solo Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/solo/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 27 May 2025 15:09:51 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 solo Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/solo/ 32 32 135956295 Menjajal Trans Jateng dan “Sky Bridge” di Solo https://telusuri.id/menjajal-trans-jateng-dan-sky-bridge-di-solo/ https://telusuri.id/menjajal-trans-jateng-dan-sky-bridge-di-solo/#respond Thu, 24 Apr 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46762 Selepas acara di salah satu hotel, Jumat pagi (17/1/25) saya meluncur ke Terminal Tirtonadi, Kota Solo. Kurang dari 15 menit, ojek daring membelah keramaian lalu lintas dan mengantar sampai pintu timur terminal. Banyak kenek bus...

The post Menjajal Trans Jateng dan “Sky Bridge” di Solo appeared first on TelusuRI.

]]>
Selepas acara di salah satu hotel, Jumat pagi (17/1/25) saya meluncur ke Terminal Tirtonadi, Kota Solo. Kurang dari 15 menit, ojek daring membelah keramaian lalu lintas dan mengantar sampai pintu timur terminal.

Banyak kenek bus jurusan Jawa Timur menghampiri begitu melangkah masuk terminal. “Trans Jateng,” kata saya, membuat mereka lekas menjauh. “Masih terus ke dalam,” ucap salah satu kenek bus tujuan Surabaya. 

Guna memastikan, saat melihat petugas berseragam dinas perhubungan (Dishub), saya tak ragu bertanya. “Nanti mentok, melipir ke kanan. Ada ruang tunggu di situ,” ujarnya. 

Saya mempercepat langkah, bus berwarna merah melintas dan berhenti. Penumpang dari ruang tunggu antre naik. “Bus ke Sumber Lawang?” tanya saya dari jendela pintu depan bus. “Bukan, tunggu saja nanti datang,” jawab sopir.

Naik Trans Jateng ke Sragen

Saya bertanya langsung pada pengemudi bus, sebagaimana saran Ali—panggilan Evan Hrazeel Langie, anak sulung yang ingin saya kunjungi di salah satu pesantren di Sragen. Ali lebih dulu menjajal Trans Jateng saat berangkat dari Cirebon menuju pondoknya kembali, usai liburan lalu. “Trans Jateng ada yang ke Wonogiri dan Sragen. Abi pastikan dulu, jangan keliru naik,” kata pelajar kelas 3 Mutawasith (SMP) itu via telepon.

Saya pun duduk di ruangan luas berdinding kaca. Baru pukul 08.40. Dua petugas hilir mudik, menanyakan tujuan tiap penumpang. Petugas memberitahu bus yang akan saya naiki, sama dengan rombongan ibu paruh baya berkerudung. “Nanti naik bareng mereka,” jelasnya.

Pukul 08.50, bus yang dinantikan datang. Ibu-ibu bersiap, berkerumun depan pintu ruangan. Begitu pintu bus terbuka, serentak mereka masuk. Saya sempat khawatir tak kebagian tempat duduk, tapi dapat juga di sisi kiri belakang sopir. Posisi duduk penumpang Trans Jateng berhadapan dengan jarak yang cukup. Tidak sempit. Aturannya, penumpang lelaki di bagian depan, yang perempuan mulai tengah hingga kursi paling belakang. Ada tanda pembatasnya.

Tak perlu menunggu penumpang penuh, sopir mengarahkan kendaraan keluar terminal. Melewati jalan di bawah jalan layang tol dalam kota. Termasuk melintasi bawah jembatan rel layang berpagar raksasa warna merah mencolok. Saya berpikir, kenapa Solo identik dengan warna perlambang berani? Baru sadar; mungkin saja karena basis partai politik berbendera merah ada di kota ini. 

Menjajal Trans Jateng dan “Sky Bridge” di Solo
Tiket Trans Jateng Solo-Sragen PP/Mochamad Rona Anggie

Kondektur perempuan membuyarkan lamunan saya, lantas menanyakan tujuan dan menagih ongkos. Perempuan bermasker yang oleh sopir dipanggil Okta itu, sigap dengan mesin electronic data capture (EDC) di tangan. Tarif jauh-dekat penumpang umum Rp4.000, sedangkan pelajar, buruh, dan veteran Rp2.000.

“Turun di SMA Sumber Lawang,” kata saya sambil menyerahkan uang sepuluh ribu. Okta memberi kembalian dan struk yang keluar otomatis dari mesin.

Bus Trans Jateng hanya menaikkan dan menurunkan penumpang di titik tertentu. Ditandai rambu khusus atau yang spesifik berupa halte berwarna merah. Total ada 76 lokasi perhentian dengan akhir perjalanan di Terminal Sumber Lawang, Sragen. Rute Solo–Sragen ini juga melewati halte Sangiran, titik turun wisatawan yang mau berkunjung ke Museum Manusia Purba Sangiran. Rombongan ibu-ibu mengakhiri perjalanan di sini.

Setengah jam berlalu. Penumpang sisa sedikit. Sopir membuka obrolan, menanyakan asal dan tujuan saya. “Dari Cirebon, mau nengok anak di Ponpes Darussalaf, Pendem,” ujar saya. “Masih jauh itu,” balasnya.

Menjajal Trans Jateng dan “Sky Bridge” di Solo
Pak Safari, sopir bus Trans Jateng/Mochamad Rona Anggie

“Saya juga pernah kerja di Cirebon, dulu tahun 1990-an,” kata si sopir. Kami pun saling bertukar cerita. Sebelum saya turun, dia sempat mengenalkan diri dengan menunjukkan kartu pengenal sopir Trans Jateng yang tergantung di dada. Namanya: Safari. “Wah, yang punya Taman Safari, nih,” gurau saya. Dia tertawa. “Siapa tahu nanti naik Trans Jateng bisa ketemu lagi, ya,” ucapnya hangat.

Sampailah saya di tujuan setelah 45 menit perjalanan. Saya lihat peta jalur Trans Jateng, ternyata dari tempat saya turun, tersisa satu halte lagi (SMP Sumber Lawang), sebelum bus tiba di titik akhir. Saya perkirakan total perjalanannya sekitar satu jam saja.

Ali menyebutkan, dari halte SMA Sumber Lawang ke pesantren berjalan kaki sekitar 700 meter. Tadinya, saya kira akan sore hari datang ke sana. Namun, ada perubahan rencana. Saya berkunjung di pagi menjelang siang. Padahal sudah siap jas hujan, andai turun dari bus disambut hujan. Sebab, kabar terakhir dari Ali, Desa Pendem sedang rutin diguyur air langit saat sore.

Terbukti, persis selesai salat Jumat di masjid pondok, hujan deras. Berangsur rintik, lalu deras kembali sampai malam. Pertemuan ayah dan anaknya pun dibalut kesejukan dalam rindu.

Menjajal Trans Jateng dan “Sky Bridge” di Solo
Pertigaan jalan depan halte Simpang Kemukus 2/Mochamad Rona Anggie

Kejutan, Berjumpa Pak Safari Lagi

Tadinya saya mau pulang hari Minggu. Namun, Sabtunya Ali ada pembelajaran sampai zuhur. Ketimbang sendirian di kamar tamu, saya putuskan pagi itu kembali ke Cirebon. Saya lihat Ali tak berat melepas ayahnya pulang. 

Gerimis menemani saat saya diantar musyrif (pengawas santri) naik motor ke halte Simpang Kemukus 2. Lokasi ini berlawanan arah dengan halte SMA Sumber Lawang. Jadi, Trans Jateng koridor Solo–Sragen punya dua titik perhentian berseberangan. 

Info dari Pak Safari—dan ternyata ada dalam poster yang ditempel di halte—keberangkatan Trans Jateng mulai pukul 05.00, terakhir pukul 17.30. Beroperasi sekaligus dua bus. Satu start dari Tirtonadi, satu lagi dari Sumber Lawang.

Awalnya saya sendirian menunggu di halte. Tak lama datang seorang pelajar perempuan berpakaian pramuka. “Biasa bus datang jam berapa?” tanya saya. “(Jam) 6.20,” sahutnya. Semenit berselang tampak kotak merah melaju mendekati halte. Saya bersiap naik, pintu bus tepat depan muka halte. Kondektur lelaki mengarahkan duduk di sisa satu kursi dekat sopir. “Mau pulang, Pak?” tanya sopir, yang langsung membuat saya terkejut. “Lho, Pak Safari!”

“Jodoh, ya,” ucapnya lanjut tersenyum. 

“Wah, saya enggak nyangka sama sekali, kan busnya ada banyak.”

Karena ramai penumpang, bahkan hingga berdiri, kami belum bisa meneruskan obrolan. Pagi itu di dalam bus penuh pelajar hendak berangkat sekolah. Lalu lintas merayap perlahan. Siswa dan siswi sebagian turun di halte SMKN 1 dan SMPN 1 Kalijambe, dekat halte Sangiran.

Bus Trans Jateng yang saya tumpangi tiba di Tirtonadi pukul 07.15. Durasi 45 menit perjalanan. Alhamdulillah, lancar. Sebelum turun, saya salami Pak Safari. “Sehat-sehat, ya, Pak! Terima kasih,” kata saya. 

“Kapan ke sini lagi?” tanyanya. “Paling nanti pas jemput anak, libur bulan puasa,” sahut saya sambil melangkah keluar bus. Jujur saja, saya masih kaget campur senang bisa bertemu Pak Safari lagi. Tak terbayangkan sebelumnya. Takdir. 

Menuju Stasiun Solo Balapan via Sky Bridge

Masuk area terminal, saya celingukan. Di manakah Sky Bridge? Ah, tanya petugas saja. “Lurus terus, dekat masjid,” sebut lelaki berseragam Dishub, menunjuk selasar di depan sana. Saya melangkah perlahan. Tengok kanan-kiri, lalu ketemu tangganya. Terbagi dalam dua undakan. Saya hitung ada 40 anak tangga, lantas tembus ke atap terbuka yang jadi tempat parkir mobil. Lorong masuk Sky Bridge ada di sebelah kanan. 

Benar kata Ali, sepi! Saya berjalan semakin dalam dan jauh. Tak ada siapa-siapa. Setelah agak lama, baru berpapasan dengan seorang ibu ke arah Tirtonadi. Saya sempatkan melihat pemandangan perkampungan warga, jalan raya, hingga kubah dan menara putih Masjid Sheikh Zayed—ikon religi teranyar Kota Solo.

Di situs web resmi Pemkot Surakarta, dijelaskan Sky Bridge dibangun sejak tahun 2017 dan resmi beroperasi 2022. Awalnya hanya penumpang yang sudah memiliki tiket kereta api saja yang bisa mengakses Sky Bridge dari Tirtonadi. Jam buka jembatan melayang dengan desain tertutup kaca dan beratap itu juga dibatasi pukul 04.00–18.30 WIB. Namun, mulai Februari 2024, Sky Bridge beroperasi untuk umum selama 24 jam. 

Kehadiran Sky Bridge memudahkan penumpang luar kota seperti saya dan yang lainnya. Kita tak perlu keluar terminal atau stasiun jika mau berganti moda transportasi. Memang, agak lumayan jalan kakinya. Saya perkirakan hampir satu kilometer. Tapi ternyata, di situs web tadi disebutkan Sky Bridge memangkas jarak Stasiun Solo Balapan–Terminal Tirtonadi menjadi hanya 650 meter saja. Sementara kalau lewat jalan raya di luar stasiun atau terminal, lebih dari 1,5 kilometer. 

Menjelang ujung lorong, jalur Sky Bridge lantas menanjak. Terlihat lintasan rel kereta api di bawah. Sepertinya sudah masuk kawasan stasiun. Selasar lalu mengarah ke ruangan-ruangan berkaca. Saya masuki salah satu pintu, menuju sebuah konter. Salah! Bukan tempat membeli tiket kereta api jarak jauh. “Ini loket untuk kereta api ke bandara,” kata petugas perempuan. 

Saya kemudian diarahkan keluar ruangan, berjalan terus hingga menemukan eskalator turun dan sampailah di area parkir stasiun. Di loket penjualan tiket luring, saya pilih naik KA Mataram tujuan Pasar Senen. Saya akan turun di Stasiun Kejaksan Cirebon, dengan jadwal keberangkatan pukul 08.50. 

Masih ada waktu, saya sempatkan sarapan soto depan stasiun. Selebihnya menikmati suasana hilir mudik sepur dari Solo Balapan. Tiba-tiba, di antara peluit petugas stasiun dan klakson khas “ular besi”, seolah terdengar Didi Kempot bersenandung: ning Stasiun Balapan, Kuto Solo sing dadi kenangan…


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menjajal Trans Jateng dan “Sky Bridge” di Solo appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menjajal-trans-jateng-dan-sky-bridge-di-solo/feed/ 0 46762
Victory Komik: 30 Tahun Melawan Rayap dan Zaman https://telusuri.id/victory-komik-30-tahun-melawan-rayap-dan-zaman/ https://telusuri.id/victory-komik-30-tahun-melawan-rayap-dan-zaman/#respond Thu, 03 Oct 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42778 Sebuah sudut dekat Pasar Gede di Jl. Suryo Purwodiningratan, Kota Solo, tampak sebuah bangunan usang bertuliskan Rental Komik Victory. Tempat ini mempertemukan saya dengan seorang bernama Sugeng Wiyono. Ia adalah pencinta sekaligus pemilik tempat persewaan...

The post Victory Komik: 30 Tahun Melawan Rayap dan Zaman appeared first on TelusuRI.

]]>
Sebuah sudut dekat Pasar Gede di Jl. Suryo Purwodiningratan, Kota Solo, tampak sebuah bangunan usang bertuliskan Rental Komik Victory. Tempat ini mempertemukan saya dengan seorang bernama Sugeng Wiyono. Ia adalah pencinta sekaligus pemilik tempat persewaan komik bernama Victory Komik. 

Ini kunjungan pertama saya ke Victory Komik. Baru kali ini saya mendengar informasi mengenai sebuah persewaan komik fisik yang masih buka hingga sekarang. Karena, semasa saya kecil, saya tak pernah mendengar informasi tentang persewaan komik. Paling mentok saya hanya membaca buku cerita yang tersedia di perpustakaan.

Menurut kabar, Victory Komik adalah satu-satunya persewaan komik yang masih eksis di Solo. Sugeng mulai mengoleksi komik sejak tahun 1990. Lima tahun setelahnya, Sugeng membuka Victory Komik. Awal Sugeng mendirikan Victory Komik bukanlah di Jl. Suryo Purwodiningratan, melainkan di Jl. Ir. Sutami, Kecamatan Jebres, Solo. 

Saya mendapat sambutan hangat dan senyum dari Sugeng bersama istrinya, Anik, dan anak perempuannya. Tujuan kunjungan saya ke Victory Komik sebetulnya untuk mengenang komik sebagai bahan untuk merawat imajinasi, sekaligus melihat-lihat koleksi dari tempat ini. 

“Ada yang bisa dibantu?” tawarnya semringah.

“Saya ke sini ingin melihat-lihat koleksi komik, Pak,” balasku.

 “Baik, silakan dilihat-lihat. Di sini jika ada judul komik yang diinginkan, bisa saya carikan,” ujar Sugeng sambil menawarkan beberapa judul komik.

Sugeng bercerita bahwa komik yang populer di Victory Komik adalah karya-karya dari pengarang Jepang. Ternyata, dari cerita Sugeng, tak hanya komik-komik lama yang bisa disewa di sini. Victory Komik juga menyewakan majalah, seperti National Geographic, atau buku-buku populer terkini, misalnya Serial Bumi Tere Liye: “Petualangan Dunia Paralel”. 

  • Victory Komik: 30 Tahun Melawan Rayap dan Zaman
  • Victory Komik: 30 Tahun Melawan Rayap dan Zaman

Mengenang Perjalanan Victory Komik

Pada 1995, saat Victory Komik masih bertempat di Jl. Ir. Sutami, Victory Komik terkenal sebagai persewaan dengan koleksi komik Jepangnya. Kala itu yang laris antara lain Kungfu Boy, Doraemon, dan One Piece. Sugeng senang mengingat masa-masa itu. Ia fasih berkisah soal para pelanggannya—didominasi mahasiswa UNS—menyerbu tokonya untuk menyewa komik miliknya.

Wo, nek itu, awal-awal terbitan komik Jepang [seperti] Doraemon, Kungfu Boy. Belum ada HP. Jadi, anak sekolah pulangnya juga siang-siang. Waktu baca di rumah itu masih panjang. Kebanyakan [anak-anak] pulang sekolah mampir, nyewa komik,” kata Sugeng sambil mengingat.

Menurut Kompas, booming komik-komik Jepang memang berawal pada tahun 1990-an dan 2000-an. Komik seperti Dragon Ball dan Doraemon jadi primadona. Alasan komik Jepang menjadi sangat populer di kalangan remaja kala itu adalah ceritanya yang beragam dan menyentuh ke realitas sosial yang dekat dengan mereka. Cerita yang sering ditampilkan antara lain kehidupan sekolah, cerita romantis di sekolah, dan petualangan pahlawan.

Sebagai tambahan informasi, komik Indonesia juga sempat menduduki masa jaya. Bukan di tahun 1990, melainkan dua puluh tahun sebelumnya, yaitu 1960 sampai dengan 1970-an. Tak kalah bersaing dengan para pengarang Jepang, Indonesia juga memiliki komikus kondang, seperti Ganes TH., sang bapak dari komik Si Buta Dari Gua Hantu dan Hasmi, pembuat karakter komik Gundala Putra Petir.

Setelah periode 1990–2000, komik masuk ke era online (daring). Waktu itu persebaran internet mulai meluas sehingga memungkinkan komikus menerbitkan karya mereka secara daring tanpa melibatkan penerbit. Era daring ini menjadi tanda mulai bergesernya selera komik fisik ke virtual. “Si Juki” menjadi salah satu komik yang terkenal di kancah digital.

Victory Komik sendiri berdiri di masa transisi dari cetak menuju daring. Awal pendiriannya dibarengi dengan menjamurnya komik Jepang di Indonesia. Judul-judul Kungfu Boy, Doraemon, Naruto, Dragon Ball, One Piece, dan Detective Conan menjadi incaran utama para pembaca. Bahkan, Sugeng harus membeli berangkap-rangkapan untuk memenuhi hausnya permintaan pembaca kala itu.

Beuh! Rangkepnya banyak, bisa rangkep lima, bisa rangkep tujuh. Itu satu judul satu nomer,” kata Sugeng. 

Komik yang dibeli oleh Sugeng harganya cukup variatif. Waktu itu, untuk mengumpulkan komik-komik yang menjadi koleksinya sekarang, selain langsung mengambil dari penerbit. Sugeng juga mengambil dari agen.

Cara meminjam komik di Victory Komik dari dulu sampai sekarang tak berubah. Untuk bisa menjadi anggota (member) caranya adalah mendaftarkan diri lalu memberikan uang registrasi sebesar Rp10.00. KTP penyewa akan difoto untuk data keanggotaan. Setelah terdaftar, pembaca dapat meminjam komik untuk dibawa pulang.

Harga sewanya pun tak banyak berubah. Sugeng memiliki cara yang unik untuk menentukan harga sewa setiap komik. Setiap komik memiliki harganya tersendiri. Cara menghitung harga sewa satu komik adalah dengan mengambil 10% dari harga komik aslinya. Jika harga komik Detektif Conan Rp 100.000, maka harga sewanya adalah Rp10.000.

Sugeng selalu memperbarui komik baru per harinya di antara koleksi-koleksi lama (Aldino Jalu Seto)

Bergulat dengan Era Daring dan Rayap

Seperempat abad lalu adalah kenangan yang membuat hati senang, baik bagi Sugeng maupun para pencinta komik. Pasalnya, masa-masa itu adalah waktu di mana penggemar komik berkumpul di toko Sugeng. Mereka menyalurkan gairah remajanya ke dalam tiap lembar-lembar buku kecil itu, yang bergambar karakter-karakter kesukaan mereka masing-masing.

Sekarang, para pembaca yang menemani Victory Komik bertumbuh menjadi dewasa bahkan berkeluarga. Sugeng mengungkapkan, “Generasi pembacanya, ya, yang dulu suka baca [komik] itu nyaman membaca [komik] daripada HP. Jadi, [pembaca sekarang] ya, sudah punya dunia sendiri, [walaupun orang yang] menikmati membaca buku [komik] secara fisik, ya, sampai sekarang masih ada.”

Mereka yang membaca komik fisik tak lain adalah orang yang sama di era lebih dari dua dekade lalu. Beberapa kali Sugeng bertemu dengan pembaca komik lamanya di Victory Komik. Kebanyakan dari mereka membawa anak. Harapannya sederhana, agar anaknya menjadi pembaca komik seperti orang tuanya dulu. 

“Orang tua mengajak ke sini keinginannya agar mereka membaca komik seperti papa dan mamanya dulu,” ujarnya.

Menurut Sugeng, salah satu persoalan menurunnya pembaca komik adalah kalahnya daya tawar komik fisik jika dibandingkan dengan komik daring, atau hal lain yang berhubungan dengan internet. “[Lebih bagus] membaca komik daripada main HP terus. Tapi anak tetap lari ke HP, sih. Di sana apa-apa ada, jadinya banyak persewaan yang tutup,” sambung Sugeng dalam bahasa Jawa.

Selain menurunnya minat membaca komik fisik, Victory Komik juga berhadapan dengan penjualan daring. Jika dulu pembelian harus lewat penerbit atau agen, sekarang penjualan bisa lebih fleksibel hanya dengan memasangkan iklan di platform daring. 

Sugeng pun sampai sekarang masih kebingungan dalam menilai era daring. Entah ini merupakan peluang atau ancaman bagi tokonya. Di satu sisi, pembacanya banyak beralih ke media digital, sedangkan di sisi lain Sugeng jadi satu-satunya toko komik di Solo. Victory Komik bahkan dilabeli sebagai toko yang memiliki keunikan oleh para pengunjungnya yang mempromosikan di media sosial.

Tantangan lain yang dihadapi Sugeng adalah musuh alami dari komik, yaitu rayap. Meskipun demikian, hingga kini Victory Komik tetap menanti pembacanya, entah yang masih setia atau yang sedang bertumbuh. Ia akan selalu setia di jalan literasi untuk memberi imajinasi pada setiap lembar-lembar bergambarnya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Victory Komik: 30 Tahun Melawan Rayap dan Zaman appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/victory-komik-30-tahun-melawan-rayap-dan-zaman/feed/ 0 42778
Menelusuri Ponten Mangkunegaran di Kampung Lawas Kestalan Solo https://telusuri.id/menelusuri-ponten-mangkunegaran-di-kampung-lawas-kestalan-solo/ https://telusuri.id/menelusuri-ponten-mangkunegaran-di-kampung-lawas-kestalan-solo/#respond Tue, 04 Jun 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42088 Saya kembali mengawali perjalanan menelusuri perkampungan lawas di Solo, kota Bengawan. Tujuan kali ini berada di tengah Kampung Kestalan, Kecamatan Banjarsari, tepat di seberang Stasiun Solo Balapan. Ponten Mangkunegaran, begitu kira-kira warga menyebutnya.  Setelah sekitar...

The post Menelusuri Ponten Mangkunegaran di Kampung Lawas Kestalan Solo appeared first on TelusuRI.

]]>
Saya kembali mengawali perjalanan menelusuri perkampungan lawas di Solo, kota Bengawan. Tujuan kali ini berada di tengah Kampung Kestalan, Kecamatan Banjarsari, tepat di seberang Stasiun Solo Balapan. Ponten Mangkunegaran, begitu kira-kira warga menyebutnya. 

Setelah sekitar 30 menit menelusuri jalan kampung melalui belakang stasiun Radio Republik Indonesia (RRI) Solo, tibalah saya di Ponten Mangkunegaran. Karena tidak ada warga yang beraktivitas di sana, segera saya putuskan untuk menghubungi rekan Heri Priyatmoko untuk menapak tilas bersama.

Tak lupa juga, saya meninjau sesaat kondisi ponten yang akan saya abadikan. Beberapa saat kemudian, Heri datang tepat setelah saya selesai observasi. Kesimpulan sementara, Ponten Mangkunegaran sejatinya merupakan kamar mandi komunal untuk warga Kestalan dan Kampung Ngebrusan.

Mungkin sedikit aneh, tetapi faktanya demikian. Heri pun menyatakan hal yang sama. Namun, di balik fungsinya, Ponten Mangkunegaran menyimpan cerita yang luar biasa bagi saya. Terutama mengenai hubungan Kanjeng Gusti Adipati Mangkunegara VII dengan Ir. Herman Thomas Karsten.

Tanpa pikir panjang, kami lantas duduk lesehan di bawah pohon trembesi berumur puluhan tahun yang juga menaungi Ponten Mangkunegaran. Kami lantas saling mengobrol mengenai masa lalu Ponten Ngebrusan.

  • Menelusuri Ponten Mangkunegaran di Kampung Lawas Kestalan Solo
  • Menelusuri Ponten Mangkunegaran di Kampung Lawas Kestalan Solo

Tentang Kampung Kestalan

Ponten Mangkunegaran memiliki nama lain dalam Bahasa Belanda, yakni Badplaats Mangkunegaran, artinya kamar mandi milik Praja Mangkunegaran. Ponten adalah kata serapan dari Bahasa Belanda, fountain, yang artinya air mancur. 

Kampung Kestalan, tempat ponten tersebut berada, dulunya merupakan kampung para joki kuda dan kandang kuda pacuan milik Pura Mangkunegaran. Lokasi latihan pacuan kuda itu kini menjadi Stasiun Solo Balapan.

“Antara Kampung Kestalan, ini [ponten] dan Stasiun Balapan saat ini memiliki akar rumput. Tidak asal bangun kolah [Ponten Mangkunegaran] saja, Bro,” ungkap Heri.

Kampung Kestalan lebih dahulu eksis sebagai stal (kandang kuda) daripada Ponten Mangkunegaran. Sejak tahun 1810-an awal, Kestalan sudah disebut sebagai sarang kuda pacuan terbaik di Surakarta (penyebutan lain Kota Solo). Akan tetapi, kondisi masyarakat dan kampungnya jauh dari standar kesehatan kala itu.

“Ada sungai di selatan kita, tetapi rumah-rumah sekitar ini (ponten) saling berdempetan tanpa jarak dan saluran airnya mampet,” jelasnya. Heri menambahkan ketika virus pes merebak di Solo, Kampung Kestalan turut terdampak parah. Salah satunya dipicu gaya hidup warga yang cukup jorok. 

Sebagai upaya penanganan wabah pes di wilayah Kampung Kestalan, dilakukan perbaikan kampung atau kampoong verbatering dan penataan sanitasi air. Tidak berhenti begitu saja, kebersihan dan kesehatan warganya pun turut diperhatikan. Salah satunya dengan pendirian kamar mandi komunal yang kelak disebut Ponten Mangkunegaran.

Menelusuri Ponten Mangkunegaran di Kampung Lawas Kestalan Solo
Jalan kampung Kestalan di antara Sungai Pepe dan Poten Mangkunegaran/Ibnu Rustamadji

Proses Pembangunan Ponten Mangkunegaran

Ponten Mangkunegaran dibangun tahun 1936 atas inisiatif Gusti Mangkunegara VII, sebagai bagian dari perbaikan kampung wilayah Praja Mangkunegaran.  Ia tidak mendesain sendiri, melainkan diserahkan kepada arsitek sekaligus perencana kota lulusan Delft kelahiran Amsterdam, yakni Thomas Karsten. 

Latar belakang pembangunan Ponten Mangkunegaran berawal dari keprihatinan Gusti Mangkunegara VII terhadap kehidupan warga Kestalan yang menggunakan air sungai untuk kebutuhan sehari-hari. Alasan lain adalah tidak adanya sanitasi air yang baik, dan kebiasaan hidup kotor menyebabkan virus mudah menjangkiti warga sekitar dan Kota Solo.

Rasa prihatin dan ide pembangunan ponten dikemukakan Gusti Mangkunegara VII selepas lawatan kenegaraan ke Belanda. Tata ruang kompleks permukiman yang indah dan jalur sungai yang bersih, membuat beliau ingin merepresentasikan itu di wilayah Praja Mangkunegaran, terutama Kampung Kestalan.

Setibanya di Pura Mangkunegaran, ia memutuskan segera mengubah gaya hidup warga Ngebrusan Kestalan dengan memperbaiki sanitasi air dan mendirikan Badplaats atau Ponten Mangkunegaran. Thomas Karsten ditunjuk sebagai desainer dan pemimpin proyek pembangunan.

Thomas Karsten merancang Ponten Mangkunegaran dengan mengadopsi gaya Hindu-Buddha Jawa Tengah. Terinspirasi dari seniornya, yaitu Ir. Henri Maclaine Pont. Dana pembangunan ponten berasal dari uang pribadi Gusti Mangkunegara VII dan sumbangan pengusaha perkebunan di Kota Solo kala itu. Ponten Ngebrusan selesai satu tahun kemudian.

Meski berupa kamar mandi komunal, upacara peresmian digelar cukup meriah.  Pejabat pemerintah setara residen pengusaha perkebunan di Solo turut hadir. Menurut data yang Heri miliki, tersebut nama Johannes Agustinus Dezentje, pionir perkebunan kopi di wilayah Ampel, Boyolali. Meski ia memperistri salah satu putri Sunan Pakubuwana X, ia memiliki kekerabatan juga dengan Pura Mangkunegaran. 

“Kamu tahu betul sepak terjang beliau (J. Agustinus Dezentje), kan? Panjang ceritanya,” ungkapnya sambil tertawa.

Upacara peresmian Ponten Ngebrusan ditutup dengan suguhan minuman khas Pura Mangkunegaran dan pidato penutup oleh Gusti Mangkunegara VII. Dalam cuplikan pidatonya, Gusti Mangkunegara VII berpesan agar warga menggunakan ponten dan tidak menggunakan air sungai, guna mengurangi resiko penyakit menular. 

Detail Menarik dari Arsitektur Ponten Mangkunegaran

Rasa haus tiba-tiba menerjang. Kami pun lantas mencari warung angkringan sebagai pelepas dahaga. Setelahnya kami lanjut mengelilingi ponten dan Kampung Kestalan. Sebelum keluar halaman ponten, tiba-tiba terlintas pertanyaan karena saya penasaran sejak awal datang di sini.

“Mas Heri, ini [ponten], sisi timur terbuka mungkin areal cuci muka atau baju. Tapi utara, selatan, dan barat, kan, kolah (toilet). Serius desain awal memang tanpa atap dan pintu?” tanya saya. 

Dan betul, faktanya demikian. Namun, pada tahun 1931 menggunakan kamar mandi komunal jamak terjadi dan tidak ada rasa malu. Jika perempuan tetap menggunakan baju kemben dan jarik, kalau pria tanpa baju—hanya celana. Itu lumrah terjadi dan bukan pornografi.

Lokasinya yang berada di tepi Sungai Pepe dan di tengah kampung, jelas menjadi aset yang penting untuk meminimalkan sebaran penyakit di wilayah sekitar. Thomas Karsten mengemasnya dengan apik, sehingga tidak tampak seperti kamar mandi komunal. Sangat detail dan simetris satu sama lain. 

Ponten Ngebrusan bergaya ala candi bercorak Hindu Jawa Tengah, dengan ciri khas hiasan kemuncak di sudut tembok. Seakan mempertegas bahwa sang perancang sangat menghormati budaya negara yang ia datangi. Letaknya yang lebih tinggi dari halaman juga semakin menambah kesan mewah. 

Sumber air berada di selatan ponten dan dialirkan ke bak penampungan di tengah. Kemudian dialirkan kembali melalui pipa besi ke toilet di setiap sisi. Khusus sisi timur, digunakan untuk mencuci dan mungkin juga untuk mandi. 

Menariknya, setiap toilet didesain membelakangi pintu dan menghadap bak kecil. Jelas tujuannya tidak lain supaya orang lain yang akan menggunakan tidak saling bertatap muka. Air kotor pun dialirkan dengan baik melalui saluran kecil, lalu dibuang ke parit luar ponten.

Melalui foto lama keluaran Belanda yang dimiliki Heri, kondisi Ponten Ngebrusan tidak berubah sejak tahun 1931. Hanya perbaikan dan pengecatan ulang beberapa sisi, karena statusnya sebagai bangunan cagar budaya oleh Pemerintah Kota Solo. Maka tidak boleh direnovasi sembarangan.

Saat melangkah keluar halaman ponten, kami langsung dihadapkan perkampungan Ngebrusan dan Kestalan. Layaknya perkampungan, hilir mudik warga silih berganti tanpa henti. “Ya, seperti ini juga kondisi kampungnya. Hanya saja kala itu dikenal kumuh,” imbuh Heri. 

Warga yang menempati kedua kampung tersebut kini sudah beragam. Banyak pendatang yang sudah membaur dengan warga asli. Penduduk asli banyak yang tinggal di area Ponten Mangkunegaran dan tepi Sungai Pepe Kampung Kestalan. Sementara warga pendatang tinggal di tepi jalan, tepatnya di barat kampung.

Menelusuri Ponten Mangkunegaran di Kampung Lawas Kestalan Solo
Aliran Sungai Pepe di selatan Ponten Mangkunegaran/Ibnu Rustamadji

Berharap Tak Lekang Termakan Zaman

Ponten Mangkunegaran tentu tidak dapat dipisahkan dari akar rumputnya dengan warga Kampung Kestalan dan Kampung Ngebrusan. Meski zaman terus berubah, memori warga sebelum, sesaat, dan setelah adanya Ponten Mangkunegaran tentu tidak akan lekang oleh waktu.

Tata ruang kampung yang lebih baik adalah bukti nyata sinergi antara Gusti Mangkunegara VII dan Thomas Karsten dalam mewujudkan kampung yang lebih sehat. Seperti pepatah, kota tidak bisa hidup tanpa adanya kampung; tetapi sebaliknya, kampung bisa hidup tanpa adanya kota.

Kampung lawas bekas kandang kuda pacuan di tengah Kota Solo itu kian berkembang, tetapi masih menyimpan harta terpendam sebagai bukti berkembangnya kota. Patut dihargai, terutama kepada warganya yang turut serta menjaga ingatan sekaligus warisan berharga bagi wong Solo.

Juga bagi mereka sebagai penikmat, seperti saya dan Heri, dapat menyaksikan Ponten Ngebrusan dengan layak. Meskipun tidak mewah, tetapi tentu ada perasaan tersendiri ketika dapat mengabadikan setiap detailnya Begitulah yang saya alami ketika menelusuri Ponten Ngebrusan dengan rekan tempo hari lalu. “Tidak ada masalah jika disebut wong kampungan. Mungkin mereka belum tahu di balik kampung itu ada apa saja,” ucapnya sambil tertawa. 

Semakin dalam menyusuri Kampung Kestalan dan Kampung Ngebrusan, langit senja berubah menjadi gelap tanda malam datang. Kami segera kembali ke areal ponten untuk mengambil kendaraan dan memutuskan untuk jajan di warung angkringan legendaris pilihan Heri.

Ponten Mangkunegaran saat ini masih eksis, meskipun sudah tidak berfungsi sebagaimana dahulu. Bangunan tersebut menjadi monumen hidup, mahakarya, sekaligus sumbangsih Gusti Mangkunegara VII dan Thomas Karsten yang paling unik di Solo. 

Setiap sore, halaman ponten digunakan anak-anak kampung setempat berlatih pencak silat. Tidak jarang juga dimanfaatkan warga untuk menggelar kegiatan seni dan budaya. Dengan adanya kegiatan semacam ini, citra kampung lawas Kestalan perlahan naik menjadi kawasan cagar budaya. Semoga saja, kampung lawas lain di Solo maupun kota-kota lainnya dapat bersinergi dengan cagar budaya yang ada di sekitarnya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menelusuri Ponten Mangkunegaran di Kampung Lawas Kestalan Solo appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menelusuri-ponten-mangkunegaran-di-kampung-lawas-kestalan-solo/feed/ 0 42088
Jelajah Tiga Kampung Batik Lawas Tersembunyi di Kota Solo https://telusuri.id/jelajah-tiga-kampung-batik-lawas-tersembunyi-di-kota-solo/ https://telusuri.id/jelajah-tiga-kampung-batik-lawas-tersembunyi-di-kota-solo/#respond Tue, 26 Mar 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41478 Awal tahun baru telah berlalu. Namun, resolusi dan harapan selalu datang menghampiri. Seperti yang saya rasakan kali ini. Harapan awal memang ingin melakukan perjalanan ke tempat baru, sehingga dapat berbagi pengalaman yang saya alami. Alam...

The post Jelajah Tiga Kampung Batik Lawas Tersembunyi di Kota Solo appeared first on TelusuRI.

]]>
Awal tahun baru telah berlalu. Namun, resolusi dan harapan selalu datang menghampiri. Seperti yang saya rasakan kali ini. Harapan awal memang ingin melakukan perjalanan ke tempat baru, sehingga dapat berbagi pengalaman yang saya alami. Alam pun merestui.

Biasanya, perjalanan saya menyambangi kerkop atau makam Belanda. Sekarang berbeda, tetapi cerita yang menyelimuti tidak kalah menarik. Perjalanan ini saya awali dengan menyambangi tiga kampung lawas di Kota Solo. Saya berangkat dari Boyolali dan menempuh perjalanan sekitar 40 menit ke Solo.

Tak mau kehabisan waktu, saya segera memetakan tiga kampung tersebut dan mencari kantong parkir kendaraan. Penelusuran saya kali ini sengaja sendirian, supaya lebih leluasa. Meski bernuansa kuno, tetapi jangan salah sangka karena memiliki kemewahan tersembunyi.

Kampung lawas pertama yang saya kunjungi adalah Kampung Batik Laweyan. Tanpa basa-basi lagi, saya segera melakukan penelusuran sambil berimajinasi sebagai saudagar batik kenamaan Kota Bengawan.

Jelajah Tiga Kampung Batik Lawas Tersembunyi di Kota Solo
Kondisi Jalan Slamet Riyadi di Kota Solo/Ibnu Rustamadji

Kampung Laweyan dan Roemahkoe Heritage Laweyan

Kampung Laweyan tak ubahnya kampung pada umumnya. Hanya saja mayoritas warga yang tinggal di sini merupakan keluarga saudagar batik tulis. Tak ayal ketika mulai menginjakkan kaki memasuki gang sempitnya, terbentang puluhan rumah saudagar batik pada zamannya.

Menelusuri gang sempit dan harus berbagi jalan dengan pengguna lain lumrah terjadi. Sebab setiap jengkalnya harus berhadapan tembok tinggi antarrumah saudagar. 

Banyak orang mengira di balik tembok tinggi kampung Laweyan tersebut merupakan kediaman keluarga raja. Padahal sejatinya tidak. Mereka asli Jawa. Turun-temurun mendiami dan melanjutkan tongkat estafet keluarga mengelola industri batik tulis.

Setiap keluarga saudagar di Laweyan memiliki motif batik tulis khas yang rumit, tetapi penuh arti dan filosofi. Satu lembar kain batik tulis bisa dibuat dalam waktu cukup lama. Proses mulai dari nggambar pola, ngeblat (meniru) pola, nyanting (membatik), ngumbah (mencuci) hingga menjemur bisa menghabiskan waktu sekitar enam bulan.

Semakin rumit motifnya, semakin lama dan mahal harganya di Indonesia maupun mancanegara. Biasanya motif batik tulis yang dihasilkan menjadi signature bagi keluarga. Satu motif batik tulis Laweyan yang tersohor kala itu hingga ke benua Eropa adalah batik tulis Tiga Negeri. Tak ayal di salah satu sudut jalan kampung Laweyan bernama Jalan Tiga Negeri.

Batik Tiga Negeri artinya motif batik tiga daerah, yakni Lasem, Pekalongan, dan Solo. Masing-masing memiliki motif khas yang berbeda. Menurut Agni Malagina, pemerhati wastra, buku Dutch Influence in Batik from Java, History and Story karya Harmen Veldhuisen menyebutkan produksi awal batik tiga negeri adalah sarung batik motif pesisir utara dan pedalaman Jawa.

Motif tersebut berpadu apik dengan motif larangan (terlarang) pakem Keraton Surakarta (Solo), yakni motif parang rusak dan motif kawung dari Keraton Yogyakarta. Proses pembuatan batik Tiga Negeri berawal dari Kota Lasem sebagai pusat pewarnaan merah dengan motif naga bersanding burung phoenix, motif bunga, dan kricakan.

Pekalongan menjadi pusat pewarnaan biru dan produsen kain mori sebagai alas membatik. Beragam motif signature terlahir dari seniman Pekalongan. Dari sinilah Pekalongan mendapat julukan “Kota Batik”.

Adapun Kota Solo menjadi pusat pewarnaan soga, dengan produksi utama berupa kain jarik (sarung) dan ikat. Proses pembuatan jarik Tiga Negeri dari Laweyan juga mendapat pengaruh dari Lasem.

Eksistensi batik Tiga Negeri di zaman modern saat ini saya rasa di ambang kepunahan. Meski begitu, marwah kediaman warisan para saudagar di Laweyan mengisyaratkan pentingnya menjaga memori kolektif tersebut dengan cara mempelajari wastra batik sebaik-baiknya.

  • Jelajah Tiga Kampung Batik Lawas Tersembunyi di Kota Solo
  • Jelajah Tiga Kampung Batik Lawas Tersembunyi di Kota Solo

Apa yang telah mereka wariskan patut untuk dihargai dan dilestarikan. Walau hanya tinggal berupa kediaman luas dengan tembok mengelilingi setinggi dua meter. Seperti yang saya kunjungi kali ini, yakni hotel butik bernama Roemahkoe Heritage Laweyan.

Ketika menginjakkan kaki masuk ke Roemahkoe Heritage, suasana begitu sunyi dan tenang dengan alunan campursari sayup-sayup terdengar. Menurut salah satu pengurus hotel, kediaman ini sejatinya milik salah satu saudagar batik Laweyan bernama Tjokrosoemarto.

Hanya saja ia tidak mengetahui detail maupun latar belakang keluarga Tjokrosoemarto. Saya bisa memakluminya. Namun, ketika saya bertanya mengenai siapa pemiliknya sekarang, ia menjawab Nina Akbar Tandjung adalah tokoh di balik berdirinya hotel ini.

Roemahkoe Heritage Laweyan memiliki gaya arsitektur indis. Dari halaman depan tampak kaku, tetapi ketika masuk pemandangan berubah. Ruang tamu depan dahulunya pendhapa dan di balik tiga pintu utama merupakan ndalem ageng, dengan krobongan tepat di tengah.

  • Jelajah Tiga Kampung Batik Lawas Tersembunyi di Kota Solo
  • Jelajah Tiga Kampung Batik Lawas Tersembunyi di Kota Solo

Sisi kiri dan kanan berupa gandok untuk dapur, kamar tidur keluarga, ruang makan dan kumpul keluarga. Beranda belakang terhubung dengan gandok kiwa (kiri) dan tengen (kanan), sedangkan ruang santai di tengah beranda belakang. Sekeliling rumah dihiasi beranda dan terhubung dengan beranda depan (ruang tamu). 

Sungguh cita rasa yang tiada banding. Saya merasakannya selama penelusuran di Kampung Laweyan dan Roemahkoe Heritage tempo lalu. Sejatinya ada enam kediaman saudagar Laweyan yang saya kunjungi, tetapi karena keterbatasan hanya satu yang bisa saya bagikan. 

Imajinasi seakan melayang kembali menyigi masa keemasan kampung Laweyan. Masa yang penuh lalu lalang warga dan kain batik tulis sutranya. 

Kampung Lawas dan Omah Lowo Purwosari

Puas menikmati kampung Laweyan, perjalanan saya berlanjut menyigi kampung lawas kedua. Tujuan utama saya tepat di selatan perempatan lampu merah kawasan Purwosari, Kota Solo. Warga biasa menyebutnya Omah Lowo (rumah kelelawar). Disebut demikian karena kediaman salah satu saudagar batik di luar Kampung Laweyan ini sempat terbengkalai puluhan tahun hingga dihuni kelelawar liar. Setelah revitalisasi selesai, Omah Lowo terlahir kembali dengan nama baru Heritage Batik Keris.

Selama penelusuran saya di Heritage Batik Keris selalu ditemani seorang pemandu. Ia siap menceritakan masa lalu sejak bernama Omah Lowo hingga seperti sekarang. Menurutnya, Omah Lowo atau Heritage Batik Keris dahulunya milik seorang Tionghoa bernama Sie Dhian Ho. Beliau diketahui sebagai leluhur pertama keluarga pemilik Batik Keris Solo. 

Jelajah Tiga Kampung Batik Lawas Tersembunyi di Kota Solo
Tampak luar Omah Lowo Purwosari atau Heritage Batik Keris ketika sore/Ibnu Rustamadji

Usaha pertama Sie Dhian Ho antara lain percetakan foto, toko alat tulis dan majalah, serta pemilik pabrik es kristal (sekarang Solo Center Point) bernama Ijs Fabriek N. V. Sie Dhian Ho. Setelah usahanya menuai sukses, Sie Dhian Ho mulai mengembangkan sayap bisnis sebagai penjual batik. 

Sampai akhirnya ia mampu mendirikan pabrik batik, yang kini dikelola turun-temurun menjadi Batik Keris. Namun, karena situasi dan ekonomi memburuk, Sie Dhian Ho harus merelakan rumahnya dijual. Setelahnya kepemilikan beralih-alih hingga menjadi terbengkalai.  

Hadianto Tjokrosaputro, pemilik Batik Keris saat itu (beliau wafat 2018), berinisiatif membeli kembali Omah Lowo pada 2016 dan merevitalisasi sebagai memorabilia keluarga. Revitalisasi rampung pada 2 Oktober 2020.

“Tujuan revitalisasi sebagai perwujudan harapan dari Pak Handianto Tjokro semasa hidup, atas inisiatif sang istri,” ungkap sang pemandu.

Selama menikmati detail Heritage Batik Keris, saya tak henti berdecak kagum. Apalagi setelah direvitalisasi, semakin tampak kemegahan yang selama ini terpendam di balik kotoran kelelawar liar. Siapa pun yang berkunjung, pasti betah berlama-lama menikmati kemewahannya. Ditambah lagi saat ini di sisi selatan terdapat coffee shop yang siap memanjakan pengunjung.

Mungkin di lain kesempatan akan saya ceritakan perjalanan khusus menikmati Heritage Batik Keris (Omah Lowo Purwosari). Puas mengabadikan detail dan menikmati segelas kopi panas, saya melanjutkan perjalanan menuju kampung lawas ketiga. 

Jelajah Tiga Kampung Batik Lawas Tersembunyi di Kota Solo
Bagian ruang keluarga yang kini menjadi showroom batik premium/Ibnu Rustamadji

Kampung Timuran di Jantung Kota Solo

Penelusuran saya berujung di Kampung Timuran, sebelah barat daya Pura Mangkunegaran. Rumah yang saya tuju lokasinya tersembunyi, di belakang Toko Satelit 99, Jalan Slamet Riyadi. Setelah meminta izin salah satu perwakilan keluarga, saya segera melakukan dokumentasi.

Tidak lupa juga saya mengobrol mengenai masa lalu kediaman mereka di Ndalem Timuran. Menurut informasi sang ibu, rumah yang ia tempati merupakan peninggalan sang kakek bernama Prawiradirja. Kediamannya diwariskan turun-temurun kepada anak-anaknya, salah satunya beliau. 

Ia menambahkan apabila keluarganya bukan dari keturunan Pura Mangkunegaran, melainkan murni saudagar batik. Usaha keluarganya menjual kain sulaman dan kain batik. Kepiawaiannya membatik didapat secara turun-temurun. Namun, sang ibu tidak menjelaskan rinci karena sudah tidak terlalu mengingat masa mudanya.

Jelajah Tiga Kampung Batik Lawas Tersembunyi di Kota Solo
Tampak depan Ndalem Timuran dan bangunan di sisi sayap untuk ruang keluarga/Ibnu Rustamadji

Produksi batik berada di timur kediamannya saat ini. Dahulu kediaman tengah ditempati sang kakek, dengan maksud menjaga keaslian motif. Sisi tengah itu terdapat tiga pintu. Dua pintu mengapit satu pintu tengah berkaca grafir dengan sengkalan nama pemilik, tepat mengarah langsung ndalem ageng.

Kamar berjejer di sisi barat diperuntukkan bagi keluarga yang sudah berkeluarga, tetapi belum memiliki kediaman sendiri. Bisa juga ditempati tamu yang menginap. Kamar tersebut dilengkapi beranda yang menghadap selatan.

Karena berkurang generasi penerus pembatik, usaha pun turut meredup. Lebih lagi pasca keluarga lain menetap di luar kota, rumah itu pun hanya ditinggali dua keluarga. Meski begitu, bagi saya citra sebagai salah satu warisan saudagar batik di luar Kampung Laweyan sangat kentara di sini.

Jelajah Tiga Kampung Batik Lawas Tersembunyi di Kota Solo
Kaca grafir dengan sengkalan di ruang tamu Ndalem Timuran dengan krobongan tepat di belakang pintu tengah ini/Ibnu Rustamadji

Setelah puas memotret dan berbincang dengan keluarga, tiba-tiba senja mulai menggelayuti. Saatnya untuk berpamitan dan berterima kasih atas waktu dan kesempatan yang diberikan kepada saya.

Besar harapan saya, kampung lawas lain di Jawa Tengah, Indonesia atau bahkan negara lain, mulai membuka diri kepada khalayak ramai dengan segala kenangan yang ada. Kampung dapat hidup meskipun tanpa kota, tetapi sebuah kota tidak akan bisa hidup tanpa ada kampung.

Semua memiliki kenangan manis dan pahitnya. Tinggal bagaimana cara kita menyikapinya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Jelajah Tiga Kampung Batik Lawas Tersembunyi di Kota Solo appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/jelajah-tiga-kampung-batik-lawas-tersembunyi-di-kota-solo/feed/ 0 41478
Tapak Tilas Kuliner Tengkleng Klewer Bu Edi di Kota Solo https://telusuri.id/tapak-tilas-kuliner-tengkleng-bu-edi-di-pasar-klewer-solo/ https://telusuri.id/tapak-tilas-kuliner-tengkleng-bu-edi-di-pasar-klewer-solo/#respond Tue, 22 Aug 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39633 “Main ke Solo, kalau mau jajanan murah, banyak macam di Pasar Gede. Ke sana dahulu mumpung masih pagi!” begitu arahan seorang rekan setibanya saya di Kota Solo. “Paham banget, kalau pengen kulineran,” pikir saya. Perjalanan...

The post Tapak Tilas Kuliner Tengkleng Klewer Bu Edi di Kota Solo appeared first on TelusuRI.

]]>
“Main ke Solo, kalau mau jajanan murah, banyak macam di Pasar Gede. Ke sana dahulu mumpung masih pagi!” begitu arahan seorang rekan setibanya saya di Kota Solo.

“Paham banget, kalau pengen kulineran,” pikir saya.

Perjalanan saya ke Solo sengaja untuk keplek ilat atau memanjakan lidah. Tujuan utama saya adalah kuliner olahan kambing alias tengkleng Solo. Bagi saya, olahan tengkleng merupakan kekayaan kuliner lokal yang tercipta berkat kreativitas wong cilik di kota ini.

Saking kreatifnya, sampai-sampai mereka mampu menciptakan olahan berbahan tulang dan jeroan kambing. Tentu sayang kalau dilewatkan begitu saja, karena main ke Solo cari olahan lokal apa pun ada. Murah dan enak. 

Hanya saja mereka berjualan tidak di tepi jalan protokol, tetapi di dalam kampung atau pusat keramaian, seperti Pasar Klewer. Tentu bukan karena persaingan bisnis yang mereka pikirkan, melainkan olahan mereka menjadi ciri khas penuh filosofi dan makna. Keplek ilat olahan tengkleng saya mulai selepas membeli biji kopi di Kopi Pojok Pasar Gede Solo.

Tapak Tilas Kuliner Tengkleng Bu Edi di Pasar Klewer Solo
Tampak depan warung Tengkleng Klewer Bu Edi di Pasar Klewer. Tampak foto Ediyem di sudut kanan atas spanduk/Ibnu Rustamadji

Kuliner Tersembunyi di Sudut Pasar Klewer

Mendengar kata “olahan tulang kambing” mungkin kurang lazim bagi sebagian orang. Namun, kalau diolah dengan bumbu dasar turun-temurun dan memiliki ciri khas tersendiri, akan luar biasa daya tarik dan rasanya.

Keplek ilat olahan tengkleng tujuan saya berada di pojok gapura Pasar Klewer. Sebelah tenggara Masjid Agung Keraton Surakarta. Satu area dengan parkiran mobil pedagang dan jamaah masjid.

Karena berada dekat dengan masjid agung dan Pasar Klewer, pelanggan warung Tengkleng Klewer Bu Edi didominasi keluarga dari luar kota. Mereka sekadar singgah dan beristirahat, maupun berbelanja batik di Pasar Klewer.

Setibanya saya di warung, rasa takjub bercampur bingung langsung menyergap. “Keren! Sudah penuh pelanggan, pasti mantap!”

Betapa tidak, warung mulai buka sekitar pukul 11 siang, tetapi sudah ada yang mengantre untuk makan di tempat. Mereka rela menunggu supaya mendapat tempat yang nyaman untuk menikmati sepincuk tengkleng. Banyak juga di antaranya yang makan di area parkir karena keterbatasan lincak untuk duduk.  

Tapak Tilas Kuliner Tengkleng Klewer Bu Edi di Kota Solo
Seporsi varian tengkleng komplet ala Ediyem dengan pincuk daun pisang/Ibnu Rustamadji

Memesan Paket Tengkleng Lengkap

Dewi keberuntungan memihak saya kali ini. Saya tidak perlu menunggu pelanggan lain untuk mendapat tempat duduk. Saya segera memesan sepincuk tengkleng dan segelas teh panas.

Jangan berharap mendapat tempat duduk yang luas. Kita harus mau berbagi dengan pelanggan lain. Sekitar lima menit kemudian, pesanan saya terhidang di atas pincukan yang terbuat dari daun pisang. Menambah kenikmatan tersendiri dalam setiap gigitan.

Setiap pelanggan yang datang langsung menghadap tiga panci besar berisi sajian olahan tulang dan jeroan kambing. Jadi, kita bisa memilih isian tengkleng sesuai selera. Termasuk jika menghendaki sate daging kambing tanpa tulangan dan jeroan. Begitu pun sebaliknya. 

Karena sengaja keplek ilat, saya memesan tengkleng lengkap dengan sate daging kambing sehingga lebih bervariasi dan komplet. Akan tetapi, kenikmatan dalam sepincuk tengkleng tidak berhenti di sini saja. Ngrikit atau menggigit daging yang menempel di tulang, lalu mengisap sedikit demi sedikit sumsum tulang, menggugah selera siapa pun yang menikmati tengkleng khas Bu Edi.

Tengah asyik menyantap sate kambing, tiba-tiba muncul Heri Priyatmoko, seorang kawan lama saya. Karena tidak membuat janji dahulu, kami sama-sama terkejut. “Wah, bro, tumben nengkleng!” sapanya.

“Iya, niat jajan tengkleng, je, Mas!” saya menyahut. Setelah bertegur sapa, kami akhirnya duduk di satu meja dan mulai berbagi cerita mengenai tengkleng Bu Edi yang melegenda ini.

Tapak Tilas Kuliner Tengkleng Bu Edi di Pasar Klewer Solo
Mbak Tri dan suami tengah menyiapkan pesanan pelanggan/Ibnu Rustamadji

Perjalanan Hidup Tengkleng Bu Edi

Heri, sapaan akrabnya, mengungkapkan bahwa Ediyem, nama lengkap sang penjual, pertama kali berjualan tengkleng di Solo sekitar tahun 1970. Ia berjualan dengan cara memikul keliling kampung. Setelah kira-kira 20 tahun berjualan keliling, Bu Edi mulai menetap di bawah gapura Pasar Klewer tahun 1990-an hingga wafat 2001. Warung Bu Edi menempati lokasi saat ini sekitar tahun 2015, di bawah pengelolaan Mbak Tri, sang anak yang meneruskan usaha Bu Edi.

Tiba-tiba saya teringat Bu Edi ketika berjualan di bawah gapura Pasar Klewer. Pelanggan saling duduk berimpitan di sebuah bangku panjang–biasa disebut dingklik–tepat di depan bu Edi.

“Sudah sejak pertama kali Bu Edi jualan tengkleng dengan pincukan daun pisang, makanya rasanya berbeda,” ungkap Heri. Hal ini dibenarkan Mbak Tri. Ia menjelaskan, meski dengan pincukan, diharapkan pelanggan datang lagi karena sensasi khasnya tersendiri. 

Sembari menikmati sumsum tulang, Heri mengungkapkan fakta di balik tengkleng yang tidak diketahui banyak orang. Menurut Heri, kehadiran olahan tengkleng tidak dapat dilepaskan dengan orang Arab Hadramaut di Solo. “Nah, kalau tengklengnya [adalah] bukti kreatifnya orang Solo di zaman Jepang,” kata Heri.

Akan tetapi, sejatinya orang Jawa sudah mengenal olahan kambing sejak era Mataram Kuno. Kala itu daging kambing merupakan santapan keluarga raja, sedangkan rakyatnya menyantap bagian tulang dan jeroan. Mereka mengolah kembali dengan bumbu tradisional, lalu terciptalah tengkleng sebagai wujud kreativitas wong Solo. Pantas apabila olahan sate daging kambing identik dengan santapan orang berpunya, karena mahal dan kualitas pilihan.

Mungkin bagi sebagian orang akan berpikir, kere sekali, makan kok balungan kambing. Namun, jangan salah. Jika diolah dengan benar rasanya tidak kalah maknyus. Maka nikmat Tuhan mana yang engkau dustakan?

Menikmati sumsum tulang atau tengkleng kambing dengan nyesepi, sejatinya memiliki makna yang cukup dalam. Bagaimanapun keadaan kita, jangan mudah menyerah dengan roda kehidudupan yang selalu berputar. Sesulit apa pun itu. Jangan mudah menyerah dan putus asa. Selama ada kemauan pasti ada jalan.

Selama mengobrol tentang olahan tengkleng, tidak ada lauk-pauk yang menemani. Hanya kerupuk yang menjadi pendamping keplek ilat kami. Inilah arti sepincuk tengkleng yang sejati. Di sisi kiri warung tengkleng Bu Edi tersedia lauk-pauk dan para pelanggan boleh membelinya. Namun, banyak pelanggan lebih memilih menikmati tengkleng tanpa lauk-pauk. Sederhana dan nyawiji, istilahnya bagi orang Jawa.

Tapak Tilas Kuliner Tengkleng Klewer Bu Edi di Kota Solo
Persediaan jeroan kambing sebagai tambahan lauk/Ibnu Rustamadji

Upaya Menjaga Warisan Kuliner

Puas berbagi cerita dengan Heri, saya menyadari satu hal mengenai tengkleng. Tidak hanya soal rasa, keunikan cerita, dan sajiannya. Lebih dari itu. Kita dituntut untuk mampu mengupayakan menjaga warisan kuliner jaman dahulu agar tidak punah tertelan zaman. Serta mampu mensyukuri nikmat pemberian Tuhan sebagai bagian dari kenikmatan hidup kita saat ini.

Makin siang, pelanggan makin berjubel. Puas menikmati sepincuk tengkleng, kami melanjutkan perjalanan tapak tilas warung tengkleng Bu Edi pertama di bawah gapura Pasar Klewer. Saat ini menjadi pos keamanan pasar.

“Nah, di sini mas setiap minggu kedua bulan Ramadan, aku sama ibu ke Klewer tujuannya cuma beli tengkleng Bu Edi untuk buka puasa!” kenang saya..

Heri membenarkan, setiap Ramadan warung Bu Edi selalu kewalahan menerima pelanggan. Sekitar tahun 2004, harga satu pincuk tengkleng lengkap adalah Rp15.000. Murah, sampai-sampai antreannya hingga keluar warung.

Bagi saya, lebih nikmat menyantap tengkleng di tempat dengan pincukan daun pisang yang menambah cita rasa. Kalau tidak percaya, silakan membandingkan makan tengkleng pincukan di warung kaki lima dengan restoran. 

Meski dengan bumbu tradisional, tentu akan terasa berbeda. Jika kalian singgah atau liburan di Solo, wajib untuk menikmati sepincuk tengkleng di kota ini. Terserah mau memilih warung mana pun, tetapi usahakan yang masih mempertahankan pincukan daun pisang sebagai wadahnya.

Sebelum kami berpisah, Heri tiba-tiba bercanda mengajak saya untuk keplek ilat tengkleng di tempat lain. Namun, kondisi saat itu tidak memungkinkan. “Kapan-kapan lagi, Mas. Kebanyakan tengkleng [bikin] tekanan darah tinggi naik, tidak bisa jajan lagi nanti,” canda saya. Puas keplek ilat dan tapak tilas tengkleng Bu Edi, akhirnya kami memutuskan berpisah arah karena urusan masing-masing. Semoga saja, tengkleng Bu Edi tetap eksis menjajakan pincukan tengkleng di tengah gempuran inovasi kuliner yang sangat pesat di era modern ini.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Tapak Tilas Kuliner Tengkleng Klewer Bu Edi di Kota Solo appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/tapak-tilas-kuliner-tengkleng-bu-edi-di-pasar-klewer-solo/feed/ 0 39633
Kuliner Sate Terlezat Joglosemar: Sate Buntel Solo (2) https://telusuri.id/kuliner-sate-terlezat-joglosemar-sate-buntel-solo-2/ https://telusuri.id/kuliner-sate-terlezat-joglosemar-sate-buntel-solo-2/#respond Tue, 09 May 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=38601 Seperti Yogyakarta, Solo juga merupakan pusat kebudayaan Jawa. Kota ini kaya potensi wisata, mulai dari sejarah, budaya, dan tak terkecuali kuliner. Banyak kuliner khas yang bisa kita jumpai di kota yang secara administratif bernama Surakarta...

The post Kuliner Sate Terlezat Joglosemar: Sate Buntel Solo (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Seperti Yogyakarta, Solo juga merupakan pusat kebudayaan Jawa. Kota ini kaya potensi wisata, mulai dari sejarah, budaya, dan tak terkecuali kuliner. Banyak kuliner khas yang bisa kita jumpai di kota yang secara administratif bernama Surakarta itu. Pada 2022 lalu, misalnya, Forum Budaya Mataram (FBM) mengukuhkan Solo sebagai “Kota Liwet”, karena memang masyhur dengan kuliner nasi liwetnya.

Setahun sebelumnya, terdapat enam kuliner khas Solo yang ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTb) oleh Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi. Keenam kuliner itu adalah timlo, serabi Notosuman, HIK, roti kecik, sate kere, dan sate buntel.

Khusus dua sate legendaris yang terakhir disebut, saya lebih memilih sate buntel. Tanpa bermaksud menafikan kelezatan sate kere, bagi saya sate buntel istimewa. Bukan kebetulan jika sate buntel masuk ke dalam daftar 80 Warisan Kuliner Nusantara versi Bango (2008) dan 100 Mak Nyus Makanan Tradisional Indonesia versi mendiang Bondan Winarno (2013).

Sate buntel khas Solo (Indonesia Kaya)
Sate buntel khas Solo/Indonesia Kaya

Asal Usul Sate Buntel Khas Solo

Secara historis, sosok yang pertama kali mengkreasi sate buntel adalah Lim Hwa Youe. Seorang etnis Tionghoa yang telah menetap di Solo itu membuat sate buntel pada tahun 1948.

Ide dasarnya adalah memanfaatkan bagian daging yang keras dan banyak terdapat pada kambing. Agar daging yang keras itu tetap dapat dinikmati, Lim Hwa Youe mencacah lembut daging tersebut dan menghilangkan semua ototnya. Hasilnya adalah sebuah inovasi sate kambing yang bertekstur empuk dan tidak prengus.

Sate kambing kreasi Lim Hwa Youe itu kemudian terkenal dengan nama sate buntel. Kata “buntel” dalam bahasa Jawa berarti “bungkus”, merujuk pada pembungkusan cacahan daging dengan lembaran lemak tipis dan selanjutnya dibakar. 

Beberapa waktu kemudian sejumlah pelaku usaha kuliner mengadaptasi sate buntel bikinan Lim Hwa Youe itu. Saat ini banyak kita jumpai warung makan yang menyuguhkan menu spesial sate buntel. Bahkan di luar Solo. Sampai sekarang, boleh dibilang kalau sate buntel adalah permata kuliner nusantara asal Solo yang memiliki bentuk dan penampilan menarik. 

Keunikan Sate Buntel Khas Solo

Bila Yogyakarta punya sate klathak, maka Solo punya sate buntel. Sama-sama sate berbahan daging kambing yang unik, khas, dan tak biasa. Sebagaimana sate klathak, sate buntel memiliki spesifikasi tersendiri dari aspek penampilan, teknik pembuatan, dan bumbu.

Penyajian sate buntel bukan dalam bentuk potongan daging yang ditusuk sujen, melainkan mencacah dan mencincang daging secara halus, membumbui, dan membungkusnya dengan lembaran lemak tipis (lemak jala). Baru kemudian menusuk daging dengan dua bilah bambu dan membakarnya hingga matang. 

Sekilas sate buntel ini mirip sosis atau sate lilit khas Bali. Sate buntel dihidangkan dengan cara meloloskan sate dari sujen atau tetap dengan tusuk bambu, kemudian menyiramnya dengan sambal kecap. Lengkap dengan irisan bawang merah, cabai rawit, kol, dan tomat.  

Tidak hanya dari bentuknya yang unik, tetapi juga cita rasa. Sate buntel menawarkan sensasi kelezatan sate kambing yang berbeda. Saat kita menggigit, lemak jala sebagai pembungkus daging terasa sedikit liat di mulut. Namun, daging kambing di dalamnya terasa empuk, lembut, dan juicy

Menurut mendiang Bondan Winarno dalam buku 100 Mak Nyus Makanan Tradisional Indonesia (2013), sajian seperti itu bernama kofta di Timur Tengah. Sebuah hidangan daging kambing cincang, yang terkepal pada sebilah besi panjang tanpa bungkusan lemak dan kemudian dibakar. Bedanya, menurut pakar kuliner nusantara itu, kofta berbentuk gepeng dan cenderung kering ketika dilepas dari bilah besinya. Adapun sate buntel lebih bulat seperti sosis dan terasa juicy, karena bagian dalamnya masih lembap.

Rekomendasi Warung Sate Buntel di Solo

Jika Anda sedang berwisata atau sekadar mampir ke Solo, berikut saya rekomendasikan warung sate buntel yang harus Anda kunjungi:

1. Sate Kambing Mbok Galak, Banjarsari, Surakarta

  • Pembakaran sate buntel di Warung Sate Kambing Mbok Galak Solo
  • Sajian sate buntel, tongseng, dan tengkleng di warung Sate Kambing Mbok Galak Solo

Popularitas sate buntel mengantar perjalanan kuliner saya ke daerah Banjarsari, Surakarta pada akhir September 2017. Tepatnya di Sate Kambing Mbok Galak. Ini adalah pengalaman pertama saya menyantap sate buntel dan ingin membuktikan kelezatannya.

Warung Mbok Galak telah eksis sejak tahun 1980. Bila saya bandingkan dengan sate buntel lainnya di kota Solo yang lebih legendaris, mungkin sate buntel Mbok Galak tergolong “pendatang baru”. Namun, sate buntel racikan Mbok Galak termasuk yang terkenal kelezatannya di kota Solo. Tak tanggung-tanggung, penggemarnya menjangkau hingga ke pejabat tingkat negara, seperti presiden dan menteri. 

Menurut informasi yang saya peroleh, dahulu presiden kedua RI Soeharto beserta keluarga sering memesan sate buntel saat singgah di Ndalem Kalitan, Solo. Begitupun presiden saat ini, Joko Widodo. Tatkala masih menjabat wali kota Solo, beliau sering mengajak anak-anak dan keluarganya menikmati sate buntel Mbok Galak. 

Di kalangan menteri, sosok yang tercatat pernah datang dan mencicipi sate buntel Mbok Galak adalah Harmoko (menteri penerangan era orde baru), Muhammad Nuh (menteri pendidikan era Susilo Bambang Yudhoyono), dan Andi Amran Sulaiman (menteri pertanian era Joko Widodo).

Keistimewaan sate buntel di warung Mbok Galak adalah penyajian sate yang masih utuh dengan tusuknya. Daging kambing yang terbungkus lemak jala terasa empuk dan tidak beraroma prengus. Bumbunya pun meresap, sehingga sangat nikmat saat saya menyantapnya dengan nasi putih.

Setelah mencari sejumlah informasi, salah satu rahasia kenikmatan sate buntel Mbok Galak adalah dagingnya berasal dari kambing pilihan. Dari sisi usia, pemilik warung memilih kambing yang berumur sekitar satu tahun. Daging dari kambing yang masih muda seperti itu relatif empuk dan dapat meminimalisasi bau prengus.

Alamat: Jalan Ki Mangunsarkoro No. 112, Sumber, Banjarsari, Surakarta (klik di sini untuk membuka peta)
Jam buka: 08.00-17.00 WIB

2. Sate Kambing “ASLI” Tambaksegaran, Banjarsari, Surakarta

  • Seporsi sate buntel Tambaksegaran
  • Proses pembakaran sate buntel

Lawatan saya ke Solo berikutnya adalah pada Desember 2017. Kali ini, saya mengagendakan singgah dan mencicipi sate buntel Tambaksegaran. Kata “Asli” menandakan bahwa di sinilah awal mula Lim Hwa Youe memelopori dan mengkreasi sate buntel. Nama Tambaksegaran berasal dari alamat warungnya, yaitu di Jalan Tambaksegaran 39 (kini Jalan Syahrir 149), Banjarsari, Solo. 

Saya datang ke warung Tambaksegaran sore hari, sekitar pukul 16.00. Suasana waktu itu tidak terlalu ramai pengunjung, karena bukan jam makan. Saya memesan seporsi sate buntel plus nasi putih, serta memilih minuman es beras kencur 

Di Tambaksegaran, penyajian sate buntelnya adalah dengan cara melucuti dagingnya dari sujen. Kita tinggal menyantap saja. Saat saya coba menggigit, lapisan lemak jalanya sedikit alot tetapi daging di dalamnya empuk dan juicy

Sate buntel di Tambaksegaran ini merupakan favorit mendiang Bondan Winarno. Menurut Pak Bondan, saat ini pengelola warung Tambaksegaran adalah generasi kedua, yaitu putri Lim Hwa Youe. Adapun adik laki-lakinya membuka sendiri sebuah warung cabang, yang menurut Pak Bondan kualitasnya lebih terjaga—khususnya dalam hal pembakaran. Warung satenya beralamat di Jalan Gajah Mada 93, Solo.

Alamat: Jalan Sutan Syahrir No. 149, Setabelan, Banjarsari, Surakarta (klik di sini untuk membuka peta)
Jam buka: 12.00-22.00 WIB

Selain sate buntel Mbok Galak dan Tambaksegaran, kita bisa menjumpai warung sate buntel khas Solo lainnya yang tak kalah lezat. Di antaranya yang cukup populer adalah Sate Kambing Bu H. Bejo yang terletak di Jalan Sungai Sebakung No. 10, Loji Wetan, Surakarta. Eksis sejak tahun 1971, sate buntel di sini merupakan favorit Presiden Joko Widodo.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kuliner Sate Terlezat Joglosemar: Sate Buntel Solo (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kuliner-sate-terlezat-joglosemar-sate-buntel-solo-2/feed/ 0 38601
Toko Kopi Podjok: Salah Satu yang Legendaris di Pasar Gede, Solo https://telusuri.id/toko-kopi-podjok-pasar-gede-solo/ https://telusuri.id/toko-kopi-podjok-pasar-gede-solo/#respond Thu, 09 Mar 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=37564 Menginjakan kaki di Surakarta kali ini, sengaja saya agendakan untuk berburu kopi di salah satu warung kopi legendaris di Pasar Gede, Sudiroprajan. Tentu saja, tujuan saya hanya satu tempat yakni di Toko Kopi Podjok yang...

The post Toko Kopi Podjok: Salah Satu yang Legendaris di Pasar Gede, Solo appeared first on TelusuRI.

]]>
Menginjakan kaki di Surakarta kali ini, sengaja saya agendakan untuk berburu kopi di salah satu warung kopi legendaris di Pasar Gede, Sudiroprajan. Tentu saja, tujuan saya hanya satu tempat yakni di Toko Kopi Podjok yang sudah ada sejak 1947. Saya sengaja memilih datang di hari biasa untuk menghindari kemacetan jalan.

Siang itu, mendung mulai menggelayut atap Kota Solo. Menemani perjalanan saya dari Pura Mangkunegaran menuju Pasar Gede. Saya menaruh ekspektasi: langsung ke Toko Kopi Podjok untuk minum kopi di sana, sembari menikmati suasana pasar yang syahdu.

Menginjakan kaki di Kawasan Pasar Gede, jejeran lampion yang tergantung di atas jembatan Pasar Gede menyambut saya. Pandangan mata ini langsung tertuju ke sana. Kebetulan, kedatangan saya kali ini bertepatan dengan Tahun Baru Imlek 2023 lalu.

Kopi Podjok: Toko Kopi atau Warung Kopi, sih?

Sebelum menuju ke Toko Kopi Podjok, saya sempatkan diri menjamah kawasan Pasar Gede. Siapa tahu menemukan jajanan pasar yang cocok saya sandingkan dengan segelas kopi nantinya. Saya putuskan membeli kue bolu di antara puluhan jajanan pasar yang ada.

Tampak luar, Toko Podjok cukup sederhana. Saking sederhananya, tempat ini “sering terlewat” karena tidak setenar kedai kopi di Kota Solo. Namun, jangan salah. Di mata para penikmat kopi “tua”, tempat ini menjadi punya cerita dan tempat tersendiri di hati mereka.

Tempat ini memang benar-benar lebih layak disebut toko kopi ketimbang warung kopi meski di sini kita bisa mencicipi segelas kopi panas khas Toko Kopi Podjok di tempat. Mereka memiliki signature sendiri sejak pertama kali berdiri. Selain meminumnya di tempat, tentu saja biji kopi pilihan yang berasal dari pelbagai daerah di Indonesia menjadi sajian utama untuk para pelanggannya.

Beda varian, beda gaya, beda rasa. Kalau bingung dengan varian apa yang ingin dibeli, sampaikan saja kopi seperti apa yang kalian inginkan. Mereka dengan senang hati akan memberikan rekomendasi.

“Mas, beli biji kopi saja, atau sama minum kopi?” tanya seorang karyawan toko.

“Tentu keduanya, Mbak!”

Meski begitu, karena tujuan awal memang untuk membeli biji kopi, jadi saya terlalu fokus dengan varian yang mereka tawarkan. Ada Arabika asli Indonesia, ada juga Arabika import. Masing-masing menggiurkan untuk saya bawa pulang.

Selain Arabika, Toko Kopi Podjok juga menyediakan varian Robusta. “Daripada bingung milih, mending buat house blend saja, toh juga buat sendiri,” pikir saya sembari melihat varian kopi yang tersedia.

Menurut saya, kopi yang masih dalam bentuk biji menjadi pilihan tepat untuk dibawa pulang karena mempunyai waktu simpan lebih lama. Hanya saja, kita harus menyediakan alat penggiling kopi setidaknya yang sederhana untuk mengolahnya kembali.

Sembari menunggu biji kopi mereka siapkan, saya memutuskan membeli kopi siap seduhnya. Murah ternyata, hanya 5000 rupiah untuk setiap cup signature Toko Kopi Podjok, dengan merek dagang pertamanya “Tjap Angkring”

Liem A Mee, Pendiri Kopi Podjok Tjap Angkring

Saat tengah asik mengabadikan sudut-sudut toko, pesanan saya sudah siap. Tidak lama kemudian, muncul pria dengan pawakan Tionghoa. Awalnya, saya pikir ia juga pelanggan seperti saya. Ternyata ia adalah Wendy Mintaraja, generasi ketiga pemilik Toko Kopi Podjok.

“Punya coffee shop di mana mas?” tanyanya pada saya.

“Wah, buat sendiri Om, sudah banyak coffee shop je.”

Saya lalu mencoba mendapatkan cerita mengenai tempat ini dari beliau. Dan, tak saya duga, beliau dengan santai bercerita.

Toko Kopi Podjok
Wendy Mintaraja tengah asik mengobrol dengan pelanggan lain sembari menunggu pesanan kopi selesai/Ibnu Rustamadji

Toko Kopi Podjok pertama kali dirintis oleh kakeknya yang bernama Liem A Mee sekitar tahun 1947.  Tapi kapan tepatnya tidak diketahuinya. Awalnya, lokasi toko bukan di pojokan Pasar Gede, tapi di kediamannya di Warung Miri, Solo.

“Kakek dulu ceritanya jualan kopi keliling pakai pikulan, lihat bungkus coklat ini, kan gambar orang bawa pikulan. Ya ini produk pertamanya kita. Nah, Kopi Podjok Tjap Angkring menjadi signature sekaligus representasi usaha rintisan kakek.” imbuhnya.

“Lalu, biji kopi ini dapat dari mana, tidak mungkin ditanam di Solo, bukan?” tanyaku.

“Biji kopi pertama berasal dari Dampit Malang,” ungkapnya.

Ia pun menambahkan, “Dulu juga pernah coba [mendatangkan] kopi dari daerah lain, tapi sampai sekarang yang paling bisa diterima oleh pelanggan ya dari Dampit ini. Ini untuk kopi angkring-nya lho, ya. Kalau yang lain, kita datangkan dari berbagai daerah.” 

Karena saya asli Boyolali dan banyak kebun kopi masyarakat di daerah saya, obrolan kami terus berlanjut. Meski kami punya sudut pandang yang berbeda dalam menilai kopi—saya hanya penikmat kopi, sedangkan Wendy Mintaraja merupakan pengusaha kopi—obrolan kami nyambung-nyambung saja. Bahkan, kami saling bertukar informasi mengenai masa lalu kopi di Karesidenan Solo, terutama di Boyolali. Berbincang dengan beliau, saya banyak belajar mengenai varian biji kopi.

Bicara kopi di Boyolali, ada Arabika dan Robusta yang berasal dari lereng Gunung Merapi–Merbabu. Masyarakat lokal mengelolanya dari hulu ke hilir. Jika ada kesempatan ke sana, kita dapat mencicipi suguhan kopi tubruk tanpa gula di rumah-rumah para petani kopi.

Nikmatnya minum kopi tubruk adalah kita bisa merasakan aroma dan cita rasa kopi murni tanpa campuran apapun. Termasuk pemanis seperti gula. Namun, kembali lagi tergantung pada selera masing-masing orang.

“Enaknya memang tanpa gula, jadi kita bisa merasakan kuatnya kopi itu sendiri,” ujar Wendy.

Toko Kopi Podjok
Pembeli tidak hanya warga Solo, tetapi juga dari luar kota/Ibnu Rustamadji

Selain kopi-kopi yang sudah saya bungkus tadi, ada varian lain yakni Liberika dan Excelsa. Semuanya punya cita rasa dan aroma khas masing-masing.

Menurut Wendy, ia cukup kesulitan mendapatkan Arabika dan Robusta Lanang. Kalaupun ada stok, biasanya tidak banyak. Biasanya saya pilih kopi Gayo Wine, Arabika Sidikalang, Robusta Lanang, dan Robusta Temanggung. Hari itu saya memilih campuran Arabika dan Robusta Gayo, masing-masing 250 gram untuk dibawa pulang.

Toko Kopi Podjok tidak memajang mesin roasting kopi, namun pelbagai alat untuk memproses kopi bisa kita jumpai di sini. Ada dripper V60, kertas filter, kopi grinder, kopi server, moka pot, French press, dan banyak lagi. Tinggal pilih. Wendy menambahkan, “Biasanya coffee shop dan penikmat kopi rumahan menggunakan alat-alat tersebut.”

“Kalau bingung pilih kopi yang mana, mendingan tanya dulu tidak apa-apa. Nanti kita bantu mencarikan varian apa yang sekiranya cocok untuk kalian. Jangan memaksakan untuk mengikuti tred.” begitu kalimat yang menutup perbincangan kami.

Saya pun melangkah keluar toko dengan setengah kilo biji kopi di tangan. Sejauh tiga kali membeli kopi di Toko Kopi Podjok, baru kali ini saya bertemu pemiliknya. Beruntungnya saya hari itu.

Jadi, apakah hari ini kamu sudah minum kopi, Sob?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Toko Kopi Podjok: Salah Satu yang Legendaris di Pasar Gede, Solo appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/toko-kopi-podjok-pasar-gede-solo/feed/ 0 37564
Sudiroprajan dan Arti ‘Sesrawungan’ https://telusuri.id/sudiroprajan-dan-arti-sesrawungan/ https://telusuri.id/sudiroprajan-dan-arti-sesrawungan/#respond Wed, 08 Mar 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=37523 Siang di akhir tahun 2022, saya masih disibukkan dengan beberapa agenda perkuliahan. Tepatnya mengurus administrasi yang belum juga terselesaikan. Cukup membuat sedikit nggliyeng, karena overthinking perkara KHS yang semoga saja tidak merah. Melihat keadaan ini,...

The post Sudiroprajan dan Arti ‘Sesrawungan’ appeared first on TelusuRI.

]]>
Siang di akhir tahun 2022, saya masih disibukkan dengan beberapa agenda perkuliahan. Tepatnya mengurus administrasi yang belum juga terselesaikan. Cukup membuat sedikit nggliyeng, karena overthinking perkara KHS yang semoga saja tidak merah. Melihat keadaan ini, dengan sigap tangan seorang kawan menyeret saya keluar area kampus. 

Ayo refreshing, sajak mumet ngono!” (Ayo refreshing, seperti pusing begitu!), ajak kawan saya yang belum jelas ke mana tujuannya. Saya kena gendam dengan ucapnya yang bagi saya bak sabda yang harus ditaati. 

Aja adoh-adoh, selak kelangan jejak Pak Wakil Dekan.” (Jangan jauh-jauh, keburu kehilangan jejak Pak Wakil Dekan), sahut saya. Meski secara lisan saya agak mengelak, namun raga saya manut dengan perintahnya.  

Sesaat setelah itu, kami pun mencegat  BST (Batik Solo Trans) di halte dekat gerbang fakultas. “Nyang Sar Gedhe!” (Ke Pasar Gede). Rupanya ia mengajak saya jajan dan kulineran. 

Lampion Terpasang, Tanda Imlek akan Datang

Tiba di Pasar Gede, nampak lampion-lampion sudah terpasang di sisi barat pasar, berjajar rapi dan indah dipandang. Mata saya sedikit melirik keheranan. Tak lama kemudian, seorang pedagang di Pasar Gede bercerita, seolah telah mengetahui kecurigaan apa yang hinggap di kepala saya. Kabarnya, perhelatan akbar tahunan agar kembali digelar Sudiroprajan.

Iya, Sudiroprajan. Kawasan yang biasa kami sebut kampung pecinan di Kota Solo. 

Dahulu, Belanda mengelompokkan permukiman berdasarkan etnis untuk  melancarkan taktik devide et impera. Di Kota Solo, Sudiroprajan dijadikan sebagai rumah orang-orang Cina. Sedangkan di sebelah selatannya, yaitu Pasar Kliwon sebagai permukiman orang Arab. Melansir informasi dari Pemkot Solo, memang hampir setengah penduduk Kelurahan Sudiroprajan merupakan masyarakat keturunan Tionghoa.

  • Lampion Pasar Gede Solo
  • Lampion Pasar Gede Solo
  • Lampion Pasar Gede Solo

Pedagang yang kami temui tersebut juga banyak bercerita mengenai Sudiroprajan dari waktu ke waktu. Katanya, rumah-rumah penduduk zaman sekarang bukan lagi seperti bangunan Cina. Sudah tak banyak warga yang mempertahankan bentuk aslinya. Seperti penduduknya yang kini adalah peranakan Cina, bukan Tionghoa asli. “Pancene trah wong Cina, ananging awakedewe ki ya wong Jawa, Wong Solo” (Memang keturunan orang Cina, tetapi kita ini ya orang Jawa, orang Solo), sahut seorang warga keturunan Tionghoa yang berada di dekat kami.

Terlebih sebagai tempat tinggal tentu harus mengalami renovasi, apalagi bangunan asli zaman dulu sudah  keropos termakan usia. Mengingat, deretan rumah di Sudiroprajan dahulu didominasi dengan kayu. Walau begitu, Gen Z seperti saya masih bisa melihat bangunan Cina yang nampak seperti aslinya dulu. Tepatnya di Klenteng Tien Kok Sie, yang arsitekturnya belum banyak berubah. Setiap sisinya masih mempertahankan konstruksi asli.

“Aja lali ya Nduk, suk nonton lampion!” (Jangan lupa ya Nak, besok nonton lampion!), akhir  percakapan kami siang itu.

Grebeg Sudiro Cermin Semarak Kebhinekaan 

Awal tahun 2023 tiba, gawai saya berdering pertanda ada pesan masuk “Grebeg Sudiro wis wiwitan.” (Grebeg Sudiro dah mulai.) Pesan itu mengingatkan agar saya tidak melewatkannya. 

Sudiroprajan  kali ini mengusung tema “Merajut Harmoni dalam Kebhinekaan”. Benar saja, kelurahan dengan luas wilayah 23 ha ini kembali berhasil mengajarkan saya mengenai sesrawungan.  Meski helatan ini dalam rangka memperingati Tahun Baru Imlek, bukan hanya masyarakat keturunan Tionghoa yang memeriahkan event ini.  Sebagian besar pengunjung adalah “orang Jawa tulen” dan bahkan pengunjung yang datang tidak hanya dari Solo saja.  

Dari Grebeg Sudiro saya juga dapat melihat perpaduan apik akulturasi seni serta budaya Jawa dan Tionghoa. Selaras dengan tujuannya untuk merefleksi Kawasan Sudiroprajan sebagai Kampung Pembaruan.

Melalui media sosial Grebeg Sudiro, ada beberapa event yang digelar. Yang pertama yakni Wisata Perahu Hias. Kerlap-kerlip lampu pada perahu hias akan mewarnai Kali Pepe di Kawasan Pasar Gede dari tanggal 10 hingga 30 Januari 2023. Dengan harga tiket Rp10.000 per orang, pengunjung dapat menikmati terang ribuan lampion di tengah gelapnya malam Kota Solo. 

Selain itu, adapula Bazar Potensi yang juga digelar dari tanggal 10 sampai 30 Januari 2023. Agenda ini  menyedot banyak perhatian warga terutama di malam hari. Lewat bazar dengan HTM Rp0 ini, pengunjung bisa jajan aneka panganan, dari yang tradisional seperti gethuk, sate kere, atau kudapan mancanegara seperti takoyaki hingga dimsum. Di sini, pengunjung juga bisa mencicipi jajanan akulturasi Cina—Jawa yang mentereng di Pasar Gede. Kerajinan “awet” seperti patung barongsai, balon berbentuk kelinci, hingga lato-lato yang sedang viral pun ada di sini.

Selain itu, masyarakat yang mengunjungi Bazar Potensi di Grebeg Sudiro ini juga bisa berswafoto dengan segala macam demit jadi-jadian seperti sundel bolong, pocongan, kuntilanak, falak, hingga vampir dan makhluk biru Avatar. Seperti tahun lalu, warga Sudiroprajan juga memasang ikon tahun baru yakni patung kelinci sebagai salah satu spot foto. Letaknya di sebelah selatan Pasar Gede.   Mengiringi suasana di Pasar Gede, kulintang juga kethek ogleng bisa dengan mudah kita temukan di sini. Di sisi barat area bazar, masyarakat dapat nongkrong di halaman balai kota sembari bersantai.

  • Lampion Pasar Gede Solo
  • Solo Sudiroprajan Imlek
  • Solo Sudiroprajan Imlek

Sementara itu, pada tanggal 12 Januari 2023 juga terselenggara acara Umbul Mantram, serta Karnaval Budaya pada 15 Januari 2023 yang tayang secara langsung di kanal YouTube Gibran TV.

Puncaknya pada pergantian tanggal 21 ke 22 Januari 2023. Di kawasan Pasar Gede diadakan Panggung Pentas Harmoni Sudiro dengan menampilkan TK Warga, Sanggar Tari Bale Rakyat, Ikamala, Dragon Taiji Fight, dan beberapa grup band lokal seperti Teori, Fisip Meraung, dan D’Diamondz. Yang mana acara ini berlangsung dari pukul 18.00. Pesta kembang api pun menjadi pamungkas, menutup seluruh rangkaian acara ini.

Bisa dibilang Grebeg Sudiro tahun ini lebih meriah dibanding tahu lalu. 

Dari seluruh kemeriahan ini, ada hal yang membuat saya tercengang. Yakni, es teh jumbo yang saya bayar dengan harga Rp5.000.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Sudiroprajan dan Arti ‘Sesrawungan’ appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sudiroprajan-dan-arti-sesrawungan/feed/ 0 37523
Menyaksikan Laga PSM Makassar di Stadion Manahan Solo https://telusuri.id/menyaksikan-laga-psm-makassar-di-stadion-manahan-solo/ https://telusuri.id/menyaksikan-laga-psm-makassar-di-stadion-manahan-solo/#respond Tue, 27 Dec 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36746 Sebagai orang yang terlahir di tanah Sulawesi Selatan, ada suatu kebanggaan tersendiri melihat salah satu klub sepak bola—PSM Makassar—masih eksis dan bersaing di Liga 1, kasta tertinggi persepakbolaan Indonesia. PSM Makassar menjadi satu-satunya klub dari...

The post Menyaksikan Laga PSM Makassar di Stadion Manahan Solo appeared first on TelusuRI.

]]>
Sebagai orang yang terlahir di tanah Sulawesi Selatan, ada suatu kebanggaan tersendiri melihat salah satu klub sepak bola—PSM Makassar—masih eksis dan bersaing di Liga 1, kasta tertinggi persepakbolaan Indonesia. PSM Makassar menjadi satu-satunya klub dari Indonesia timur yang masih bertahan sepeninggal Persipura Jayapura yang terdegradasi ke Liga 2 musim lalu.

Atas dasar kebanggan melihat PSM inilah yang kemudian mendorong saya untuk menonton pertandingannya secara langsung melawan Persis Solo di Stadion Manahan Solo, Jawa Tengah. Dengan mengendarai motor yang telah terisi dengan BBM Pertalite tiga liter, saya bersama kawan saya—Asrijal—berangkat menuju Solo tepat pada jam 12.30 WIB (Kamis, 29/9/2022).

Ini memang bukan perjalanan yang singkat, tapi demi klub kebanggan, jarak kurang lebih 60 km tak menjadi halangan. Paling, punggung jadi pegal karena berkendara sekitar dua jam.

Stadion Manahan Solo
Stadion Manahan Solo/Ammar Mahir Hilmi

Kami lalu tiba di Stadion Manahan, Kota Surakarta, atau yang lebih akrab disebut Solo. Setelah membayar tarif parkir stadion sebesar Rp3.000, kami langsung menemui perwakilan kelompok suporter The Macz-Man zona Jogja untuk menukarkan tiket yang telah kami pesan beberapa hari sebelumnya. Harga tiket sebesar Rp70.000 untuk kelas VIP sayap selatan. Harganya sebanding, bahkan tergolong murah untuk ukuran Stadion Manahan yang telah berstandar Internasional.

Sembari menikmati sore hari di tribun stadion, saya kagum melihat bagaimana mewahnya stadion ini berdiri. Sulawesi Selatan sendiri, belum punya stadion bertaraf internasional. Bahkan untuk sekedar menggelar pertandingan skala nasional Liga 1, PSM harus bekerja keras hingga menit-menit akhir batas waktu verifikasi Stadion B.J. Habibie di Kota Parepare agar masuk kategori “layak” menggelar pertandingan.

Entah apa yang ada di dalam pikiran para pemangku kebijakan sehingga tidak tampak niatan membangun stadion berstandar Internasional di sana. Para suporter setia PSM—termasuk saya—hanya bisa mengelus dada setiap kali ada agenda awayday di Pulau Jawa dan menyaksikan sendiri stadion-stadion di sini lebih apik.

Sungguh situasi yang sangat bertolak belakang dengan yang ada di Sulawesi Selatan. Semoga kelak ide membangun stadion tidak hanya menjadi wacana yang terus menerus diulang setiap kali menyambut pilkada demi meraih suara rakyat.

Kembali ke Stadion Manahan, mulai dari check in dan pemeriksaan barang bawaan di pintu masuk, hingga masuk ke area tribun, kita akan disuguhi dengan desain dan tata kelola stadion yang bersih, rapi, dan modern. Meski pada rancangan model stadion yang masih menggunakan lintasan atletik, kursi penonton telah menggunakan single seat dan bercorak batik kawung khas Solo berwarna biru, kuning, dan merah.

Skor babak pertama antara Persis Solo versus PSM Makassar berkedudukan imbang 1-1. Langit telah mulai gelap ketika kick off babak kedua dimulai. Pada momen ini lagi kita dapat melihat keunggulan fasilitas Stadion Manahan, yang membuat kami suporter PSM Makassar kembali iri. Kapasitas lampu yang mencapai 1.500 lux yang berstandar FIFA menambah kesan mewah stadion yang juga akan menjadi salah satu venue Piala Dunia U-20 tahun 2023. Dengan pencahayaan yang merata di semua titik dan tidak membuat silau, keseruan pertandingan tetap dapat kita nikmati tanpa harus khawatir kekurangan pencahayaan.

Berbagai fasilitas yang ada, tambah dengan jalannya pertandingan yang seru dengan saling jual beli serangan, kiranya tidak sia-sia telah menginvestasikan uang dan waktu untuk motoran jauh dari Jogja menuju Solo untuk menyaksikan pertandingan ini. Tampak kelompok suporter baik dari tuan rumah Persis Solo maupun PSM Makassar tidak henti-hentinya menyanyikan yel-yel masing-masing sebagai bentuk dukungan ke tim kebanggan. 

Meski terdapat beberapa kali insiden antar pemain yang membuat beberapa kali pertandingan sempat terhenti, kedua suporter tetap aman dan damai, bahkan berbagi tribun di area VIP sayap selatan stadion. Pemandangan dan sikap supporter inilah yang harus ada di setiap pertandingan sepak bola. Kiranya sepak bola adalah pemersatu dan hiburan rakyat, maka sudah layaknya rivalitas hanya 90 menit di lapangan. Selebihnya semua kembali melebur jadi satu sebagai saudara.

Koridor Stadion
Koridor stadion/Ammar Mahir Ilmi

Hingga akhir babak kedua, tidak ada lagi tambahan gol yang tercipta. Kedua tim praktis berbagi satu poin di klasemen liga. Seperti tradisi-tradisi klub sepak bola setiap kali pertandingan selesai, tiap tim akan menyempatkan untuk menyanyikan anthem-nya masing-masing sebagai tanda terima kasih kepada suporter yang telah hadir dan mendukung timnya. Tidak terkecuali PSM dan Persis yang melakukan hal serupa secara bergantian setelah pertandingan berakhir.

Setelah menyanyikan anthem tim kebanggan, satu per satu supporter mulai berjalan keluar stadion untuk selanjutnya pulang ke rumah masing-masing. Begitupun saya dengan teman saya Asrijal yang langsung motoran, pulang kembali ke Jogja pada malam itu juga. Terima kasih kepada masyarakat Kota Solo atas jamuannya dan juga kepada tim kebanggan PSM Makassar yang telah memberikan hiburan malam ini.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menyaksikan Laga PSM Makassar di Stadion Manahan Solo appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menyaksikan-laga-psm-makassar-di-stadion-manahan-solo/feed/ 0 36746
Hik yang Selalu Menjadi Penyaji Hidangan Istimewa Kami https://telusuri.id/hik-solo/ https://telusuri.id/hik-solo/#respond Sun, 16 Oct 2022 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=35453 Hik merupakan penyebutan pada warung sederhana yang dikenal oleh masyarakat sekitar Solo. Begitu sederhana, hanya menggunakan gerobak sebagai tempat menyajikannya hidangan, tempat makan para pengunjung, sekaligus sebagai tempat bakul meramu wedang. Meskipun terdapat berbagai guyonan...

The post Hik yang Selalu Menjadi Penyaji Hidangan Istimewa Kami appeared first on TelusuRI.

]]>
Hik merupakan penyebutan pada warung sederhana yang dikenal oleh masyarakat sekitar Solo. Begitu sederhana, hanya menggunakan gerobak sebagai tempat menyajikannya hidangan, tempat makan para pengunjung, sekaligus sebagai tempat bakul meramu wedang.

Meskipun terdapat berbagai guyonan yang mengatakan kalau istilah hik ini adalah kependekan dari Hidangan Istimewa Keluarga, Hidangan Istimewa Kampung, hingga Hidangan Istimewa Klaten, istilah hik sebenarnya bukan akronim dari beberapa kata. Walau dalam sejarah sang maestro campursari, Didi Kempot pernah menciptakan tembang yang berjudul “HIK” dengan menyematkan lirik “HIK…, H. I. K. Hidangan Istimewa Klaten”, namun bukan berarti dari sinilah asal mula penamaan HIK. 

  • HIK SOLO
  • HIK SOLO

Meski begitu, tidak dapat dipungkiri bahwa sejarah adanya hik memang tidak jauh-jauh dari Klaten, kabupaten yang dulunya masuk di wilayah Karesidenan Surakarta dan berbatasan langsung dengan DIY. Konon cikal bakal penamaan hik bermula dari Mbah Pairo, seorang warga Klaten yang membuka angkringan sambil memikulnya dan berteriak “hiiik iyeeek” di sekitar Jogja. Oleh karena teriakan Mbah Pairo tersebut,  muncullah nama hik di kalangan masyarakat yang kini masih digunakan oleh warga Surakarta.

Hik menjadi hidangan yang selalu mendapat ruang lebih bagi masyarakat Solo Raya karena menjadi tempat yang pas untuk semua kalangan. Mau dari yang muda sampai yang tua, mereka menjadikan hik sebagai tempat nongkrong yang nggak kalah asik dengan kedai kopi. Kalangan pelajar dan mahasiswa juga menghabiskan waktu luang untuk sekedar ngobrol soal kehidupan masa muda yang penuh lika-liku atau luka karena cinta, maupun diskusi ala akademisi demi kemajuan negara dan bangsa di masa depan di sini.

HIK SOLO
Aneka gorengan di hik/Rosla Tinika S

Berbekal uang 10 ribu saja, kita bisa memanjakan diri dengan nasi kucing dan lauk pauk beserta wedangan favorit di warung hik. Ya gimana, wong sebungkus nasi kucing hanya seharga Rp2.000–Rp3.000, es teh Rp2.000–Rp3.000 (ada juga yang masih Rp1.000/Rp1.500), dan gorengan seperti bakwan, mendoan, tempe gembus, tahu  paling banter Rp2.000 sudah dapat 3 biji (sebelum harga minyak goreng naik, sebelumnya hanya dijual Rp500). Lalu gorengan yang lebih high class seperti sosis atau tahu bakso harganya hanya Rp1.500–Rp2.000. Sangat cocok bagi manusia-manusia, khususnya mahasiswa yang perlu manajemen keuangan dengan baik agar tidak harus puasa siang malam di akhir bulan.

Pengunjung hik berasal dari berbagai kalangan dan usia, dengan latar belakang yang berbeda tersebut, mereka membaur satu sama lain—antara pembeli dan penjual maupun antar pembeli sehingga acap kali beragam wawasan baru hadir di tengah-tengah santap bersama. Ya, di sini pengunjung saling bertegur sapa meski mereka tak saling kenal, tidak seperti ketika kita makan di restoran.

Antara Hik, Angkringan, dan Wedangan 

Belakangan ini, ada sebagian masyarakat yang menyebut hik sebagai angkringan dan wedangan. Penyebutan ini banyak hadir dari luar Solo Raya karena sekilas, hik tampak tak jauh beda dengan angkringan maupun wedangan.

Orang menyebut angkringan karena penjualnya menggunakan angkring sebagai lapak. Begitu pula dengan wedangan. Menu wedang atau minumannya lah yang menjadi highlight bagi para pengunjung.

Meski terlihat sama, hik dan angkringan sejatinya memiliki perbedaan meski tidak terlihat mencolok. Hal ini karena zaman yang semakin berkembang membuat selera dan budaya masyarakat Jogja–Solo saling membaur. 

Sega kucing alias nasi kucing merupakan makanan wajib yang dijajakan baik di hik maupun angkringan. Belum bisa disebut hik maupun angkringan kalau tidak menyediakan nasi kucing sebagai sajian utamanya. Tetapi perlu diketahui, kalau nasi kucing yang dijual di hik dan angkringan punya perbedaan pada lauk pendamping. Lauk nasi kucing di angkringan umumnya terdiri dari sambal teri, sedangkan bandeng dengan sambal tomat menjadi lauk utama nasi kucing yang dijual di hik.

Akan tetapi, karena hik dan angkringan pada zaman sekarang bertebaran di mana-mana dengan pemilik yang berbeda-beda pula, hal ini menjadi berpengaruh terhadap sajian menu yang hadir. Bisa saja, kita menemukan nasi dengan sambal teri di penjual hik, atau sebaliknya. Meski begitu, masyarakat Solo tetap menyebut nasi dengan lauk bandeng dan sambal tomat sebagai nasi kucing.

HIK SOLO
Nongkrong sore di hik Pasar Rakyat Sraten, Sukoharjo/Rosla Tinika S

Selain itu, jika melihat jam operasionalnya juga kita akan menemukan perbedaan. Saat berkeliling di wilayah bekas kekuasaan Mataram, khususnya Solo atau Jogja, kita akan menemukan bahwa warung hik buka dari sore hingga malam. Padahal, hik pada umumnya justru banyak yang—meskipun waktu favorit masyarakat berkunjung ke hik adalah menjelang malam hari.

Lain lagi jika bertandang ke Solo Raya. Warung-warung hik sudah buka sedari pagi. Bahkan di tengah kota, ada hik yang buka selama 24 jam. Namun, jam operasional tersebut bukan pakem resmi, jadi kalau ada angkringan atau hik yang buka hanya saat pagi atau malam saja, ya kembali lagi tergantung dengan penjualnya. Wong mereka mau libur sehari saja juga nggak apa.

Selain itu, sundukan alias lauk sate-satean di hik jauh lebih bervariasi. Ada telur puyuh, usus, ati ayam, keong, bahkan manisan kolang-kaling, dan sebagainya. Antara hik dan angkringan, punya bumbu khas masing-masing untuk lauk jenis ini. Kalau di Solo, sate usus hanya berbumbu pedas, sedangkan di Jogja berasa pedas manis. Namun sekali lagi, hal ini bukan menjadi pakem. Kembali lagi referensi siapa pemilik hik dan angkringan tersebut.

Perbedaan lain, juga nampak pada menu wedang. Di Solo, hik menyajikan teh racikan sendiri. Membuat rasa dan aroma teh menjadi khas. Ada yang rasanya sepat, warna pekat, punya aroma harum, hingga teh dengan rasa pahit yang kuat. Sementara itu, angkringan di Jogja menyajikan kopi jos lengkap dengan arang panas yang dimasukkan ke dalam gelasnya. Kalau kamu pesan kopi jos di hik, pastinya belum tentu kopi jos arang tersaji karena masyarakat Solo tidak familiar dengan sajian satu ini.

Jadi, kamu lebih sering makan di hik atau angkringan?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Hik yang Selalu Menjadi Penyaji Hidangan Istimewa Kami appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/hik-solo/feed/ 0 35453