societeit concordia Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/societeit-concordia/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Sat, 07 Dec 2024 14:38:06 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 societeit concordia Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/societeit-concordia/ 32 32 135956295 Sekitar Alun-Alun Merdeka Malang: Memaknai yang Tak Bermakna (2) https://telusuri.id/sekitar-alun-alun-merdeka-malang-memaknai-yang-tak-bermakna-2/ https://telusuri.id/sekitar-alun-alun-merdeka-malang-memaknai-yang-tak-bermakna-2/#comments Sat, 07 Dec 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=44448 Dari gugus informasi yang terjalin di media massa, pribumi katanya juga turut berkecimpung dalam gegap gempita Societeit Concordia. Namun, fakta ini tak boleh berhenti di sini saja. Kira-kira awal abad ke-20, bermula atau berkisar di...

The post Sekitar Alun-Alun Merdeka Malang: Memaknai yang Tak Bermakna (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Dari gugus informasi yang terjalin di media massa, pribumi katanya juga turut berkecimpung dalam gegap gempita Societeit Concordia. Namun, fakta ini tak boleh berhenti di sini saja. Kira-kira awal abad ke-20, bermula atau berkisar di tahun 1980, golongan pribumi terpelajar mulai bercokol. Apabila merujuk pada data obsesi Hans Pols pada kehidupan Abdoel Rivai, seorang pribumi pada masa ini melucuti ke-pribumi-annya; berpakaian, berlagak, dan berlogat seperti orang Eropa agar bisa masuk ke lingkar kehidupan sosial Eropa. 

Begitu pula dengan tokoh Siti dalam fiksi Uning Musthofiyah. Sebagai anak haram pengawas perkebunan yang tiba-tiba dapat bangku di HBS dan diundang ke pesta ultah teman sekelasnya di rumah loji, kebaya harus tanggal dari badannya. Gadis berkulit sawo matang, bermata hijau itu, pada akhirnya memakai gaun, berseragam, dan bersepatu layaknya orang Eropa.

Ini berarti menghayati riak sosial di Societeit Concordia, sama artinya dengan mengakui bahwa untuk melihat meja biliar dan bola sodok saja, seorang pribumi harus dilema dan tampak asing bahkan bagi dirinya sendiri. Di masa itu kiranya, seseorang sudah sebingung Hamlet, “To be or not to be.”

Sekitar Alun-Alun Merdeka Malang: Memaknai yang Tak Bermakna (2)
Potret gedung Societeit Concordia, Malang via Kekunoan/Neville Keasberry

Mengubur Societeit Concordia

Bagi saya, tidak ada pemakaman paling layak dan perkabungan paling epik selain tewasnya Societeit Concordia. Betul, bangunan ini terbunuh, bukan secara metafora tapi dalam artian yang sesungguhnya. Societeit Concordia yang secara simbolik dan ikonis memisahkan kelas elite, pribumi terpelajar, dan jongos serta babu yang dilarang ke sana menjadi titik sorak masyarakat selama masa perlawanan terhadap Belanda dan Jepang, juga kemerdekaan.

Tubuh yang dulunya tak terjamah kelas bawah ini, kemudian menampung coretan-coretan pembebasan, juga harus berbedak abu dilalap api selama Malang Bumi Hangus. Bangunan ini menjadi tawanan, lalu tewas tak lama kemudian. Malang Bumi Hangus tidak menjadikan Societeit Concordia sebagai objek kemarahan saja, tetapi juga sebuah teknik gerilya ―dan yang paling penting, objek kesadaran terhadap tirani penjajahan. 

Ini bukan sesuatu yang disayangkan. Meskipun kemudian bangunan ini menjadi siluman pusat perbelanjaan modern, digubah sedemikian rupa hingga ia tak lagi tampak seperti wujud aslinya. Mal Sarinah setidaknya tak hanya membuka jalan untuk kelas elite belaka. tetapi juga sebagai pusara sorai pembebasan. Sehingga, cagar budaya ini tak cukup ditandai dengan nisan sebongkah batu dan papan pemberitahuan. Tempat kejadian perkara, misalnya lokasi rapat akbar KNIP, perlu ditunjukkan.

Sekitar Alun-Alun Merdeka Malang: Memaknai yang Tak Bermakna (2)
Mal Sarinah kini/Putriyana Asmarani

Bukan Bintang; Binatang Asia

Lagu kebangsaan melatari kepak burung dara, “Kakak mau beli kerupuk uyel?”

Dua-tiga anak berumur kurang dari sembilan tahun menghampiri kami bersama dua kameradnya. Ikat rambutnya longsor, lingkar kerahnya molor setengah pundak, celananya kedodoran. Child labor, di jantung kota ini, di alun-alun, dianggap normal adanya. Justru kalau anak-anak ini tidak nongol secara tiba-tiba, akan terasa aneh. Tumben gak ada anak jualan ini? Tumben gak ada anak jualan itu?

Bilah hujan sebongsor kuncup sayur gambas berumur sepuluh hari mengacaukan lelap lelaki paruh baya yang bobok cantik di atas bangku taman. Menghebohkan anak-anak yang berkejaran, meriuhkan pedagang-pedagang emperan. Termasuk kami yang lari terbirit-birit mencari naungan. Hujan sengit menghunjam. Di jantung kota ini, area beratap justru sangat terbatas. Kalau bukan karena lengan bercabang pohon beringin, kami pasti sudah sekuyup tokoh-tokoh fiksi Osamu Dazai di bulan bersalju. 

“Pokok-pokok beringin itu kiranya sudah ratusan tahun umurnya. Coba lihat di sini, di foto lama, pohon ringkih di foto ini sudah segini gemuknya,” Dini Rachmawati menyodorkan foto lama di unggahan Instagram pribadinya. Layar HP miliknya menadah bintik terpaan hujan. 

Kami membandingkan tubuh beringin yang masih kanak dalam foto hitam putih, tegak seorang diri, lalu mengalihkan pandang pada wujud menuanya saat ini. Ada bagian di dalam kota ini, yang selalu tinggal, dan diusir pergi. Paling tidak, dari seluruh fenomena yang melatari duka Malang, bencana, kekacauan, perubahan zaman, beringin ini tetap menaungi―membersamai.

Salah satu yang pernah disaksikan beringin, merujuk pada kisah yang diusung pemandu kami, alun-alun tidak hanya menjadi tempat pribumi meloloskan diri dari kepenatan domestik, berjalan bergandengan tangan memadu kasih. Sebetulnya, perkara inilah yang melatari mengapa Malang punya dua alun-alun.

Potret Neville Keasbery yang menggambarkan beringin yang ada di Alun-alun Merdeka Malang tempo dulu via Kekunoan (foto kiri), dan beringin yang sama di masa sekarang oleh Putriyana Asmarani

Dahulu, Belanda ogah berpelesiran menikmati sore dengan pemandangan nahas pribumi. Mereka mau taman khusus untuk mereka menyorong kereta bayi, lari-lari, jalan-jalan, bersepeda, berkendara Benz. Begitulah alasannya Alun-alun Tugu berdiri, menyingkur Alun-alun Merdeka. 

Tapi jangan dikira, dengan Alun-alun Tugu segalanya jadi berjarak; orang Belanda atau Eropa, tidak menapakkan kaki di area Alun-alun Merdeka. Tidak, mereka tetap mengunjungi Alun-alun Merdeka dengan alasan: menonton monyet. Ya, biasanya mereka akan melihat pemandangan sekumpulan anak bangsa, berkulit berbeda dengan mereka, berkegiatan di Alun-alun Merdeka. 

Seperti mengunjungi kebun binatang.

Perkara kandang dan manusia yang dianggap binatang membuat pikiran saya melesat ke tahun 1642. Sepucuk surat cinta ditulis oleh seorang tahanan, Richard Lovelace—ia seorang sastrawan. Pada Althea, seorang yang ia cinta, ia berkata:

Stone walls do not a prison make, Nor iron bars a cage.

Alun-alun Merdeka tak berpagar jeruji, sebagaimana binatang dirintangi. Ini adalah tempat terbuka, pemandangan atas hewan liar yang menunduk pada tuan, merangkak untuk permisi. Tentu saja, mereka tidak akan menyerang apalagi menggigit.

Sore itu, angin kencang menggiring arak-arakan awan hitam menyingkir dari jantung kota ini. Hujan tandas seketika. Satu payung, kami berempat. Uap tanah melonggarkan pernapasan kami, seketika itu pula matahari sore menemukan celah untuk menyibak domba-domba langit. Ternyata dari tadi, sembari menunggu hujan, Dini Rachmawati berusaha mendapatkan kartu sakti.

“Ternyata kita boleh mengunjungi area luar Hotel Pelangi untuk saat ini,” katanya girang, lalu auranya menggelap, “tapi ada aturan yang mesti dipatuhi.”

Saya kira ini semacam aturan kunjungan, mengingat sepatu kami kuyup dan pastinya kami akan membawa kenang-kenangan jejak lumpur. Namun, “Kalau sudah sampai di area dansa, nanti saya tunjukkan di mana area itu. Kalian jangan menggumam atau menyanyi lagu Nasi Goreng.”

Nasi Goreng atau Geef Mij Maar Nasi Goreng dilagukan oleh penyanyi legendaris Wieteke van Dort.

“Memangnya kenapa, Mbak?” saya bertanya. Saya menyangka ini semacam kontestasi hak cipta.

“Karena sosok noni akan muncul dan kalian akan diajak ke alam ia berada untuk berdansa bersamanya,” ujar Dini Rachmawati serius. 

Merinding. Kami mengangguk patuh.


Referensi:

Bronte, C. (1999). Villette. Wordsworth Classics.
Cervantes, M. de. (1993). Don Quixote. Wordsworth Classics.
Dahl, R.. (2006). Kiss Kiss: William and Mary. Penguin.
Haggard, H. R. (1996). King Solomon’s Mines. Puffin Classics.
Lovelace, R. (1642). To Althea, from prison. In M. H. Abrams & S. Greenblatt (Eds.), The Norton Anthology of English Literature (9th ed., Vol. 1, pp. xx-xx). W. W. Norton & Company.
Nietzsche, F. (1968). The Will to Power (Trans. Walter Kaufmann & R. J. Hollingdale.). New York: Random House.
Pols, H. (2012). Nurturing Indonesia: Medicine and decolonisation in the Dutch East Indies. Cambridge University Press.
Proust, M. (1992). In search of lost time: Volume 1: Swann’s way (C. K. Scott Moncrieff, Trans.). Vintage.
Ramadhan, F. I. (2023, 22 Oktober). Societeit Concordia, Tempat Gaul Kaum Elite Eropa di Malang. Tirto.id. https://tirto.id/societeit-concordia-tempat-gaul-kaum-elite-eropa-di-malang-deZF.
Thoreau, H. D. (2012). Walden and Civil Disobedience. Signet Classics.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Sekitar Alun-Alun Merdeka Malang: Memaknai yang Tak Bermakna (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sekitar-alun-alun-merdeka-malang-memaknai-yang-tak-bermakna-2/feed/ 2 44448
Sekitar Alun-Alun Merdeka Malang: Memaknai yang Tak Bermakna (1) https://telusuri.id/sekitar-alun-alun-merdeka-malang-memaknai-yang-tak-bermakna-1/ https://telusuri.id/sekitar-alun-alun-merdeka-malang-memaknai-yang-tak-bermakna-1/#comments Fri, 06 Dec 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=44408 Saya tak akan pernah siap untuk melarungkan pertanyaan ini dari hulu ke hilir Watugede, membasuhnya dengan tirta wangsuhpada lalu menghaturkannya pada ibunda Ratu Ken Dedes. Mengapa Tumapel turut moksa bersamanya? Mengapa di jantung Kota Malang...

The post Sekitar Alun-Alun Merdeka Malang: Memaknai yang Tak Bermakna (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Saya tak akan pernah siap untuk melarungkan pertanyaan ini dari hulu ke hilir Watugede, membasuhnya dengan tirta wangsuhpada lalu menghaturkannya pada ibunda Ratu Ken Dedes. Mengapa Tumapel turut moksa bersamanya? Mengapa di jantung Kota Malang saat ini, saya tak berdetak bersamanya?

Lebih dari satu dekade pertanyaan itu menghantui―menguasai. Padahal seorang pengelana, betapa pun rumitnya labirin Daedalus, gelapnya tambang berlian Raja Sulaiman, lingkar amuk Poseidon mencipta gugus alam Cyclades, terasingnya Odysseus di lautan terdampar berkali-kali tak menemukan jalan pulang, seorang pengelana pastilah akan menemukan apa yang ia cari. Begitu janji mitos, dikukuhkan kitab suci. Tapi kota ini, Malang sekali.

Hampa makna, hampa identitas. Malang yang saya kenal, aduh, kalut rasanya bila menyadari ini. Bisa jadi sudah berada di titik nihilisme ekstrem Friedrich Nietzsche (1968), ketiadaan―kehampaan―tanpa makna (hal. 35). Padahal, saya tak segan bila harus segila ahli zoologi Prancis William Scoresby dan Thomas Beale untuk mencari makna itu atau mengisi ketiadaan itu. Tak kurang saya selami bahasa walikan Malang, seperti obsesi William Jones atas bahasa timur. Atau jadi tukang pel di kapal Luffy, One Piece, membantu Robin memecahkan teka-teki kuno. Bila membantu Robin terlalu delulu, baiklah kalau begitu Jean-François Champollion saja. 

Sekitar Alun-Alun Merdeka Malang: Memaknai yang Tak Bermakna (1)
Alun-alun Merdeka Kota Malang/Putriyana Asmarani

Ya, kurang patriotik apa semua ini? Mengais makna di jurang kehampaan. Belum berangkat, saya sudah seheboh Don Quixote. Ditemani sahabat saya yang tentu saja tak asing dengan kegilaan ini, Firda Putri (wallahi, ia tak berkarakter Sancho Panza). Seheboh itu, padahal cuma ke Alun-alun Merdeka Malang. Titania, dewi cinta buta gubahan Shakespeare, tak perlu menyewa seluruh peri hutan untuk menertawakan saya. Oalah, cuma Alun-alun Merdeka, orang satu ini sudah sok akan menemukan makna Kota Malang dalam kehampaan segala!

Kami berdua tawaf area Merdeka-plein van Malang: Alun-alun Merdeka, Titik Nol, Societeit Concordia dan sekitarnya; diimami pemandu tur Jelajah Malang, Dini Rachmawati. Jamaah ini berjalan kaki, karena begitulah pelancong ideal ala Henry David Thoreau; jangan remehkan pengetahuan para pejalan kaki. Buktinya, pelancong ideal ala Leo Tolstoy juga dua pejalan kaki renta, yang tak punya apa-apa selain sepasang kaki menuju Yerusalem.

Walaupun, rute perjalanan kami pantas diremehkan, alun-alun kota, mau cari apa nona? Kami memang tak membidik pemandangan baru. Marcel Proust selalu enggan menyasar itu dalam tujuan perjalanannya; kami mencari pandangan—perspektif—baru.  

Sekitar Alun-Alun Merdeka Malang: Memaknai yang Tak Bermakna (1)
Monumen Trem menghalangi pandangan Chairil Anwar dan Gereja Paroki Hati Kudus Yesus/Putriyana Asmarani

Chairil, Ampunilah Kami

Juni 2024, mestinya ini sudah menjadi album lama. Karena, saya tak berhasil menumbuhkan mawar dalam ketiadaan, gagal memaknai Malang. King Lear, raja tua narsis bikinan Shakespeare, mencemooh saya lima bulan lamanya; perempuan satu ini memang susah dibilangi, “Nothing can come of nothing, speak again!”

Lagi pula saya sudah bersaksi, saya kalah. Namun, tampaknya alam tidak akan membiarkan saya berpihak pada King Lear.

Destinasi satu ini justru dipicu oleh kegelisahan. Chairil memunggungi gereja neo-gotik, Gereja Paroki Hati Kudus Yesus. Kegagahan monumennya turut melanggengkan cagar budaya sebagaimana tugas Dewa Kala. Di sinilah titik temu kami. Sayangnya pantat monumen trem mangkrak tak elok dengan sengaja tepat di muka Pelopor Penyair Angkatan 45, Si Binatang Jalang itu.

Trem bernuansa eksentrik yang nilainya sudah alpa terdistorsi itu bukan satu-satunya yang menodai monumen Chairil Anwar dan Gereja Paroki Hati Kudus Yesus. Gerbong tanggung lainnya mangkrak di depan ruko-ruko yang dulunya dipakai sebagai pusat administrasi Pemerintah Belanda. Sekarang besi-besi aus gerbong ini berhiaskan peta-peta ludah basah dan kering, menguarkan bau pesing, dan bertebaran puntung rokok.

Kalaupun Roald Dahl mau serius dengan kajian ilmiahnya dalam William and Mary, menghidupkan kembali jaringan otak Nietzsche yang sudah lama inna lillahi, sang nihilis tidak akan bisa membantu memaknai benda yang memang dibikin asal tak bermakna. Lalu tanpa susah payah ia bakal menyimpulkan, “Dua benda itu memang tidak berguna.”

“Trem tidak seperti itu wujudnya,” begitu kata imam kami, Dini Rachmawati. Demi alis Frida Kahlo, saya setuju padanya.

Bukan, maksudnya trem tidak seperti itu karena ukuran monumen diperkecil, melainkan kendaraan ini punya tiga muka. Trem untuk mengangkut manusia, trem khusus untuk mengangkut hasil perkebunan, dan gerbong kereta api yang dibagi menjadi tiga kelas berbeda. Ada juga istilah lori, sedangkan trem memiliki istilah tersendiri. Intinya, tiga jenis trem dan gerbong tersebut, sama sekali, baik secara simbolik maupun metaforik, tidak seperti dua benda tadi. 

Intinya, kalau berada di posisi tertentu, monumen Chairil sepenuhnya dirintangi oleh eksistensi trem mini tersebut. Idealnya, memang orang perlu geser posisi sedikit untuk menghayati penampakan sang penyair. Ya, memang harus begitu, karena tidak mungkin monumen Chairil akan tampak menyapa, “Hai pelancong, di sinilah aku berada.”

Kecuali, kalau monumen Chairil bisa cilukba.

Sekitar Alun-Alun Merdeka Malang: Memaknai yang Tak Bermakna (1)
Sudut yang lebih leluasa untuk melihat monumen Chairil Anwar dan gereja/Putriyana Asmarani

Oud Malang, de Societeit Concordia

Pusat perbelanjaan modern pertama di Kota Malang tahun 1947, Mal Sarinah, justru saat ini menjadi tempat yang tidak sibuk-sibuk amat. Kami melihat seonggok batu prasasti yang di sana dibubuhkan kisah momen sejarah. Lebih tepatnya cuplikan sejarah yang terlalu pendek berjudul “Sejarah Situs Sarinah” sejak 1820 (rumah dinas bupati pertama Malang, Raden Toemenggoeng Notodiningrat) hingga terbentuknya Societeit Concordia. Pada 1947 berfungsi sebagai lokasi rapat akbar Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), dan di tahun yang sama menjadi salah satu objek strategi gerilya, Malang Bumi Hangus.

Cita rasa pembabakan ini, penyederhanaan ini, membuat kehidupan Mal Sarinah berpijak pada angka-angka, seolah ia tak benar-benar hidup. Sebagaimana bila kita bercerita tentang seseorang, dapatkah kita menghayati orang tersebut hanya dengan mengatakan; tahun ini ia lahir, tahun selanjutnya ia bersekolah, lalu tahun ini ia mati. Sangat disayangkan. 

Sekitar Alun-Alun Merdeka Malang: Memaknai yang Tak Bermakna (1)
Salah satu sisi luar Mal Sarinah (foto tahun 2024)/Putriyana Asmarani

Untungnya, makna muncul terjalin tanpa disangka apalagi aba-aba. Ceritanya begini. Pak Akbar, pemilik dan pengasuh Malang Walk Heritage serta DeKlik Kayutangan, pada suatu hari membawa koleksi novelnya Gadis Jawa Bermata Hijau karya Uning Musthofiyah. Dengan tatapan berapi-api, tapi sumpah beliau tidak bermata Helios apalagi Hades, mengatakan, “Mbak, sampeyan harus membaca ini. Harus!” 

Meskipun banyak salah ketik, tata letak yang berantakan, dan dokumentasi bersejarah asli yang agak asal tempel, novel ini, aduh betapa magisnya, membantu saya mengarungi Societeit Concordia, Alun-alun Merdeka, SMA Tugu, dan Lapas Perempuan yang tak terselami.

Fungsi sosial dan rekreasi atau kongko Societeit Concordia apabila dibayangkan memang sangat asik; perpustakaan, rumah bola atau biliar―analisis Dwi Cahyono (Ramadhan, 2023), dan area tempat dansa, menjadi muara hore-hore. 

Sebagai tambahan, tempat ini juga menjadi peluap hasrat dan pelipur lara. Misalnya, dalam narasi Uning Musthofiyah, nyonya-nyonya yang tidak bahagia dengan perkawinan mereka akan mabuk di Societeit Concordia lalu pulang mengomeli dan memukuli babu-babu rumah tangga mereka. 

Apabila kita sepakat bahwa Societeit Concordia memiliki fungsi sosial, ini juga berarti, bangunan ini tidak hanya menaungi orang bercakap dan bertegur sapa saja. Tuan-tuan dan nyonya-nyonya Belanda, kalau suntuk dan ngamuk di rumah loji, biasanya menuju Societeit Concordia untuk meloloskan tekanan mereka. Terutama di masa-masa awal pergerakan pribumi terdengar, mereka merasa terancam, dan hiburan satu-satunya—ke mana lagi kalau bukan—ke Societeit Concordia?

(Bersambung)


ReferensI:

Nietzsche, F. (1968). The Will to Power (Trans. Walter Kaufmann & R. J. Hollingdale.). New York: Random House.
Ramadhan, F. I. (2023, 22 Oktober). Societeit Concordia, Tempat Gaul Kaum Elite Eropa di Malang. Tirto.id. https://tirto.id/societeit-concordia-tempat-gaul-kaum-elite-eropa-di-malang-deZF.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Sekitar Alun-Alun Merdeka Malang: Memaknai yang Tak Bermakna (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sekitar-alun-alun-merdeka-malang-memaknai-yang-tak-bermakna-1/feed/ 2 44408