sikola cendekia pesisir Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/sikola-cendekia-pesisir/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 13 Feb 2024 03:56:51 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 sikola cendekia pesisir Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/sikola-cendekia-pesisir/ 32 32 135956295 Kabar Ceria sekaligus Cemas dari Pulau Bonetambu di Hari Sabtu https://telusuri.id/kabar-ceria-sekaligus-cemas-dari-pulau-bonetambu-di-hari-sabtu/ https://telusuri.id/kabar-ceria-sekaligus-cemas-dari-pulau-bonetambu-di-hari-sabtu/#respond Thu, 15 Feb 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41160 Mengunjungi Pulau Bonetambu selalu menjadi agenda akhir pekan kesukaan saya. Menyeberangi lautan selama hampir sejam, bertemu dengan anak-anak pulau yang sudah meneriaki nama kakak-kakak gurunya bahkan sebelum kami bersandar di dermaga. Di bulan November dan...

The post Kabar Ceria sekaligus Cemas dari Pulau Bonetambu di Hari Sabtu appeared first on TelusuRI.

]]>
Mengunjungi Pulau Bonetambu selalu menjadi agenda akhir pekan kesukaan saya. Menyeberangi lautan selama hampir sejam, bertemu dengan anak-anak pulau yang sudah meneriaki nama kakak-kakak gurunya bahkan sebelum kami bersandar di dermaga. Di bulan November dan matahari yang terik sedari pagi, rombongan kami yang terdiri dari enam relawan Sikola Cendekia Pesisir (SCP) dan beberapa peserta dari salah satu yayasan, bersama-sama menaiki perahu berkapasitas 70 orang milik Haji Rasul, seorang pemilik kapal dari Pulau Barrang Lompo—sama-sama terletak di kawasan Kepulauan Spermonde dan perairan Selat Makassar.

Perjalanan menuju Pulau Bonetambu dari dermaga Pelabuhan Paotere, Makassar memakan waktu sekitar satu jam. Saat kami tiba, air laut tidak begitu tinggi sehingga kapal tidak bisa bersandar di dermaga. Pada situasi seperti ini, solusi terbaik adalah seorang awak kapal memakai gabus besar menuju dermaga, lalu mengomunikasikan dengan salah satu warga untuk meminjam jolloro, kapal panjang dan ramping untuk menjemput kami. 

Kabar Ceria sekaligus Cemas dari Pulau Bonetambu di Hari Sabtu
Pelabuhan Paotere saat Sabtu pagi sebelum berangkat ke Pulau Bonetambu/Nawa Jamil

Sewaktu menunggu giliran menaiki jolloro, saya duduk di samping Haji Rasul, sang kapten kapal. Kami pun sempat berbincang kecil. “Kemarin waktu pemberangkatan relawan naik kapal ta’ juga tidak bisa sandar di dermaga, ya, Aji?”

Haji Rasul menangguk. “Begini memang selalu, Dek, apalagi kalau berangkat menuju siang. Pasti air laut itu sudah turun, tidak cukup untuk kapal sandar di dermaga. Pasti kandas.”

Ia lalu melanjutkan, “Apalagi daerah bibir pantainya pulau ini sama sekali tidak dibersihkan. Ada banyak karang dan dangkal. Jadi kalau air laut surut sedikit saja, saya sudah tidak berani sandar di dermaga.”

Kami tidak banyak berbincang. Setelah sekitar 15 menitan, jolloro kembali bersandar di samping kapal kami, selesai membawa rombongan pertama ke pulau. Saya pun naik ke jolloro. Dari kejauhan, saya dapat melihat dermaga penuh dengan anak-anak yang telah menunggu kedatangan kami. Kata temanku kemudian, anak-anak menunggu sejak pagi. Mereka terlihat senang dan melambaikan tangan seraya kami tiba di dermaga. 

Anak-anak menyambut meriah. Hatiku sangat penuh dengan tingkah lucu mereka yang berebut untuk menggandeng tanganku. Kusapa wajah-wajah yang tidak asing, beberapa anak juga menegurku.

“Halo, Kak Nawa,” sapanya.

Kabar Ceria sekaligus Cemas dari Pulau Bonetambu di Hari Sabtu
Haji Rasul menakhodai masker saat mengemudikan kapal miliknya menuju Pulau Bonetambu/Nawa Jamil

Menghadapi Antusiasme Anak-anak

Selama beberapa jam ke depan, sebagian besar kegiatan akan dilakukan di sekolah dasar, kecuali makan siang relawan secara bergantian. Kegiatan ini dimulai dengan pengenalan relawan. Kala itu, saya bertanggung jawab di kelas 5 dan 6 yang digabung dalam satu ruangan untuk memastikan kelas berjalan kondusif. Sementara sesi mengajar diserahkan sepenuhnya kepada dua relawan dari yayasan. 

Kelas 5 dan 6 memang belajar di satu ruangan yang menyatu dengan ruang guru (lebih mirip bilik darurat yang hanya dipisahkan dengan triplek putih). Terdapat sekitar 20 anak dari dua jenjang kelas tersebut. Tidak sebanyak murid di sekolah-sekolah yang umum dijumpai di kota. Selama sejam, kami akan bersenang-senang di dalam kelas: belajar baca, tulis, hitung, dan sedikit bahasa Inggris yang ternyata cukup disenangi anak-anak. 

Mengajar anak-anak di dalam kelas memang cukup tricky. Kita harus sigap membaca tanda-tanda kebosanan, hilang fokus, dan tentu menyiapkan materi ajar yang menarik. Setiap anak unik dengan caranya sendiri, sehingga membutuhkan pendekatan yang berbeda pula. Ada yang senang dipuji, ada yang malu-malu, ada pula yang senang bermain dan mengganggu temannya. Beberapa pengalaman mengajarku membuatku mengerti bagaimana memperoleh perhatian mereka tanpa melukai pita suara, seperti games, tepuk-tepukan yang variatif, serta memberikan apresiasi untuk setiap hal kecil dan baik yang mereka lakukan. 

Tidak terasa, waktu sudah mendekati siang. Seperti briefing sebelumnya, anak-anak akan diberi makan siang sementara beberapa relawan akan santap siang di rumah Bu RW secara bergantian. Setelah itu permainan berlangsung di luar ruangan. Anak-anak bermain bersama sejumlah kakak relawan, sedangkan sebagian relawan lain sibuk mempersiapkan penyerahan bingkisan untuk setiap anak. Bingkisan-bingkisan itu terdiri dari tas sekolah, perlengkapan sekolah, dan beberapa camilan sehat. 

Anak-anak menerimanya dengan bersemangat. Sebagian di antaranya menyerobot karena saking senangnya. Setelah berfoto bersama, mereka menolak pulang ke rumah mereka dan justru menemani kami ke dermaga. Sayangnya, kami tidak menginap seperti kegiatan-kegiatan sebelumnya.

  • Kabar Ceria sekaligus Cemas dari Pulau Bonetambu di Hari Sabtu
  • Kabar Ceria sekaligus Cemas dari Pulau Bonetambu di Hari Sabtu

Kekosongan-kekosongan yang Muncul Setelahnya

Kegiatan berbagi dalam bentuk materi menjadi sesuatu yang sangatlah lumrah ditemui, mengingat Indonesia dengan gelar negara berpenduduk paling dermawan di dunia. Sama seperti kegiatan berbagi di Pulau Bonetambu ini, saya melihat begitu banyak kesenangan yang terpancar dari mata anak-anak. Tas punggung yang baru dibagikan bahkan langsung mereka pakai dengan bersemangat.

Membantu dan berbagi memang menyenangkan. Hal baik ini selalu memenuhi hati dengan perasaan hangat. Namun, saya sedikit khawatir. 

Kekhawatiran ini muncul suatu hari, ketika beberapa orang berbagi sepatu untuk anak-anak gunung yang terbiasa tidak memakai alas kaki mewah itu. Donasi materi membiasakan anak-anak dengan kehadiran sepatu itu hingga dipakai setiap hari. Lambat laun, sepatu tersebut mengikis, solnya makin rapuh, dan akhirnya rusak. Yang terjadi setelahnya, lebih dalam dari sekadar alas kaki, kini anak-anak gunung menolak berangkat sekolah tanpa sepatu yang sebelumnya tidak menjadi persoalan. 

Selain itu, pembagian berupa materi akan selalu menjadi hal baik, tetapi: “apakah anak-anak membutuhkan sepatu baru tiap tahun, atau kehadiran guru penuh waktu, ruang belajar nyaman, materi ajar yang menyenangkan dan aplikatif, atau bahkan perubahan pola pikir orang tua mereka bahwa sekolah itu penting?” 

Makin terlibat dengan niat membantu, makin saya sadar bahwa sistem dan perbaikan dari akar menjadi kunci utama perubahan. Tidak sekadar materi yang mengambang di permukaan air, menciptakan kekosongan demi kekosongan di bawahnya. Tidak mudah, apalagi untuk teman-teman relawan yang hanya modal nekat dan rasa kemanusiaan. Namun, bukan berarti tidak mungkin untuk mulai menyentuh hal-hal fundamental di masyarakat pulau. 

Kabar Ceria sekaligus Cemas dari Pulau Bonetambu di Hari Sabtu
Perjalanan pulang dari Pulau Bonetambu ke Makassar/Nawa Jamil

Cerita saat Pulang

Kami berusaha kembali ke Kota Makassar lebih cepat, sebab makin malam biasanya ombak akan makin besar. Berbeda saat pergi, kali ini saya langsung mengambil tempat duduk di samping Haji Rasul. Saya berniat berbincang banyak hal dengan beliau tentang teknik mengemudikan kapal. Tentu satu jam tidak cukup, apalagi beliau lebih senang bercerita tentang pengalaman merantau dan anak-anaknya dibanding soal kapal. 

Di bagian kemudi saya duduk bertiga, yaitu Haji Rasul, saya, dan satu relawan SCP, Kak Yaya. Perbincangan kami berlangsung menyenangkan, terutama perihal fenomena nikah muda yang kerap terjadi di pulau, dan bagaimana Haji Rasul keukeuh menasihati kami untuk segera menikah. Saya tidak berkomentar banyak, sebab beliau memberi nasihat karena peduli. Terlihat jelas dari matanya yang dikelilingi kulit keriput. 

Perjalanan pulang cukup menantang. Ombak lumayan besar, sehingga beberapa relawan yang duduk di bagian depan kapal langsung bergegas pindah ke dalam.

Kami kembali menginjakkan kaki di Pelabuhan Paotere sesaat sebelum Magrib. Disambut lembayung senja dan kumandang azan masjid. Setelah berpisah dengan rombongan yang kami kawal pada keberangkatan ini, kami pun menutup perjumpaan dengan semangkuk Coto Flyover, Makassar yang menghangatkan jiwa sampai ke tulang


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kabar Ceria sekaligus Cemas dari Pulau Bonetambu di Hari Sabtu appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kabar-ceria-sekaligus-cemas-dari-pulau-bonetambu-di-hari-sabtu/feed/ 0 41160
Semangat Anak-Anak Pulau Lanjukkang Mengejar Mimpi https://telusuri.id/semangat-anak-anak-pulau-lanjukkang-mengejar-mimpi/ https://telusuri.id/semangat-anak-anak-pulau-lanjukkang-mengejar-mimpi/#respond Mon, 13 Nov 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40043 Petualangan dari hari Jumat ke Minggu beberapa waktu lalu saya mulai bersama teman-teman dengan memarkirkan motor di tempat parkir dalam Pelabuhan Paotere, Makassar. Tepatnya di samping masjid. Seorang bapak paruh baya menyambut kami. Ia mengamankan...

The post Semangat Anak-Anak Pulau Lanjukkang Mengejar Mimpi appeared first on TelusuRI.

]]>
Petualangan dari hari Jumat ke Minggu beberapa waktu lalu saya mulai bersama teman-teman dengan memarkirkan motor di tempat parkir dalam Pelabuhan Paotere, Makassar. Tepatnya di samping masjid. Seorang bapak paruh baya menyambut kami. Ia mengamankan helm-helm kami di tempat terpisah. Cukup membayar jasa parkir Rp15.000 untuk tiga hari.

Setelah parkir, kami berjalan keluar dari pelabuhan menuju ke arah kanal. Di sini, kapal-kapal kecil seringkali tidak memiliki nyali bersandar di Pelabuhan Paotere. Mereka bersandar di antara kapal kecil lainnya di sepanjang kanal. 

Kali ini, tim Sikola Cendekia Pesisir (SCP) akan melakukan perjalanan mengajar tiga hari ke pulau terluar Makassar, yakni Lanjukkang. Kami bekerja sama dengan tim Kejar Mimpi, sebagai salah satu agenda perayaan milad komunitas pemuda tersebut. Kejar Mimpi merupakan gerakan sosial yang dibentuk oleh salah satu bank swasta di Indonesia. Fokus komunitas ini adalah peningkatan kemampuan dan kapasitas anak-anak muda. Kami cukup beruntung mendapat kesempatan sebagai penanggung jawab untuk program Pojok Mimpi. Memberikan donasi buku bahan bacaan untuk anak-anak usia sekolah dasar, serta mengadakan kelas belajar dan bermain selama sehari di pulau. 

Kami menunggu cukup lama di kanal. Padahal kapal yang kami sewa dari Pulau Lumu-Lumu telah bersandar di kanal setengah jam yang lalu. Sayangnya beberapa partisipan dari beragam komunitas ini tidak cukup menghargai waktu, sehingga pelayaran tertunda nyaris dua jam. Kami akhirnya berangkat sekitar pukul 11.00 WITA dan tiba dengan selamat di Pulau Lanjukkang kira-kira 2,5 jam kemudian. 

Semangat Anak-Anak Pulau Lanjukkang Mengejar Mimpi
Perjalanan dari kanal Paotere ke Pulau Lanjukkang/Nawa Jamil

Sisi Lain Pulau Lanjukkang

Saya terakhir mengunjungi pulau ini sekitar 2018 lalu. Sewaktu lokasi binaan Komunitas Sikola Cendekia Pesisir masih di Pulau Langkai, tetangga Pulau Lanjukkang. Kala pertama kali ke sini, kami bersandar tepat di daerah Villa Tua, tetapi kini kapal bersandar di area pulau sebaliknya. Banyak hal yang terjadi selama lima tahun terakhir. Area gusung pulau banyak berubah. Dahulu gusung pulau memanjang di area timur laut, sekarang justru menjorok lebih ke arah timur dan barat. Ternyata setelah berbincang dengan beberapa warga, abrasi dan perubahan iklim beberapa tahun belakangan ini—percaya atau tidak—berpengaruh cukup besar terhadap topografi pulau yang indah dengan air biru dan pasir putih.

Lanjukkang menyimpan sejarah panjang. Begitu pun pekerjaan rumah pemerintah yang masih itu-itu saja hasilnya. Berhubung tim SCP bertanggung jawab dalam program Pojok Mimpi dan mengajari anak-anak keesokan harinya, sore setelah briefing dan istirahat sebentar, kami langsung membagi tim untuk melakukan asesmen kemampuan calistung (baca-tulis-hitung) anak-anak di pulau ini.

Tim terbagi menjadi dua. Sebagian ke utara, lalu sebagian lagi ke arah sebaliknya. Sore itu, saya dan tiga orang teman lainnya menyusuri arah utara dan berhenti di sebuah rumah. Terdapat seorang anak yang tengah memainkan senar putus di tangannya. Tampaknya ia berusaha memperbaiki ukulele tua itu. 

Rumah pertama yang kami tempati itu memiliki tiga orang anak usia sekolah. Total ada sekitar 20 anak usia sekolah—yang sayangnya—hanya bersekolah tiga kali dalam sebulan. Itupun bukan di Pulau Lanjukkang. Mereka harus menempuh perjalanan ke Pulau Lumu-Lumu, begitu mendapat informasi jika guru mereka ada di pulau tersebut. Anak-anak Pulau Lanjukkang sama seperti anak-anak pulau lainnya. Mereka anak-anak yang manis, senang membaca buku dengan ilustrasi berwarna, juga sedikit jahil. Namun, mereka tidak sebanyak anak-anak di pulau lainnya sehingga berbagai fasilitas dasar, seperti puskesmas pembantu, ruang kelas dan guru untuk tingkat pendidikan pertama tidak kami jumpai di pulau ini.

Dahulu di Lanjukkang ada sebuah komunitas yang bercita-cita mendirikan sekolah tetap di sini. Pertikaian politik beberapa tahun kemarin berdampak pada mangkraknya pembangunan sekolah. Ditambah kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK terhadap seorang pimpinan daerah di Sulawesi Selatan, donor utama komunitas tersebut. Sekolah tersebut berada di titik pulau yang ramai ditinggali. Tanpa dinding dan menyedihkan. Bertahun-tahun terbengkalai, kini hanya jejak yang tertinggal. Tidak ada lagi yang lain. 

Satu Hari yang Menyenangkan

Semalam kami tidur di bale-bale persis menghadap ke laut. Sederhana saja. Beralaskan bambu, beratap daun nipah, dan tanpa dinding sehingga angin laut langsung menerpa kulit. Menembus sarung yang tidak begitu tebal. Salah satu hal yang akan selalu kami rindukan dari kegiatan mengajar ke pulau adalah momen bercerita sampai malam menuju pagi yang terjadi begitu saja. Lalu keesokan paginya, kami bangun lebih lama dibanding matahari terbit. Saat bangun, matahari sudah beberapa derajat di atas khatulistiwa. Pagi itu kami langsung sarapan, berganti pakaian, dan bersiap-siap mengajar. 

Semangat Anak-Anak Pulau Lanjukkang Mengejar Mimpi
Salah satu relawan sedang mengajar anak-anak pulau/Nawa Jamil

Anda dapat dengan mudah menemukan bale-bale sepanjang pantai di pulau ini. Bale-bale atau gazebo sering disewakan kepada para turis yang datang ke pulau ini. Beberapa datang untuk snorkeling atau sekadar mengabadikan keindahan alam di sekitar Pulau Lanjukkang. Pagi ini akan ada pembukaan, peresmian pojok mimpi, penyerahan buku donasi, serta kelas kreatif bagi perempuan pulau. 

Tepat pukul 08.00 WITA, kami mulai membuka acara yang selanjutnya berlangsung meriah. Saya tidak tinggal sampai acara pembukaan selesai, sebab harus menyiapkan ruangan untuk kelas belajar dan bermain anak setelahnya. Tidak sampai sepuluh menit kemudian, langkah-langkah kecil mereka yang sedikit berlari terdengar makin dekat. Anak-anak datang dan kami pun melalui empat jam belajar yang menyenangkan. Terlepas anak-anak yang cepat bosan dan selalu mengajak main, mereka sangat menikmati proses belajar dengan buku-buku cerita berwarna.

Semangat Anak-Anak Pulau Lanjukkang Mengejar Mimpi
Penyerahan piagam penghargaan antara tim SCP dan Kejar Mimpi/Nawa Jamil

Kelas selesai tepat di siang hari. Sebelum anak-anak kembali ke rumah, beberapa di antaranya semangat mengajak kami berenang nanti sore. Tentu kami sambut dengan senang hati. Di Lanjukkang, laut adalah tempat bermain terasyik. Di sini anak-anak lebih cepat tahu cara berenang dibandingkan membaca. Mereka begitu senang berenang, menyelam, dan bermain di pasir yang putih. Pulau ini begitu membekas—tercantik di antara pulau-pulau yang pernah saya datangi sejauh ini—karena warganya yang ramah dan anak-anak begitu menggemaskan. 

Di tengah kesibukan saya di Makassar, perjalanan tiga hari di Pulau Lanjukkang memberi angin segar dan semangat baru. Begitu banyak pekerjaan rumah terkait penyediaan layanan publik yang harus ditingkatkan di berbagai pulau-pulau kecil di sini. Namun, di tengah keterbatasan yang ada, warga Pulau Lanjukkang tetap hidup bersahaja dan harmonis dengan alam.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Semangat Anak-Anak Pulau Lanjukkang Mengejar Mimpi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/semangat-anak-anak-pulau-lanjukkang-mengejar-mimpi/feed/ 0 40043
Sarappo Caddi dan Semangat Anak-Anak Pulau https://telusuri.id/sarappo-caddi-dan-semangat-anak-anak-pulau/ https://telusuri.id/sarappo-caddi-dan-semangat-anak-anak-pulau/#respond Sun, 01 Oct 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39879 Bersama doa yang intens dan usaha-usaha untuk mewujudkan acara yang menyenangkan bersama anak-anak di Pulau Sarappo Caddi, Kabupaten Pangkep, saya dan sejumlah teman di Sikola Cendekia Pesisir menyibukkan diri dalam program Ramadan. Kami mengadakan aneka...

The post Sarappo Caddi dan Semangat Anak-Anak Pulau appeared first on TelusuRI.

]]>
Bersama doa yang intens dan usaha-usaha untuk mewujudkan acara yang menyenangkan bersama anak-anak di Pulau Sarappo Caddi, Kabupaten Pangkep, saya dan sejumlah teman di Sikola Cendekia Pesisir menyibukkan diri dalam program Ramadan. Kami mengadakan aneka lomba, pembagian donasi yang berhasil kami kumpulkan, serta bermain dan belajar selama tiga hari kegiatan mulai Jumat sampai Minggu. Beberapa teman yang tidak begitu sibuk memutuskan berangkat lebih awal, sebab pulau menyimpan banyak sekali kegiatan menyenangkan yang jarang ditemui di kota. 

Sarappo Caddi adalah satu dari ratusan pulau di gugusan Kepulauan Spermonde. Pulau ini terletak di Kelurahan Mattiro Langi, Kecamatan Liukang Tupabbiring, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan. Dinamakan Sarappo Caddi, sebab pulau ini dahulu banyak ditumbuhi pohon pinang atau sarappo dalam bahasa Makassar. Sedangkan caddi berarti kecil, merujuk pada pulau yang berseberangan dengan pulau ini, yakni Sarappo Lompo.  Meskipun terletak di Kabupaten Pangkep, tetapi banyak aktivitas transportasi dari pulau ini bersandar di sepanjang kanal dekat Pelabuhan Paotere, Kota Makassar. 

Kanal ini letaknya sangat dekat dari Pelabuhan Paotere. Bedanya, kanal ini untuk kapal-kapal kecil dari berbagai pulau. Di sini cukup kotor. Ada banyak sampah dan jalannya sempit. Kita bisa menemukan pabrik es balok di ujung lorong. Es balok tersebut biasanya merupakan pesanan nelayan yang rutin diangkut dari kota ke pulau oleh kapal-kapal kecil ini. 

Tempat teraman menitipkan kendaraan bermotor kami adalah di dalam Pelabuhan Paotere, tepat di samping surau. Di sini seorang bapak setia menjaga motor dan helm-helm pengunjung. Untuk tarif parkir motor sebesar Rp10.000 selama 2—3 hari. Kami menaiki kapal milik warga Sarappo Caddi dengan membayar Rp25.000 per orang. Kapal ini bersedia mengantar kami melintasi laut Makassar selama satu jam lebih dari Kanal Paotere sampai ke Sarappo Caddi, tempat kami melakukan beragam aktivitas menyenangkan bersama warga pulau. 

Perjalanan laut berlangsung mulus, meskipun kapal kami tergolong cukup kecil. Kami menghabiskan waktu lebih lama dari perkiraan dan baru tiba di pulau saat lomba azan anak-anak hampir berakhir. Namun, tak mengapa. Toh kedatangan kami membawa misi tertentu, di antaranya membantu persiapan buka puasa bersama dan malam puncak dari rangkaian kegiatan Ramadan di Pulau Sarappo Caddi.

Sarappo Caddi dan Semangat Anak-Anak Pulau
Seorang relawan bermain bersama anak pulau di lepas pantai/Nawa Jamil

Abrasi di Pulau Sarappo Caddi

Pulau ini tidaklah asing. Saya telah mengunjungi Sarappo Caddi sejak 2019. Perjalanan ini merupakan kali ketiga. Selain itu saya juga mengenal seorang kawan yang lahir dan besar di pulau ini. Namun, sama seperti sebagian besar pulau kecil yang bertarung dengan isu lingkungan, Sarappo Caddi pun bernasib sama.

Salah satu bagian pulau yang menjorok keluar menarik perhatian saya saat berlabuh di dermaga. Abrasi mengikis bagian pulau tersebut, menyisakan bangunan rumah kosong yang kehilangan sedikit pondasinya. Abrasi mengancam keberadaan banyak pulau-pulau kecil di Kepulauan Spermonde, apalagi melihat bagaimana permukaan air semakin menaik dan cuaca ekstrem yang kerap terjadi belakangan. 

Pulau ini tergolong padat. Sarappo Caddi (kecil) hanya memiliki luas sekitar 33.000 meter persegi, dengan jumlah penduduk lebih dari 1.000 orang. Kami melewati jalan setapak yang tergenang, sehingga kami harus memutar. Mencari jalan alternatif yang tidak terendam. Faktanya kondisi ini tak hanya terjadi di Pulau Sarappo Caddi, melainkan juga di beberapa pulau lain. Parahnya cuaca ekstrem akhir tahun kemarin menyebabkan kejadian banjir rob di beberapa pulau, termasuk Sarappo Caddi. 

Keseruan Lomba bersama Anak-anak Sarappo Caddi

Setiap kali saya dan teman-teman ke pulau, kami selalu pulang membawa kesenangan berlipat ganda. Sama seperti momen mengunjungi Sarappo Caddi di bulan Ramadan. Perlombaan dimulai sejak hari Kamis sampai Sabtu. Kemudian lanjut buka puasa bersama dan pembagian hadiah pada Sabtu malam sebelum kembali ke daratan Kota Makassar pada Minggu pagi. 

Bertahun-tahun ke belakang, saya sering berpikir dunia tidak adil pada sebagian orang. Beberapa kelompok tidak memiliki banyak pilihan dalam hidup, seperti kelahiran mereka beriringan dengan batasan-batasan pencapaian—dan saya cukup sering patah semangat dalam beberapa kesempatan. Namun, menghabiskan banyak masa muda mengelilingi pulau-pulau dan bertemu banyak orang, membuat saya tersadar. Mungkin saja selama ini saya terlalu pesimis dan memaksakan sepatu sendiri pada orang lain—bisa saja bahagia mereka berbeda. Di pulau ini, di tengah air payau, listrik sepanjang 12 jam sehari, dan tanpa motor untuk berkeliling; senyum anak-anaknya tidak kalah lebar dari anak-anak kota. Di sini, laut menjadi taman bermain terbaik dan di atas pasir anak-anak berkreasi tanpa batas. Bermain di bawah terik matahari tanpa memedulikan kulit yang makin menghitam. 

Kehadiran kakak-kakak dari Makassar selalu mereka tunggu-tunggu. Biasanya kami mengajar di dalam kelas, menggelar tikar penuh buku-buku anak, lalu bermain di pantai saat sore. Namun, kali ini kami membawa semangat perlombaan bernuansa Ramadan, seperti lomba praktik salat, hafalan surah pendek, sambung ayat Al-Qur’an, dan hafalan doa sehari-hari. Anak-anak mengikuti lomba dengan semangat. Saat kami datang, lantunan anak-anak yang tengah menghafal surah pendek terdengar dari corong suara surau, diikuti seruan anak-anak lainnya. Terdengar menyenangkan. Sayangnya kami harus sesegera mungkin menyiapkan hidangan berbuka puasa bersama. 

Buka Puasa Bersama dan Perpisahan yang Menyenangkan

Begitu tiba, kami langsung membuka barang bawaan kami. Aneka buah dan bahan-bahan bakal es buah, gorengan, dan kue basah yang mudah dibuat untuk sore nanti. Setelah bercerita sedikit dengan kawan-kawan yang datang lebih awal, saya langsung menyibukkan diri di dapur. Sebagian mengerjakan agar-agar, lainnya mulai memotong buah-buah, seperti pepaya, apel, melon, dan semangka.

Tidak ada yang jauh berbeda dengan menyiapkan buka puasa di rumah. Kecuali, tidak ada opsi memasukkan agar-agar di dalam kulkas agar cepat mengeras sebab listrik tidak menyala kala siang hari. Kami sibuk menyiapkan takjil sejak siang dan rampung sekitar pukul 17.00 sore. Waktu yang tepat. Saya lekas memberesi semuanya dan menikmati waktu sore di pinggir pantai. Relawan lain mengambil alih untuk membagikan takjil di surau. 

Selepas magrib dan langit mulai gelap, kami mengikuti ibadah salat berjemaah di masjid. Selanjutnya bersiap menuju lapangan serbaguna pulau yang terletak persis di samping masjid. Anak-anak ramai berkumpul, begitu pun orang tua mereka. Segalanya berlangsung menyenangkan dan kami mengakhiri hari dengan menyantap aneka kuliner malam di pulau ini. Meskipun tidak banyak yang dapat dicoba, tetapi melahap bakso tahu ikan dengan kecap manis dan saus kacang, asinan mangga, dan bakwan bersama kawan relawan lainnya, sembari mendengar riuh angin malam dan deburan ombak, hanya dapat kami nikmati sekali di malam itu saja. 

  • Sarappo Caddi dan Semangat Anak-Anak Pulau
  • Sarappo Caddi dan Semangat Anak-Anak Pulau

Pulang saat Subuh

Berbeda dengan waktu keberangkatan dari daratan Makassar ke Pulau Sarappo Caddi, jadwal kapal kembali dari pulau ke kota selalu saat Subuh. Saya memutuskan tidak tidur selepas sahur agar tetap terjaga dan membereskan perlengkapan. 

Di beberapa kesempatan saya sempat bertanya terkait kapal yang berangkat lebih siang, tetapi nihil. Kapal yang berangkat lebih siang jarang ditemui, sebab para penumpang dari pulau berangkat ke kota untuk berbelanja kebutuhan dapur. Waktu tempuh sekitar satu jam lebih dan mereka butuh waktu lama untuk berbelanja. Jika kembali ke pulau pada siang hari, maka ombak akan makin kencang. 

Subuh itu, kami berangkat saat langit masih setengah terang dan cahaya fajar masih belum terlihat. Kapal ukuran sedang itu mengangkut sekitar 20 relawan. Kami duduk berdempetan. Beberapa kawan duduk di bagian belakang kapal, tepat di bawah mesin dengan bunyi yang memekakkan. Sementara tiga orang relawan laki-laki berani duduk di ujung kapal yang lancip. Sinar fajar yang hangat dan syahdu menyambut kami di tengah perjalanan, di antara pulau-pulau kecil dan laut Makassar.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Sarappo Caddi dan Semangat Anak-Anak Pulau appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sarappo-caddi-dan-semangat-anak-anak-pulau/feed/ 0 39879