stasiun Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/stasiun/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 08 Dec 2021 08:56:32 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 stasiun Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/stasiun/ 32 32 135956295 Menyimpang Sesaat ke Lampegan https://telusuri.id/menyimpang-sesaat-ke-lampegan/ https://telusuri.id/menyimpang-sesaat-ke-lampegan/#respond Thu, 09 Dec 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=31534 Jarum jam menunjukkan pukul 09.52 saat aku sampai di bundaran Pasir Hayam, Cianjur. Pagi itu, aku dalam perjalanan dari Bandung menuju Sukabumi. Di Kota Moci itu, aku perlu bertemu seseorang. Jarak dari Pasir Hayam ke...

The post Menyimpang Sesaat ke Lampegan appeared first on TelusuRI.

]]>
Jarum jam menunjukkan pukul 09.52 saat aku sampai di bundaran Pasir Hayam, Cianjur. Pagi itu, aku dalam perjalanan dari Bandung menuju Sukabumi. Di Kota Moci itu, aku perlu bertemu seseorang. Jarak dari Pasir Hayam ke Sukabumi sekitar 27,8 kilometer. Jika tidak macet, dengan berkendara, jarak tersebut dapat ditempuh dalam tempo kurang dari satu jam.

Kupikir, kalau langsung melaju ke Sukabumi, aku akan sampai ke sana terlalu dini. Pasalnya, aku bikin janji untuk ketemu dengan seseorang itu sekitar pukul 14-an. Maka, aku memilih untuk tidak langsung capcus ke Sukabumi.

Dari bundaran Pasir Hayam, aku mengambil rute yang mengarah ke Cibeber, Cianjur Selatan. Cuaca cukup cerah. Langit terlihat biru. Jalur Pasir Hayam—Cibeber hari itu relatif lengang.

Bunderan Pasir Hayam
Bunderan Pasir Hayam/Djoko Subinarto

Setelah hampir 10 kilometer melaju, cuaca yang sedikit panas memaksaku akhirnya menepi di sebuah jongko penjual es degan. Sembari ikut beristirahat, aku pesan satu gelas es degan, dengan sirup gula aren. Harga per gelasnya terbilang murah, Rp3.000. Di jalur Cianjur—Sukabumi, satu gelas es degan biasanya dibanderol Rp5000. Bahkan, ada yang membanderol Rp7.000 per gelas.

Kelar menikmati es degan, aku lanjutkan perjalanan. Posisi perjalananku terus mengarah ke selatan. Ke arah Alun-alun Cibeber. Namun, sekitar dua kilometer sebelum Alun-alun Cibeber, aku berhenti.

Kubuka ponsel dan mulai mengakses Google Map. Di seberang dari tempatku berhenti, ada jalan menanjak ke arah barat. Dari Google Map, kuketahui jalan itu menuju ke Lampegan—sebuah stasiun kecil di daerah Campaka, Cianjur. Nah, dari Lampegan, nanti bisa tembus ke Sukabumi via Cireunghas.

Kupikir sebaiknya aku coba rute Lampegan—Sukabumi ini. Sekadar untuk memastikan, aku pun lantas bertanya kepada seorang pria yang kutaksir usianya sekitar 40-an, dan tengah berjaga di persimpangan jalan, membantu mengarahkan dan mengatur kendaraan yang lalu-lalang.

Leres. Engke tiasa ka Lampegan. Ka Gunung Padang oge tiasa,” jelasnya dalam bahasa Sunda (Benar. Ini nanti bisa ke Lampegan. Juga bisa ke Gunung Padang).

Aku ikuti petunjuknya. Kondisi jalan mulus. Namun, tidak terlalu lebar. Maklum, jalan pegunungan. Naik-turun. Semakin jauh, jalanan semakin sepi. Kanan-kiri masih banyak kebun, sawah atau pun semak-semak.

Setelah beberapa tanjakan kulewati. Di pinggir sebuah kebun, aku memilih berhenti. Kali ini aku mengeluarkan minuman kemasan, rasa sari jeruk dari tas punggungku. Kuminum beberapa teguk untuk membasahi tenggorokan. Tak sengaja, aku melihat beberapa buah kweni matang yang tergeletak di atas rumput. Aku celingukan. Tak jauh dari aku berhenti rupanya berdiri sebatang pohon kweni yang tengah berbuah lebat. 

Aku ambil dua buah kweni yang tergeletak di rumput. Aku masukkan ke tas punggung. Namun, beberapa meter setelah aku teruskan perjalananku, aku membatin bahwa aku tak berhak mengambil buah kweni itu.

Aku lalu balik kanan. Kembali menuju pohon kweni. Kuambil dua kweni yang tadi disimpan di tas punggungku. Aku letakkan lagi di atas rumput, seperti semula aku menemukannya. 

Setelah itu, aku meneruskan perjalananku. Beberapa jenak kemudian, sampailah aku di sebuah persimpangan. Ada plang penunjuk jalan. Ke kiri, Gunung Padang dan Lampegan. Ke kanan, Warungkondang, Sukabumi, dan BandungAku ambil kiri. Artinya, menuju Gunung Padang dan Lampegan. Seperti juga jalan yang aku lalui sebelumnya, ini adalah jalan pegunungan. Namun, relatif lebih ramai. Namun, tentu saja dibanding jalan raya utama, jalan ini masih terbilang sepi. Beberapa kali aku berhenti untuk mengecek Google Map cuma memastikan bahwa aku tak salah arah.

Perlintasan KA Lampegan
Perlintasan KA Lampegan/Djoko Subinarto

Dan akhirnya, aku melihat bentangan rel kereta api (KA). Itu adalah rel KA jalur Sukabumi—Cianjur. Tak lama berselang, aku pun sampai di perlintasan KA rel tunggal. Setelah sebuah perlintasan, ada dua pilihan arah. Ke tenggara ke Gunung Padang, ke barat daya ke Stasiun KA Lampegan. Aku lantas menuju arah barat daya. Tak banyak pengguna jalan melintas. Beberapa meter setelah melaju, tibalah aku di depan Stasiun KA Lampegan. 

Ada beberapa sepeda motor terparkir di depan stasiun. Sayup-sayup, aku dengar suara orang tengah berbincang dari dalam stasiun. Aku menduga mereka adalah petugas stasiun yang sedang berdinas siang itu.

Aku bergegas ke arah sisi barat stasiun. Sejurus kemudian, aku melihat bangunan terowongan legendaris Lampegan, yang merupakan salah satu terowongan pertama di Jawa Barat. Di atas terowongan tertera keterangan tahun: 1879-1882.

Beberapa literatur menyebut bahwa Lampegan berasal dari kata laam pegang. Konon, saat terowongan itu dibangun, petugas Belanda yang melakukan inspeksi kerap meneriakkan kalimat “Laam pegang!”  kepada para pekerja. Dalam bahasa Belanda, ‘laam’  berarti lampu.

Terowongan Lampegan dibangun Staatsspoorwegen (SS), perusahaan KA milik pemerintah kolonial Belanda. Pembangunan terowongan ini sebagai bagian dari proyek jalur KA Bogor-Bandung via Sukabumi-Cianjur. Pemerintah kolonial Belanda perlu membangun jalur KA Bogor-Bandung untuk mempercepat pengangkutan hasil bumi ke Batavia sebelum diekspor ke luar negeri via Pelabuhan Tanjung Priok.

Terowongan Lampegan
Terowongan Lampegan/Djoko Subinarto

Selagi aku tengah mengamati terowongan Lampegan, seorang pria, yang merupakan petugas terowongan (terlihat dari baju yang dikenakannya) berjalan menuju arah terowongan. Karena aku mau ke Sukabumi hari itu, aku tanyakan saja kepadanya rute menuju Sukabumi via Cireunghas. 

“Dari sini lurus. Nanti, ada jalan ke atas, sebelah kanan. Ikuti jalan itu. Jalannya sudah bagus. Bisa tembus ke Cireunghas,” katanya, sembari menunjuk arah timur.

Aku ikuti penjelasan petugas terowongan tadi. Aku bergerak ke arah timur. Begitu sampai di jalur jalan yang dimaksud, aku temui seorang penduduk untuk kembali memastikan rute yang harus kulewati.

“Betul, ini bisa ke Cireunghas. Lurus saja dulu. Nanti, habis kebon karet, ada warung bakso, ambil jalan yang menurun, di kanan. Tembusnya nanti bisa ke daerah Cireunghas,” ujar seorang pria bertelanjang dada, yang aku tanyai, persis di depan rumahnya.

Aku memeriksa Google Maps, jarak dari Lampegan ke Cireunghas sekitar 10,3 kilometer. Adapun dari Cireunghas ke Sukabumi berjarak sekitar 13,9 kilometer. Kulirik arloji, waktu menunjukkan pukul 13.10. Kuperkirakan, pukul 14 kurang sedikit aku sudah berada di Sukabumi.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu
!

The post Menyimpang Sesaat ke Lampegan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menyimpang-sesaat-ke-lampegan/feed/ 0 31534
Terjebak Nostalgia di Stasiun Tugu https://telusuri.id/terjebak-nostalgia-di-stasiun-tugu/ https://telusuri.id/terjebak-nostalgia-di-stasiun-tugu/#respond Sun, 07 Jul 2019 09:00:39 +0000 https://telusuri.id/?p=14941 “Arem-arem, Mas? Lumpia?” Seorang perempuan usia empat puluhan menawarkan dagangannya pada saya. Saya sedang merokok dekat bukaan di pagar selatan Stasiun Tugu, stasiun kereta api terbesar di Daerah Istimewa Yogyakarta. Secara halus saya tolak tawarannya...

The post Terjebak Nostalgia di Stasiun Tugu appeared first on TelusuRI.

]]>
“Arem-arem, Mas? Lumpia?” Seorang perempuan usia empat puluhan menawarkan dagangannya pada saya. Saya sedang merokok dekat bukaan di pagar selatan Stasiun Tugu, stasiun kereta api terbesar di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Secara halus saya tolak tawarannya yang menggoda. Saya memang belum lapar meskipun urung sarapan pagi. Lagipula, habis ini saya dan Nyonya berencana makan di salah satu warung favorit saya, Soto Ngadiran.

“Ruang tunggu itu baru ya, Bu?” Dengan jempol saya menunjuk ke ruang tunggu luas di samping mini market sana. Dulu, seingat saya, itu adalah deretan kantor kargo yang selalu dipenuhi sepeda motor yang hendak dikirim ke stasiun-stasiun lain di penjuru Jawa. Sekarang isinya bangku-bangku besi, unit-unit komputer plus mesin cetak tiket, menara stop kontak pengisi daya ponsel, dan coworking space mini dengan interior bergaya industrial.

Mata perempuan itu mengikuti arah jempol saya, lalu menjawab, “Iya, Mas.”

stasiun tugu
Ruang tunggu Stasiun Tugu yang dulunya adalah deretan kantor kargo/Fuji Adriza

Sebenarnya saya mau bertanya lebih lanjut, misalnya soal kapan modifikasi pojok bangunan stasiun tua itu selesai. Tapi ia keburu menggeser posisi, kembali ke beberapa langkah di sebelah kanan saya, di samping sebuah bangku kayu panjang tempat beberapa orang duduk entah dalam rangka apa.

“Tadi ada pak satpam,” ujar perempuan itu. Ternyata tadi ia sedang ndelik agar tak diusir petugas keamanan dari kawasan stasiun. Parkiran stasiun ini, sepertinya, sekarang mesti steril dari para founder startup kecil-kecilan seperti pedagang asongan.

Perjumpaan pertama dengan Stasiun Tugu

Matahari pagi musim kemarau makin terik di sekitar Jalan Pasar Kembang. Setelah mengantungi puntung rokok, saya berjalan mencari tempat duduk di depan kantor reservasi. Bangku tak ada, sementara plakat-plakat “dilarang duduk” tertempel manis di anak tangga berubin mengilap. Akhirnya saya duduk di undakan antara anak tangga dan parkiran.

Sambil menunggu Nyonya mengurus pembatalan tiket kereta, saya buka paperback “Hard-Boiled Wonderland and the End of the World” yang sudah menunggu untuk dibaca sejak akhir tahun kemarin. Murakami sialan. Sedang seru membaca bab pertama, saya malah digulung nostalgia: nostalgia perjumpaan-perjumpaan awal dengan Stasiun Tugu Yogyakarta sekitar tiga belas tahun silam.

stasiun tugu
“Charging station” dan mesin pencetak tiket di ruang tunggu selatan/Fuji Adriza

Perjumpaan pertama saya dengan Stasiun Tugu tak sampai lima menit. Ceritanya, saya dan beberapa orang kawan yang baru dua hari di Jogja nekat ke Malioboro hanya dengan panduan penunjuk jalan. Ponsel pintar layar sentuh dan aplikasi GPS, bagi kami kala itu, masih sebatas dongeng fiksi ilmiah.

Sekitar satu jam jalan kaki dari sebuah penginapan murah (Rp25.000/kamar/malam) di depan gedung registrasi UGM, merasa belum menemukan tanda-tanda keberadaan Jalan Malioboro, kami melambaikan tangan ke kamera. Daripada jalan, lebih baik mencegat bis Kopata saja. Posisi kami waktu itu di seberang gerbang utama Stasiun Tugu, depan Kedaung Table Top Plaza, eks Hotel Toegoe—yang padahal tinggal selemparan batu dari ujung utara Jalan Malioboro.

Waktu itu Kopata masih jaya. Lima sampai sepuluh menit sekali, armada bis kota legendaris itu lewat dengan leluasa di jalanan kecil Yogyakarta. Kami lambaikan tangan dan bis Jalur 4 berhenti.

stasiun tugu
Beberapa orang portir stasiun tugu sedang berkumpul/Fuji Adriza

“Malioboro, Pak?”

Sang kernet tampak bingung, tapi mengiyakan dan segera menyuruh kami naik. Bis itu berlalu dari depan Stasiun Tugu, meluncur ke timur, turun ke viaduk samping Kali Code, lalu memutar naik ke barat menuju ujung Jalan Malioboro di mana kami diturunkan.

Di seberang plang Jalan Malioboro, kami terbahak-bahak.

Keberangkatan pertama

Urusan sebagai mahasiswa-baru akhirnya rampung. Karena perkuliahan baru dimulai beberapa bulan kemudian, kami kembali dulu ke pulau seberang. Tapi, jika saat berangkat total naik pesawat, saat kembali kami estafet; menumpang kereta dulu ke Jakarta baru naik pesawat.

stasiun tugu
Gerbang selatan stasiun/Fuji Adriza

Reputasi kereta kelas ekonomi waktu itu masih belum sebaik sekarang. Tak mau mengambil risiko ketinggalan pesawat karena kereta terlambat, kami naik eksekutif, yakni KA Taksaka Malam. Berangkatnya tentu saja dari Stasiun Tugu.

Penerangan dramatis membuat fasad stasiun yang mulai beroperasi tahun 1887 itu tampak megah sekali itu malam. Sambil menenteng tas yang isinya tak seberapa, kami masuk ke lobi bergaya Neo Klasik yang sudah bertahan lebih dari satu abad, menunjukkan tiket pada petugas, lalu menuju peron di mana KA Taksaka sudah menderu bak banteng yang tak sabar lagi menyerbu kain merah yang dilambai-lambaikan matador.

Saya masih ingat sekali, kami duduk di sebelah kanan, sisi utara. Saya tak mungkin melupakan momen itu, sebab itulah kali pertama saya melihat sepasang kekasih berciuman bibir di depan publik. Bagi seorang anak ingusan yang baru menerima surat tanda kelulusan, itu adegan spektakuler, a story to tell. Setiba di Stasiun Gambir keesokan harinya, adegan itu masih terus kami perbincangkan.

stasiun tugu
Arah menuju gerbang keberangkatan/Fuji Adriza

Di depan lembaran “Hard Boiled-Wonderland and the End of the World,” saya tersenyum-senyum mengingat momen itu.

Lalu, pundak saya disentuh Nyonya. Urusan pengembalian tiket selesai sudah. Saya taruh novel Murakami di saku jaket lalu, lewat ruang tunggu, coworking space, dan koridor untuk pejalan kaki, kami berjalan menggores vinil kenangan ke parkiran sepeda motor.

Kalau disimpan dalam hardisk komputer, entah berapa geopbyte ruang memori yang dibutuhkan untuk menyimpan kenangan yang tertoreh di Stasiun Tugu.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Terjebak Nostalgia di Stasiun Tugu appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/terjebak-nostalgia-di-stasiun-tugu/feed/ 0 14941
Nostalgia! 7 Hal “Ngangenin” dari Kereta Ekonomi https://telusuri.id/7-hal-ngangenin-dari-kereta-ekonomi/ https://telusuri.id/7-hal-ngangenin-dari-kereta-ekonomi/#comments Fri, 02 Feb 2018 02:30:15 +0000 https://telusuri.id/?p=6246 PT KAI benar-benar sudah berbenah. Wajah perkeretaapian Indonesia pun drastis berubah. Demi kenyamanan penumpang, fasilitas kereta semua kelas ditingkatkan. Fasilitas pendingin ruangan, misalnya. Kalau dulu AC cuma bisa dinikmati penumpang kereta eksekutif, sekarang fasilitas itu...

The post Nostalgia! 7 Hal “Ngangenin” dari Kereta Ekonomi appeared first on TelusuRI.

]]>
PT KAI benar-benar sudah berbenah. Wajah perkeretaapian Indonesia pun drastis berubah. Demi kenyamanan penumpang, fasilitas kereta semua kelas ditingkatkan. Fasilitas pendingin ruangan, misalnya. Kalau dulu AC cuma bisa dinikmati penumpang kereta eksekutif, sekarang fasilitas itu juga bisa dinikmati oleh mereka yang naik kereta ekonomi atau bisnis.

Tapi, konsekuensinya banyak hal yang udah nggak bisa lagi kamu rasakan kalau naik kereta ekonomi. TelusuRI ngajak kamu nostalgia mengenang sensasi naik kereta ekonomi zaman dulu. Nih, 7 hal yang paling ngangenin dari kereta ekonomi.

1. Ketinggalan kereta, kamu bisa naik kereta api berikutnya asal tujuannya sama

kereta ekonomi

Stasiun kereta via facebook.com/Yangga86

Misalnya kamu mau ke Jakarta dari Jogja. Semestinya kamu naik Progo. Tapi, karena semalam abis begadang, kamu tidur dari pagi sampai agak sore. Akibatnya kamu telat, kereta Progo ke Jakarta sudah keburu berangkat. Nah, kalau dulu kamu masih bisa naik kereta selanjutnya, yakni Bengawan yang tujuannya sama-sama Jakarta.

Sekarang udah nggak bisa lagi. Kamu mesti naik kereta sesuai tiket. Kedapatan naik kereta yang nggak sesuai tiket, bisa-bisa kamu diturunin di stasiun terdekat.

2. Berdiri sampai tujuan karena nggak kebagian tempat duduk

kereta ekonomi

Gerbong restorasi kereta ekonomi tahun 2010/Fuji Adriza

Dulu, kalau kamu cuma dapat tiket tanpa nomor bangku (yang bentuknya kayak kupon Timezone) siap-siaplah buat berdiri. Kalau sudah agak malam, biasanya pada mulai mengeluarkan koran bekas buat dijadiin alas duduk atau tidur. Lha, mereka tidur di mana?

Macam-macam. Penumpang kereta zaman dulu punya kemampuan tinggi buat mencari kenyamanan di tengah keterbatasan. Ada yang tidur di lorong gerbong. Sebagian lagi tidur atau senderan di bordes alias sambungan kereta sambil merokok bareng kenalan baru. Kadang-kadang ada yang tidur di kompartemen barang atau mencari suaka di toilet kereta! Pahit bangetlah pokoknya.

3. Beli “cangcimen,” “kopmi,” “pecel,” dll

kereta ekonomi

Suasana gerbong kereta/Rio Praditia

“Cangcimen,” “kopmi,” “narasi,” “pecel,” adalah kata-kata yang dulu bakal sering kamu denger waktu naik kereta ekonomi. Kata-kata itu keluar dari mulut para pedagang asongan yang pada umumnya menjajakan makanan.

Serunya, kamu bakal bisa menikmati kuliner-kuliner khas dari daerah-daerah yang kamu lewati. Waktu kereta ekonomi melintas di Jawa Barat, kamu bisa mencoba tahu sumedang. Pas kereta berhenti di Stasiun Madiun atau Ngawi, kamu bisa mencicipi pecel madiun yang pedas bukan main. Sekarang udah nggak bisa lagi.

4. Stok receh menipis karena pengamen nggak habis-habis

kereta ekonomi

Pengamen di kereta ekonomi/Ika Soewadji

Dulu orang bebas ngamen di kereta ekonomi. Seru ‘kan bisa denger live music di kereta? Seru sih seru. Masalahnya, para pengamen seolah-olah datang tanpa henti. Macam-macam jenisnya. Ada yang emang suaranya bagus, ada juga yang cuma sekadar krecek-krecek atau tepuk tangan.

Makanya setiap kali naik kereta ekonomi, kita mesti sedia receh yang banyak dari rumah. Bisa sih kamu nggak ngasih. Tapi siap-siap buat mendengar gerutuan pengamennya. Sekarang udah nggak ada lagi ‘kan yang ngamen di kereta ekonomi?

5. Kadang-kadang masuk lewat jendela

kereta ekonomi

Suasana gerbong KA Ekonomi Sri Tanjung tahun 2009/Fuji Adriza

Pas arus mudik, jumlah penumpang kereta jadi melonjak tinggi. Banget. Stasiun pada penuh oleh orang-orang yang menunggu kereta datang. Pas kereta akhirnya masuk stasiun, semuanya langsung buru-buru naik ke dalam gerbong supaya kebagian tempat duduk.

Saking ramainya manusia, buat masuk kereta aja susah banget. Nah, daripada empet-empetan masuk kereta lewat pintu, sebagian orang memilih buat masuk kereta lewat jendela. Ya, kamu nggak salah baca: jendela! Sekarang kamu nggak bakal bisa masuk lewat jendela. Soalnya jendelanya udah nggak bisa dibuka.

6. Sebelum kereta tiba di tujuan, bakal ada yang “ngamen” nyapu sampah

kereta ekonomi

Gerbong kereta ekonomi via facebook.com/wusana.pamungkas

Sekarang sudah ada petugas yang khusus mengurus sampah. Dulu nggak ada. Sudahlah nggak ada petugasnya, tong sampah pun terbatas jumlahnya. Buat menampung sampah ratusan orang yang ada dalam sebuah gerbong, tiga tong kecil nggak bakal cukup. Bisa ditebak: gerbong kotor.

Biasanya menjelang tiba di tujuan bakal ada yang datang sambil bawa sapu. Dia bakalan nyapu sampah satu gerbong dari ujung satu ke ujung lainnya. Tapi itu nggak gratis. Mereka bakal minta uang dari penumpang. Kalau kamu nggak ngasih, kadang-kadang mereka bakalan ngambek dan meninggalkan sampah yang sudah “disapu” itu begitu saja.

7. “Terlambat dua jam itu biasa”

kereta ekonomi

Stasiun Gubeng/Fuji Adriza

Dulu kereta ekonomi itu selalu telat sampai-sampai Bang Iwan Fals bikin lagu “Kereta Tiba Pukul Berapa.” Sekarang sudah jarang banget kasus telat sampai berjam-jam. Paling cuma hitungan menit. Kalau telatnya lama, biasanya memang ada force majeure.

Kamu sendiri pernah ngalamin hal-hal itu?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Nostalgia! 7 Hal “Ngangenin” dari Kereta Ekonomi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/7-hal-ngangenin-dari-kereta-ekonomi/feed/ 6 6246
Sudah Pernah ke 7 Stasiun Kereta Bersejarah di Indonesia Ini? https://telusuri.id/stasiun-kereta-bersejarah-di-indonesia/ https://telusuri.id/stasiun-kereta-bersejarah-di-indonesia/#comments Fri, 15 Sep 2017 17:15:22 +0000 http://telusuri.org/?p=2075 Siapa di antara kamu yang suka traveling naik kereta api? Nah, kereta api di Indonesia ternyata punya peranan penting dalam sejarah bangsa Indonesia, baik sebelum maupun setelah kemerdekaan. Kalau saja stasiun-stasiun kereta di Indonesia bisa...

The post Sudah Pernah ke 7 Stasiun Kereta Bersejarah di Indonesia Ini? appeared first on TelusuRI.

]]>
Siapa di antara kamu yang suka traveling naik kereta api? Nah, kereta api di Indonesia ternyata punya peranan penting dalam sejarah bangsa Indonesia, baik sebelum maupun setelah kemerdekaan. Kalau saja stasiun-stasiun kereta di Indonesia bisa bicara, tentu banyak sekali cerita yang bisa kita dapat dari mereka.

Kamu pasti akan kaget mendengar bahwa Indonesia adalah negara pertama yang menggunakan kereta api di Asia Tenggara. Sejarah kereta api di negeri ini dimulai sejak diterapkannya sistem tanam paksa. Untuk mengangkut hasil bumi, pemerintah Hindia-Belanda mengajukan proposal pembangunan jalur kereta api. Akhirnya, di bawah perusahaan swasta NISM (Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij) jalur pertama kereta api di Hindia-Belanda beroperasi perdana pada tahun 1867 dengan rute Semarang – Tanggung.

Sejak itu, tak terhitung banyaknya jumlah stasiun kereta api yang didirikan dan jadi saksi bisu sejarah Indonesia. Sebagian dari stasiun-stasiun itu terus bertahan dan menjadi penyintas zaman. Tapi banyak juga yang sekarang cuma tinggal reruntuhan. Nah, inilah 7 stasiun bersejarah di Indonesia yang bisa kamu jadikan destinasi jalan-jalan:

1. Stasiun Kereta Tanjung Priuk, Jakarta Utara

Rupa Stasiun Tanjung Pruik tempo dulu via tropenmuseum.nl

Stasiun Tanjung Priuk di Jakarta Utara ini sebenarnya merupakan perluasan dari stasiun kereta lama yang terletak di dekat dermaga Tanjung Priuk. Perhentian kereta Tanjung Priuk dalam wujudnya yang sekarang dibangun oleh Perusahaan Kereta Api Negara Hindia-Belanda (Staatsspoorwegen) dan diarsiteki oleh Ir. C.W. Koch.

Pembangunan stasiun ini lumayan lama, yaitu sekitar 9 tahun. Akhirnya, pada tanggal 6 April 1925 stasiun ini diresmikan. Pada tanggal itu pula peristiwa bersejarah lain terjadi, yakni diresmikannya rel listrik pertama di Hindia-Belanda dengan rute Tanjung Priuk – Meester Cornelis (Jatinegara).

Istimewanya, stasiun ini juga dilengkapi dengan fasilitas penginapan bagi penumpang transit. Bagi yang senang hal-hal berbau mistis, Stasiun Tanjung Priuk punya tempat-tempat misterius, seperti terowongan atau bunker di bawah bangunan stasiun. Terlepas dari wujudnya yang sekarang, pada puncak kejayaannya Stasiun Tanjung Priuk bisa dikatakan sebagai stasiun termegah di Asia Tenggara.

2. Halte Pondok Terong, Depok

Letaknya di antara Stasiun Depok dan Stasiun Citayam. Sekilas, halte yang melayani KRL Jakarta – Bogor ini terlihat biasa saja. Namun siapa sangka bahwa pada tahun 1993 di dekat halte ini pernah terjadi sebuah musibah besar dalam sejarah kereta api di Indonesia, yaitu kecelakaan kereta api Ratu Jaya.

Tabrakan dua rangkaian kereta itu konon disebabkan oleh miskomunikasi antara petugas pengatur perjalanan di Stasiun Kereta Api Depok dan Stasiun Citayam. Akibatnya, ratusan orang luka-luka dan dua puluh orang meninggal dunia. Saat itu, perlintasan di jalur Depok menuju Bogor masih menggunakan jalur tunggal. Setelah kecelakaan tersebut halte itu dibongkar demi pembangunan rel ganda di lintas Depok – Bogor.

3. Stasiun Cibatu, Garut

Foto tua Stasiun Cibatu via tropenmuseum.nl

Selain punya pemandangan cantik yang tersohor ke seluruh penjuru dunia, ternyata Garut alias Swiss van Java juga punya sebuah stasiun kereta api kebanggan yang pernah berjaya di masa lalu, yaitu Stasiun Cibatu yang dulunya adalah salah satu depo lokomotif uap terbesar di Jawa-Sumatera sebelum ditutup tahun 1983.

Karena Garut pernah tenar sebagai destinasi liburan, Stasiun Cibatu pun pernah kunjungi oleh sederetan nama-nama terkenal. Pada tahun 1927, Charlie Chaplin datang bersama Mary Pickford yang merupakan artis pemenang Academy Awards. Tahun 1935, ia kembali datang bersama Paulette Goddard. (Uniknya, tanggal persemian Stasiun Cibatu sama dengan hari kelahiran Chaplin.)

Selain Chaplin, Georges Clemenceau yang merupakan Perdana Menteri Perancis dua periode (1906-1909 dan 1917-1920) juga pernah berlibur ke Garut dan singgah di stasiun kereta ini. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta juga pernah transit di Stasiun Cibatu dengan kereta luar biasa saat menuju Yogyakarta. Bung Karno bahkan sempat turun menemui warga Garut dan menyampaikan pidato.

4. Stasiun Cikajang, Garut

Bekas stasiun kereta tertinggi di Indonesia

Bekas stasiun tertinggi di Indonesia via id.wikipedia.org

Sekarang, stasiun kereta tertinggi yang masih aktif di Indonesia adalah Stasiun Nagreg (848 mdpl). Tapi, dulu Garut punya stasiun yang terletak lebih tinggi, yaitu Stasiun Cikajang (1.246 mdpl) yang juga jadi stasiun “tertinggi” yang pernah dibangun di Indonesia.

Tapi mungkin tak banyak yang tahu soal stasiun ini. Sebab, Stasiun Cikajang yang dulu cukup ramai ini sudah berhenti beroperasi sejak 1983 karena sudah terlalu uzur dan mulai rusak di sana-sini.

5. Stasiun Medan, Sumatera Utara

Wajah stasiun medan zaman dulu via tropenmuseum.nl

Jalur kereta api tak hanya dibangun di Jawa. Sumatera juga dilintasi oleh rel kereta api. Keberadaan rel di Sumatera adalah penting dikarenakan banyaknya perkebunan yang memerlukan alat transportasi yang memadai dan cepat.

Tidak seperti di pulau Jawa, pembangunan rel di Sumatera dijalankan oleh perusahaan perkebunan, yaitu Deli Maatschappij yang membangun perkebunan tembakau, kemudian diperluas dengan menanam komoditas lain seperti teh, karet dan produk kayu.

Rel Medan – Labuhan yang diresmikan pada tahun 1886 dapat dikatakan sebagai momen penting dalam dunia perkeretaapian Pulau Sumatera dan membawa dampak positif. Nah, pembangunan jalur kereta api pertama di Swarnadwipa ini tidak dapat dilepaskan dari keberadaan Stasiun Medan sebagai stasiun sentral. Peresmian Stasiun Medan pada 25 Juli 1886 adalah tonggak sejarah perkembangan “sepur” di Sumatera.

6. Stasiun Takalar, Sulawesi Selatan

Stasiun kereta api di Sulawesi

Stasiun kereta api di Sulawesi via tropenmuseum.nl

Tak banyak yang tahu bahwa kereta api dulu pernah beroperasi di Sulawesi, yakni dari Makassar ke Takalar. Kereta yang pernah beroperasi di jalur ini adalah Takalar Express. Mulai dibangun pada 1922, proyek sempat terhenti akibat Perang Dunia I dan akhirnya baru bisa diresmikan pada 1 Juli 1923.

Jalur yang menghubungkan Passer Boetoeng, Sungguminasa, hingga Takalar, ini tidak beroperasi terlalu lama. Penyebabnya adalah karena moda transportasi lain seperti mobil atau truk dinilai masih lebih efektif dibanding kereta api—apalagi jalur kereta api terbatas dan tidak menjangkau semua daerah. Tahun 1927 mulai banyak kritik yang dilayangkan pada SS (Staatsspoorwegen) sebagai pihak manajemen. Lama-lama publik Celebes (Sulawesi) kehilangan ketertarikan untuk menggunakan jasa kereta api.

Meskipun riwayat jalur kereta api di Sulawesi sudah lama berakhir, Stasiun Takalar yang berada di kawasan pesisir Cilalang, Desa Takalar, ini masih menyimpan kisah-kisah sejarah. Pada masa jayanya stasiun kereta ini dilengkapi meja putar lokomotif dan sarana lainnya, seperti dipo untuk perawatan lokomotif dan gerbong, serta sarana bak penampungan air untuk ketel uap lokomotif. Tapi jalur ini harus ditutup ketika dunia diterjang krisis ekonomi pada tahun 1930.

7. Stasiun Samarang, Semarang

Kereta api sedang berhenti di Stasiun Samarang via id.wikipedia.org

Reruntuhan kompleks Stasiun Samarang di perkampungan padat bernama Spoorland itu konon adalah ibu dari semua stasiun kereta api di Indonesia. Stasiun yang dikelola oleh NISM ini dibangun tahun 1864 dan diresmikan tiga tahun kemudian, bertepatan dengan dengan dibukanya jalur kereta api pertama di Indonesia, yaitu jalur Semarang – Tanggung (25 km) melalui Halte Alastua dan Brumbung.

Namun, kebenaran bahwa Stasiun Samarang adalah stasiun pertama di Indonesia masih diperdebatkan. Ada versi yang meyakini bahwa bahwa stasiun pertama di Indonesia adalah antara Stasiun Semarang Gudang dan Stasiun Kemijen. Namun, sumber lain berpendapat bahwa, dari beberapa bukti fisik yang ditemukan, lebih masuk akal bila Stasiun Samarang adalah stasiun pertama yang dibangun.

Stasiun Samarang—kompleks yang berisi bangunan stasiun barang, stasiun penumpang, balai yasa, hingga kantor NISM sebelum dipindah ke Lawang Sewu—akhirnya ditutup tahun 1905 dan dipindahkan ke Stasiun Semarang Tawang. Sebab, jalur dan stasiun terendam air rob—lokasinya memang berdekatan dengan laut. Bahkan, saat ini Stasiun Samarang sudah ambles sedalam 3 meter dan jalur rel kereta api yang pertama dibangun sudah terkubur dalam tanah.

The post Sudah Pernah ke 7 Stasiun Kereta Bersejarah di Indonesia Ini? appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/stasiun-kereta-bersejarah-di-indonesia/feed/ 1 2075