siak Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/siak/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 17 Sep 2024 16:18:32 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 siak Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/siak/ 32 32 135956295 Masa Depan Siak di Tangan Generasi Muda https://telusuri.id/masa-depan-siak-di-tangan-generasi-muda/ https://telusuri.id/masa-depan-siak-di-tangan-generasi-muda/#respond Thu, 21 Dec 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40627 Bertahun-tahun industri manufaktur serta eksplorasi minyak bumi dan gas menghidupi Siak, kabupaten terkaya kedua di Riau. Namun, generasi mudanya tidak mau terlena. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: TelusuRI dan Skelas Sisa kejayaan Kesultanan Siak seolah masih...

The post Masa Depan Siak di Tangan Generasi Muda appeared first on TelusuRI.

]]>
Bertahun-tahun industri manufaktur serta eksplorasi minyak bumi dan gas menghidupi Siak, kabupaten terkaya kedua di Riau. Namun, generasi mudanya tidak mau terlena.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: TelusuRI dan Skelas


Masa Depan Siak di Tangan Generasi Muda
Tampak depan galeri Sentra Kreatif Lestari Siak (Skelas) saat malam. Galeri ini menjadi simbol nyata gerakan orang-orang muda Siak di sektor ekonomi kreatif dan ramah lingkungan/Explore Siak

Sisa kejayaan Kesultanan Siak seolah masih terasa sampai sekarang. Penanda paling gampang adalah istana kesultanan di daerah Kampung Dalam, Kecamatan Siak, yang kini dibuka jadi museum untuk kunjungan wisata. Struktur bangunan dan koleksi sejarah di dalamnya masih terawat baik.

Tanda lain yang bisa dilihat jelas adalah ketika memasuki Siak Sri Indrapura, ibu kota Kabupaten Siak. Setelah Jembatan Tengku Agung Sultanah Latifah sepanjang 1,2 kilometer, pengendara mobil atau motor akan melewati jalan protokol yang mulus dan lebar. Banyak area publik terbuka di sekitarnya.

Meskipun relatif jauh dari Pekanbaru, ibu kota Provinsi Riau, Siak menawarkan kenyamanan bagi penghuninya. Sumber kenyamanan itu berasal dari industri manufaktur serta pertambangan dan penggalian minyak bumi dan gas (migas). Dua sektor ini menyumbang hampir 68% Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Siak. Nilainya mencapai 70 triliun rupiah. 

Namun, di balik berlimpahnya nilai ekonomi industri tersebut, tersimpan kekhawatiran dampak eksploitasi yang mengancam kelestarian alam. Mulai dari limbah, pencemaran lingkungan, hingga kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Menyisakan problem yang belum sepenuhnya terselesaikan. 

Di sisi lain, suara-suara orang muda Siak dari berbagai komunitas bermunculan. Untuk membantu mengatasi masalah-masalah klasik itu, mereka menawarkan sebuah jalan baru bernama ekonomi kreatif. Salah satu ruang kreasi yang muncul adalah Skelas, Sentra Kreatif Lestari Siak. 

Masa Depan Siak di Tangan Generasi Muda
Noza Rahmad Alditya, co-founder Skelas yang juga seorang komposer musik. Saat ini aktif mengelola akun Instagram @exploresiak sebagai media lokal yang mempromosikan sejarah, budaya, komunitas, dan potensi alam Siak/TelusuRI

Sekilas tentang Skelas

Bukan cuma faktor lingkungan. Skelas (baca: sekelas) juga lahir dari keresahan orang-orang muda terhadap perkembangan kepariwisataan Siak yang monoton. Pada 2015, ketika Instagram mulai populer digunakan sebagai media promosi pariwisata daerah, Siak relatif adem ayem. Tak ada sesuatu yang baru. 

Noza Rahmad Alditya, komposer musik dan salah satu co-founder Skelas, memandang pemerintah daerah masih memakai gaya lama. Kurang memanfaatkan digitalisasi untuk promosi wisata. “Padahal Siak punya potensi wisata dan budaya yang cukup besar. Potensi generasi muda juga besar,” katanya. 

Melihat pemerintah kurang responsif, Skelas berinisiatif ingin membuktikan diri dengan gebrakan kreatif. Termasuk menunjukkan cara mengemas produk pariwisata dan mempromosikannya lebih baik. Salah satunya melalui akun Instagram Explore Siak yang dibentuk Musrahmad alias Igun. Direktur PT Alam Siak Lestari sekaligus inisiator Skelas itu juga merupakan tokoh komunitas muda di Siak. Sejak 2012 ia sudah merangkul banyak komunitas lokal untuk berkolaborasi dalam wadah yang sama.

Noza dan Igun tidak sendiri. Ada tujuh orang muda lainnya dari latar belakang berbeda ikut bergabung menyokong Skelas, sembari tetap menjalankan bidang usaha atau komunitas masing-masing.

Ketujuh orang itu adalah Satria (aktivis milenial dan founder Tumbuh Anak Siak), Cindy Shandoval (arkeolog dan founder Heritage Hero), Adit (desainer grafis dan owner Tilas), Deni (pekerja seni dan owner Batik Zen). Lalu Cerli (ketua Skelas dan owner Suwai), Andrio (pekerja seni dan founder Visit Siak), dan Hendri (web developer dan owner Kakudoko).

Spektrum perjuangan Skelas kemudian berkembang. Kepariwisataan tidak bisa hanya bicara soal destinasi wisata. Banyak aspek multidisiplin di dalamnya dan saling berkaitan satu sama lain.

Semangat gotong royong menjadi motor utama komunitas. Inti gerakannya adalah menjembatani antara komunitas dengan pemerintah. Bukan rahasia umum jika orang-orang muda di komunitas memiliki ide dan kreativitas dalam banyak hal positif, tetapi tidak punya kekuatan, modal, dan fasilitas memadai. Sementara pemerintah berada di posisi sebaliknya. Igun dan kawan-kawan sepakat bahwa kerja sama yang bagus dari masing-masing pihak bisa berkontribusi positif untuk menghasilkan solusi kreatif atas sejumlah permasalahan di Siak.

Cindy (29), yang menjabat koordinator sumber daya manusia Skelas, menyebut saat ini ada tiga fokus utama Skelas, yaitu: (1) membuat pusat informasi dan data potensi ekonomi kreatif, budaya, maupun lingkungan; (2) mendata sumber daya manusia yang punya potensi besar, khususnya generasi muda; dan (3) menjalankan program inkubasi, akselerasi, dan agregator Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).

Skelas mendorong generasi muda Siak untuk tetap memerhatikan lingkungan dan kelestarian alam saat membuat produk-produk UMKM maupun ekonomi kreatif. Rambu-rambu lestari ini selaras dengan masuknya Kabupaten Siak sebagai salah satu pendiri sekaligus wakil ketua forum Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL) pada tahun 2017. Langkah itu akhirnya ditindaklanjuti dengan Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 22 Tahun 2018 tentang Siak Kabupaten Hijau. Perbup tersebut kemudian ditingkatkan menjadi peraturan daerah (Perda) pada 2022.

Komitmen tersebut didasari oleh pengalaman sulit mengatasi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) luar biasa selama 2011 sampai dengan 2015. Siak, yang hampir 58 persen wilayahnya merupakan tutupan lahan gambut, ingin pulih dan membuat program pembangunan dengan pendekatan ekologis. Generasi muda turut berkontribusi di dalamnya melalui diversifikasi karya kreatif atau produk ramah lingkungan.

Masa Depan Siak di Tangan Generasi Muda
Cindy Shandoval, co-founder Skelas yang juga pendiri komunitas Heritage Hero di Siak/TelusuRI

Potensi produk ekonomi lestari dan tantangannya 

Sebagai upaya berkelanjutan, Skelas menyediakan beberapa platform khusus untuk memperluas jangkauan pasar. Termasuk salah satu fokus yang sedang dikerjakan, yaitu program inkubasi, akselerasi, dan agregator Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Tujuannya membawa UMKM Siak naik kelas dan siap berdaya saing, dengan tetap berusaha memerhatikan dampak sosial dan lingkungan. 

Pada Januari—Maret 2023, Skelas bekerja sama dengan Pemkab Siak menyelenggarakan program inkubasi UMKM, dengan prioritas utama inkubasi bisnis lestari. Di tahap awal ini, Skelas mendampingi generasi muda yang memiliki ide atau sudah memulai usaha kreatif, khususnya yang telah menggali dan memanfaatkan potensi komoditas ramah gambut. Salah satu yang terbesar adalah sektor pangan atau kuliner lokal. 

Acara tersebut bertempat di basecamp atau Kantin Skelas, Mempura, yang berdiri dekat kawasan bekas Tangsi Belanda di tepi Sungai Siak. Cindy mengatakan ajang ini bertujuan untuk sosialisasi program Skelas dan pemerintah dalam pendampingan UMKM, mempertemukan berbagai stakeholder untuk melihat potensi produk UMKM lokal. Sampai dengan tahun ini, terdapat 57 produk dari 21 UMKM yang lolos kurasi selama program inkubasi.

Saat ditemui pagi itu di Siak (28/09/2023), kepada TelusuRI Cindy menunjukkan contoh-contoh produk ramah gambut yang telah berhasil diinkubasi.

“Ini adalah minuman nanas yang kami beri nama Puan Pina. ‘Puan’ artinya perempuan, ‘Pina” itu artinya pineapple (nanas),” terang Cindy. Nanas termasuk tanaman ramah gambut yang kini banyak dikembangkan di Siak, terutama Kecamatan Bunga Raya dan Sungai Apit. Ia menambahkan, “Biasanya nanas diolah oleh teman-teman UMKM sebagai sirup.”

Sebelumnya, produk sirup tersebut disajikan dalam bentuk botol biasa. Proses membuatnya terbilang merepotkan. Harus menuangkan dulu ke gelas dan ditambah air jika kurang manis. Karena kurang efisien, utamanya untuk hidangan saat rapat, dalam sebulan hanya diproduksi 10—20 botol. Itu pun belum tentu laku.

Melalui program inkubasi, teman-teman UMKM dilatih memperbaiki sistem produksi, mengubah bentuk pengemasan dan menyematkan informasi produk di kemasan, serta melengkapi legalitas produk. Akhirnya muncul kemasan baru sirup nanas dengan kemasan kaleng siap minum. Inovasi kemasan dan kemudahan cara minum berpengaruh ke drastisnya peningkatan penjualan drastis lebih dari 100 persen. Sepanjang April—September sudah terjual 5.000 kaleng.

Selanjutnya Cindy memperlihatkan kemojo, kue bolu tradisional khas Siak dengan rasa pandan. Selama diriset, ditemukan sejumlah kendala yang bisa berpengaruh pada kesehatan. “Kue ini untuk orang yang punya program diet kurang sehat, karena tepungnya mengandung santan dan tidak bebas gluten,” jelasnya.

Dulunya kue tersebut hanya dijual saat sudah matang saja dan tinggal makan. Namun, kekurangannya adalah kue menjadi tidak awet. Hanya bertahan tiga hari. Setelah proses inkubasi, dihasilkan perubahan bentuk produk menjadi tepung premix. Produk ini bisa dimasak oleh konsumen di tempatnya masing-masing. Rasanya tetap keluar dan daya tahannya bisa mencapai tiga bulan.

Kue kemojo versi baru tersebut menjadi produk paling inovatif saat inkubasi. Salah satu aspek inovasi paling menonjol adalah penggunaan bahan baku tepung dari bekatul, serbuk halus yang dihasilkan setelah padi ditumbuk. Perubahan bahan baku tersebut merupakan saran dari narasumber lokal maupun nasional selama pelatihan. UMKM produsen bolu kemojo mengambil bekatul itu dari petani padi sawah di Bunga Raya, lalu mengesktraksinya menjadi tepung premix.

“Ini jadi salah satu varian yang cukup recommended dan paling banyak disukai karena cukup sehat,” ujar Cindy.

Tak hanya olahan makanan atau minuman lokal. Di etalase basecamp Skelas juga dijual beberapa produk lainnya, seperti kaus, kerajinan tangan, hingga obat herbal. Untuk memperluas jangkauan penjualan, Skelas bekerja sama dengan toko oleh-oleh atau agen reseller di Pekanbaru. Katalog produk-produk tersebut dapat dilihat secara daring di laman situs kantin.skelas.org

Cindy mengakui, tantangan besar yang dihadapi adalah memastikan seluruh proses pembuatan produk UMKM mitra Skelas sepenuhnya mempertimbangkan kaidah ramah lingkungan. “Sebenarnya produk kita pun sejauh ini belum bisa seratus persen klir dari hulu sampai hilir itu lestari,” ujarnya.

Sementara yang bisa dilakukan adalah memastikan ketersediaan bahan baku harus menggunakan bahan lokal dan terjangkau. Beberapa item produksi dalam rantai pasok, seperti bahan kemasan, juga masih menyesuaikan harga pasar. Cindy pun belum berani menggaransi, jika sebuah produk yang 100 persen memenuhi konsep ideal (lestari), harganya akan sama murahnya dengan produk biasa. 

Adapun untuk mengakomodasi industri jasa sektor ekonomi kreatif, tersedia platform Kawan Skelas (kawan.skelas.org). Sebuah situs yang mempertemukan individu atau kelompok usaha kreatif. Tujuannya mendorong kemandirian ekonomi melalui kegiatan wirausaha. Dan diharapkan terjalin kolaborasi lintas sektor lainnya di Kabupaten Siak.

Kawan Skelas memberi ruang 17 subsektor ekonomi kreatif, yaitu fotografi, desain interior, seni rupa, musik, desain produk, mode (fesyen), film/video, animasi, dan kriya. Kemudian ada periklanan, seni pertunjukan, desain komunikasi visual, televisi dan radio, pengembangan game, arsitektur, penerbitan, aplikasi, dan kuliner. 

Sejauh ini sudah ada 38 anggota yang terverifikasi, dan memiliki spesialisasinya masing-masing. Mereka dapat dihubungi melalui saluran komunikasi dan media sosial pribadi terlampir, jika diperlukan portofolio atau informasi lebih lanjut.

Masa Depan Siak di Tangan Generasi Muda
Kudapan khas Siak, bolu kemojo dalam dua kemasan siap saji mengapit produk minuman nanas kaleng. Produk-produk UMKM lokal karya orang-orang muda Siak ini lolos program inkubasi dan saat ini penjualannya juga tersedia di galeri Skelas/TelusuRI

Menjawab tantangan dengan kolaborasi 

Beragam potensi ekonomi kreatif yang disebut Cindy menguak sisi lain Siak. Banyak peluang lapangan kerja “hijau” yang memiliki prospek cerah. Ia percaya generasi muda lokal, dengan latar belakang beragam, tidak kekurangan ide dan memiliki kapasitas. 

“Jika itu dikerjakan bareng-bareng, ide-ide itu akan muncul dan menciptakan inovasi yang lebih banyak lagi,” kata Cindy.

Alumni Arkeologi UGM itu memberi contoh produk pangan, menurutnya, menghasilkan sebuah produk pangan tidak bisa hanya diselesaikan oleh orang teknologi pangan saja. Pasti ada campur tangan dari desainer kemasan produk, fotografer produk, bahkan konsultan pemasaran. Kolaborasi bersama untuk membangun penjenamaan dan menciptakan pasar dari produk pangan tersebut.

Tantangan-tantangan yang dihadapi tidak bisa dianggap enteng. Salah satu yang terberat adalah mengubah pola pikir. Baik di tingkat pemerintahan maupun masyarakat. Penyebabnya antara lain sudah terlanjur nyaman dengan lingkungan yang ada. Noza memiliki analisis menarik soal kenyamanan hidup di Siak yang melenakan.

“Kota ini punya sungai. Habitat dan hutannya bagus. [Tempat tinggal] masyarakat Siak biasanya di depan adalah sungai, di belakang rumahnya adalah hutan. Jadi, kalau mau makan pergi ambil sayuran di belakang, terus mau makan ikan tinggal memancing di sungai,” terangnya, “itu yang bikin orang ini malas [berkembang] dan mindset seperti ini muncul turun-temurun.”

Meskipun orang-orang muda Siak merantau pun, entah untuk studi atau bekerja, orang tuanya tetap menyuruh pulang. Mereka telah menyiapkan rumah, tanah luas; semata melanjutkan “keteraturan” yang sudah mengakar. Di sisi lain, Noza yakin generasi muda itu memiliki mimpi-mimpi besar setelah melihat dunia luar. Akan tetapi, kadang-kadang mereka takut berkarya sesuai panggilan jiwanya.

Belum lagi soal kebijakan pembangunan daerah. Ia menilai pemerintah terlalu fokus pada infrastruktur fisik daripada meningkatkan kapasitas orang-orang muda. “Padahal investasi paling bagus adalah [membangun] sumber daya manusianya,” ujar Noza.

Maka alasan Skelas tercipta dari sembilan orang pendiri pun memiliki filosofi sendiri. Komunitas ini ingin menunjukkan pola gerakan yang dimulai dari langkah kecil, fokus, lalu melebar dan berdampak ke sekitarnya. Menurunkan ego, berkolaborasi demi 

“Kita percaya dari 1.000 orang muda di Siak, pasti ada 10 orang yang mikirin Siak,” ucap Cindy yakin. Artinya, memikirkan cara-cara kreatif dan inovatif. Di luar dominasi industri manufaktur dan migas, terselip harapan baru untuk Siak yang tidak itu-itu saja. Lewat Skelas, semangat dan kreativitas generasi muda bisa terus meretas batas. Masa depan Siak lestari ada di tangan mereka. (*)


Foto sampul:
Musrahmad atau Igun (kanan), salah satu pendiri Skelas, memberi penjelasan sejumlah produk UMKM lokal yang telah lolos inkubasi di galeri Sentra Kreatif Lestari Siak/Explore Siak

Pada September—Oktober 2023, tim TelusuRI mengunjungi Sumatra Utara, Riau, dan Kalimantan Timur dalam ekspedisi Arah Singgah: Meramu Harmoni Kehidupan Manusia dan Alam. Laporan perjalanannya dapat diikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Masa Depan Siak di Tangan Generasi Muda appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/masa-depan-siak-di-tangan-generasi-muda/feed/ 0 40627
Meredam Bara Gambut dengan Ikan Gabus https://telusuri.id/meredam-bara-gambut-dengan-ikan-gabus/ https://telusuri.id/meredam-bara-gambut-dengan-ikan-gabus/#respond Wed, 20 Dec 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40615 Api yang sering melalap gambut memaksa masyarakat Negeri Istana bernapas dengan abu. Di permukaan air hitam, muncul isyarat ikan gabus sebagai juru selamat. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri Riau pernah mengalami...

The post Meredam Bara Gambut dengan Ikan Gabus appeared first on TelusuRI.

]]>
Api yang sering melalap gambut memaksa masyarakat Negeri Istana bernapas dengan abu. Di permukaan air hitam, muncul isyarat ikan gabus sebagai juru selamat.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri


Meredam Bara Gambut dengan Ikan Gabus
Produk-produk turunan Alam Siak Lestari yang dihasilkan dari ikan gabus. Solusi ramah lingkungan untuk mengatasi kebakaran lahan gambut yang sering terjadi di Siak/Mauren Fitri

Riau pernah mengalami kebakaran hutan dan lahan (karhutla) terparah pada 2015. Ratusan ribu hektare lahan membara. Asapnya tidak hanya menyelimuti langit Riau dan provinsi tetangga, tetapi juga Malaysia dan Singapura.

Tahun itu sedang berlangsung El Nino. Fenomena El Nino mengurangi curah hujan dan memicu kemarau panjang dari pertengahan tahun sampai November 2015. Selain anomali iklim, ulah manusia yang membakar untuk penyiapan lahan perkebunan jadi faktor pemicu terbesar. Biasanya dilakukan dalam skala besar (selevel korporasi).

Titik api hampir tersebar ke seluruh kabupaten di Riau. Tidak terkecuali Siak. Dari luas daerah sekitar 8.500 kilometer persegi, 57 persen wilayahnya tertutup lahan gambut. 

Karhutla saat puncak musim kering menyengsarakan lingkungan hidup. Muram. Ribuan hektare kawasan hutan dan lahan gambut terdegradasi. Berhari-hari tidak terlihat langit biru. Jarak pandang terbatas. Kualitas air memburuk. Udara begitu pekat dan mengandung partikel berbahaya.

Masyarakat juga menderita. Berbagai masalah kesehatan muncul, di antaranya Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), penyakit kulit, penyakit mata, asma, dan pneumonia. Aktivitas pendidikan, perkantoran, hingga kegiatan usaha pun terganggu.

Lelah bergelut dengan kabut asap, sekelompok anak muda di kabupaten berjuluk Negeri Istana itu kemudian membuat gebrakan segar. Alih-alih turun ke jalan mendemo pemerintah, yang dilakukan lebih elegan, terukur, dan anti mainstream.

Tidak tanggung-tanggung. Mereka mendirikan perusahaan berbasis komunitas dengan nama Alam Siak Lestari. Tujuannya merestorasi gambut, sekaligus menghasilkan produk-produk ramah gambut bernilai ekonomi tinggi. Cita-cita besar yang lahir dari eksistensi ikan gabus yang bahkan sempat terabaikan oleh habitatnya sendiri.

Meredam Bara Gambut dengan Ikan Gabus
Musrahmad, Direktur PT Alam Siak Lestari/Mauren Fitri

Ekonomi restoratif ala Alam Siak Lestari

“Resminya kami berdiri tahun 2021, tapi risetnya sudah dilakukan jauh lebih dulu,” kata Musrahmad alias Igun (39), Direktur PT Alam Siak Lestari (ASL).

Sesuai namanya, ASL berkiprah di sektor bisnis lestari. Fokusnya melakukan budidaya ikan gabus di lahan gambut dan memproduksi albumin dari ikan gabus. Pengembangan usaha tersebut dilakukan berbasis riset ilmiah. 

Bisnis lestari yang diusung ASL bersumber dari keresahan Igun terhadap bencana karhutla yang melanda Siak. “Kami tidak bisa terhindar dari gambut. Kami harus mencari solusi bersama agar bisa hidup berdampingan dengan gambut,” jelas Igun.

Menurut definisi Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengukuran Kriteria Baku Kerusakan Tanah untuk Produksi Biomassa, lahan gambut merupakan tanah hasil penumpukan bahan organik melalui produksi biomassa hutan hujan tropis. Gambut terbentuk dari sisa-sisa pohon, rerumputan, lumut, dan jasad hewan yang membusuk di dalam tanah.

Wetlands International mencatat Indonesia memiliki 20,6 juta hektare lahan gambut. Tersebar di Sumatra, Kalimantan, dan Papua. Terluas di Asia Tenggara. Namun, potensi besar gambut untuk penyimpan karbon dan sumber energi alternatif kian tergerus degradasi lahan. Seperti persis terjadi di Siak. Dari peran penyelamat iklim justru menjadi sumber emisi gas rumah kaca yang besar.

Melihat kenyataan miris itu, Gun dan tim lekas bergerak. Langkah awal terpenting adalah mencari berbagai sumber pendanaan. ASL mendapatkan dana hibah—gabungan beberapa organisasi nirlaba maupun lembaga filantropi—berupa sarana fisik (laboratorium dan perangkatnya). ASL juga menyertakan modal yang dihimpun dari masyarakat maupun Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), yang menegaskan saham perusahaan tersebut menjadi milik masyarakat.

Puncaknya pada 2021 ASL memenangkan dua nominasi penghargaan internasional dalam MIT SOLVE di Amerika Serikat, yaitu MIT Solver Team kategori Resilient Ecosystems (Ekosistem Tangguh) dan GM Prize Award dari General Motor. ASL termasuk dalam tujuh perusahaan rintisan terbaik dari 88 finalis dari 1.800 pendaftar di 128 negara.

Saat itu, sebagai satu-satunya peserta dari Indonesia, ASL mengajukan rencana solusi berjudul “HEAL (Healthy Ecosystem and Alternative Livelihood Fisheries)”, melindungi lahan gambut dengan budidaya ikan gabus dan produksi komoditas turunan ramah gambut. Hadiah uang sebesar US$ 75.000 berhak dibawa pulang.

“Itu kami hemat-hemat sampai sekarang [untuk biaya operasional],” terangnya.

Namun, ia memastikan penggawa ASL digaji layak sesuai standar upah minimum daerah setempat. Saat ini tenaga kerja yang terserap ada 17 orang staf dengan usia rata-rata di bawah 30 tahun. Igun ingin menunjukkan bahwa anak-anak muda Siak mampu untuk berkarya di tempatnya sendiri, dengan kualitas nasional dan global.

Selain operasional perusahaan, sumber pendanaan tersebut digunakan untuk penelitian, pemberdayaan masyarakat, dan produksi. Setelah melalui proses riset yang panjang, ASL menemukan solusi restoratif dari ikan gabus (Channa striata). Ikan predator air tawar yang kaya albumin (protein) dan bernilai ekonomi tinggi.

Konsepnya adalah menempatkan ikan gabus dalam kanal-kanal air di areal lahan gambut. Tujuannya sederhana, agar sumber air terjaga dan lahan gambut tetap basah. Masyarakat digandeng sebagai mitra untuk membudidayakan ikan gabus. Dampak ekonomi yang dirasakan adalah keuntungan dari penjualan ikan gabus sebagai bahan baku produk ramah gambut yang nantinya dibuat ASL.

“Tidak bisa tidak. Menyelamatkan gambut adalah usaha yang harus melibatkan masyarakat, karena mereka tinggal di sekitar lahan gambut,” Gun memperjelas skema bisnis ASL, “makanya yang melakukan budidaya [ikan gabus] di lahan gambut harus masyarakat.”

Sejauh ini terdapat tiga desa mitra ASL untuk budidaya ikan gabus berbasis masyarakat, yaitu Bunsur (Kecamatan Sungai Apit), Buantan Besar (Kecamatan Siak), dan Dayun (Kecamatan Dayun). Budidaya ikan gabus di ketiga desa tersebut masih dilakukan di kolam dekat lahan gambut. Ke depan ASL hendak mendekati dua desa mitra lagi di Siak, yang akan praktik langsung budidaya di lahan gambut.

Pengembangan budidaya bukan berarti tanpa kendala. Kendala yang terjadi biasanya kesibukan masyarakat di mata pencaharian lain, sehingga ikan gabus kadang lupa diurus secara intensif. Terkadang masyarakat juga fokus pada hal lain, yaitu pembibitan ikan gabus untuk keperluan sampingan.

Tidak ada cara lain untuk mengatasi tantangan tersebut, kecuali terus melakukan pendekatan dan pendampingan kepada masyarakat. Menjaga semangat dan meyakinkan peluang pasar terbuka lebar untuk ikan gabus dan produk turunannya, sekaligus menegaskan kontribusi positif pada restorasi gambut.

Masyarakat mitra ASL secara berkala menyerahkan hasil panen ikan gabus untuk bahan baku produksi Albugo dan produk-produk turunan lainnya/Alam Siak Lestari

Nilai plus ikan gabus

Selain sebagai senjata andalan untuk merestorasi gambut, ikan gabus juga dijadikan ASL sebagai bahan baku pembuatan produk suplemen, karena kandungan albumin di dalamnya sarat protein tinggi. Meski belum bisa memastikan persisnya, Igun menyebut ada sekitar lebih dari 40 jenis atau subspesies ikan gabus endemik di Siak.

Pemilihan ikan gabus tidak hanya berdasarkan pertimbangan ilmiah saja. Menurut Gun, kearifan lokal suku Melayu yang ada di Siak juga menjadi inspirasi dan dasar riset ASL.

“Di budaya Melayu, ibu-ibu setelah melahirkan itu terbiasa mengonsumsi ikan gabus [yang dikukus] untuk mempercepat penyembuhan luka,” ungkap Igun. Dalam pengamatannya, ibu-ibu di Siak makan ikan gabus hasil pengukusan biasa saja, tidak dengan olahan masakan yang rasanya enak. Pun tidak dibumbui macam-macam.

Pemahaman budaya lokal tentang khasiat ikan gabus tentu mengejutkan. Tidak hanya sebagai menu makanan rumah tangga, tetapi juga penyembuh luka setelah persalinan. Warisan pengetahuan medis tradisional tersebut seolah melampaui hasil penelitian kesehatan modern.

Salah satu produk unggulan ASL adalah kapsul ekstrak ikan gabus dengan merek “Albugo”. Albugo telah lulus sertifikasi halal dan BPOM. Di lokapasar, tersedia dua varian premium dalam kemasan botol, yaitu isi 30 kapsul dan isi 60 kapsul, dengan kandungan 15—17 persen albumin per botol. Setiap 500 miligram kapsul berisi 25 mg ekstrak ikan gabus dan 460 mg tepung ikan gabus.

Formula yang sudah teruji klinis tersebut memiliki sejumlah manfaat, yaitu mempercepat proses penyembuhan luka pascapersalinan, luka bakar, luka diabetes, dan membantu terapi pasien gangguan ginjal yang mengalami hipoalbumin. Kemudian juga meningkatkan sistem imun (daya tahan tubuh). Kadar albumin dan globulin di dalamnya memproduksi lebih banyak antibodi.

Meskipun sudah tersedia secara daring, Igun mengutamakan Albugo hadir di masyarakat Siak terlebih dahulu. ASL telah memasukkan produk ini ke apotek-apotek di seluruh kecamatan di Kabupaten Siak. “Harus orang Siak sendiri yang menikmati produk berkualitas ini,” katanya. 

Adapun tepung ikan, yang dihasilkan dari serpihan daging dan kulit ikan sisa proses ekstraksi albumin cair, memiliki khasiat bagus untuk memperbaiki gizi. Terutama pada bayi, anak-anak, dan ibu hamil. Tepung ikan tersebut sempat dibawa Pemkab Siak sebagai inovasi produk penanganan stunting di tingkat provinsi. 

“Sekarang ini kami kerja sama dengan pemerintah [untuk] mengatasi stunting menggunakan produk tepung ikan berprotein tinggi,” kata Igun.

Untuk menghasilkan produk berkualitas secara konsisten, ASL menerapkan standar tinggi terhadap ikan gabus yang digunakan sebagai bahan baku.

Langkah pertama yang dilakukan adalah menyeleksi ikan berdasarkan ukuran. Rentang bobot setiap ikan gabus yang akan diambil berkisar 400—700 gram. Dipanen dari lahan budidaya yang sudah berusia 8—10 bulan. 

Selanjutnya ASL membatasi pasokan ikan gabus per bulan maksimal 250 kilogram. Meskipun beberapa nelayan mitra ASL menyebut mampu menyuplai satu ton per bulan, Igun menolak. Alasannya, “Kita enggak mau di situ terjadi overfishing.”

Pembatasan juga berlaku pada periode pengambilan stok ikan. Dalam satu tahun, ASL hanya mengambil ikan selama tujuh bulan beruntun. Sisa lima bulan kemudian digunakan untuk proses recovery ikan gabus di alam. 

Dari ketentuan seketat itu saja, ASL bisa menghasilkan beragam produk turunan dari ikan gabus. Tidak ada bagian yang terbuang sia-sia.

Misalnya, sisik ikan. Ada sebuah perusahaan partner ASL yang membantu mengubah sisik menjadi kolagen. Produk kolagen yang dihasilkan bermanfaat untuk merawat sel kulit manusia. Kemudian kepala dan isi perut ikan. Dari yang tadinya hanya limbah, diolah menjadi pupuk cair dan padat untuk penyubur tanaman. Satu-satunya yang akhirnya jadi limbah pun hanya berupa air cucian ikan.

Igun mengungkapkan, sebenarnya masih banyak kandungan yang belum dieksplorasi lebih lanjut dari ikan gabus. Tim di laboratorium ASL sempat melihat sejumlah potensi, di antaranya omega-3, omega-9, lalu edible film—pengemas makanan alami seperti plastik yang bisa dimakan.

Siapa sangka, obat terbaik untuk meredam murka gambut, memperbaiki luka persalinan, mencegah gizi buruk, menyuburkan tanah, bahkan menaikkan taraf hidup masyarakat, asalnya dari hanya satu tubuh ikan gabus. Realitas ini seakan meneguhkan hukum bumi, bahwa apa pun yang diambil dari alam akan kembali ke alam. 

  • Meredam Bara Gambut dengan Ikan Gabus
  • Meredam Bara Gambut dengan Ikan Gabus

Tantangan besar untuk tujuan besar

Visi besar Alam Siak Lestari untuk merestorasi gambut di Siak menghadapi tantangan berat. Sebagai sebuah terobosan baru, bukan perkara mudah mengubah pola pikir masyarakat. Jamak terjadi di banyak tempat. Masyarakat umumnya cenderung menunggu bukti atau hasil yang menguntungkan.

“Biasanya kalau [masyarakat] ingin makan ikan gabus tinggal pancing, tangkap, atau beli. Jadi, bukan kebiasaannya untuk melakukan budidaya,” terang Igun, “ini tantangan pertama [karena] masyarakat tidak langsung percaya atau tidak langsung mau budidaya ikan gabus di lahan gambut.”

Kondisi itu membuat Alam Siak Lestari tidak bisa serta-merta menerapkan program lestari secara langsung. Pendekatan awal yang dilakukan antara lain mengetahui terlebih dahulu kemauan masyarakat. Salah satunya meminta dibuatkan dalam bentuk kolam ikan biasa dan dibangun di dekat rumah. Tujuannya agar lebih mudah mengawasi, karena rumah mereka tidak selalu dekat dengan lahan gambut.

“Pemikirannya mereka seperti memelihara ayam saja sebagai usaha sampingan. Tidak difokuskan [restorasi],” jelas Igun, “itu proses yang terjadi sekarang dan kami ikuti.”

Pada saat bersamaan Alam Siak Lestari berkejaran dengan waktu. Tantangan terbesarnya adalah berkomunikasi dengan masyarakat, membuat produk berkualitas, melakukan program restorasi, dan menghasilkan pendapatan maksimal secara beriringan. 

Igun mengakui tidak semua orang menganggap bisnis lingkungan atau bisnis lestari sebagai sorotan utama. Ada pertanyaan-pertanyaan di benak masyarakat, utamanya soal kualitas produk dan keterjangkauan harga. Penetrasi pasar untuk jenis bisnis semacam ini memang tidak segampang produk mainstream lainnya.

Di samping itu fasilitas ruangan kantor yang sedang digunakan saat ini masih berstatus sewa. Laboratorium riset dan kapasitas produksi pun masih jauh dari kata memadai.

“Tapi bisnis tetaplah sebuah bisnis,” Igun mengingatkan. Walaupun memiliki visi restorasi gambut dan tujuan lingkungan lainnya, Alam Siak Lestari harus mengejar keuntungan bisnis. Tak ada alasan yang lebih utama selain hasilnya diputar dan digunakan kembali ke restorasi gambut dan masyarakat.

Satu-satunya jalan untuk menghadapi tantangan tersebut adalah melakukan riset dan inovasi terus-menerus. Tidak hanya memproduksi albumin yang sekarang beredar di pasaran, tetapi juga menghasilkan produk turunan yang potensinya sangat banyak. Di tengah keterbatasan, Igun tak mau putus harapan.

Setidaknya kiprah ASL sudah terasa nyata untuk mengubah Siak lebih baik. Indikator itu, menurut Igun, bisa dilihat dalam lima sasaran utama yang ditetapkan dalam Perbup Nomor 22 Tahun 2018 tentang Siak Kabupaten Hijau. 

“Dari hasil impact reporting yang kami lakukan di 2023, ada empat dari lima sasaran Siak Hijau itu terpenuhi,” klaimnya. Keempat sasaran tersebut adalah menekan tingkat kerusakan gambut, menciptakan pertumbuhan ekonomi yang lestari dan berkelanjutan, pemanfaatan sumber daya alam yang tidak merusak fungsinya, dan keselarasan kebijakan konservasi dan pertumbuhan ekonomi.

Sasaran kelima, menanggulangi kemiskinan melalui pemberdayaan ekonomi kerakyatan, pemberdayaan perekonomian pedesaan, pembangunan sektor ketenagakerjaan serta pemerataan dan pengendalian kependudukan; mengutip pernyataan Igun, harus dikolaborasikan lebih erat bersama Pemkab Siak.

“Saya ingin bisnis ini tetap berjalan sampai ratusan tahun, [dan] tujuan-tujuan lingkungannya juga tetap tercapai,” harap bapak empat anak itu. 

Ia mengharapkan Alam Siak Lestari tidak hanya ada di Siak, tetapi juga di daerah lain. Bukan berarti Alam Siak Lestari membuka cabang baru, melainkan mengajak anak-anak muda membentuk perusahaan-perusahaan riset dengan semangat dan tujuan serupa.

“Alam Siak Lestari bukan bertujuan menguasai pasar dan menghasilkan uang sebanyak-banyaknya. Perkembangan Alam Siak Lestari tergantung pada seberapa besar usaha restorasi dan penyelamatan hutan yang kami lakukan,” tegasnya.

Bertumbuhnya bisnis Alam Siak Lestari diharapkan berkelindan dengan rencana capaian di masa mendatang. Pertumbuhan luasan lokasi restorasi gambut, peningkatan taraf hidup masyarakat, serta dampak sosial dan lingkungan lainnya.

“Mudah-mudahan makin banyak anak muda Siak yang bisa bergabung di Alam Siak Lestari. Bergerak bersama untuk kebaikan bersama,” pungkasnya. (*)


Foto sampul:
Sampel ikan gabus di dalam akuarium yang dirawat di kantor PT Alam Siak Lestari, Kabupaten Siak/Deta Widyananda

Pada September—Oktober 2023, tim TelusuRI mengunjungi Sumatra Utara, Riau, dan Kalimantan Timur dalam ekspedisi Arah Singgah: Meramu Harmoni Kehidupan Manusia dan Alam. Laporan perjalanannya dapat diikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Meredam Bara Gambut dengan Ikan Gabus appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/meredam-bara-gambut-dengan-ikan-gabus/feed/ 0 40615