sorong Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/sorong/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Thu, 12 Jun 2025 11:47:30 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 sorong Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/sorong/ 32 32 135956295 Terima Kasih, Papua https://telusuri.id/terima-kasih-papua/ https://telusuri.id/terima-kasih-papua/#respond Thu, 16 Jan 2025 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45376 Tidak ada pelajaran terbaik dari sebuah perjalanan, selain hati dan kenangan indah yang tertinggal sebagai rindu. Papua, kami pasti kembali. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: Deta Widyananda, Rifqy Faiza Rahman, dan Mauren Fitri Ada satu hal...

The post Terima Kasih, Papua appeared first on TelusuRI.

]]>
Tidak ada pelajaran terbaik dari sebuah perjalanan, selain hati dan kenangan indah yang tertinggal sebagai rindu. Papua, kami pasti kembali.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda, Rifqy Faiza Rahman, dan Mauren Fitri


Terima Kasih, Papua
Kabut tipis menyelimuti hamparan hutan adat Kampung Bariat, Sorong Selatan. Tampak aliran Sungai Kaibus yang bermuara ke laut. Di Papua, kawasan hutan dan perairan menjadi tempat sakral yang harus dijaga karena memberi sumber penghidupan masyarakat adat/Deta Widyananda

Ada satu hal yang sangat menakjubkan dari orang-orang Papua. Tanpa mengatakan nama daerah, hanya dengan menyebut nama marga, maka orang Papua akan tahu dari mana asal daerah seseorang. Ko pu marga Kalami, maka ko orang suku Moi dari Malaumkarta, Sorong. Kam pu marga Kareth, maka kam orang suku Tehit dari Bariat, Sorong Selatan. Dong pu marga Waisimon, maka dong orang suku Namblong dari Yenggu Baru, Jayapura. Dan seterusnya.

Bayangkan. Dari satu suku besar saja, terdapat turunan subsuku yang masing-masing bisa berisi puluhan atau ratusan marga. Itu satu tempat. Belum daerah yang lain. Lebih dari 250 suku dan 300 rumpun bahasa bertumbuh di Papua. 

Ini belum bicara soal zonasi wilayah adat antarmarga maupun antarsuku. Belum lagi konsep kebudayaan—dengan kombinasi religiositas—yang mengikat kehidupan masyarakat dari lahir sampai mati. Termasuk di antaranya perkawinan, penerapan hukum adat, hingga pergantian ketua adat; yang melibatkan komponen-komponen ritus nan rumit sekaligus filosofis. Sistem ini menyatu dengan prinsip hidup orang Papua dalam menjaga hutan, sungai, dan laut yang menjadi sumber kehidupan. Sebuah “kedaulatan konservasi” yang sudah berjalan bertahun-tahun lamanya.

Sebab, seperti orang Papua yakini, hutan adalah ibu, hutan adalah mama. Pemberi kehidupan. Kita belajar banyak cara mereka menghargai alam. Bahkan di tengah keterbatasan atas hak mereka terhadap akses pendidikan, kesehatan, maupun ekonomi. 

Tak pelak jika lembaga-lembaga swadaya masyarakat di Papua memperjuangkan pengakuan wilayah hutan adat ke negara. Cara ini akan memperkuat legitimasi masyarakat adat sebagai pengelola hutan adat. Hanya merekalah yang jauh lebih memahami alam dan cara memanfaatkannya. Orang-orang Papua di kampung-kampung hanya perlu didampingi bagaimana meningkatkan nilai ekonomi dari mengolah hasil alam, tanpa harus merusak alam.

Pemanfaatan hutan berkelanjutan tentu akan berdampak pada pelestarian hutan itu sendiri. Berbeda dengan investasi industri ekstraktif yang berorientasi kuantitas, ekspansi, dan profit. Jika akses maupun kepemilikan komunitas adat pada hutan atau laut hilang, seperti kata Torianus Kalami, tokoh Moi di Sorong dan Malaumkarta Raya, itu sama saja dengan menghapus satu per satu kebudayaan asli Papua.

* * *

Terima Kasih, Papua
Alberto Yekwam di Pulau Um, Malaumkarta. Perjalanan pendidikan dan pengalaman hidupnya memberi pandangan tegas bagaimana semestinya negara memberi perhatian kepada orang-orang Papua/Rifqy Faiza Rahman

Kami jadi teringat Alberto Yekwam saat hendak meninggalkan Kampung Malaumkarta untuk kembali ke Kota Sorong. Pria berdarah Tambrauw-Maybrat itu adalah sopir mobil Hilux yang kami sewa selama perjalanan ke Malagufuk–Malaumkarta. Ia memang sedang mengambil jatah libur selepas lulus sekolah pilot di Colorado, Amerika Serikat; dan kami sangat beruntung bisa mengenalnya.

Sembari menunggu barang-barang bawaan kami dimuat di bagasi belakang, kami mengobrol sejenak. Salah satu yang menarik adalah sudut pandangnya dalam memaknai “kemerdekaan” untuk Orang Asli Papua (OAP). Di Papua, isu soal kemerdekaan memang sangat sensitif untuk dibahas. Namun, Berto, sapaan akrabnya, tidak sedang membicarakan itu. Sebab, menurut dia, ada sisi lain kemerdekaan yang harus diperjuangkan.

“Saya rasa, kami tidak memerlukan kemerdekaan Papua untuk menjadi sebuah negara baru, lepas dari Indonesia. Bukan itu. Yang kami inginkan [kepada pemerintah], berilah kami kemerdekaan atau kebebasan untuk mengelola hutan adat kami,” tegas Berto.

Pandangan Berto senada dengan Torianus Kalami, tokoh suku Moi di Sorong dan Malaumkarta Raya. Membangun Papua berbeda dengan Jawa, apalagi menggunakan “kacamata” Jakarta. Pendekatan yang dilakukan mesti berbasis budaya, bijaksana dalam memanfaatkan sumber daya alam, dan melibatkan masyarakat adat—karena begitulah keistimewaan Papua. 

Sekelumit contohnya sudah ada. Kita bisa lihat masyarakat Malagufuk telah memetik hasil dengan ekowisata pengamatan burung (birdwatching), membiarkan tamu rela berjalan 3,5 kilometer ke kampung agar hutan tetap asri tanpa polusi kendaraan bermotor. Ekowisata berkelanjutan juga menjadi salah satu program prioritas pace-mace di Jayapura lewat Badan Usaha Milik Masyarakat Adat (BUMMA) Yombe Namblong Nggua, selain pengembangan budi daya vanili.

Atau kiprah personal lainnya, seperti Yuliance Yunita Bosom Ulim alias Yuyun, pendiri Sinagi Papua. Jatuh bangun usahanya membuat produk bumbu asin nipah atau garam hutan kini mulai diapresiasi khalayak. Misinya untuk memberi generasi muda Papua gambaran pekerjaan alternatif selain pegawai negeri sipil (PNS) tampak sederhana, tetapi dampaknya bisa besar. Orang-orang akan tahu betapa kayanya hutan dan lautan di tanah kelahiran mereka, yang akan memberi manfaat ekonomi jika diolah dengan baik.

Kisah-kisah inspiratif yang kami temui di sebagian kecil Papua itu sejatinya menumbuhkan harapan. Di tengah keterbatasan, orang-orang Papua menunjukkan kepada kami, hubungan yang harmonis dengan alam pada akhirnya akan menjaga kehidupan manusia juga. Mereka hanya ingin agar pemerintah berpihak kepada masyarakat adat, serta membatasi upaya alih fungsi lahan adat menjadi industri ekstraktif.

Setiap tempat, setiap suku dan marga, bisa menjadi benteng terakhir yang menjaga hutan, “ibu kandung” mereka. Di luar dukungan para pemangku kebijakan, pemetaan dan pengembangan potensi ekonomi restoratif pada skala lokal menjadi salah satu jalan terbaik untuk tetap mewariskan sumber penghidupan kepada anak cucu di masa depan.

* * *

Terima Kasih, Papua
Zet Manggo (tampak punggung) mengajak anak-anak Kampung Berap bermain dengan perahu di Kali Biru. Generasi muda Papua mengemban tanggung jawab untuk mewarisi pengetahuan adat dari orang tua dan leluhur, agar kelestarian hutan adat dan hak ulayat terjaga/Mauren Fitri

Perjalanan kami di Papua pada Agustus–September lalu hampir merentang 10.000 kilometer. Ini jadi perjalanan terjauh kami. Perjalanan serba pertama bagi kami. Seperti halnya ekspedisi tahun lalu di Sumatra dan Kalimantan, kami menggunakan hampir beragam moda transportasi, kecuali bus dan perahu—ini pun hanya dipakai sebentar saat menyeberang Sungai Kaibus untuk melihat hutan mangrove di Konda, Sorong Selatan. 

Lebih dari 20 narasumber lokal, baik itu ketua adat, kepala kampung, tokoh masyarakat, mama-mama, maupun orang muda, memberi wawasan dan pandangan mencerahkan untuk bahan belajar kami. Bahkan mungkin juga Anda, sebagai pembaca TelusuRI. Sebagai orang yang tinggal di luar Papua, kita mesti berterima kasih sebanyak-banyaknya kepada orang-orang Papua terhadap upaya mereka melestarikan kekayaan alam yang tersisa.

Satu bulan jelas tidak cukup untuk mengenal Papua lebih dalam. Setiap tempat, setiap suku, setiap marga, bahkan setiap keluarga memiliki ciri khas masing-masing. Satu bulan, bukan waktu ideal untuk memberi penilaian utuh soal Papua. Sebab, setiap isu dan situasi memiliki pendekatannya sendiri-sendiri. Satu hal yang niscaya, sudut pandang kami tentang Papua semakin luas dari sekelumit pengalaman dan perjalanan di antara Sorong sampai Jayapura.

Kalau saja Piter Meres benar-benar membuatkan kami rumah di Konda, mungkin kami belum pulang sampai sekarang. Sebab, sudah pasti kami akan diberi nama marga dan diangkat sebagai keluarga besar suku Tehit. Walaupun, toh, tanpa itu kami sudah dianggap seperti keluarga. Adakalanya perjalanan itu memang harus diakhiri dan dirindukan, agar kami punya alasan untuk kelak kembali belajar kehidupan di bumi cenderawasih.

Terima kasih, Papua!


Anak-anak berlarian di jalan kampung Malaumkarta, Sorong/Rifqy Faiza Rahman

Pada Agustus–September 2024, tim TelusuRI mengunjungi Sorong dan Sorong Selatan di Papua Barat Daya, serta Jayapura di Papua, dalam ekspedisi Arah Singgah: Suara-suara dari Timur Indonesia. Laporan perjalanannya dapat Anda ikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Terima Kasih, Papua appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/terima-kasih-papua/feed/ 0 45376
Papua: Taman Bermain Burung-Burung https://telusuri.id/papua-taman-bermain-burung-burung/ https://telusuri.id/papua-taman-bermain-burung-burung/#respond Wed, 15 Jan 2025 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45341 Ternyata, melihat burung-burung liar secara langsung di habitatnya memberi pengalaman dan pelajaran yang jauh berbeda. Meski mengalami keterbatasan, rasanya sudah seperti candu. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: Deta Widyananda, Rifqy Faiza Rahman, dan Mauren Fitri Kami...

The post Papua: Taman Bermain Burung-Burung appeared first on TelusuRI.

]]>
Ternyata, melihat burung-burung liar secara langsung di habitatnya memberi pengalaman dan pelajaran yang jauh berbeda. Meski mengalami keterbatasan, rasanya sudah seperti candu.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda, Rifqy Faiza Rahman, dan Mauren Fitri


Papua: Taman Bermain Burung-Burung
Hutan kecil di tengah Pulau Um, Malaumkarta, Sorong. Ruang hidup bagi kelelawar, camar, dan beberapa burung yang bermigrasi dari Australia/Deta Widyananda

Kami berangkat ke Papua berbekal fakta: tutupan hutan di pulau ini paling luas di Nusantara. Lebih dari 30 juta hektare, mencakup 30 persen dari total luas hutan Indonesia. Hutan dan seisinya menjadi tempat menggantungkan hidup bagi masyarakat adat. Sejumlah aturan adat diberlakukan untuk menjaga sumber kehidupan pemberian Tuhan tersebut.

Bicara Papua tak bisa lepas dari cenderawasih, burung endemis Papua yang sering disebut burung surga. Laiknya manusia, cenderawasih juga menggantungkan hidupnya pada ekosistem hutan yang asri. Kemolekan burung ini mengundang banyak turis lintas negara berkunjung dan rela blusukan ke pelosok rimba tropis untuk melihatnya bernyanyi dan menari. Tak mengherankan ketika pada 1970-an kakak-beradik Lawrence dan Lorne Blair dari Inggris melakukan ekspedisi gila keliling Nusantara dalam program Ring of Fire, yang salah satunya demi mencari dan merekam cenderawasih bersama suku lokal.

Papua: Taman Bermain Burung-Burung
Sefnat Magablo, salah satu tokoh adat Moi Kelim di Kampung Malagufuk, menunjukkan pohon merbau berusia tua yang biasa dijadikan tempat singgah dan bernaung banyak burung. Peran masyarakat adat sangat penting dalam memastikan kelestarian hutan di Papua/Deta Widyananda

Tempat-tempat yang kami datangi, dari Sorong sampai Jayapura, ternyata bukan hanya jadi rumah aman bagi cenderawasih, melainkan juga burung-burung lain yang tidak kalah menarik. Sisi lain yang paling penting dalam perjalanan Arah Singgah, di antaranya mengajarkan kami tentang penghormatan manusia—masyarakat adat—pada alam dan makhluk hidup yang berdampingan secara harmonis dalam mengisi hari-harinya.

Dan inilah hasil pengamatan kami—di tengah keterbatasan alat, tenaga, dan waktu—selama keluar masuk hutan Papua. Kami merasakan nuansa alam yang menjadi ruang hidup sekaligus taman bermain burung-burung cantik itu.

The post Papua: Taman Bermain Burung-Burung appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/papua-taman-bermain-burung-burung/feed/ 0 45341
Perjalanan Penuh Doa di Langit Sorong–Jayapura https://telusuri.id/perjalanan-penuh-doa-di-langit-sorong-jayapura/ https://telusuri.id/perjalanan-penuh-doa-di-langit-sorong-jayapura/#respond Sat, 11 Jan 2025 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45271 Tiga pekan mengarungi kisah masyarakat adat di Sorong dan Sorong Selatan, ekspedisi Arah Singgah berlanjut ke ujung timur Provinsi Papua. Cuaca kembali jadi kendala. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: Deta Widyananda & Rifqy Faiza Rahman Perjalanan...

The post Perjalanan Penuh Doa di Langit Sorong–Jayapura appeared first on TelusuRI.

]]>
Tiga pekan mengarungi kisah masyarakat adat di Sorong dan Sorong Selatan, ekspedisi Arah Singgah berlanjut ke ujung timur Provinsi Papua. Cuaca kembali jadi kendala.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda & Rifqy Faiza Rahman


Perjalanan Arah Singgah telah sampai di etape finalnya: Jayapura. Daerah paling timur Provinsi Papua, berbatasan dengan Papua Nugini. Di sana kami berencana melakukan liputan ekonomi restoratif berbasis adat suku Namblong di tiga distrik, yaitu Nimbokrang, Nimboran, dan Namblong. Jaraknya kira-kira 65 kilometer dari Bandara Sentani.

Tentu saja, satu-satunya pilihan transportasi menuju Sentani yang paling masuk akal dan cepat adalah pesawat. Waktu itu, cuma ada dua pilihan jadwal, semua dilayani Lion Air. Kami mendapat tiket penerbangan berjadwal pukul 06.50 WIT hari Kamis (3/9/2024) dengan transit di Manokwari, karena seat penerbangan siang tanpa transit sudah habis. 

Sama halnya ketika gagal naik Susi Air ke Teminabuan dua minggu sebelumnya, kami kembali check out dari hotel sejak Subuh. Supaya praktis, kami memesan layanan mobil airport transfer lewat resepsionis.

Perjalanan Penuh Doa di Langit Sorong–Jayapura
Akhirnya, meninggalkan Sorong Raya/Rifqy Faiza Rahman

Lagi-lagi, drama pagi

Domine Eduard Osok (DEO), yang melekat pada nama bandara Sorong (kode IATA: SOQ), merupakan putra daerah asli suku Moi, yang kemudian menjadi seorang penginjil pertama di Sorong Raya. Ia dikenal sebagai sosok yang bersahaja dan dicintai umatnya. Menurut Torianus Kalami, tokoh Moi dari Malaumkarta Raya, usulan penyematan Pendeta Domine Eduard Osok sebagai nama bandara melalui perjalanan panjang, sampai akhirnya disetujui Kementerian Perhubungan. Kata Kaka Tori, sapaan akrabnya, nama tokoh penting di bandara sebagai wajah dan identitas suku Moi.

Namun, jejak kepahlawanan, kerendahan hati, dan ketokohan Domine seolah tak begitu membekas pagi itu. Sesuai dugaan, Bandara Domine Eduard Osok belum buka pagi buta. Penumpang sudah mulai ramai, tetapi petugas bandara tampak baru berdatangan, mepet dengan jadwal penerbangan pertama hari itu. Kalau tidak salah ke Jakarta dan Makassar. Situasi seperti ini kerap dikeluhkan pula oleh Kaka Tori. Setiap akan terbang dari bandara Sorong, anggota DPRD Kabupaten Sorong 2014–2019 itu sampai selalu menegur para petugas agar bekerja dengan disiplin.

Di selasar terminal keberangkatan, kami berkenalan dengan seorang pria berbadan tegap yang memakai topi dan kemeja biru. Ternyata anggota kepolisian yang sedang cuti pulang kampung sebentar ke Jayapura. Saat ini berdinas di Jawa Timur. Ia serupa kami yang heran kenapa bandara belum segera dibuka. “Lihat petugas-petugas itu, baru datang jam segini, jalannya santai kayak gak merasa bersalah,” cetusnya sembari melihat arloji. Sudah pukul 5.00 WIT, hari mulai terang. Saya menimpali, “Ya, dua minggu lalu juga seperti itu saat kami menunggu jadwal penerbangan pagi ke Teminabuan.”

Bahkan ketika harus antre memasukkan barang-barang ke mesin X-Ray, petugas setengah berteriak memburu-buru para penumpang. Maunya biar cepat, sampai-sampai prosedur melepas ikat pinggang dan arloji, atau mengeluarkan handphone dan dompet terpaksa dilonggarkan saking banyaknya penumpang yang ingin segera check in

Saya menggerutu lirih, “Salah sendiri datang telat, jadinya buru-buru dan desak-desakan.” Entah omelan saya didengar atau tidak.

Bandara yang semula hening berubah sibuk. Proses pelaporan check in cukup mulus. Barang-barang besar, seperti tas carrier, tripod, dan koper masuk bagasi. Tidak ada kendala berarti sampai kami naik ke ruang tunggu.

Akan tetapi, seperti biasa, selalu ada sedikit drama kalau naik Singa Terbang. Pertama, kode penerbangan berubah dari JT788 menjadi JT944. Mulanya kami tidak menyadari, sampai akhirnya melihat layar informasi penerbangan atau Flight Information Display System (FIDS). Di jam dan maskapai yang sama, tiba-tiba muncul kode JT944, tidak ada kode JT788 sesuai tertera dalam tiket elektronik dan boarding pass.

Saya mencoba konfirmasi ke petugas di ruang tunggu, ternyata itu memang pesawat yang sama, yang akan kami naiki. Masalahnya, tidak ada sosialisasi perubahan kode penerbangan. Tidak lucu kalau sampai ketinggalan pesawat gara-gara menunggu pesawat sesuai kode tiket yang ternyata tidak akan pernah datang.

Anggota polisi tadi kembali mengungkap kekesalannya. Ia mengkritik kebiasaan buruk maskapai yang selalu terjadi berulang. “Pasti sudah tahu juga, kan, sering terjadi kasus jual beli seat yang sudah dipesan penumpang? Apalagi di Indonesia Timur kayak Makassar dan Papua. Orang dalam bandara dan maskapai main, kok, Mas,” bocornya. Saya pikir, bukan hanya di sini saja, di banyak tempat juga saya kerap melihat keluhan serupa. Padahal, setahu saya manifes penumpang tidak boleh diutak-atik sembarangan. Itu sama dengan mencederai hak penumpang yang sudah reservasi jauh-jauh waktu.

Perjalanan Penuh Doa di Langit Sorong–Jayapura
Suasana ruang tunggu dekat Gate 2 di bandara Sorong/Rifqy Faiza Rahman

Drama kedua, sebuah realitas yang sudah jadi rutinitas, penerbangan molor nyaris satu jam. Sebab, kabarnya masih menunggu pesawat dari Makassar. Tapi, ini hampir lumrah di Indonesia, sebuah pesawat low cost pasti memiliki banyak jadwal penerbangan dalam satu hari. Alasannya, untuk efisiensi, mengingat rute-rute penerbangan di Indonesia sangat banyak dan bisa dioptimalkan sekali jalan.

Saya pernah sekali terbang dari Kupang ke Maumere dengan NAM Air, anak perusahaan Sriwijaya Air. Di Bandara El Tari, jadwal mengalami delay cukup lama, hampir dua jam. Saya kemudian melacak lewat aplikasi Flightradar24. Rupanya hari itu pesawat terlambat terbang dari Denpasar. Dari Kupang, pesawat akan terbang ke Maumere dan Ende, lalu kembali ke Bali. Bisa dibayangkan akan berapa lama penumpang menunggu di dua bandara kabupaten yang terletak di Flores itu.

Tak heran, satu pesawat akan bekerja keras memenuhi target okupansi dan biaya operasional yang jumbo per harinya. Rata-rata bisa mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah, mencakup avtur, biaya kru pesawat dan ground staff, parkir apron, dan ongkos perawatan rutin. Sebenarnya cukup bisa memahami konsekuensi dari penerbangan berbujet rendah, tetapi menurut saya masih ada ruang untuk dikelola lebih baik jika mau.

Suara pengumuman terdengar menggema di dalam terminal. Pesawat berjenis Boeing 737-900ER dengan livery putih-merah khas Lion Air baru saja mendarat. Para penumpang yang tampak kuyu menahan kantuk setelah melalui dini hari di udara terlihat keluar dari pesawat dan memasuki gedung terminal. Kami mulai bersiap-siap menunggu panggilan boarding, sembari membayangkan pramugrari yang supersibuk—mungkin juga agak tergesa—merapikan kabin agar kembali siap. Pun para ground staff dan mekanis di apron, yang harus segera mengecek kondisi mesin, roda pesawat, dan aspek-aspek keselamatan lainnya dengan teliti.

  • Perjalanan Penuh Doa di Langit Sorong–Jayapura
  • Perjalanan Penuh Doa di Langit Sorong–Jayapura

Gelap di langit Manokwari

Pagi itu Sorong cukup basah. Jejak hujan semalaman sampai jelang Subuh masih membekas di landasan pacu. Cuaca tidak cerah-cerah amat, awan-awan putih tebal masih menggantung di langit. Dugaan saya, tampaknya akan ada potensi turbulensi dalam penerbangan ke Manokwari. Saya hanya bisa berdoa semoga selamat selama perjalanan.

Kami kembali duduk satu baris. Mauren di sisi jendela sebelah kiri, Deta di tengah, dan saya di sisi lorong. Tampaknya hampir semua kursi terisi penumpang, yang terbagi tujuannya antara Manokwari atau Jayapura. Perintah mengenakan sabuk pengaman telah disampaikan pramugari. Saya tidak terlalu ingat siapa kapten pilot dan kopilot yang bertugas saat itu. Proses boarding relatif kondusif.

Tak seberapa lama, operator aircraft pushback tractor mendorong keluar pesawat dari parkir dan segera disetujui pemandu lalu lintas udara atau Air Traffic Controller (ATC) untuk menuju Runway 27 di sisi timur. Adapun Runway 09 yang berdekatan dengan laut biasanya digunakan untuk titik awal pendaratan. Panjang landasan pacu bandara Sorong ini sekitar 2.500 meter, seribu meter lebih pendek daripada landasan pacu Bandara Frans Kaisiepo, Biak, yang menjadi paling panjang di Papua dan nomor empat di Indonesia setelah Hang Nadim (Batam), Kualanamu (Deli Serdang), dan Soekarno-Hatta (Tangerang). Sudah lebih dari cukup untuk didarati pesawat berjenis Boeing 737 atau Airbus A320.

Perjalanan Penuh Doa di Langit Sorong–Jayapura
Jejak hujan semalaman di area bandara Sorong/Rifqy Faiza Rahman

Pesawat kelas ekonomi berkapasitas 189 penumpang ini pun lepas landas. Pilot membawa kami meninggalkan Sorong Raya, yang sudah mengisi cerita ekspedisi Arah Singgah selama tiga pekan. Kelak pasti akan kembali ke Tanah Malamoi (sebutan wilayah suku Moi di Kabupaten Sorong) dan Metamani (sebutan wilayah suku Tehit di Kabupaten Sorong Selatan), tempat yang sudah kami anggap seperti rumah sendiri. Rasanya bersyukur sekali bisa ketemu orang-orang hebat dan berdedikasi pada adatnya: Yuyun di Sinagi Papua, orang-orang Moi Kelim di Malaumkarta Raya, keluarga besar Afsya di Bariat, dan masyarakat Konda-Wamargege di hilir Sungai Kaibus.

Dalam 15 menit pertama, pesawat mencapai fase puncak ketinggian 23.000 kaki dan kecepatan setara 740 km/jam, melintasi wilayah Tambrauw yang sudah dikepung awan. Lalu selama 20 menit, kami menyusuri lorong-lorong gumpalan awan kelabu yang makin pekat. Kami mengalami guncangan yang lumayan terasa menggetarkan kabin. Indikator lampu sabuk pengaman sedari tadi menyala. Mulut saya komat-kamit membaca doa memohon keselamatan. Sisanya pasrah.

Kecepatan pesawat kemudian sedikit berkurang dan turun ke 15.000 kaki. Tampaknya kami mulai memasuki wilayah udara Kabupaten Manokwari. Pemandangan di sisi jendela penumpang hanya putih dan putih, sebagian mendung kelabu. Hasil dari proses presipitasi sempat membasahi jendela pesawat. Butiran-butiran air menempel di kaca, lalu terlepas seiring laju kencang pesawat.

Perjalanan Penuh Doa di Langit Sorong–Jayapura
Cuaca kelabu sebelum akhirnya memburuk ketika mendekati Manokwari/Rifqy Faiza Rahman

Setelah 45 menit terbang, pilot mengungkap cuaca buruk di area Bandara Rendani Manokwari. Menara ATC Rendani mengarahkan pilot untuk go around karena jarak pandang yang sangat terbatas (low visibility) untuk fase pendaratan. Menurut aturan Kementerian Perhubungan, jarak pandang aman minimal adalah lima kilometer. Bagi pejalan kaki atau pengendara motor, lima kilometer tampak jauh. Namun, bagi pesawat, itu pendek sekali.

“Wah, kayaknya lagi hujan deres di Manokwari,” kata saya pada Deta dan Mauren.

Belakangan saya tahu saat mengecek aplikasi Flightradar24 di ponsel. Di rentang ketinggian 6.000–8.000 kaki dan kecepatan 220–250 knots, pesawat kami berputar-putar tiga kali selama 15 menitan di pesisir timur Manokwari-Pulau Mansinam. Sampai akhirnya setelah satu jam di udara, pilot seperti menambah kecepatan dan ketinggian. Putar balik, menjauhi Manokwari.

“Para penumpang yang kami hormati, karena cuaca buruk Bandara Rendani Manokwari dan jarak pandang di bawah minimal, untuk alasan keselamatan pesawat harus kembali ke Sorong,” pilot mengumumkan rencana Return to Base (RTB).  Batik Air ID6154, yang terbang sebelum kami, bahkan terpaksa dialihkan ke Biak. 

Pikiran saya mendadak berkelana, apakah bahan bakarnya cukup? Sementara penumpang pria yang duduk di kursi D sebelah kanan saya menceletuk, “Ternyata kita hanya jalan-jalan saja ini sehingga pulang lagi ke Sorong.” Saya tersenyum dan menambah panjatan doa.

Perjalanan Penuh Doa di Langit Sorong–Jayapura
Mendarat lagi di Sorong/Rifqy Faiza Rahman

Tegang di Rendani

Hanya perlu 40 menit terbang kembali ke Sorong. Pesawat harus memutar di utara Pulau Salawati, Raja Ampat untuk mendarat di Runway 09. Landasan pacu sudah mulai mengering. Tepat pukul 09.40 WIT, pesawat terparkir sempurna. Di sinilah kami, di Domine Eduard Osok untuk yang kesekian kalinya.

Kami diarahkan pramugari untuk turun dulu ke ruang tunggu bandara dan menantikan informasi selanjutnya, apakah tetap bisa terbang hari itu atau batal. Saya berkabar pada istri dan orang tua, memastikan kami baik-baik saja.

Mauren mengajak kami mengisi perut di Arvac Lounge & Cafe, di area ruang tunggu. Kafe ini juga dikelola oleh Papua Manokwari (PAWAI) Hawai Bakery. Produsen abon gulung terkenal asal Manokwari yang hanya bisa ditemui di kota-kota besar Papua. Saya dan Deta memesan kopi, plus kue abon gulung masing-masing seporsi, yang ternyata cukup bikin kenyang. Abon gulung ini dibuat organik tanpa pengawet buatan, sehingga masa kedaluwarsanya amat pendek, sekitar 2–3 hari suhu ruangan atau 4–5 hari disimpan di kulkas. Untuk itu, membelinya sebagai oleh-oleh dilakukan saat hari kepulangan atau sehari sebelumnya.

Perjalanan Penuh Doa di Langit Sorong–Jayapura
Karena penerbangan jadi lebih rileks, saya sempatkan membaca buku Ring of Fire karya kakak-beradik Lawrence-Lorne Blair/Rifqy Faiza Rahman

Satu jam menunggu, terdengar panggilan boarding ke pesawat kami. Kelihatannya cuaca di Manokwari sudah membaik sehingga diperbolehkan terbang lagi. Saya kembali melihat anggota polisi tadi, yang kini sedang bersama seorang bapak perwira TNI Angkatan Darat. Satu pesawat juga. Namanya tampak Jawa sekali, tetapi katanya sedang dinas di Manokwari. 

Di kabin, saya kembali menyapa penumpang di sebelah saya. Lelaki Papua itu menyapa sambil bercanda, “Akhirnya jadi ke Manokwari. Kayak jalan-jalan naik pesawat aja kita ini.” Kali ini saya bisa tersenyum lebih lepas, lebih rileks. Kru pesawat tidak berganti. Saya memuji keputusan tepat dari sang pilot tadi, yang membawa kami kembali ke Sorong dengan selamat. 

Pesawat lepas landas dan mengudara tanpa kendala berarti. Cuaca sudah tidak seburuk saat pertama berangkat. Masih ada turbulensi, tapi sedikit sekali. Sepertinya terbang kala musim-musim angin selatan di daerah Pasifik lumayan menantang juga.

Penerbangan memakan waktu hampir satu jam. Visual ibu kota Provinsi Papua Barat yang berada di tepi pantai begitu jelas ketika pilot menurunkan ketinggian pesawat dan mengurangi kecepatan. Jelang mendarat, di sebelah barat terlihat gugusan pegunungan memanjang, yang kemungkinan kawasan Pegunungan Arfak.

Perjalanan Penuh Doa di Langit Sorong–Jayapura
Sesaat sebelum mendarat di Bandara Rendani Manokwari/Rifqy Faiza Rahman

Pegunungan Arfak menjadi kabupaten baru pada 2012, hasil pemekaran dari Kabupaten Manokwari. Dalam hati, kelak saya ingin ke daerah dingin itu, mengunjungi danau kembar Anggi Gida dan Anggi Giji dan menengok rumah adat seribu kaki suku Arfak. Manokwari sendiri memiliki daya tarik wisata yang menarik. Selain komoditas cokelat berkualitas ekspor di Ransiki, Manokwari Selatan, saya juga ingin ke Kampung Kwau di perbatasan Manokwari–Pegunungan Arfak. Hutan di kampung tersebut merupakan tempat terbaik untuk melihat parotia arfak, cenderawasih endemis dengan mata biru dan bulu antena di kepalanya. Burung penari itu juga kabarnya bisa ditemukan di Semenanjung Wandamen, Kabupaten Teluk Wondama. 

Setibanya di Bandara Rendani (kode IATA: MKW), sejumlah penumpang turun. Kami dan banyak penumpang lain tujuan Jayapura, tetap menunggu di pesawat. Beberapa saat berselang, penumpang dari Manokwari memasuki pesawat. Sepenglihatan saya, tingkat keterisian kursi lebih banyak daripada Sorong–Manokwari. Proses parkir dan boarding berlangsung sekitar 20 menit.

Usai penerbangan yang cukup tenang, hati kembali dibuat tegang saat take off. Sebab, bandara ini ada di pinggir laut. Ujung Runway 35, landasan pacu yang menguruk lahan reklamasi, benar-benar sudah berbatasan dengan laut lepas. Panjang runway di Rendani lebih pendek 200–300 meter daripada Sorong. Namun, sudah lebih panjang daripada sebelumnya yang hanya 2.100 meter. Pemanjangan Runway 17 di utara bandara itu menempati lahan bekas permukiman dan jalan warga. Oleh karena itu, pilot harus memacu pesawat dengan kecepatan yang cukup dan aman saat mendekati fase kritikal V1, sehingga bisa lepas landas tepat waktu. 

Rasanya plong sekali begitu pesawat berhasil melayang di atas laut. Pemandangan Pulau Mansinam di arah timur melegakan hati. Pulau berjuluk Tanah Doreri yang dihuni sebagian besar keturunan suku Biak itu memiliki sejarah panjang. Di sanalah, misionaris Jerman Carl Wilhelm Ottouw dan Johann Gottlob Geissler datang pada 5 Februari 1855, lalu mengabarkan Injil dan menyebarkan ajaran Kekristenan untuk pertama kali di Papua. Dari Mansinam, agama Kristen kemudian menyebar hampir ke seluruh Papua, sehingga Manokwari dijuluki Kota Injil. Tanggal 5 Februari pun dirayakan oleh banyak orang untuk menapaktilasi jejak Ottow dan Geissler.

Perjalanan Penuh Doa di Langit Sorong–Jayapura
Langit biru di separuh perjalanan antara Manokwari-Jayapura/Rifqy Faiza Rahman

Akhirnya, Jayapura…

Pemandangan Danau Sentani yang dikepung perbukitan hijau bergelombang menjadi tanda bahwa kami sudah memasuki wilayah Kabupaten Jayapura. Perjalanan panjang sejak pagi dari Sorong, digoda cuaca yang tak menentu, akhirnya sesaat lagi menemui ujung. Penerbangan Manokwari–Jayapura menempuh waktu sekitar 1 jam 15 menit. 

Pesawat mendarat via Runway 30 di sisi tenggara bandara, dekat bibir Danau Sentani di kawasan Ifar Besar, lalu mengerem dan berbelok ke apron sebelum menyentuh ujung Runway 12 di barat laut. Di balik gedung bandara, tampak Cagar Alam Pegunungan Cycloop begitu gagah menjulang, berselimutkan hutan lebat dengan beberapa puncak lancip.

  • Perjalanan Penuh Doa di Langit Sorong–Jayapura
  • Perjalanan Penuh Doa di Langit Sorong–Jayapura

Nomenklatur asli bandara ini adalah Bandar Udara Internasional Dortheys Hiyo Eluay (kode IATA: DJJ). Dortheys Hiyo Eluay atau Theys Hiyo Eluay dikenal sebagai tokoh asli Sentani kelahiran 1937, mantan ketua Presidium Dewan Papua bentukan Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur), tonggak sejarah perubahan nama Irian Jaya menjadi Papua dan penetapan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua. Seperti diketahui, Gus Dur dikenang sebagai sosok presiden yang peduli dan memahami antropologi rakyat Papua. Salah satu kebijakannya yang cukup kontroversial, adalah mengizinkan bendera Bintang Kejora berkibar, tetapi tetap berada di bawah kibaran Merah Putih.

Meski sempat menjadi pencetus dekrit gerakan Papua Merdeka, Theys Hiyo Eluay sebenarnya turut berjasa saat ambil bagian Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969. Ia termasuk salah satu dari sedikit delegasi asli Papua yang diundang ke Jakarta, dan hasilnya PBB memutuskan pembebasan Irian Barat dari tangan Belanda untuk bergabung dengan NKRI. Ia juga yang pada 1992 ikut membentuk Lembaga Masyarakat Adat (LMA). Sayang, Theys Hiyo Eluay tewas terbunuh pada 10 November 2001, usai diculik oleh sejumlah oknum anggota militer dari Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Penyidikan saat itu dipimpin Kapolda Papua I Made Mangku Pastika, Gubernur Bali periode 2008–2018.

Theys Hiyo Eluay kemudian dimakamkan di tengah sebuah lapangan olahraga, yang terletak persis di seberang jalan masuk menuju bandara. Berdasarkan sejarah, lahan pendirian bandara itu dulunya merupakan tanah adat milik marga Eluay, yang telah dilepaskan ke pemerintah Belanda. Menurut Yanto Khomlay Eluay, putra Theys yang seorang politikus di Jayapura sekaligus merupakan ondoafi (pewaris dan pemimpin adat) di Tanah Tabi, Sentani, mengungkap perubahan nama bandara oleh Gubernur Papua Lukas Enembe 2020 merujuk pada peran ayahnya sebagai pejuang kemanusiaan pada Pepera 1969.

Namun, di balik sejarah panjangnya, bandara tersebut memang lebih dikenal karena keberadaan Danau Sentani, yang juga merupakan nama distrik sekaligus ibu kota Kabupaten Jayapura. Luas danau air tawar yang di dalamnya memiliki pulau-pulau kecil itu mencapai 9.360 hektare. Terluas di Papua, tetapi hanya sekitar 8,2 persen dari total luas Danau Toba di Sumatra Utara. 

Perjalanan Penuh Doa di Langit Sorong–Jayapura
Saat perjalanan ke hotel, terlihat panorama Pegunungan Cycloop dari jalan akses Bandara Sentani Jayapura/Rifqy Faiza Rahman

Di teras terminal kedatangan, seorang petugas hotel menjemput kami. Kami akan menginap semalam di hotel yang sangat dekat dengan bandara dan tak jauh dari makam Theys, berjarak kurang dari lima menit. Keesokan paginya hingga beberapa hari mendatang, kami akan liputan ke Nimbokrang. Rutenya melewati pinggiran Danau Sentani, melintasi jalan aspal mulus berkelok, yang menghubungkan Jayapura dengan Kabupaten Sarmi. 

Akhirnya, Sentani. Akhirnya, Jayapura. Akhirnya, untuk pertama kalinya melihat Pegunungan Cycloop yang legendaris di depan mata.


Foto sampul:
Merekam pemandangan pesisir Manokwari sesaat sebelum mendarat untuk transit di Bandara Rendani/Rifqy Faiza Rahman

Pada Agustus–September 2024, tim TelusuRI mengunjungi Sorong dan Sorong Selatan di Papua Barat Daya, serta Jayapura di Papua, dalam ekspedisi Arah Singgah: Suara-suara dari Timur Indonesia. Laporan perjalanannya dapat Anda ikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Perjalanan Penuh Doa di Langit Sorong–Jayapura appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/perjalanan-penuh-doa-di-langit-sorong-jayapura/feed/ 0 45271
Jalan Panjang Pengakuan Hutan Adat di Sorong dan Sorong Selatan https://telusuri.id/jalan-panjang-pengakuan-hutan-adat-di-sorong-dan-sorong-selatan/ https://telusuri.id/jalan-panjang-pengakuan-hutan-adat-di-sorong-dan-sorong-selatan/#respond Fri, 10 Jan 2025 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45253 Sebelum Indonesia berdiri sebagai republik, komunitas adat di Sorong dan Sorong Selatan telah menghuni serta merawat hutan dan laut dengan kearifan lokal secara turun-temurun. Jauh sebelum konsep konservasi dan zonasi muncul. Namun, pengakuan oleh negara...

The post Jalan Panjang Pengakuan Hutan Adat di Sorong dan Sorong Selatan appeared first on TelusuRI.

]]>
Sebelum Indonesia berdiri sebagai republik, komunitas adat di Sorong dan Sorong Selatan telah menghuni serta merawat hutan dan laut dengan kearifan lokal secara turun-temurun. Jauh sebelum konsep konservasi dan zonasi muncul. Namun, pengakuan oleh negara berjalan amat lambat.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda, Rifqy Faiza Rahman, dan Mauren Fitri


Jalan Panjang Pengakuan Hutan Adat di Sorong dan Sorong Selatan
Hamparan hutan tropis di kawasan ekowisata Malagufuk, Sorong. Di Papua, hutan dan segala isinya dilindungi dan disakralkan karena memenuhi hajat orang banyak, termasuk masyarakat adat/Deta Widyananda

“Semua tanah di Papua itu tanah adat!” tegas Onesimus Ebar lantang kepada tim Ekspedisi Arah Singgah Papua 2024. Pernyataan ini terlontar dari mulut Kepala Kantor EcoNusa Sorong Selatan itu saat membahas progres pengajuan legalitas hutan adat ke pemerintah pusat di Kampung Bariat, Distrik Konda. Adrianus Kemeray, kepala kampung, juga ikut dalam diskusi. Sejumlah warga turut merapat mendengarkan dan sesekali memberikan pandangan.

Ones, panggilan akrabnya, mengungkit peristiwa heboh empat tahun silam. Pada Oktober 2020, seluruh lapisan masyarakat berkumpul. Mulai dari ketua adat, organisasi kemasyarakatan dan keagamaan, relawan, sampai yayasan nirlaba seperti Greenpeace dan Pusaka Bentala Rakyat hadir di kantor Distrik Konda. Kepala distrik saat itu, Sopice Sawor menampung aspirasi masyarakat adat yang menggelar aksi demo menolak rencana perusahaan perkebunan kelapa sawit masuk ke wilayah mereka. Sopice, yang juga istri Ones, kemudian mendesak Pemerintah Kabupaten Sorong Selatan mencabut rekomendasi izin PT Anugerah Sakti Internusa (ASI). 

Izin usaha dan izin lokasi tersebut telah dikeluarkan Bupati Otto Ihalauw pada periode 2013–2014. Rinciannya, ASI mendapat lahan seluas 37.000 hektare di Distrik Teminabuan dan Distrik Konda. Selain itu, juga ada PT Persada Utama Agromulia (PUA) yang memperoleh izin lahan 25.000 hektare di Distrik Wayer dan Distrik Kais. Namun, sampai tahun 2020 belum ada aktivitas usaha apa pun yang dilakukan kedua perusahaan tersebut. 

Khusus di wilayah Distrik Konda, Sopice menekankan bahwa sedari awal masyarakat tidak pernah menyatakan setuju adanya investasi kelapa sawit. Sebab, masyarakat adat yang terdiri dari subsuku Genma, Afsya, Nakna, dan Yaben, yang tersebar di lima kampung (Manelek, Bariat, Nakna, Konda, dan Wamargege) sangat bergantung pada sagu, hasil hutan, dan perikanan. Jika perusahaan sawit masuk dan mengubah peruntukan lahan adat, maka akan sangat merugikan masyarakat.

Upaya penolakan masyarakat adat tersebut akhirnya berhasil meluluhkan pemerintah. Pada bulan Mei 2021, Bupati Sorong Selatan Samsudin Anggiluli mencabut izin PUA dan ASI. Di akhir tahun yang sama, Samsudin mendapat perlawanan. Kedua perusahaan sempat menggugat keputusan bupati ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura. Namun, setelah melalui proses persidangan, pada 23 Mei 2022 PTUN Jayapura memutuskan menolak gugatan PUA dan ASI. Maka, keputusan bupati tetap sah.

Pemkab memang akhirnya menerbitkan peraturan daerah pada 2022 dan keputusan bupati pada 2024, yang intinya mengakui dan melindungi 42 kelompok subsuku dan ratusan marga sebagai bagian masyarakat hukum adat dan wilayah adat di Sorong Selatan. Dan seperti Ones bilang, ini harus diapresiasi. Akan tetapi, masih ada jalan terjal dan proses berlipat-lipat demi pengakuan negara, melalui kementerian kehutanan. Perjalanan masyarakat adat di sana belum akan berhenti. 

Jalan Panjang Pengakuan Hutan Adat di Sorong dan Sorong Selatan
Diskusi soal hutan adat di Kampung Bariat, Sorong Selatan/Mauren Fitri

Konsep luhur dari leluhur dalam menjaga alam

Situasi serupa juga dialami oleh komunitas adat suku Moi di Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya. Bahkan regulasi pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat Moi sudah ketok palu menjadi peraturan daerah (perda) sejak 2017. Lima tahun lebih awal daripada Sorong Selatan. Menurut Torianus Kalami, tokoh Moi dan ketua Perkumpulan Generasi Malaumkarta (PGM), sampai saat ini belum ada pengakuan resmi dari negara terhadap masyarakat hukum adat dan wilayah adat suku Moi. 

“Kita tidak tahu kapan negara akan memberi pengakuan. Perjalanannya panjang sekali,” kata pria yang akrab disapa Kaka Tori itu. Ia mengaku sampai lupa berapa kali pihaknya melakukan audiensi lintas kementerian di Jakarta. Kepala Kampung Malaumkarta Jefri Mobalen termasuk salah seorang yang cukup rutin mendampingi mantan anggota DPRD Kabupaten Sorong 2014–2019 tersebut ke ibu kota.

Kaka Tori tidak mengada-ada. Lebih dari 20 tahun lalu, ia bersama Oktovianus Mobalen sudah mendirikan PGM, yang salah satu fungsinya mengadvokasi masyarakat suku Moi dalam hal pemetaan dan pengelolaan wilayah adat, serta konservasi. Selain itu, PGM juga mendorong pelestarian tradisi egek lewat Festival Egek yang berlangsung setahun sekali.

Sebagai informasi, egek merupakan konsep konservasi tradisional dan penerapan zonasi pemanfaatan sumber daya alam terbatas ala suku Moi. Egek seperti sasi, yang memberlakukan larangan aktivitas apa pun pada area-area tertentu yang telah disepakati secara adat. Kaka Tori mengatakan egek telah berkontribusi nyata pada perlindungan kawasan hutan, laut, dan keanekaragaman hayati di tanah Moi, khususnya Malaumkarta Raya.

Termasuk di dalamnya Malagufuk, kampung kecil di pedalaman Hutan Klasow. Sekitar 15 menit berkendara dilanjut satu jam berjalan kaki 3,5 kilometer menembus jembatan kayu panjang di tengah hutan tropis. Penerapan egek tetap berlaku sekalipun aktivitas ekowisata birdwatching cenderawasih kian menggeliat. Opyor Jhener Kalami, pemuda dan koordinator ekowisata Malagufuk, bersama masyarakat telah menentukan jalur-jalur trekking yang tidak mengganggu zona egek

Sedikit berbeda dengan suku Moi, komunitas adat di Distrik Konda memiliki konsep mendasar dalam menjaga harmonisasi manusia dan alam. Baik itu subsuku Gemna (sebagian besar di Kampung Manelek), Afsya (Kampung Bariat), Nakna (Kampung Nakna), serta Yaben yang merupakan penduduk mayoritas Kampung Konda dan Wamargege. Dalam proses pemetaan wilayah adat oleh lembaga Konservasi Indonesia pada 2022, masyarakat yang menjadi bagian suku besar Tehit memiliki dua tipe pendekatan “tempat penting” untuk mengatur tata ruang adat, yaitu tempat penting sebagai identitas dan sumber penghidupan.

Tempat penting sebagai identitas (jati diri) mencakup tempat asal mula, benteng perang, kuburan leluhur, tempat keramat, tempat sejarah, lokasi rumah adat (meliputi rumah pembayaran harta pernikahan, rumah inisiasi adat untuk pemuda), hingga sekolah adat. Lalu cakupan tempat penting sebagai sumber penghidupan antara lain dusun sagu, area hutan untuk berburu dan meramu, tempat memancing ikan, hingga sumber air. 

Ketika di Bariat, Adrianus melihat dua contoh tempat penting yang bisa diakses pendatang atau orang umum seperti kami. Pertama, hutan “Mrasa” yang dekat dengan makam ibunda Yulian Kareth (ketua adat Bariat). Kedua, dusun sagu atau hutan sagu, yang kala itu kami juga diajak menyaksikan proses pengolahan sagu di lahan milik keluarga Nikson Kemeray.

Baik Kaka Tori maupun Adrianus sependapat, bahwa segala tradisi yang mereka lakukan sekarang merupakan warisan kebudayaan leluhur yang penuh nilai dan filosofi mendalam. Kedua suku besar itu memiliki kesamaan, yaitu menganggap hutan serupa halnya dengan ibu atau mama. Sebuah prinsip kehidupan yang umumnya juga dipegang erat oleh orang-orang Papua, melekat sedari lahir sampai tutup usia. Bentuk penegasan diri, yang rela dipertahankan mati-matian dari ancaman kebijakan maupun investasi yang mengatasnamakan pemerataan pembangunan.

Kiri: Masyarakat suku Moi dengan kostum adat yang biasa dipakai saat menampilkan tarian adat dalam Festival Egek di Malaumkarta, Sorong. Kanan: Yulian Kareth, ketua adat subsuku Afsya dengan busana adat di salah satu tempat keramat di dalam hutan Kampung Bariat, Sorong Selatan/Deta Widyananda

Melawan agresi sawit dan kebijakan pangan pemerintah yang salah kaprah

Dalam sebuah obrolan malam di teras rumah Adrianus Kemeray, kami sempat bercerita sekilas pengalaman perjalanan darat Sorong–Teminabuan. Kami cerita juga soal fakta lokasi perkebunan kelapa sawit yang letaknya tersembunyi di dalam hutan, jauh dari pinggir jalan raya. Rumpun pohon sawit itu baru akan terlihat ketika melintasi jalan yang menanjak di atas perbukitan.

Mendengar itu, Daniel Meres menimpali, seperti meminta kami mengingat-ingat detail pemandangan atau sesuatu yang mungkin terlewatkan selama perjalanan. Pria yang tinggal persis di seberang rumah Adrianus tersebut bilang, “Coba anak lihat di sepanjang jalan dari Sorong ke Teminabuan. Mulai dari Aimas sampai Klamono. Banyak pondok-pondok kayu di pinggir jalan, toh? Itu adalah rumah buat 2–4 keluarga. Dulu itu hutan, sekarang habis karena sawit masuk.” Di Bariat, orang-orang tua memanggil kami ‘anak’, karena tidak terlalu hafal nama kami.

Kami pun terkesiap. Tak menyangka. Belum sempat menanggapi, Daniel kembali bersuara lantang, “Kalau sampai sawit masuk [Distrik] Konda, kita mau makan apa? Mau bikin rumah pakai apa? Bagaimana anak cucu kita nanti?”

Jalan Panjang Pengakuan Hutan Adat di Sorong dan Sorong Selatan
Salah satu ruas jalan antara Aimas-Klamono yang dulunya hutan lebat. Ada sejumlah perusahaan perkebunan kelapa sawit di sekitar sini dengan lokasi perkebunan agak tersembunyi/Rifqy Faiza Rahman

Di titik inilah kami semakin memahami pandangan hidup dan kedekatan orang-orang Papua terhadap hutan. Termasuk Kampung Bariat. Bisa dibilang, Tuhan telah menyediakan sumber daya alam yang melimpah dan dimanfaatkan secara gratis. Salah satunya adalah sagu, yang menjadi pangan pokok masyarakat, memiliki nilai ekonomi, bahkan berdampak positif mengurangi perubahan iklim lewat penyerapan karbon.

Saat di Bariat, kami diajak melihat salah satu tempat penting atau keramat di dalam hutan. Lokasinya berada di area makam ibunda Yulian Kareth, tokoh adat Bariat. Persis di sebelahnya ada pohon tua yang diberi nama “Mrasa”. Kami ingat sempat melihat sebuah pohon merbau (kayu besi) di yang tumbuh di dekat Mrasa. Dalam pandangan saya, ukuran batang tegaknya terbilang besar, sampai-sampai tidak akan mampu dipeluk satu orang. 

Tapi, lagi-lagi Daniel membuat kami terdiam dan merenung. “Kalau kayu besi yang di dekat Mrasa itu [ukurannya] masih kecil. Ada lagi yang jauh lebih besar, tapi sudah tumbang dulu sekali,” jelasnya. Saya tak sanggup membayangkan. 

Ia menambahkan, “Bayangkan sawit [akan] tebang habis hutan kita, berapa lama mau menanam kayu besi itu? [Pasti] lama sekali. Dari [masih] anak, sampai punya anak, sampai punya anak lagi saja itu masih tumbuh kecil.” Bibirnya mengulas senyum. Warga lain yang ikut nongkrong malam itu tertawa kecil. Ia sekilas tampak berseloroh, tapi sesungguhnya getir. 

  • Jalan Panjang Pengakuan Hutan Adat di Sorong dan Sorong Selatan
  • Jalan Panjang Pengakuan Hutan Adat di Sorong dan Sorong Selatan

Di tempat terpisah, Kepala Kampung Malaumkarta Jefri Mobalen menekankan pentingnya legalitas kuat dari pemerintah pusat atas kepemilikan hutan adat. Pengakuan negara akan melegitimasi upaya-upaya kehidupan masyarakat berbasis adat, yang telah nyata mampu menjaga warisan hutan dan seisinya berabad-abad.

Sebagai orang yang duduk di struktural pemerintahan, Jefri mafhum kalau pembangunan pun juga sama pentingnya. Terutama pengembangan infrastruktur, yang fungsinya memudahkan mobilitas masyarakat menjangkau kebutuhan-kebutuhan dasar, seperti pendidikan, kesehatan, dan pasar tradisional. Namun, ia mewanti-wanti para pemangku kebijakan agar tetap memerhatikan kelestarian hutan dan keberadaan masyarakat adat. Ada kekhawatiran jika mereka tersisihkan dari rencana pengembangan modal industri ekstraktif, seperti usaha pertambangan atau perkebunan kelapa sawit.

“Kami sebagai masyarakat adat harus melestarikan hutan adat dan menjaga [dari] ancaman investasi. Karena ketika ancaman investasi itu masuk, maka kita tidak lagi dikenal sebagai pemilik hak wilayah adat. Investasi pasti masuk dengan berbagai cara untuk merusak hutan adat [kami],” tutur Jefri. 

Ia pun terang-terangan mengakui, potensi investasi ekstraktif yang ingin merebut tanah ulayat tersebut akan selalu ada sampai kapan pun. Sekalipun payung hukum tertinggi dari negara sudah dalam genggaman. Tidak ada yang pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan, lebih-lebih stabilitas politik yang masih jauh dari angan, yang selalu menjadi lahan basah para elite di kalangan pemerintahan maupun pengusaha.

Jalan Panjang Pengakuan Hutan Adat di Sorong dan Sorong Selatan
Cenderawasih kuning-kecil bertengger di pepohonan Hutan Klasow, Malagufuk, Sorong. Cenderawasih yang nyaman singgah di hutan memberi manfaat ekonomi melalui ekowisata. Alih fungsi hutan menjadi lahan perkebunan atau pertambangan yang merusak membuat alam kehilangan keseimbangan dan masyarakat adat kehilangan tempat tinggal/Deta Widyananda

Tengok saja kabar paling hangat yang terjadi sejak tahun lalu di Kabupaten Merauke, Papua Selatan. Dua proyek strategis nasional dengan skala gila-gilaan sedang berlangsung di kabupaten terluas di Indonesia tersebut. Pertama, membangun perkebunan tebu untuk swasembada gula dan pabrik bioetanol, yang diinisiasi Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi) pada 19 April 2024. Kedua, proyek cetak sawah sebagai lumbung pangan baru, yang diinisiasi Prabowo Subianto—saat itu Menteri Pertahanan dan menjadi presiden terpilih—pada tahun yang sama. 

Kedua proyek tersebut ditargetkan akan menempati lahan seluas 2,29 juta hektare yang disiapkan Pemerintah Provinsi Papua Selatan dan Pemerintah Kabupaten Merauke. Itu sama dengan separuh dari total daratan Merauke, atau 70 kali lipat luas Jakarta. Mencaplok belasan distrik terdampak, mengganggu ruang hidup puluhan ribu penduduk, serta melenyapkan jutaan hektare tanah ulayat suku Marind-Anim—komunitas adat terbesar Merauke. Jokowi dan Prabowo seperti tidak pernah belajar pada proyek serupa zaman Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) yang gagal. Alih-alih diperbaiki, justru hampir 1,3 juta hektare bekas lahan MIFEE terbengkalai dan sebagian dimanfaatkan puluhan korporasi ekstraktif yang semula termasuk dalam konsorsium penggarap proyek.

Akibatnya, Merauke mengalami laju deforestasi terbesar di Tanah Papua. Auriga Nusantara mencatat, selama 2011–2019 sekitar 123.000 hektare hutan—baik itu hutan alam maupun nonhutan alam—lenyap seiring izin pelepasan kawasan hutan (PKH) meluncur ke sejumlah perusahaan atau mendukung program pemerintah. Di periode yang sama, total laju deforestasi di Sorong dan Sorong Selatan hanya seperempat Merauke. Namun, tidak menutup kemungkinan dua kabupaten bertetangga di Papua Barat Daya itu mengalami nasib serupa. 

Masa depan hutan primer Indonesia, khususnya Papua, terancam suram menyusul pernyataan kontroversial Presiden Prabowo Subianto akhir tahun lalu. Di depan peserta Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Bappenas (30/12/2024), Prabowo mengatakan perlunya menambah lahan kelapa sawit di Indonesia. Ia menganggap sawit merupakan komoditas strategis dan aset negara yang tidak akan menyebabkan deforestasi. Dari sudut pandangnya, sawit dianggap setara dengan pohon-pohon tropis karena memiliki daun dan menyerap karbondioksida.

Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni ikut memperparah situasi. Dalam pernyataannya pada 3 Januari 2025 lalu, pihaknya bermaksud membuka 20 juta hektare hutan di seluruh provinsi di Indonesia untuk mendukung program lumbung pangan Kementerian Pertanian dan ESDM. Angka tersebut setara hampir dua kali luas Pulau Jawa, atau lebih dari separuh luas hutan Papua. 

Jalan Panjang Pengakuan Hutan Adat di Sorong dan Sorong Selatan
Hasil pembukaan hutan besar-besaran untuk perkebunan kelapa sawit di Nimbokrang, Jayapura. Situasi serupa yang jamak terjadi di beberapa distrik di Sorong maupun Sorong Selatan/Deta Widyananda

Pesan untuk negara: Papua bukan tanah kosong

Langkah-langkah sembrono pemerintah tersebut layak dikritik keras dan harus dilawan, karena seolah beranggapan kehilangan satu pohon tak akan berarti apa-apa. Padahal, deforestasi tidak hanya mengancam keanekaragaman hayati, tetapi juga menggusur ruang hidup masyarakat adat yang tinggal di kawasan hutan. Sebab, mengutip kata Daniel, kita tidak akan pernah bisa memulihkan hutan dan seisinya—apalagi ekosistem dan rantai makanannya—seperti sediakala. 

Di sisi lain, pernyataan pemerintah juga sangat bertentangan dengan komitmen Indonesia sebagai anggota Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD). Sidang pleno terakhir The 2024 United Nations Biodiversity Conference of the Parties (COP16) pada 1 November lalu, menuntut setiap negara mengakui peran masyarakat adat dan komunitas lokal dalam konservasi keanekaragaman hayati dan pemanfaatan sumber daya alam berkelanjutan.

Dalam rilis resminya, seperti dikutip Tempo (3/1/2025), peneliti The Indonesian Institute Christina Clarissa Intania mengingatkan negara harus hadir dan menghormati keberadaan serta hak-hak masyarakat adat. Salah satu caranya dengan segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Hukum Adat yang mandek di meja kerja DPR RI selama 14 tahun. Jika tidak segera disahkan, Christina menyebut akan banyak kelangsungan hidup masyarakat adat yang terancam karena tak kunjung mendapat pengakuan.

Berdasarkan data Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) pada 9 Agustus 2022, sebanyak 1.119 peta wilayah adat dengan cakupan lahan seluas 20,7 juta hektare telah terdaftar. Namun, dari jumlah itu baru 3,1 juta hektar yang memperoleh pengakuan pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota.

Di tingkat nasional, lebih sedikit lagi. Di Papua saja, penetapan hutan adat pertama oleh pemerintah pusat baru terjadi di dua daerah, yaitu Kabupaten Jayapura (enam wilayah hutan adat dengan total 24.582,9 hektare) dan Kabupaten Teluk Bintuni (satu wilayah hutan adat seluas 16.299 hektare). Keputusan itu diserahkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) VI pada 24 Oktober 2022 di Stadion Barnabas Youwe, Jayapura.

Tentu saja para tokoh masyarakat adat dan sejumlah lembaga terkait di Sorong maupun Sorong Selatan ingin mengikuti jejak Jayapura dan Teluk Bintuni. Di Bariat, Adrianus sudah menyatakan sikap, bahwa masyarakat Afsya tidak akan memberikan peluang sekecil apa pun kepada perusahaan kelapa sawit untuk masuk ke wilayahnya. 

“Kami minta supaya pemerintah jangan menjadikan hutan kami sebagai salah satu objek [eksploitasi] apa pun untuk [menguntungkan] kehidupan mereka. Terutama kepada rekan-rekan kami orang Papua, yang jadi bupati, yang jadi camat, yang jadi apa pun, [juga] dinas-dinas terkait,” tegas suami Dorcila Gemnasi itu, “kalau orang Papua sudah sengaja menjual tempat (hutan) kami, berarti dia lupa diri sebagai anak adat.”

Jalan Panjang Pengakuan Hutan Adat di Sorong dan Sorong Selatan
Adrianus Kemeray memanggul pelepah sagu di hutan adat Kampung Bariat/Deta Widyananda

Sampai sekarang, masyarakat subsuku Afsya di Bariat bersama Yayasan Pusaka Bentala Rakyat masih memperjuangkan kampung dan hutan adat 3.307,717 ha agar mendapat pengakuan negara. Embusan napas perjuangan yang turut ditempuh oleh kampung-kampung lain di Papua Barat Daya. Lembaga-lembaga nirlaba, seperti EcoNusa dan Greenpeace juga berperan memberi pendampingan pemetaan hingga advokasi untuk menjembatani aspirasi masyarakat dengan pemerintah.

Selain urusan administrasi dan advokasi, gerakan sosial pun juga bagian dari upaya melawan keserakahan. Bagaimanapun bentuknya. Seperti halnya suku Awyu di Boven Digoel, Papua Selatan, yang memasang banyak salib merah dari kayu di hutan-hutan adat mereka yang terancam serbuan kelapa sawit. Atau, gerilya Mama Yasinta Moiwend dan masyarakat adat Marind-Anim terdampak food estate di Merauke, datang langsung ke Jakarta dengan berlumur lumpur putih (poo) di sekujur tubuh sebagai bentuk duka.

Di tengah upaya perebutan ruang hidup masyarakat adat oleh negara maupun swasta, pengakuan wilayah hutan adat semestinya jadi keniscayaan. Segala perjuangan maupun perlawanan untuk itu harus jadi berarti. Papua memang sangat jauh dari Jakarta, dari ibu kota negara. Tapi, itu bukan berarti jauh dari pantauan. ‘Papua bukan tanah kosong’ itu bukan omong kosong. 

Seperti halnya adat yang melekat pada sendi-sendi kehidupan masyarakat, perjuangan untuk melestarikan alam dan kebudayaan adalah perjalanan yang tidak akan pernah selesai. Tidak akan mudah, tetapi belum tentu mustahil. (*)


Foto sampul:
Yulian Kareth, ketua adat subsuku Afsya Kampung Bariat, Sorong Selatan/Deta Widyananda

Pada Agustus–September 2024, tim TelusuRI mengunjungi Sorong dan Sorong Selatan di Papua Barat Daya, serta Jayapura di Papua, dalam ekspedisi Arah Singgah: Suara-suara dari Timur Indonesia. Laporan perjalanannya dapat Anda ikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Jalan Panjang Pengakuan Hutan Adat di Sorong dan Sorong Selatan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/jalan-panjang-pengakuan-hutan-adat-di-sorong-dan-sorong-selatan/feed/ 0 45253
Pulau Um dan Petuah-petuah Kehidupan https://telusuri.id/pulau-um-dan-petuah-petuah-kehidupan/ https://telusuri.id/pulau-um-dan-petuah-petuah-kehidupan/#respond Thu, 09 Jan 2025 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45236 Perjalanan ke Pulau Um, Malaumkarta, seperti memvalidasi perlunya untuk tidak berlebihan soal ekspektasi. Di antara aral, selalu ada cara untuk menikmati jeda. Siklus alam yang unik jadi bonus. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: Deta Widyananda, Rifqy...

The post Pulau Um dan Petuah-petuah Kehidupan appeared first on TelusuRI.

]]>
Perjalanan ke Pulau Um, Malaumkarta, seperti memvalidasi perlunya untuk tidak berlebihan soal ekspektasi. Di antara aral, selalu ada cara untuk menikmati jeda. Siklus alam yang unik jadi bonus.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda, Rifqy Faiza Rahman, dan Mauren Fitri


Pulau Um dan Petuah-Petuah Kehidupan
Pulau Um terlihat dari Jalan Poros Sorong-Tambrauw-Manokwari/Rifqy Faiza Rahman

Semestinya cuaca akan baik-baik saja saat siang itu (29/8/2024) kami baru sampai di Kampung Malaumkarta. Kami transit di homestay Malaway yang dikelola Hermanus Doo (50), untuk istirahat, makan siang, mandi, menyiapkan pakaian, dan mengatur logistik. Perjalanan dari pintu hutan Malagufuk dengan mobil Hilux milik Alberto Yekwam alias Berto amat singkat, kurang dari 15 menit. Langit biru sedari pagi memang sedang melingkupi Malagufuk, rumah bagi banyak cenderawasih dan fauna endemis. Keteduhan khas hutan tropis yang berbanding terbalik dengan teriknya pesisir jalan poros Sorong–Manokwari.

Sebelumnya, dari puncak jalan tertinggi di kaki Bukit Malaumkarta, tampak jelas Pulau Um menyembul di permukaan laut. Bagian tengah pulau sangat rimbun dengan tutupan pohon, di antaranya ketapang dan cemara udang, dikelilingi hamparan pasir putih. Warna air laut bergradasi, cenderung toska di zona litoral—bagian perairan yang kerap pasang surut—lalu lebih gelap di perairan dangkal. Garis-garis batas pulau dan air laut di sekitarnya begitu kontras karena hari itu benar-benar cerah.

Tidak bisa dimungkiri, saya sampai berharap dalam batin, terangnya hari awet selama kunjungan kami ke Pulau Um. Hari itu, agendanya memang piknik. Opyor Jhener Kalami alias Opi (28), bahkan bersedia membawa banyak peralatan camping dari rumahnya di Malagufuk. Peserta berkemah cukup banyak. Selain Opi, warga Malagufuk lain yang ikut adalah Andy (adik kandung Opi). Adapun pemuda Malaumkarta yang gabung adalah Soraya dan Jackson. Hermanus akan mengantar kami dengan perahunya yang bersandar di pantai tak jauh dari penginapan. Sementara Berto dan Ariss Saa, saudaranya, akan menyusul malam setelah membereskan beberapa keperluan di Kota Sorong.

Lazimnya berekreasi, kami menyiapkan aneka makanan dan minuman sebagai bekal bermalam di pulau. Sudah terbayang suasana khas camping di pantai dengan api unggun, menyeduh kopi panas, membicarakan kehidupan, atau memotret bintang. Kejenakaan Opi dan Andy yang menular membuat saya cukup optimis rencana piknik kami akan baik-baik saja. 

Pulau Um dan Petuah-Petuah Kehidupan
Dermaga Kampung Malaumkarta yang sudah rusak. Tampak perahu milik Hermanus di sisi kanan sedang tertambat di atas air. Kami membawa barang dan bekal berkemah secara estafet ke pantai ini/Mauren Fitri

Disambut kelelawar, camar, dan hujan besar

Kami baru benar-benar siap berangkat menyeberang ke pulau sekitar pukul 17.00 WIT. Hermanus pergi lebih dulu ke pantai untuk menyiapkan perahunya. Saya dan kawan-kawan yang lain gotong-royong menggotong barang dan bekal konsumsi. Padahal hanya ke pulau saja, tapi bawaannya seperti pindah rumah.

Total ada empat tenda yang dibawa. Saya dan Mauren sama-sama menggendong ransel dan dry bag (tas kedap air), sementara Deta tetap dengan ransel khusus kamera dan lensa andalannya—beratnya bahkan melebihi carrier gunung saya. Dua lembar koba-koba atau tikar tradisional khas Papua yang kami beli di Konda juga ikut terangkut.

Satu per satu barang kami taruh ke perahu fiber biru bertuliskan “Putra Malaway”. Mesin tempel Johnson 15 PK sudah terpasang di buritan. Sembari menunggu giliran naik perahu, saya mendadak khawatir dengan perubahan rona langit. Cerlang rawi siang tadi tidak berbekas. Mega yang semula putih tipis tahu-tahu menggumpal kelabu, tampak melayang dekat sekali dengan permukaan air. Empasan angin mulai menggoyangkan lautan. Seolah paham kondisi cuaca barusan, Hermanus bergegas menyalakan mesin dan melajukan perahu berisikan delapan orang ini ke Pulau Um.

Pulau Um dan Petuah-Petuah Kehidupan
Semakin mendung saat menyeberang ke Pulau Um/Mauren Fitri

Untungnya, jarak menuju Pulau Um dekat saja. Hermanus mengarahkan laju perahu ke sisi timur pulau. Sebab, di sanalah tempat kami akan berkemah. Lima menit kemudian, perahu merapat ke pantai berpasir putih. Kami bergegas turun dan mengangkut seluruh barang bawaan ke pinggiran batas hutan mini itu.

Tenda-tenda segera dibuka. Mulanya cukup mendirikan tiga tenda. Lalu, Opi dan Jackson memasang flysheet di atas bekas api unggun. Terdapat tiang-tiang bambu yang tertancap, seperti sengaja dipasang untuk tempat berteduh darurat. Deta bergegas menyiapkan kamera dan lensa tele. Ia hendak merekam fenomena paling unik di pulau ini, yaitu pergantian ruang hidup kelelawar dan burung camar saat petang tiba.

Selain pasir putih dan kejernihan lautnya, Pulau Um juga dikenal karena menjadi rumah bagi ribuan kelelawar dan camar. Kedua satwa ini menggunakan hutan di tengah pulau secara bergantian sesuai waktunya. Sebagai makhluk yang aktif di malam hari, satu per satu kelelawar akan mulai terbangun dan terbang jauh ke arah Malaumkarta untuk makan sampai pagi. Sementara para camar melayang sedikit lebih tinggi di atas pulau, menunggu kesempatan untuk singgah dan beristirahat setelah beraktivitas sedari pagi sampai sore. Dan sebaliknya, begitu seterusnya. Sayang, karena langit sudah gelap dan mendung, kami tidak mendapatkan gambar camar.

Kelelawar, sekalipun berparas sangar dan mengerikan, perannya di alam tidak bisa diremehkan. Di daratan yang jauh dari rumahnya—Pulau Um—kelelawar akan melahap ribuan nyamuk yang bisa merugikan manusia. Kelelawar juga akan menebar biji maupun buah-buahan yang sudah dimakan dari pohon-pohon, untuk dikembalikan ke alam. Lalu camar berfungsi seperti predator puncak, yang akan menjaga keseimbangan rantai makanan.

  • Pulau Um dan Petuah-Petuah Kehidupan
  • Pulau Um dan Petuah-Petuah Kehidupan

“Kalau saja dapat momen sunset, pemandangan pergantian kelelawar dan camar ini akan cantik sekali,” kata Opi. 

Awalnya memang begitu yang kami harapkan. Namun, jangankan sunset, seutas warna jingga khas senja saja tidak tampak. Mega mengarak mendung sejak kami akan berangkat ke pulau ini. Di utara pulau, kira-kira dalam radius 1–2 kilometer, langit berubah gelap dan menghitam drastis di atas batas perairan Malaumkarta dengan Samudra Pasifik. Saya kemudian jadi teringat tentang sisi lain dari samudra terluas di dunia, yang menutupi hampir 50 persen perairan bumi ini, yaitu reputasinya sebagai pusat badai tropis.

Belum genap tenda berdiri, tiba-tiba rintik-rintik air dari langit jatuh membasahi kepala. Tanpa perlu terlalu lama menyadari, saya berseru kepada Deta untuk segera membereskan kameranya. Begitu pun pada teman-teman yang masih sibuk menyelesaikan pendirian tenda ketiga. Kami mengajak mereka mengamankan barang-barang dan memasukkannya ke tenda segera.

Pulau Um dan Petuah-Petuah Kehidupan
Tempat camp, difoto keesokan paginya/Mauren Fitri

“Aduh, kenapa malah hujan ini?” keluh Opi dengan nada lantang. Tentu saja dia bercanda. Tak disangka, alam membalikkan optimisme kami.

Beberapa jam kemudian, di tengah gerimis Hermanus datang bersama Berto dan Ariss. Setelah itu hujan kembali mengguyur deras sepanjang malam. Kami mendirikan satu tenda lagi untuk tempat tidur tambahan dan menyimpan barang-barang. Tiada perayaan api unggun di bawah flysheet darurat itu. Kami hanya menghidupkan kompor kecil saja untuk memasak makan malam sederhana dengan mi instan, plus kopi panas. 

Akan tetapi, keterbatasan tidak menghalangi perbincangan tentang isu-isu seputar Papua. Suasana tetap hangat dan seru. Makin larut, obrolan makin melebar ke mana-mana.

Pulau Um dan Petuah-Petuah Kehidupan
Hujan berarak di pesisir utara yang berbukit/Deta Widyananda

Pulau kecil yang jadi rumah aman untuk burung dan biota laut

Pulau ini teramat jauh dari rumah kami—saya, Mauren, dan Deta—di Jawa Tengah. Ribuan kilometer jaraknya. Jika kami harus pergi mencari pulau tropis seperti ini, yang terdekat adalah Taman Nasional Karimunjawa. Jaraknya sekitar 4–5 jam dengan kapal feri dari Kota Semarang. Bayangkan jadi orang Malaumkarta. Ingin main ke pulau, tinggal menyeberang kurang dari 10 menit. Berkeliling pulau pun tidak sampai setengah jam.

Untuk beberapa saat kami menikmati itu. Walau hujan memupus suasana camping yang ideal, tetapi tidak sampai mengurangi ketakjuban saya terhadap pulau tak berpenghuni (manusia) ini. Terutama siklus alam yang berjalan—keanekaragaman hayati—yang bergantung sepenuhnya pada Pulau Um dan perairan sekitarnya. 

Tidak hanya kelelawar dan camar, kami juga menjumpai spesies burung lainnya yang singgah di Pulau Um. Beberapa yang berhasil kami lihat antara lain burung gagak, serta burung-burung kecil, di antaranya cekakak suci atau sacred kingfisher (Todiramphus sanctus) dan kipasan kebun atau willie wagtail (Rhipidura leucophrys).

Biota laut yang dilindungi negara dan kerap terlihat di perairan Pulau Um pun tidak kalah banyak. Mengacu informasi dari Loka PSPL Sorong, setidaknya terdapat empat fauna endemis, yaitu ikan napoleon (Cheilinus undulatus), hiu berjalan (Hemiscyllium halmahera), dugong (Dugong dugon), dan penyu. Penyu sendiri terbagi menjadi tiga spesies, antara lain penyu lekang (Lepidochelys olivacea), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), dan penyu hijau (Chelonia mydas). Penyu-penyu ini dibuatkan penangkaran telur khusus di sepetak kecil dengan pagar pelindung sederhana berupa jaring. Letaknya di utara tenda kami. 

  • Pulau Um dan Petuah-Petuah Kehidupan
  • Pulau Um dan Petuah-Petuah Kehidupan

Lalu di dasar perairan, Hermanus menyebut kondisi terumbu karang masih terbilang sehat. Sebab, peraturan egek sangat ketat dan membuat nelayan hanya boleh melakukan molo atau menangkap ikan secara tradisional. Baik itu memancing dengan kail, menembak dengan harpun atau seruit, dan menombak. Tak jarang beberapa nelayan terlihat melaut hanya dengan perahu dayung dan menyelam berbekal kacamata selam sederhana untuk menangkap ikan. Sebagaimana diketahui, selama egek dilarang berburu lobster, lola (siput laut), dan teripang. Aturan egek juga berlaku di Pulau Um, bahkan lebih ketat. Siapa pun dilarang mengambil keanekaragaman hayati di pulau tersebut seumur hidup.

Artinya, Pulau Um telah menjadi bagian dari kebudayaan suku Moi di Malaumkarta Raya, khususnya Kampung Malaumkarta itu sendiri. Jems Su, pemuda Malaumkarta yang juga nelayan, mengaku bersyukur dengan tradisi egek dan keberadaan Pulau Um di kampungnya. 

“Saya merasa bangga bahwa wilayah Malaumkarta masih mempunyai kehidupan tradisional, dan nilai-nilai budayanya masih ada sampai hari ini,” ujarnya ketika ditemui di kampung, “ini (tradisi dan Pulau Um) adalah bagian yang harus dijaga dan dilindungi di Malaumkarta Raya.”

Pulau Um dan Petuah-Petuah Kehidupan
Ariss Saa mengisi pagi di Pulau Um dengan mencari ikan dengan tombak/Rifqy Faiza Rahman

Baginya, tidak masalah jika jenis tangkapan ikan terbatas karena egek. Toh, Ia bisa mencari sumber ekonomi tambahan dari ekowisata Pulau Um, baik itu sebagai pemandu atau motoris perahu. Ia bahkan gembira bukan main jika ada media atau stasiun televisi mempromosikan daerahnya sebagai tujuan ekowisata berbasis budaya.

Keesokan paginya, pagi sempat menunjukkan rona fajar sejenak di langit. Sisa hujan semalaman hanya membekas serupa embun-embun yang menempel di dinding tenda dan flysheet. Beberapa peralatan makan dan minum memang basah karena tak ikut disimpan, tetapi itu bukan masalah. Hanya perlu dilap dan dijemur sebentar.

Sebelum hari benar-benar terang, saya berjalan sedikit ke tepi pantai yang sedang surut. Pemandangan di pesisir Malaumkarta Raya sangat menakjubkan. Saya menduga-duga sebelah mana hutan Malagufuk tempat kami blusukan melihat cenderawasih beberapa hari sebelumnya. Ini baru secuil bagian dari Papua. Perbukitan memanjang dengan tutupan hutan tropis lebat nyaris tanpa cela—dan semoga terus begitu. Sebab, orang-orang Malaumkarta Raya bertekad menjadikan tanah adat di wilayahnya menjadi benteng alam terakhir suku Moi di Kabupaten Sorong.

“Di sana ada air terjun yang jatuh ke laut,” tunjuk Andy ke arah perbukitan itu. Kepada saya, ia bilang sebenarnya hanya perlu berlayar beberapa menit ke arah barat pesisir Malaumkarta. Sayang, kami belum sempat mampir karena diburu waktu untuk liputan di kampung dan menemui beberapa tokoh. Saya hanya bisa berharap bisa kembali lebih lama di lain waktu.

Pulau Um dan Petuah-Petuah Kehidupan
Mendung kembali menggelayuti perbukitan di pesisir utara Malaumkarta Raya/Mauren Fitri

Masih ada ruang perbaikan untuk berkembang dan berkelanjutan

Satu hal yang mengganggu dan sangat mencolok di Pulau Um adalah sampah anorganik. Kemungkinan bekas buangan para pengunjung yang berkemah sebelum kami. Rata-rata kemasan makanan dan botol minuman. Mengingat lokasi camp ideal hanya berada di sisi timur pulau, tentu akan tampak seperti menumpuk di satu tempat saja.

Sampah-sampah itu kebanyakan berserakan di batas vegetasi ketapang dengan area terbuka. Tempat di mana tenda-tenda biasa didirikan. Persoalan sampah tidak hanya berdampak pada pariwisata, tetapi juga bisa mengancam kelestarian ekosistem pulau. Sudah jamak terjadi penyu terlilit limbah jala nelayan, atau menelan plastik-plastik yang tak akan mungkin terurai.

Ke depan, pengelola wisata Malaumkarta perlu memperketat lagi pengawasan pada para wisatawan. Torianus Kalami, tokoh suku Moi dan ketua Perkumpulan Generasi Malaumkarta (PGM), mengakui masih ada pekerjaan rumah untuk mengelola ekowisata secara berkelanjutan. Ia berharap generasi muda bisa meneruskan kebudayaan Moi dan menjaga Pulau Um.

Pulau Um dan Petuah-Petuah Kehidupan
Informasi biota laut yang dilindungi. Terlihat tanaman katang-katang tumbuh subur di sekitar tempat penangkaran telur penyu/Mauren Fitri

Kemudian hal lain yang perlu diperhatikan adalah keberadaan katang-katang (Ipomoea pes-caprae) yang tumbuh cukup subur di atas pasir pantai. Bentuknya khas, serupa tanaman merambat dengan batang menjalar dan daun yang menghampar seperti rerumputan. Di sela-sela itu tumbuh bunga berbentuk seperti corong berwarna ungu. Titik terbanyak berada di sebelah utara area camp. Mengepung tempat penangkaran telur penyu. 

Di balik khasiatnya sebagai obat atau bahan sayuran, tanaman yang juga disebut batatas pesisir itu rupanya memiliki dampak negatif. Menurut Fitri Pakiding, peneliti penyu Universitas Negeri Papua, dalam presentasinya menyebut katang-katang mengancam kehidupan penyu, salah satu satwa endemis di perairan Malaumkarta ini. Meski normal berhabitat di pantai, tetapi akar tanaman ini bisa menembus kedalaman pasir tempat telur penyu bersarang dan menjadi parasit. Akar tersebut akan membungkus telur penyu, bahkan menyerap seluruh nutrisi sehingga menggagalkan penetasan.

Tentu, untuk mengatasi tantangan tersebut perlu langkah kolaboratif. Kelestarian Pulau Um bukan hanya tanggung jawab orang-orang Moi semata, melainkan juga kita sebagai tamu yang datang ke rumah mereka. (*)


Foto sampul:
Perahu Hermanus tertambat di pantai Pulau Um, Malaumkarta, Sorong/Deta Widyananda

Pada Agustus–September 2024, tim TelusuRI mengunjungi Sorong dan Sorong Selatan di Papua Barat Daya, serta Jayapura di Papua, dalam ekspedisi Arah Singgah: Suara-suara dari Timur Indonesia. Laporan perjalanannya dapat Anda ikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Pulau Um dan Petuah-petuah Kehidupan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pulau-um-dan-petuah-petuah-kehidupan/feed/ 0 45236
Ekowisata Malagufuk: Menjaga Rumah Cenderawasih, Bukan “Cenderasawit” https://telusuri.id/ekowisata-malagufuk-menjaga-rumah-cenderawasih-bukan-cenderasawit/ https://telusuri.id/ekowisata-malagufuk-menjaga-rumah-cenderawasih-bukan-cenderasawit/#respond Wed, 08 Jan 2025 09:00:44 +0000 https://telusuri.id/?p=45214 Masyarakat Gelek Kalami dan Magablo di Malagufuk memilih ekowisata sebagai jalan hidup untuk keseimbangan ekonomi dan ekologis. Bertekad menjadi benteng terakhir hutan adat Moi di Papua Barat Daya, baik untuk manusia maupun segala keanekaragaman hayati...

The post Ekowisata Malagufuk: Menjaga Rumah Cenderawasih, Bukan “Cenderasawit” appeared first on TelusuRI.

]]>
Masyarakat Gelek Kalami dan Magablo di Malagufuk memilih ekowisata sebagai jalan hidup untuk keseimbangan ekonomi dan ekologis. Bertekad menjadi benteng terakhir hutan adat Moi di Papua Barat Daya, baik untuk manusia maupun segala keanekaragaman hayati di dalamnya.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda, Rifqy Faiza Rahman, dan Mauren Fitri


Ekowisata Malagufuk: Menjaga Rumah Cenderawasih, Bukan “Cenderasawit”
Fasilitas menginap tamu yang berkunjung untuk birdwatching di Malagufuk. Terdapat pondok tamu untuk briefing dan tempat makan (paling kiri), lalu homestay dan glamping/Rifqy Faiza Rahman

Ada satu kawasan gabungan yang mencakup lima kampung adat suku Moi Kelim di Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya. Namanya Malaumkarta Raya. Terdiri dari Malaumkarta sebagai kampung induk, diikuti tiga kampung lain yang juga terletak di pantai utara Distrik Makbon, yaitu Suatolo, Sawatuk, dan Mibi. 

Kemudian satu kampung lagi bernama Malagufuk. Kampung ini mulanya berstatus kampung persiapan, sehingga usianya paling muda se-Malaumkarta Raya. Berbeda dengan empat kampung lain yang berada di pesisir, Malagufuk “tersembunyi” di dalam hutan lebat. Jalan poros Sorong–Tambrauw–Manokwari memisahkan kawasan hutan itu dengan kawasan pesisir. 

Dari pinggir jalan, permukiman kecil Malagufuk belum bisa langsung terlihat mata. Di atas dataran lapang lapang seluas 2–3 kali lapangan futsal, “sambutan” bagi para tamu yang hendak berkunjung ke kampung hanya ada dua papan informasi—yang memuat nama kampung dan keanggotaan Gereja Kristen Injili di Tanah Papua (GKI)—serta sebuah salib kayu bercat putih berkalungkan pita kain berwarna ungu yang berdiri tegak di atas tanah. Kemudian terdapat bangunan seperti rumah—atau mungkin mirip kantor kelurahan—di sebelah timur, yang lebih sering tertutup rapat kecuali ada keperluan. Ada satu-dua sepeda motor yang tersimpan di dalamnya, milik warga Malagufuk.

Di latar belakang, kerimbunan belantara tropis penuh pohon besar menjulang seperti mengundang siapa pun untuk masuk. Jembatan kayu tampak kukuh di mulut hutan, bersanding gemericik kali kecil dengan air sebening kaca. Dari sanalah, lorong alam Hutan Klasow akan mengantar langkah kaki menuju sebuah tempat di mana manusia berharmoni dengan alam. Tempat cenderawasih-cenderawasih menari dan bernyanyi dengan nyaman.

Ekowisata Malagufuk: Menjaga Rumah Cenderawasih, Bukan “Cenderasawit”
Gerbang masuk menuju Kampung Malagufuk. Pintu hutan berada di bagian kanan foto ini/Rifqy Faiza Rahman

Ketenangan di pedalaman Hutan Klasow

Perlu usaha ekstra untuk mencapai Kampung Malagufuk. Sebenarnya hanya perlu 3,5 kilometer saja dengan jalan kaki dari pintu hutan ke permukiman terpencil yang dihuni kurang dari 20 kepala keluarga tersebut. Rinciannya, 3,3 kilometer meniti jembatan kayu selebar dua meter, sisanya menapak jalan tanah berselimut rumput ke rumah keluarga sekaligus kantor Kepala Kampung Amos Kalami.

Kata Torianus Kalami (47), tokoh Moi dan ketua Perkumpulan Generasi Malaumkarta (PGM), pada 2021 Museum Rekor Indonesia (MURI) mencatat jembatan berbahan kayu besi (pohon merbau) itu sebagai salah satu jembatan kayu terpanjang di Indonesia. Pengerjaan jembatan mencapai 17 bulan, didukung penuh oleh Pemerintah Kabupaten Sorong, yang saat itu dipimpin Bupati Johny Kamuru. 

Alih-alih membuka akses atas nama pariwisata dan memanjakan kendaraan bermotor, pembangunan jembatan kayu justru memenuhi kaidah ekowisata berkelanjutan karena ramah lingkungan. “Papan-papan kayunya saja tidak berasal dari Malagufuk, tapi dari hutan di tempat lain,” kata pria yang akrab dipanggil Kaka Tori itu.

Jembatan panjang tersebut dibuat sekitar semeter lebih tinggi dari permukaan tanah yang lembek. Saat hujan deras, tanah akan becek dan berlumpur, bahkan tergenang di beberapa titik. Nuansa alami dan penuh petualangan terasa kental. Begitu memulai langkah kaki pertama, serasa terisap ke dimensi yang berbeda. Senyap, tiada kebisingan selain kicau burung dan suara-suara serangga hutan. Teriknya jalan beraspal Sorong–Manokwari lenyap seketika tatkala berjalan semakin jauh, semakin dalam memasuki rimbunnya belantara yang disebut Hutan Klasow oleh warga Malagufuk. Kami juga melewati satu-dua aliran kali (sungai kecil) berair jernih yang bisa digunakan untuk sekadar membasuh muka. 

Butuh waktu tempuh hampir satu jam untuk tiba di kampung. Kaki-kaki orang lokal tentu jauh lebih lincah dan kuat, meski harus mendorong troli merah berisi barang bawaan tamu berkilo-kilo beratnya. Sebab, mereka terbiasa berjalan tanpa alas kaki di hutan, sehingga telapak kaki seperti lengket begitu saja tanpa khawatir terpeleset.

Ekowisata Malagufuk: Menjaga Rumah Cenderawasih, Bukan “Cenderasawit”
Mauren, ketua tim ekspedisi, menyusuri jembatan kayu terpanjang menuju Kampung Malagufuk/Deta Widyananda

Sesekali saya mengecek lokasi terkini lewat aplikasi Google Maps di ponsel. Sinyal hilang timbul, tentu saja. Dari satelit, jembatan kayu ini tidak terlacak sebagai akses jalan. Tertutup hutan lebat seolah-olah tak tertembus. 

“Nanti di kampung sinyal bagus, kaka. Ada tower di kampung,” celetuk Gustap, pemuda Malagufuk yang juga bekerja sebagai pemandu dan porter. Ia dan Lamber, kerabatnya, ikut pulang menumpang mobil kami dari jalan poros Sorong-Makbon di Klawuyuk, setelah mengantar tamu ke bandara. Belakangan saya tahu menara sinyal itu bantuan dari program BAKTI Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Letak pemancar Base Transceiver Station (BTS) bertenaga surya itu berada di ujung timur kampung, dekat pondok tamu. 

Jembatan kayu itu akhirnya menemui ujung seiring terbukanya vegetasi hutan. Sebuah gapura lebar yang terbuat dari batang-batang pohon menyambut. Di sebelah kanan tertulis “Eco Village Malagufuk” dan ukiran kriya berbentuk burung cenderawasih kuning-kecil. Di sebelah kiri, terpampang informasi potensi burung cenderawasih di habitat aslinya serta larangan perburuan liar dan perusakan hutan. Pada bagian atas, deretan kata berbahasa Moi menempel pada sebuah papan kayu bertuliskan Bok Feden Paw Malagufuk: Selamat Datang di Kampung Malagufuk. 

Informasi visual tersebut merupakan bentuk penegasan kepada siapa pun yang datang. Dalam satu dekade terakhir, ekowisata birdwatching atau pemantauan burung dipilih sebagai jalan hidup untuk meningkatkan taraf ekonomi masyarakat marga (gelek) Kalami dan Magablo di Malagufuk. Tidak hanya berbasis masyarakat, tetapi juga berkelanjutan. 

  • Ekowisata Malagufuk: Menjaga Rumah Cenderawasih, Bukan “Cenderasawit”
  • Ekowisata Malagufuk: Menjaga Rumah Cenderawasih, Bukan “Cenderasawit”

Dari bukan siapa-siapa, kini mendunia

Berkah Tuhan karena kegigihan menjaga hutan dan menjaga rumah cenderawasih. Kiranya demikian ungkapan yang tepat melihat perkembangan ekowisata berkelanjutan di Malagufuk beberapa tahun terakhir. Kampung termuda di kawasan Malaumkarta Raya, Distrik Makbon, Kabupaten Sorong itu jadi tujuan para pengamat burung (birder) dari seluruh dunia. 

Charles Roring adalah salah satu nama yang sangat berperan dalam pengembangan ekowisata birdwatching di Malagufuk kurang dari sedekade lalu. Pemandu spesialis pengamatan burung berdarah Manado yang tumbuh besar di Manokwari itu mereplikasi kesuksesan serupa di Kampung Kwau, Pegunungan Arfak sebelumnya. Padahal, konsep pariwisata atau ekowisata belum pernah ada dalam kamus kehidupan masyarakat Malagufuk

“Dulu Malagufuk belum ada rumah-rumah panggung seperti sekarang, apalagi penginapan. Beberapa keluarga itu kumpul dalam satu-dua tenda terpal di pinggir hutan, yang sekarang dibangun jadi dapur umum untuk mama-mama menyiapkan makanan tamu,” kenang Charles. Saat itu, jembatan kayu belum dibangun seperti sekarang. Hanya titian kayu sederhana yang membentang di atas tanah. Saat hujan deras, langkah kaki akan berat karena terbenam lumpur.

Ekowisata Malagufuk: Menjaga Rumah Cenderawasih, Bukan “Cenderasawit”
Charles Roring hendak mengamati burung dengan spotting scope atau teropong bidik milik tamu asing yang ia pandu ke Malagufuk/Mauren Fitri

Titik balik Malagufuk mulai terjadi pada pengujung 2014, ketika ia membawa tamu dari Eropa dan mulai mengenalkan Malagufuk kepada dunia. Amos Kalami, yang sedari awal sudah menjadi kepala kampung, seperti diungkap Charles, kaget ketika mengetahui lambat laun kampung kecilnya mulai ramai turis dengan peralatan fotografi lengkap dan lensa-lensa berukuran besar. 

Popularitas Malagufuk mencapai puncak setelah Charles mendampingi tamu dari Prancis. Ia adalah jurnalis foto dari Agence France-Presse (AFP), kantor berita internasional yang bermarkas di Paris. Jurnalis tersebut ingin meliput potensi ekowisata dan bahaya deforestasi akibat rencana ekspansi perusahaan kelapa sawit yang mengancam keanekaragaman hayati endemis di hutan Malagufuk.

Foto-foto dan hasil liputan AFP pun menyebar ke seluruh dunia. Di sisi lain, Charles juga cukup rutin menulis tentang tur ekowisata birdwatching di Papua melalui blog pribadinya wildlifepapua.com, yang dikunjungi ribuan orang per bulannya. Sampai-sampai ia punya tamu-tamu langganan pegiat birdwatching yang tertarik pergi ke Papua untuk melihat cenderawasih, karena membaca blog Charles dan paket wisata yang ia tawarkan. Sorotan dunia melalui informasi jurnalistik tersebut membuat orang-orang—terutama pemerintah setempat dan masyarakat Moi—lambat laun menyadari pentingnya menjaga Hutan Klasow sebagai habitat cenderawasih dan satwa-satwa endemis Papua tersebut.

Sebagai tanggung jawab moral, secara bertahap Charles membina dan mendampingi masyarakat Malagufuk tentang cara mengelola ekowisata berkelanjutan. Khususnya kepada anak-anak muda. Ia mengajari cara memandu, melayani tamu, dan melakukan pemetaan lokasi-lokasi burung maupun satwa endemis lain di hutan. 

Saat ini manajemen ekowisata di Malagufuk dipercayakan ke Opyor Jhener Kalami alias Opi (28), putra kedua pasangan Amos Kalami dan Batseba Mobilala. Opi, dibantu orang muda Malagufuk yang sebenarnya masih memiliki hubungan keluarga, mengelola pelayanan kepada tamu yang datang dan pergi, mengatur reservasi, memandu, sampai dengan promosi di media sosial. Tidak terhitung berapa kali mereka bolak-balik Sorong–Malagufuk (55 km) untuk menjemput dan mengantar tamu domestik maupun asing. Perputaran uang dari penjualan paket tur pengamatan burung bisa mencapai ratusan juta rupiah per tahunnya.

Kiri: Antre menunggu giliran pengamatan burung cenderawasih raja di anjungan pandang sederhana. Tampak pemandu muda Gustap (dua dari kiri), ditemani Brampi (paling belakang) ikut mengobrol dengan kami saat menunggu rombongan tamu dari Cina yang sedang memotret di atas. Kanan: Opi membantu mengarahkan Deta membidik gambar cenderawasih raja/Rifqy Faiza Rahman

“Soal keahlian bahasa Inggris itu bisa sambil jalan pelan-pelan. Yang penting selalu saya tekankan untuk jangan silau dengan uang yang banyak dari hasil memandu tamu,” tegas Charles. Ia juga mengarahkan Opi dan teman-teman membatasi jumlah kunjungan tamu per harinya, agar ada jeda bagi mereka dan alam untuk beristirahat.

Pernyataan itu mengingatkan bahwa pengembangan ekowisata berkelanjutan membutuhkan kolaborasi banyak pihak. Terbangunnya pondok tamu, homestay, glamping, dan fasilitas lain yang memoles citra Malagufuk sebagai eco-village juga hasil dari kolaborasi lembaga perbankan, organisasi nirlaba, pemerintah, dan banyak lagi. Semua pemangku kepentingan harus bersinergi agar terjadi keseimbangan kebutuhan ekonomi dan pelestarian lingkungan di Malagufuk.

Kini, di Papua, Malagufuk diperhitungkan sebagai destinasi utama birdwatching selain Raja Ampat, Pegunungan Arfak, dan Jayapura. Sebab, hanya di pulau besar di timur Indonesia inilah (dan sedikit di Halmahera) burung surga itu bisa terlihat dengan mudah di hutan. Biasanya, para tamu akan sekalian berkunjung setelah menyelam atau melihat burung di Raja Ampat. 

Terutama saat musim kawin cenderawasih sepanjang Juni–Oktober. Ratusan hingga ribuan fotografer datang berbondong-bondong. Mereka rela berjalan menempuh berkilo-kilometer di jalur berlumpur, memanggul kamera dan lensa sapu jagad demi momen mahal seumur hidup. Bahkan jika gagal mendapatkan momen itu dalam satu hari, mereka akan menginap beberapa hari lagi di Malagufuk sampai misinya berhasil. 

Saat ini kurang lebih ada sekitar lima spesies cenderawasih yang terlihat di Malagufuk: cenderawasih kuning-kecil (Paradisaea minor), cenderawasih kuning-besar (Paradisaea apoda), cenderawasih raja (Cicinnurus regius), cenderawasih mati-kawat (Seleucidis melanoleucus), dan toowa cemerlang (Ptiloris magnificus). Selain cenderawasih, beberapa burung endemis lainnya yang kerap ditemui antara lain taun-taun atau julang papua (Rhyticeros plicatus), aneka cekakak atau dikenal dengan sebutan kingfisher, dan kasuari.

Sebagai informasi, biasanya Opi dan kawan-kawan akan mengajak tamu melihat cenderawasih dalam dua sesi, yaitu pagi dan sore. Tidak hanya cenderawasih. Terkadang tamu juga meminta ditemani trekking malam untuk melihat satwa-satwa nokturnal, seperti kanguru tanah, kanguru pohon, burung hantu, sampai dengan ekidna atau nokdiak (biasa disebut landak semut atau babi duri). Tamu-tamu ini rela merogoh kocek dalam-dalam demi pengalaman berharga tersebut.

  • Ekowisata Malagufuk: Menjaga Rumah Cenderawasih, Bukan “Cenderasawit”
  • Ekowisata Malagufuk: Menjaga Rumah Cenderawasih, Bukan “Cenderasawit”
  • Ekowisata Malagufuk: Menjaga Rumah Cenderawasih, Bukan “Cenderasawit”
  • Ekowisata Malagufuk: Menjaga Rumah Cenderawasih, Bukan “Cenderasawit”
  • Ekowisata Malagufuk: Menjaga Rumah Cenderawasih, Bukan “Cenderasawit”

Sejumlah satwa yang menghuni Hutan Klasow Malagufuk. Secara berurutan, terdapat cenderawasih kuning-kecil, cenderawasih raja, toowa cemerlang, ekidna, dan katak jantan Platymantis paepkei sp.

Ekowisata untuk menjaga masa depan anak cucu

Charles menjelaskan, ekowisata dengan minat khusus seperti pengamatan burung merupakan ceruk ekonomi potensial, tetapi belum digarap secara serius di Indonesia. Padahal, Indonesia merupakan rumah bagi lebih dari 1.700 spesies burung (nyaris 17% persen burung di dunia) yang memikat para penggemar burung.

Menurut data Grand View Research, nilai jasa industri ekowisata pengamatan burung global diperkirakan mencapai USD 62,73 miliar pada 2023 lalu. Mulai tahun ini sampai 2030 diproyeksikan nilainya tumbuh sebesar 6,2%. Kawasan Amerika Utara—di dalamnya terdapat Kanada, Amerika Serikat, dan Meksiko—menyumbang pangsa sebesar 27,79% dari total pendapatan global tersebut. 

Tampaknya, ada peningkatan terhadap kesadaran lingkungan, konservasi, dan perlindungan keanekaragaman hayati di hutan, sehingga mendorong orang ingin melakukan perjalanan ekowisata untuk mendapatkan pengalaman baru. Sumbangsih dari perjalanan tersebut dapat mempromosikan upaya pengelolaan sumber daya alam yang lebih baik dan mengapresiasi ekosistem yang terbangun antara manusia dan alam.

“Bayangkan di Amerika saja bisa segitu [pendapatan ekowisata]. Padahal, [keanekaragaman burung endemis] Indonesia lebih kaya, khususnya Papua,” ujar Charles. Namun, ia mengingatkan tantangan klasik yang masuk daftar teratas dalam menghambat peluang tersebut. Ia menilai, “Di Indonesia ini [terutama Papua], birokrasi pengelolaan kawasan konservasi dan pengakuan hutan adat terlalu berbelit-belit. Banyak aturan tumpang tindih.”

Ekowisata Malagufuk: Menjaga Rumah Cenderawasih, Bukan “Cenderasawit”
Opi mendorong gerobak atau troli penuh muatan barang milik tamu di jembatan kayu. Selain memandu, umumnya pemuda Malagufuk juga bisa bekerja merangkap sebagai porter/Rifqy Faiza Rahman

Di banyak tempat, seperti jamak diketahui, kapitalisme berkedok investasi atas nama pembangunan kerap mencerabut hak ulayat, peran, dan keberdayaan masyarakat hukum adat. Tak terkecuali kelapa sawit. Puluhan ribu hektare tanah adat Moi di Kabupaten Sorong telah beralih fungsi menjadi lahan konsesi perkebunan sawit. 

Berita terhangat tentu saja ketika masyarakat suku Moi Sigin melawan rencana PT Sorong Agro Sawitindo (SAS) yang akan membabat 18.160 hektare hutan adat Moi Sigin di Distrik Segun, Kabupaten Sorong. Suku Moi melakukan aksi demo di Jakarta bersama suku Awyu dari Boven Digoel, Papua Selatan, yang menyuarakan keresahan serupa atas upaya perebutan tanah adat oleh perusahaan sawit. Sebelumnya PT SAS telah memegang konsesi seluas 40 ribu hektare (ha) di Distrik Segun, Klawak, dan Klamono. Namun, Bupati Sorong Johny Kamuru mencabut izin perizinan PT SAS pada 2021, yang diperkuat pencabutan izin pelepasan kawasan dan izin usaha oleh pemerintah pusat pada 2022. PT SAS menggugat balik pemerintah ke PTUN Jakarta karena tidak terima dengan keputusan tersebut.

Selain PT SAS, ada tiga perusahaan kelapa sawit lainnya yang dicabut izinnya oleh Johny Kamuru pada tahun yang sama. PT Cipta Papua Plantation di Distrik Mariat dan Sayosa dengan lahan seluas 15.671 ha, PT Papua Lestari Abadi di Distrik Segun dengan luas lahan 15.631 ha, dan PT Inti Kebun Lestari di Distrik Salawati, Klamono, dan Segun dengan luas lahan 34.400 ha.

Masifnya ekspansi sawit di Sorong terdengar sampai telinga Opi. Ia tidak ingin Malagufuk bernasib sama. Opi menyebut, tidak sedikit di antara spesies burung cenderawasih yang ada di Malagufuk saat ini, sebelumnya berasal dari wilayah adat kampung lain di Sorong yang—sayangnya—hutannya sudah hilang akibat sawit.

“Jadi, itu yang saya takut sebenarnya, kalau misalnya ada kelapa sawit masuk,” ungkap Opi khawatir. Sebab, Hutan Klasow telah menjadi rumah aman bagi cenderawasih. Dan cenderawasih adalah salah satu burung yang membawa dampak peningkatan ekonomi kampungnya lewat ekowisata. “Jangan sampai anak cucu kami tidak melihat cenderawasih lagi, tetapi nanti mereka [hanya] melihat ‘cenderasawit’.”

Ekowisata Malagufuk: Menjaga Rumah Cenderawasih, Bukan “Cenderasawit”
Opi dengan kostum adat suku Moi. Generasi muda sepertinya mengemban tanggung jawab besar untuk menjaga hutan agar ekowisata Malagufuk bisa berkelanjutan/Deta Widyananda

Opi menegaskan, masyarakat Malagufuk akan mati-matian menjaga Hutan Klasow (nama lain hutan Malagufuk). Ia tidak ingin Malagufuk tersentuh industri ekstraktif—seperti sawit atau tambang—sejengkal tanah pun. Jika ada yang nekat masuk hutan berburu burung atau merambah lahan ilegal untuk kepentingan bisnis, itu sama saja memicu genderang perang.

Masyarakat Malagufuk telah lama mewarisi kemampuan nenek moyang dalam memanfaatkan sumber daya hutan seperlunya, lalu memakai hasil hutan tersebut secukupnya. Mulai dari mencari bahan makanan dan minuman, meramu obat-obatan tradisional, sampai dengan menggunakan kayu untuk membangun rumah, gereja, dan gedung sekolah.

Bagi orang Moi, hutan adalah tam sini, yang berarti hutan itu ibu atau mama. Mama sang pemberi segala sumber kehidupan, yang harus dihormati dan diwariskan pengetahuannya secara turun-temurun sampai generasi-generasi selanjutnya. Seorang anak memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga hutan, sebagaimana yang dilakukan orang tuanya.

Selanjutnya, bagaimana nasib Malagufuk di masa depan tergantung pada komitmen dan konsistensi bersama para gelek Kalami-Magablo dalam menjamin keberlanjutan itu. Yang jelas, orang Moi punya rumus hidup seperti kata Opi, “Ko jaga alam, alam akan jaga ko nanti.”


Foto sampul:
Toowa cemerlang, spesies burung pengicau yang termasuk dalam keluarga cenderawasih/Deta Widyananda

Pada Agustus–September 2024, tim TelusuRI mengunjungi Sorong dan Sorong Selatan di Papua Barat Daya, serta Jayapura di Papua, dalam ekspedisi Arah Singgah: Suara-suara dari Timur Indonesia. Laporan perjalanannya dapat Anda ikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Ekowisata Malagufuk: Menjaga Rumah Cenderawasih, Bukan “Cenderasawit” appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/ekowisata-malagufuk-menjaga-rumah-cenderawasih-bukan-cenderasawit/feed/ 0 45214
Hidup Berbudaya ala Suku Moi di Malaumkarta Raya https://telusuri.id/hidup-berbudaya-ala-suku-moi-di-malaumkarta-raya/ https://telusuri.id/hidup-berbudaya-ala-suku-moi-di-malaumkarta-raya/#respond Tue, 07 Jan 2025 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45118 Jauh sebelum republik ini berdiri, suku Moi telah memiliki konsep tata kelola kehidupan berbasis adat dan bernapas selaras dengan alam. Masyarakat lintas generasi di Malaumkarta Raya bersepakat menjadikan kampung-kampung mereka sebagai ruang aman terakhir untuk...

The post Hidup Berbudaya ala Suku Moi di Malaumkarta Raya appeared first on TelusuRI.

]]>
Jauh sebelum republik ini berdiri, suku Moi telah memiliki konsep tata kelola kehidupan berbasis adat dan bernapas selaras dengan alam. Masyarakat lintas generasi di Malaumkarta Raya bersepakat menjadikan kampung-kampung mereka sebagai ruang aman terakhir untuk segala makhluk hidup di Tanah Malamoi.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda & Rifqy Faiza Rahman


Hidup Berbudaya ala Suku Moi di Malaumkarta Raya
Foto udara Kampung Malaumkarta yang berada di pesisir utara Distrik Makbon. Tampak latar perbukitan dan hutan lebat yang bisa tembus sampai Kampung Malagufuk, yang juga termasuk dalam kawasan adat suku Moi bernama Malaumkarta Raya/Deta Widyananda

Sebagai daerah yang berada di wilayah Semenanjung Doberai, atau dikenal juga dengan Semenanjung Kepala Burung Papua, Sorong menjadi pintu gerbang bumi cenderawasih dari sisi barat. Namanya kesohor karena menjadi titik awal menuju wisata bahari Kepulauan Raja Ampat yang mendunia.

Arus lalu lintas pariwisata, perdagangan, dan perkembangan teknologi membuat ibu kota baru Provinsi Papua Barat Daya (pemekaran dari Papua Barat) tersebut selalu tampak sibuk dan menggeliat. Keramaiannya menyamai Jayapura, ibu kota Provinsi Papua. Jejak historis sebagai “Kota Minyak”—terlihat dari peninggalan sumur minyak tua di Klamono oleh perusahaan minyak Belanda Nederlands Nieuw-Guinea Petroleum Maatschappij (NNGPM) pada 1936—kian menguatkan Sorong sebagai kawasan niaga yang sudah menjanjikan sejak masa lampau.

Kondisi tersebut secara kasatmata tampak baik-baik saja, tetapi di sisi lain menyimpan keresahan. Menurut Torianus Kalami (47), tokoh Moi dan ketua Perkumpulan Pemuda Generasi Malaumkarta, modernisasi bisa mengancam eksistensi budaya, khususnya suku Moi yang merupakan komunitas adat terbesar di Kabupaten Sorong. Sasaran kekhawatiran itu terutama tertuju pada generasi muda. Tidak terakomodasinya kurikulum adat di dalam kebijakan pemerintah atau tingkat pendidikan dasar disinyalir jadi penyebab. Bahkan sekolah adat sudah lama vakum, sehingga para tetua tidak menurunkan pengetahuan adat kepada generasi penerus.

Namun, Kaka Tori—sapaan akrabnya—masih menyimpan harapan besar. Pengalaman kerja, jejaring sosial, hingga kiprahnya sebagai mantan anggota legislatif daerah, turut mendorong upaya pelestarian kebudayaan Moi. Salah satu bukti kerjanya adalah berhasil mengegolkan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Sorong Nomor 10 Tahun 2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Moi di Kabupaten Sorong. Payung hukum ini melegitimasi keberadaan suku Moi sebagai komunitas adat dan pemilik hak ulayat yang sah di Tanah Malamoi—sebutan wilayah Sorong. 

Hidup Berbudaya ala Suku Moi di Malaumkarta Raya
Opyor Jhener Kalami dan Soraya Doo, representasi generasi muda suku Moi dengan kostum adat di Hutan Malagufuk. Ciri khas pakaian adat suku Moi, khususnya laki-laki, terletak pada kain merah yang digunakan seperti sarung untuk menutupi cawat/Deta Widyananda

Konsep konservasi alam berbasis adat

Malaumkarta Raya merupakan kawasan wilayah adat gabungan dari lima kampung di Distrik Makbon, yaitu Malaumkarta sebagai kampung induk, lalu empat kampung hasil pemekaran: Suatolo, Sawatuk, Mibi, dan Malagufuk. Nama kampung terakhir telah masyhur sebagai destinasi kegiatan pengamatan burung cenderawasih di Papua. Sebagian besar masyarakat di wilayah ini merupakan bagian dari subetnik Moi Kelim dan berprofesi sebagai nelayan. Selain Kelim, tujuh subetnik Moi lainnya adalah Legin, Abun, Karon, Klabra, Moraid, Sigin, dan Maya.

Malaumkarta memiliki riwayat sejarah yang cukup berliku dan erat dengan peristiwa Pembebasan Irian Barat 1962. Para prajurit Kodam Brawijaya membangunnya sebagai kampung pengungsian dari warga-warga dusun sekitar yang terpencar karena menghindari bahaya semasa pendudukan Belanda di Irian Barat. Termasuk Pulau Um, pulau kecil berpasir putih di seberang Malaumkarta. Kampung baru itu untuk sementara dinamakan Brawijaya.

Sampai akhirnya hasil pemungutan suara dalam Penentuan Pendapat Rakyat tahun 1969 di Jakarta menentukan Irian Barat sah bergabung dengan Indonesia. Irian Barat kemudian berubah menjadi Papua Barat, yang lalu pada 2022 dimekarkan kembali jadi Papua Barat dan Papua Barat Daya. Para delegasi adat pun pulang ke kampung. Sepulangnya prajurit Kodam Brawijaya, masyarakat menyepakati pembentukan nama baru menjadi Malaumkarta. Mala dalam bahasa Moi berarti ‘gunung’—merujuk bukit tinggi berhutan lebat di selatan kampung, Um adalah pulau kecil seluas hampir 4 hektare itu, dan karta yang diambil dari ‘Jakarta’, lokasi tokoh adat yang mengikuti Pepera 1969.

Di balik sejarah panjang tersebut, Kaka Tori menegaskan masyarakat Moi umumnya masih mempertahankan adat yang diwariskan nenek moyang turun-temurun. Bahkan bukan hanya di Malaumkarta Raya, melainkan juga berlaku di kampung-kampung lain di wilayah Sorong Raya. Salah satu yang sangat prinsip adalah penetapan tata ruang atau wilayah adat. 

“Sebelum Indonesia (Kementerian Kehutanan) punya kebijakan atau zonasi kawasan konservasi, orang Moi sudah memilikinya lebih dulu,” tegas pria yang tidak pernah makan nasi seumur hidupnya itu. Kaka Tori menyebut sistem zonasi suku Moi sudah ada sejak zaman nenek moyang. Perlakuannya pun lebih ketat daripada konsep kawasan konservasi yang umumnya kita kenal, seperti cagar alam, suaka margasatwa, dan taman nasional.

Ia mengungkap suku Moi memiliki tiga wilayah adat sesuai cakupan dan peruntukannya, yaitu egek, kofok, dan soo. Jika menggunakan definisi kawasan konservasi ala negara, egek adalah zona pemanfaatan terbatas, sedangkan kofok adalah zona inti, dan soo merupakan zona inti khusus. 

Hidup Berbudaya ala Suku Moi di Malaumkarta Raya
Opyor memandangi pohon merbau atau biasa dikenal dengan sebutan kayu besi, yang diperkirakan berusia ratusan tahun. Biasanya kayu merbau dimanfaatkan secara terbatas oleh masyarakat untuk kebutuhan membangun rumah. Dalam sistem adat suku Moi, pohon-pohon besar seperti ini biasanya digunakan sebagai penanda batas wilayah adat antarmarga atau antarkeluarga/Deta Widyananda

Egek, dalam bahasa Moi berarti larangan. Meskipun demikian, kawasan atau lahan yang ditetapkan sebagai zona egek—misal ladang berkebun, dusun sagu, hutan, dan kawasan perairan sungai atau laut—masih bisa dimanfaatkan seperlunya selama waktu tertentu sesuai kesepakatan adat. Bisa dibilang egek adalah zona terluar dan terbatas. 

Sementara dua zona lainnya memiliki tingkat kesakralan lebih tinggi dibanding egek. Wilayah kofok bisa dibilang sebagai tempat keramat. Di kofok, para sesepuh adat biasa menggunakannya untuk keperluan sekolah atau pendidikan adat, agar kaderisasi maupun regenerasi pemimpin adat terjaga. Adapun soo berhubungan dengan elemen religi atau spiritual, yang sifatnya sangat terlarang untuk sekadar dilewati atau bahkan diakses oleh siapa saja, termasuk ketua adat sekalipun. Wilayah soo juga berarti tempat untuk para arwah.

Sepintas pembagian wilayah adat ala suku Moi tersebut tampak rumit. Namun, tata ruang seperti itu berimplikasi positif pada beberapa aspek penting. Mulai dari pengaturan lahan untuk permukiman penduduk, area berladang atau melaut sebagai sumber pencaharian masyarakat, hingga menjaga ruang hidup keanekaragaman hayati di alam. Setiap marga atau gelek memiliki dan menghormati porsi hak ulayatnya masing-masing.

Sebagai contoh, di kawasan hutan, masyarakat hanya boleh berburu babi hutan. Itu pun menurut Opyor Jhener Kalami (28), pemuda Malagufuk, perburuan babi hutan sudah mulai dibatasi untuk menjaga keseimbangan rantai makanan alam. Kaka Tori memberi contoh menarik yang menggambarkan praktik zonasi ini. 

Misalnya, ada orang dari marga Kalami sedang berburu babi hutan di wilayah adat miliknya. Kemudian ia berhasil menombak seekor babi hutan, tetapi satwa tersebut baru roboh dan mati di lahan adat milik marga Magablo. Maka, si pemburu tidak berhak membawanya pulang. 

“Pemburu itu harus melapor ke pemilik tanah, bahwa babi hutan buruannya jatuh di wilayahnya. Ia hanya boleh mencabut dan mengambil tombaknya setelah meminta izin,” terang Kaka Tori. “Nanti dia akan bilang, ‘Pace, sa kasih mati babi di ko punya tanah. Sa permisi ambil sa punya tombak, babi itu buat ko’. Jadi, begitulah cara orang Moi menghargai wilayah adat.”

  • Hidup Berbudaya ala Suku Moi di Malaumkarta Raya
  • Hidup Berbudaya ala Suku Moi di Malaumkarta Raya
  • Hidup Berbudaya ala Suku Moi di Malaumkarta Raya

Jems Su (27), menunjukkan tiga cara nelayan Malaumkarta menangkap ikan secara ramah lingkungan: (1) memancing dengan kail; (2) menyelam dangkal dengan kacamata selam kayu atau snorkel, lalu menggunakan senapan ikan tradisional (harpun) untuk menembak ikan sasaran; dan (3) menombak di pesisir pantai.

Sementara ketentuan egek di laut tidak kalah ketat. Selama masa egek berlaku, nelayan dilarang menangkap lobster, lola (sejenis keong atau siput laut), dan teripang. Nelayan hanya boleh menangkap hasil laut di luar tiga komoditas tersebut. Lokasi penangkapan ikan pun tidak boleh dilakukan di area-area yang sudah ditetapkan sebagai zona egek. Lobster, lola, dan teripang baru boleh dipanen saat egek sudah dibuka oleh ketua adat dan tokoh masyarakat, yang lazimnya berlangsung pada puncak Festival Egek Malaumkarta Raya. 

Tradisi ini hampir mirip dengan pelaksanaan lubuk larangan atau hutan larangan di masyarakat desa pedalaman di sepanjang Sungai Subayang, kawasan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling, Kampar, Riau. Di sebagian wilayah Papua dan Maluku juga disebut dengan sasi. Tentu akan ada sanksi adat khusus bagi warga yang melanggar aturan egek

Oleh karena itu, metode penangkapan ikan di pesisir Malaumkarta Raya dilakukan secara tradisional. Perahu yang digunakan melaut pun berukuran kecil, dengan mesin tempel maksimal 15 PK atau bahkan hanya mendayung dengan sampan. Maka, sebaran lokasi tangkapan tidak akan sampai ke daerah tembok karang terluar kampung yang berbatasan langsung dengan Samudra Pasifik. Dampak positifnya, ketersediaan ikan untuk makan atau dijual tetap melimpah karena tidak sampai terjadi overfishing.

Hidup Berbudaya ala Suku Moi di Malaumkarta Raya
Kepala Kampung Malaumkarta Jefri Mobalen menjelaskan filosofi kehidupan suku Moi yang berbasis adat/Rifqy Faiza Rahman

Filosofi kehidupan dari pakaian adat

Jefri Mobalen (36), Kepala Kampung Malaumkarta, menjelaskan masyarakat di Malaumkarta Raya masih mempertahankan adat dan jati diri sebagai suku Moi Kelim di tengah kemajuan zaman. Sebab, menurutnya adat memberi dampak positif bagi kehidupan manusia dan menjaga kelestarian alam. Selain sistem zonasi wilayah adat, pakaian adat masih dipertahankan oleh seluruh marga di Malaumkarta Raya.

“Pakaian adat untuk laki-laki dan perempuan berbeda. Masing-masing punya filosofinya sendiri,” jelas pria yang gemar memakai topi pet (flat cap) berwarna merah itu. Busana adat suku Moi biasanya sangat erat saat prosesi pernikahan dan hubungan rumah tangga suami istri.

Kostum adat pria relatif simpel dengan warna senada dan mencolok, yaitu merah. Merah pada kain selendang yang berfungsi sebagai celana atau sarung dengan panjang selutut bisa bermakna keberanian atau larangan. Dengan kata lain, merah juga berarti menyimbolkan egek itu sendiri. 

Hidup Berbudaya ala Suku Moi di Malaumkarta Raya
Ester Salamala (60), seorang mama dari suku Moi yang tinggal di Malaumkarta, difoto dengan pakaian adat serta noken dan tikar (koba-koba) di sisinya/Deta Widyananda

“Jika ada warga yang sedang berburu atau mencari makanan di hutan, lalu melihat kain merah terpasang di pohon, maka dia tidak boleh memasuki kawasan tersebut,” kata Jefri. Artinya, keluarga atau marga pemilik lahan adat tersebut melarang siapa pun memasuki tanahnya. Kain merah tersebut juga digunakan sebagai mahar atau mas kawin dengan jumlah tertentu saat pria Moi hendak melamar perempuan Moi.

Pakaian adat pada perempuan Moi lebih kompleks. Setiap bagiannya mengandung makna mendalam. Seorang perempuan Moi menggunakan kain sarung untuk membalut dan melindungi hampir sekujur tubuhnya. Artinya, lelaki (suami) harus menafkahi istrinya, dalam hal ini memberikan tempat tinggal atau rumah sebagai tempat berlindung. Koba-koba, sejenis tikar dari anyaman daun pandan hutan, disimpan dalam tas noken untuk alas tidur untuk suami-istri. Simbol ini bermakna komitmen menjalani rumah tangga bersama-sama, baik saat susah maupun senang.

Kemudian noken berfungsi sebagai tas atau wadah bagi istri untuk belanja atau menyimpan hasil panen saat berkebun. Tali noken biasanya dikaitkan di dahi. Terakhir, beberapa helai rumput, bunga, atau tanaman lain yang terpasang bak mahkota di kepala, merupakan simbol yang menandakan perempuan Moi baru pulang dari berkebun di hutan atau dusun sagu (istilah untuk menyebut tempat menokok dan meremas sagu). 

“Pakaian adat tersebut akan selalu disimpan rapi dan filosofinya melekat pada suami-istri seumur hidup,” tegas Jefri.

Hidup Berbudaya ala Suku Moi di Malaumkarta Raya
Demianus Magablo (60)—depan, kanan—memimpin Tari A’leing atau alen, sebuah tarian adat khas suku Moi yang bernuansa rancak dan ceria. Ia didampingi Charel Magablo (25), keponakannya, dan diiringi mama-mama di belakang. Tarian yang juga menjadi atraksi pembuka Festival Egek ini biasa ditampilkan untuk menyambut tamu yang berkunjung ke Malaumkarta/Deta Widyananda

Festival Egek: media pelestari kebudayaan

Kaka Tori mengakui, perlu usaha lebih keras dan kolaborasi multipihak untuk melestarikan kebudayaan suku Moi, khususnya di Malaumkarta Raya. Terbitnya peraturan perundang-undangan yang mengakui keberadaan suku Moi pun merupakan hasil perjalanan panjang sejak ia dan Oktovianus Mobalen menginisiasi pendirian Perkumpulan Generasi Malaumkarta (PGM).

Lembaga swadaya masyarakat tersebut telah berdiri lebih dari dua dekade. PGM dibentuk sebagai wadah komunikasi antarwarga Moi di lima kampung se-Malaumkarta Raya. Menurut Kaka Tori, PGM hadir untuk mengadvokasi masyarakat suku Moi di kawasan tersebut dalam hal pemetaan dan pengelolaan wilayah adat, konservasi, serta penyerapan aspirasi masyarakat kepada pemerintah maupun pihak-pihak pemangku kepentingan lainnya.

Selain payung hukum, pencapaian lain yang berhasil diwujudkan oleh kolaborasi PGM bersama pemerintah—kabupaten dan provinsi—maupun lembaga nonprofit lain seperti Yayasan EcoNusa adalah penyelenggaraan Festival Egek. Sebuah festival kebudayaan dengan acara kunci membuka egek dan panen raya hasil hutan maupun laut yang sebelumnya dilarang selama egek

Hidup Berbudaya ala Suku Moi di Malaumkarta Raya
Salah satu adegan dalam tari alen. Para penari membentuk lingkaran dan bergandengan tangan, lalu berputar sembari mengentak-entakkan kaki ke tanah/Rifqy Faiza Rahman

Festival yang digelar satu tahun sekali itu biasanya dibuka dengan pementasan Tari A’leing atau alen. Sebuah tarian khas suku Moi untuk menyambut tamu undangan dari berbagai kalangan, mulai dari masyarakat sipil, pemerintahan, kepolisian, militer, maupun lembaga-lembaga nonpemerintah. Selanjutnya, acara dibuka dengan ritual fie, yaitu upacara adat dengan sejumlah persembahan atau sesaji, untuk memohon izin kepada leluhur dan meminta keselamatan selama memanen hasil laut.  

Saat puncak festival inilah masyarakat diperbolehkan mengambil hasil laut secukupnya. Terutama tiga spesies yang dilarang selama masa egek, yaitu lobster, lola, dan teripang. Itu pun masih ada satu peraturan mengikat yang harus ditaati. Apabila menemukan lobster yang masih bertelur, maka masyarakat harus melepaskannya lagi ke laut. 

Hasil tangkapan tersebut kemudian diperjualbelikan selama festival. Jefri menerangkan, keuntungan ekonomi selama Festival Egek nantinya akan dimanfaatkan untuk keperluan masyarakat dan kampung. “Biasanya juga diprioritaskan untuk kepentingan agama, seperti renovasi gereja atau pembangunan rumah gembala jemaat,” ujar salah satu pembina PGM itu.

Usai kemeriahan festival, para tetua adat kembali memberlakukan egek. Setidaknya berlangsung selama setahun sampai bertemu festival berikutnya. Kearifan lokal ini juga memberi kesempatan kepada alam untuk memulihkan diri, sehingga ekosistem laut tetap terjaga. Meskipun terkadang egek dibuka sewaktu-waktu jika ada kebutuhan mendesak sesuai kesepakatan tokoh adat dan masyarakat Malaumkarta Raya. 

Hidup Berbudaya ala Suku Moi di Malaumkarta Raya
Tim ekspedisi Arah Singgah foto bersama Torinanus Kalami (dua dari kiri) dan Yuliance Yunita Bosom Ulim (tengah) setelah pertemuan dan diskusi seputar kebudayaan Moi di sebuah hotel pinggiran Kota Sorong/Dokumentasi TelusuRI

Bagi Kaka Tori, tujuan dari Festival Egek sejatinya lebih dari sekadar memenuhi kalender budaya dinas pariwisata daerah. Pria yang sedang menempuh studi Magister Antropologi Universitas Cenderawasih Jayapura itu tidak ingin Festival Egek hanya berfungsi sebagai kegiatan seremonial semata.

“Saya ingin Festival Egek menjadi ‘kamus hidup’, yang bisa menjadi tempat belajar bagi siapa pun untuk mengenal dan memahami filosofi kebudayaan suku Moi,” terangnya. Artinya, tidak hanya untuk anak-anak Moi atau orang muda Papua, tetapi juga orang-orang di luar Papua juga boleh ikut memastikan tradisi suku Moi tetap abadi sepanjang masa.

Sebab, orang Moi percaya bahwa alam memiliki peran penting sebagai sumber penghidupan mereka. Alam akan memberi apa pun yang manusia butuhkan, selama manusia menjaga alam. (*)


Foto sampul:
Perempuan Moi dengan kostum adat di Hutan Klasow, Kampung Malagufuk, Sorong/Deta Widyananda

Pada Agustus–September 2024, tim TelusuRI mengunjungi Sorong dan Sorong Selatan di Papua Barat Daya, serta Jayapura di Papua, dalam ekspedisi Arah Singgah: Suara-suara dari Timur Indonesia. Laporan perjalanannya dapat Anda ikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Hidup Berbudaya ala Suku Moi di Malaumkarta Raya appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/hidup-berbudaya-ala-suku-moi-di-malaumkarta-raya/feed/ 0 45118
Sorong–Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (2) https://telusuri.id/sorong-sorong-selatan-sebuah-jurnal-perjalanan-2/ https://telusuri.id/sorong-sorong-selatan-sebuah-jurnal-perjalanan-2/#respond Sat, 04 Jan 2025 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45047 Cuaca kurang bersahabat masih mengiringi perjalanan kami. Meski masih satu daratan, Sorong Selatan seperti punya aura berbeda, baik itu bentang alam maupun masyarakatnya. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: Rifqy Faiza Rahman & Mauren Fitri Teduhnya hutan...

The post Sorong–Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Cuaca kurang bersahabat masih mengiringi perjalanan kami. Meski masih satu daratan, Sorong Selatan seperti punya aura berbeda, baik itu bentang alam maupun masyarakatnya.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Rifqy Faiza Rahman & Mauren Fitri


Teduhnya hutan rimba tropis menyambut selepas persimpangan pos polisi Sawiat dan Pasar Klamit. Kira-kira 72,5 kilometer dari kantor Distrik Klasafet, Sorong. Samsul mengarahkan kemudi berbelok ke kanan, menuju pusat kota Teminabuan. Semak belukar setinggi truk tronton mulanya mengapit rapat jalan yang berkelok dan naik turun. Tidak seluruhnya mulus. Banyak titik yang bergelombang. Bahkan laju mobil agak merayap ketika melintasi bagian aspal yang terkelupas dengan lubang menganga.

Kondisi seperti itu membentang kurang lebih 30 km sampai bertemu percabangan jalan memasuki Kampung Tofot, Distrik Seremuk. Namun, kami cukup sabar dan senang-senang saja karena berada di kawasan vegetasi hijau dengan tegakan pohon-pohon besar merimbun. Kabut tipis bergelayut di antara kanopi pepohonan.

Sesekali saya membuka jendela. Membiarkan embusan angin sepoi membelai wajah. Menyapu kesejukan yang berbeda di kabin mobil. Lamat-lamat kami mendengar kicau burung yang kencang. Entah di mana sumbernya. Deta menduga, mungkin itu suara rangkong atau julang Papua. Sebab, kami juga melihat sekelebat satu-dua burung setia itu, dengan kepak sayap lebar yang khas, melayang tinggi di angkasa yang kelabu.  

Sorong–Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (2)
Jalanan yang membelah hutan tropis di antara Sawiat-Seremuk/Rifqy Faiza Rahman

Hujan di Kota Seribu Sungai

Ketika melewati Sungai Sembra di Srer, sekitar sembilan kilometer sebelum kota Teminabuan, hujan mendadak mengguyur jalanan. Samsul sempat kebingungan di suatu percabangan, sehingga membuat saya membuka aplikasi Google Maps untuk memandu arah.

Setelah empat jam perjalanan, kami memutuskan berhenti sejenak di sebuah minimarket di Sayolo. Persis di seberang SMP Negeri 1 Teminabuan. Mauren menginstruksikan turun untuk beli sembako tambahan, melengkapi hasil belanja yang kurang di Aimas. Buat stok logistik selama liputan di kampung-kampung nantinya. Sebab, persediaan bahan pokok di kampung pasti terbatas. Onesimus Ebar, koordinator program EcoNusa di Sorong Selatan, telah jauh-jauh hari lewat pertemuan virtual memberi saran kepada kami. 

“Sebelum masuk kampung, perlu belanja bahan makanan (bama) dulu di kota. Bisanya beras, minyak, telur, dan mi. Nanti biar mama-mama di kampung yang masak,” kata Ones, panggilan akrabnya. Kami akan menemui pria berdarah Nakna—subsuku yang menjadi bagian dari suku besar Tehit—itu dan singgah di kantornya di Wernas. Kira-kira 3,5 kilometer ke arah selatan dari Bandara Teminabuan.

Jumlah logistik yang harus dibeli sebenarnya tergantung pada seberapa lama kami berada di kampung. Selain itu, kami biasanya juga menambahkan snack dan buah, serta kopi bubuk dan gula. Sebagai ibu kota kabupaten, Teminabuan jelas menjadi rujukan masyarakat Sorong Selatan untuk mencari kebutuhan-kebutuhan pokok. Pusat pemerintahan dan perekonomian ada di sini. 

Sorong–Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (2)
Selain di minimarket, kami juga belanja tambahan logistik di pasar tradisional dekat pusat kota Teminabuan/Mauren Fitri

Hujan masih deras ketika kami bergerak ke kantor Ones. Dalam perjalanan minimarket di Sayolo ke Wernas itulah kami melewati Bandara Teminabuan. Letaknya di pinggir jalan poros menuju Ayamaru, Kabupaten Maybrat. Jangan dibayangkan bentuknya seperti bandara besar di Sorong. Bandara ini hanya melayani penerbangan-penerbangan perintis.

Susi Air menjadi satu-satunya maskapai, dengan rute berjadwal Sorong–Teminabuan yang terbang tiga kali seminggu—kalau cuaca bersahabat. Maskapai milik Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan RI periode 2014–2019 itu juga melayani rute Sorong–Inanwatan. Meski Inanwatan masih masuk Sorong Selatan, tetapi belum ada jalan yang bagus dari Teminabuan ke distrik tersebut. Naik kapal dari Pelabuhan Teminabuan, lalu menyisir pesisir selatan menjadi opsi transportasi lainnya ke Inanwatan.

Melihat hujan lebat mengguyur landasan pacu yang pendek itu, kira-kira 800 meter, rasa-rasanya kami bersyukur belum jadi naik pesawat ke kota ini. Kami cukup tercengang ketika melihat warga bebas melenggang dengan berjalan, motor, atau mobil, membelah runway menuju perkampungan di utara bandara. Saya bahkan sampai berpikir, kalau gagal mendarat di bandara, tampaknya jalan raya di depannya bisa jadi jalur pendaratan darurat. Atau bisa saja pilot menunda pendaratan gara-gara—siapa tahu—ada babi atau sapi mendadak menyeberangi runway.

Teminabuan dikenal dengan sebutan “Kota 1000 Sungai”. Sungai terbesarnya adalah Sungai Sembra yang berwarna biru jernih, yang sempat kami lihat saat melewati Srer tadi. Salah satu anak sungainya bernama Kohoin, yang membelah jantung Kota Teminabuan. 

Jika melihat lebih dekat, terpasang pipa-pipa besi memanjang dengan diameter cukup besar di sepanjang DAS Kohoin. Kabarnya, pemasangan pipa-pipa tersebut untuk mendukung pembangunan pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) berkapasitas 100 kW oleh Pemerintah Kabupaten Sorong Selatan. 

Namun, artikel Mongabay (2020) menyebut proyek energi terbarukan tersebut mangkrak sejak 2014 karena terjadi beberapa hambatan yang tidak sepenuhnya jelas. Entah adanya dugaan korupsi atau perencanaan yang kurang matang. Meski satu turbin sempat menyala ketika uji coba, tapi di tengah proses konstruksi, pembangkit tersebut sempat mengalami kerusakan karena salah satu pipa pesat—penyalur air ke turbin pembangkit listrik—runtuh sebagian di badan sungai.

Sorong–Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (2)
Sungai Sembra, salah satu sungai penting di Sorong Selatan yang juga dibuka sebagai tempat wisata. Dipotret saat perjalanan pulang kembali ke Sorong/Rifqy Faiza Rahman

Di sisi lain, dua sungai besar tersebut juga memberi aneka manfaat bagi masyarakat setempat. Tidak hanya untuk mandi dan mencuci, tetapi juga menjadi objek wisata alam yang cukup ramai pengunjung. Terutama di akhir pekan, karena banyak wisatawan berkunjung dari luar kota. Bahkan sampai sekarang sungai masih berperan krusial untuk mobilitas masyarakat. Menurut cerita warga Kampung Konda dan Wamargege di Distrik Konda, mereka pun sesekali biasa naik perahu dari Teminabuan menyusuri Sungai Kaibus sampai ke kampung. 

Beberapa orang tua yang kami temui di kampung tersebut sempat berkisah sulitnya perjalanan yang harus ditempuh di masa lampau. Terutama ketika ingin pergi ke Kota Sorong untuk keperluan tertentu. Seperti yang diungkap Yohanes Meres, sesepuh adat subsuku Yaben di Kampung Konda. “Dulu dari Sorong ke Teminabuan cuma bisa pakai perahu, karena belum ada jalan,” kenangnya.

Yohanes harus naik perahu berhari-hari dari Teminabuan atau kampungnya di tepi Sungai Kaibus dengan tujuan Klamono. Persisnya di pelabuhan rakyat Sungai Beraur, dekat pusat distrik. Titik dermaga itu masih ada sampai sekarang, yang kini terdapat jembatan baja penghubung Sorong–Teminabuan. Di sana Yohanes menambatkan perahunya, lalu lanjut berjalan kaki sejauh 20–30 km menuju Klaben, sebelum Distrik Aimas yang kini jadi ibu kota Kabupaten Sorong. Menurut ceritanya, jalan beraspal dan angkutan umum di zaman dahulu hanya sampai di Klaben. Baru dari situ Yohanes naik taksi ke Kota Sorong.

Hujan berangsur mereda setibanya kami di kantor EcoNusa di Wernas. Persis di samping SPBU. Kantor EcoNusa bersebelahan dengan kantor Konservasi Indonesia. Keduanya lembaga nonprofit yang berkantor pusat di Jakarta dan sedang ada program pendampingan masyarakat adat di Sorong Selatan. Selama di Sorong Selatan, kami bekerja sama dengan EcoNusa untuk meriset dan menghimpun informasi lokasi sasaran, narasumber, serta rencana topik liputan ekspedisi Arah Singgah.

“Selamat datang di Teminabuan,” sambut Ones hangat dengan jabat tangan erat dan senyum lebar. Ada juga Neskiel, anak perempuannya yang ikut menemani sang ayah. Usai makan siang bersama-sama di RM Bang Ibed dekat kantor, kami berpisah dengan Samsul. Ia akan langsung pulang ke Sorong sore itu juga. 

Di Wernas kami transit sejenak. Kami sempat berjumpa dengan Adrianus Kemeray, Kepala Kampung Bariat. Ia baru saja pulang dari menghadiri upacara 17 Agustus di kantor bupati. Kami juga menyapa M. Yusup Sianggo, warga Kampung Wamargege yang mampir ke basecamp EcoNusa. Selama sekitar seminggu, kami akan berkunjung ke kampung-kampung di Distrik Konda tersebut untuk melihat upaya masyarakat adat melakukan praktik-praktik ekonomi restoratif berkelanjutan.

Sorong–Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (2)
Onesimus Ebar tersenyum lebar saat menyambut kedatangan kami di depan kantor EcoNusa Sorong Selatan/Rifqy Faiza Rahman

Digoyang jalan semi off road di tengah hutan gambut

Dari kantor EcoNusa, masih ada 10 km lagi menuju Kampung Bariat. Tujuan utama perjalanan hari itu. Sopir berganti. Kristian Sabru atau akrab disapa Kris, orang Teminabuan, akan mengantar kami ke ibu kota Distrik Konda tersebut. Ia tadi sempat mengantar Mauren belanja sayur ke pasar tradisional di pusat kota. Armada miliknya berbeda, meski masih satu pabrikan dengan yang dikemudikan Samsul. Kris membawa Toyota Rush. Kelak kami akan paham kenapa mobil jenis ini laris di pasaran Papua Barat Daya dan mudah ditemukan di mana-mana.

Penampilan Kris khas—walau pakaiannya itu-itu saja selama mengantar kami liputan di Sorong Selatan. Topi terbalik di kepala, kaus warna gelap lengan pendek, celana jins biru selutut, dan sepatu kets berbahan kulit sintetis. Kalung salib emas melingkar sedada.

Karena sudah tidak hujan, jendela mobil sengaja dibuka. Kris meminta izin menyetir sambil merokok. Tak lupa menyetel musik yang tersambung dengan koneksi bluetooth dari ponselnya. Kami persilakan. Aman-aman saja. 

  • Sorong–Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (2)
  • Sorong–Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (2)

Rupanya rute perjalanan menuju wilayah administrasi Distrik Konda berada di tengah-tengah hutan gambut. Kawasan rawan kebakaran. Tiang-tiang listrik berkarat milik PLN berdiri menyambungkan kabel-kabel yang menjangkau hampir seluruh kampung di Distrik Konda. Kabarnya, ada beberapa titik menara Base Transceiver Station (BTS) di distrik ini, sehingga sinyal seluler dan internet pun cukup aman.

Di luar itu, kondisi jalan membuat kami sering mengelus dada dan waswas. Awalnya mulus beberapa ratus meter, lalu seperti “terputus”. Ada kubangan air setinggi ban. Kadang masih bisa dihindari kalau masih ada celah aspal kering yang cukup lebar. Kadang seluruh ban terpaksa “tenggelam” supaya bisa menerjang jalan berlubang yang tergenang. 

Saat kami dibekap keraguan setelah melihat genangan bak kolam di depan mata, Kris tetap santai. Ia cuma bilang, “Kita tes dulu. Kalau aman, berarti gas terus. Kalau nyangkut, ya, tinggal mundur saja. Coba lagi.”

Satu-dua kesempatan saya turun dari mobil. Mencoba merekam keahlian Kris mengemudi dari luar.

Hujan membuat jalan berlumpur dan cukup licin. Namun, beruntung mobil miliknya berpenggerak roda belakang. Meski bukan jenis 4×4 atau dobel gardan, tapi sepanjang jalan ia tidak terlihat kesulitan. Ground clearance mobil cukup tinggi, sekitar 220 mm atau 40 mm lebih tinggi dari Innova Reborn. Tak heran Kris sangat yakin ketika memaksakan salah satu sisi ban nyemplung cukup dalam, sementara sisi ban lainnya tetap mendarat di aspal. Traksi ban cukup bagus. Tak jarang Kris hanya menggunakan persneling gigi 2 saja di RPM rendah, walau harus semi off road

“Aman saja,” cetusnya.

  • Sorong–Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (2)
  • Sorong–Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (2)

Aspal jalan mulai berangsur normal begitu memasuki Manelek, kampung pertama. Tidak jauh dari permukiman masyarakat subsuku Gemna itu, kami tiba di halaman rumah Adrianus Kemeray yang berpasir putih bak tepung. Kepala Kampung Bariat itu menyambut kami hangat. Ia bersama Kris membantu menurunkan barang-barang bawaan kami dari bagasi. Ones menyusul dengan motor sport Honda CRF beberapa menit kemudian. Ia datang untuk memastikan kami tiba dengan selamat, walau tidak akan ikut menginap di Bariat.

Total 45 menit perjalanan kami tempuh dari kantor EcoNusa di Wernas menuju kampung ini. Adrianus menyediakan ruang tamu rumahnya yang sederhana untuk tempat kami menginap. Tinggal membeber matras saja di atas lantai yang dilapisi spanduk-spanduk besar.

“Maaf, kondisinya begini, ya. Seadanya tidak apa-apa, ya,” ucap Adrianus.

“Tidak apa-apa, Bapak. Aman saja,” kata kami serempak. Kami menaruh sebagian barang di dalam kamar istri Adrianus, sisanya tergeletak saja di ruang tamu. Pintu depan rumah hanya berupa paku bengkok yang tertancap di kosen untuk menyelot daun pintu. Pun pintu bagian belakang dekat meja makan, yang tembus keluar ke arah dapur.

Sesungguhnya kami tidak terlalu khawatir. Selama bisa menjaga peralatan pribadi dan kelompok yang penting, terutama untuk keperluan liputan, akan baik-baik saja. Adrianus pun berani menjamin itu.

  • Sorong–Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (2)
  • Sorong–Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (2)

Malamnya, kami berkumpul di teras rumah Adrianus yang cukup lapang. Bisa memuat belasan orang untuk sekadar menongkrong. Cuma ada sebuah meja kayu, serta kursi-kursi plastik dan bangku kayu untuk duduk. Rumah Adrianus terbilang paling terang dibanding rumah-rumah masyarakat sekitar, meski hanya bercahayakan lampu bohlam putih yang tidak terlalu terang. 

Tapi, di teras inilah salah satu tempat kami selama dua malam di Bariat. Cukup berbekal empat bahan kontak sesuai saran Ones, yaitu rokok, pinang, kopi, dan gula; bahan obrolan ringan sampai berat akan mengalir deras sampai nyaris tak kenal waktu.

Bersahaja, tetapi hangat, akrab, dan penuh hormat. Begitulah yang kami rasakan. Tampaknya, definisi rumah benar-benar tidak sekadar dibatasi sekat-sekat geografis. (*)


Foto sampul:
Perjalanan dari Teminabuan menuju pedalaman Distrik Konda, Sorong Selatan/Rifqy Faiza Rahman

Pada Agustus–September 2024, tim TelusuRI mengunjungi Sorong dan Sorong Selatan di Papua Barat Daya, serta Jayapura di Papua, dalam ekspedisi Arah Singgah: Suara-suara dari Timur Indonesia. Laporan perjalanannya dapat Anda ikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Sorong–Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sorong-sorong-selatan-sebuah-jurnal-perjalanan-2/feed/ 0 45047
Sorong–Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (1) https://telusuri.id/sorong-sorong-selatan-sebuah-jurnal-perjalanan-1/ https://telusuri.id/sorong-sorong-selatan-sebuah-jurnal-perjalanan-1/#respond Fri, 03 Jan 2025 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45027 Cuaca berubah-ubah menjadi kuasa alam yang tidak bisa diprediksi selama ekspedisi Arah Singgah di Papua. Termasuk dalam perjalanan menuju sisi selatan Semenanjung Kepala Burung. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: Rifqy Faiza Rahman & Mauren Fitri “Kenapa...

The post Sorong–Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Cuaca berubah-ubah menjadi kuasa alam yang tidak bisa diprediksi selama ekspedisi Arah Singgah di Papua. Termasuk dalam perjalanan menuju sisi selatan Semenanjung Kepala Burung.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Rifqy Faiza Rahman & Mauren Fitri


“Kenapa tidak naik mobil saja?”

Pertanyaan itu terlontar dari setidaknya empat sopir mobil rental yang kami temui di Kota Sorong. Tiga di antaranya kami dapati di satu hari yang sama, yaitu ketika kami dijadwalkan terbang ke Teminabuan. Jarak dari Kota Sorong ke ibu kota Kabupaten Sorong Selatan sekitar 157 kilometer. Empat jam naik mobil. Setengah jam naik pesawat perintis.

Pertimbangan waktu itulah yang membuat kami memilih pesawat daripada rental mobil. Rupanya, alam punya rencana lain. Niatnya ingin cepat sampai, tetapi malah bikin capai.

Sorong-Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (1)
Mauren dan Deta bersama barang-barang bawaan kami di selasar Bandara Domine Eduard Osok, Sorong. Kami datang di pagi buta, sebelum bandara buka/Rifqy Faiza Rahman

Wira-wiri demi Susi

Mauren, ketua tim ekspedisi Arah Singgah, sudah memesan tiga tiket Susi Air ke Teminabuan untuk hari Jumat, 16 Agustus 2024. Wacananya, ingin istirahat agak lama sekaligus merayakan upacara 17 Agustus di Sorong Selatan. Beda dengan penerbangan maskapai besar, tidak ada platform daring yang tersedia untuk reservasi tiket. Kami harus memesan lewat nomor Whatsapp resmi customer service Susi Air. Tiketnya cetak, berbentuk buku kecil (booklet) seperti tiket pesawat jadul. Akan diberikan saat melapor check in.

Penerbangan reguler Sorong–Teminabuan hanya ada tiga kali seminggu. Berangkat pukul 07.00 WIT dari Bandara Domine Eduard Osok (DEO), tiba di Bandara Teminabuan setengah jam kemudian. Susi Air merupakan satu-satunya pemain di rute ini. 

Di hari keberangkatan, sejak pukul lima Subuh kami sudah meninggalkan hotel menuju bandara Sorong yang cuma berjarak kurang dari lima menit. Namun, sesampainya di bandara, konter kecil check in Susi Air yang terletak paling ujung masih kosong melompong. Tidak ada satu pun kru Susi Air yang berjaga. Beda dengan konter-konter sebelah yang sangat sibuk. Padahal, kata petugas bandara, biasanya pukul 06.00 sudah siap.

Sampai pukul 06.30, belum ada kejelasan apakah kami akan terbang atau tidak. Baru beberapa menit kemudian, pesan baru muncul di Whatsapp Mauren. Dapat kabar dari customer service Susi Air, kalau penerbangan ke Teminabuan mundur ke pukul 14.35. Katanya, sedang menunggu armada pesawat pengganti dari daerah perintis lainnya.

Mauren lekas menelepon Samir, orang rental yang mobilnya kami sewa selama seminggu keliling Sorong, untuk menjemput dan mengantar kami kembali ke hotel. Beruntung, ia sudah stand by di bandara untuk mencari tamu. Beruntung pula, hotel kami belum memproses check out, sehingga kami tidak perlu membayar biaya tambahan. Kami memanfaatkan waktu setengah hari untuk istirahat.

Sorong-Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (1)
Setiap barang bawaan di luar bagasi harus ditimbang secara presisi, termasuk badan. Sebab, pesawat yang akan kami tumpangi berukuran kecil/Mauren Fitri

Siangnya, kami check out dan berangkat ke bandara untuk kedua kalinya. Konter mungil itu akhirnya berfungsi. Seorang petugas pria berompi safety hijau melayani proses check in kami bertiga. Tidak cuma bagasi, badan kami juga harus ditimbang. Maklum, pesawat yang rencananya kami naiki adalah jenis Cessna 208 Grand Caravan. Kapasitas maksimal 12 penumpang. Dan bisa ditebak, kami kelebihan bagasi 70 kg sehingga harus membayar Rp1.050.000.

Alur selanjutnya berjalan seperti biasa. Naik ke ruang tunggu, melewati pemeriksaan X-ray sekali lagi, dan makan siang coto makassar di kedai pojok dekat toko oleh-oleh. 

Hati mulai gundah tatkala sampai pukul 14.00 belum ada panggilan boarding. Jangankan itu, pesawatnya saja belum datang. Sementara awan kelabu mulai bergumul di langit. Hampir selama seminggu sebelumnya, setiap siang jelang sore Kota Sorong punya riwayat hujan deras. 

Pesawat Susi Air yang kami nanti-nantikan akhirnya tampak mendekati runway dari arah barat. Saking mungilnya, pesawat bermesin turboprop tunggal itu tidak kunjung sampai ke ujung timur landasan pacu. Timpang sekali dengan pesawat-pesawat jet Boeing atau Airbus yang terparkir di apron bandara. 

Sorong-Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (1)
Pesawat Susi Air terlambat mendarat di Sorong/Rifqy Faiza Rahman

Dari dinding kaca ruang tunggu, tampak di kejauhan kendaraan baggage towing tractor tengah mengerek keranjang bagasi menuju pesawat Susi Air yang sudah parkir sempurna. Sepintas saya melihat rain cover biru tas ransel saya tertumpuk paling atas. Petugas ground staff kemudian melakukan bongkar muat barang di bagasi.

Tiba-tiba, suara pengumuman dari bandara terdengar lantang, mengabarkan pesawat kami mengalami penundaan karena alasan cuaca. Tahu-tahu hujan deras turun seketika. Lebat sekali, membasahi pelataran landasan bandara dengan cepat. 

Kami batal naik pesawatnya Bu Susi. Kami gagal bikin konten Instagram, yang niatnya akan “caper” dengan menyebut akun Bu Susi. Mauren mencoba menghidupkan kamera, merekam saya berseloroh, “Pesawat sekecil itu berkelahi dengan hujan bulan Agustus.”

Dalam sesaat, pengumuman penundaan itu berubah menjadi pembatalan. Seorang pekerja perempuan berjilbab dengan rompi safety hijau. Dia adalah karyawan Susi Air. Dari tadi mondar-mandir di ruang tunggu. Sambil menggenggam protofon, ia mendatangi para penumpang yang setia menunggu. Selain kami bertiga, ada tiga penumpang lain dengan tujuan Teminabuan.

“Mohon maaf Bapak/Ibu, penerbangan ke Teminabuan dibatalkan karena cuaca tidak bersahabat. Kami menawarkan dua opsi, reschedule (penerbangan hari Senin di pekan berikutnya) atau refund,” tuturnya dengan tenang dan tegas.

Sorong-Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (1)
Petugas Susi Air (kanan) memberi penjelasan pembatalan penerbangan Susi Air tujuan Teminabuan/Mauren Fitri

Tentu saja kami kompak memilih opsi kedua. Meminta kembali uang tiket dan biaya kelebihan bagasi. Lumayan untuk ongkos perjalanan darat ke Teminabuan, yang akan kami lakukan keesokan paginya.

Ia kemudian mengarahkan kami turun untuk mengambil bagasi. Ketika troli penuh barang berat itu tiba, jelas saja, nyaris kuyup semuanya. Untung bagian permukaan saja yang basah, baik itu tas-tas ransel maupun koper. 

Keluar dari gedung terminal dengan mendorong troli, niatnya Mauren menghubungi Samir agar menjemput kami lagi. Sayang, ia sedang tidak di bandara. Sudah ada tamu lain yang memakai jasanya. Tak ada pilihan lain, kami akan naik mobil rental yang banyak siaga di depan area kedatangan.

Pilihan kami jatuh pada sosok sopir bernama Fahmi. Pria bertopi dengan setelan kaus, celana jins panjang, dan sandal jepit yang menenteng kunci mobil di telapak tangannya. Dialah orang pertama yang menawarkan jasa angkutan begitu kami keluar dari pintu kedatangan. 

“Seratus ribu,” ucapnya menyebut nominal tarif pengantaran ke hotel. Kami memutuskan untuk menginap semalam lagi dan baru pergi ke Teminabuan besok lewat jalur darat. Hotel yang sama, sampai-sampai resepsionis hotel hafal muka kami.

Tidak ada negosiasi berarti dengan Fahmi. Sebab, ternyata standar harga transportasi rental jarak dekat di dalam kota memang segitu. Di dalam mobil, si sopir mulanya tampak prihatin mengetahui penyebab kami batal terbang pakai Susi Air sore itu. Namun, begitu tahu tujuan kami adalah Teminabuan, pertanyaan familiar mengalun untuk keempat kalinya—ketiga di hari itu, “Kenapa tidak naik mobil saja?”

Sorong-Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (1)
Fahmi (kanan), sopir mobil rental yang mengantar kami dari bandara ke hotel/Mauren Fitri

Berkendara bersama sopir Jawa

“Kalau kita berangkat naik mobil, kita sudah sampai di Teminabuan dari kemarin,” celetuk Deta, fotografer-videografer tim ekspedisi.

Betul juga. Durasi wira-wiri dan menunggu di bandara kemarin sudah seperti estimasi waktu tempuh perjalanan darat dari Sorong ke Teminabuan. Tapi, anggap saja itu sebagai pengalaman dan pelajaran. Toh, dari pihak Susi Air sudah kooperatif dalam menangani hak konsumen akibat penundaan.

Pagi itu (17/8/2024), seorang pria dengan setelan pakaian dan potongan rambut yang rapi menyapa kami di teras lobi hotel. Ia bergegas membantu kami memasukkan barang-barang bawaan ke bagasi belakang mobil. Sosok yang jauh berbeda dengan Fahmi, yang seharusnya mengantar kami ke Teminabuan hari ini.

“Harusnya dia yang berangkat, Mas. Tapi hari ini mesti antar istrinya ke rumah sakit. Jadi, saya yang diminta berangkat,” kata pria asal Trenggalek, Jawa Timur itu.

Sorong-Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (1)
Akhirnya berangkat juga ke Sorong Selatan. Samsul menggantikan Fahmi di balik kemudi/Rifqy Faiza Rahman

Pengalaman lima tahun di Sorong, mengikuti jejak rantau saudaranya yang seorang transmigran, cukup membuat Samsul hafal seluk-beluk jalan poros dua kabupaten bertetangga itu. Bahkan sampai ke Tambrauw dan Maybrat, yang berbatasan langsung dengan Provinsi Papua Barat. 

Ia banyak memberi gambaran atau wawasan kepada kami. Misalnya, harus hati-hati di jalan agar tidak menabrak anjing, sapi, atau babi karena konsekuensi hukum adatnya berat. Lalu, titik-titik lokasi mana yang memiliki tingkat keamanan rawan. Atau, sekadar tips—jika menyetir mobil sendiri—berapa banyak liter minyak (bahan bakar) yang harus disiapkan saat berkendara jarak jauh di sini.

Seperti aturan tidak tertulis, kami sebagai tamu tentu tetap memberikan sopir tiga kebutuhan utama: rokok, kopi, dan air mineral. Apalagi sopirnya podho-podho Jowone. Gayeng. Kisah-kisah seputar suka duka menjadi anak rantau di daerah berzona waktu selisih dua jam dengan Jawa, dominan mengiringi pembicaraan sepanjang perjalanan.

Kami membeli tiga ubo rampe itu di sebuah minimarket di Aimas. Sekalian tahap pertama mencicil belanja bahan makanan (bama) untuk pasokan logistik selama di Sorong Selatan. Jaga-jaga kalau di sana persediaan makanan-minuman terbatas. 

Selepas Aimas, makin jauh ke arah tenggara, saya fokus pada pertanyaan yang tebersit di benak, petualangan macam apa yang akan menunggu di depan? Seperti apa perjalanan darat ke Teminabuan?

Sorong-Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (1)
Ruas jalan Sorong-Sorong Selatan umumnya diapit hutan, perkebunan, dan perkampungan/Rifqy Faiza Rahman

Samsul dan armada Toyota Avanza keluaran 2020 yang kami tumpangi siap membantu saya menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Ia akan membawa kami melintasi jalan poros Sorong–Sorong Selatan, melewati distrik-distrik dan kampung-kampung yang masih asing bagi kami.

Saya sampai penasaran sejauh apa jarak 157 km itu. Yang jelas, jika memperkecil tampilan peta satelit di Google Maps, kami bagaikan setitik debu di atas daratan mahaluas yang dikenal Semenanjung Kepala Burung—merujuk pada tampilan permukaan keseluruhan Papua yang seperti burung cenderawasih. Atau biasa juga disebut Semenanjung Doberai, yang luasnya mencapai 55.604 km2. Sebagian besar wilayahnya membentuk kawasan Provinsi Papua Barat Daya, mulai dari Kabupaten Sorong di sisi paling barat, serta sebagian Papua Barat di sisi timur (Manokwari, Manokwari Selatan, Pegunungan Arfak, dan Teluk Bintuni).

Teminabuan, tujuan kami, berada di bagian “paruh burung” semenanjung itu. Wilayah pesisir selatan Sorong Selatan memang unik, tampak seperti teluk-teluk yang meliuk. Membentuk ekosistem pesisir yang khas. Kabarnya, ekosistem mangrove di kabupaten yang mekar dari Sorong sejak 2003 itu termasuk yang paling besar di Papua.

Saya mencatat tiga hal menarik yang kami jumpai saat melintasi jalan poros di wilayah Kabupaten Sorong. Pertama, sebuah pompa angguk berusia uzur dan nyaris diselimuti karat di atas sumur minyak di Distrik Klamono. Letaknya di pinggir jalan dan dikepung hutan. Saksi bisu eksplorasi minyak bumi warisan Nederlandsch Nieuw-Guinea Petroleum Maatschappij (NNGPM), perusahaan minyak Belanda yang sudah hadir di Sorong sejak 1935-an. Meski produktivitasnya menurun, pompa dan sumur tersebut masih berfungsi cukup baik, seperti halnya puluhan lapangan produksi minyak lainnya di Distrik Klamono. Saat ini dikelola oleh PT Pertamina EP, anak usaha Pertamina Hulu Energi yang bergerak di bidang pengeboran minyak dan gas. Jejak pompa itulah yang juga memberi julukan Sorong sebagai Kota Minyak.

Kedua, papan nama di dekat pos keamanan dan portal di kiri jalan. Ukuran hurufnya besar, bertuliskan “PT HENRISON INTI PERSADA”. Rupanya perusahaan perkebunan kelapa sawit. Masih di kawasan Distrik Klamono, sekitar 35 km dari Sorong. Di sinilah Samsul memberi pernyataan menarik. 

“Kebun kelapa sawit di sini nggak kelihatan dari pinggir jalan, Mas,” katanya. Beberapa ratus meter kemudian, saat mobil menanjak di atas bukit, kami baru paham. Lokasi kebun sawit nan luas berada cukup jauh di dalam. Tersamarkan hutan tropis di sekelilingnya. Entah memang didesain seperti itu, atau sekadar kamuflase untuk menunjukkan bahwa hutan di Sorong masih hijau.

  • Sorong-Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (1)
  • Sorong-Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (1)

Momen ketiga yang menarik adalah ketika kami menepi sejenak tak jauh dari jembatan baja Sungai Beraur. Orang-orang mengenalnya jembatan besar Klamono. Seorang penduduk setempat menghentikan mobil kami. Ternyata, sedang ada upacara 17 Agustus di lapangan kantor Distrik Klasafet dekat situ. 

Saya mencoba turun, melihat-lihat situasi. Upacaranya berlangsung penuh khidmat. Peserta upacara yang terdiri dari anak SD dan SMA setempat, bersama perangkat distrik, terlihat tenang menyimak pembacaan doa oleh seseorang di podium depan. Bendera pusaka sudah dinaikkan. Sepertinya upacara segera usai.

Saya menegur seorang tentara yang berjaga di atas motornya di pinggir jalan, sekadar mengajaknya berbasa-basi. Tampaknya bintara pembina desa (Babinsa). Ia bilang, sebenarnya ada arahan dari pemerintah kabupaten untuk upacara di Alun-alun Aimas. Namun, “Pak Babin” berpendapat, daripada capek jauh-jauh ke kota, lebih baik upacara di lapangan distrik atau sekolah setempat dan tidak kalah patriotik. 

Sementara di seberang jalan Samsul bersama Deta dan Mauren mampir ke kios penjual sirih dan pinang kering berbentuk irisan seperti koin. Harganya 10 ribu rupiah sepaket dalam satu piring plastik kecil, lengkap dengan seplastik kapur. Kami sama-sama mencoba menggigit seiris pinang. 

  • Sorong-Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (1)
  • Sorong-Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (1)

Seorang penduduk lokal menunjukkan kepada kami cara mengunyah buah pinang. Kios-kios penjual sirih pinang mudah ditemukan di sepanjang jalan Sorong-Sorong Selatan. Pembeli bisa memilih buah pinang utuh maupun dalam bentuk irisan yang sudah kering/Mauren Fitri

“Pahit rasanya,” saya bertestimoni. Tentu saja disambut tawa penjual dan warga sekitar yang penasaran dengan kehadiran anak kota seperti kami. Baru mencoba sirih pinang pula.

Pria sepuh yang menyetop kendaraan kami tadi melambai-lambai. Gesturnya mengisyaratkan kami bisa melanjutkan perjalanan. Di lapangan, saya melihat pemimpin upacara sudah membubarkan barisan. Sayang sekali, kami tidak sempat melihat prosesi pengibaran bendera dan mendengar kumandang lagu agung Indonesia Raya bergema di timur Indonesia.

Kawasan pusat pemerintahan Distrik Klasafet ini berada di sekitar kilometer ke-40 dari Bandara DEO Sorong. Masih ada 117 kilometer lagi menuju Teminabuan.

(Bersambung)


Foto sampul:
Belukar dan hutan akan sering dijumpai di sepanjang jalan utama penghubung Kabupaten Sorong dan Sorong Selatan/Rifqy Faiza Rahman

Pada Agustus–September 2024, tim TelusuRI mengunjungi Sorong dan Sorong Selatan di Papua Barat Daya, serta Jayapura di Papua, dalam ekspedisi Arah Singgah: Suara-suara dari Timur Indonesia. Laporan perjalanannya dapat Anda ikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Sorong–Sorong Selatan: Sebuah Jurnal Perjalanan (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sorong-sorong-selatan-sebuah-jurnal-perjalanan-1/feed/ 0 45027
Yuliance Ulim: Pembuat Garam Hutan dari Papua https://telusuri.id/yuliance-ulim-pembuat-garam-hutan-dari-papua/ https://telusuri.id/yuliance-ulim-pembuat-garam-hutan-dari-papua/#respond Thu, 02 Jan 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=44959 Di Indonesia, umumnya produksi garam berasosiasi dengan air laut. Namun, di Sorong, seorang lurah yang merupakan pegawai negeri sipil mampu menghasilkan bumbu asin itu dari hamparan pohon nipah. Perjalanannya penuh aral demi mimpi memajukan taraf...

The post Yuliance Ulim: Pembuat Garam Hutan dari Papua appeared first on TelusuRI.

]]>
Di Indonesia, umumnya produksi garam berasosiasi dengan air laut. Namun, di Sorong, seorang lurah yang merupakan pegawai negeri sipil mampu menghasilkan bumbu asin itu dari hamparan pohon nipah. Perjalanannya penuh aral demi mimpi memajukan taraf hidup orang-orang Papua.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda & Mauren Fitri


Yuliance Ulim: Pembuat Garam Hutan dari Papua
Tumpukan pelepah nipah di depan rumah pribadi Yuyun sekaligus dapur produksi Sinagi Papua/Mauren Fitri

Di daerah pesisir, para petani garam memproduksi garam dengan cara membuat tambak khusus. Tujuannya agar penjemuran atau penguapan air laut berlangsung alami sampai garam bisa dipanen. Praktik seperti ini lumrah terjadi di Madura, pantai utara Jawa (seperti Tuban, Rembang, Pati, Indramayu, Cirebon), Bima, maupun Jeneponto dan Pangkajene di Sulawesi Selatan.

Namun, Papua berbeda. Di daerah rawa dekat pesisir Malawele, Distrik Aimas, Kabupaten Sorong, Yuliance Yunita Bosom Ulim (43) mampu membuat garam hutan. Yuyun—sapaan akrab yang disingkat dari nama Yuliance dan Yunita–menggunakan pelepah tua pohon nipah sebagai bahan baku. Orang Moi, komunitas adat terbesar di Papua Barat Daya, menyebutnya bumbu asin nipah atau garam nipah. 

“Kalau orang tua dulu bilang garam hitam,” ungkap Yuyun.

Yuliance Ulim: Pembuat Garam Hutan dari Papua
Garam hitam khas suku Moi yang berasal dari pembakaran pelepah nipah/Rifqy Faiza Rahman

Mendirikan Sinagi Papua

Semasa kecil, ia tahu garam hasil pengolahan nipah tradisional hanya berupa abu yang ditambahkan sebagai bumbu makanan. Wujud asli bumbu asin nipah warisan leluhur suku Moi memang serupa serbuk berwarna hitam layaknya serpihan arang. Hasil dari pembakaran pelepah kering usai dijemur selama sedikitnya satu-dua hari saat matahari bersinar terik. Barangkali syarat cuaca cerah menjadi satu-satunya kesamaan antara pembuatan garam hutan dan laut. Hanya saja, durasi pembuatan garam laut jauh lebih lama—mencapai sebulan.

Hutan nipah mudah ditemui di sekitar rumah Yuyun. Salah satunya berada di sepetak tanah ulayat milik marga Malakabu. Letaknya di timur Malawele, tak jauh dari pinggiran jalan poros Aimas–Pelabuhan Arar. Yuyun memanen pelepah nipah seizin pemilik lahan. Kedekatan marga yang sama-sama bagian dari suku Moi memudahkan Yuyun mengakses bahan baku alam tersebut.

Kecintaannya pada warisan pangan lokal suku Moi mendorongnya mendirikan Sinagi Papua pada tahun 2020. Sebuah unit bisnis dengan semangat melestarikan pangan lokal dan memberdayakan masyarakat sekitar.

Sinagi Papua merupakan jenama usaha Yuyun. Dalam bahasa lokal, “sinagi” berarti kasih sayang. Sinagi Papua merupakan bentuk kasih sayang orang Papua terhadap warisan dan kearifan lokal yang ada. Semangat mengasihi itu pulalah yang membuat Yuyun hampir selalu menerima orang-orang sekitar untuk mencoba bekerja kepadanya. Bahkan mendukung penuh jika ada yang ingin mengembangkan usaha sendiri karena terinspirasi Yuyun. Meskipun kadang silih berganti. Ada yang bertahan sebentar, ada yang awet sampai sekarang. 

Salah satunya Elsa Rosmina Kalaibin (52). Selain bekerja di Sinagi Papua, ia sejatinya memiliki usaha produksi mi sagu di rumah. Hasil dari mengikuti program pelatihan dinas pertanian dari Manokwari pada 2021. Sebuah modal berharga, meski pengelolaannya belum maksimal. Oleh karena itu, ia bergabung di Sinagi Papua karena ingin usahanya bisa maju seperti Yuyun.

Kiri: Yuyun dibantu Elsa memilah dan menimbang pelepah nipah yang sudah dijemur kering dan bersiap dipotong. Yuyun memiliki perhitungan bobot bahan baku minimal untuk menghasilkan beberapa ratus gram garam. Kanan: Elsa menyiapkan potongan-potongan pelepah nipah kering untuk dibakar/Mauren Fitri

Elsa terbilang karyawan paling loyal di Sinagi Papua. Ia lebih banyak bertugas membantu Yuyun di dapur produksi. Jam kerjanya seperti orang kantoran, masuk pagi dan pulang sore. Upahnya cukup layak, setara dengan standar minimum Kabupaten Sorong. Perempuan yang tinggal di timur Alun-alun Aimas itu mengungkapkan rasa syukur dan bangganya bisa bekerja di tempat Yuyun. Meski berbeda marga, Yuyun sudah menganggap Elsa seperti kakaknya sendiri yang harus ia bantu.

Begitu pun Yonathan Sede (42). Tetangga Elsa di Aimas. Mulanya karena melihat Yuyun sukses mengembangkan usaha, ia pun datang untuk meminta pekerjaan. Yuyun memberinya tugas di lapangan, seperti memilah dan memotong pelepah nipah yang sudah tua di hutan. Yonathan sangat paham pelepah mana yang cocok sebagai bahan baku garam. Termasuk tidak membabat habis dan menyisakan tegakan tunas agar pelepah nipah bisa tumbuh kembali. Ia termasuk pekerja lapangan yang diandalkan Yuyun sampai sekarang karena kerjanya cepat dan rapi.

“Banyak orang melihat saya sudah sampai di titik ini. Tapi perjalanan saya tidak semulus seperti apa yang dilihat orang,” ujarnya. 

Yuliance Ulim: Pembuat Garam Hutan dari Papua
Yonathan Sede melempar pelepah nipah yang telah ia potong. Pelepah yang dipilih berusia tua dan tidak dipangkas habis, tetapi menyisakan tunas agar dapat tumbuh kembali/Deta Widyananda

Jatuh bangun hingga kecewa pada Tuhan

Tidak pernah terbayangkan sebelumnya di benak istri Denny Massie itu untuk menjadi seorang pengusaha UMKM. Selama satu dekade, Yuyun lebih banyak berkutat pada aktivitas kepemudaan di Gereja Kristen Injili di Tanah Papua (GKI) Ekklesia Kabupaten Sorong. Di sana ia menjadi ketua pemuda gereja.

Pekerjaan formal pertamanya adalah pegawai negeri sipil (PNS) di lingkungan Pemerintah Kabupaten Sorong. Ia diberi mandat untuk menjadi lurah di Malagusa, Distrik Aimas.  Perkampungan yang dihuni campuran orang asli Papua dan masyarakat transmigran dari Jawa. Jangan bayangkan tempat kerjanya seperti lumrahnya kelurahan yang ada di Jawa. Di Malagusa, karena belum ada kantor definitif, sementara ia berkantor di rumah sewaan milik perantau Jawa dengan anggaran pemerintah.

“Mungkin orang akan berpikir karena saya seorang PNS, maka semuanya pasti berjalan aman-aman saja.” Yuyun memang dapat gaji tetap setiap bulan. Namun, sebagai orang Papua, ia merasa harus melakukan sesuatu yang lebih untuk meningkatkan kesejahteraan sesama orang Papua. Kecintaannya pada nipah dan warisan pangan lokal leluhur suku Moi membuatnya berani bercita-cita besar.

Tanggal 28 Februari 2020 merupakan titik balik yang penting bagi Yuyun. Dalam sebuah kesempatan tak terduga di Kota Sorong, ia bertemu Charles Toto. Pendiri Papua Jungle Chef, komunitas gastronomi di Jayapura yang mengampanyekan pemanfaatan bahan pangan lokal dan organik dari hutan. 

Kaka Charles sudah seperti motivator buat saya,” kata Yuyun.

Lewat Charles, Yuyun kemudian dipertemukan dengan Helianti Hilman, pendiri Javara dan Sekolah Seniman Pangan. Keduanya mendorong Yuyun untuk percaya diri mengembangkan bumbu asin nipah sehingga bisa dipasarkan secara komersial. Seakan gayung bersambut, pada 9 Maret 2020 ia diundang Helianti ke Sekolah Seniman Pangan, Bekasi, Jawa Barat. Selama dua minggu, Yuyun belajar mengolah bumbu asin nipah menjadi layak konsumsi, meski hasilnya belum maksimal.

Perjalanan Yuyun ke Jawa tidak seizin orang tua. Ia tidak tega harus memberi kabar yang terbilang mendadak karena bapaknya sedang sakit keras. 

“Saya punya orang tua, bapak terkasih itu sedang berbaring di rumah sakit,” ungkap Yuyun. Ia baru menelepon lewat ponsel adiknya ketika sudah mendarat di Jakarta. Sang adik, yang saat itu menemani bapak, memarahi Yuyun habis-habisan karena seharusnya ikut menunggu di rumah sakit.

Maka ketika tiba di Sorong, Yuyun harus memendam rencana untuk mempelajari lebih lanjut hasil pengalamannya di Seniman Pangan. Selama seminggu, ia menemani bapak di rumah sakit. Di hari ketujuh, bapak terkasih mengembuskan napas terakhir di tangan Yuyun.

Keluarga besar pun berduka. Namun, Tuhan masih punya rencana lain. Selang sebulan, adik kandungnya yang lain meninggal dunia karena sakit. 

Yuyun tak ingin patah semangat. “Saya masih punya mama.”

Di tengah kedukaan, ia menyempatkan berkomunikasi dengan Seniman Pangan. Helianti memintanya mendata alat-alat produksi yang dibutuhkan untuk membuat bumbu asin nipah. Yuyun memutuskan membeli rumah baru secara kredit di kompleks perumahan Malawele, untuk dijadikan hunian sekaligus rumah produksi.

Pada suatu Selasa bulan Mei, di tahun yang sama, Yuyun mengajak ibunya berkunjung untuk melihat rumah barunya. Ia memintanya mendoakan usaha produksi bumbu asin nipah agar berjalan lancar dan sukses. 

Menurut Yuyun, mama hanya berpesan satu hal yang mengingatkan pada kebiasaan lamanya. “Mama minta saya jangan terlalu keasyikan main HP saat masak, supaya bahan-bahan di kuali tidak hangus dan bikin rumah-rumah orang di perumahan ini terbakar.”

Itulah momen berdoa dan pesan terakhir mama kepada Yuyun. Rabunya, Yuyun masih sempat mengantar mama ke klinik untuk cek darah. Namun, kondisi yang memburuk, diperparah depresi karena kehilangan suami dan seorang anak kandung dalam waktu berdekatan, membuat mama harus dirujuk ke rumah sakit keesokan harinya. Kenyataan pahit harus kembali diterima Yuyun. Hari Jumat, Tuhan memanggil mama kembali ke pangkuan-Nya. 

Kehilangan tiga orang terkasih selama tiga bulan beruntun membuat iman Yuyun goyah. “Saya sempat hampir tidak percaya sama Tuhan,” ucapnya lirih. “Mungkin bukan tidak percaya, tapi kecewa. Saya kecewa sekali sama Tuhan.”

Yuliance Ulim: Pembuat Garam Hutan dari Papua
Yuyun memotong pelepah nipah kering satu per satu di teras rumahnya. Ia mengupas kulit terluar dan hanya menyisakan bagian daging pelepah (seperti kayu) yang siap dibakar. Mimpi besarnya pada bisnis garam nipah dan Sinagi Papua tak surut sekalipun pernah mendapat ujian bertubi-tubi/Mauren Fitri

Kasih Tuhan akhirnya mengetuk pintu hati Yuyun. Perlahan ia bangkit, menata diri. “Tapi, [akhirnya] saya percaya bahwa apa yang Tuhan buat itu baik. Tuhan tahu saya masih ada adik-adik yang kuat.”

Setelah berduka selama 40 hari, ia memutuskan pergi dari rumah orang tua di Moyo—belakang GKI Ekklesia Sorong—dan tinggal di rumah baru yang sudah didoakan mama. Orang-orang dan kerabat sempat mencibir, mengapa ia meninggalkan rumah di tengah momen kedukaan. Keluarga dekatnya bahkan memvonis usahanya tidak akan bertahan lama.

Ia memilih tidak memedulikan omongan-omongan miring itu. “Saya harus segera bekerja untuk sesuatu yang sudah saya mulai,” tegasnya lantang, “dan saya percaya ada kekuatan doa mama yang mengantarkan saya sampai hari ini.”

Setelah enam bulan berlalu dengan banyak ujian hidup menerpa, Yuyun melanjutkan fokusnya mengembangkan riset dan uji coba produksi bumbu asin nipah. Di ujung semester kedua tahun itu, Yuyun berhasil “menyulap” abu garam hitam menjadi butiran-butiran putih seperti rupa garam dapur pada umumnya. Bumbu asin nipah atau garam hutan rendah sodium inilah yang resmi menjadi produk komersial pertama Sinagi Papua.

“Saya berterima kasih atas kepercayaan yang diberikan Seniman Pangan kepada saya. Mereka membuat sesuatu yang [sebelumnya] tidak ada, menjadi ada.”

Yuliance Ulim: Pembuat Garam Hutan dari Papua
Bentuk bumbu asin nipah yang sudah jadi dan kemasan 50 gram siap jual/Deta Widyananda

Menitipkan mimpi pada garam nipah

Nipah (Nypa fruticans) merupakan salah satu spesies tanaman pembentuk ekosistem mangrove. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik per Desember 2021, luas hutan mangrove di Papua mencapai 1,63 juta hektare. Hampir separuh dari total luas hutan mangrove di Indonesia, yang diketahui sebagai negara dengan ekosistem mangrove terbesar dunia. Dan nipah tumbuh di hampir seluruh pesisir pulau-pulau besar dari Sumatra sampai Papua.

Hampir seluruh bagian nipah bermanfaat. Daun nipah telah banyak dimanfaatkan secara tradisional untuk membuat atap rumah. Produk turunan lainnya dari anyaman daun nipah bisa berupa kerajinan tangan, seperti tikar, tas, topi, atau keranjang. Kemudian nira dari tandan bunga bisa disadap untuk bahan pemanis atau diperam untuk menjadi minuman tuak.

Begitu pun pelepahnya. Di Kabupaten Sorong saja, Yuyun telah menunjukkan cerahnya nilai jual garam dari pelepah nipah lewat Sinagi Papua. Bukti konkret jika sumber daya alam di sekitar rumah bisa dimanfaatkan untuk menghasilkan keuntungan ekonomi, tanpa harus mengeksploitasi lingkungan secara berlebihan. Namun, Yuyun mengakui, masih banyak tantangan yang harus ia hadapi untuk membuat Sinagi Papua tumbuh lebih besar. 

Yuliance Ulim: Pembuat Garam Hutan dari Papua
Hamparan hutan nipah di kawasan rawa dekat rumah Yuyun/Deta Widyananda

Setidaknya Yuyun telah memetakan tiga tantangan terbesar. Pertama, membuat orang Papua mencintai produk-produk pangan sehat yang dihasilkan dari alam Papua itu sendiri. 

Yuyun tidak hanya membuat garam nipah. Ia juga mengkreasikan sejumlah produk makanan dan minuman berbahan pangan lokal. Sebut saja kerupuk sagu dan keripik tiga warna (petatas ungu, petatas oranye, keladi). Yuyun pun hanya menggunakan garam nipah dan minyak kelapa untuk menggoreng camilan itu. Rasanya gurih dan tidak membuat tenggorokan kering. Ada juga teh kayu kamlowele, minuman khas suku Moi. Keempat produk tersebut telah melalui proses uji halal. Sejauh ini, Yuyun membuat produk-produk Sinagi Papua berdasarkan pesanan. Sebab, prosesnya masih tradisional.

Tantangan kedua, terbatasnya kapasitas produksi karena keterbatasan alat-alat yang dimiliki. Bahan kemasan dan stiker label lebih banyak didapat dari Jakarta. Yuyun kerap titip pesan ke kerabatnya yang sedang menempuh studi teologi di ibu kota. Sebab, di Sorong belum ada tempat percetakan yang memadai sesuai keinginan Yuyun.

Diversifikasi produk Sinagi Papua hasil kreasi Yuyun/Deta Widyananda

Lalu, selain meningkatkan kualitas peralatan dapur, ia berharap kelak bisa membangun solar dryer dome. Rumah instalasi pengeringan bertenaga surya itu bertujuan menyimpan dan menjemur pelepah nipah dengan daya kering konsisten tanpa takut terkena hujan.

“Jika sudah terkena hujan, kadar garam akan berkurang karena pelepah membusuk dan jadi amis,” jelas Yuyun. 

Ketika tim Ekspedisi Arah Singgah TelusuRI menemui Yuyun di rumahnya (13/8/2024), hujan nyaris setiap hari mengguyur wilayah Kota Sorong dan Aimas. Terutama siang sampai sore. Yuyun bersama Elsa harus bekerja ekstra keras agar pelepah-pelepah nipah yang telah dipanen dan dijemur di teras rumah tidak terbuang percuma. Kalau sampai kena hujan, ia terpaksa membuang pelepah-pelepah itu ke rawa hutan nipah di samping kompleks perumahan.

Begitu pula yang terjadi saat kami ikut menemani Yuyun memanen pelepah nipah di hutan adat keluarga Malak beberapa hari berikutnya. Ia bersama kru lapangan, termasuk Yonathan dan warga pemilik pikap sewaan untuk mengangkut hasil panen, harus berkejaran dengan waktu. Rutinitas seperti ini dilakukan Yuyun hampir setiap hari, di luar jam kerja dan tugas pokoknya sebagai lurah di Malagusa. 

Tidak berhenti di situ. Yuyun masih harus mengawal proses selanjutnya yang cukup melelahkan. Dibantu Elsa dan sejumlah kru tidak tetap, mereka menjemur pelepah—sementara ini memakai ujung jalan kompleks di depan rumahnya, atas seizin pengembang dan tetangga sekitar—memilah dan menimbang pelepah yang berkualitas baik, mencuci, memangkas bagian kulit pelepah lalu membakarnya. Kemudian dari abu garam hitam itu selanjutnya diproses di dapur sampai menghasilkan butiran-butiran berwarna putih. Pengemasan dan pelabelan menjadi langkah terakhir sebelum dipasarkan kepada pemesan.

Yuliance Ulim: Pembuat Garam Hutan dari Papua
Di antara banyaknya tantangan, Yuyun percaya garam nipah dan Sinagi Papua punya masa depan/Deta Widyananda

Tantangan ketigalah yang disebut Yuyun paling berat. Sampai sekarang ia masih keliling mencari figur-figur anak muda Papua yang mau bergabung untuk mengembangkan Sinagi Papua. “Saya ingin mengubah pola pikir kita, bahwa kita tidak [boleh] hanya tergantung pada [pekerjaan] sebagai PNS, tetapi kita juga sebenarnya bisa menciptakan lapangan pekerjaan sendiri dan menghidupi orang lain,” impinya.

Masa depan garam hutan ala Sinagi Papua masih terbuka lebar. Seluas hamparan hutan nipah yang tumbuh berlimpah di seantero Sorong. Harapan Yuyun pun membubung tinggi. Ia yakin Sinagi Papua akan menjadi besar. Bisa menghasilkan lebih dari apa yang ia buat saat ini. (*)


Foto sampul:
Yuyun menunjukkan produk bumbu asin nipah atau garam hutan di tengah area hutan nipah dekat rumahnya/Deta Widyananda

Pada Agustus–September 2024, tim TelusuRI mengunjungi Sorong dan Sorong Selatan di Papua Barat Daya, serta Jayapura di Papua, dalam ekspedisi Arah Singgah: Suara-suara dari Timur Indonesia. Laporan perjalanannya dapat Anda ikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Yuliance Ulim: Pembuat Garam Hutan dari Papua appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/yuliance-ulim-pembuat-garam-hutan-dari-papua/feed/ 0 44959