sorong selatan Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/sorong-selatan/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Thu, 12 Jun 2025 11:48:21 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 sorong selatan Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/sorong-selatan/ 32 32 135956295 Terima Kasih, Papua https://telusuri.id/terima-kasih-papua/ https://telusuri.id/terima-kasih-papua/#respond Thu, 16 Jan 2025 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45376 Tidak ada pelajaran terbaik dari sebuah perjalanan, selain hati dan kenangan indah yang tertinggal sebagai rindu. Papua, kami pasti kembali. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: Deta Widyananda, Rifqy Faiza Rahman, dan Mauren Fitri Ada satu hal...

The post Terima Kasih, Papua appeared first on TelusuRI.

]]>
Tidak ada pelajaran terbaik dari sebuah perjalanan, selain hati dan kenangan indah yang tertinggal sebagai rindu. Papua, kami pasti kembali.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda, Rifqy Faiza Rahman, dan Mauren Fitri


Terima Kasih, Papua
Kabut tipis menyelimuti hamparan hutan adat Kampung Bariat, Sorong Selatan. Tampak aliran Sungai Kaibus yang bermuara ke laut. Di Papua, kawasan hutan dan perairan menjadi tempat sakral yang harus dijaga karena memberi sumber penghidupan masyarakat adat/Deta Widyananda

Ada satu hal yang sangat menakjubkan dari orang-orang Papua. Tanpa mengatakan nama daerah, hanya dengan menyebut nama marga, maka orang Papua akan tahu dari mana asal daerah seseorang. Ko pu marga Kalami, maka ko orang suku Moi dari Malaumkarta, Sorong. Kam pu marga Kareth, maka kam orang suku Tehit dari Bariat, Sorong Selatan. Dong pu marga Waisimon, maka dong orang suku Namblong dari Yenggu Baru, Jayapura. Dan seterusnya.

Bayangkan. Dari satu suku besar saja, terdapat turunan subsuku yang masing-masing bisa berisi puluhan atau ratusan marga. Itu satu tempat. Belum daerah yang lain. Lebih dari 250 suku dan 300 rumpun bahasa bertumbuh di Papua. 

Ini belum bicara soal zonasi wilayah adat antarmarga maupun antarsuku. Belum lagi konsep kebudayaan—dengan kombinasi religiositas—yang mengikat kehidupan masyarakat dari lahir sampai mati. Termasuk di antaranya perkawinan, penerapan hukum adat, hingga pergantian ketua adat; yang melibatkan komponen-komponen ritus nan rumit sekaligus filosofis. Sistem ini menyatu dengan prinsip hidup orang Papua dalam menjaga hutan, sungai, dan laut yang menjadi sumber kehidupan. Sebuah “kedaulatan konservasi” yang sudah berjalan bertahun-tahun lamanya.

Sebab, seperti orang Papua yakini, hutan adalah ibu, hutan adalah mama. Pemberi kehidupan. Kita belajar banyak cara mereka menghargai alam. Bahkan di tengah keterbatasan atas hak mereka terhadap akses pendidikan, kesehatan, maupun ekonomi. 

Tak pelak jika lembaga-lembaga swadaya masyarakat di Papua memperjuangkan pengakuan wilayah hutan adat ke negara. Cara ini akan memperkuat legitimasi masyarakat adat sebagai pengelola hutan adat. Hanya merekalah yang jauh lebih memahami alam dan cara memanfaatkannya. Orang-orang Papua di kampung-kampung hanya perlu didampingi bagaimana meningkatkan nilai ekonomi dari mengolah hasil alam, tanpa harus merusak alam.

Pemanfaatan hutan berkelanjutan tentu akan berdampak pada pelestarian hutan itu sendiri. Berbeda dengan investasi industri ekstraktif yang berorientasi kuantitas, ekspansi, dan profit. Jika akses maupun kepemilikan komunitas adat pada hutan atau laut hilang, seperti kata Torianus Kalami, tokoh Moi di Sorong dan Malaumkarta Raya, itu sama saja dengan menghapus satu per satu kebudayaan asli Papua.

* * *

Terima Kasih, Papua
Alberto Yekwam di Pulau Um, Malaumkarta. Perjalanan pendidikan dan pengalaman hidupnya memberi pandangan tegas bagaimana semestinya negara memberi perhatian kepada orang-orang Papua/Rifqy Faiza Rahman

Kami jadi teringat Alberto Yekwam saat hendak meninggalkan Kampung Malaumkarta untuk kembali ke Kota Sorong. Pria berdarah Tambrauw-Maybrat itu adalah sopir mobil Hilux yang kami sewa selama perjalanan ke Malagufuk–Malaumkarta. Ia memang sedang mengambil jatah libur selepas lulus sekolah pilot di Colorado, Amerika Serikat; dan kami sangat beruntung bisa mengenalnya.

Sembari menunggu barang-barang bawaan kami dimuat di bagasi belakang, kami mengobrol sejenak. Salah satu yang menarik adalah sudut pandangnya dalam memaknai “kemerdekaan” untuk Orang Asli Papua (OAP). Di Papua, isu soal kemerdekaan memang sangat sensitif untuk dibahas. Namun, Berto, sapaan akrabnya, tidak sedang membicarakan itu. Sebab, menurut dia, ada sisi lain kemerdekaan yang harus diperjuangkan.

“Saya rasa, kami tidak memerlukan kemerdekaan Papua untuk menjadi sebuah negara baru, lepas dari Indonesia. Bukan itu. Yang kami inginkan [kepada pemerintah], berilah kami kemerdekaan atau kebebasan untuk mengelola hutan adat kami,” tegas Berto.

Pandangan Berto senada dengan Torianus Kalami, tokoh suku Moi di Sorong dan Malaumkarta Raya. Membangun Papua berbeda dengan Jawa, apalagi menggunakan “kacamata” Jakarta. Pendekatan yang dilakukan mesti berbasis budaya, bijaksana dalam memanfaatkan sumber daya alam, dan melibatkan masyarakat adat—karena begitulah keistimewaan Papua. 

Sekelumit contohnya sudah ada. Kita bisa lihat masyarakat Malagufuk telah memetik hasil dengan ekowisata pengamatan burung (birdwatching), membiarkan tamu rela berjalan 3,5 kilometer ke kampung agar hutan tetap asri tanpa polusi kendaraan bermotor. Ekowisata berkelanjutan juga menjadi salah satu program prioritas pace-mace di Jayapura lewat Badan Usaha Milik Masyarakat Adat (BUMMA) Yombe Namblong Nggua, selain pengembangan budi daya vanili.

Atau kiprah personal lainnya, seperti Yuliance Yunita Bosom Ulim alias Yuyun, pendiri Sinagi Papua. Jatuh bangun usahanya membuat produk bumbu asin nipah atau garam hutan kini mulai diapresiasi khalayak. Misinya untuk memberi generasi muda Papua gambaran pekerjaan alternatif selain pegawai negeri sipil (PNS) tampak sederhana, tetapi dampaknya bisa besar. Orang-orang akan tahu betapa kayanya hutan dan lautan di tanah kelahiran mereka, yang akan memberi manfaat ekonomi jika diolah dengan baik.

Kisah-kisah inspiratif yang kami temui di sebagian kecil Papua itu sejatinya menumbuhkan harapan. Di tengah keterbatasan, orang-orang Papua menunjukkan kepada kami, hubungan yang harmonis dengan alam pada akhirnya akan menjaga kehidupan manusia juga. Mereka hanya ingin agar pemerintah berpihak kepada masyarakat adat, serta membatasi upaya alih fungsi lahan adat menjadi industri ekstraktif.

Setiap tempat, setiap suku dan marga, bisa menjadi benteng terakhir yang menjaga hutan, “ibu kandung” mereka. Di luar dukungan para pemangku kebijakan, pemetaan dan pengembangan potensi ekonomi restoratif pada skala lokal menjadi salah satu jalan terbaik untuk tetap mewariskan sumber penghidupan kepada anak cucu di masa depan.

* * *

Terima Kasih, Papua
Zet Manggo (tampak punggung) mengajak anak-anak Kampung Berap bermain dengan perahu di Kali Biru. Generasi muda Papua mengemban tanggung jawab untuk mewarisi pengetahuan adat dari orang tua dan leluhur, agar kelestarian hutan adat dan hak ulayat terjaga/Mauren Fitri

Perjalanan kami di Papua pada Agustus–September lalu hampir merentang 10.000 kilometer. Ini jadi perjalanan terjauh kami. Perjalanan serba pertama bagi kami. Seperti halnya ekspedisi tahun lalu di Sumatra dan Kalimantan, kami menggunakan hampir beragam moda transportasi, kecuali bus dan perahu—ini pun hanya dipakai sebentar saat menyeberang Sungai Kaibus untuk melihat hutan mangrove di Konda, Sorong Selatan. 

Lebih dari 20 narasumber lokal, baik itu ketua adat, kepala kampung, tokoh masyarakat, mama-mama, maupun orang muda, memberi wawasan dan pandangan mencerahkan untuk bahan belajar kami. Bahkan mungkin juga Anda, sebagai pembaca TelusuRI. Sebagai orang yang tinggal di luar Papua, kita mesti berterima kasih sebanyak-banyaknya kepada orang-orang Papua terhadap upaya mereka melestarikan kekayaan alam yang tersisa.

Satu bulan jelas tidak cukup untuk mengenal Papua lebih dalam. Setiap tempat, setiap suku, setiap marga, bahkan setiap keluarga memiliki ciri khas masing-masing. Satu bulan, bukan waktu ideal untuk memberi penilaian utuh soal Papua. Sebab, setiap isu dan situasi memiliki pendekatannya sendiri-sendiri. Satu hal yang niscaya, sudut pandang kami tentang Papua semakin luas dari sekelumit pengalaman dan perjalanan di antara Sorong sampai Jayapura.

Kalau saja Piter Meres benar-benar membuatkan kami rumah di Konda, mungkin kami belum pulang sampai sekarang. Sebab, sudah pasti kami akan diberi nama marga dan diangkat sebagai keluarga besar suku Tehit. Walaupun, toh, tanpa itu kami sudah dianggap seperti keluarga. Adakalanya perjalanan itu memang harus diakhiri dan dirindukan, agar kami punya alasan untuk kelak kembali belajar kehidupan di bumi cenderawasih.

Terima kasih, Papua!


Anak-anak berlarian di jalan kampung Malaumkarta, Sorong/Rifqy Faiza Rahman

Pada Agustus–September 2024, tim TelusuRI mengunjungi Sorong dan Sorong Selatan di Papua Barat Daya, serta Jayapura di Papua, dalam ekspedisi Arah Singgah: Suara-suara dari Timur Indonesia. Laporan perjalanannya dapat Anda ikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Terima Kasih, Papua appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/terima-kasih-papua/feed/ 0 45376
Jalan Panjang Pengakuan Hutan Adat di Sorong dan Sorong Selatan https://telusuri.id/jalan-panjang-pengakuan-hutan-adat-di-sorong-dan-sorong-selatan/ https://telusuri.id/jalan-panjang-pengakuan-hutan-adat-di-sorong-dan-sorong-selatan/#respond Fri, 10 Jan 2025 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45253 Sebelum Indonesia berdiri sebagai republik, komunitas adat di Sorong dan Sorong Selatan telah menghuni serta merawat hutan dan laut dengan kearifan lokal secara turun-temurun. Jauh sebelum konsep konservasi dan zonasi muncul. Namun, pengakuan oleh negara...

The post Jalan Panjang Pengakuan Hutan Adat di Sorong dan Sorong Selatan appeared first on TelusuRI.

]]>
Sebelum Indonesia berdiri sebagai republik, komunitas adat di Sorong dan Sorong Selatan telah menghuni serta merawat hutan dan laut dengan kearifan lokal secara turun-temurun. Jauh sebelum konsep konservasi dan zonasi muncul. Namun, pengakuan oleh negara berjalan amat lambat.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda, Rifqy Faiza Rahman, dan Mauren Fitri


Jalan Panjang Pengakuan Hutan Adat di Sorong dan Sorong Selatan
Hamparan hutan tropis di kawasan ekowisata Malagufuk, Sorong. Di Papua, hutan dan segala isinya dilindungi dan disakralkan karena memenuhi hajat orang banyak, termasuk masyarakat adat/Deta Widyananda

“Semua tanah di Papua itu tanah adat!” tegas Onesimus Ebar lantang kepada tim Ekspedisi Arah Singgah Papua 2024. Pernyataan ini terlontar dari mulut Kepala Kantor EcoNusa Sorong Selatan itu saat membahas progres pengajuan legalitas hutan adat ke pemerintah pusat di Kampung Bariat, Distrik Konda. Adrianus Kemeray, kepala kampung, juga ikut dalam diskusi. Sejumlah warga turut merapat mendengarkan dan sesekali memberikan pandangan.

Ones, panggilan akrabnya, mengungkit peristiwa heboh empat tahun silam. Pada Oktober 2020, seluruh lapisan masyarakat berkumpul. Mulai dari ketua adat, organisasi kemasyarakatan dan keagamaan, relawan, sampai yayasan nirlaba seperti Greenpeace dan Pusaka Bentala Rakyat hadir di kantor Distrik Konda. Kepala distrik saat itu, Sopice Sawor menampung aspirasi masyarakat adat yang menggelar aksi demo menolak rencana perusahaan perkebunan kelapa sawit masuk ke wilayah mereka. Sopice, yang juga istri Ones, kemudian mendesak Pemerintah Kabupaten Sorong Selatan mencabut rekomendasi izin PT Anugerah Sakti Internusa (ASI). 

Izin usaha dan izin lokasi tersebut telah dikeluarkan Bupati Otto Ihalauw pada periode 2013–2014. Rinciannya, ASI mendapat lahan seluas 37.000 hektare di Distrik Teminabuan dan Distrik Konda. Selain itu, juga ada PT Persada Utama Agromulia (PUA) yang memperoleh izin lahan 25.000 hektare di Distrik Wayer dan Distrik Kais. Namun, sampai tahun 2020 belum ada aktivitas usaha apa pun yang dilakukan kedua perusahaan tersebut. 

Khusus di wilayah Distrik Konda, Sopice menekankan bahwa sedari awal masyarakat tidak pernah menyatakan setuju adanya investasi kelapa sawit. Sebab, masyarakat adat yang terdiri dari subsuku Genma, Afsya, Nakna, dan Yaben, yang tersebar di lima kampung (Manelek, Bariat, Nakna, Konda, dan Wamargege) sangat bergantung pada sagu, hasil hutan, dan perikanan. Jika perusahaan sawit masuk dan mengubah peruntukan lahan adat, maka akan sangat merugikan masyarakat.

Upaya penolakan masyarakat adat tersebut akhirnya berhasil meluluhkan pemerintah. Pada bulan Mei 2021, Bupati Sorong Selatan Samsudin Anggiluli mencabut izin PUA dan ASI. Di akhir tahun yang sama, Samsudin mendapat perlawanan. Kedua perusahaan sempat menggugat keputusan bupati ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura. Namun, setelah melalui proses persidangan, pada 23 Mei 2022 PTUN Jayapura memutuskan menolak gugatan PUA dan ASI. Maka, keputusan bupati tetap sah.

Pemkab memang akhirnya menerbitkan peraturan daerah pada 2022 dan keputusan bupati pada 2024, yang intinya mengakui dan melindungi 42 kelompok subsuku dan ratusan marga sebagai bagian masyarakat hukum adat dan wilayah adat di Sorong Selatan. Dan seperti Ones bilang, ini harus diapresiasi. Akan tetapi, masih ada jalan terjal dan proses berlipat-lipat demi pengakuan negara, melalui kementerian kehutanan. Perjalanan masyarakat adat di sana belum akan berhenti. 

Jalan Panjang Pengakuan Hutan Adat di Sorong dan Sorong Selatan
Diskusi soal hutan adat di Kampung Bariat, Sorong Selatan/Mauren Fitri

Konsep luhur dari leluhur dalam menjaga alam

Situasi serupa juga dialami oleh komunitas adat suku Moi di Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya. Bahkan regulasi pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat Moi sudah ketok palu menjadi peraturan daerah (perda) sejak 2017. Lima tahun lebih awal daripada Sorong Selatan. Menurut Torianus Kalami, tokoh Moi dan ketua Perkumpulan Generasi Malaumkarta (PGM), sampai saat ini belum ada pengakuan resmi dari negara terhadap masyarakat hukum adat dan wilayah adat suku Moi. 

“Kita tidak tahu kapan negara akan memberi pengakuan. Perjalanannya panjang sekali,” kata pria yang akrab disapa Kaka Tori itu. Ia mengaku sampai lupa berapa kali pihaknya melakukan audiensi lintas kementerian di Jakarta. Kepala Kampung Malaumkarta Jefri Mobalen termasuk salah seorang yang cukup rutin mendampingi mantan anggota DPRD Kabupaten Sorong 2014–2019 tersebut ke ibu kota.

Kaka Tori tidak mengada-ada. Lebih dari 20 tahun lalu, ia bersama Oktovianus Mobalen sudah mendirikan PGM, yang salah satu fungsinya mengadvokasi masyarakat suku Moi dalam hal pemetaan dan pengelolaan wilayah adat, serta konservasi. Selain itu, PGM juga mendorong pelestarian tradisi egek lewat Festival Egek yang berlangsung setahun sekali.

Sebagai informasi, egek merupakan konsep konservasi tradisional dan penerapan zonasi pemanfaatan sumber daya alam terbatas ala suku Moi. Egek seperti sasi, yang memberlakukan larangan aktivitas apa pun pada area-area tertentu yang telah disepakati secara adat. Kaka Tori mengatakan egek telah berkontribusi nyata pada perlindungan kawasan hutan, laut, dan keanekaragaman hayati di tanah Moi, khususnya Malaumkarta Raya.

Termasuk di dalamnya Malagufuk, kampung kecil di pedalaman Hutan Klasow. Sekitar 15 menit berkendara dilanjut satu jam berjalan kaki 3,5 kilometer menembus jembatan kayu panjang di tengah hutan tropis. Penerapan egek tetap berlaku sekalipun aktivitas ekowisata birdwatching cenderawasih kian menggeliat. Opyor Jhener Kalami, pemuda dan koordinator ekowisata Malagufuk, bersama masyarakat telah menentukan jalur-jalur trekking yang tidak mengganggu zona egek

Sedikit berbeda dengan suku Moi, komunitas adat di Distrik Konda memiliki konsep mendasar dalam menjaga harmonisasi manusia dan alam. Baik itu subsuku Gemna (sebagian besar di Kampung Manelek), Afsya (Kampung Bariat), Nakna (Kampung Nakna), serta Yaben yang merupakan penduduk mayoritas Kampung Konda dan Wamargege. Dalam proses pemetaan wilayah adat oleh lembaga Konservasi Indonesia pada 2022, masyarakat yang menjadi bagian suku besar Tehit memiliki dua tipe pendekatan “tempat penting” untuk mengatur tata ruang adat, yaitu tempat penting sebagai identitas dan sumber penghidupan.

Tempat penting sebagai identitas (jati diri) mencakup tempat asal mula, benteng perang, kuburan leluhur, tempat keramat, tempat sejarah, lokasi rumah adat (meliputi rumah pembayaran harta pernikahan, rumah inisiasi adat untuk pemuda), hingga sekolah adat. Lalu cakupan tempat penting sebagai sumber penghidupan antara lain dusun sagu, area hutan untuk berburu dan meramu, tempat memancing ikan, hingga sumber air. 

Ketika di Bariat, Adrianus melihat dua contoh tempat penting yang bisa diakses pendatang atau orang umum seperti kami. Pertama, hutan “Mrasa” yang dekat dengan makam ibunda Yulian Kareth (ketua adat Bariat). Kedua, dusun sagu atau hutan sagu, yang kala itu kami juga diajak menyaksikan proses pengolahan sagu di lahan milik keluarga Nikson Kemeray.

Baik Kaka Tori maupun Adrianus sependapat, bahwa segala tradisi yang mereka lakukan sekarang merupakan warisan kebudayaan leluhur yang penuh nilai dan filosofi mendalam. Kedua suku besar itu memiliki kesamaan, yaitu menganggap hutan serupa halnya dengan ibu atau mama. Sebuah prinsip kehidupan yang umumnya juga dipegang erat oleh orang-orang Papua, melekat sedari lahir sampai tutup usia. Bentuk penegasan diri, yang rela dipertahankan mati-matian dari ancaman kebijakan maupun investasi yang mengatasnamakan pemerataan pembangunan.

Kiri: Masyarakat suku Moi dengan kostum adat yang biasa dipakai saat menampilkan tarian adat dalam Festival Egek di Malaumkarta, Sorong. Kanan: Yulian Kareth, ketua adat subsuku Afsya dengan busana adat di salah satu tempat keramat di dalam hutan Kampung Bariat, Sorong Selatan/Deta Widyananda

Melawan agresi sawit dan kebijakan pangan pemerintah yang salah kaprah

Dalam sebuah obrolan malam di teras rumah Adrianus Kemeray, kami sempat bercerita sekilas pengalaman perjalanan darat Sorong–Teminabuan. Kami cerita juga soal fakta lokasi perkebunan kelapa sawit yang letaknya tersembunyi di dalam hutan, jauh dari pinggir jalan raya. Rumpun pohon sawit itu baru akan terlihat ketika melintasi jalan yang menanjak di atas perbukitan.

Mendengar itu, Daniel Meres menimpali, seperti meminta kami mengingat-ingat detail pemandangan atau sesuatu yang mungkin terlewatkan selama perjalanan. Pria yang tinggal persis di seberang rumah Adrianus tersebut bilang, “Coba anak lihat di sepanjang jalan dari Sorong ke Teminabuan. Mulai dari Aimas sampai Klamono. Banyak pondok-pondok kayu di pinggir jalan, toh? Itu adalah rumah buat 2–4 keluarga. Dulu itu hutan, sekarang habis karena sawit masuk.” Di Bariat, orang-orang tua memanggil kami ‘anak’, karena tidak terlalu hafal nama kami.

Kami pun terkesiap. Tak menyangka. Belum sempat menanggapi, Daniel kembali bersuara lantang, “Kalau sampai sawit masuk [Distrik] Konda, kita mau makan apa? Mau bikin rumah pakai apa? Bagaimana anak cucu kita nanti?”

Jalan Panjang Pengakuan Hutan Adat di Sorong dan Sorong Selatan
Salah satu ruas jalan antara Aimas-Klamono yang dulunya hutan lebat. Ada sejumlah perusahaan perkebunan kelapa sawit di sekitar sini dengan lokasi perkebunan agak tersembunyi/Rifqy Faiza Rahman

Di titik inilah kami semakin memahami pandangan hidup dan kedekatan orang-orang Papua terhadap hutan. Termasuk Kampung Bariat. Bisa dibilang, Tuhan telah menyediakan sumber daya alam yang melimpah dan dimanfaatkan secara gratis. Salah satunya adalah sagu, yang menjadi pangan pokok masyarakat, memiliki nilai ekonomi, bahkan berdampak positif mengurangi perubahan iklim lewat penyerapan karbon.

Saat di Bariat, kami diajak melihat salah satu tempat penting atau keramat di dalam hutan. Lokasinya berada di area makam ibunda Yulian Kareth, tokoh adat Bariat. Persis di sebelahnya ada pohon tua yang diberi nama “Mrasa”. Kami ingat sempat melihat sebuah pohon merbau (kayu besi) di yang tumbuh di dekat Mrasa. Dalam pandangan saya, ukuran batang tegaknya terbilang besar, sampai-sampai tidak akan mampu dipeluk satu orang. 

Tapi, lagi-lagi Daniel membuat kami terdiam dan merenung. “Kalau kayu besi yang di dekat Mrasa itu [ukurannya] masih kecil. Ada lagi yang jauh lebih besar, tapi sudah tumbang dulu sekali,” jelasnya. Saya tak sanggup membayangkan. 

Ia menambahkan, “Bayangkan sawit [akan] tebang habis hutan kita, berapa lama mau menanam kayu besi itu? [Pasti] lama sekali. Dari [masih] anak, sampai punya anak, sampai punya anak lagi saja itu masih tumbuh kecil.” Bibirnya mengulas senyum. Warga lain yang ikut nongkrong malam itu tertawa kecil. Ia sekilas tampak berseloroh, tapi sesungguhnya getir. 

  • Jalan Panjang Pengakuan Hutan Adat di Sorong dan Sorong Selatan
  • Jalan Panjang Pengakuan Hutan Adat di Sorong dan Sorong Selatan

Di tempat terpisah, Kepala Kampung Malaumkarta Jefri Mobalen menekankan pentingnya legalitas kuat dari pemerintah pusat atas kepemilikan hutan adat. Pengakuan negara akan melegitimasi upaya-upaya kehidupan masyarakat berbasis adat, yang telah nyata mampu menjaga warisan hutan dan seisinya berabad-abad.

Sebagai orang yang duduk di struktural pemerintahan, Jefri mafhum kalau pembangunan pun juga sama pentingnya. Terutama pengembangan infrastruktur, yang fungsinya memudahkan mobilitas masyarakat menjangkau kebutuhan-kebutuhan dasar, seperti pendidikan, kesehatan, dan pasar tradisional. Namun, ia mewanti-wanti para pemangku kebijakan agar tetap memerhatikan kelestarian hutan dan keberadaan masyarakat adat. Ada kekhawatiran jika mereka tersisihkan dari rencana pengembangan modal industri ekstraktif, seperti usaha pertambangan atau perkebunan kelapa sawit.

“Kami sebagai masyarakat adat harus melestarikan hutan adat dan menjaga [dari] ancaman investasi. Karena ketika ancaman investasi itu masuk, maka kita tidak lagi dikenal sebagai pemilik hak wilayah adat. Investasi pasti masuk dengan berbagai cara untuk merusak hutan adat [kami],” tutur Jefri. 

Ia pun terang-terangan mengakui, potensi investasi ekstraktif yang ingin merebut tanah ulayat tersebut akan selalu ada sampai kapan pun. Sekalipun payung hukum tertinggi dari negara sudah dalam genggaman. Tidak ada yang pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan, lebih-lebih stabilitas politik yang masih jauh dari angan, yang selalu menjadi lahan basah para elite di kalangan pemerintahan maupun pengusaha.

Jalan Panjang Pengakuan Hutan Adat di Sorong dan Sorong Selatan
Cenderawasih kuning-kecil bertengger di pepohonan Hutan Klasow, Malagufuk, Sorong. Cenderawasih yang nyaman singgah di hutan memberi manfaat ekonomi melalui ekowisata. Alih fungsi hutan menjadi lahan perkebunan atau pertambangan yang merusak membuat alam kehilangan keseimbangan dan masyarakat adat kehilangan tempat tinggal/Deta Widyananda

Tengok saja kabar paling hangat yang terjadi sejak tahun lalu di Kabupaten Merauke, Papua Selatan. Dua proyek strategis nasional dengan skala gila-gilaan sedang berlangsung di kabupaten terluas di Indonesia tersebut. Pertama, membangun perkebunan tebu untuk swasembada gula dan pabrik bioetanol, yang diinisiasi Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi) pada 19 April 2024. Kedua, proyek cetak sawah sebagai lumbung pangan baru, yang diinisiasi Prabowo Subianto—saat itu Menteri Pertahanan dan menjadi presiden terpilih—pada tahun yang sama. 

Kedua proyek tersebut ditargetkan akan menempati lahan seluas 2,29 juta hektare yang disiapkan Pemerintah Provinsi Papua Selatan dan Pemerintah Kabupaten Merauke. Itu sama dengan separuh dari total daratan Merauke, atau 70 kali lipat luas Jakarta. Mencaplok belasan distrik terdampak, mengganggu ruang hidup puluhan ribu penduduk, serta melenyapkan jutaan hektare tanah ulayat suku Marind-Anim—komunitas adat terbesar Merauke. Jokowi dan Prabowo seperti tidak pernah belajar pada proyek serupa zaman Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) yang gagal. Alih-alih diperbaiki, justru hampir 1,3 juta hektare bekas lahan MIFEE terbengkalai dan sebagian dimanfaatkan puluhan korporasi ekstraktif yang semula termasuk dalam konsorsium penggarap proyek.

Akibatnya, Merauke mengalami laju deforestasi terbesar di Tanah Papua. Auriga Nusantara mencatat, selama 2011–2019 sekitar 123.000 hektare hutan—baik itu hutan alam maupun nonhutan alam—lenyap seiring izin pelepasan kawasan hutan (PKH) meluncur ke sejumlah perusahaan atau mendukung program pemerintah. Di periode yang sama, total laju deforestasi di Sorong dan Sorong Selatan hanya seperempat Merauke. Namun, tidak menutup kemungkinan dua kabupaten bertetangga di Papua Barat Daya itu mengalami nasib serupa. 

Masa depan hutan primer Indonesia, khususnya Papua, terancam suram menyusul pernyataan kontroversial Presiden Prabowo Subianto akhir tahun lalu. Di depan peserta Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Bappenas (30/12/2024), Prabowo mengatakan perlunya menambah lahan kelapa sawit di Indonesia. Ia menganggap sawit merupakan komoditas strategis dan aset negara yang tidak akan menyebabkan deforestasi. Dari sudut pandangnya, sawit dianggap setara dengan pohon-pohon tropis karena memiliki daun dan menyerap karbondioksida.

Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni ikut memperparah situasi. Dalam pernyataannya pada 3 Januari 2025 lalu, pihaknya bermaksud membuka 20 juta hektare hutan di seluruh provinsi di Indonesia untuk mendukung program lumbung pangan Kementerian Pertanian dan ESDM. Angka tersebut setara hampir dua kali luas Pulau Jawa, atau lebih dari separuh luas hutan Papua. 

Jalan Panjang Pengakuan Hutan Adat di Sorong dan Sorong Selatan
Hasil pembukaan hutan besar-besaran untuk perkebunan kelapa sawit di Nimbokrang, Jayapura. Situasi serupa yang jamak terjadi di beberapa distrik di Sorong maupun Sorong Selatan/Deta Widyananda

Pesan untuk negara: Papua bukan tanah kosong

Langkah-langkah sembrono pemerintah tersebut layak dikritik keras dan harus dilawan, karena seolah beranggapan kehilangan satu pohon tak akan berarti apa-apa. Padahal, deforestasi tidak hanya mengancam keanekaragaman hayati, tetapi juga menggusur ruang hidup masyarakat adat yang tinggal di kawasan hutan. Sebab, mengutip kata Daniel, kita tidak akan pernah bisa memulihkan hutan dan seisinya—apalagi ekosistem dan rantai makanannya—seperti sediakala. 

Di sisi lain, pernyataan pemerintah juga sangat bertentangan dengan komitmen Indonesia sebagai anggota Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD). Sidang pleno terakhir The 2024 United Nations Biodiversity Conference of the Parties (COP16) pada 1 November lalu, menuntut setiap negara mengakui peran masyarakat adat dan komunitas lokal dalam konservasi keanekaragaman hayati dan pemanfaatan sumber daya alam berkelanjutan.

Dalam rilis resminya, seperti dikutip Tempo (3/1/2025), peneliti The Indonesian Institute Christina Clarissa Intania mengingatkan negara harus hadir dan menghormati keberadaan serta hak-hak masyarakat adat. Salah satu caranya dengan segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Hukum Adat yang mandek di meja kerja DPR RI selama 14 tahun. Jika tidak segera disahkan, Christina menyebut akan banyak kelangsungan hidup masyarakat adat yang terancam karena tak kunjung mendapat pengakuan.

Berdasarkan data Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) pada 9 Agustus 2022, sebanyak 1.119 peta wilayah adat dengan cakupan lahan seluas 20,7 juta hektare telah terdaftar. Namun, dari jumlah itu baru 3,1 juta hektar yang memperoleh pengakuan pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota.

Di tingkat nasional, lebih sedikit lagi. Di Papua saja, penetapan hutan adat pertama oleh pemerintah pusat baru terjadi di dua daerah, yaitu Kabupaten Jayapura (enam wilayah hutan adat dengan total 24.582,9 hektare) dan Kabupaten Teluk Bintuni (satu wilayah hutan adat seluas 16.299 hektare). Keputusan itu diserahkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) VI pada 24 Oktober 2022 di Stadion Barnabas Youwe, Jayapura.

Tentu saja para tokoh masyarakat adat dan sejumlah lembaga terkait di Sorong maupun Sorong Selatan ingin mengikuti jejak Jayapura dan Teluk Bintuni. Di Bariat, Adrianus sudah menyatakan sikap, bahwa masyarakat Afsya tidak akan memberikan peluang sekecil apa pun kepada perusahaan kelapa sawit untuk masuk ke wilayahnya. 

“Kami minta supaya pemerintah jangan menjadikan hutan kami sebagai salah satu objek [eksploitasi] apa pun untuk [menguntungkan] kehidupan mereka. Terutama kepada rekan-rekan kami orang Papua, yang jadi bupati, yang jadi camat, yang jadi apa pun, [juga] dinas-dinas terkait,” tegas suami Dorcila Gemnasi itu, “kalau orang Papua sudah sengaja menjual tempat (hutan) kami, berarti dia lupa diri sebagai anak adat.”

Jalan Panjang Pengakuan Hutan Adat di Sorong dan Sorong Selatan
Adrianus Kemeray memanggul pelepah sagu di hutan adat Kampung Bariat/Deta Widyananda

Sampai sekarang, masyarakat subsuku Afsya di Bariat bersama Yayasan Pusaka Bentala Rakyat masih memperjuangkan kampung dan hutan adat 3.307,717 ha agar mendapat pengakuan negara. Embusan napas perjuangan yang turut ditempuh oleh kampung-kampung lain di Papua Barat Daya. Lembaga-lembaga nirlaba, seperti EcoNusa dan Greenpeace juga berperan memberi pendampingan pemetaan hingga advokasi untuk menjembatani aspirasi masyarakat dengan pemerintah.

Selain urusan administrasi dan advokasi, gerakan sosial pun juga bagian dari upaya melawan keserakahan. Bagaimanapun bentuknya. Seperti halnya suku Awyu di Boven Digoel, Papua Selatan, yang memasang banyak salib merah dari kayu di hutan-hutan adat mereka yang terancam serbuan kelapa sawit. Atau, gerilya Mama Yasinta Moiwend dan masyarakat adat Marind-Anim terdampak food estate di Merauke, datang langsung ke Jakarta dengan berlumur lumpur putih (poo) di sekujur tubuh sebagai bentuk duka.

Di tengah upaya perebutan ruang hidup masyarakat adat oleh negara maupun swasta, pengakuan wilayah hutan adat semestinya jadi keniscayaan. Segala perjuangan maupun perlawanan untuk itu harus jadi berarti. Papua memang sangat jauh dari Jakarta, dari ibu kota negara. Tapi, itu bukan berarti jauh dari pantauan. ‘Papua bukan tanah kosong’ itu bukan omong kosong. 

Seperti halnya adat yang melekat pada sendi-sendi kehidupan masyarakat, perjuangan untuk melestarikan alam dan kebudayaan adalah perjalanan yang tidak akan pernah selesai. Tidak akan mudah, tetapi belum tentu mustahil. (*)


Foto sampul:
Yulian Kareth, ketua adat subsuku Afsya Kampung Bariat, Sorong Selatan/Deta Widyananda

Pada Agustus–September 2024, tim TelusuRI mengunjungi Sorong dan Sorong Selatan di Papua Barat Daya, serta Jayapura di Papua, dalam ekspedisi Arah Singgah: Suara-suara dari Timur Indonesia. Laporan perjalanannya dapat Anda ikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Jalan Panjang Pengakuan Hutan Adat di Sorong dan Sorong Selatan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/jalan-panjang-pengakuan-hutan-adat-di-sorong-dan-sorong-selatan/feed/ 0 45253
Mendambakan Kedaulatan Udang Sorong Selatan https://telusuri.id/mendambakan-kedaulatan-udang-sorong-selatan/ https://telusuri.id/mendambakan-kedaulatan-udang-sorong-selatan/#respond Mon, 06 Jan 2025 09:00:04 +0000 https://telusuri.id/?p=45082 Komunitas nelayan di Kampung Konda dan Wamargege terus berjuang demi mendapatkan dua aspek pengakuan: wilayah hutan adat dan pusat penghasil udang banana. Butuh perjalanan panjang dan sinergi multipihak untuk mencapainya. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: Deta...

The post Mendambakan Kedaulatan Udang Sorong Selatan appeared first on TelusuRI.

]]>
Komunitas nelayan di Kampung Konda dan Wamargege terus berjuang demi mendapatkan dua aspek pengakuan: wilayah hutan adat dan pusat penghasil udang banana. Butuh perjalanan panjang dan sinergi multipihak untuk mencapainya.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda & Mauren Fitri


Mendambakan Kedaulatan Udang Sorong Selatan
Kampung Konda dan Wamargege terletak berdampingan di pinggiran Sungai Kaibus/Deta Widyananda

Woi! Ada udang, kah?” seru Piter Meres (38) lantang pada sekelompok pria di atas perahu bermesin tempel Johnson yang melambat. Orang-orang itu adalah nelayan yang baru pulang melaut sejak pagi. Sesaat lagi mereka akan merapat ke dermaga milik Misdam, warga keturunan Bone-Konda yang membuka usaha pengepulan dan rumah timbang udang.

Lokasinya tidak jauh dari tempat kami menyapa mereka, di rumah timbang udang milik Koperasi Fgan Fen Sisi. Koperasi ini dibangun atas inisiatif Yayasan EcoNusa, organisasi nirlaba yang bergerak dalam kegiatan pengelolaan sumber daya alam dan berkelanjutan berbasis masyarakat dengan fokus wilayah di kawasan Indonesia Timur. Dalam operasionalnya, EcoNusa menggandeng PT Ekosistem Bumi Lestari (KOBUMI) sebagai pembeli utama udang hasil tangkapan nelayan anggota koperasi. KOBUMI adalah perusahaan gabungan dari koperasi-koperasi milik masyarakat adat binaan EcoNusa di Papua dan Maluku dengan konsep bisnis berkelanjutan, untuk meningkatkan daya saing komoditas lokal dan kesejahteraan masyarakat adat.

Bangunan berbahan kayu nani laut dan merbau itu didirikan dengan model rumah panggung di tubir Sungai Kaibus. Terdapat dua bilik kamar—salah satunya gudang penyimpanan alat-alat melaut—dan teras luas terbuka untuk ruang tamu, lengkap dengan dapur kecil serta tiga chest freezer (kulkas pendingin dan pembeku ikan). Kami menginap di “basecamp” tersebut beberapa hari saat liputan ekspedisi Arah Singgah Papua 2024 di Kampung Konda dan Kampung Wamargege. 

Dua kampung dengan jumlah populasi 1.500-an penduduk (BPS Sorong Selatan, 2022) tersebut memang bersebelahan. Membentang kurang lebih satu kilometer di pinggir aliran Sungai Kaibus. Jaraknya sekitar 15 km dari Bariat, terletak di ujung jalan penghubung Teminabuan–Konda yang penuh lubang. Untuk ke sini, ada dua opsi. Pertama, naik motor atau mobil dengan estimasi jarak 25 km dan waktu tempuh normal 1 jam dari pusat Kota Teminabuan. Kedua, seperti kata Piter, bisa naik perahu atau speedboat dari Pelabuhan Teminabuan dengan waktu tempuh sedikit lebih cepat.

Mendambakan Kedaulatan Udang Sorong Selatan
Dua orang nelayan yang baru pulang melaut dan berhasil membawa hasil tangkapan udang banana/Deta Widyananda

Jalan kecil yang membentang lurus dari gereja lawas Migdal Eder menjadi garis batas wilayah administrasi kampung. Konda di timur, Wamargege di barat. Rata-rata masyarakat adat yang menghuni kedua kampung tersebut berasal dari subsuku Yaben, bagian dari suku besar Tehit. Sebagian lagi merupakan subsuku Nakna dan Afsya. Selain tetap memanfaatkan kawasan hutan untuk berkebun atau berburu, kebanyakan bekerja sebagai nelayan. 

Udang menjadi komoditas laut yang paling diandalkan di sini, terutama udang banana. Melebihi lobster, kepiting bakau, atau ikan-ikan lainnya—baik kelompok demersal (hidup di dasar perairan) maupun pelagis (hidup dekat permukaan air). Udang banana (Penaeus merguiensis) atau banana shrimp adalah nama di pasar internasional. Dikenal juga dengan sebutan udang putih atau udang jerbung. Sala dkk (2021) menyebut lebih dari 50–70 persen hasil tangkapan masyarakat Konda dan Wamargege berupa udang banana. Bahkan mereka masih menjaga tradisi berupa ritual adat pemanggilan udang.

Sore itu (20/8/2024) kami memang menanti-nanti bagaimana bentuk udang banana yang jadi andalan masyarakat setempat itu. Walaupun tidak berharap banyak. Sebab, kami datang ke sini bulan Agustus. Kata Piter, ini bulan-bulan musim ombak dan angin kencang. Penduduk setempat menyebutnya angin selatan. Jarang nelayan yang berani melaut, terutama sampai ke laut lepas. Bulan ini juga bukan merupakan musim puncak udang banana. 

Untuk itulah Onesimus Ebar atau akrab disapa Ones (37), koordinator program EcoNusa Sorong Selatan sekaligus ketua koperasi, meliburkan sementara aktivitas ekonomi di Fgan Fen Sisi. Aktivitas timbang udang masih berlangsung terbatas di segelintir pengepul lokal saja, seperti di tempat Misdam. Di sana kami membeli dua kilogram udang untuk dimasak ramai-ramai. Marcelina, ibu satu anak yang tinggal di rumah seberang koperasi, didapuk sebagai juru masak oleh Ones.

  • Mendambakan Kedaulatan Udang Sorong Selatan
  • Mendambakan Kedaulatan Udang Sorong Selatan
  • Mendambakan Kedaulatan Udang Sorong Selatan

Udang Konda ingin lebih dikenal dunia lewat koperasi

Kampung Konda dan Wamargege memiliki salah satu kawasan ekosistem mangrove terbesar di Sorong Selatan. Terbentuk oleh alam selama berabad-abad. Ekosistem ini menjadi bagian dari hutan mangrove di DAS Kaibus, salah satu dari 14 DAS yang menyusun zona Green Belt (sabuk hijau) Sorong Selatan dengan luas tutupan mencapai 76.171 hektare (Proyek SEA USAID, 2018). Seperti halnya di distrik pesisir lain—Saifi, Kokoda, dan Inanwatan—habitat primer di Konda didominasi oleh jenis Rhizophora apiculata. Tegakan pohonnya bisa mencapai 30–40 meter.

Hutan mangrove di sepanjang aliran Sungai Kaibus tersebut menjadi rumah besar bagi berbagai satwa liar, mulai dari kepiting bakau, buaya muara, aneka burung, dan termasuk udang putih atau udang banana—komoditas dominan. Meski demikian, nelayan Konda dan Wamargege umumnya lebih memilih lokasi muara atau laut untuk mencari udang daripada daerah sungai maupun teluk (woronggey). Sebab, potensi hasil tangkapannya lebih besar. Mulut laut selatan itu terlihat cukup jelas dari kampung.

Ada dua periode puncak musim penangkapan udang, yaitu bulan-bulan antara Maret–Mei atau Oktober–Desember. Diperkirakan terdapat ratusan ton udang banana yang bisa dihasilkan saat musim puncak tersebut. Seblum Serio (30), anggota Koperasi Fgan Fen Sisi, mengungkap bahwa dalam satu perahu Johnson 15 PK berisi dua orang nelayan bisa mendapatkan rata-rata 50–100 kilogram tangkapan udang banana per hari. “Biasanya kami pergi melaut itu jam delapan pagi, pulang jam 5 sore,” katanya.

Dalam sekali melaut, untuk mesin Johnson, nelayan membutuhkan 20 liter minyak (bensin) dan seliter oli mesin yang cukup untuk pergi-pulang. Di Konda, harga bensin Rp15.000 per liter dan oli Rp50.000 per liter. Kalau ingin hemat pakai perahu jenis jolor, karena menggunakan solar dengan harga Rp5.000 per liter. 

Ketika hasil tangkapan berlimpah, rumah-rumah timbang akan sibuk. Baik yang dikelola masyarakat maupun koperasi. Rata-rata rumah timbang akan menghargai sebesar Rp60.000 per kilogram udang banana. Seblum menambahkan, seorang nelayan minimal harus dapat 10 kilogram ke atas jika ingin mendapatkan pemasukan bersih setidaknya Rp50-100 ribu. Pada dasarnya nelayan berhak memilih dan akan mencari rumah timbang yang bisa membeli harga tinggi. Namun, ada perbedaan pengelolaan yang mendasar di antara keduanya.

Jika memilih menimbang di pengepul lokal seperti Misdam, ada imbal balik yang harus dilakukan nelayan. Nelayan mesti sekalian membeli bahan bakar minyak (BBM) di tempatnya. Misdam, yang selalu dibantu oleh Amir, adiknya, juga menyediakan persewaan jaring untuk nelayan. Maka setiap nelayan menjual udang ke Misdam, ada potongan sekitar Rp100 ribu untuk sewa alat tangkap tersebut.

Itu belum ditambah dengan potongan-potongan lain yang timbul karena adanya utang nelayan kepada Misdam. Begitu pun terjadi di pengepul-pengepul lain. Utang tersebut berupa modal keperluan melaut, seperti BBM, jaring, hingga bekal mencakup gula, kopi, dan rokok. Tak jarang seorang nelayan pulang ke rumah dengan tangan kosong karena hasil tangkapan hari itu belum cukup untuk melunasi utang. Yusup Sianggo (39), sekretaris koperasi, mengkonfirmasi ini.

Selama dua dekade terakhir, meski udang banana sudah menjadi produk unggulan, sebagian nelayan memang masih terkendala untuk mencapai taraf ekonomi yang diharapkan. Mereka pergi melaut demi bisa menutupi utang-utang yang kerap menumpuk karena hasil tangkapan kurang memuaskan. Bisa karena cuaca, keterbatasan alat tangkap, bahkan permainan pengepul di Teminabuan–Sorong atau perusahaan di tingkat atas yang terkadang mempermainkan harga. Kerap terjadi situasi yang “dikondisikan”, seperti tidak ada pembeli karena saking berlimpahnya panen udang. Akibatnya, hasil tangkapan nelayan tidak terserap secara adil.

Mengisi waktu dengan memancing ikan di kantor Koperasi Fgan Fen Sisi. Koperasi ini diharapkan bisa membantu perekonomian masyarakat Konda-Wamargege/Deta Widyananda

Untuk itulah Koperasi Fgan Fen Sisi berusaha hadir membantu masyarakat. Menurut Yusup, keberadaan koperasi untuk membantu nelayan agar dapat kepastian ekonomi dari udang banana maupun tangkapan ikan lainnya. Koperasi melalui KOBUMI akan mencarikan pasar atau pembeli udang banana hasil tangkapan nelayan. Selain membantu menyediakan alat tangkap jaring dan BBM dengan biaya terjangkau, koperasi juga memberlakukan sistem tabungan untuk nelayan. Tujuannya agar nelayan tidak terbebani dengan pengeluaran rutin atau ikatan utang setiap melaut.

“Misalnya, ada nelayan dapat 20 kg udang. Koperasi beli, tapi ada [hasil] 2–3 kg yang disisihkan untuk ditabung. Bendahara akan menyimpan uang dan mencatatnya dalam buku rekening yang dibawa oleh nelayan,” jelas Yusup. Sisa uang penjualan yang tidak ditabung bisa dibawa pulang nelayan. Sementara tabungan di koperasi tersebut, selain untuk simpanan mencukupi kebutuhan keluarga, juga bisa menjadi modal nelayan untuk melaut lagi di hari-hari berikutnya.

Kami melihat satu hal yang menarik perhatian di rumah timbang Misdam. Sebuah kondisi yang lazim berlaku di Konda dan Wamargege. Ternyata, setelah hasil tangkapan nelayan ditimbang dan dibeli, bagian kepala udang dibuang begitu saja. Sebab, sejauh ini, menurut Misdam, permintaan industri pengolahan udang di Kota Sorong tidak terlalu membutuhkan kepala udang. Sisanya disimpan dalam kotak es untuk selanjutnya disetor kepada pengepul di Teminabuan. Umumnya masyarakat belum terlalu mengetahui manfaat dari kepala udang.

Dari Teminabuan, udang-udang tanpa kepala itu akan dibawa ke Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI), Jembatan Puri, Kota Sorong. Pabrik-pabrik pengolahan ikan di sana akan memberi lokasi usahanya (Sorong) pada label kemasan. Dari ujung barat Papua itu, udang-udang Sorong Selatan berkelana sampai ke Jawa, mendarat di Surabaya hingga Jakarta. Setibanya di destinasi tujuan, orang-orang Jawa akan lebih mengenalnya sebagai udang Sorong daripada udang Sorong Selatan.

Kenyataan tersebut disayangkan sekaligus diterima sebagai kenyataan oleh Yusup dan nelayan-nelayan di kampung. Ia berharap di masa depan kedua kampung ini bisa berdaulat dalam mengelola hasil tangkapan udang banana di tanah sendiri. Yang jelas, seperti kata Yusup, orang-orang Konda dan Wamargege di Sorong Selatan ingin lebih dikenal sebagai penghasil udang banana daripada Sorong.

Senada dengan Yusup, Ones juga mengungkap peran penting lain dari koperasi. “Pada prinsipnya koperasi akan mendorong bagaimana udang produksi asli Konda ini bisa terkenal di tempat lain. Mungkin di Jakarta, atau daerah Jawa pada umumnya,” jelas suami Sopice Sawor, mantan kepala Distrik Konda itu. “bagaimana kita bisa mempertahankan nama Konda itu sampai di Sorong? Bahkan diekspor ke luar [negeri]?”

  • Mendambakan Kedaulatan Udang Sorong Selatan
  • Mendambakan Kedaulatan Udang Sorong Selatan

Kaldu udang Mama Yulita berharap dukungan pemerintah

Di sisi lain, inisiatif ekonomi berbasis masyarakat datang dari Yulita Sawor (45). Sejak tahun 2022, perempuan Konda tersebut membuat kaldu udang di dapur rumahnya. Priskila Sawor, istri Ones yang juga mantan kepala Distrik Bariat, juga menempati rumah ini.

Ide pembuatan kaldu udang berasal dari keresahan Yulita terhadap banyaknya bagian kepala udang banana yang terbuang begitu saja di rumah timbang.  Kecuali untuk konsumsi sendiri, nelayan akan menyimpan utuh seluruh bagian udang untuk dimasak. Maka ketika EcoNusa datang untuk memberi pendampingan pemberdayaan ekonomi lewat Koperasi Fgan Fen Sisi, Yulita menyambut hangat. Bantuan organisasi nonprofit itu membuat Yulita memiliki produk kaldu udang dengan kemasan yang lebih baik. Nama “Saipo” ia pilih sebagai merek usaha yang tercantum dalam label kemasan. “Saipo” dalam bahasa lokal artinya udang. 

Dari satu kilogram kepala udang banana segar, Yulita bisa memproduksi 500 gram tepung atau kaldu udang. Biasanya ada dua mama di sekitar rumah yang ikut membantunya, yaitu Dorsea Sawor (70) dan Miriam Serio (55). Namun, itu pun dalam satu hari Yulita hanya mampu mengolah maksimal enam kilogram bahan baku kepala udang. 

Mendambakan Kedaulatan Udang Sorong Selatan
Contoh kemasan kaldu udang produksi Mama Yulita yang didukung EcoNusa/Deta Widyananda

“Tidak bisa lebih karena [produksinya] memakan waktu lama. Butuh kesabaran dan kita harus istirahat juga,” kata Yulita. Jika suaminya, Abraham, ikut membantu, kapasitas produksinya bertambah empat kilogram lebih banyak. 

Jika dimasukkan dalam botol kemasan 100 gram, maka terdapat lima botol dengan harga jual Rp25.000 per botol. Syarat estimasi produksi sebanyak itu hanya satu, bahan baku udang harus segar dan proses pengolahannya dilakukan pada satu hari yang sama. Sebab, Yulita tidak menggunakan pengawet, sehingga Yulita hanya membuat kaldu udang berdasarkan pesanan. 

Saat ini, meski sudah mengantongi sertifikat izin Pangan Industri Rumah Tangga (PIRT) dari dinas kesehatan kabupaten, Yulita mengaku masih mengalami sejumlah kesulitan untuk mengembangkan usahanya. Selain pemasaran yang belum stabil, Yulita menilai dukungan pemerintah untuk industri rumah tangga di kampung pedalaman belum maksimal. Padahal, ia beberapa kali mewakili Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UKM Sorong Selatan ke acara-acara bazar atau pameran di luar kota.

“Selama ini pemerintah tahu saya membuat kaldu, tapi tidak pernah ada perhatian [lebih lanjut] dari mereka untuk kami,” keluh Yulita. Ia berharap bisa mendapat akses permodalan untuk memperbarui dan meningkatkan kapasitas alat-alat produksinya, serta jejaring pemasaran yang menjamin stabilitas pendapatan Yulita dan tim produksi.

Proses pengupasan kepala udang sebagai bahan baku pembuatan kaldu udang di rumah Mama Yulita/Deta Widyananda

Tidak hanya kaldu saja yang Yulita bisa buat, tetapi juga kerupuk udang dan bakso udang. Dua produk olahan ini sudah mampu ia hasilkan sejak sedekade lalu. Meski, lagi-lagi produksinya hanya berdasarkan pesanan karena keterbatasan alat dan tenaga kerja.

Kesulitan lain yang Yulita alami adalah faktor iklim, yang sangat berpengaruh pada pasokan bahan baku. Jika musim angin kencang atau gelombang besar, seperti saat kami datang ke sana, tidak banyak nelayan yang turun melaut. Kalaupun ada yang melaut, tidak banyak udang yang didapat. Akibatnya, hasil tangkapan terbatas. Kalaupun Yulita harus pergi melaut sendiri, itu juga bergantung dengan ketersediaan perahu, bahan bakar, dan risiko keselamatan yang harus ia tanggung. 

Namun, di tengah banyaknya tantangan yang dihadapi, Yulita sejatinya masih belum putus harapan. Ia bermimpi kelak memiliki perusahaan kaldu udang sendiri, meski dalam skala industri rumah tangga. Ia percaya dengan masa depan Saipo, selama ada sinergi dukungan pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat Konda-Wamargege itu sendiri dalam menjaga lingkungan habitat udang banana. 

Mendambakan Kedaulatan Udang Sorong Selatan
Mama Yulita (paling kanan) bersama Dorsea Sawor (tengah) dan Miriam Serio. Ketiga mama produktif ini berharap mendapat dukungan pemerintah untuk meningkatkan kualitas dan kapasitas produksi kaldu udang khas Konda/Deta Widyananda

Mendesak pengakuan hutan adat

Mesin perahu dimatikan. Hanya terdengar kecipak air sungai yang membentur dinding perahu. Gelombangnya kemudian menerjang akar-akar bakau yang mencuat di atas permukaan air. 

Dalam kesunyian hutan mangrove berusia tua itu, dari atas perahu Yohan Meres (70), tokoh adat Kampung Konda, bersenandung dalam bahasa lokal. Lagu yang dinyanyikan ibunya semasa ia kecil. Ia mengenang masa anak-anak saat diajak ibunya berlayar ke laut. Masa-masa saat alam masih asri, bulan bersinar terang, dan laut banyak ikan. Sesekali suaranya tertahan, tangannya menyeka air mata yang diiringi isak. Terbayang keindahan masa lalunya yang bersahaja.

Meski zaman sekarang berbeda, Yohan mengharapkan alam di Konda tetap terjaga seterusnya. Tak terkecuali ribuan hutan mangrove di perairan Sungai Kaibus yang selalu jadi pemandangan sehari-hari masyarakat Konda-Wamargege. Ia bahkan menyebut pohon-pohon bakau itu pun punya hak adat, sebab “mereka” sudah tinggal lama dan menyatu dengan alam di sekitarnya. Hak adat yang tidak hanya berlaku bagi ekosistem di laut saja, tetapi juga di darat. 

“Jadi, kalau ada pengusaha-pengusaha yang datang untuk [penebangan] kayu, memang kami masyarakat ini menolak itu,” tegas pria berdarah Nakna itu. Penolakan masyarakat juga berlaku untuk perusahaan perkebunan kelapa sawit maupun industri ekstraktif lainnya.

Mendambakan Kedaulatan Udang Sorong Selatan
Yohan Meres, sesepuh adat Kampung Konda mengenakan ikat kepala adat khas Kampung Konda, difoto di tengah hutan mangrove. Sikapnya tegas memperjuangkan pengakuan hutan adat dan menolak segala investasi kapitalisme apa pun masuk ke kampungnya/Deta Widyananda

Ones pun menguatkan sikap Yohan. Menurutnya, dari lima sistem perhutanan sosial yang ditetapkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Hutan Adat (HA) merupakan skema terbaik dan berkekuatan hukum paling kuat. Terutama di kawasan yang memiliki komunitas adat dan penerapan tanah ulayat seperti Papua. Sebab, hanya masyarakat adat yang lebih paham tentang cara menjaga hutan, sungai, dan lautan yang ada di wilayah mereka.

Begitu pun dengan Konda-Wamargege. Kepastian legalitas surat keputusan (SK) pengakuan hutan adat, yang nantinya dikeluarkan oleh pemerintah, akan menjamin kelangsungan ekosistem sumber daya perairan dua kampung itu. Keputusan Bupati Sorong Selatan pada Juni 2024, yang mengakui keberadaan masyarakat hukum adat dan wilayah hutan adat di Distrik Konda, harus dikawal hingga mendapat kepastian hukum mengikat di tingkat pemerintah pusat.

Jika mengacu pada riset Irwanto dkk dalam Proyek SEA USAID (2018), bisa jadi Distrik Konda jadi benteng terakhir hutan mangrove Sorong Selatan. Sebab, beberapa daerah di Kais, Metamani, Saifi, dan Kokoda telah terjadi penebangan hutan mangrove untuk keperluan akses perkebunan kelapa sawit maupun eksplorasi minyak dan gas. Dampaknya rawan terjadi konflik tenurial antarmarga karena penyempitan lahan adat.

Mendambakan Kedaulatan Udang Sorong Selatan
Pucuk-pucuk pohon bakau pembentuk ekosistem hutan mangrove di Sungai Kaibus/Deta Widyananda

Di satu sisi, harapan Yusup dan Ones agar udang Konda dan Wamargege lebih dikenal luas masih memiliki prospek cerah. Kelestarian ekosistem yang menjadi syarat dasar keberlanjutan hingga kini masih dijaga para nelayan. Kata Ones, jika sedang menangkap ikan, udang, atau kepiting, lalu menemukan ada yang masih bertelur, nelayan akan mengembalikan lagi ke laut. Tujuannya membiarkan satwa bertelur dan tumbuh ideal terlebih dahulu. Bahkan jika ada ikan yang tidak diperlukan lalu terjaring tidak sengaja, selama masih hidup, akan dilepaskan juga. Hal ini dilakukan agar menjaga ketersediaan satwa di laut secara berkelanjutan.

Kondisi itu sejalan dengan temuan menarik dari beberapa penelitian metode penangkapan ikan nelayan-nelayan di Sorong Selatan. Ratna (2019) mengungkapkan, indikasi frekuensi pelanggaran atau penangkapan destruktif kurang dari lima kasus per tahun. Sementara Sala dkk (2021) menyebut bahwa upaya penangkapan ikan oleh nelayan masih cukup jauh di bawah batas jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB). 

Maka, selanjutnya melestarikan kemasyhuran udang banana Konda-Wamargege tergantung pada kerja sama warganya. Seperti tersirat dari nama koperasi, “Fgan Fen Sisi” yang bermakna “berjalan sama-sama”, mengindikasikan ajakan untuk sejalan dalam harapan dan kesejahteraan. Melestarikan warisan dan pesan luhur dari leluhur adat.

Dampaknya, masyarakat bisa memanfaatkan hasil alam secukupnya untuk ekonomi dan kebutuhan rumah tangga; tanpa terusik ancaman investasi ekstraktif atau gangguan apa pun. Tidak terkecuali hutan mangrove tua dan kawasan laut yang menjadi ujung Sungai Kaibus itu. Rumah bagi kepiting, ikan, dan udang banana yang harus terus dijaga. (*)


Referensi:

Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia dan Proyek Sustainable Ecosystems Advanced (SEA) USAID (2018). Kondisi Laut: Indonesia, Jilid Tiga: Menjelajahi Indonesia bagian Timur. Proyek SEA USAID – Lokasi dan Kegiatan. Jakarta, pp. 206. https://pdf.usaid.gov/pdf_docs/PA00XBT6.pdf.
Ratna. (2019). Sustainable Shrimp Fisheries Management at Sorong Selatan of West Papua  Using EAFM  Tools  In  Fishing  Domain  Techniques. Russian  Journal  of Agricultural and Socio-Economic Sciences, 7(91), July 2019. https://doi.org/10.31227/osf.io/g9tvx.
Sala, R. (2021) Sumber Daya Perikanan Laut Perairan Sorong Selatan: Pemanfaatan dan Pengelolaan Berkelanjutan. Yogyakarta: Deepublish.


Foto sampul:
Tumpukan udang banana hasil tangkapan nelayan Konda dan Wamargege. Udang banana merupakan komoditas laut yang diandalkan masyarakat kedua kampung/Deta Widyananda

Pada Agustus–September 2024, tim TelusuRI mengunjungi Sorong dan Sorong Selatan di Papua Barat Daya, serta Jayapura di Papua, dalam ekspedisi Arah Singgah: Suara-suara dari Timur Indonesia. Laporan perjalanannya dapat Anda ikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mendambakan Kedaulatan Udang Sorong Selatan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mendambakan-kedaulatan-udang-sorong-selatan/feed/ 0 45082
Sorong–Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (2) https://telusuri.id/sorong-sorong-selatan-sebuah-jurnal-perjalanan-2/ https://telusuri.id/sorong-sorong-selatan-sebuah-jurnal-perjalanan-2/#respond Sat, 04 Jan 2025 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45047 Cuaca kurang bersahabat masih mengiringi perjalanan kami. Meski masih satu daratan, Sorong Selatan seperti punya aura berbeda, baik itu bentang alam maupun masyarakatnya. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: Rifqy Faiza Rahman & Mauren Fitri Teduhnya hutan...

The post Sorong–Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Cuaca kurang bersahabat masih mengiringi perjalanan kami. Meski masih satu daratan, Sorong Selatan seperti punya aura berbeda, baik itu bentang alam maupun masyarakatnya.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Rifqy Faiza Rahman & Mauren Fitri


Teduhnya hutan rimba tropis menyambut selepas persimpangan pos polisi Sawiat dan Pasar Klamit. Kira-kira 72,5 kilometer dari kantor Distrik Klasafet, Sorong. Samsul mengarahkan kemudi berbelok ke kanan, menuju pusat kota Teminabuan. Semak belukar setinggi truk tronton mulanya mengapit rapat jalan yang berkelok dan naik turun. Tidak seluruhnya mulus. Banyak titik yang bergelombang. Bahkan laju mobil agak merayap ketika melintasi bagian aspal yang terkelupas dengan lubang menganga.

Kondisi seperti itu membentang kurang lebih 30 km sampai bertemu percabangan jalan memasuki Kampung Tofot, Distrik Seremuk. Namun, kami cukup sabar dan senang-senang saja karena berada di kawasan vegetasi hijau dengan tegakan pohon-pohon besar merimbun. Kabut tipis bergelayut di antara kanopi pepohonan.

Sesekali saya membuka jendela. Membiarkan embusan angin sepoi membelai wajah. Menyapu kesejukan yang berbeda di kabin mobil. Lamat-lamat kami mendengar kicau burung yang kencang. Entah di mana sumbernya. Deta menduga, mungkin itu suara rangkong atau julang Papua. Sebab, kami juga melihat sekelebat satu-dua burung setia itu, dengan kepak sayap lebar yang khas, melayang tinggi di angkasa yang kelabu.  

Sorong–Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (2)
Jalanan yang membelah hutan tropis di antara Sawiat-Seremuk/Rifqy Faiza Rahman

Hujan di Kota Seribu Sungai

Ketika melewati Sungai Sembra di Srer, sekitar sembilan kilometer sebelum kota Teminabuan, hujan mendadak mengguyur jalanan. Samsul sempat kebingungan di suatu percabangan, sehingga membuat saya membuka aplikasi Google Maps untuk memandu arah.

Setelah empat jam perjalanan, kami memutuskan berhenti sejenak di sebuah minimarket di Sayolo. Persis di seberang SMP Negeri 1 Teminabuan. Mauren menginstruksikan turun untuk beli sembako tambahan, melengkapi hasil belanja yang kurang di Aimas. Buat stok logistik selama liputan di kampung-kampung nantinya. Sebab, persediaan bahan pokok di kampung pasti terbatas. Onesimus Ebar, koordinator program EcoNusa di Sorong Selatan, telah jauh-jauh hari lewat pertemuan virtual memberi saran kepada kami. 

“Sebelum masuk kampung, perlu belanja bahan makanan (bama) dulu di kota. Bisanya beras, minyak, telur, dan mi. Nanti biar mama-mama di kampung yang masak,” kata Ones, panggilan akrabnya. Kami akan menemui pria berdarah Nakna—subsuku yang menjadi bagian dari suku besar Tehit—itu dan singgah di kantornya di Wernas. Kira-kira 3,5 kilometer ke arah selatan dari Bandara Teminabuan.

Jumlah logistik yang harus dibeli sebenarnya tergantung pada seberapa lama kami berada di kampung. Selain itu, kami biasanya juga menambahkan snack dan buah, serta kopi bubuk dan gula. Sebagai ibu kota kabupaten, Teminabuan jelas menjadi rujukan masyarakat Sorong Selatan untuk mencari kebutuhan-kebutuhan pokok. Pusat pemerintahan dan perekonomian ada di sini. 

Sorong–Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (2)
Selain di minimarket, kami juga belanja tambahan logistik di pasar tradisional dekat pusat kota Teminabuan/Mauren Fitri

Hujan masih deras ketika kami bergerak ke kantor Ones. Dalam perjalanan minimarket di Sayolo ke Wernas itulah kami melewati Bandara Teminabuan. Letaknya di pinggir jalan poros menuju Ayamaru, Kabupaten Maybrat. Jangan dibayangkan bentuknya seperti bandara besar di Sorong. Bandara ini hanya melayani penerbangan-penerbangan perintis.

Susi Air menjadi satu-satunya maskapai, dengan rute berjadwal Sorong–Teminabuan yang terbang tiga kali seminggu—kalau cuaca bersahabat. Maskapai milik Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan RI periode 2014–2019 itu juga melayani rute Sorong–Inanwatan. Meski Inanwatan masih masuk Sorong Selatan, tetapi belum ada jalan yang bagus dari Teminabuan ke distrik tersebut. Naik kapal dari Pelabuhan Teminabuan, lalu menyisir pesisir selatan menjadi opsi transportasi lainnya ke Inanwatan.

Melihat hujan lebat mengguyur landasan pacu yang pendek itu, kira-kira 800 meter, rasa-rasanya kami bersyukur belum jadi naik pesawat ke kota ini. Kami cukup tercengang ketika melihat warga bebas melenggang dengan berjalan, motor, atau mobil, membelah runway menuju perkampungan di utara bandara. Saya bahkan sampai berpikir, kalau gagal mendarat di bandara, tampaknya jalan raya di depannya bisa jadi jalur pendaratan darurat. Atau bisa saja pilot menunda pendaratan gara-gara—siapa tahu—ada babi atau sapi mendadak menyeberangi runway.

Teminabuan dikenal dengan sebutan “Kota 1000 Sungai”. Sungai terbesarnya adalah Sungai Sembra yang berwarna biru jernih, yang sempat kami lihat saat melewati Srer tadi. Salah satu anak sungainya bernama Kohoin, yang membelah jantung Kota Teminabuan. 

Jika melihat lebih dekat, terpasang pipa-pipa besi memanjang dengan diameter cukup besar di sepanjang DAS Kohoin. Kabarnya, pemasangan pipa-pipa tersebut untuk mendukung pembangunan pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) berkapasitas 100 kW oleh Pemerintah Kabupaten Sorong Selatan. 

Namun, artikel Mongabay (2020) menyebut proyek energi terbarukan tersebut mangkrak sejak 2014 karena terjadi beberapa hambatan yang tidak sepenuhnya jelas. Entah adanya dugaan korupsi atau perencanaan yang kurang matang. Meski satu turbin sempat menyala ketika uji coba, tapi di tengah proses konstruksi, pembangkit tersebut sempat mengalami kerusakan karena salah satu pipa pesat—penyalur air ke turbin pembangkit listrik—runtuh sebagian di badan sungai.

Sorong–Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (2)
Sungai Sembra, salah satu sungai penting di Sorong Selatan yang juga dibuka sebagai tempat wisata. Dipotret saat perjalanan pulang kembali ke Sorong/Rifqy Faiza Rahman

Di sisi lain, dua sungai besar tersebut juga memberi aneka manfaat bagi masyarakat setempat. Tidak hanya untuk mandi dan mencuci, tetapi juga menjadi objek wisata alam yang cukup ramai pengunjung. Terutama di akhir pekan, karena banyak wisatawan berkunjung dari luar kota. Bahkan sampai sekarang sungai masih berperan krusial untuk mobilitas masyarakat. Menurut cerita warga Kampung Konda dan Wamargege di Distrik Konda, mereka pun sesekali biasa naik perahu dari Teminabuan menyusuri Sungai Kaibus sampai ke kampung. 

Beberapa orang tua yang kami temui di kampung tersebut sempat berkisah sulitnya perjalanan yang harus ditempuh di masa lampau. Terutama ketika ingin pergi ke Kota Sorong untuk keperluan tertentu. Seperti yang diungkap Yohanes Meres, sesepuh adat subsuku Yaben di Kampung Konda. “Dulu dari Sorong ke Teminabuan cuma bisa pakai perahu, karena belum ada jalan,” kenangnya.

Yohanes harus naik perahu berhari-hari dari Teminabuan atau kampungnya di tepi Sungai Kaibus dengan tujuan Klamono. Persisnya di pelabuhan rakyat Sungai Beraur, dekat pusat distrik. Titik dermaga itu masih ada sampai sekarang, yang kini terdapat jembatan baja penghubung Sorong–Teminabuan. Di sana Yohanes menambatkan perahunya, lalu lanjut berjalan kaki sejauh 20–30 km menuju Klaben, sebelum Distrik Aimas yang kini jadi ibu kota Kabupaten Sorong. Menurut ceritanya, jalan beraspal dan angkutan umum di zaman dahulu hanya sampai di Klaben. Baru dari situ Yohanes naik taksi ke Kota Sorong.

Hujan berangsur mereda setibanya kami di kantor EcoNusa di Wernas. Persis di samping SPBU. Kantor EcoNusa bersebelahan dengan kantor Konservasi Indonesia. Keduanya lembaga nonprofit yang berkantor pusat di Jakarta dan sedang ada program pendampingan masyarakat adat di Sorong Selatan. Selama di Sorong Selatan, kami bekerja sama dengan EcoNusa untuk meriset dan menghimpun informasi lokasi sasaran, narasumber, serta rencana topik liputan ekspedisi Arah Singgah.

“Selamat datang di Teminabuan,” sambut Ones hangat dengan jabat tangan erat dan senyum lebar. Ada juga Neskiel, anak perempuannya yang ikut menemani sang ayah. Usai makan siang bersama-sama di RM Bang Ibed dekat kantor, kami berpisah dengan Samsul. Ia akan langsung pulang ke Sorong sore itu juga. 

Di Wernas kami transit sejenak. Kami sempat berjumpa dengan Adrianus Kemeray, Kepala Kampung Bariat. Ia baru saja pulang dari menghadiri upacara 17 Agustus di kantor bupati. Kami juga menyapa M. Yusup Sianggo, warga Kampung Wamargege yang mampir ke basecamp EcoNusa. Selama sekitar seminggu, kami akan berkunjung ke kampung-kampung di Distrik Konda tersebut untuk melihat upaya masyarakat adat melakukan praktik-praktik ekonomi restoratif berkelanjutan.

Sorong–Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (2)
Onesimus Ebar tersenyum lebar saat menyambut kedatangan kami di depan kantor EcoNusa Sorong Selatan/Rifqy Faiza Rahman

Digoyang jalan semi off road di tengah hutan gambut

Dari kantor EcoNusa, masih ada 10 km lagi menuju Kampung Bariat. Tujuan utama perjalanan hari itu. Sopir berganti. Kristian Sabru atau akrab disapa Kris, orang Teminabuan, akan mengantar kami ke ibu kota Distrik Konda tersebut. Ia tadi sempat mengantar Mauren belanja sayur ke pasar tradisional di pusat kota. Armada miliknya berbeda, meski masih satu pabrikan dengan yang dikemudikan Samsul. Kris membawa Toyota Rush. Kelak kami akan paham kenapa mobil jenis ini laris di pasaran Papua Barat Daya dan mudah ditemukan di mana-mana.

Penampilan Kris khas—walau pakaiannya itu-itu saja selama mengantar kami liputan di Sorong Selatan. Topi terbalik di kepala, kaus warna gelap lengan pendek, celana jins biru selutut, dan sepatu kets berbahan kulit sintetis. Kalung salib emas melingkar sedada.

Karena sudah tidak hujan, jendela mobil sengaja dibuka. Kris meminta izin menyetir sambil merokok. Tak lupa menyetel musik yang tersambung dengan koneksi bluetooth dari ponselnya. Kami persilakan. Aman-aman saja. 

  • Sorong–Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (2)
  • Sorong–Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (2)

Rupanya rute perjalanan menuju wilayah administrasi Distrik Konda berada di tengah-tengah hutan gambut. Kawasan rawan kebakaran. Tiang-tiang listrik berkarat milik PLN berdiri menyambungkan kabel-kabel yang menjangkau hampir seluruh kampung di Distrik Konda. Kabarnya, ada beberapa titik menara Base Transceiver Station (BTS) di distrik ini, sehingga sinyal seluler dan internet pun cukup aman.

Di luar itu, kondisi jalan membuat kami sering mengelus dada dan waswas. Awalnya mulus beberapa ratus meter, lalu seperti “terputus”. Ada kubangan air setinggi ban. Kadang masih bisa dihindari kalau masih ada celah aspal kering yang cukup lebar. Kadang seluruh ban terpaksa “tenggelam” supaya bisa menerjang jalan berlubang yang tergenang. 

Saat kami dibekap keraguan setelah melihat genangan bak kolam di depan mata, Kris tetap santai. Ia cuma bilang, “Kita tes dulu. Kalau aman, berarti gas terus. Kalau nyangkut, ya, tinggal mundur saja. Coba lagi.”

Satu-dua kesempatan saya turun dari mobil. Mencoba merekam keahlian Kris mengemudi dari luar.

Hujan membuat jalan berlumpur dan cukup licin. Namun, beruntung mobil miliknya berpenggerak roda belakang. Meski bukan jenis 4×4 atau dobel gardan, tapi sepanjang jalan ia tidak terlihat kesulitan. Ground clearance mobil cukup tinggi, sekitar 220 mm atau 40 mm lebih tinggi dari Innova Reborn. Tak heran Kris sangat yakin ketika memaksakan salah satu sisi ban nyemplung cukup dalam, sementara sisi ban lainnya tetap mendarat di aspal. Traksi ban cukup bagus. Tak jarang Kris hanya menggunakan persneling gigi 2 saja di RPM rendah, walau harus semi off road

“Aman saja,” cetusnya.

  • Sorong–Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (2)
  • Sorong–Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (2)

Aspal jalan mulai berangsur normal begitu memasuki Manelek, kampung pertama. Tidak jauh dari permukiman masyarakat subsuku Gemna itu, kami tiba di halaman rumah Adrianus Kemeray yang berpasir putih bak tepung. Kepala Kampung Bariat itu menyambut kami hangat. Ia bersama Kris membantu menurunkan barang-barang bawaan kami dari bagasi. Ones menyusul dengan motor sport Honda CRF beberapa menit kemudian. Ia datang untuk memastikan kami tiba dengan selamat, walau tidak akan ikut menginap di Bariat.

Total 45 menit perjalanan kami tempuh dari kantor EcoNusa di Wernas menuju kampung ini. Adrianus menyediakan ruang tamu rumahnya yang sederhana untuk tempat kami menginap. Tinggal membeber matras saja di atas lantai yang dilapisi spanduk-spanduk besar.

“Maaf, kondisinya begini, ya. Seadanya tidak apa-apa, ya,” ucap Adrianus.

“Tidak apa-apa, Bapak. Aman saja,” kata kami serempak. Kami menaruh sebagian barang di dalam kamar istri Adrianus, sisanya tergeletak saja di ruang tamu. Pintu depan rumah hanya berupa paku bengkok yang tertancap di kosen untuk menyelot daun pintu. Pun pintu bagian belakang dekat meja makan, yang tembus keluar ke arah dapur.

Sesungguhnya kami tidak terlalu khawatir. Selama bisa menjaga peralatan pribadi dan kelompok yang penting, terutama untuk keperluan liputan, akan baik-baik saja. Adrianus pun berani menjamin itu.

  • Sorong–Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (2)
  • Sorong–Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (2)

Malamnya, kami berkumpul di teras rumah Adrianus yang cukup lapang. Bisa memuat belasan orang untuk sekadar menongkrong. Cuma ada sebuah meja kayu, serta kursi-kursi plastik dan bangku kayu untuk duduk. Rumah Adrianus terbilang paling terang dibanding rumah-rumah masyarakat sekitar, meski hanya bercahayakan lampu bohlam putih yang tidak terlalu terang. 

Tapi, di teras inilah salah satu tempat kami selama dua malam di Bariat. Cukup berbekal empat bahan kontak sesuai saran Ones, yaitu rokok, pinang, kopi, dan gula; bahan obrolan ringan sampai berat akan mengalir deras sampai nyaris tak kenal waktu.

Bersahaja, tetapi hangat, akrab, dan penuh hormat. Begitulah yang kami rasakan. Tampaknya, definisi rumah benar-benar tidak sekadar dibatasi sekat-sekat geografis. (*)


Foto sampul:
Perjalanan dari Teminabuan menuju pedalaman Distrik Konda, Sorong Selatan/Rifqy Faiza Rahman

Pada Agustus–September 2024, tim TelusuRI mengunjungi Sorong dan Sorong Selatan di Papua Barat Daya, serta Jayapura di Papua, dalam ekspedisi Arah Singgah: Suara-suara dari Timur Indonesia. Laporan perjalanannya dapat Anda ikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Sorong–Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sorong-sorong-selatan-sebuah-jurnal-perjalanan-2/feed/ 0 45047
Sorong–Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (1) https://telusuri.id/sorong-sorong-selatan-sebuah-jurnal-perjalanan-1/ https://telusuri.id/sorong-sorong-selatan-sebuah-jurnal-perjalanan-1/#respond Fri, 03 Jan 2025 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45027 Cuaca berubah-ubah menjadi kuasa alam yang tidak bisa diprediksi selama ekspedisi Arah Singgah di Papua. Termasuk dalam perjalanan menuju sisi selatan Semenanjung Kepala Burung. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: Rifqy Faiza Rahman & Mauren Fitri “Kenapa...

The post Sorong–Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Cuaca berubah-ubah menjadi kuasa alam yang tidak bisa diprediksi selama ekspedisi Arah Singgah di Papua. Termasuk dalam perjalanan menuju sisi selatan Semenanjung Kepala Burung.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Rifqy Faiza Rahman & Mauren Fitri


“Kenapa tidak naik mobil saja?”

Pertanyaan itu terlontar dari setidaknya empat sopir mobil rental yang kami temui di Kota Sorong. Tiga di antaranya kami dapati di satu hari yang sama, yaitu ketika kami dijadwalkan terbang ke Teminabuan. Jarak dari Kota Sorong ke ibu kota Kabupaten Sorong Selatan sekitar 157 kilometer. Empat jam naik mobil. Setengah jam naik pesawat perintis.

Pertimbangan waktu itulah yang membuat kami memilih pesawat daripada rental mobil. Rupanya, alam punya rencana lain. Niatnya ingin cepat sampai, tetapi malah bikin capai.

Sorong-Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (1)
Mauren dan Deta bersama barang-barang bawaan kami di selasar Bandara Domine Eduard Osok, Sorong. Kami datang di pagi buta, sebelum bandara buka/Rifqy Faiza Rahman

Wira-wiri demi Susi

Mauren, ketua tim ekspedisi Arah Singgah, sudah memesan tiga tiket Susi Air ke Teminabuan untuk hari Jumat, 16 Agustus 2024. Wacananya, ingin istirahat agak lama sekaligus merayakan upacara 17 Agustus di Sorong Selatan. Beda dengan penerbangan maskapai besar, tidak ada platform daring yang tersedia untuk reservasi tiket. Kami harus memesan lewat nomor Whatsapp resmi customer service Susi Air. Tiketnya cetak, berbentuk buku kecil (booklet) seperti tiket pesawat jadul. Akan diberikan saat melapor check in.

Penerbangan reguler Sorong–Teminabuan hanya ada tiga kali seminggu. Berangkat pukul 07.00 WIT dari Bandara Domine Eduard Osok (DEO), tiba di Bandara Teminabuan setengah jam kemudian. Susi Air merupakan satu-satunya pemain di rute ini. 

Di hari keberangkatan, sejak pukul lima Subuh kami sudah meninggalkan hotel menuju bandara Sorong yang cuma berjarak kurang dari lima menit. Namun, sesampainya di bandara, konter kecil check in Susi Air yang terletak paling ujung masih kosong melompong. Tidak ada satu pun kru Susi Air yang berjaga. Beda dengan konter-konter sebelah yang sangat sibuk. Padahal, kata petugas bandara, biasanya pukul 06.00 sudah siap.

Sampai pukul 06.30, belum ada kejelasan apakah kami akan terbang atau tidak. Baru beberapa menit kemudian, pesan baru muncul di Whatsapp Mauren. Dapat kabar dari customer service Susi Air, kalau penerbangan ke Teminabuan mundur ke pukul 14.35. Katanya, sedang menunggu armada pesawat pengganti dari daerah perintis lainnya.

Mauren lekas menelepon Samir, orang rental yang mobilnya kami sewa selama seminggu keliling Sorong, untuk menjemput dan mengantar kami kembali ke hotel. Beruntung, ia sudah stand by di bandara untuk mencari tamu. Beruntung pula, hotel kami belum memproses check out, sehingga kami tidak perlu membayar biaya tambahan. Kami memanfaatkan waktu setengah hari untuk istirahat.

Sorong-Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (1)
Setiap barang bawaan di luar bagasi harus ditimbang secara presisi, termasuk badan. Sebab, pesawat yang akan kami tumpangi berukuran kecil/Mauren Fitri

Siangnya, kami check out dan berangkat ke bandara untuk kedua kalinya. Konter mungil itu akhirnya berfungsi. Seorang petugas pria berompi safety hijau melayani proses check in kami bertiga. Tidak cuma bagasi, badan kami juga harus ditimbang. Maklum, pesawat yang rencananya kami naiki adalah jenis Cessna 208 Grand Caravan. Kapasitas maksimal 12 penumpang. Dan bisa ditebak, kami kelebihan bagasi 70 kg sehingga harus membayar Rp1.050.000.

Alur selanjutnya berjalan seperti biasa. Naik ke ruang tunggu, melewati pemeriksaan X-ray sekali lagi, dan makan siang coto makassar di kedai pojok dekat toko oleh-oleh. 

Hati mulai gundah tatkala sampai pukul 14.00 belum ada panggilan boarding. Jangankan itu, pesawatnya saja belum datang. Sementara awan kelabu mulai bergumul di langit. Hampir selama seminggu sebelumnya, setiap siang jelang sore Kota Sorong punya riwayat hujan deras. 

Pesawat Susi Air yang kami nanti-nantikan akhirnya tampak mendekati runway dari arah barat. Saking mungilnya, pesawat bermesin turboprop tunggal itu tidak kunjung sampai ke ujung timur landasan pacu. Timpang sekali dengan pesawat-pesawat jet Boeing atau Airbus yang terparkir di apron bandara. 

Sorong-Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (1)
Pesawat Susi Air terlambat mendarat di Sorong/Rifqy Faiza Rahman

Dari dinding kaca ruang tunggu, tampak di kejauhan kendaraan baggage towing tractor tengah mengerek keranjang bagasi menuju pesawat Susi Air yang sudah parkir sempurna. Sepintas saya melihat rain cover biru tas ransel saya tertumpuk paling atas. Petugas ground staff kemudian melakukan bongkar muat barang di bagasi.

Tiba-tiba, suara pengumuman dari bandara terdengar lantang, mengabarkan pesawat kami mengalami penundaan karena alasan cuaca. Tahu-tahu hujan deras turun seketika. Lebat sekali, membasahi pelataran landasan bandara dengan cepat. 

Kami batal naik pesawatnya Bu Susi. Kami gagal bikin konten Instagram, yang niatnya akan “caper” dengan menyebut akun Bu Susi. Mauren mencoba menghidupkan kamera, merekam saya berseloroh, “Pesawat sekecil itu berkelahi dengan hujan bulan Agustus.”

Dalam sesaat, pengumuman penundaan itu berubah menjadi pembatalan. Seorang pekerja perempuan berjilbab dengan rompi safety hijau. Dia adalah karyawan Susi Air. Dari tadi mondar-mandir di ruang tunggu. Sambil menggenggam protofon, ia mendatangi para penumpang yang setia menunggu. Selain kami bertiga, ada tiga penumpang lain dengan tujuan Teminabuan.

“Mohon maaf Bapak/Ibu, penerbangan ke Teminabuan dibatalkan karena cuaca tidak bersahabat. Kami menawarkan dua opsi, reschedule (penerbangan hari Senin di pekan berikutnya) atau refund,” tuturnya dengan tenang dan tegas.

Sorong-Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (1)
Petugas Susi Air (kanan) memberi penjelasan pembatalan penerbangan Susi Air tujuan Teminabuan/Mauren Fitri

Tentu saja kami kompak memilih opsi kedua. Meminta kembali uang tiket dan biaya kelebihan bagasi. Lumayan untuk ongkos perjalanan darat ke Teminabuan, yang akan kami lakukan keesokan paginya.

Ia kemudian mengarahkan kami turun untuk mengambil bagasi. Ketika troli penuh barang berat itu tiba, jelas saja, nyaris kuyup semuanya. Untung bagian permukaan saja yang basah, baik itu tas-tas ransel maupun koper. 

Keluar dari gedung terminal dengan mendorong troli, niatnya Mauren menghubungi Samir agar menjemput kami lagi. Sayang, ia sedang tidak di bandara. Sudah ada tamu lain yang memakai jasanya. Tak ada pilihan lain, kami akan naik mobil rental yang banyak siaga di depan area kedatangan.

Pilihan kami jatuh pada sosok sopir bernama Fahmi. Pria bertopi dengan setelan kaus, celana jins panjang, dan sandal jepit yang menenteng kunci mobil di telapak tangannya. Dialah orang pertama yang menawarkan jasa angkutan begitu kami keluar dari pintu kedatangan. 

“Seratus ribu,” ucapnya menyebut nominal tarif pengantaran ke hotel. Kami memutuskan untuk menginap semalam lagi dan baru pergi ke Teminabuan besok lewat jalur darat. Hotel yang sama, sampai-sampai resepsionis hotel hafal muka kami.

Tidak ada negosiasi berarti dengan Fahmi. Sebab, ternyata standar harga transportasi rental jarak dekat di dalam kota memang segitu. Di dalam mobil, si sopir mulanya tampak prihatin mengetahui penyebab kami batal terbang pakai Susi Air sore itu. Namun, begitu tahu tujuan kami adalah Teminabuan, pertanyaan familiar mengalun untuk keempat kalinya—ketiga di hari itu, “Kenapa tidak naik mobil saja?”

Sorong-Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (1)
Fahmi (kanan), sopir mobil rental yang mengantar kami dari bandara ke hotel/Mauren Fitri

Berkendara bersama sopir Jawa

“Kalau kita berangkat naik mobil, kita sudah sampai di Teminabuan dari kemarin,” celetuk Deta, fotografer-videografer tim ekspedisi.

Betul juga. Durasi wira-wiri dan menunggu di bandara kemarin sudah seperti estimasi waktu tempuh perjalanan darat dari Sorong ke Teminabuan. Tapi, anggap saja itu sebagai pengalaman dan pelajaran. Toh, dari pihak Susi Air sudah kooperatif dalam menangani hak konsumen akibat penundaan.

Pagi itu (17/8/2024), seorang pria dengan setelan pakaian dan potongan rambut yang rapi menyapa kami di teras lobi hotel. Ia bergegas membantu kami memasukkan barang-barang bawaan ke bagasi belakang mobil. Sosok yang jauh berbeda dengan Fahmi, yang seharusnya mengantar kami ke Teminabuan hari ini.

“Harusnya dia yang berangkat, Mas. Tapi hari ini mesti antar istrinya ke rumah sakit. Jadi, saya yang diminta berangkat,” kata pria asal Trenggalek, Jawa Timur itu.

Sorong-Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (1)
Akhirnya berangkat juga ke Sorong Selatan. Samsul menggantikan Fahmi di balik kemudi/Rifqy Faiza Rahman

Pengalaman lima tahun di Sorong, mengikuti jejak rantau saudaranya yang seorang transmigran, cukup membuat Samsul hafal seluk-beluk jalan poros dua kabupaten bertetangga itu. Bahkan sampai ke Tambrauw dan Maybrat, yang berbatasan langsung dengan Provinsi Papua Barat. 

Ia banyak memberi gambaran atau wawasan kepada kami. Misalnya, harus hati-hati di jalan agar tidak menabrak anjing, sapi, atau babi karena konsekuensi hukum adatnya berat. Lalu, titik-titik lokasi mana yang memiliki tingkat keamanan rawan. Atau, sekadar tips—jika menyetir mobil sendiri—berapa banyak liter minyak (bahan bakar) yang harus disiapkan saat berkendara jarak jauh di sini.

Seperti aturan tidak tertulis, kami sebagai tamu tentu tetap memberikan sopir tiga kebutuhan utama: rokok, kopi, dan air mineral. Apalagi sopirnya podho-podho Jowone. Gayeng. Kisah-kisah seputar suka duka menjadi anak rantau di daerah berzona waktu selisih dua jam dengan Jawa, dominan mengiringi pembicaraan sepanjang perjalanan.

Kami membeli tiga ubo rampe itu di sebuah minimarket di Aimas. Sekalian tahap pertama mencicil belanja bahan makanan (bama) untuk pasokan logistik selama di Sorong Selatan. Jaga-jaga kalau di sana persediaan makanan-minuman terbatas. 

Selepas Aimas, makin jauh ke arah tenggara, saya fokus pada pertanyaan yang tebersit di benak, petualangan macam apa yang akan menunggu di depan? Seperti apa perjalanan darat ke Teminabuan?

Sorong-Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (1)
Ruas jalan Sorong-Sorong Selatan umumnya diapit hutan, perkebunan, dan perkampungan/Rifqy Faiza Rahman

Samsul dan armada Toyota Avanza keluaran 2020 yang kami tumpangi siap membantu saya menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Ia akan membawa kami melintasi jalan poros Sorong–Sorong Selatan, melewati distrik-distrik dan kampung-kampung yang masih asing bagi kami.

Saya sampai penasaran sejauh apa jarak 157 km itu. Yang jelas, jika memperkecil tampilan peta satelit di Google Maps, kami bagaikan setitik debu di atas daratan mahaluas yang dikenal Semenanjung Kepala Burung—merujuk pada tampilan permukaan keseluruhan Papua yang seperti burung cenderawasih. Atau biasa juga disebut Semenanjung Doberai, yang luasnya mencapai 55.604 km2. Sebagian besar wilayahnya membentuk kawasan Provinsi Papua Barat Daya, mulai dari Kabupaten Sorong di sisi paling barat, serta sebagian Papua Barat di sisi timur (Manokwari, Manokwari Selatan, Pegunungan Arfak, dan Teluk Bintuni).

Teminabuan, tujuan kami, berada di bagian “paruh burung” semenanjung itu. Wilayah pesisir selatan Sorong Selatan memang unik, tampak seperti teluk-teluk yang meliuk. Membentuk ekosistem pesisir yang khas. Kabarnya, ekosistem mangrove di kabupaten yang mekar dari Sorong sejak 2003 itu termasuk yang paling besar di Papua.

Saya mencatat tiga hal menarik yang kami jumpai saat melintasi jalan poros di wilayah Kabupaten Sorong. Pertama, sebuah pompa angguk berusia uzur dan nyaris diselimuti karat di atas sumur minyak di Distrik Klamono. Letaknya di pinggir jalan dan dikepung hutan. Saksi bisu eksplorasi minyak bumi warisan Nederlandsch Nieuw-Guinea Petroleum Maatschappij (NNGPM), perusahaan minyak Belanda yang sudah hadir di Sorong sejak 1935-an. Meski produktivitasnya menurun, pompa dan sumur tersebut masih berfungsi cukup baik, seperti halnya puluhan lapangan produksi minyak lainnya di Distrik Klamono. Saat ini dikelola oleh PT Pertamina EP, anak usaha Pertamina Hulu Energi yang bergerak di bidang pengeboran minyak dan gas. Jejak pompa itulah yang juga memberi julukan Sorong sebagai Kota Minyak.

Kedua, papan nama di dekat pos keamanan dan portal di kiri jalan. Ukuran hurufnya besar, bertuliskan “PT HENRISON INTI PERSADA”. Rupanya perusahaan perkebunan kelapa sawit. Masih di kawasan Distrik Klamono, sekitar 35 km dari Sorong. Di sinilah Samsul memberi pernyataan menarik. 

“Kebun kelapa sawit di sini nggak kelihatan dari pinggir jalan, Mas,” katanya. Beberapa ratus meter kemudian, saat mobil menanjak di atas bukit, kami baru paham. Lokasi kebun sawit nan luas berada cukup jauh di dalam. Tersamarkan hutan tropis di sekelilingnya. Entah memang didesain seperti itu, atau sekadar kamuflase untuk menunjukkan bahwa hutan di Sorong masih hijau.

  • Sorong-Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (1)
  • Sorong-Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (1)

Momen ketiga yang menarik adalah ketika kami menepi sejenak tak jauh dari jembatan baja Sungai Beraur. Orang-orang mengenalnya jembatan besar Klamono. Seorang penduduk setempat menghentikan mobil kami. Ternyata, sedang ada upacara 17 Agustus di lapangan kantor Distrik Klasafet dekat situ. 

Saya mencoba turun, melihat-lihat situasi. Upacaranya berlangsung penuh khidmat. Peserta upacara yang terdiri dari anak SD dan SMA setempat, bersama perangkat distrik, terlihat tenang menyimak pembacaan doa oleh seseorang di podium depan. Bendera pusaka sudah dinaikkan. Sepertinya upacara segera usai.

Saya menegur seorang tentara yang berjaga di atas motornya di pinggir jalan, sekadar mengajaknya berbasa-basi. Tampaknya bintara pembina desa (Babinsa). Ia bilang, sebenarnya ada arahan dari pemerintah kabupaten untuk upacara di Alun-alun Aimas. Namun, “Pak Babin” berpendapat, daripada capek jauh-jauh ke kota, lebih baik upacara di lapangan distrik atau sekolah setempat dan tidak kalah patriotik. 

Sementara di seberang jalan Samsul bersama Deta dan Mauren mampir ke kios penjual sirih dan pinang kering berbentuk irisan seperti koin. Harganya 10 ribu rupiah sepaket dalam satu piring plastik kecil, lengkap dengan seplastik kapur. Kami sama-sama mencoba menggigit seiris pinang. 

  • Sorong-Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (1)
  • Sorong-Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (1)

Seorang penduduk lokal menunjukkan kepada kami cara mengunyah buah pinang. Kios-kios penjual sirih pinang mudah ditemukan di sepanjang jalan Sorong-Sorong Selatan. Pembeli bisa memilih buah pinang utuh maupun dalam bentuk irisan yang sudah kering/Mauren Fitri

“Pahit rasanya,” saya bertestimoni. Tentu saja disambut tawa penjual dan warga sekitar yang penasaran dengan kehadiran anak kota seperti kami. Baru mencoba sirih pinang pula.

Pria sepuh yang menyetop kendaraan kami tadi melambai-lambai. Gesturnya mengisyaratkan kami bisa melanjutkan perjalanan. Di lapangan, saya melihat pemimpin upacara sudah membubarkan barisan. Sayang sekali, kami tidak sempat melihat prosesi pengibaran bendera dan mendengar kumandang lagu agung Indonesia Raya bergema di timur Indonesia.

Kawasan pusat pemerintahan Distrik Klasafet ini berada di sekitar kilometer ke-40 dari Bandara DEO Sorong. Masih ada 117 kilometer lagi menuju Teminabuan.

(Bersambung)


Foto sampul:
Belukar dan hutan akan sering dijumpai di sepanjang jalan utama penghubung Kabupaten Sorong dan Sorong Selatan/Rifqy Faiza Rahman

Pada Agustus–September 2024, tim TelusuRI mengunjungi Sorong dan Sorong Selatan di Papua Barat Daya, serta Jayapura di Papua, dalam ekspedisi Arah Singgah: Suara-suara dari Timur Indonesia. Laporan perjalanannya dapat Anda ikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Sorong–Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sorong-sorong-selatan-sebuah-jurnal-perjalanan-1/feed/ 0 45027
Arah Singgah 2024: Kami Terbang Jauh ke Bumi Cenderawasih https://telusuri.id/arah-singgah-2024-kami-terbang-jauh-ke-bumi-cenderawasih/ https://telusuri.id/arah-singgah-2024-kami-terbang-jauh-ke-bumi-cenderawasih/#respond Wed, 01 Jan 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=44945 Ini adalah episode ketiga Ekspedisi Arah Singgah oleh TelusuRI. Di pulau paling timur Indonesia, kami menghadapi tantangan dan mengemban tanggung jawab sama-sama besar untuk disuarakan. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: Deta Widyananda Papua. Sebuah pulau di...

The post Arah Singgah 2024: Kami Terbang Jauh ke Bumi Cenderawasih appeared first on TelusuRI.

]]>
Ini adalah episode ketiga Ekspedisi Arah Singgah oleh TelusuRI. Di pulau paling timur Indonesia, kami menghadapi tantangan dan mengemban tanggung jawab sama-sama besar untuk disuarakan.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda


Arah Singgah 2024: Kami Terbang Jauh ke Bumi Cenderawasih
Hutan adat Ku Defeng Akrua di Yenggu Baru, Nimboran, Jayapura/Deta Widyananda

Papua. Sebuah pulau di timur Indonesia. Terbesar kedua di dunia setelah Greenland, Denmark. Luasnya mencapai 785.000 km2 yang terbagi ke dua negara dengan ukuran wilayah nyaris sama persis: Indonesia dan Papua Nugini. Dari satelit, pulau ini tampak seperti seekor burung cenderawasih, satwa endemis yang menjadi simbol masing-masing wilayah.

Terdapat garis batas yang memisahkan dengan bentuk hampir lurus nol derajat, kecuali pada bagian garis bujur 141 derajat BT. Terbentang dari timur Kota Jayapura di utara, hingga Merauke di selatan. Tepatnya di kawasan Sungai Fly yang berkelok bagai ular, meliuk di sepanjang sisi timur Boven Digul–Merauke, Papua Selatan. Sebuah batas yang menjadi legasi pendudukan Bangsa Barat, hasil dari klaim dan perjanjian ketat antara Belanda dan Inggris pada 1895. Seperti kita tahu, Belanda menduduki Indonesia, sementara Inggris menduduki Papua Nugini. Jerman menyusul memberi pengakuan enam tahun kemudian. 

Namun, peradaban sejatinya telah terbentuk jauh sebelum bangsa-bangsa Barat atau Republik Indonesia turun ke Tanah Papua. Lebih dari 250 suku besar mendiami bumi cenderawasih. Ini adalah tanah dengan keanekaragaman hayati dan keragaman budaya yang amat besar. Kemajemukan yang sangat berharga untuk Indonesia.

Sungguh, kami akhirnya menyadari isu-isu tentang Papua selalu seksi di pembicaraan level mana pun. Mulai dari akar rumput sampai elite, dari persoalan lingkungan hidup hingga sentimen politik, semuanya ingin terlibat dalam kepentingan apa pun untuk Papua. Akan tetapi, TelusuRI memilih jalan “termudah”, yaitu menggelar ekspedisi jurnalistik bernama Arah Singgah. Misi kami sederhana, ingin mengetuk kesadaran hati banyak orang, yang mungkin bahkan belum tahu bagaimana cara memandang Papua.

Arah Singgah 2024: Kami Terbang Jauh ke Bumi Cenderawasih
Masyarakat suku Moi di Kampung Malaumkarta dengan kostum adat saat menampilkan tarian tradisional untuk menyambut Festival Egek Malaumkarta Raya, Sorong. Suku Moi menerapkan aturan zonasi egek yang terlarang diakses untuk menjaga sumber daya alam, baik di hutan maupun laut/Deta Widyananda.

Menemui komunitas adat pejuang hak ulayat

TelusuRI melakukan ekspedisi Arah Singgah untuk menggali cerita-cerita dengan beragam isu, yang kerap terabaikan di pemberitaan media arus utama. Filosofi dasar perjalanannya berupaya menyentuh sisi-sisi lain yang tanpa disadari sebenarnya saling berhubungan. Setelah berkunjung ke enam provinsi selama 2022–2023, tahun ini kami menambah dua provinsi baru.

Di tahun ketiga kali ini, Arah Singgah mengusung tema “Suara-suara dari Timur Indonesia”. Kami singgah di pelbagai wilayah adat untuk mengindahkan dan merekam kisah-kisah upaya masyarakat adat mencari titik keseimbangan dengan alam. Sebab, bayang-bayang ancaman deforestasi akibat eksploitasi dan investasi industri ekstraktif, seperti pembukaan lahan kelapa sawit, minyak bumi, maupun batubara, bisa datang kapan saja. Maka, segala upaya masyarakat adat memperpanjang napas bumi di bagian timur Indonesia ini perlu pelantang agar terdengar dan menyentuh segala lapisan khalayak. 

Kami menghimpun narasi-narasi dan aneka perspektif tentang praktik kehidupan berkelanjutan itu dalam bingkai ekonomi restoratif. Tak terkecuali, tantangan dan tekanan yang mereka hadapi dalam mempertahankan hak ulayat yang digariskan turun-temurun oleh nenek moyang.

Di Kabupaten Sorong, kami menemui sosok-sosok inspiratif yang merepresentasikan kehebatan suku Moi, komunitas adat terbesar di Provinsi Papua Barat Daya. Di tengah masifnya arus modernisasi dan posisinya sebagai pintu gerbang di ujung barat Papua, orang-orang Moi berusaha melestarikan warisan leluhur dengan berbagai macam cara.

Kami bertandang ke rumah kaveling Yuliance Yunita Bosom Ulim di Aimas, Sorong. Perempuan yang akrab dipanggil Yuyun itu mendirikan Sinagi Papua. Sebuah inisiatif kewirausahaan sosial yang menghasilkan produk-produk pangan lokal khas suku Moi. Salah satu yang terkenal adalah bumbu asin nipah.

Berjarak sekitar satu jam berkendara ke timur, kami datang ke dua kampung kecil dengan nama besar. Malagufuk, tempat berkumpulnya fotografer alam liar lintas dunia yang ingin melihat lima spesies cenderawasih; serta Malaumkarta, pusat kebudayaan suku Moi yang masih mempertahankan tradisi leluhur demi menjamin keberlangsungan ekosistem.

Dinamika kehidupan yang agak berbeda kami jumpai di Kabupaten Sorong Selatan. Tempat di mana sagu menjadi komoditas dengan cadangan pangan terbesar di Papua Barat Daya. Di Kampung Bariat, Distrik Konda, masyarakat subsuku Afsya mengajak kami melihat proses pengolahan sagu secara gotong royong. Sementara di pesisir Sungai Kaibus, masyarakat adat Kampung Konda dan Wamargege tengah memperjuangkan pengakuan hutan adat serta meniti jalan kedaulatan pangan lokal dengan hasil udang melimpah.

Perjalanan paling ujung ke Distrik Nimbokrang, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua, membawa kami menemui masyarakat adat suku Namblong. Kami menyaksikan ikhtiar akbar mereka dalam mengelola sumber daya alam berbasis kearifan lokal lewat pembentukan Badan Usaha Milik Masyarakat Adat (BUMMA). Mulai dari budidaya vanili, pengembangan ekowisata, hingga perdagangan karbon, BUMMA diharapkan menjadi jalan terbaik untuk mandiri secara ekonomi, tetapi tetap mempertahankan kelestarian lingkungan. Alih fungsi lahan konsesi milik PT Permata Nusa Mandiri, perusahaan perkebunan kelapa sawit, menjadi tembok tebal yang harus dilawan agar tidak semakin rakus melahap tanah adat Namblong.

Arah Singgah 2024: Kami Terbang Jauh ke Bumi Cenderawasih
Gotong royong mengolah sagu di hutan Kampung Bariat, Sorong Selatan. Sagu merupakan komoditas pangan pokok asli Papua yang masih dilestarikan dan menjadi sumber ekonomi berkelanjutan masyarakat Papua sampai sekarang/Deta Widyananda

Inilah suara-suara dari timur

Jelas, Papua menjadi tujuan liputan terjauh TelusuRI sepanjang ekspedisi Arah Singgah. Kami benar-benar berjarak ribuan kilometer dari rumah kami di Jawa. Benar-benar jauh secara harfiah. Namun, faktanya kami seperti menemukan rumah yang lain di Papua. Perbedaan ras dan suku tidak menjadi sekat yang membatasi persahabatan baru.

Seperti halnya ekspedisi dua tahun sebelumnya, orang-orang lokal maupun masyarakat adat adalah pemeran utama dalam cerita-cerita kami. Kami hanya menjadi perpanjangan tangan dan corong suara dari mereka yang gigih mempertahankan tanah adat dari ancaman investasi industri ekstraktif. Orang-orang Papua percaya, merekalah benteng terakhir paru-paru dunia di Indonesia, setelah deforestasi yang memprihatinkan melanda Sumatra dan Kalimantan.

Inilah, Arah Singgah 2024. Suara-suara dari timur yang harus Anda dengarkan. Selamat menikmati dan belajar kehidupan dari tutur serta laku orang-orang berhati tulus yang kami temui. Bukan hanya Anda, kami pun turut belajar dan merenungi pesan-pesan kehidupan yang jauh melampaui peradaban.

Ritme dan senyawa perjalanan Arah Singgah mungkin bukan untuk semua orang. Tak terkecuali Anda sekalipun. Namun, kami berharap perjalanan ini kelak akan menjadi bagian dari perjalanan hidup kita. (*)


Foto sampul:
Potret ceria anak-anak Papua mengolah hasil meramban di hutan/Deta Widyananda

Pada Agustus–September 2024, tim TelusuRI mengunjungi Sorong dan Sorong Selatan di Papua Barat Daya, serta Jayapura di Papua, dalam ekspedisi Arah Singgah: Suara-suara dari Timur Indonesia. Laporan perjalanannya dapat Anda ikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Arah Singgah 2024: Kami Terbang Jauh ke Bumi Cenderawasih appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/arah-singgah-2024-kami-terbang-jauh-ke-bumi-cenderawasih/feed/ 0 44945
Beginilah Kehidupan di Rumah Perahu yang Hilir Mudik di Sorong Selatan https://telusuri.id/kehidupan-di-rumah-perahu-sorong-selatan/ https://telusuri.id/kehidupan-di-rumah-perahu-sorong-selatan/#comments Mon, 27 Nov 2017 02:00:34 +0000 http://telusuri.id/?p=3551 Melihat rumah perahu yang hilir mudik di sungai sekitar Distrik Kokoda, Sorong Selatan, kamu pasti bertanya-tanya. Bagaimana kehidupan di rumah perahu? Bagaimana mereka bisa bertahan hidup dalam kondisi seperti itu? Apa yang mereka lakukan jika...

The post Beginilah Kehidupan di Rumah Perahu yang Hilir Mudik di Sorong Selatan appeared first on TelusuRI.

]]>
Melihat rumah perahu yang hilir mudik di sungai sekitar Distrik Kokoda, Sorong Selatan, kamu pasti bertanya-tanya. Bagaimana kehidupan di rumah perahu? Bagaimana mereka bisa bertahan hidup dalam kondisi seperti itu? Apa yang mereka lakukan jika hujan lebat turun? Atau ada badai?

Dengan panjang kira-kira 3-4 meter dan lebar 2 meter, rumah perahu kecil saja. Wujudnya seperti kole-kole (perahu bercadik) yang dilengkapi dinding sepanjang 1-2 meter. Atapnya dari pelepah sagu atau rotan. Maka, jika hujan turun, mereka akan segera ke tepian.

kehidupan di rumah perahu

Sebuah rumah perahu sedang mengarungi sungai/Dewie Suwiryo

Di dalam perahu ada kasur lipat, bantal, selimut, serta perkakas dapur semisal piring, panci, dan tungku kayu. Alat pancing dan berburu juga ada. Tidak mewah memang, namun cukup untuk bertahan.

Kehidupan di rumah perahu, sesekali berhenti di pinggir sungai

Saat penghuni rumah perahu sedang melakukan perjalanan jauh, mereka biasanya akan berhenti di tepian sungai agak lama untuk mencari persediaan makanan. Dalam perjalanan jarak dekat, mereka tetap singgah di tepian, namun hanya sebentar. Bahan makanan yang mereka cari bermacam-macam, dari mulai sagu, pinang, petatas (ubi), kasbi (umbi talas), ikan, sayuran, serta kayu bakar untuk memasak.

Saat-saat menepi ini juga mereka manfaatkan untuk mengecek atap. Kalau ada yang perlu diperbaiki, mereka akan mencari bahannya di hutan. Selain mencari bahan makanan dan memperbaiki perahu, mereka juga melakukan aktivitas lainnya seperti mengambil dan memasak air, mencuci pakaian, dan mencari ikan.

kehidupan di rumah perahu

Rumah perahu sedang menepi/Dewie Suwiryo

Sebelum mencari ikan, mengambil air, dan mencuci, penghuni rumah perahu biasanya melepaskan bagian atas rumah perahunya dan meninggalkannya sejenak di tepian hutan dekat mereka menepi. Setelah bagian atas dilepas, rumah perahu itu berubah jadi kole-kole yang lebih mudah untuk didayung ke mana-mana.

Pembagian tugas dalam keluarga, antara ibu, ayah, dan anak, berbeda-beda tergantung kesepakatan tiap keluarga. Ada keluarga yang memberikan tugas kepada anak untuk menunggui bagian rumah perahu yang dilepas sambil menjaga stok makanan. Sementara, sang ibu dan ayah mengayuh kole-kole untuk mengambil air, mencuci pakaian, dan memancing ikan. Ada pula keluarga yang ayah dan anaknya mencari air dan ikan, sementara ibu mencari bahan makanan di hutan.

kehidupan di rumah perahu

Sedang melakukan aktivitas harian/Dewie Suwiryo

Akan tetapi ada juga keluarga yang tidak memberikan tanggung jawab spesifik pada setiap anggota keluarga dan melakukan semua aktivitas harian secara bersama-sama.

Menjual bahan makanan yang berlebih ke kampung terdekat

Jika bahan makanan yang diperoleh melimpah, mereka akan menjualnya ke kampung terdekat. Sagu, misalnya, bisa dijual dalam keadaan kering atau sudah dibakar. Hasil penjualan itu digunakan untuk membeli bahan makanan yang tak bisa diperoleh di hutan, misalnya minyak goreng, telur, atau rica (cabai).

Jika ada anggota keluarga yang sakit, biasanya mereka hanya mengandalkan obat tradisional dari dedaunan berkhasiat yang mereka dapat di hutan.

kehidupan di rumah perahu

Sagu yang sudah dikeringkan/Dewie Suwiryo

Sederhana ‘kan cara mereka bertahan hidup? Kehidupan di rumah perahu mengajarkan banyak hal pada kita, yang tinggal di rumah “biasa.” Jika orang-orang rumah perahu saja bisa hidup tenang di atas air yang mengalir, kita juga pasti bisa bahagia tinggal di darat.

Kebahagiaan tak tergantung seberapa besar atau kecilnya rumahmu, namun seberapa bersyukur kamu atas karunia yang sudah diberikan oleh-Nya.

The post Beginilah Kehidupan di Rumah Perahu yang Hilir Mudik di Sorong Selatan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kehidupan-di-rumah-perahu-sorong-selatan/feed/ 2 3551
Baca Ini Dulu sebelum Jalan-Jalan ke Sorong Selatan https://telusuri.id/baca-ini-dulu-sebelum-jalan-jalan-ke-sorong-selatan/ https://telusuri.id/baca-ini-dulu-sebelum-jalan-jalan-ke-sorong-selatan/#comments Sat, 07 Oct 2017 17:15:30 +0000 http://telusuri.id/?p=2704 Para pejalan pasti sudah sangat familiar dengan Sorong yang jadi gerbang menuju Raja Ampat. Tapi, bagaimana dengan Sorong Selatan? Pasti nama itu masih asing di telinga kamu. Sorong Selatan terletak di Provinsi Papua Barat dan...

The post Baca Ini Dulu sebelum Jalan-Jalan ke Sorong Selatan appeared first on TelusuRI.

]]>
Para pejalan pasti sudah sangat familiar dengan Sorong yang jadi gerbang menuju Raja Ampat. Tapi, bagaimana dengan Sorong Selatan? Pasti nama itu masih asing di telinga kamu.

Sorong Selatan terletak di Provinsi Papua Barat dan merupakan kabupaten pemekaran dari Sorong. Pemekarannya sendiri terjadi sudah agak lama, yakni pada tahun 2002 silam. Ibukota Kabupaten Sorong Selatan adalah Distrik Teminabuan. Selain Teminabuan, ada 14 distrik lain di kabupaten ini. Kalau mau ke sini dari Sorong, kamu bisa pilih salah satu: naik mobil, kapal, atau pesawat.

Terus, di Sorong Selatan ada atraksi wisata apa saja?

Tugu Trikora (Tri Komando Rakyat)

sorong selatan
Sejarah pembebasan Irian Barat yang tersimpan di Tugu Trikora/Dewie Suwiryo

Di Sorong Selatan, kamu bisa belajar sejarah. Mungkin nggak banyak yang tahu kalau Teminabuan adalah salah satu saksi bisu dari peristiwa pembebasan Irian Barat. Cerita singkatnya begini:

Pada tahun 1961, terjadi peningkatan ketegangan dalam konflik Indonesia-Belanda tentang status Irian Barat. Di pantai sebelah selatan Irian, bentrokan terjadi di mana-mana, seperti di Merauke, Kaimana, Fak-Fak, dan Sorong. Bentrokan di Sorong terjadi di Desa Wersar, Distrik Teminabuan, yang kemudian jadi Ibukota Kabupaten Sorong Selatan.

Tanggal 19 Mei 1962, sebagai bagian dari operasi pembebasan, langit Irian Barat tiba-tiba penuh parasut karena Angkatan Udara Republik Indonesi (AURI) menerjunkan satu kompi (80 orang) Pasukan Gerak Tjepat (PGT) yang sekarang disebut Kopaskhas TNI-AU. Tapi malang, 53 prajurit gugur dan 27 lainnya menjadi tawanan Belanda.

Prasasti di Tugu Trikora/Dewie Suwiryo

Kemudian untuk mengenang peristiwa bersejarah dalam usaha untuk membebaskan Irian Barat dari Belanda itu, dibuatlah monumen yang diberi nama Tugu Trikora. Pemerintah Sementara yang ditunjuk UNTEA, Alex Silas Onim, adalah salah seorang yang memprakarsai pembuatan kerangka tugu tersebut.

Pada Tugu Trikora, tertoreh nama para pahlawan yang gugur pada penerjunan Teminabuan itu. Sampai sekarang tugu itu masih terawat. Pemerintah Daerah Sorong Selatan pun menjadikan tempat ini sebagai salah satu destinasi wisata. Selain itu, setiap tahun juga diadakan acara untuk mengenang pengorbanan para pahlawan yang gugur dalam pembebasan Irian dari tangan Belanda.

Rumah Perahu

Selain atraksi wisata sejarah, Sorong Selatan juga punya atraksi wisata budaya unik yang bakal susah sekali kamu temukan di tempat lain, yaitu rumah perahu.

sorong selatan
Rumah perahu yang menepi di pematang sungai/Dewie Suwiryo

Di sepanjang sungai menuju Distrik Kokoda dan Kokoda Utara, kamu bakal menjumpai orang-orang yang tinggal di atas perahu. Nggak seperti rumahmu yang terbuat dari beton, rumah mereka adalah perahu!

Di atas perahu, mereka tinggal dan melakukan aktivitas sehari-hari, dari mulai memasak, makan, mandi, mencuci, sampai tidur. Mereka bertahan hidup dengan memancing ikan di sungai, berburu, atau mencari sagu serta sayuran di hutan. Untuk minum, makan, dan mandi, yang mereka gunakan adalah air sungai, begitu juga untuk mencuci pakaian dan buang air.

Kalau punya sagu, hasil berburu, atau memancing yang berlebih, biasanya mereka menjualnya ke distrik terdekat. Sesekali mereka juga pergi ke Teminabuan untuk membeli stok bahan makanan sehari-hari.

sorong selatan
Melaju di sungai/Dewie Suwiryo

Untuk melihat langsung kehidupan masyarakat yang tinggal di perahu itu, kamu mesti siap untuk melakukan perjalanan panjang. Perlu waktu 12 jam naik longboat untuk bisa tiba di Distrik Kokoda. Itu pun bukan menggunakan longboat publik, melainkan longboat sewaan. Kalau dihitung-hitung, perlu sekitar 1000 liter bahan bakar untuk melakukan perjalanan panjang ke Distrik Kokoda. Makanya, rencanakan matang-matang dulu sebelum kamu jalan-jalan ke sini.

Bagaimana? Tertarik buat ke Kabupaten Sorong Selatan?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Baca Ini Dulu sebelum Jalan-Jalan ke Sorong Selatan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/baca-ini-dulu-sebelum-jalan-jalan-ke-sorong-selatan/feed/ 3 2704