sukabumi Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/sukabumi/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Sun, 26 Nov 2023 08:46:22 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 sukabumi Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/sukabumi/ 32 32 135956295 Bergembira dalam Tradisi Pawai Samenan https://telusuri.id/bergembira-dalam-tradisi-pawai-samenan/ https://telusuri.id/bergembira-dalam-tradisi-pawai-samenan/#respond Sun, 03 Dec 2023 04:00:01 +0000 https://telusuri.id/?p=40216 Setelah dua tahun tak digelar akibat pandemi, tradisi samenan kembali dihelat di berbagai sekolah di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Kemeriahan pun tumpah. Guru, siswa, dan para orang tua berbaur dan berpawai bersama. Adapun warga sekitar...

The post Bergembira dalam Tradisi Pawai Samenan appeared first on TelusuRI.

]]>
Setelah dua tahun tak digelar akibat pandemi, tradisi samenan kembali dihelat di berbagai sekolah di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Kemeriahan pun tumpah. Guru, siswa, dan para orang tua berbaur dan berpawai bersama. Adapun warga sekitar sekolah ikut meraup cuan dari dagangan yang mereka tawarkan di sepanjang acara samenan

Kamis (22/6/2023) pagi, jalan kecil di depan SDN Mandalasari, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, telah dipenuhi oleh para pedagang. Padahal, hari-hari biasa, jalan tersebut merupakan zona terlarang untuk mereka. Tapi, khusus hari itu, mereka diperbolehkan menggelar dagangan.

Tradisi Pawai Samenan
Orangtua siswa menggotong dongdang/Djoko Subinarto

Dua orang ibu muda agak terhuyung menggotong dongdang melewati para pedagang. Kedua ibu itu kemudian masuk ke area sekolah yang terlihat mulai ramai.

Dongdang (bahasa Sunda) adalah tempat membawa makanan atau barang hantaran saat hajatan atau pesta maupun peristiwa istimewa lainnya.

Dongdang yang dibawa kedua ibu muda itu telah dihias dan terisi dengan sejumlah makanan ringan. Tak lama kemudian muncul pula beberapa ibu lainnya yang membawa dongdang berbeda.

Dongdang tersebut nantinya akan digotong dalam arak-arakan pawai samenan hari itu. Masing-masing kelas menyiapkan satu dongdang.

Sementara itu, di seberang sekolah, di sebuah tanah lapang, kelompok marching band siswa tengah melakukan persiapan. Adapun di beberapa sudut sekolah, terlihat beberapa ibu tengah mendandani putra-putrinya yang hendak ikut pawai dan juga akan tampil dalam pentas seni.

Samenan merupakan tradisi yang selama berpuluh-puluh tahun di gelar di banyak sekolah di seantero Kabupaten Sukabumi. Selain sebagai ajang acara perpisahan kelas enam, samenan ini juga menjadi  ajang perayaan kenaikan kelas. Tak sedikit sekolah di Kabupaten Sukabumi memulai ritual samenan-nya dengan melakukan pawai terlebih dahulu.

Menilik asal-usul katanya, samenan boleh jadi berasal dari kata ‘samen’ (bahasa Belanda). Glosbe, kamus online Belanda-Indonesia, memberi terjemahan kata samen sebagai ‘bersama’, ‘bareng’, ‘bersama-sama’.

Di acara samenan, siswa, guru, dan juga para orang tua memang berkumpul bersama-sama. Mereka berkumpul untuk melepas siswa yang telah lulus dan juga untuk merayakan para siswa yang berhasil naik kelas.

Menurut, pengamat sejarah Sukabumi, Irman Firmansyah, seperti dikutip Bachtiar Chamsyah (2022), selain berasal dari kata ‘samen’, kemungkinan lain samenan berasal dari frasa bahasa Belanda yakni ‘slagen voor het examen’, yang bermakna lulus ujian.

Terlepas dari asal-usul sejarah katanya, tradisi samenan yang telah rutin dihelat saban tahun di Kabupaten Sukabumi ini sempat terhenti setidaknya selama dua tahun gara-gara pandemi COVID-19. Baru pada tahun 2023 inilah acara samenan kembali digelar di sekolah-sekolah di Kabupaten Sukabumi, termasuk di SDN Mandalasari.

Tradisi Pawai Samenan
Rombongan marching band/Djoko Subinarto

Antusias siswa, guru, orang tua, dan warga sekitar sekolah pun begitu kentara menyambut samenan pertama kali yang digelar pasca pandemi ini.

Maka, begitu aba-aba pawai samenan SDN Mandalasari pagi itu segera dimulai, para siswa dan para orang tua bergegas berbaris dalam kelompok masing-masing. Adapun warga langsung berjejer di tepi jalan untuk melihat pawai arak-arakan samenan.

Tak lama, dentuman bass drum berbaur dengan tabuhan snare drum terdengar. Disusul kemudian dentingan xylophone yang ditingkahi bunyi cymbal dan disambung dengan suara pianika. Barisan pawai samenan pun mulai bergerak.

Beberapa guru senior berjalan berdampingan dan berada di barisan paling depan. Di belakang mereka adalah kelompok marching band. Baru kemudian kelompok siswa dan para orang tuanya. Sejumlah orang tua berjalan di dalam barisan sembari menggotong-gotong dongdang.

Guru-guru yang lain ada yang ikut masuk dalam barisan. Sementara beberapa lainnya mengawal pawai dari sisi kanan dan belakang.

Terlihat sejumlah orang tua keluar barisan dan sibuk mengabadikan putra-putrinya yang tengah berpawai, menggunakan ponsel berkamera. Ada yang memvideo. Ada pula yang memotret. Begitu juga warga yang melihat iring-iringan pawai, sebagian ikut mengabadikan pawai samenan itu dengan ponsel mereka.

Tradisi Pawai Samenan
Prosesi pelepasan siswa/Djoko Subinarto

Dari depan sekolah, pawai samenan SDN Mandalasari berjalan ke arah timur, ke daerah Tando. Saya ikuti pawai tersebut. Saya berjalan di pinggir kelompok marching band yang mengenakan seragam dengan dominasi warna merah. Terdengar nyaring lagu “Naik Becak” karya Ibu Sud dimainkan oleh kelompok marching band itu.

Begitu sampai di daerah Tando, rombongan pawai samenan SDN Mandalasari berhenti sejenak untuk mengatur dan merapikan barisan. Lantas, mereka berputar arah menuju daerah Selakaso untuk kemudian kembali ke sekolah mereka.

Sampai di sekolah, peserta pawai langsung beristirahat. Sebagian siswa dan orang tuanya langsung menyerbu penjual makanan dan minuman yang sejak pagi telah bersiap menggelar dagangan mereka di depan sekolah.

  • Tradisi Pawai Samenan
  • Tradisi Pawai Samenan

Kelar istirahat, para siswa dan orang tua berkumpul di depan panggung sederhana yang berdiri tepat di halaman tengah sekolah. Mereka mengikuti prosesi pelepasan siswa kelas enam. Sangat boleh jadi ada setangkup rasa haru menyelinap dalam benak mereka yang hadir tatkala di ujung prosesi, para siswa kelas enam itu naik ke atas panggung dan menyanyikan lagu “Pileuleuyan” (bahasa Sunda), yang secara harfiah artinya selamat tinggal.

Beres prosesi pelepasan siswa kelas enam, acara samenan dilanjutkan dengan pentas seni antar kelas yang menampilkan aneka ragam seni kreasi siswa dari tiap-tiap kelas.

Tepuk tangan susul-menyusul bergemuruh sebagai apresiasi untuk masing-masing penampilan yang telah usai ditampilkan di atas panggung.  

Celetukan guyon dalam bahasa Sunda dan gelak tawa kadang terdengar dari beberapa sudut halaman sekolah, baik yang dekat dari panggung maupun yang agak jauh dari panggung. Semua terlihat senang dan gembira.

Di depan sekolah, para pedagang terlihat menebar senyum sumringah lantaran cuan yang berhasil diraup berkat acara samenan.
Acara samenan di SDN Mandalasari hari itu berlangsung hingga ba’da Ashar. Momen ini mungkin saja bakal menjadi kenangan tersendiri bagi para siswa dan mungkin bakal selalu diingat hingga puluhan tahun ke depan saat mereka menua, sebagai bagian dari kisah indah masa kecil mereka tatkala duduk di bangku sekolah dasar, yang tidak bakal pernah terulang lagi hingga kapan pun.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Bergembira dalam Tradisi Pawai Samenan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/bergembira-dalam-tradisi-pawai-samenan/feed/ 0 40216
Jika Rindu Keheningan, Datanglah Pagi-Pagi ke Situ Cipiit https://telusuri.id/jika-rindu-keheningan-datanglah-pagi-pagi-ke-situ-cipiit/ https://telusuri.id/jika-rindu-keheningan-datanglah-pagi-pagi-ke-situ-cipiit/#respond Sat, 02 Sep 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39723 Pemuda berjaket cokelat muda itu berdiri persis di tengah-tengah pertigaan Jalan Raya Pelabuhan-Pangleseran, Sukabumi, Jawa Barat. Ada tiga kendaraan roda empat dan beberapa sepeda motor yang akan masuk ke Jalan Raya Pelabuhan dari arah Pasar...

The post Jika Rindu Keheningan, Datanglah Pagi-Pagi ke Situ Cipiit appeared first on TelusuRI.

]]>
Pemuda berjaket cokelat muda itu berdiri persis di tengah-tengah pertigaan Jalan Raya Pelabuhan-Pangleseran, Sukabumi, Jawa Barat. Ada tiga kendaraan roda empat dan beberapa sepeda motor yang akan masuk ke Jalan Raya Pelabuhan dari arah Pasar Pangleseran, Minggu pagi lampau (9/7/2023). Dengan kedua tangannya ia memberi kode kepada para pengemudi kendaraan. Terutama yang melaju dari kedua arah di Jalan Raya Pelabuhan untuk memberi jalan bagi kendaraan dari arah Pasar Pangleseran.

Begitu kendaraan dari arah Pasar Pangleseran surut, saya buru-buru menghampiri pemuda tersebut. Saya bertanya dalam bahasa Sunda ihwal rute menuju Situ Cipiit. Dengan bahasa Sunda aksen Jampang, ia mengarahkan saya agar lurus dan kemudian setelah bengkel belok kiri ke arah Leuwiliang. Saya ucapkan terima kasih dan segera mengikuti arahannya.

Pemuda tadi bukan satu-satunya orang yang saya tanya tentang rute jalan ke Situ Cipiit. Total ada delapan warga lokal yang saya gali infonya sepanjang jalan menuju Cipiit. Selain mengonfirmasikan mengenai rute yang harus saya tempuh, bertanya langsung ke warga lokal juga menjadi sarana saya untuk memaksa diri mempraktikkan bahasa Sunda. Sehingga kemampuan komunikasi saya dalam bahasa daerah tersebut tetap terpelihara.

Jika Rindu Hening dan Sunyi, Datanglah Pagi-Pagi ke Cipiit
Jalan makadam menuju Situ Cipiit/Djoko Subinarto

Tak Terjangkau Angkutan Umum

Secara administratif, Situ Cipiit berada di Kampung Rawa Seel, Desa Tanjungsari, Kecamatan Jampang Tengah, Kabupaten Sukabumi. Dari Terminal Utama Sukabumi, yang berada di Jalur Lingkar Selatan, jarak ke Situ Cipiit sekitar 15,4 kilometer. Itu perhitungan di atas kertas yang berpatokan pada aplikasi Google Maps.

Dari mulai terminal hingga Desa Tanjungsari, tidak ada sama sekali plang atau papan petunjuk yang menunjukkan lokasi maupun rute menuju Cipiit. Plang penunjuk arah ke Situ Cipiit baru saya temui persis beberapa ratus meter sebelum pintu masuk ke lokasi. Plangnya kecil. Terpasang di posisi yang tidak terlalu ideal untuk mata pengendara.

Dalam hal transportasi, Situ Cipiit sama sekali tidak terjangkau oleh angkutan umum. Apabila memaksa menggunakan kendaraan umum, kita hanya bisa sampai Pasar Pangleseran. Untuk sampai Situ Cipiit, jika tidak membawa kendaraan sendiri, pilihannya harus menyewa mobil atau naik ojek dari Pasar Pangleseran. Namun, bagi yang suka blusukan bisa saja memilih berjalan kaki. Toh jarak dari Pasar Pangleseran ke Situ Cipiit cuma lima kilometer. Rute sejauh itu dapat ditempuh dengan berjalan kaki santai selama kurang lebih 1—1,5 jam. Dari jarak tersebut, sekitar 3,4 kilometer didominasi dengan tanjakan dan jalan makadam.

Posisi Situ Cipiit, yang juga sering disebut Situ Dewa Dewi, berada di sebuah cekungan dan ada pohon-pohon pinus di sekelilingnya. Situnya sendiri tak begitu luas. 

Dari aplikasi mountain and peak finder yang terpasang di ponsel, saya ketahui terdapat sedikitnya delapan gunung dan bukit yang berada di sekitar Situ Cipiit. Yang paling dekat adalah Gunung Guha, berjarak 1,3 kilometer dari Cipiit. Adapun yang terjauh, yaitu Gunung Walat, berjarak sekitar 9 kilometer.

Jika Rindu Keheningan, Datanglah Pagi-Pagi ke Cipiit
Tegakan pohon pinus di sekitar Situ Cipiit/Djoko Subinarto

Jadi Arena Kamping

Sewaktu saya datang menyambangi situ atau telaga pagi itu, terlihat sekelompok pemuda tengah bergegas meninggalkan lokasi usai membongkar tenda yang mereka pakai untuk berkemah di tepian situ. 

Di sudut lain, tak jauh dari tegakan pohon-pohon pinus, tiga tenda lainnya yang masih berdiri. Para penghuninya tampak asyik mengobrol di luar tenda.

Langit terlihat biru bersih. Embun pagi yang masih lekat menempel di rerumputan. Membasahi sebagian kulit kaki saya yang terbuka lantaran saya hanya menggunakan sandal jepit. Nyanyian burung-burung liar di balik rimbunnya pinus di ujung timur situ terdengar nyaring. Tak ketinggalan bunyi belalang dan jangkrik juga turut melengkapi suasana pagi.

Saya melangkahkan kaki mendekati situ. Serumpun ilalang yang berada persis di pinggir situ bergoyang-goyang tersapu embusan angin. Air situ sekilas tampak kuning kecokelatan. Warna yang terlihat mendominasi permukaan Situ Cipiit rupanya diakibatkan dasar situ merupakan tanah lempung berwarna kuning pekat kecokelatan. Saya berjalan lebih mendekati bibir situ. Ternyata airnya jernih. Tampak ikan-ikan kecil berenang-renang riang.

Dari sisi timur, saya bergeser ke utara. Saya mendapati sejumlah bongkahan batuan purba tak jauh dari bibir situ. Di dekat onggokan batuan purba, terpasang plang logam bertuliskan “Situ Dewa Dewi Cipiit.” Terdapat pula logo Perhutani di bagian atas plang tersebut.

Saya teruskan mengitari situ hingga ke sisi barat sampai melihat sebuah tugu atau monumen. Saya perhatikan sudut demi sudut dan menemukan sebuah tulisan di bagian bawah tugu:

“Ingatlah hari ini, kawan. Ini untuk mengekalkan kenangan bahwa ternyata cinta, kasih sayang, dan persahabatan itu memang ada. Sukabumi, Januari 2021. P4-Alumni E27 IPB Bogor.”

  • Jika Rindu Keheningan, Datanglah Pagi-Pagi ke Cipiit
  • Jika Rindu Keheningan, Datanglah Pagi-Pagi ke Cipiit

Opsi Pas Bagi Penyuka Keheningan

Luas total kawasan Situ Cipiit sekitar dua hektare. Areal tanahnya sendiri sepenuhnya milik Perum Perhutani. Dalam hal pengelolaan Situ Cipiit untuk kepentingan pariwisata, Perum Perhutani melakukan kerja sama dengan warga setempat.

Tarif masuk ke Situ Cipiit tergolong murah meriah, yakni Rp5.000 per orang, sementara parkir kendaraan Rp3.000. Adapun untuk berkemah tarifnya Rp15.000 per orang.

Lokasinya yang agak terpencil dan tidak terjangkau transportasi umum membuat Situ Cipiit sejauh ini tak begitu ramai disesaki wisatawan. Bahkan di hari libur sekalipun.

Bagi mereka yang mendamba keheningan dan kesunyian, Situ Cipiit dapat menjadi salah satu opsi yang pas untuk dikunjungi. Apalagi jika datang selagi hari masih sangat pagi, tatkala butiran-butiran embun masih erat mencumbu rerumputan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Jika Rindu Keheningan, Datanglah Pagi-Pagi ke Situ Cipiit appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/jika-rindu-keheningan-datanglah-pagi-pagi-ke-situ-cipiit/feed/ 0 39723
Menjajal Joging ‘Track’ Baru Lapang Merdeka https://telusuri.id/menjajal-joging-track-baru-lapang-merdeka/ https://telusuri.id/menjajal-joging-track-baru-lapang-merdeka/#respond Fri, 27 Jan 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36956 Satu, dua, tiga, go! Seorang pria berpakaian olahraga berteriak memberi aba-aba kepada sekelompok remaja untuk berlari mengelilingi Lapang Merdeka, Sukabumi, Sabtu pagi, awal Oktober 2022 lalu. Begitu aba-aba selesai diucapkan, segera remaja-remaja itu berlari berhamburan,...

The post Menjajal Joging ‘Track’ Baru Lapang Merdeka appeared first on TelusuRI.

]]>
Satu, dua, tiga, go! Seorang pria berpakaian olahraga berteriak memberi aba-aba kepada sekelompok remaja untuk berlari mengelilingi Lapang Merdeka, Sukabumi, Sabtu pagi, awal Oktober 2022 lalu.

Begitu aba-aba selesai diucapkan, segera remaja-remaja itu berlari berhamburan, mengelilingi lapang untuk beberapa kali putaran. Mereka adalah para siswa salah satu sekolah menengah di Sukabumi, yang pagi itu sedang melakukan praktik olahraga. Adapun sang pria yang memberi aba-aba adalah guru olahraga mereka.

Sabtu pagi itu adalah kali pertama saya kembali melongok Lapang Merdeka. Gara-gara pandemi panjang COVID-19, hampir dua tahun saya tidak menyambangi Lapang Merdeka. Saat pandemi COVID-19 sedang gawat-gawatnya, Lapang Merdeka tertutup untuk publik. Dan selama penutupan itu, pihak Pemerintah Sukabumi memanfaatkannya untuk melakukan renovasi, yang rampung pada Januari 2022.

Hasil renovasi membuat Lapang Merdeka terlihat lebih fresh dan kinclong. Joging track yang dulu berupa beton yang di sana-sini telah mengelupas, kini berganti dengan rubber track yang empuk dan rata. Tatkala saya mencobanya, terasa sekali keempukannya, membuat lebih nyaman pada saat kita berlari ataupun sekadar berjalan di atasnya. 

Selain track joging yang baru, kini Lapang Merdeka menyediakan pula track roller khusus untuk mereka yang ingin bersepatu roda atau sekadar mengayuh sepeda mengelilingi lapangan.

Tak usah khawatir bagi mereka yang tak memiliki sepatu roda, karena kita bisa menyewanya dari  tukang sewa sepatu roda yang mangkal di lapangan ini. Begitu juga dengan sepeda. Di sisi selatan dan sisi utara kita dapat temui tukang sewa sepeda. Tinggal pilih saja, mau sepeda lipat, BMX atau sepeda gunung.

Namun, tak semua  yang datang ke sini untuk berolahraga. Sebagian lagi, datang hanya untuk duduk-duduk santai sembari cuci mata di bawah rindangnya pepohonan yang mengelilingi lapang ini. Ada juga yang datang ke lapang ini sekadar rehat sejenak setelah mengunjungi sebuah tempat di pusat Kota Sukabumi. 

Pagi itu, saya melihat beberapa keluarga muda yang sengaja membawa anak-anak mereka untuk berjalan-jalan di Lapang Merdeka. Beberapa anak kemudian menyewa sepeda. Adapun beberapa anak lainnya memilih untuk mewarnai gambar pada gabus putih. 

Gambar yang sudah  beres diwarnai boleh dibawa pulang. Untuk mewarnai gambar ini, mereka membayar Rp15.000. Gambar yang diwarnai bermacam-macam. Ada hewan, tumbuhan, pemandangan maupun tokoh kartun. Anak-anak bebas memilih.

Mewarnai Gambar
Mewarnai Gambar di Lapang Merdeka/Djoko Subinarto

Kelar mencoba lari di atas rubber track beberapa keliling, saya pun menepi. Berjalan ke arah sudut selatan Lapang Merdeka, saya temui tugu peresmian Lapang Merdeka. Di dinding tugu itu tertulis: “Lapang Merdeka dan Alun-alun Kota.

Sukabumi adalah ruang publik terbaik, ruang demokrasi warga, dan ruang ekspresi budaya. Selamat menikmati kebahagiaan. Salam cinta dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat.”

Di bawah tulisan tersebut tertera nama dan tanda tangan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil dan Wali Kota Sukabumi, Achmad Fahmi.

Wajah baru Masjid Agung

Selain Lapang Merdeka, renovasi juga dilakukan terhadap Masjid Agung Sukabumi, yang letaknya persis di sebelah selatan Lapang Merdeka dan berseberangan dengan Kejaksaan Kota Sukabumi.

Pagi menjelang siang, beres menjajal joging track baru Lapang Merdeka, saya menyambangi pula Masjid Agung Sukabumi. Kini, Masjid Agung Sukabumi terlihat lebih elegan dan lebih menonjol. 

Dari jalan Alun-alun Utara, terlihat jelas kubah masjid berwarna keemasan. Terlihat pula ornamen senjata khas Jawa Barat yakni kujang di setiap menaranya. Konon, ornamen kujang ini bermaksud untuk menunjukkan ihwal adanya perpaduan antara Islam dengan budaya lokal.

Setelah renovasi, halaman depan Masjid Agung Sukabumi terlihat pula kian lapang. Beberapa anak memanfaatkan halaman depan masjid ini, terutama yang ditumbuhi rumput, untuk bermain kejar-kejaran.

Sementara itu, para orang tua duduk-duduk di bawah naungan pohon rindang di sekitar halaman masjid, yang juga dipakai mangkal oleh sejumlah pedagang makanan dan minuman. Tampak ada seorang pria yang bahkan tertidur nyenyak di bawah pohon mahoni, di sisi timur halaman masjid, yang tak jauh dari trotoar.

Saya melihat seorang badut karakter berjalan mengelilingi halaman masjid, dari ujung barat ke ujung timur dan kemudian balik lagi ke ujung barat. Sambil berjalan, ia mengasong-ngasong wadah plastik berkelir hijau kepada orang-orang yang ada di sekitar halaman masjid. Sejumlah anak membuntuti sang badut. Ada beberapa anak yang memberikan uang recehan kepada badut itu sembari mengajak tos.

Badut di depan Masjid
Badut di depan Masjid Agung Sukabumi/Djoko Subinarto

Setelah berkeliling, sang badut kemudian duduk sejenak di sisi barat halaman masjid. Mungkin ia sedikit kelelahan. Ia melepas bagian kepala badut yang dikenakannya sehingga menampakkan wajah aslinya. Badut itu ternyata seorang ibu. 

Ia menyeka keringat di wajahnya dan terlihat menghela nafas dalam-dalam. Sesaat kemudian, ia kembali mengenakan  bagian kepala badut dan bergegas pergi ke arah selatan Masjid Agung Sukabumi.

Masjid Agung Sukabumi saat ini merupakan masjid paling besar dan tertua di Kota Sukabumi. Sejumlah literatur menyebut masjid ini didirikan pada sekitar tahun 1890.

Hingga kini, Masjid Agung Sukabumi sudah mengalami renovasi sekurangnya tujuh kali, yakni tahun 1900, 1936, 1945, 1975, 2004, 2012, dan 2021. Karena lokasinya berada di Kecamatan Cikole, Masjid Agung Sukabumi ini kerap pula disebut sebagai Masjid Cikole.

Bersama Lapang Merdeka, Masjid Agung Sukabumi telah menjadi ikon penting Kota Sukabumi. Keduanya menjadi saksi pertumbuhan dan perkembangan Kota Mochi ini.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menjajal Joging ‘Track’ Baru Lapang Merdeka appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menjajal-joging-track-baru-lapang-merdeka/feed/ 0 36956
‘Nge-teawalk’ ke Takokak https://telusuri.id/ngetiwok-ke-takokak/ https://telusuri.id/ngetiwok-ke-takokak/#respond Thu, 22 Dec 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36422 Di antara lengkungan bukit-bukit dan gunung-gunung yang mengepung sebagian wilayah Cianjur Selatan, Jawa Barat, hamparan-hamparan kebun teh turut pula melengkapi panorama, memberikan nuansa hijau alami yang menyejukkan mata dan boleh jadi  menentramkan hati. Hamparan-hamparan kebun...

The post ‘Nge-teawalk’ ke Takokak appeared first on TelusuRI.

]]>
Di antara lengkungan bukit-bukit dan gunung-gunung yang mengepung sebagian wilayah Cianjur Selatan, Jawa Barat, hamparan-hamparan kebun teh turut pula melengkapi panorama, memberikan nuansa hijau alami yang menyejukkan mata dan boleh jadi  menentramkan hati. Hamparan-hamparan kebun teh itu bisa kamu temukan, misalnya, di kawasan Takokak dan Sukanagara. Keduanya adalah kecamatan yang berada di sisi selatan Kabupaten Cianjur.

Kalau kalian suka mbolang menikmati panorama alam pegunungan, dan juga suka teawalk, baik sendirian atau pun bareng kawan-kawan se-gank, boleh coba sekali-kali mblusuk ke Takokak atau Sukanagara. Dari pusat Kota Cianjur ke Takokak berjarak sekitar 54 kilometer.  Adapun jarak ke Sukanagara dari pusat Kota Cianjur adalah 48 kilometer.

kebun teh
Hamparan Teh di Takokak/Djoko Subinarto

Selain dari pusat Kota Cianjur, Takokak dan Sukanagara dapat diakses dari wilayah Sukabumi. Kawasan Takokak beririsan langsung dengan kawasan Nyalindung, Sukabumi. Dari Nyalindung menuju Takokak sekitar 10 kilometer. Sementara dari Takokak ke Sukanagara berjarak sekitar 29 kilometer. 

Kamis (3/11/2022) pagi lampau, saya mencoba menjajal rute Nyalindung-Takokak-Sukanagara. Untuk sampai Nyalindung, dari daerah Sukaraja, Sukabumi, saya terlebih dahulu harus menuju daerah Baros. Dari kawasan Baros inilah, jalan menuju Nyalindung terbentang.

Salah satu yang ikonik dan menjadi penanda penting kawasan Baros yaitu Jembatan Leuwi Lisung—sering juga disebut Jembatan Jubleg. Jembatan ini membentang di atas Sungai  Cimandiri. Sebagian angkot yang melayani trayek Jubleg-Nyalindung kerap ngetem menunggu penumpang di atas jembatan ini.

Jembatan Leuwilisung
Jembatan Leuwilisung/Djoko Subinarto

Dari Jembatan Leuwilisung ke arah Nyalindung, jalan cenderung menanjak tipis dan bekelak-kelok. Posisi jalan berada di punggung perbukitan. Secara umum, kondisi jalan relatif lengang. Cuma, permukaan jalannya tak seluruhnya mulus. Di beberapa titik, permukaan jalan didominasi batu dan tanah. Di pagi hari, saat jam masuk sekolah, tak jarang kita dapat menyaksikan sejumlah anak berjalan bareng-bareng menuju sekolah mereka.

Untuk mencapai Takokak dari arah Nyalindung, patokannya adalah Indomaret Nyalindung. Setelah Indomaret ini, ada jalan ke arah kiri. Di mulut jalan, terdapat plang penunjuk arah. Lurus: Sagaranten. Belok kiri: Takokak dan Sukanagara.

Maka, kita ambil jalan ke kiri jika tujuannya adalah perkebunan teh di Takokak dan Sukanagara.

Perbatasan Takokak-Nyalindung
Perbatasan Takokak-Nyalindung/Djoko Subinarto

Memasuki jalan yang menuju Takokak-Sukanagara, jalan tampak lebih sunyi jika dibandingkan dengan jalan Raya Baros-Nyalindung. Kanan-kiri penuh oleh lanskap hijau. Ada belukar, padang rumput, kebun, sawah, hutan, juga sejumlah permukiman penduduk, yang tak terlalu padat. Tak ada angkot di jalur ini. Satu-dua motor yang ditumpangi warga melaju kencang. Terkadang terlihat juga truk atau mobil bak terbuka.

Setelah beberapa kilometer merayapi jalan, akhirnya saya sampai di perbatasan Takokak-Nyalindung. Ada sebuah tugu sederhana yang menjadi batas wilayah. Di kanan depan saya, tampak sebagian perkebunan teh. Luas wilayah Kecamatan Takokak  adalah 14.216,47 hektare. Berada di ketinggian rata-rata 1.167 meter di atas permukaan laut. Dengan demikian, cukup ideal bagi budidaya tanaman teh.

Saya beristirahat sebentar tak jauh dari kebun teh, sembari memastikan posisi saya lewat fasilitas Google Maps. Dari fasilitas Google Maps pula saya ketahui  di depan saya, setelah Kantor Kecamatan Takokak, terdapat Danau Cigunung. Dan setelah Danau Cigunung, jika saya meneruskan perjalanan, saya akan sampai ke Perkebunan Teh Ciwangi, Sukanagara. 

Lantaran penasaran, dan melihat cuaca cerah, saya putuskan meneruskan perjalanan. 

Mendekati Kantor Kecamatan Takokak, denyut kehidupan tampak lebih terasa. Suasana lebih ramai. Ada sekolah, toko-toko, sejumlah instansi di kanan-kiri jalan yang saya lewati. Setelah melewati pusat Kecamatan Takokak, suasana kembali relatif sunyi. Sampai akhirnya saya tiba di depan Danau Cigunung. Lokasi danau ini berada di kiri jalan, jika datang dari arah Kecamatan Takokak. Luasnya lima hektare dan dikelilingi hutan pinus. Di seberang Danau Cigunung berjejer beberapa warung, yang pengunjung dapat mampir di danau untuk sekadar beristirahat sembari ngopi atau ngemil.

  • Danau Cigunung
  • Plang Perkebunan Ciwangi

Saya sempat ambil gambar Danau Cigunung beberapa kali, sebelum meneruskan perjalanan. Hutan kecil, kebun, rumah-rumah penduduk kembali saya lewati, hingga setelah sebuah mushala, saya mendapati sebuah plang agak kusam. Tertulis di plang itu: PT Lamteh. Perkebunan Ciwangi Cianjur. Gelondongan-gelondongan kayu teronggok di pinggir jalan kebun teh. Entah siapa empunya. Suasana hening.  Tidak ada aktivitas apa pun. 

Mereka yang suka keheningan atau mereka yang kepingin sedikit menjauh dari kebisingan maupun hiruk pikuk kota sembari memanjakan mata dengan menikmati lanskap hijau hamparan pohon teh, saya pikir kawasan kebun teh Ciwangi cocok untuk dijadikan pilihan. Setelah bergerak beberapa puluh meter memasuki perkebunan teh, saya berhenti sembari menjeprat-jepret kamera ponsel untuk ber-selfie dan mengambil gambar panorama sekitar.

Dari tengah-tengah kebun teh, saya arahkan pandangan ke sisi timur laut, menatap lapisan perbukitan nun jauh di depan saya. Perkiraan saya, di balik bukit-bukit itulah, pusat Kecamatan Sukanagara berada.

Kembali ke Google Maps, saya ketahui dari tempat saya berdiri menuju Kecamatan Sukanagara masih sekitar 20 kilometeran. Saya lihat langit di sisi timur, selatan, dan barat, yang semula cerah, terlihat mulai mendung. Saya khawatir terjebak hujan. dan memutuskan bergegas kembali ke Sukaraja, Sukabumi.

Di tengah perjalanan, beberapa kali saya mendengar nyaring suara halilintar. Saya berharap hujan tidak segera turun. Tapi, toh harapan tinggal harapan. Langit justru semakin gelap. Sekitar  17 kilometer sebelum Pasar Sukaraja, Sukabumi, hujan deras turun tak terbendung.

Saya buru-buru menepi untuk berteduh di sebuah emperan warung yang tutup. Dalam hati, saya mengucap syukur karena beruntung hujan deras itu tidak turun selagi saya tengah berada di kebun teh atau di tengah-tengah hutan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post ‘Nge-teawalk’ ke Takokak appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/ngetiwok-ke-takokak/feed/ 0 36422
Mengintip Pasar Kaget di Ruas Jalan Lingkar Selatan Sukabumi https://telusuri.id/mengintip-pasar-kaget-di-ruas-jalan-lingkar-selatan-sukabumi/ https://telusuri.id/mengintip-pasar-kaget-di-ruas-jalan-lingkar-selatan-sukabumi/#respond Thu, 24 Feb 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=32814 Pasar kaget—atau pasar dadakan—kerap bermunculan di akhir pekan atau hari libur lainnya di sejumlah wilayah. Dengan memanfaatkan area publik, termasuk sebagian ruas jalan raya, yang mestinya steril dari aktivitas berniaga. Sebagian lahan kebun dan ladang...

The post Mengintip Pasar Kaget di Ruas Jalan Lingkar Selatan Sukabumi appeared first on TelusuRI.

]]>
Pasar kaget—atau pasar dadakan—kerap bermunculan di akhir pekan atau hari libur lainnya di sejumlah wilayah. Dengan memanfaatkan area publik, termasuk sebagian ruas jalan raya, yang mestinya steril dari aktivitas berniaga.

Sebagian lahan kebun dan ladang itu kini berubah wujud menjadi jalan. Namun, masih berupa tanah merah kecoklatan. Supaya menjadi jalan raya yang layak dilalui kendaraan bermotor, masih perlu pembangunan konstruksi, termasuk proses pengerasan dan kemudian pengaspalan serta pemasangan rambu dan fasilitas jalan.

Kulangkahkan kaki perlahan menyusuri jalan yang masih belum 100 persen rampung itu, Minggu (6/2/2022) pagi silam. Di depanku, tiga ibu melenggang didampingi anak mereka, yang kutaksir masih berusia sekolah dasar.

Jalan yang masih berupa tanah itu adalah bagian dari proyek Jalan Lingkar Selatan Sukabumi. Berjarak beberapa belas meter di depannya, terbentang jalan layang (overpass) Cibeureum, Sukabumi, Jawa Barat, yang baru saja kelar dibangun, dan telah beraspal mulus, namun belum dilalui banyak kendaraan bermotor.

Overpass Cibeureum
Overpass Cibeureum, Sukabumi/Djoko Subinarto.

Di bawah jalan layang Cibeureum, terbentang jalan kereta api tunggal untuk rute Cianjur-Sukabumi-Bogor. Dari atas jalan layang, jika cuaca kebetulan cerah, kita bisa melihat barisan pegunungan di sisi utara dan selatan Sukabumi.

Beberapa pesepeda terlihat memarkir sepedanya persis di atas jalan layang. Sebagian dari mereka terlihat berfoto-ria sembari menikmati panorama pagi dari atas jalan layang. Belasan bendera sebuah parpol yang terpasang di pagar jalan layang berkibar-kibar karena tertiup embusan angin. 

Aku berjalan ke arah selatan. Di ujung jalan layang, aku melongok ke arah barat laut. Samar-samar terlihat sekilas Gede-Pangrango. Sementara itu, di sebelah kanan dari tempatku berdiri, seorang pedagang minuman tengah sibuk melayani pembeli.

Semakin bergerak ke sisi selatan, suasana semakin ramai. Suara gamelan yang ditabuh pemain doger monyet terdengar nyaring, seolah memanggil anak-anak untuk berkumpul. Sang monyet sedang beratraksi duduk di sebuah kursi kayu sembari menyeruput air dari cangkir batok kelapa. Seorang ibu yang yang kebetulan sedang melintas di depan atraksi doger monyet itu mencemplungkan uang kertas ke kantong plastik yang diletakkan persis di tengah jalan.

Aku terus bergerak ke selatan. Dan yang kini kudengar adalah suara musik dangdut koplo yang mengiringi puluhan ibu-ibu, mayoritas berseragam merah, yang sedang melakukan senam kebugaran. Mereka begitu bersemangat melakukan aneka gerak yang dicontohkan instruktur senam di depan mereka.

  • Overpass Cibeureum
  • Overpass Cibeureum
  • Overpass Cibeureum

Tak begitu jauh dari lokasi senam, para pedagang sibuk melayani mereka yang berbelanja. Sebagian ruas Jalan Lingkar Selatan pada Minggu pagi itu menjadi pasar kaget lantaran warga memanfaatkannya untuk menggelar dagangan. Dari mulai penjual makanan, penjual sayuran, penjual pakaian, penjual perabotan, penjual mainan anak-anak hingga badut karakter tumplek blek di sana.

Tak jauh dari penjual basreng (bakso goreng), kulihat seorang pria penjual sate tengah mengipas-ngipas puluhan tusuk sate ayam. Pria yang lainnya, tengah memotong-motong ketupat. Satu porsi sate ayam dihargai Rp12.000. 

Di depan penjual sate, sebuah minibus tua buatan negeri Sakura berwarna biru gelap berhenti. Seorang perempuan berkaus oblong putih bertuliskan “Oneday at A Time” dan bercelana jeans turun dari pintu depan. Ia bergegas menurunkan sejumlah barang. Sejurus kemudian, ia dengan cekatan memasang tenda.

“Duh, kesiangan, euy,” celetuknya, saat salah seorang teman sesama penjual bertanya kenapa ia baru datang ke lokasi pasar kaget.

Aku kemudian menyeberang dan balik kanan. Terlihat tukang rambutan sedang menawarkan dagangannya. Ia mengangkut buah rambutan dengan mobil pick up yang diparkir di pinggir jalan. Sebagian buah rambutan dia geletakkan di atas terpal berwarna biru, sehingga calon pembeli lebih mudah untuk memilihnya.

Sementara itu, di tengah jalan, penjual jambu klutuk merah tengah melayani pembeli, seorang perempuan berkerudung. Begitu selesai memberi uang kembalian, penjual memberikan bonus tambahan satu buah biji jambu klutuk lagi kepada perempuan itu.

Pasar kaget seperti yang kusaksikan di kawasan Jalan Lingkar Selatan, Sukabumi, tentu saja menggerakkan ekonomi lokal. Roda ekonomi warga berputar. Para ibu rumah tangga juga ikut terbantu. Mereka dapat berolahraga atau rekreasi di  Minggu pagi bersama anak mereka sembari berbelanja keperluan sehari-hari.

  • Overpass Cibeureum
  • Overpass Cibeureum
  • Overpass Cibeureum

Tersisa satu segmen

Jalan Lingkar Selatan Sukabumi sendiri memiliki panjang sekitar 19 kilometer, yang terbagi pembangunannya ke dalam empat segmen. Segmen 1 membentang dari kawasan Cibolang ke Jalan Pelabuhan dengan panjang 6,9 kilometer. Segmen 2 mulai dari Jalan Pelabuhan ke kawasan Baros, sepanjang 2,2 kilometer. Sedangkan segmen 3 mulai dari Baros ke Sukaraja, sejauh 4,4 kilometer. Ketiga segmen ini sudah rampung seluruhnya.

Adapun yang belum rampung adalah segmen 4, yakni mulai dari Sukaraja ke Jalan Raya Sukabumi-Bandung, sejauh 4,4 kilometer. Pada awal Februari 2022, tahapan segmen 4 tengah memasuki proses usulan untuk pembebasan sejumlah lahan dan pembangunan konstruksi.

Saat seluruh pembangunan Jalan Lingkar Selatan ini nanti rampung diharapkan dapat ikut mengurai kemacetan arus lalu-lintas di sebagian wilayah Kabupaten dan Kota Sukabumi, serta ikut mendorong ekonomi warga semakin meningkat.

Sudah barang tentu, ketika Jalan Lingkar Selatan ini telah seluruhnya berfungsi, kemungkinan besar tak akan ada lagi pasar kaget di ruas jalan raya ini. Bagaimanapun, jalan raya sama sekali bukan tempat yang tepat untuk melakukan aktivitas jual-beli, meski di hari Minggu atau hari-hari libur lainnya. Kecuali kalau memang jalan raya itu sengaja ditutup oleh otoritas berwenang dan lantas diperuntukkan secara khusus di waktu-waktu tertentu untuk arena pasar kaget, di mana warga dapat memanfaatkannya untuk menggelar dagangan mereka dan bertransaksi dengan para pembeli.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mengintip Pasar Kaget di Ruas Jalan Lingkar Selatan Sukabumi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mengintip-pasar-kaget-di-ruas-jalan-lingkar-selatan-sukabumi/feed/ 0 32814
Menyimpang Sesaat ke Lampegan https://telusuri.id/menyimpang-sesaat-ke-lampegan/ https://telusuri.id/menyimpang-sesaat-ke-lampegan/#respond Thu, 09 Dec 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=31534 Jarum jam menunjukkan pukul 09.52 saat aku sampai di bundaran Pasir Hayam, Cianjur. Pagi itu, aku dalam perjalanan dari Bandung menuju Sukabumi. Di Kota Moci itu, aku perlu bertemu seseorang. Jarak dari Pasir Hayam ke...

The post Menyimpang Sesaat ke Lampegan appeared first on TelusuRI.

]]>
Jarum jam menunjukkan pukul 09.52 saat aku sampai di bundaran Pasir Hayam, Cianjur. Pagi itu, aku dalam perjalanan dari Bandung menuju Sukabumi. Di Kota Moci itu, aku perlu bertemu seseorang. Jarak dari Pasir Hayam ke Sukabumi sekitar 27,8 kilometer. Jika tidak macet, dengan berkendara, jarak tersebut dapat ditempuh dalam tempo kurang dari satu jam.

Kupikir, kalau langsung melaju ke Sukabumi, aku akan sampai ke sana terlalu dini. Pasalnya, aku bikin janji untuk ketemu dengan seseorang itu sekitar pukul 14-an. Maka, aku memilih untuk tidak langsung capcus ke Sukabumi.

Dari bundaran Pasir Hayam, aku mengambil rute yang mengarah ke Cibeber, Cianjur Selatan. Cuaca cukup cerah. Langit terlihat biru. Jalur Pasir Hayam—Cibeber hari itu relatif lengang.

Bunderan Pasir Hayam
Bunderan Pasir Hayam/Djoko Subinarto

Setelah hampir 10 kilometer melaju, cuaca yang sedikit panas memaksaku akhirnya menepi di sebuah jongko penjual es degan. Sembari ikut beristirahat, aku pesan satu gelas es degan, dengan sirup gula aren. Harga per gelasnya terbilang murah, Rp3.000. Di jalur Cianjur—Sukabumi, satu gelas es degan biasanya dibanderol Rp5000. Bahkan, ada yang membanderol Rp7.000 per gelas.

Kelar menikmati es degan, aku lanjutkan perjalanan. Posisi perjalananku terus mengarah ke selatan. Ke arah Alun-alun Cibeber. Namun, sekitar dua kilometer sebelum Alun-alun Cibeber, aku berhenti.

Kubuka ponsel dan mulai mengakses Google Map. Di seberang dari tempatku berhenti, ada jalan menanjak ke arah barat. Dari Google Map, kuketahui jalan itu menuju ke Lampegan—sebuah stasiun kecil di daerah Campaka, Cianjur. Nah, dari Lampegan, nanti bisa tembus ke Sukabumi via Cireunghas.

Kupikir sebaiknya aku coba rute Lampegan—Sukabumi ini. Sekadar untuk memastikan, aku pun lantas bertanya kepada seorang pria yang kutaksir usianya sekitar 40-an, dan tengah berjaga di persimpangan jalan, membantu mengarahkan dan mengatur kendaraan yang lalu-lalang.

Leres. Engke tiasa ka Lampegan. Ka Gunung Padang oge tiasa,” jelasnya dalam bahasa Sunda (Benar. Ini nanti bisa ke Lampegan. Juga bisa ke Gunung Padang).

Aku ikuti petunjuknya. Kondisi jalan mulus. Namun, tidak terlalu lebar. Maklum, jalan pegunungan. Naik-turun. Semakin jauh, jalanan semakin sepi. Kanan-kiri masih banyak kebun, sawah atau pun semak-semak.

Setelah beberapa tanjakan kulewati. Di pinggir sebuah kebun, aku memilih berhenti. Kali ini aku mengeluarkan minuman kemasan, rasa sari jeruk dari tas punggungku. Kuminum beberapa teguk untuk membasahi tenggorokan. Tak sengaja, aku melihat beberapa buah kweni matang yang tergeletak di atas rumput. Aku celingukan. Tak jauh dari aku berhenti rupanya berdiri sebatang pohon kweni yang tengah berbuah lebat. 

Aku ambil dua buah kweni yang tergeletak di rumput. Aku masukkan ke tas punggung. Namun, beberapa meter setelah aku teruskan perjalananku, aku membatin bahwa aku tak berhak mengambil buah kweni itu.

Aku lalu balik kanan. Kembali menuju pohon kweni. Kuambil dua kweni yang tadi disimpan di tas punggungku. Aku letakkan lagi di atas rumput, seperti semula aku menemukannya. 

Setelah itu, aku meneruskan perjalananku. Beberapa jenak kemudian, sampailah aku di sebuah persimpangan. Ada plang penunjuk jalan. Ke kiri, Gunung Padang dan Lampegan. Ke kanan, Warungkondang, Sukabumi, dan BandungAku ambil kiri. Artinya, menuju Gunung Padang dan Lampegan. Seperti juga jalan yang aku lalui sebelumnya, ini adalah jalan pegunungan. Namun, relatif lebih ramai. Namun, tentu saja dibanding jalan raya utama, jalan ini masih terbilang sepi. Beberapa kali aku berhenti untuk mengecek Google Map cuma memastikan bahwa aku tak salah arah.

Perlintasan KA Lampegan
Perlintasan KA Lampegan/Djoko Subinarto

Dan akhirnya, aku melihat bentangan rel kereta api (KA). Itu adalah rel KA jalur Sukabumi—Cianjur. Tak lama berselang, aku pun sampai di perlintasan KA rel tunggal. Setelah sebuah perlintasan, ada dua pilihan arah. Ke tenggara ke Gunung Padang, ke barat daya ke Stasiun KA Lampegan. Aku lantas menuju arah barat daya. Tak banyak pengguna jalan melintas. Beberapa meter setelah melaju, tibalah aku di depan Stasiun KA Lampegan. 

Ada beberapa sepeda motor terparkir di depan stasiun. Sayup-sayup, aku dengar suara orang tengah berbincang dari dalam stasiun. Aku menduga mereka adalah petugas stasiun yang sedang berdinas siang itu.

Aku bergegas ke arah sisi barat stasiun. Sejurus kemudian, aku melihat bangunan terowongan legendaris Lampegan, yang merupakan salah satu terowongan pertama di Jawa Barat. Di atas terowongan tertera keterangan tahun: 1879-1882.

Beberapa literatur menyebut bahwa Lampegan berasal dari kata laam pegang. Konon, saat terowongan itu dibangun, petugas Belanda yang melakukan inspeksi kerap meneriakkan kalimat “Laam pegang!”  kepada para pekerja. Dalam bahasa Belanda, ‘laam’  berarti lampu.

Terowongan Lampegan dibangun Staatsspoorwegen (SS), perusahaan KA milik pemerintah kolonial Belanda. Pembangunan terowongan ini sebagai bagian dari proyek jalur KA Bogor-Bandung via Sukabumi-Cianjur. Pemerintah kolonial Belanda perlu membangun jalur KA Bogor-Bandung untuk mempercepat pengangkutan hasil bumi ke Batavia sebelum diekspor ke luar negeri via Pelabuhan Tanjung Priok.

Terowongan Lampegan
Terowongan Lampegan/Djoko Subinarto

Selagi aku tengah mengamati terowongan Lampegan, seorang pria, yang merupakan petugas terowongan (terlihat dari baju yang dikenakannya) berjalan menuju arah terowongan. Karena aku mau ke Sukabumi hari itu, aku tanyakan saja kepadanya rute menuju Sukabumi via Cireunghas. 

“Dari sini lurus. Nanti, ada jalan ke atas, sebelah kanan. Ikuti jalan itu. Jalannya sudah bagus. Bisa tembus ke Cireunghas,” katanya, sembari menunjuk arah timur.

Aku ikuti penjelasan petugas terowongan tadi. Aku bergerak ke arah timur. Begitu sampai di jalur jalan yang dimaksud, aku temui seorang penduduk untuk kembali memastikan rute yang harus kulewati.

“Betul, ini bisa ke Cireunghas. Lurus saja dulu. Nanti, habis kebon karet, ada warung bakso, ambil jalan yang menurun, di kanan. Tembusnya nanti bisa ke daerah Cireunghas,” ujar seorang pria bertelanjang dada, yang aku tanyai, persis di depan rumahnya.

Aku memeriksa Google Maps, jarak dari Lampegan ke Cireunghas sekitar 10,3 kilometer. Adapun dari Cireunghas ke Sukabumi berjarak sekitar 13,9 kilometer. Kulirik arloji, waktu menunjukkan pukul 13.10. Kuperkirakan, pukul 14 kurang sedikit aku sudah berada di Sukabumi.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu
!

The post Menyimpang Sesaat ke Lampegan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menyimpang-sesaat-ke-lampegan/feed/ 0 31534
Mencoba Berjalan di Jembatan Gantung Terpanjang se-Asia Tenggara https://telusuri.id/situ-gunung-sumpesion-bridge/ https://telusuri.id/situ-gunung-sumpesion-bridge/#respond Tue, 08 Jun 2021 01:34:00 +0000 https://telusuri.id/?p=28279 Ada yang pernah ke Kabupaten Sukabumi? Daerah yang terkenal sebagai kawasan kabupaten terbesar kedua di pulau Jawa ini sangat seru loh untuk dijadikan salah satu tujuan wisata. Kawasan ini terdapat wisata darat dan laut. Ada...

The post Mencoba Berjalan di Jembatan Gantung Terpanjang se-Asia Tenggara appeared first on TelusuRI.

]]>
Ada yang pernah ke Kabupaten Sukabumi? Daerah yang terkenal sebagai kawasan kabupaten terbesar kedua di pulau Jawa ini sangat seru loh untuk dijadikan salah satu tujuan wisata. Kawasan ini terdapat wisata darat dan laut. Ada gunung Salak, Gunung Halimun, Gunung Pangrango yang didalamnya sudah meliputi air terjun dan tempat berkemah.  Pantai Pelabuhan Ratu, geopark, dan  masih banyak lagi destinasi seru di Kabupaten Sukabumi. Salah satunya yang wajib dikunjungi yaitu jembatan yang terletak di daerah Kadudampit, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat yang dikenal dengan nama “Situ Gunung Suspension Bridge.” 

Pintu Masuk/Riri Safitri

Jembatan gantung yang dinobatkan sebagai jembatan terpanjang se-Asia Tenggara ini panjangnya 243 meter dengan lebar 1,2 meter dan berada di ketinggian kurang lebih 107 dari dasar tanah.  Jembatan ini dibangun atas kerjasama antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dengan PT Fontis Aquam Vivam, setelah dilakukan uji coba oleh Badan Litbang di bawah Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Jembatan ini resmi dibuka oleh Menteri Koordinator (Menko) Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan pada Maret 2019 dan resmi dibuka untuk umum sejak 10 Juli 2020. Untuk menuju jembatan ini dari pintu masuk kamu cukup membayar Rp50 ribu saja, tetapi akan beda lagi apabila kamu merupakan orang asli daerah sini serta mempunyai KTP daerah ini, biasanya akan ada potongan harga.  

Alternatif Rute Menuju Situ Gunung Sumpesion Bridge

  1. Memakai kendaraan pribadi terutama motor. Karena daerah ini sejuk, kalau kamu ingin menikmati suasana memakai motor bisa jadi solusi, selain itu juga kamu meminimalisir kemacetan ketika di daerah alun-alun Cisaat. Tapi apabila dalam skala keluarga kamu membawa ayah, ibu, kakek, nenek sebaiknya memakai mobil karena cukup repot juga apabila harus konvoi memakai motor.
  2. Memakai kendaraan umum. Kamu bisa pilih memakai  angkot. Karena Sukabumi terkenal sebagai kota seribu angkot maka siap-siap agak pusing memilih angkot mana menuju situ gunung, tapi kamu jadi bisa lebih santai juga karena angkotnya biasanya ngetem dulu. Kalau kamu memilih memakai angkot berawal dari Bogor (Ciawi) kamu cukup menaiki 4 angkot dari Ciawi-Cicurug, Cicurug-Parungkuda, Parungkuda-Cibadak, Cibadak-Cisaat.  Apabila dari Cisaat (Polsek) menuju Situ Gunung kamu bisa pakai ojek, jangan lupa tanyakan harga terlebih dahulu sebelum kamu naik ojeknya, khawatir harganya dinaikan atau menjadi tidak jelas. 
  3. Memakai kereta. Untuk kereta pilihlah jurusan Bogor-Sukabumi. Untuk pembelian tiket kereta jadi kamu bisa membeli tiketnya jauh-jauh hari via online agar tidak kehabisan. Perjalanan kereta Bogor-Sukabumi, kamu akan langsung tiba di stasiun Cisaat, dan kamu cukup berjalan kaki, naik angkot atau ojek ke daerah Polsek lanjut perjalanan menuju Situ Gunung memakai ojek yang sudah dijelaskan diatas.

Kamu akan disuguhkan pemandangan yang luar biasa asri dan sejuk di sepanjang perjalanan menuju jembatan yang kurang lebih memakan waktu 30 menit. Oh iya perjalanan menuju jembatan hanya boleh dengan berjalan kaki karena jalan hanya setapak sehingga kendaraan hanya boleh masuk sampai pintu masuk saja. 

Uniknya ada panggung teater di tengah hutan yang instagramable banget!

Panggung Teater

Beberapa meter sebelum sampai jembatan, matamu akan dimanjakan oleh suasana unik dari panggung teater dan kursi penonton yang semuanya terbuat dari kayu. Bagi kamu yang sedang mencari tempat untuk pergelaran, tempat ini cocok dengan suasana tengah hutan sebagai hiasannya. 

Fasilitas makanan dan minuman gratis, dan relaksasi diri

Sesampainya di jembatan, kamu akan disuguhkan teh hangat beserta singkong dan pisang rebus. Di suasana yang dingin sangat pas sekali bukan? Kamu bisa sejenak relaksasi dengan aroma alam yang tidak tercampur oleh bisingnya kendaraan dan asap knalpot yang membuat sesak di dada.

Yeay, akhirnya setelah berjuang beberapa menit berjalan menyusuri  hutan. Terbayarkan sudah dengan nuansa ini. Akhirnya perjuanganmu tidak sia-sia setelah menikmati sajian yang luar biasa, kamu akan menguji nyalimu di jembatan ini. 

Situ Gunung Suspension Bridge

Tenang ketika kamu akan berjalan dijembatan ini petugas akan memasangkan pengaman yang aman, jadi kamu nggak usah tegang walau jembatannya bergoyang ketika kaki kamu mulai menginjak ke kayu-kayu yang menjadi lantai jembatan ini. Jembatan ini mampu menampung sampai dengan 50 orang  dibangun menggunakan material baja dan kayu yang berasal dari Papua. Bila kamu tetap takut, saran saja jangan lupa foto karena sangat sayang sekali suasananya dan panorama yang sangat indah ini kamu lewati dengan sia-sia.

Kalau kamu suka dengan wisata alam, apalagi penasaran dengan sensasi menaiki jembatan terpanjang se-Asia Tenggara ini, kamu wajib datang ke Kabupaten Sukabumi yah setelah pademi ini berakhir!

The post Mencoba Berjalan di Jembatan Gantung Terpanjang se-Asia Tenggara appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/situ-gunung-sumpesion-bridge/feed/ 0 28279
Gua Buniayu: Kali Pertama Merasakan Berada di Dalam Perut Bumi https://telusuri.id/gua-buniayu-sukabumi/ https://telusuri.id/gua-buniayu-sukabumi/#respond Sat, 23 Jan 2021 05:31:49 +0000 https://telusuri.id/?p=26542 Ada perasaan ragu dan was-was tatkala harus memasuki lorong gua yang sempit dan gelap. Tapi, perasaan itu kemudian aku buang jauh-jauh. Sejurus kemudian, diriku telah berada di dalam perut bumi, tepatnya di Gua Buniayu. Indonesia...

The post Gua Buniayu: Kali Pertama Merasakan Berada di Dalam Perut Bumi appeared first on TelusuRI.

]]>
Ada perasaan ragu dan was-was tatkala harus memasuki lorong gua yang sempit dan gelap. Tapi, perasaan itu kemudian aku buang jauh-jauh. Sejurus kemudian, diriku telah berada di dalam perut bumi, tepatnya di Gua Buniayu.

Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan karst cukup luas. Dihitung dari ujung barat hingga ujung timur, luas kawasan karst di negeri ini mencapai sekitar 154 kilometer persegi. 

Karst merupakan suatu daratan yang tersusun dari bebatuan gamping. Saat air hujan merembes ke bebatuan itu, perlahan mengikisnya dan kemudian membentuk sebuah bentang alam khas kawasan karst berupa gua-gua, aliran sungai bawah tanah maupun tebing-tebing berbatu curam.

Berkat kawasan karst yang cukup luas itulah, Indonesia kemudian dikaruniai jaringan gua yang sangat banyak. Ada yang menyebut jumlahnya gua yang ada di Indonesia melebihi jumlah sungai maupun gunung.

Lumayan tua

Gua Buniayu

Gua Buniayu/Djoko Subinarto

Salah satu gua yang berusia lumayan tua di negeri ini yaitu Gua Buniayu, terletak di Kampung Cipicung, Desa Kertaangsana, Kecamatan Nyalindung, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.

Ditaksir, usia Gua Buniayu telah mencapai sekitar 60 juta tahun. Kata ‘buniayu’ sendiri merupakan gabungan dari dua kata, yakni ‘buni’ (bahasa Sunda) yang berarti ‘tersembunyi’ dan ‘ayu’ yang artinya ‘cantik’. 

Karena lokasinya berada di Kampung Cipicung, oleh penduduk lokal, gua ini sering disebut pula sebagai Gua Cipicung.

Nah, beberapa waktu silam, aku dan tiga orang kawanku sempat menyambangi Gua Buniayu. Dipandu Iwan Guha, warga setempat yang memang spesialis memandu para wisatawan yang ingin menelusuri Gua Buniayu, kami pun diajak beberapa jenak melihat bagian dalam Gua Buniayu.

Ada perasaan ragu dan waswas tatkala kakiku harus melangkah memasuki lorong gua yang sempit dan gelap. Sebenarnya, ini bukan pertama kalinya aku masuk ke dalam gua. Sebelumnya, aku sudah pernah masuk ke sejumlah gua. Namun, semuanya merupakan gua yang berada di atas permukaan tanah.

Tatkala Iwan Guha dengan langkah mantap memasuki lorong Gua Buniayu, ragu dan waswas aku buang jauh-jauh. Dan sejurus kemudian, aku pun telah berada beberapa puluh meter di bawah permukaan Bumi.

Gua Buniayu

Gua Buniayu/Djoko Subinarto

Kondisi di dalam begitu lembab dan gulita. Lampu senter ponsel yang kami bawa dan headlamp yang dikenakan Iwan Guha menjadi sumber pencahayaan di dalam gua saat itu.

Menurut Iwan Guha, sejauh ini terdapat 83 lorong di kompleks Gua Buniayu ini. “Hanya sebagian kecil saja yang telah berhasil dieksplorasi,” jelasnya.

Iwan menerangkan, masing-masing lorong gua memiliki panjang yang bervariasi dengan tingkat kesulitan eksplorasi yang berbeda-beda pula.

“Lorong terpendek sekitar 200 meter, sementara yang terpanjang sekitar 3.300 meter dengan lama perjalanan sekitar 4-5 jam,” tuturnya. 

Ahli speleologi

Gua Buniayu

Gua Buniayu/Djoko Subinarto

Adalah RKT Kho, George Robert, Arnoult Seveau serta Michael Chassier yang pertama kali memetakan kompleks Gua Buniayu, di tahun 1982. Keempatnya adalah ahli speleologi, ilmu yang khusus mempelajari pembentukan gua—mencangkup struktur, fisik, sejarah dan aspek biologisnya.

 “Baru tahun 1994, kawasan ini terbuka untuk publik,” jelas Iwan, yang sejak 1997 mulai membantu dan memandu para pengunjung yang ingin menjelajahi Gua Buniayu.

Iwan menerangkan, kedalaman Gua Buniayu berkisar antara 20-30 meter di bawah permukaan bumi.

Ada dua cara untuk masuk dan melakukan petualangan di dalam kompleks Gua Buniayu. Pertama, melalui jalur horizontal dan kedua, melalui jalur vertikal. Mereka yang masih awam dalam aktivitas penelusuran gua (caving), sebaiknya memilih jalur horizontal, yang relatif lebih aman.

Gua Buniayu

Gua Buniayu/Djoko Subinarto

Selain dipenuhi stalagtit dan stalagmit dengan berbagai bentuk dan ukuran, di dalam Gua Buniayu kita juga bakal menemukan sejumlah aliran sungai bawah tanah dan air terjun bawah tanah.

Kita dapat pula menyaksikan kehidupan fauna bawah tanah di kompleks gua ini. Beberapa hewan memang hidup di dalam Gua Buniayu, antara lain ikan, jangkrik, kadal, kalajengking, katak, kelelawar, laba-laba, lipan, udang.

Uniknya, sebagian dari hewan tersebut tidak memiliki mata. Kemungkinan besar ini disebabkan karena binatang-binatang tersebut telah mengalami perubahan fungsi indera penglihatan mereka lantaran pengaruh lingkungan gua yang cukup gelap gulita.

Menurut Iwan, sebagian besar hewan itu bukanlah habitat asli Gua Buniayu.  “Pada saat hujan sangat deras, biasanya air masuk ke dalam gua. Nah, hewan-hewan itu terbawa air hujan dari luar serta terjebak di dalam gua. Akhirnya, karena tidak bisa keluar, mereka lantas menjadi penghuni tetap gua,” terang Iwan.

Menuju Gua Buniayu

Gua Buniayu

Gua Buniayu/Djoko Subinarto

Untuk mencapai lokasi kompleks Gua Buniayu tidaklah sulit. Perjalanan dari pusat Kota Sukabumi ke Gua Buniayu dapat dicapai dalam tempo 45 menit. Jika tidak membawa kendaraan pribadi, kamu bisa naik angkutan kota jurusan Baros-Purabaya dari Terminal Jubleg Sukabumi dan minta turun di Jalan Raya Kampung Cipicung, Nyalindung. Ongkos angkotnya Rp15.000 per orang. Dari sini, kita kemudian bisa memilih apakah mau berjalan kaki atau menunggang ojek untuk sampai ke kompleks Gua Buniayu. Jarak dari Jalan Raya Kampung Cipicung ke kompleks Gua Buniayu sekitar 800 meter.

Kendati bagian dalam dalam Gua Buniayu sangat menantang untuk ditelusuri, namun karena kondisi gua ini yang umumnya cukup gelap, berbatu, berair dan berlumpur, dengan sebagian lorongnya yang sangat sempit, maka bagi kalian yang takut akan kegelapan (ligofilia), dan juga memiliki riwayat penyakit asma, epilepsi maupun penyakit jantung, disarankan untuk tidak memaksakan diri masuk dan menjelajah ke dalam gua.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu
!

The post Gua Buniayu: Kali Pertama Merasakan Berada di Dalam Perut Bumi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/gua-buniayu-sukabumi/feed/ 0 26542