sragen Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/sragen/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 27 May 2025 15:09:51 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 sragen Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/sragen/ 32 32 135956295 Menjajal Trans Jateng dan “Sky Bridge” di Solo https://telusuri.id/menjajal-trans-jateng-dan-sky-bridge-di-solo/ https://telusuri.id/menjajal-trans-jateng-dan-sky-bridge-di-solo/#respond Thu, 24 Apr 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46762 Selepas acara di salah satu hotel, Jumat pagi (17/1/25) saya meluncur ke Terminal Tirtonadi, Kota Solo. Kurang dari 15 menit, ojek daring membelah keramaian lalu lintas dan mengantar sampai pintu timur terminal. Banyak kenek bus...

The post Menjajal Trans Jateng dan “Sky Bridge” di Solo appeared first on TelusuRI.

]]>
Selepas acara di salah satu hotel, Jumat pagi (17/1/25) saya meluncur ke Terminal Tirtonadi, Kota Solo. Kurang dari 15 menit, ojek daring membelah keramaian lalu lintas dan mengantar sampai pintu timur terminal.

Banyak kenek bus jurusan Jawa Timur menghampiri begitu melangkah masuk terminal. “Trans Jateng,” kata saya, membuat mereka lekas menjauh. “Masih terus ke dalam,” ucap salah satu kenek bus tujuan Surabaya. 

Guna memastikan, saat melihat petugas berseragam dinas perhubungan (Dishub), saya tak ragu bertanya. “Nanti mentok, melipir ke kanan. Ada ruang tunggu di situ,” ujarnya. 

Saya mempercepat langkah, bus berwarna merah melintas dan berhenti. Penumpang dari ruang tunggu antre naik. “Bus ke Sumber Lawang?” tanya saya dari jendela pintu depan bus. “Bukan, tunggu saja nanti datang,” jawab sopir.

Naik Trans Jateng ke Sragen

Saya bertanya langsung pada pengemudi bus, sebagaimana saran Ali—panggilan Evan Hrazeel Langie, anak sulung yang ingin saya kunjungi di salah satu pesantren di Sragen. Ali lebih dulu menjajal Trans Jateng saat berangkat dari Cirebon menuju pondoknya kembali, usai liburan lalu. “Trans Jateng ada yang ke Wonogiri dan Sragen. Abi pastikan dulu, jangan keliru naik,” kata pelajar kelas 3 Mutawasith (SMP) itu via telepon.

Saya pun duduk di ruangan luas berdinding kaca. Baru pukul 08.40. Dua petugas hilir mudik, menanyakan tujuan tiap penumpang. Petugas memberitahu bus yang akan saya naiki, sama dengan rombongan ibu paruh baya berkerudung. “Nanti naik bareng mereka,” jelasnya.

Pukul 08.50, bus yang dinantikan datang. Ibu-ibu bersiap, berkerumun depan pintu ruangan. Begitu pintu bus terbuka, serentak mereka masuk. Saya sempat khawatir tak kebagian tempat duduk, tapi dapat juga di sisi kiri belakang sopir. Posisi duduk penumpang Trans Jateng berhadapan dengan jarak yang cukup. Tidak sempit. Aturannya, penumpang lelaki di bagian depan, yang perempuan mulai tengah hingga kursi paling belakang. Ada tanda pembatasnya.

Tak perlu menunggu penumpang penuh, sopir mengarahkan kendaraan keluar terminal. Melewati jalan di bawah jalan layang tol dalam kota. Termasuk melintasi bawah jembatan rel layang berpagar raksasa warna merah mencolok. Saya berpikir, kenapa Solo identik dengan warna perlambang berani? Baru sadar; mungkin saja karena basis partai politik berbendera merah ada di kota ini. 

Menjajal Trans Jateng dan “Sky Bridge” di Solo
Tiket Trans Jateng Solo-Sragen PP/Mochamad Rona Anggie

Kondektur perempuan membuyarkan lamunan saya, lantas menanyakan tujuan dan menagih ongkos. Perempuan bermasker yang oleh sopir dipanggil Okta itu, sigap dengan mesin electronic data capture (EDC) di tangan. Tarif jauh-dekat penumpang umum Rp4.000, sedangkan pelajar, buruh, dan veteran Rp2.000.

“Turun di SMA Sumber Lawang,” kata saya sambil menyerahkan uang sepuluh ribu. Okta memberi kembalian dan struk yang keluar otomatis dari mesin.

Bus Trans Jateng hanya menaikkan dan menurunkan penumpang di titik tertentu. Ditandai rambu khusus atau yang spesifik berupa halte berwarna merah. Total ada 76 lokasi perhentian dengan akhir perjalanan di Terminal Sumber Lawang, Sragen. Rute Solo–Sragen ini juga melewati halte Sangiran, titik turun wisatawan yang mau berkunjung ke Museum Manusia Purba Sangiran. Rombongan ibu-ibu mengakhiri perjalanan di sini.

Setengah jam berlalu. Penumpang sisa sedikit. Sopir membuka obrolan, menanyakan asal dan tujuan saya. “Dari Cirebon, mau nengok anak di Ponpes Darussalaf, Pendem,” ujar saya. “Masih jauh itu,” balasnya.

Menjajal Trans Jateng dan “Sky Bridge” di Solo
Pak Safari, sopir bus Trans Jateng/Mochamad Rona Anggie

“Saya juga pernah kerja di Cirebon, dulu tahun 1990-an,” kata si sopir. Kami pun saling bertukar cerita. Sebelum saya turun, dia sempat mengenalkan diri dengan menunjukkan kartu pengenal sopir Trans Jateng yang tergantung di dada. Namanya: Safari. “Wah, yang punya Taman Safari, nih,” gurau saya. Dia tertawa. “Siapa tahu nanti naik Trans Jateng bisa ketemu lagi, ya,” ucapnya hangat.

Sampailah saya di tujuan setelah 45 menit perjalanan. Saya lihat peta jalur Trans Jateng, ternyata dari tempat saya turun, tersisa satu halte lagi (SMP Sumber Lawang), sebelum bus tiba di titik akhir. Saya perkirakan total perjalanannya sekitar satu jam saja.

Ali menyebutkan, dari halte SMA Sumber Lawang ke pesantren berjalan kaki sekitar 700 meter. Tadinya, saya kira akan sore hari datang ke sana. Namun, ada perubahan rencana. Saya berkunjung di pagi menjelang siang. Padahal sudah siap jas hujan, andai turun dari bus disambut hujan. Sebab, kabar terakhir dari Ali, Desa Pendem sedang rutin diguyur air langit saat sore.

Terbukti, persis selesai salat Jumat di masjid pondok, hujan deras. Berangsur rintik, lalu deras kembali sampai malam. Pertemuan ayah dan anaknya pun dibalut kesejukan dalam rindu.

Menjajal Trans Jateng dan “Sky Bridge” di Solo
Pertigaan jalan depan halte Simpang Kemukus 2/Mochamad Rona Anggie

Kejutan, Berjumpa Pak Safari Lagi

Tadinya saya mau pulang hari Minggu. Namun, Sabtunya Ali ada pembelajaran sampai zuhur. Ketimbang sendirian di kamar tamu, saya putuskan pagi itu kembali ke Cirebon. Saya lihat Ali tak berat melepas ayahnya pulang. 

Gerimis menemani saat saya diantar musyrif (pengawas santri) naik motor ke halte Simpang Kemukus 2. Lokasi ini berlawanan arah dengan halte SMA Sumber Lawang. Jadi, Trans Jateng koridor Solo–Sragen punya dua titik perhentian berseberangan. 

Info dari Pak Safari—dan ternyata ada dalam poster yang ditempel di halte—keberangkatan Trans Jateng mulai pukul 05.00, terakhir pukul 17.30. Beroperasi sekaligus dua bus. Satu start dari Tirtonadi, satu lagi dari Sumber Lawang.

Awalnya saya sendirian menunggu di halte. Tak lama datang seorang pelajar perempuan berpakaian pramuka. “Biasa bus datang jam berapa?” tanya saya. “(Jam) 6.20,” sahutnya. Semenit berselang tampak kotak merah melaju mendekati halte. Saya bersiap naik, pintu bus tepat depan muka halte. Kondektur lelaki mengarahkan duduk di sisa satu kursi dekat sopir. “Mau pulang, Pak?” tanya sopir, yang langsung membuat saya terkejut. “Lho, Pak Safari!”

“Jodoh, ya,” ucapnya lanjut tersenyum. 

“Wah, saya enggak nyangka sama sekali, kan busnya ada banyak.”

Karena ramai penumpang, bahkan hingga berdiri, kami belum bisa meneruskan obrolan. Pagi itu di dalam bus penuh pelajar hendak berangkat sekolah. Lalu lintas merayap perlahan. Siswa dan siswi sebagian turun di halte SMKN 1 dan SMPN 1 Kalijambe, dekat halte Sangiran.

Bus Trans Jateng yang saya tumpangi tiba di Tirtonadi pukul 07.15. Durasi 45 menit perjalanan. Alhamdulillah, lancar. Sebelum turun, saya salami Pak Safari. “Sehat-sehat, ya, Pak! Terima kasih,” kata saya. 

“Kapan ke sini lagi?” tanyanya. “Paling nanti pas jemput anak, libur bulan puasa,” sahut saya sambil melangkah keluar bus. Jujur saja, saya masih kaget campur senang bisa bertemu Pak Safari lagi. Tak terbayangkan sebelumnya. Takdir. 

Menuju Stasiun Solo Balapan via Sky Bridge

Masuk area terminal, saya celingukan. Di manakah Sky Bridge? Ah, tanya petugas saja. “Lurus terus, dekat masjid,” sebut lelaki berseragam Dishub, menunjuk selasar di depan sana. Saya melangkah perlahan. Tengok kanan-kiri, lalu ketemu tangganya. Terbagi dalam dua undakan. Saya hitung ada 40 anak tangga, lantas tembus ke atap terbuka yang jadi tempat parkir mobil. Lorong masuk Sky Bridge ada di sebelah kanan. 

Benar kata Ali, sepi! Saya berjalan semakin dalam dan jauh. Tak ada siapa-siapa. Setelah agak lama, baru berpapasan dengan seorang ibu ke arah Tirtonadi. Saya sempatkan melihat pemandangan perkampungan warga, jalan raya, hingga kubah dan menara putih Masjid Sheikh Zayed—ikon religi teranyar Kota Solo.

Di situs web resmi Pemkot Surakarta, dijelaskan Sky Bridge dibangun sejak tahun 2017 dan resmi beroperasi 2022. Awalnya hanya penumpang yang sudah memiliki tiket kereta api saja yang bisa mengakses Sky Bridge dari Tirtonadi. Jam buka jembatan melayang dengan desain tertutup kaca dan beratap itu juga dibatasi pukul 04.00–18.30 WIB. Namun, mulai Februari 2024, Sky Bridge beroperasi untuk umum selama 24 jam. 

Kehadiran Sky Bridge memudahkan penumpang luar kota seperti saya dan yang lainnya. Kita tak perlu keluar terminal atau stasiun jika mau berganti moda transportasi. Memang, agak lumayan jalan kakinya. Saya perkirakan hampir satu kilometer. Tapi ternyata, di situs web tadi disebutkan Sky Bridge memangkas jarak Stasiun Solo Balapan–Terminal Tirtonadi menjadi hanya 650 meter saja. Sementara kalau lewat jalan raya di luar stasiun atau terminal, lebih dari 1,5 kilometer. 

Menjelang ujung lorong, jalur Sky Bridge lantas menanjak. Terlihat lintasan rel kereta api di bawah. Sepertinya sudah masuk kawasan stasiun. Selasar lalu mengarah ke ruangan-ruangan berkaca. Saya masuki salah satu pintu, menuju sebuah konter. Salah! Bukan tempat membeli tiket kereta api jarak jauh. “Ini loket untuk kereta api ke bandara,” kata petugas perempuan. 

Saya kemudian diarahkan keluar ruangan, berjalan terus hingga menemukan eskalator turun dan sampailah di area parkir stasiun. Di loket penjualan tiket luring, saya pilih naik KA Mataram tujuan Pasar Senen. Saya akan turun di Stasiun Kejaksan Cirebon, dengan jadwal keberangkatan pukul 08.50. 

Masih ada waktu, saya sempatkan sarapan soto depan stasiun. Selebihnya menikmati suasana hilir mudik sepur dari Solo Balapan. Tiba-tiba, di antara peluit petugas stasiun dan klakson khas “ular besi”, seolah terdengar Didi Kempot bersenandung: ning Stasiun Balapan, Kuto Solo sing dadi kenangan…


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menjajal Trans Jateng dan “Sky Bridge” di Solo appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menjajal-trans-jateng-dan-sky-bridge-di-solo/feed/ 0 46762
Eksplorasi Sudut Unik Museum Sangiran https://telusuri.id/eksplorasi-sudut-unik-museum-sangiran/ https://telusuri.id/eksplorasi-sudut-unik-museum-sangiran/#comments Fri, 27 Dec 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=44785 Siapa yang tak kenal Museum Sangiran yang terletak di Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah? Semua pajangan dalam museum ini menunjukkan sejarah panjang evolusi manusia yang tidak hanya mengungkap fosil-fosil berusia jutaan tahun, tetapi juga...

The post Eksplorasi Sudut Unik Museum Sangiran appeared first on TelusuRI.

]]>
Siapa yang tak kenal Museum Sangiran yang terletak di Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah? Semua pajangan dalam museum ini menunjukkan sejarah panjang evolusi manusia yang tidak hanya mengungkap fosil-fosil berusia jutaan tahun, tetapi juga menggambarkan perjalanan kehidupan manusia di masa prasejarah dengan sangat mendalam.

Berdasarkan pengalaman saya saat mengeksplorasi salah satu museum terpenting di dunia ini, ada sudut-sudut yang luput dari perhatian pengunjung. Salah satunya adalah bangunan berupa rangka berwarna kuning gading. Saat saya sampai, tidak ada seorang pengunjung pun yang memerhatikan jembatan ini. Sementara saya dan keluarga berfoto di sini.

Mungkin pengunjung merasa kontruksi yang terletak di dekat Museum Sangiran ini hanya jembatan biasa. Padahal setelah dilihat lebih detail, ternyata jembatan ini memiliki gaya arsitektur futuristik dengan sentuhan alam. Strukturnya menyerupai rangka fosil binatang purba, sepertinya seekor kura-kura purba raksasa. Dari sini kita sudah dibawa ke masa prasejarah. Warna kuning gading pada rangkanya yang kukuh, berpadu apik dengan hijau pepohonan di sekitarnya.

Eksplorasi Sudut Unik Museum Sangiran
Jembatan kuning gading dengan konstruksi yang unik/Sukini

Melihat Kerangka Manusia Purba 

Setelah puas menelusuri bagian luar gedung, saya segera melangkahkan kaki ke dalam museum. Langkah kaki saya terhenti di sebuah kerangka manusia purba. Saat saya menoleh kanan-kiri, lagi-lagi tak ada pengunjung lain yang mencoba menelisik mumi unik ini. Saya pun bebas mengambil foto dan mencermati informasinya.

Selama ini saya belum pernah menyaksikan rangka manusia yang diawetkan oleh alam secara langsung. Saya kagum dengan proses pengangkatan kerangka yang sangat cermat. Pencahayaan yang diarahkan secara fokus memberikan sorotan dramatis pada detail tulang-tulang yang masih terlihat jelas. Terdapat tulang panjang kaki dan tangan, tulang rusuk, serta bagian tengkorak yang sebagian masih terbenam dalam lapisan tanah.

Tentu saja kerangka manusia purba ini menjadi peninggalan arkeologis yang sangat bernilai, karena mampu memberikan gambaran tentang kehidupan masa lalu. Meski terkubur selama ribuan tahun, kondisinya yang terawat menunjukkan ketahanan material tulang serta metode penggalian yang hati-hati. Batu-batu di sekelilingnya menunjukkan lingkungan tempat kerangka ini ditemukan, yang kemungkinan bagian dari situs pemukiman purba atau area pemakaman. 

Contoh kerangka manusia purba (kiri) dan tengkorak Homo floresiensis/Sukini

Jejak Manusia Mini 

Di tengah kabut masa prasejarah, tengkorak Homo floresiensis menjadi saksi bisu perjalanan manusia purba yang penuh misteri. Menurut informasi, bentuk tubuh Homo floresiensis kecil, tetapi penuh karakter. Tengkorak yang masih sangat utuh ini seakan menceritakan kisah peradaban yang hidup sekitar 100.000 hingga 60.000 tahun yang lalu di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. 

Menurut laporan, tengkorak tersebut memiliki kapasitas otak yang hanya sepertiga dari manusia modern, tetapi tidak kalah cerdas dalam bertahan hidup di alam liar. Bayangkan cara mereka menatap dunia dengan mata besar, memindai hutan lebat, dan mengindra binatang buruannya. Sungguh luar biasa!

Melihat bentuk tengkorak yang melengkung sempurna dengan rahang yang kukuh, saya telah dibawa ke masa lalu. Gigi-gigi mereka yang kuat mungkin pernah mengoyak daging hewan buruan, sementara otak kecilnya merancang alat-alat sederhana untuk berburu dan bertahan hidup. Bentuk kepala yang unik ini menunjukkan bukti nyata Homo floresiensis sebagai manusia yang luar biasa dalam menghadapi kerasnya alam liar di pulau terpencil. Setiap lekukan di tengkorak adalah rekaman waktu yang tak terhapuskan, berbicara dalam bahasa fosil yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang mau menyimaknya.

Melalui tengkorak itu, saya tidak hanya belajar tentang masa lalu, tetapi juga menyadari betapa kuatnya manusia sebagai makhluk yang mampu beradaptasi dengan lingkungan ekstrem. Homo floresiensis bukan sekadar jejak fosil, melainkan lorong waktu yang menghubungkan kita dengan nenek moyang yang pernah berjalan di antara rimbunnya hutan Flores, meninggalkan jejak langkah yang masih ditelusuri hingga kini. Saya pun berpikir, andai saja saya hidup pada masa itu, mampukah saya bertahan?

Eksplorasi Sudut Unik Museum Sangiran
Kerangka kuda nil raksasa koleksi Museum Sangiran/Sukini

Hewan Raksasa di Zaman Purba

Sudut unik lain Museum Sangiran bisa terlihat dari sebuah kerangka raksasa yang ditopang besi. Saya pun segera mendekat dan memahami informasi yang disematkan. Bayangan seekor hewan raksasa yang pernah berkubang di sungai-sungai purba, menguasai daratan dan perairan dengan kehadirannya yang menggetarkan, menyeruak dalam kalbu saya. 

Inilah kerangka kuda nil purba. Sebuah fosil megah yang membawa saya kembali ke ribuan tahun yang lalu, ketika hewan ini menjadi salah satu penguasa ekosistem. Ukuran tubuhnya jauh melampaui kuda nil yang ada sekarang. Gigi taringnya tampak seperti pedang alami, mampu menunjukkan keganasan predator pada masanya.

Kerangka yang tersusun lengkap dari kepala hingga ekor, memberi gambaran jelas tentang kekuatan luar biasa yang pernah dimilikinya semasa hidup. Tengkoraknya besar dan tebal, pun rahang lebar yang memperlihatkan kemampuan menggigit dengan kekuatan dahsyat. Tulang kaki yang kuat menandakan hewan ini tidak hanya tangguh di air, tetapi juga mampu berjalan di daratan dengan tenaga yang mengejutkan. Tulang rusuk yang lebar menggambarkan kapasitas paru-parunya yang besar, memungkinkan kuda nil purba ini bertahan di bawah air dalam waktu lama.

Saya seperti diajak masuk ke habitat purba yang liar dan belum tersentuh. Sungai-sungai besar, rawa-rawa luas, dan belantara lebat menjadi saksi bisu kehidupan satwa yang penuh tantangan. Ini bukan hanya sekumpulan tulang, melainkan juga sebuah jendela ke masa lalu yang mengungkapkan keanekaragaman kehidupan purba. Ia menyadarkan saya, bahwa zaman dahulu alam semesta dipenuhi oleh makhluk-makhluk megafauna yang begitu perkasa, tetapi juga rentan terhadap perubahan bumi. Fosil kuda nil purba tersebut berdiri sebagai saksi bisu perjalanan waktu.

Eksplorasi Sudut Unik Museum Sangiran
Kerangka gading dan rahang gajah purba/Sukini

Gading Kolosal dan Rahang Sang Mamalia Purba

Perjalanan di Museum Sangiran saya akhiri dengan mengagumi gading akbar dan rahang bawah dari gajah purba yang pernah menguasai daratan Sangiran dan sekitarnya. Gadingnya menjulang sangat panjang dan melengkung sempurna, memancarkan kekuatan luar biasa yang pernah dimiliki mamalia raksasa ini. Bukan hanya ukuran yang menakjubkan, melainkan juga ketajaman detail pada gading yang masih utuh, memperlihatkan bagaimana gajah purba ini menggunakan senjata alami tersebut—baik untuk bertahan hidup, menarik perhatian kawanan, atau menghadapi lawan di habitat liar mereka.

Di samping gading yang kolosal, rahang bawah yang kokoh dengan gigi-gigi yang masih tampak nyata memberikan gambaran yang jelas tentang kekuatan dan ketahanan hewan ini. Gigi geraham besar dengan permukaan kasar menunjukkan betapa kerasnya mereka mengunyah vegetasi padat, dari dedaunan hingga kulit kayu. Rahang bawah yang lebar dan kuat seolah menceritakan perjuangan bertahan hidup di masa lalu.

Melihat fosil tersebut, saya kembali disadarkan akan kebesaran alam yang pernah ada. Betapa hewan-hewan purba ini pernah menjadi bagian dari ekosistem yang tak terbayangkan. Gading dan rahang ini tidak hanya berbicara tentang masa lalu, tetapi juga tentang bagaimana sejarah planet tempat kita tinggal ini selalu menyimpan keajaiban yang menunggu untuk diungkap. Di balik setiap lapisan tanah, ada cerita luar biasa dari eksotisnya fauna raksasa yang pernah hidup di bumi.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Eksplorasi Sudut Unik Museum Sangiran appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/eksplorasi-sudut-unik-museum-sangiran/feed/ 8 44785
Soto Gimo Girin, Soto Legendaris di Bumi Sukowati https://telusuri.id/soto-gimo-girin/ https://telusuri.id/soto-gimo-girin/#respond Wed, 21 Dec 2022 04:01:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36700 Pada kesempatan kali ini, saya ingin bercerita tentang semangkuk soto dari Bumi Sukowati. Kabupaten Sragen—yang mendapat julukan Bumi Sukowati—memiliki brand soto yang sangat terkenal, yaitu Soto Gimo Girin. Mbah Girin ini memulai warung sotonya sejak...

The post Soto Gimo Girin, Soto Legendaris di Bumi Sukowati appeared first on TelusuRI.

]]>
Pada kesempatan kali ini, saya ingin bercerita tentang semangkuk soto dari Bumi Sukowati. Kabupaten Sragen—yang mendapat julukan Bumi Sukowati—memiliki brand soto yang sangat terkenal, yaitu Soto Gimo Girin. Mbah Girin ini memulai warung sotonya sejak tahun 1953. Kemudian, selepas beliau wafat, warung soto ini diteruskan oleh anak dan cucunya.

Sejak masih kecil, saya sudah mengetahui eksistensi soto ini. Mbah saya adalah orang asli Sragen. Otomatis, setiap pulang kampung selalu ada ritual makan Soto Girin. Belum afdal rasanya kalau pulang kampung, tetapi tidak berkunjung ke warung soto legendaris ini. Biasanya, kami mendatangi Warung Soto Girin beramai-ramai. Mbah, pakde, budhe, om, tante, hingga cucu. Semuanya ikut serta. 

Warung soto gimo girin
Penampakan Warung Soto Gimo Girin/Patricia Elsa

Oleh sebab itu, secara pribadi saya memiliki ikatan emosional dengan Soto Girin. Saat menyantapnya, tidak hanya tentang kenikmatan semangkuk soto, namun juga sebuah memori hangat yang melekat. Lama saya perhatikan, warga Sragen terbiasa menyebut soto bukan dengan bunyi “soto”, tetapi “sauwto”. 

Bagi saya, soto merupakan comfort food yang bisa dinikmati di segala situasi. Kuahnya yang panas dan kaldu yang segar selalu berhasil membuat saya kembali bergairah. Biasanya, saya menyantap soto pada pagi hari. Kendati demikian, jika ada ajakan makan soto di siang atau malam hari, saya pun tidak akan menolak. Ya, sebesar itu rasa gandrung saya pada makanan berkuah ini.

Hidup bernomaden di beberapa pulau di Indonesia membawa saya pada keberuntungan. Pasalnya, saya bisa menjajal langsung soto-soto yang otentik dari tiap daerah. Di tiap daerah semua masakan bernama soto pasti berkuah. Namun demikian, karakter bumbu soto pada kuah itulah yang membedakan cita rasa tiap-tiap soto. Begitu juga dengan Soto Girin.

Karakter Kuah Soto Gimo Girin

Di Sragen sekarang, kira-kira sudah ada tujuh cabang Warung Soto Girin. Resepnya menggunakan resep asli dari Mbah Girin. Pak Gimo adalah anak Mbah Girin yang ke-4. Konon, sejak kecil mereka semua diajarkan oleh Mbah Girin untuk mengolah soto. Merek Girin ini hanya boleh dipakai oleh anak dan cucu dari keluarga inti saja. 

Kebetulan mbah dan bapak saya sangat suka dengan Soto Girin yang cabangnya di Gimo Girin. Menurut mereka, kuah soto di Gimo Girin terasa lebih segar dari cabang lainnya. Sekilas memandang, kuah dan isian mangkuk soto di semua cabang sama saja. Akan tetapi, jika dicermati lebih lanjut, kuah Soto Gimo Girin tidak terlalu ada gajih sapinya sehingga terasa lebih ringan. Kalau sudah berbicara selera, persoalan ini pun menjadi subjektif. Saya sih manut saja karena ternyata selera mereka berdua menurun juga ke saya. Bagi saya, kuah soto yang ringan ini sangat effortless ketika diseruput. 

Soto gimo girin
Dua mangkuk soto Gimo Girin/Patricia Elsa

Kalau kamu sedang berlibur atau melewati Kabupaten Sragen, jangan lupa mampir ke sini. Harganya sangat terjangkau. Seporsi soto daging sapi yang berisi nasi, kuah soto segar yang berwarna kuning keruh diisi irisan daging sapi, tauge, irisan daun bawang, seledri, dan juga bawang goreng hanya dibanderol dengan harga Rp8.000.

Bagi saya pribadi, kuah adalah kunci dari nikmatnya semangkuk soto. Selain rasanya yang harus sedap, kuah soto pun harus panas mongah-mongah. Fakta lain yang membuat kuah soto di sini terasa sedap adalah pengolahannya masih dilakukan secara tradisional dengan menggunakan kuali tanah liat dan tungku kayu bakar. 

Daging, Babat, Paru, dan Gorengan sebagai Pelengkap Soto

Elemen lain yang spesial dan menjadi incaran para pelanggan adalah pelengkap soto seperti: empal, babat, paru, dan gorengan. Jika daging dalam semangkuk soto terasa kurang, kamu bisa menambahkan dengan empal goreng yang tersedia di sini. Dagingnya besar-besar, empuk, dan sangat gurih. Bagi penggemar babat dan paru, kalau ke sini pokoknya jangan sampai melewatkannya!

Buat kamu yang tidak bisa makan daging sapi, tenang saja. Masih tersedia pelengkap soto seperti tahu dan tempe goreng. Tahu dan tempe goreng di sini ukurannya besar, namun harganya sangat murah, hanya Rp1.000 per satuannya.

Lokasi Soto Gimo Girin

Berbeda dari cabang lainnya, Soto Gimo Girin letaknya tersembunyi—hidden gem—di gang yang sepi, tepatnya di Jalan Letjen Panjaitan Nomor 1, Sragen Kulon. Kendati tidak terletak di pinggir jalan raya dan hanya mengambil tempat di teras rumah, warung ini laris diserbu pengunjung. Kalau saya perhatikan, ada banyak plat mobil dari luar kota yang ikut meramaikan warung. Selain menjual soto yang enak, warung ini ternyata juga berhasil menjadi ajang pertemuan lintas kelas sosial yang ada di masyarakat. 

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Soto Gimo Girin, Soto Legendaris di Bumi Sukowati appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/soto-gimo-girin/feed/ 0 36700