona/ 32 32 135956295 Tak Ada Wisatawan, Warga Sawinggrai Kembali Berkebun https://telusuri.id/covid-19-masyarakat-sawinggrai-kembali-berkebun/ https://telusuri.id/covid-19-masyarakat-sawinggrai-kembali-berkebun/#respond Mon, 14 Dec 2020 06:55:50 +0000 https://telusuri.id/?p=25874 16 September 2020. Waktu menunjukkan pukul 10.00 pagi ketika kantor kampung Sawinggrai di Distrik Meos Mansar dipadati warga. Selain pemeriksaan kesehatan, hari itu Tim Ekspedisi Raja Ampat akan menggelar penyuluhan pertanian. Para mama tampak antusias...

The post Tak Ada Wisatawan, Warga Sawinggrai Kembali Berkebun appeared first on TelusuRI.

]]>
16 September 2020. Waktu menunjukkan pukul 10.00 pagi ketika kantor kampung Sawinggrai di Distrik Meos Mansar dipadati warga. Selain pemeriksaan kesehatan, hari itu Tim Ekspedisi Raja Ampat akan menggelar penyuluhan pertanian.

Para mama tampak antusias sekali mengikuti penyuluhan pertanian. Beragam pertanyaan mereka ajukan. Yang paling menarik adalah pertanyaan soal kenapa tanah di Sawinggrai tidak subur. 

Pertanyaan itu dijawab oleh dua anggota tim penyuluh EcoNusa, Jemima Desi Wamna dan Utreks Hembing, dengan memberikan wawasan tentang pertanian organik kepada warga. Mereka yang semula hanya mengetahui soal ladang berpindah (sekadar tanam-dan-tinggalkan) kini mengetahui bahwa ada cara alternatif untuk bercocok tanam. Sedikit-sedikit mereka belajar mengenai tahapan-tahapan seperti pemupukan dan pengentasan hama.

Kampung Sawinggrai, Raja Ampat

Kampung Sawinggrai, Raja Ampat

Kampung Sawinggrai jadi incaran wisatawan Eropa

Menurut Kristian Sauyai, warga Sawinggrai yang juga Ketua Badan Pelaksana PERJAMPAT, kampung itu adalah salah satu incaran wisatawan Eropa. Lokasinya yang jauh dari keramaian membuat Sawinggrai pas sekali untuk bersantai. Tak tanggung-tanggung, para wisatawan bisa menginap sampai berbulan-bulan.

“Ada bule yang tiap natal selalu menginap disini, misa di gereja sama-sama orang kampung,” Kristian berkisah. “Rencananya tahun ini (mereka) mau kembali lagi untuk janji nikah di gereja kami. Sayang corona membuat dia menunda rencananya.”

Kristian sendiri memulai usaha homestay “Mandarin” tahun 2017. Awalnya, ia hanya punya dua homestay. Seiring perkembangannya, homestay itu beranak-pinak sampai menjadi lima. Unit miliknya yang berada di sebelah timur Kampung Sawinggrai adalah sumber pemasukan utamanya. Dengan penginapan itu ia menafkahi keluarga dan menyekolahkan adiknya jauh-jauh sampai ke Jawa. 

Homestay tersebut langsung berhadapan dengan laut, sangat cocok untuk wisatawan yang menyukai kesunyian. Namun, karena materialnya terbuat dari kayu dan daun nipah, sekarang bangunan itu sudah mulai hancur. Di beberapa bagian atap juga tampak bolong.

“Ini hanya bertahan satu sampai dua tahun saja, itupun kalau secara rutin diperiksa; jika ada yang daun yang rusak langsung diperbaiki sedikit,” jelas Kristian.

Kampung Sawinggrai, Raja Ampat

Homestay di Sawinggrai, Raja Ampat

Menengok kebun milik Mama Tabita

Pandemi membuat homestay-homestay di Sawinggrai kosong. Untuk sementara, mereka tidak punya pemasukan dari sektor pariwisata. Demi menyambung hidup, mereka mesti mencari cara lain untuk makan. Mereka kembali berkebun.

Tim Ekspedisi diajak Mama Tabita Rumbewas dan Paulina Mambrasar, cucunya, melihat kebun mereka. Dari Homestay Mandarin, mereka melangkah di jalan agak menanjak selama seperempat jam, membawa parang keranjang daun tikar pandan, lalu tiba di sebuah kebun seluas 100×80 meter. Kebun itu dikelilingi pagar kayu setinggi satu meter.

“Agar tak dimasuki babi hutan,” jelas Mama Tabita.

Kampung Sawinggrai, Raja Ampat

Perjalanan menuju kebun Mama Tabita/Istimewa

Tanaman di sana tidak terlalu variatif. Hanya ada kasbi, betatas, dan jagung. Mama Tabita sempat mencoba menanam cabe dan tomat, namun keduanya tidak tumbuh dengan baik. Menurut Utreks, perlu perawatan ekstra bagi kebun yang berada di tanah seperti di Sawinggrai, terlebih jika yang ditanam adalah sayuran.

Kebun itu mulai digarap kembali oleh anak-anak Mama Tabita sejak bulan Februari lalu. Sebelumnya, kebun ini sudah eksis. Namun, karena semua orang sibuk mengurus homestay dan mencari rupiah lewat pariwisata, kebun tersebut terbengkalai.

“Mama berterima kasih sama corona, karena berkat corona Mama bisa berkumpul dengan anak-anak dan cucu. Tanah yang selama ini tidak jadi apa-apa, sudah bisa jadi kebun,” senyum Mama Tabita Rumbewas mengembang.

Mama Tabita dan cucunya menggali beberapa titik di kebun itu. Sebentar saja, keranjang yang mereka bawa sudah penuh dengan kasbi dan betatas. Semua itu sudah lebih dari cukup untuk dijadikan camilan sore bagi anak-anak dan cucu-cucu yang berkumpul di rumah.


Catatan Redaksi: Pada September 2020, M. Syukron dari TelusuRI mengunjungi beberapa lokasi di Raja Ampat untuk melihat langsung dampak pandemi COVID-19 di wilayah tersebut dalam ekspedisi bersama EcoNusa. Tulisan ini merupakan bagian dari seri catatan perjalanan itu. Nantikan terus kelanjutannya di TelusuRI.id.

The post Tak Ada Wisatawan, Warga Sawinggrai Kembali Berkebun appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/covid-19-masyarakat-sawinggrai-kembali-berkebun/feed/ 0 25874
Ngopi di Masa Pandemi, Bagaimana Nasibnya? https://telusuri.id/ngopi-di-masa-pandemi-bagaimana-nasibnya/ https://telusuri.id/ngopi-di-masa-pandemi-bagaimana-nasibnya/#respond Thu, 10 Dec 2020 10:13:20 +0000 https://telusuri.id/?p=25817 Sejak tahun 2016, saat Pemerintah Provinsi Jawa Barat membidik kopi sebagai salah satu produk unggulan untuk mendulang devisa, bisnis kopi baik olahan maupun seduh bergeliat di Jabar. Pemprov Jabar bahkan secara rutin menggelar event promosi...

The post Ngopi di Masa Pandemi, Bagaimana Nasibnya? appeared first on TelusuRI.

]]>
Sejak tahun 2016, saat Pemerintah Provinsi Jawa Barat membidik kopi sebagai salah satu produk unggulan untuk mendulang devisa, bisnis kopi baik olahan maupun seduh bergeliat di Jabar. Pemprov Jabar bahkan secara rutin menggelar event promosi bertajuk Ngopi Saraosna (Ngopi se-Sedapnya).

Sampai sebelum COVID-19 merebak, kedai kopi di semua kalangan tumbuh berkembang. Kalau tidak ngopi, rasanya tidak ikut tren, karena Pemprov Jabar memang mendorong tidak hanya di hilir, namun juga di hulu, dengan menggelar penanaman pohon kopi di lahan lahan kritis dan lahan pertanian yang tanahnya sesuai dengan tanaman kopi.

Nyatanya sejak 2016 wisatawan luar daerah, bila ke Bandung selalu mencari kopi, karena variannya sudah sangat beragam, sehingga mengundang penasaran para wisatawan untuk sekedar ngopi sambil nongkrong di Kota Kembang ini.

Hanya saja, semenjak masa pandemic COVID-19, kondisi 2016 tidak terlihat lagi. Terlebih, sejak April sampai Juli diberlakukan PSBB. Kondisi yang “memaksa” warga di rumah, dan dibatasinya kegiatan di ruang publik, membuat kedai kopi dan kafé terpaksa harus tutup sementara waktu. Begitupun saat pertengahan Juli, sektor ekonomi mulai dibuka kondisi tidak bisa langsung Kembali seperti saat “normal” karena warga masih tidak boleh berkerumun, sehingga restoran dan kafé hanya boleh diisi setengah dari kapasitas penuhnya. 

Di pertengahan masa pandemic COVID-19, saya sempat mewawancara Ekonom Universitas Pasundan, Bandung, Acuviarta Kartabi, soal kemungkinan pulihnya ekonomi secara perlahan. Acu mengatakan di masa krisis ekonomi ini, diperkirakan UMKM masih dapat tumbuh membantu pergerakan ekonomi nasional karena  roda ekonominya masih ada dan konsumen UMKM masih memiliki daya beli yang cukup. Hanya saja Acu memberi catatan, agar UMKM dapat bertahan, karena pandemi COVID-19 yang masih belum bisa dipastikan berakhirnya, maka pemerintah harus memberikan dorongan penuh agar UMKM bisa terus berjalan.

Desa Jambudipa via Tempo Prima Mulia

Panen Kopi di Cisarua, Bandung via TEMPO/Prima Mulia

Apa yang disampaikan Acu, memang terlihat. Kedai-kedai kopi kecil khas UMKM memang masih bertahan, kontras dengan kafé besar yang mengalami pasang surut dan terlihat sudah ada beberapa yang harus tutup sementara. Haris Komeng, seorang konsultan kafé bahkan mengatakan perlu waktu untuk menumbuhkan Kembali kafé besar pada saat ini. Itu sebabnya Haris banyak bergerak di Jakarta, tempat roda ekonomi mulai terlihat bergeliat, meski PSBB Transisi masih diterapkan.

Di Bandung, meski jam buka restoran dan kafé serta pusat perbelanjaan masih dibatasi, begitu pula dengan kapasitasnya, namun bisnis kopi nampaknya masih memiliki peluang. Namun, ada sejumlah catatan yang perlu diperhatikan. Harga menjadi hal pertama yang perlu diperhatikan. Bila Haris Komeng melihat sulitnya untuk Kembali berdiri untuk kafé-kafé besar, maka dengan mematok harga di bawah kafé tersebut, masih dimungkinkan meraup keuntungan. Setidaknya ini yang saya perhatikan pada seminggu terakhir menyambangi kedai-kedai kopi yang tarifnya di bawah Rp20.000, ternyata animo masyarakat masih cukup tinggi. 

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah tempat yang nyaman. Meski UMKM, bukan berarti cukup dengan kondisi yang seadanya. Meski tidak mewah, namun situasi yang nyaman dan membuat betah, akan menjadi magnet pengunjung. Di sepanjang Jl.Warung Contong Cimahi sampai Jl.Penembakan Utara Cimahi, kedai-kedai kopi dengan beragam variannya tumbuh cukup ramai. Seiring dengan dibangunnya Fly Over Padasuka, yang menghubungkan Jl.Penembakan Utara dengan Jl.Padasuka Kota Cimahi, maka peluang tumbuhnya ekonomi semakin terlihat.

Mereka yang melintas  di jalan tersebut adalah mereka yang akan Kembali ke Padalarang dan sekitarnya, yang bisa melintas di jalan utama Bandung Padalarang. Mereka sering terlihat mampir di sejumlah kedai kopi di daerah itu, sambil menunggu volume kendaraan menurun, agar lebih nyaman berkendara Kembali ke Padalarang. Di pinggiran kota lainnya, seperti di Jl. Cihanjuang arah Parongpong, Jl. Kolonel Masturi Cimahi arah Cisarua pun kedai-kedai kopi UMKM sampai saat ini masih mampu bertahan.

Walaupun masa pandemi COVID-19 ini masih membuat ekonomi fluktuatif, setidaknya peluang bisnis kopi masih memiliki harapan karena budaya minum kopi di negeri kita sudah mengakar. Kalaupun pengunjung tidak datang langsung ke kedai, jasa ojek online dengan fasilitas membelikan dan mengantar pada konsumen masih menyimpan harapan akan tumbuhnya bisnis ini.

Bisnis kopi tidak hanya berhenti di kedai, berkebun dengan tanaman kopi ternyata memiliki peluang pula untuk meningkatkan ekonomi keluarga. Dengan dukungan sejumlah desa wisata di Kabupaten Bandung, petani kopi menjadi salah tulang punggung agar desa wisata di sana dikenali. Petani kopi di Desa Rawabogo dan Desa Gambung Ciwidey, Kabupaten Bandung, bahkan sudah memiliki pembeli tetap, baik kafé, restoran, maupun produsen kopi yang cukup besar. 

Apapun yang terjadi, meski pandemi COVID-19 masih berlangsung dan belum tahu kapan akan berakhir, berjuang tidak boleh surut. Setidaknya membangun usaha melalui kopi selain survival di saat sejumlah pekerja di PHK dan sejumlah orang sulit mencari kerja, juga sebagai bagian membuat ekonomi di lingkungan Anda tetap tumbuh. Bila semua berfikir ke sana, bisa jadi Analisa UMKM bisa membantu ekonomi nasional di masa krisi ini, kan terwujud.

The post Ngopi di Masa Pandemi, Bagaimana Nasibnya? appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/ngopi-di-masa-pandemi-bagaimana-nasibnya/feed/ 0 25817
Menyelesaikan Skripsi Semasa Corona https://telusuri.id/menyelesaikan-skripsi-semasa-corona/ https://telusuri.id/menyelesaikan-skripsi-semasa-corona/#respond Tue, 24 Nov 2020 09:02:31 +0000 https://telusuri.id/?p=25508 Skripsi bagi banyak mahasiswa memang menjadi momok tersendiri. Tidak sedikit yang tersendat kelulusannya hanya karena terganjal tugas akhir ini. Sebenarnya skripsi sama saja seperti tugas-tugas harian lainnya. Hanya saja, dalam skripsi kita dituntut untuk bisa...

The post Menyelesaikan Skripsi Semasa Corona appeared first on TelusuRI.

]]>
Skripsi bagi banyak mahasiswa memang menjadi momok tersendiri. Tidak sedikit yang tersendat kelulusannya hanya karena terganjal tugas akhir ini. Sebenarnya skripsi sama saja seperti tugas-tugas harian lainnya. Hanya saja, dalam skripsi kita dituntut untuk bisa mempertahankan ide atau gagasan kita, setidaknya di depan para dosen penguji. Saya pun sempat mengalami penyakit sejuta umat dalam menghadapi skripsi, yakni insecure alias ketakutan akan ketidakmampuan saya untuk menyelesaikannya. Terlebih momok skripsi akan selalu membayangi sampai ujian pendadaran.

Untuk mengurangi rasa khawatir yang tak kunjung usai, saya mencoba membuat jadwal yang benar-benar saya taati. Awalnya, saya menargetkan akhir 2019 sudah ujian seminar proposal. Tapi, saya malah terbuai karena terlalu fokus menuntaskan tanggung jawab saya di organisasi. Meskipun judul sudah di-acc sejak akhir Oktober, sampai Natal tiba pun belum saya sentuh sedikit pun skripsi saya. Saya pikir, dibawa santai saja, masih bisa, kok, terkejar selesai bulan Mei dan ikut wisuda Agustus.

Mengawali tahun baru, saya bikin resolusi paling realistis: kejar tayang proposal skripsi agar bisa ujian seminar proposal secepatnya. Bersamaan kejar tayang proposal tersebut, berita COVID-19 sudah tersebar ke penjuru dunia. Ketakutan pun mulai bermunculan di mana-mana. Saya, sih, menanggapinya dengan santai. “Ah, peduli kucing. Penting skripsi saya selesai. Lagian tidak akan ngefek juga ke skripsi saya,” pikir saya. Bak ibu yang sedang hamil, saya mencoba fokus seratus persen kepada sang buah hati—skripsi—dan tidak mau berpikir terlalu jauh dari apa yang sedang ada di depan mata.

Pertengahan Februari saya sudah seminar proposal. Tapi, bukannya langsung mengerjakan Bab IV, saya malah berleha-leha tak melakukan apa pun selama sebulan. Ketika saya sudah mengumpulkan niat dan semangat untuk kembali berperang, tak disangka-sangka corona akhirnya masuk juga ke Negeri Khatulistiwa ini. Seketika juga semua aktivitas terhenti. Saya masih santai-santai saja waktu itu, belum panik seperti orang kesurupan, sebab saya lihat baru di Jakarta saja ada yang kena. Di Jogja sendiri, sih, masih aman-aman saja. Eh, tapi, kok, seminggu-dua minggu kemudian makin gila saja perkembangannya.

Tak pernah terpikirkan oleh saya jika efek COVID-19 akan benar-benar membuat stres. Bagaimana tidak? Aktivitas luring terhenti dan tak semua orang, perusahaan, atau lingkungan kerja mampu beradaptasi secara cepat, tak terkecuali administrasi kampus dan pelaksanaan penelitian saya. Tiga minggu setelah kasus pertama diberitakan, universitas saya langsung menutup semua akses ke kampus. Aktivitas administrasi kampus pun boleh dibilang dalam dua minggu pertama benar-benar lumpuh. Rencana saya untuk melakukan penelitian dan wawancara ke beberapa instansi harus benar-benar tertunda. Selama bulan Maret saya pusing tujuh keliling.

Waktu corona masih di Negeri Tirai Bambu, saya masih berniat untuk datang langsung ke instansi tempat penelitian saya di Surabaya, Bandung, dan Makassar. Sebenarnya itu ide cukup nekat, karena dosen pembimbing saya menyarankan untuk sekadar mengambil data di kota tempat saya kuliah saja. Tapi, kalau tidak hajar sepenuhnya, rasanya seperti ada yang kurang. Saya cukup menyesal juga tidak langsung mengeksekusi penelitian setelah seminar. Pembenaran saya, sih, namanya juga mahasiswa; malas itu bukan penyakit tapi memang sudah mendarah daging saja. Mau tidak mau saya harus cari “jalan tikus” biar target wisuda Agustus tetap terkejar.

Jalan skripsi saya saat corona bisa dibilang memotong arus dan tidak menaati prosedur. Supaya selesai sebelum Lebaran, saya nekat mencari dan menghubungi narasumber alternatif selain yang seharusnya saya datangi di tiga kota besar tadi. Syukurnya, semua narasumber yang saya hubungi langsung bersedia dan tidak keberatan apabila saya hubungi hanya lewat WhatsApp dan saya wawancara secara daring. Bahkan, saya tidak membawa surat izin penelitian dari kampus. Narasumber sudah aman, sekarang saya butuh data lainnya. Saya coba korek informasi dari kampung halaman untuk mencari responden. Ternyata cukup susah kalau tidak pakai surat resmi. apalagi bagi mahasiswa peneliti seperti saya yang tidak punya terlalu banyak jejaring.

Pengerjaan skripsi benar-benar saya kebut satu bulan penuh sepanjang April. Saya sudah seperti romusa rasa-rasanya, mengerjakan skripsi tiada henti dan tanpa pandang waktu, begadang sampai tidur hanya beberapa jam tiap harinya selama sebulan, hanya untuk melayani tuan yang bernama skripsi. Tapi, lebih baik jangan terlalu berlebihan seperti saya, sebab saya harus membayar “utang” dalam bentuk gejala tifus pascaskripsi. Kerja, kerja, kerja—tifus.

Upacara wisuda dan pelepasan daring/Dimas Purna Adi Siswa

Untuk menyiasati data yang belum sepenuhnya saya dapat, kadang saya menggunakan hipotesis atau asumsi pribadi terlebih dahulu. Baru nanti saya ubah dan sesuaikan apabila data benar-benar sudah ada. Untungnya asumsi saya hampir sembilan puluh persen sesuai dengan data yang akhirnya saya dapatkan. Coba kalau tidak, bisa-bisa harus kerja dua kali.

Ketika selesai, naskah skripsi langsung saya kirimkan kepada dosen pembimbing. Dan kesusahan/kesulitan sepertinya memang selalu beriringan dengan kemudahan. Setelah sebulan kerja rodi, saya seperti merdeka dari penjajahan.

Awalnya, saya pikir proses revisi naskah skripsi akan memakan waktu hingga sebulan. Sudah banyak cerita soal proses revisi skripsi yang berlangsung berminggu-minggu, jadi barangkali lumrah saja saya berasumsi demikian. Tapi, nyatanya, keesokan hari setelah saya kirimkan, dosen pembimbing saya mengirimkan revisian. Benar-benar terkejut saya. Total, saya hanya perlu waktu tiga hari untuk memoles naskah sampai menjadi sempurna dan siap untuk dihidangkan. Saya apresiasi betul dosen pembimbing saya; benar-benar mengerti dan memahami mahasiswanya, meskipun dirinya dikenal perfeksionis.

Badai corona memang benar-benar memaksa semua umat manusia untuk berubah dan beradaptasi kembali untuk bisa bertahan. Kaget dan tersendat-sendat karenanya memang keniscayaan. Tapi, bukan berarti tidak bisa melaluinya juga.

Sudah hampir sembilan bulan hidup di tengah pandemi, saya kira corona bukan momok yang sangat menakutkan, tapi juga tidak bisa diremehkan. Syukurnya, hampir semua lini sudah beradaptasi—dan saya harap kamu juga demikian. Apabila sekarang di tengah-tengah pandemi begini kamu sedang mengerjakan skripsi, semoga cerita saya bisa sedikit menolong.

Tapi, saran utama saya, sih, paling penting jaga kewarasan diri saja dulu. Habis itu baru mengurus skripsi.

The post Menyelesaikan Skripsi Semasa Corona appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menyelesaikan-skripsi-semasa-corona/feed/ 0 25508
Cerita tentang Dapur Gendong dan Tangisku di Pasar Beringharjo https://telusuri.id/cerita-tentang-dapur-gendong-dan-tangisku-di-pasar-beringharjo/ https://telusuri.id/cerita-tentang-dapur-gendong-dan-tangisku-di-pasar-beringharjo/#respond Sat, 14 Nov 2020 10:38:46 +0000 https://telusuri.id/?p=25257 Sebagai seorang netizen yang kafah, aku langsung nyinyir ketika membaca sebuat cuitan di lini masa Twitter soal pembagian makanan gratis untuk buruh gendong di Pasar Beringharjo. Aku membatin begini waktu itu: “Elo ngasih makanan gratis?...

The post Cerita tentang Dapur Gendong dan Tangisku di Pasar Beringharjo appeared first on TelusuRI.

]]>
Sebagai seorang netizen yang kafah, aku langsung nyinyir ketika membaca sebuat cuitan di lini masa Twitter soal pembagian makanan gratis untuk buruh gendong di Pasar Beringharjo. Aku membatin begini waktu itu: “Elo ngasih makanan gratis? Lah, trus apa kabar warung makan-warung makan di sekitaran pasar? Gak laku, dong, jualan mereka?!”

Kemudian, tak lama setelah itu, tak sengaja aku melihat unggahan Instagram Adriani Zulivan. Mbak Adriani menceritakan kegiatan memasak gratis yang kunyinyiri tempo hari. Melihat unggahan itu aku jadi merasa tak enak hati, apalagi kutahu Mbak Adriani dan suaminya, Mas Joyo (Elanto Wijoyono), adalah orang-orang baik yang peduli sesama.

Keinginan untuk membantu pun muncul dari dalam pikiranku. Segera kuhubungi Mbak Adriani untuk menyatakan maksudku, meskipun aku belum punya gambaran memadai soal kegiatan memasak dan membagikan makanan gratis itu.

Setelah melihat jadwal libur, baru di pekan kedua bulan November aku punya waktu luang untuk membantu kegiatan itu. Begitu Mbak Adriani mengatakan bahwa setelah 6 November kegiatan akan diistirahatkan sementara selama dua minggu, aku pun kelimpungan. Akhirnya kusiasati kembali jadwal liburku yang terbatas, terus kucocokkan dengan jadwal kereta ekonomi jurusan Jakarta-Jogja. Kereta kelas ekonomi adalah pilihan pertama. Maklum, masa pandemi ini sangat memengaruhi keadaan ekonomi bulananku, sampai-sampai ada satu istilah yang selalu membahana dalam pikiranku: eman-eman.


Akhirnya aku berada di Warmindo Bakzoo, Jl. Veteran 36, Umbulharjo, Kota Yogyakarta, tak jauh dari seberang pintu masuk barat Kebun Binatang Gembira Loka, setelah menempuh 11 jam perjalanan naik kereta. Hampir dua pertiga perjalanan aku memakai face shield, salah satu hal yang diwajibkan PT KAI selain menunjukkan hasil rapid test yang non-reaktif. Tak nyaman, memang. Tapi semua harus dilakukan supaya wabah tak makin parah.

Warmindo Bakzoo/Daan Andraan

Hari pertama di warmindo yang jadi dapur umum itu aku hanya membantu memotong kentang yang hendak diracik jadi sambal kentang goreng untuk nasi bungkus yang akan dibagikan besok. Tak ada kegiatan memasak hari itu sebab sudah ada donasi 145 porsi nasi bungkus.

Ketika matahari tepat di atas kepala, aku ditawari makan siang bersama. Ikan goreng, tahu goreng, sayur ubi tumbuk, dan sambal dadakan yang luar biasa pedas menjadi menu makan siang kami. Sambil menikmati itu semua aku mulai menodong Mbak Adriani untuk bercerita tentang gerakan memasak makan siang gratis ini.

dapur gendong
Para relawan Dapur Gendong sedang menyiapkan nasi bungkus/M. Berkah Gamulya

Gerakan ini, tutur Mbak Adriani, berawal ketika Mas Mul (G. Berkah Mulyana) tersentuh hatinya melihat keadaan buruh gendong pasar di Jogja semasa corona ini. Hampir semua buruh gendong di pasar itu adalah wanita sepuh. Upah mereka hanya Rp2.000 untuk sekali menggendong beban yang kadang lebih berat ketimbang tubuh renta mereka. Sebelum pandemi, penghasilan simbah-simbah buruh gedong itu hanya Rp20.000-50.000 per hari. Tentu sekarang, ketika orang-orang lebih memilih di rumah saja, penghasilan mereka makin turun. Sementara, pengeluaran harian mereka tak ikut menurun.

Aktivitas memasak di Dapur Gendong/Daan Andraan

Sebagian besar di antara mereka bukan berasal dari sekitar pasar. Buruh-buruh gendong di Pasar Beringharjo, misalnya, banyak yang dari Kulonprogo. Dari rumah, mereka naik bus kecil dengan ongkos Rp7.000 sekali jalan—pulang-pergi berarti Rp14.000. Untuk makan nasi dengan lauk tempe mereka keluar uang Rp4.000. Ditambah biaya toilet umum, total pengeluaran mereka sehari sekitar Rp20.000. Jika penghasilan rata-rata minimal mereka Rp20.000 per hari, apa yang bisa mereka bawa pulang? Maka, tak jarang mereka memilih tak pulang, tidur di pasar, ketika pendapatan lebih kecil dari pengeluaran harian.

Lalu Mas Mul, Mas Joyo dan Mbak Adriani (aktivis sosial), serta Mas Dodok (Dodok Putra Bangsa, seniman dan penggerak “Jogja Ora Didol”) sepakat membuat dapur umum untuk memasak makan siang yang akan dibagikan gratis kepada para buruh gendong—”Porter woman,” demikian Mas Dodok menyebut.

Kiriman perdana Dapur Gendong, sebutan untuk dapur umum mereka, tanggal 19 Oktober 2020 adalah 130 bungkus berisi capcay jowo, telur balado, nasi putih, dan air minum. Penerimanya adalah para buruh gendong di Pasar Beringharjo. Dana untuk nasi bungkus itu, cerita Mbak Adriani, berasal dari donasi beberapa LSM, PPI, Gusdurian, dan orang-orang yang peduli.

Demi memudahkan penyediaan dan distribusi, Dapur Gendong memakai data yang mereka terima dari Yayasan Annisa Swasti (Yasanti), sebuah lembaga yang melakukan pendampingan dan penguatan gerakan perempuan akar rumput, tak terkecuali buruh gendong. Yasanti mencatat bahwa di Pasar Beringharjo ada 145 buruh gendong, Pasar Giwangan 100 orang, Pasar Gamping 25, dan Pasar Kranggan 13.

Jumlah relawan yang semula belasan sekarang jadi lebih dari 30 orang. Mereka meluangkan waktu terlibat dalam empat kelompok tugas, yakni tim dapur (juru masak), tim bungkus (mengemas masakan), tim bersih (mencuci piring dan membersihkan dapur), dan tim distribusi (mengantar makanan ke pasar).

dapur gendong
Menu Dapur Gendong/Daan Andraan

Para relawan itu sebagian adalah para pekerja yang terkena dampak pandemi COVID-19.

Ibu Dijah (59 tahun), misalnya. Sewaktu tinggal di Jakarta ia bekerja di katering. Awal 2020 kemarin ia pulang ke Jogja membawa asa untuk membuka usaha. Namun rencana itu batal karena pandemi tiba. Sekarang, setiap hari ia datang ke Dapur Gendong dan menjadi kepala dapur yang bertanggung jawab menyiapkan lebih dari 150 nasi bungkus per hari. Relawan lainnya, Yusuf Bernadion Marcelino, sebelum pandemi adalah seorang koki di salah satu restoran di Jogja. COVID-19 membuatnya dirumahkan. Cerita-cerita mengharukan juga dibawa oleh para relawan lain yang ikhlas membantu Dapur Gendong tanpa bayaran. Doa-doa terbaik kudaraskan pada mereka semua.


Di hari terakhirku di Jogja, aku berniat datang jam 9 pagi ke Dapur Gendong, ketika para relawan sedang membungkus makanan. Kegiatan harian di Dapur Gendong sudah terjadwal—jam 7 memasak, jam 9 membungkus, dan jam 11 mendistribusikannya ke pasar-pasar. Setelah itu, para relawan akan istirahat makan siang sebelum kembali menyiapkan bahan-bahan untuk dimasak keesokan harinya.

Tapi, sebelum ke Dapur Gendong aku ke Pasar Beringharjo terlebih dahulu untuk melihat dan mengambil foto para buruh gendong.

dapur gendong
Berfoto bersama buruh gendong/M. Berkah Gamulya

Setiba di sana, suasana masih sepi dan beberapa kios belum buka. Aku berkeliling pasar, melihat beberapa orang buruh gendong duduk-duduk di lorong kios sayur di lantai 2. Tiba-tiba seorang simbah melintas di depanku dengan karung besar di punggungnya. Aku mengikutinya. Dari belakang sini hanya tampak karung besar dan sepasang kaki kecil ringkih yang perlahan menapaki dinginnya lantai pasar. Saat mencoba mengambil foto, tanpa sadar aku menitikkan air mata. Aku langsung memalingkan muka, teringat ibuku di rumah.

Setelah berhasil menenangkan emosi, aku memesan ojol dan berjanji dalam hati, “Ini bukan terakhir kalinya aku ke Dapur Gendong; aku pasti akan kembali.”

The post Cerita tentang Dapur Gendong dan Tangisku di Pasar Beringharjo appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/cerita-tentang-dapur-gendong-dan-tangisku-di-pasar-beringharjo/feed/ 0 25257