suku moi Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/suku-moi/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Thu, 12 Jun 2025 11:37:06 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 suku moi Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/suku-moi/ 32 32 135956295 Jalan Panjang Pengakuan Hutan Adat di Sorong dan Sorong Selatan https://telusuri.id/jalan-panjang-pengakuan-hutan-adat-di-sorong-dan-sorong-selatan/ https://telusuri.id/jalan-panjang-pengakuan-hutan-adat-di-sorong-dan-sorong-selatan/#respond Fri, 10 Jan 2025 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45253 Sebelum Indonesia berdiri sebagai republik, komunitas adat di Sorong dan Sorong Selatan telah menghuni serta merawat hutan dan laut dengan kearifan lokal secara turun-temurun. Jauh sebelum konsep konservasi dan zonasi muncul. Namun, pengakuan oleh negara...

The post Jalan Panjang Pengakuan Hutan Adat di Sorong dan Sorong Selatan appeared first on TelusuRI.

]]>
Sebelum Indonesia berdiri sebagai republik, komunitas adat di Sorong dan Sorong Selatan telah menghuni serta merawat hutan dan laut dengan kearifan lokal secara turun-temurun. Jauh sebelum konsep konservasi dan zonasi muncul. Namun, pengakuan oleh negara berjalan amat lambat.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda, Rifqy Faiza Rahman, dan Mauren Fitri


Jalan Panjang Pengakuan Hutan Adat di Sorong dan Sorong Selatan
Hamparan hutan tropis di kawasan ekowisata Malagufuk, Sorong. Di Papua, hutan dan segala isinya dilindungi dan disakralkan karena memenuhi hajat orang banyak, termasuk masyarakat adat/Deta Widyananda

“Semua tanah di Papua itu tanah adat!” tegas Onesimus Ebar lantang kepada tim Ekspedisi Arah Singgah Papua 2024. Pernyataan ini terlontar dari mulut Kepala Kantor EcoNusa Sorong Selatan itu saat membahas progres pengajuan legalitas hutan adat ke pemerintah pusat di Kampung Bariat, Distrik Konda. Adrianus Kemeray, kepala kampung, juga ikut dalam diskusi. Sejumlah warga turut merapat mendengarkan dan sesekali memberikan pandangan.

Ones, panggilan akrabnya, mengungkit peristiwa heboh empat tahun silam. Pada Oktober 2020, seluruh lapisan masyarakat berkumpul. Mulai dari ketua adat, organisasi kemasyarakatan dan keagamaan, relawan, sampai yayasan nirlaba seperti Greenpeace dan Pusaka Bentala Rakyat hadir di kantor Distrik Konda. Kepala distrik saat itu, Sopice Sawor menampung aspirasi masyarakat adat yang menggelar aksi demo menolak rencana perusahaan perkebunan kelapa sawit masuk ke wilayah mereka. Sopice, yang juga istri Ones, kemudian mendesak Pemerintah Kabupaten Sorong Selatan mencabut rekomendasi izin PT Anugerah Sakti Internusa (ASI). 

Izin usaha dan izin lokasi tersebut telah dikeluarkan Bupati Otto Ihalauw pada periode 2013–2014. Rinciannya, ASI mendapat lahan seluas 37.000 hektare di Distrik Teminabuan dan Distrik Konda. Selain itu, juga ada PT Persada Utama Agromulia (PUA) yang memperoleh izin lahan 25.000 hektare di Distrik Wayer dan Distrik Kais. Namun, sampai tahun 2020 belum ada aktivitas usaha apa pun yang dilakukan kedua perusahaan tersebut. 

Khusus di wilayah Distrik Konda, Sopice menekankan bahwa sedari awal masyarakat tidak pernah menyatakan setuju adanya investasi kelapa sawit. Sebab, masyarakat adat yang terdiri dari subsuku Genma, Afsya, Nakna, dan Yaben, yang tersebar di lima kampung (Manelek, Bariat, Nakna, Konda, dan Wamargege) sangat bergantung pada sagu, hasil hutan, dan perikanan. Jika perusahaan sawit masuk dan mengubah peruntukan lahan adat, maka akan sangat merugikan masyarakat.

Upaya penolakan masyarakat adat tersebut akhirnya berhasil meluluhkan pemerintah. Pada bulan Mei 2021, Bupati Sorong Selatan Samsudin Anggiluli mencabut izin PUA dan ASI. Di akhir tahun yang sama, Samsudin mendapat perlawanan. Kedua perusahaan sempat menggugat keputusan bupati ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura. Namun, setelah melalui proses persidangan, pada 23 Mei 2022 PTUN Jayapura memutuskan menolak gugatan PUA dan ASI. Maka, keputusan bupati tetap sah.

Pemkab memang akhirnya menerbitkan peraturan daerah pada 2022 dan keputusan bupati pada 2024, yang intinya mengakui dan melindungi 42 kelompok subsuku dan ratusan marga sebagai bagian masyarakat hukum adat dan wilayah adat di Sorong Selatan. Dan seperti Ones bilang, ini harus diapresiasi. Akan tetapi, masih ada jalan terjal dan proses berlipat-lipat demi pengakuan negara, melalui kementerian kehutanan. Perjalanan masyarakat adat di sana belum akan berhenti. 

Jalan Panjang Pengakuan Hutan Adat di Sorong dan Sorong Selatan
Diskusi soal hutan adat di Kampung Bariat, Sorong Selatan/Mauren Fitri

Konsep luhur dari leluhur dalam menjaga alam

Situasi serupa juga dialami oleh komunitas adat suku Moi di Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya. Bahkan regulasi pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat Moi sudah ketok palu menjadi peraturan daerah (perda) sejak 2017. Lima tahun lebih awal daripada Sorong Selatan. Menurut Torianus Kalami, tokoh Moi dan ketua Perkumpulan Generasi Malaumkarta (PGM), sampai saat ini belum ada pengakuan resmi dari negara terhadap masyarakat hukum adat dan wilayah adat suku Moi. 

“Kita tidak tahu kapan negara akan memberi pengakuan. Perjalanannya panjang sekali,” kata pria yang akrab disapa Kaka Tori itu. Ia mengaku sampai lupa berapa kali pihaknya melakukan audiensi lintas kementerian di Jakarta. Kepala Kampung Malaumkarta Jefri Mobalen termasuk salah seorang yang cukup rutin mendampingi mantan anggota DPRD Kabupaten Sorong 2014–2019 tersebut ke ibu kota.

Kaka Tori tidak mengada-ada. Lebih dari 20 tahun lalu, ia bersama Oktovianus Mobalen sudah mendirikan PGM, yang salah satu fungsinya mengadvokasi masyarakat suku Moi dalam hal pemetaan dan pengelolaan wilayah adat, serta konservasi. Selain itu, PGM juga mendorong pelestarian tradisi egek lewat Festival Egek yang berlangsung setahun sekali.

Sebagai informasi, egek merupakan konsep konservasi tradisional dan penerapan zonasi pemanfaatan sumber daya alam terbatas ala suku Moi. Egek seperti sasi, yang memberlakukan larangan aktivitas apa pun pada area-area tertentu yang telah disepakati secara adat. Kaka Tori mengatakan egek telah berkontribusi nyata pada perlindungan kawasan hutan, laut, dan keanekaragaman hayati di tanah Moi, khususnya Malaumkarta Raya.

Termasuk di dalamnya Malagufuk, kampung kecil di pedalaman Hutan Klasow. Sekitar 15 menit berkendara dilanjut satu jam berjalan kaki 3,5 kilometer menembus jembatan kayu panjang di tengah hutan tropis. Penerapan egek tetap berlaku sekalipun aktivitas ekowisata birdwatching cenderawasih kian menggeliat. Opyor Jhener Kalami, pemuda dan koordinator ekowisata Malagufuk, bersama masyarakat telah menentukan jalur-jalur trekking yang tidak mengganggu zona egek

Sedikit berbeda dengan suku Moi, komunitas adat di Distrik Konda memiliki konsep mendasar dalam menjaga harmonisasi manusia dan alam. Baik itu subsuku Gemna (sebagian besar di Kampung Manelek), Afsya (Kampung Bariat), Nakna (Kampung Nakna), serta Yaben yang merupakan penduduk mayoritas Kampung Konda dan Wamargege. Dalam proses pemetaan wilayah adat oleh lembaga Konservasi Indonesia pada 2022, masyarakat yang menjadi bagian suku besar Tehit memiliki dua tipe pendekatan “tempat penting” untuk mengatur tata ruang adat, yaitu tempat penting sebagai identitas dan sumber penghidupan.

Tempat penting sebagai identitas (jati diri) mencakup tempat asal mula, benteng perang, kuburan leluhur, tempat keramat, tempat sejarah, lokasi rumah adat (meliputi rumah pembayaran harta pernikahan, rumah inisiasi adat untuk pemuda), hingga sekolah adat. Lalu cakupan tempat penting sebagai sumber penghidupan antara lain dusun sagu, area hutan untuk berburu dan meramu, tempat memancing ikan, hingga sumber air. 

Ketika di Bariat, Adrianus melihat dua contoh tempat penting yang bisa diakses pendatang atau orang umum seperti kami. Pertama, hutan “Mrasa” yang dekat dengan makam ibunda Yulian Kareth (ketua adat Bariat). Kedua, dusun sagu atau hutan sagu, yang kala itu kami juga diajak menyaksikan proses pengolahan sagu di lahan milik keluarga Nikson Kemeray.

Baik Kaka Tori maupun Adrianus sependapat, bahwa segala tradisi yang mereka lakukan sekarang merupakan warisan kebudayaan leluhur yang penuh nilai dan filosofi mendalam. Kedua suku besar itu memiliki kesamaan, yaitu menganggap hutan serupa halnya dengan ibu atau mama. Sebuah prinsip kehidupan yang umumnya juga dipegang erat oleh orang-orang Papua, melekat sedari lahir sampai tutup usia. Bentuk penegasan diri, yang rela dipertahankan mati-matian dari ancaman kebijakan maupun investasi yang mengatasnamakan pemerataan pembangunan.

Kiri: Masyarakat suku Moi dengan kostum adat yang biasa dipakai saat menampilkan tarian adat dalam Festival Egek di Malaumkarta, Sorong. Kanan: Yulian Kareth, ketua adat subsuku Afsya dengan busana adat di salah satu tempat keramat di dalam hutan Kampung Bariat, Sorong Selatan/Deta Widyananda

Melawan agresi sawit dan kebijakan pangan pemerintah yang salah kaprah

Dalam sebuah obrolan malam di teras rumah Adrianus Kemeray, kami sempat bercerita sekilas pengalaman perjalanan darat Sorong–Teminabuan. Kami cerita juga soal fakta lokasi perkebunan kelapa sawit yang letaknya tersembunyi di dalam hutan, jauh dari pinggir jalan raya. Rumpun pohon sawit itu baru akan terlihat ketika melintasi jalan yang menanjak di atas perbukitan.

Mendengar itu, Daniel Meres menimpali, seperti meminta kami mengingat-ingat detail pemandangan atau sesuatu yang mungkin terlewatkan selama perjalanan. Pria yang tinggal persis di seberang rumah Adrianus tersebut bilang, “Coba anak lihat di sepanjang jalan dari Sorong ke Teminabuan. Mulai dari Aimas sampai Klamono. Banyak pondok-pondok kayu di pinggir jalan, toh? Itu adalah rumah buat 2–4 keluarga. Dulu itu hutan, sekarang habis karena sawit masuk.” Di Bariat, orang-orang tua memanggil kami ‘anak’, karena tidak terlalu hafal nama kami.

Kami pun terkesiap. Tak menyangka. Belum sempat menanggapi, Daniel kembali bersuara lantang, “Kalau sampai sawit masuk [Distrik] Konda, kita mau makan apa? Mau bikin rumah pakai apa? Bagaimana anak cucu kita nanti?”

Jalan Panjang Pengakuan Hutan Adat di Sorong dan Sorong Selatan
Salah satu ruas jalan antara Aimas-Klamono yang dulunya hutan lebat. Ada sejumlah perusahaan perkebunan kelapa sawit di sekitar sini dengan lokasi perkebunan agak tersembunyi/Rifqy Faiza Rahman

Di titik inilah kami semakin memahami pandangan hidup dan kedekatan orang-orang Papua terhadap hutan. Termasuk Kampung Bariat. Bisa dibilang, Tuhan telah menyediakan sumber daya alam yang melimpah dan dimanfaatkan secara gratis. Salah satunya adalah sagu, yang menjadi pangan pokok masyarakat, memiliki nilai ekonomi, bahkan berdampak positif mengurangi perubahan iklim lewat penyerapan karbon.

Saat di Bariat, kami diajak melihat salah satu tempat penting atau keramat di dalam hutan. Lokasinya berada di area makam ibunda Yulian Kareth, tokoh adat Bariat. Persis di sebelahnya ada pohon tua yang diberi nama “Mrasa”. Kami ingat sempat melihat sebuah pohon merbau (kayu besi) di yang tumbuh di dekat Mrasa. Dalam pandangan saya, ukuran batang tegaknya terbilang besar, sampai-sampai tidak akan mampu dipeluk satu orang. 

Tapi, lagi-lagi Daniel membuat kami terdiam dan merenung. “Kalau kayu besi yang di dekat Mrasa itu [ukurannya] masih kecil. Ada lagi yang jauh lebih besar, tapi sudah tumbang dulu sekali,” jelasnya. Saya tak sanggup membayangkan. 

Ia menambahkan, “Bayangkan sawit [akan] tebang habis hutan kita, berapa lama mau menanam kayu besi itu? [Pasti] lama sekali. Dari [masih] anak, sampai punya anak, sampai punya anak lagi saja itu masih tumbuh kecil.” Bibirnya mengulas senyum. Warga lain yang ikut nongkrong malam itu tertawa kecil. Ia sekilas tampak berseloroh, tapi sesungguhnya getir. 

  • Jalan Panjang Pengakuan Hutan Adat di Sorong dan Sorong Selatan
  • Jalan Panjang Pengakuan Hutan Adat di Sorong dan Sorong Selatan

Di tempat terpisah, Kepala Kampung Malaumkarta Jefri Mobalen menekankan pentingnya legalitas kuat dari pemerintah pusat atas kepemilikan hutan adat. Pengakuan negara akan melegitimasi upaya-upaya kehidupan masyarakat berbasis adat, yang telah nyata mampu menjaga warisan hutan dan seisinya berabad-abad.

Sebagai orang yang duduk di struktural pemerintahan, Jefri mafhum kalau pembangunan pun juga sama pentingnya. Terutama pengembangan infrastruktur, yang fungsinya memudahkan mobilitas masyarakat menjangkau kebutuhan-kebutuhan dasar, seperti pendidikan, kesehatan, dan pasar tradisional. Namun, ia mewanti-wanti para pemangku kebijakan agar tetap memerhatikan kelestarian hutan dan keberadaan masyarakat adat. Ada kekhawatiran jika mereka tersisihkan dari rencana pengembangan modal industri ekstraktif, seperti usaha pertambangan atau perkebunan kelapa sawit.

“Kami sebagai masyarakat adat harus melestarikan hutan adat dan menjaga [dari] ancaman investasi. Karena ketika ancaman investasi itu masuk, maka kita tidak lagi dikenal sebagai pemilik hak wilayah adat. Investasi pasti masuk dengan berbagai cara untuk merusak hutan adat [kami],” tutur Jefri. 

Ia pun terang-terangan mengakui, potensi investasi ekstraktif yang ingin merebut tanah ulayat tersebut akan selalu ada sampai kapan pun. Sekalipun payung hukum tertinggi dari negara sudah dalam genggaman. Tidak ada yang pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan, lebih-lebih stabilitas politik yang masih jauh dari angan, yang selalu menjadi lahan basah para elite di kalangan pemerintahan maupun pengusaha.

Jalan Panjang Pengakuan Hutan Adat di Sorong dan Sorong Selatan
Cenderawasih kuning-kecil bertengger di pepohonan Hutan Klasow, Malagufuk, Sorong. Cenderawasih yang nyaman singgah di hutan memberi manfaat ekonomi melalui ekowisata. Alih fungsi hutan menjadi lahan perkebunan atau pertambangan yang merusak membuat alam kehilangan keseimbangan dan masyarakat adat kehilangan tempat tinggal/Deta Widyananda

Tengok saja kabar paling hangat yang terjadi sejak tahun lalu di Kabupaten Merauke, Papua Selatan. Dua proyek strategis nasional dengan skala gila-gilaan sedang berlangsung di kabupaten terluas di Indonesia tersebut. Pertama, membangun perkebunan tebu untuk swasembada gula dan pabrik bioetanol, yang diinisiasi Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi) pada 19 April 2024. Kedua, proyek cetak sawah sebagai lumbung pangan baru, yang diinisiasi Prabowo Subianto—saat itu Menteri Pertahanan dan menjadi presiden terpilih—pada tahun yang sama. 

Kedua proyek tersebut ditargetkan akan menempati lahan seluas 2,29 juta hektare yang disiapkan Pemerintah Provinsi Papua Selatan dan Pemerintah Kabupaten Merauke. Itu sama dengan separuh dari total daratan Merauke, atau 70 kali lipat luas Jakarta. Mencaplok belasan distrik terdampak, mengganggu ruang hidup puluhan ribu penduduk, serta melenyapkan jutaan hektare tanah ulayat suku Marind-Anim—komunitas adat terbesar Merauke. Jokowi dan Prabowo seperti tidak pernah belajar pada proyek serupa zaman Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) yang gagal. Alih-alih diperbaiki, justru hampir 1,3 juta hektare bekas lahan MIFEE terbengkalai dan sebagian dimanfaatkan puluhan korporasi ekstraktif yang semula termasuk dalam konsorsium penggarap proyek.

Akibatnya, Merauke mengalami laju deforestasi terbesar di Tanah Papua. Auriga Nusantara mencatat, selama 2011–2019 sekitar 123.000 hektare hutan—baik itu hutan alam maupun nonhutan alam—lenyap seiring izin pelepasan kawasan hutan (PKH) meluncur ke sejumlah perusahaan atau mendukung program pemerintah. Di periode yang sama, total laju deforestasi di Sorong dan Sorong Selatan hanya seperempat Merauke. Namun, tidak menutup kemungkinan dua kabupaten bertetangga di Papua Barat Daya itu mengalami nasib serupa. 

Masa depan hutan primer Indonesia, khususnya Papua, terancam suram menyusul pernyataan kontroversial Presiden Prabowo Subianto akhir tahun lalu. Di depan peserta Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Bappenas (30/12/2024), Prabowo mengatakan perlunya menambah lahan kelapa sawit di Indonesia. Ia menganggap sawit merupakan komoditas strategis dan aset negara yang tidak akan menyebabkan deforestasi. Dari sudut pandangnya, sawit dianggap setara dengan pohon-pohon tropis karena memiliki daun dan menyerap karbondioksida.

Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni ikut memperparah situasi. Dalam pernyataannya pada 3 Januari 2025 lalu, pihaknya bermaksud membuka 20 juta hektare hutan di seluruh provinsi di Indonesia untuk mendukung program lumbung pangan Kementerian Pertanian dan ESDM. Angka tersebut setara hampir dua kali luas Pulau Jawa, atau lebih dari separuh luas hutan Papua. 

Jalan Panjang Pengakuan Hutan Adat di Sorong dan Sorong Selatan
Hasil pembukaan hutan besar-besaran untuk perkebunan kelapa sawit di Nimbokrang, Jayapura. Situasi serupa yang jamak terjadi di beberapa distrik di Sorong maupun Sorong Selatan/Deta Widyananda

Pesan untuk negara: Papua bukan tanah kosong

Langkah-langkah sembrono pemerintah tersebut layak dikritik keras dan harus dilawan, karena seolah beranggapan kehilangan satu pohon tak akan berarti apa-apa. Padahal, deforestasi tidak hanya mengancam keanekaragaman hayati, tetapi juga menggusur ruang hidup masyarakat adat yang tinggal di kawasan hutan. Sebab, mengutip kata Daniel, kita tidak akan pernah bisa memulihkan hutan dan seisinya—apalagi ekosistem dan rantai makanannya—seperti sediakala. 

Di sisi lain, pernyataan pemerintah juga sangat bertentangan dengan komitmen Indonesia sebagai anggota Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD). Sidang pleno terakhir The 2024 United Nations Biodiversity Conference of the Parties (COP16) pada 1 November lalu, menuntut setiap negara mengakui peran masyarakat adat dan komunitas lokal dalam konservasi keanekaragaman hayati dan pemanfaatan sumber daya alam berkelanjutan.

Dalam rilis resminya, seperti dikutip Tempo (3/1/2025), peneliti The Indonesian Institute Christina Clarissa Intania mengingatkan negara harus hadir dan menghormati keberadaan serta hak-hak masyarakat adat. Salah satu caranya dengan segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Hukum Adat yang mandek di meja kerja DPR RI selama 14 tahun. Jika tidak segera disahkan, Christina menyebut akan banyak kelangsungan hidup masyarakat adat yang terancam karena tak kunjung mendapat pengakuan.

Berdasarkan data Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) pada 9 Agustus 2022, sebanyak 1.119 peta wilayah adat dengan cakupan lahan seluas 20,7 juta hektare telah terdaftar. Namun, dari jumlah itu baru 3,1 juta hektar yang memperoleh pengakuan pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota.

Di tingkat nasional, lebih sedikit lagi. Di Papua saja, penetapan hutan adat pertama oleh pemerintah pusat baru terjadi di dua daerah, yaitu Kabupaten Jayapura (enam wilayah hutan adat dengan total 24.582,9 hektare) dan Kabupaten Teluk Bintuni (satu wilayah hutan adat seluas 16.299 hektare). Keputusan itu diserahkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) VI pada 24 Oktober 2022 di Stadion Barnabas Youwe, Jayapura.

Tentu saja para tokoh masyarakat adat dan sejumlah lembaga terkait di Sorong maupun Sorong Selatan ingin mengikuti jejak Jayapura dan Teluk Bintuni. Di Bariat, Adrianus sudah menyatakan sikap, bahwa masyarakat Afsya tidak akan memberikan peluang sekecil apa pun kepada perusahaan kelapa sawit untuk masuk ke wilayahnya. 

“Kami minta supaya pemerintah jangan menjadikan hutan kami sebagai salah satu objek [eksploitasi] apa pun untuk [menguntungkan] kehidupan mereka. Terutama kepada rekan-rekan kami orang Papua, yang jadi bupati, yang jadi camat, yang jadi apa pun, [juga] dinas-dinas terkait,” tegas suami Dorcila Gemnasi itu, “kalau orang Papua sudah sengaja menjual tempat (hutan) kami, berarti dia lupa diri sebagai anak adat.”

Jalan Panjang Pengakuan Hutan Adat di Sorong dan Sorong Selatan
Adrianus Kemeray memanggul pelepah sagu di hutan adat Kampung Bariat/Deta Widyananda

Sampai sekarang, masyarakat subsuku Afsya di Bariat bersama Yayasan Pusaka Bentala Rakyat masih memperjuangkan kampung dan hutan adat 3.307,717 ha agar mendapat pengakuan negara. Embusan napas perjuangan yang turut ditempuh oleh kampung-kampung lain di Papua Barat Daya. Lembaga-lembaga nirlaba, seperti EcoNusa dan Greenpeace juga berperan memberi pendampingan pemetaan hingga advokasi untuk menjembatani aspirasi masyarakat dengan pemerintah.

Selain urusan administrasi dan advokasi, gerakan sosial pun juga bagian dari upaya melawan keserakahan. Bagaimanapun bentuknya. Seperti halnya suku Awyu di Boven Digoel, Papua Selatan, yang memasang banyak salib merah dari kayu di hutan-hutan adat mereka yang terancam serbuan kelapa sawit. Atau, gerilya Mama Yasinta Moiwend dan masyarakat adat Marind-Anim terdampak food estate di Merauke, datang langsung ke Jakarta dengan berlumur lumpur putih (poo) di sekujur tubuh sebagai bentuk duka.

Di tengah upaya perebutan ruang hidup masyarakat adat oleh negara maupun swasta, pengakuan wilayah hutan adat semestinya jadi keniscayaan. Segala perjuangan maupun perlawanan untuk itu harus jadi berarti. Papua memang sangat jauh dari Jakarta, dari ibu kota negara. Tapi, itu bukan berarti jauh dari pantauan. ‘Papua bukan tanah kosong’ itu bukan omong kosong. 

Seperti halnya adat yang melekat pada sendi-sendi kehidupan masyarakat, perjuangan untuk melestarikan alam dan kebudayaan adalah perjalanan yang tidak akan pernah selesai. Tidak akan mudah, tetapi belum tentu mustahil. (*)


Foto sampul:
Yulian Kareth, ketua adat subsuku Afsya Kampung Bariat, Sorong Selatan/Deta Widyananda

Pada Agustus–September 2024, tim TelusuRI mengunjungi Sorong dan Sorong Selatan di Papua Barat Daya, serta Jayapura di Papua, dalam ekspedisi Arah Singgah: Suara-suara dari Timur Indonesia. Laporan perjalanannya dapat Anda ikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Jalan Panjang Pengakuan Hutan Adat di Sorong dan Sorong Selatan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/jalan-panjang-pengakuan-hutan-adat-di-sorong-dan-sorong-selatan/feed/ 0 45253
Ekowisata Malagufuk: Menjaga Rumah Cenderawasih, Bukan “Cenderasawit” https://telusuri.id/ekowisata-malagufuk-menjaga-rumah-cenderawasih-bukan-cenderasawit/ https://telusuri.id/ekowisata-malagufuk-menjaga-rumah-cenderawasih-bukan-cenderasawit/#respond Wed, 08 Jan 2025 09:00:44 +0000 https://telusuri.id/?p=45214 Masyarakat Gelek Kalami dan Magablo di Malagufuk memilih ekowisata sebagai jalan hidup untuk keseimbangan ekonomi dan ekologis. Bertekad menjadi benteng terakhir hutan adat Moi di Papua Barat Daya, baik untuk manusia maupun segala keanekaragaman hayati...

The post Ekowisata Malagufuk: Menjaga Rumah Cenderawasih, Bukan “Cenderasawit” appeared first on TelusuRI.

]]>
Masyarakat Gelek Kalami dan Magablo di Malagufuk memilih ekowisata sebagai jalan hidup untuk keseimbangan ekonomi dan ekologis. Bertekad menjadi benteng terakhir hutan adat Moi di Papua Barat Daya, baik untuk manusia maupun segala keanekaragaman hayati di dalamnya.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda, Rifqy Faiza Rahman, dan Mauren Fitri


Ekowisata Malagufuk: Menjaga Rumah Cenderawasih, Bukan “Cenderasawit”
Fasilitas menginap tamu yang berkunjung untuk birdwatching di Malagufuk. Terdapat pondok tamu untuk briefing dan tempat makan (paling kiri), lalu homestay dan glamping/Rifqy Faiza Rahman

Ada satu kawasan gabungan yang mencakup lima kampung adat suku Moi Kelim di Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya. Namanya Malaumkarta Raya. Terdiri dari Malaumkarta sebagai kampung induk, diikuti tiga kampung lain yang juga terletak di pantai utara Distrik Makbon, yaitu Suatolo, Sawatuk, dan Mibi. 

Kemudian satu kampung lagi bernama Malagufuk. Kampung ini mulanya berstatus kampung persiapan, sehingga usianya paling muda se-Malaumkarta Raya. Berbeda dengan empat kampung lain yang berada di pesisir, Malagufuk “tersembunyi” di dalam hutan lebat. Jalan poros Sorong–Tambrauw–Manokwari memisahkan kawasan hutan itu dengan kawasan pesisir. 

Dari pinggir jalan, permukiman kecil Malagufuk belum bisa langsung terlihat mata. Di atas dataran lapang lapang seluas 2–3 kali lapangan futsal, “sambutan” bagi para tamu yang hendak berkunjung ke kampung hanya ada dua papan informasi—yang memuat nama kampung dan keanggotaan Gereja Kristen Injili di Tanah Papua (GKI)—serta sebuah salib kayu bercat putih berkalungkan pita kain berwarna ungu yang berdiri tegak di atas tanah. Kemudian terdapat bangunan seperti rumah—atau mungkin mirip kantor kelurahan—di sebelah timur, yang lebih sering tertutup rapat kecuali ada keperluan. Ada satu-dua sepeda motor yang tersimpan di dalamnya, milik warga Malagufuk.

Di latar belakang, kerimbunan belantara tropis penuh pohon besar menjulang seperti mengundang siapa pun untuk masuk. Jembatan kayu tampak kukuh di mulut hutan, bersanding gemericik kali kecil dengan air sebening kaca. Dari sanalah, lorong alam Hutan Klasow akan mengantar langkah kaki menuju sebuah tempat di mana manusia berharmoni dengan alam. Tempat cenderawasih-cenderawasih menari dan bernyanyi dengan nyaman.

Ekowisata Malagufuk: Menjaga Rumah Cenderawasih, Bukan “Cenderasawit”
Gerbang masuk menuju Kampung Malagufuk. Pintu hutan berada di bagian kanan foto ini/Rifqy Faiza Rahman

Ketenangan di pedalaman Hutan Klasow

Perlu usaha ekstra untuk mencapai Kampung Malagufuk. Sebenarnya hanya perlu 3,5 kilometer saja dengan jalan kaki dari pintu hutan ke permukiman terpencil yang dihuni kurang dari 20 kepala keluarga tersebut. Rinciannya, 3,3 kilometer meniti jembatan kayu selebar dua meter, sisanya menapak jalan tanah berselimut rumput ke rumah keluarga sekaligus kantor Kepala Kampung Amos Kalami.

Kata Torianus Kalami (47), tokoh Moi dan ketua Perkumpulan Generasi Malaumkarta (PGM), pada 2021 Museum Rekor Indonesia (MURI) mencatat jembatan berbahan kayu besi (pohon merbau) itu sebagai salah satu jembatan kayu terpanjang di Indonesia. Pengerjaan jembatan mencapai 17 bulan, didukung penuh oleh Pemerintah Kabupaten Sorong, yang saat itu dipimpin Bupati Johny Kamuru. 

Alih-alih membuka akses atas nama pariwisata dan memanjakan kendaraan bermotor, pembangunan jembatan kayu justru memenuhi kaidah ekowisata berkelanjutan karena ramah lingkungan. “Papan-papan kayunya saja tidak berasal dari Malagufuk, tapi dari hutan di tempat lain,” kata pria yang akrab dipanggil Kaka Tori itu.

Jembatan panjang tersebut dibuat sekitar semeter lebih tinggi dari permukaan tanah yang lembek. Saat hujan deras, tanah akan becek dan berlumpur, bahkan tergenang di beberapa titik. Nuansa alami dan penuh petualangan terasa kental. Begitu memulai langkah kaki pertama, serasa terisap ke dimensi yang berbeda. Senyap, tiada kebisingan selain kicau burung dan suara-suara serangga hutan. Teriknya jalan beraspal Sorong–Manokwari lenyap seketika tatkala berjalan semakin jauh, semakin dalam memasuki rimbunnya belantara yang disebut Hutan Klasow oleh warga Malagufuk. Kami juga melewati satu-dua aliran kali (sungai kecil) berair jernih yang bisa digunakan untuk sekadar membasuh muka. 

Butuh waktu tempuh hampir satu jam untuk tiba di kampung. Kaki-kaki orang lokal tentu jauh lebih lincah dan kuat, meski harus mendorong troli merah berisi barang bawaan tamu berkilo-kilo beratnya. Sebab, mereka terbiasa berjalan tanpa alas kaki di hutan, sehingga telapak kaki seperti lengket begitu saja tanpa khawatir terpeleset.

Ekowisata Malagufuk: Menjaga Rumah Cenderawasih, Bukan “Cenderasawit”
Mauren, ketua tim ekspedisi, menyusuri jembatan kayu terpanjang menuju Kampung Malagufuk/Deta Widyananda

Sesekali saya mengecek lokasi terkini lewat aplikasi Google Maps di ponsel. Sinyal hilang timbul, tentu saja. Dari satelit, jembatan kayu ini tidak terlacak sebagai akses jalan. Tertutup hutan lebat seolah-olah tak tertembus. 

“Nanti di kampung sinyal bagus, kaka. Ada tower di kampung,” celetuk Gustap, pemuda Malagufuk yang juga bekerja sebagai pemandu dan porter. Ia dan Lamber, kerabatnya, ikut pulang menumpang mobil kami dari jalan poros Sorong-Makbon di Klawuyuk, setelah mengantar tamu ke bandara. Belakangan saya tahu menara sinyal itu bantuan dari program BAKTI Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Letak pemancar Base Transceiver Station (BTS) bertenaga surya itu berada di ujung timur kampung, dekat pondok tamu. 

Jembatan kayu itu akhirnya menemui ujung seiring terbukanya vegetasi hutan. Sebuah gapura lebar yang terbuat dari batang-batang pohon menyambut. Di sebelah kanan tertulis “Eco Village Malagufuk” dan ukiran kriya berbentuk burung cenderawasih kuning-kecil. Di sebelah kiri, terpampang informasi potensi burung cenderawasih di habitat aslinya serta larangan perburuan liar dan perusakan hutan. Pada bagian atas, deretan kata berbahasa Moi menempel pada sebuah papan kayu bertuliskan Bok Feden Paw Malagufuk: Selamat Datang di Kampung Malagufuk. 

Informasi visual tersebut merupakan bentuk penegasan kepada siapa pun yang datang. Dalam satu dekade terakhir, ekowisata birdwatching atau pemantauan burung dipilih sebagai jalan hidup untuk meningkatkan taraf ekonomi masyarakat marga (gelek) Kalami dan Magablo di Malagufuk. Tidak hanya berbasis masyarakat, tetapi juga berkelanjutan. 

  • Ekowisata Malagufuk: Menjaga Rumah Cenderawasih, Bukan “Cenderasawit”
  • Ekowisata Malagufuk: Menjaga Rumah Cenderawasih, Bukan “Cenderasawit”

Dari bukan siapa-siapa, kini mendunia

Berkah Tuhan karena kegigihan menjaga hutan dan menjaga rumah cenderawasih. Kiranya demikian ungkapan yang tepat melihat perkembangan ekowisata berkelanjutan di Malagufuk beberapa tahun terakhir. Kampung termuda di kawasan Malaumkarta Raya, Distrik Makbon, Kabupaten Sorong itu jadi tujuan para pengamat burung (birder) dari seluruh dunia. 

Charles Roring adalah salah satu nama yang sangat berperan dalam pengembangan ekowisata birdwatching di Malagufuk kurang dari sedekade lalu. Pemandu spesialis pengamatan burung berdarah Manado yang tumbuh besar di Manokwari itu mereplikasi kesuksesan serupa di Kampung Kwau, Pegunungan Arfak sebelumnya. Padahal, konsep pariwisata atau ekowisata belum pernah ada dalam kamus kehidupan masyarakat Malagufuk

“Dulu Malagufuk belum ada rumah-rumah panggung seperti sekarang, apalagi penginapan. Beberapa keluarga itu kumpul dalam satu-dua tenda terpal di pinggir hutan, yang sekarang dibangun jadi dapur umum untuk mama-mama menyiapkan makanan tamu,” kenang Charles. Saat itu, jembatan kayu belum dibangun seperti sekarang. Hanya titian kayu sederhana yang membentang di atas tanah. Saat hujan deras, langkah kaki akan berat karena terbenam lumpur.

Ekowisata Malagufuk: Menjaga Rumah Cenderawasih, Bukan “Cenderasawit”
Charles Roring hendak mengamati burung dengan spotting scope atau teropong bidik milik tamu asing yang ia pandu ke Malagufuk/Mauren Fitri

Titik balik Malagufuk mulai terjadi pada pengujung 2014, ketika ia membawa tamu dari Eropa dan mulai mengenalkan Malagufuk kepada dunia. Amos Kalami, yang sedari awal sudah menjadi kepala kampung, seperti diungkap Charles, kaget ketika mengetahui lambat laun kampung kecilnya mulai ramai turis dengan peralatan fotografi lengkap dan lensa-lensa berukuran besar. 

Popularitas Malagufuk mencapai puncak setelah Charles mendampingi tamu dari Prancis. Ia adalah jurnalis foto dari Agence France-Presse (AFP), kantor berita internasional yang bermarkas di Paris. Jurnalis tersebut ingin meliput potensi ekowisata dan bahaya deforestasi akibat rencana ekspansi perusahaan kelapa sawit yang mengancam keanekaragaman hayati endemis di hutan Malagufuk.

Foto-foto dan hasil liputan AFP pun menyebar ke seluruh dunia. Di sisi lain, Charles juga cukup rutin menulis tentang tur ekowisata birdwatching di Papua melalui blog pribadinya wildlifepapua.com, yang dikunjungi ribuan orang per bulannya. Sampai-sampai ia punya tamu-tamu langganan pegiat birdwatching yang tertarik pergi ke Papua untuk melihat cenderawasih, karena membaca blog Charles dan paket wisata yang ia tawarkan. Sorotan dunia melalui informasi jurnalistik tersebut membuat orang-orang—terutama pemerintah setempat dan masyarakat Moi—lambat laun menyadari pentingnya menjaga Hutan Klasow sebagai habitat cenderawasih dan satwa-satwa endemis Papua tersebut.

Sebagai tanggung jawab moral, secara bertahap Charles membina dan mendampingi masyarakat Malagufuk tentang cara mengelola ekowisata berkelanjutan. Khususnya kepada anak-anak muda. Ia mengajari cara memandu, melayani tamu, dan melakukan pemetaan lokasi-lokasi burung maupun satwa endemis lain di hutan. 

Saat ini manajemen ekowisata di Malagufuk dipercayakan ke Opyor Jhener Kalami alias Opi (28), putra kedua pasangan Amos Kalami dan Batseba Mobilala. Opi, dibantu orang muda Malagufuk yang sebenarnya masih memiliki hubungan keluarga, mengelola pelayanan kepada tamu yang datang dan pergi, mengatur reservasi, memandu, sampai dengan promosi di media sosial. Tidak terhitung berapa kali mereka bolak-balik Sorong–Malagufuk (55 km) untuk menjemput dan mengantar tamu domestik maupun asing. Perputaran uang dari penjualan paket tur pengamatan burung bisa mencapai ratusan juta rupiah per tahunnya.

Kiri: Antre menunggu giliran pengamatan burung cenderawasih raja di anjungan pandang sederhana. Tampak pemandu muda Gustap (dua dari kiri), ditemani Brampi (paling belakang) ikut mengobrol dengan kami saat menunggu rombongan tamu dari Cina yang sedang memotret di atas. Kanan: Opi membantu mengarahkan Deta membidik gambar cenderawasih raja/Rifqy Faiza Rahman

“Soal keahlian bahasa Inggris itu bisa sambil jalan pelan-pelan. Yang penting selalu saya tekankan untuk jangan silau dengan uang yang banyak dari hasil memandu tamu,” tegas Charles. Ia juga mengarahkan Opi dan teman-teman membatasi jumlah kunjungan tamu per harinya, agar ada jeda bagi mereka dan alam untuk beristirahat.

Pernyataan itu mengingatkan bahwa pengembangan ekowisata berkelanjutan membutuhkan kolaborasi banyak pihak. Terbangunnya pondok tamu, homestay, glamping, dan fasilitas lain yang memoles citra Malagufuk sebagai eco-village juga hasil dari kolaborasi lembaga perbankan, organisasi nirlaba, pemerintah, dan banyak lagi. Semua pemangku kepentingan harus bersinergi agar terjadi keseimbangan kebutuhan ekonomi dan pelestarian lingkungan di Malagufuk.

Kini, di Papua, Malagufuk diperhitungkan sebagai destinasi utama birdwatching selain Raja Ampat, Pegunungan Arfak, dan Jayapura. Sebab, hanya di pulau besar di timur Indonesia inilah (dan sedikit di Halmahera) burung surga itu bisa terlihat dengan mudah di hutan. Biasanya, para tamu akan sekalian berkunjung setelah menyelam atau melihat burung di Raja Ampat. 

Terutama saat musim kawin cenderawasih sepanjang Juni–Oktober. Ratusan hingga ribuan fotografer datang berbondong-bondong. Mereka rela berjalan menempuh berkilo-kilometer di jalur berlumpur, memanggul kamera dan lensa sapu jagad demi momen mahal seumur hidup. Bahkan jika gagal mendapatkan momen itu dalam satu hari, mereka akan menginap beberapa hari lagi di Malagufuk sampai misinya berhasil. 

Saat ini kurang lebih ada sekitar lima spesies cenderawasih yang terlihat di Malagufuk: cenderawasih kuning-kecil (Paradisaea minor), cenderawasih kuning-besar (Paradisaea apoda), cenderawasih raja (Cicinnurus regius), cenderawasih mati-kawat (Seleucidis melanoleucus), dan toowa cemerlang (Ptiloris magnificus). Selain cenderawasih, beberapa burung endemis lainnya yang kerap ditemui antara lain taun-taun atau julang papua (Rhyticeros plicatus), aneka cekakak atau dikenal dengan sebutan kingfisher, dan kasuari.

Sebagai informasi, biasanya Opi dan kawan-kawan akan mengajak tamu melihat cenderawasih dalam dua sesi, yaitu pagi dan sore. Tidak hanya cenderawasih. Terkadang tamu juga meminta ditemani trekking malam untuk melihat satwa-satwa nokturnal, seperti kanguru tanah, kanguru pohon, burung hantu, sampai dengan ekidna atau nokdiak (biasa disebut landak semut atau babi duri). Tamu-tamu ini rela merogoh kocek dalam-dalam demi pengalaman berharga tersebut.

  • Ekowisata Malagufuk: Menjaga Rumah Cenderawasih, Bukan “Cenderasawit”
  • Ekowisata Malagufuk: Menjaga Rumah Cenderawasih, Bukan “Cenderasawit”
  • Ekowisata Malagufuk: Menjaga Rumah Cenderawasih, Bukan “Cenderasawit”
  • Ekowisata Malagufuk: Menjaga Rumah Cenderawasih, Bukan “Cenderasawit”
  • Ekowisata Malagufuk: Menjaga Rumah Cenderawasih, Bukan “Cenderasawit”

Sejumlah satwa yang menghuni Hutan Klasow Malagufuk. Secara berurutan, terdapat cenderawasih kuning-kecil, cenderawasih raja, toowa cemerlang, ekidna, dan katak jantan Platymantis paepkei sp.

Ekowisata untuk menjaga masa depan anak cucu

Charles menjelaskan, ekowisata dengan minat khusus seperti pengamatan burung merupakan ceruk ekonomi potensial, tetapi belum digarap secara serius di Indonesia. Padahal, Indonesia merupakan rumah bagi lebih dari 1.700 spesies burung (nyaris 17% persen burung di dunia) yang memikat para penggemar burung.

Menurut data Grand View Research, nilai jasa industri ekowisata pengamatan burung global diperkirakan mencapai USD 62,73 miliar pada 2023 lalu. Mulai tahun ini sampai 2030 diproyeksikan nilainya tumbuh sebesar 6,2%. Kawasan Amerika Utara—di dalamnya terdapat Kanada, Amerika Serikat, dan Meksiko—menyumbang pangsa sebesar 27,79% dari total pendapatan global tersebut. 

Tampaknya, ada peningkatan terhadap kesadaran lingkungan, konservasi, dan perlindungan keanekaragaman hayati di hutan, sehingga mendorong orang ingin melakukan perjalanan ekowisata untuk mendapatkan pengalaman baru. Sumbangsih dari perjalanan tersebut dapat mempromosikan upaya pengelolaan sumber daya alam yang lebih baik dan mengapresiasi ekosistem yang terbangun antara manusia dan alam.

“Bayangkan di Amerika saja bisa segitu [pendapatan ekowisata]. Padahal, [keanekaragaman burung endemis] Indonesia lebih kaya, khususnya Papua,” ujar Charles. Namun, ia mengingatkan tantangan klasik yang masuk daftar teratas dalam menghambat peluang tersebut. Ia menilai, “Di Indonesia ini [terutama Papua], birokrasi pengelolaan kawasan konservasi dan pengakuan hutan adat terlalu berbelit-belit. Banyak aturan tumpang tindih.”

Ekowisata Malagufuk: Menjaga Rumah Cenderawasih, Bukan “Cenderasawit”
Opi mendorong gerobak atau troli penuh muatan barang milik tamu di jembatan kayu. Selain memandu, umumnya pemuda Malagufuk juga bisa bekerja merangkap sebagai porter/Rifqy Faiza Rahman

Di banyak tempat, seperti jamak diketahui, kapitalisme berkedok investasi atas nama pembangunan kerap mencerabut hak ulayat, peran, dan keberdayaan masyarakat hukum adat. Tak terkecuali kelapa sawit. Puluhan ribu hektare tanah adat Moi di Kabupaten Sorong telah beralih fungsi menjadi lahan konsesi perkebunan sawit. 

Berita terhangat tentu saja ketika masyarakat suku Moi Sigin melawan rencana PT Sorong Agro Sawitindo (SAS) yang akan membabat 18.160 hektare hutan adat Moi Sigin di Distrik Segun, Kabupaten Sorong. Suku Moi melakukan aksi demo di Jakarta bersama suku Awyu dari Boven Digoel, Papua Selatan, yang menyuarakan keresahan serupa atas upaya perebutan tanah adat oleh perusahaan sawit. Sebelumnya PT SAS telah memegang konsesi seluas 40 ribu hektare (ha) di Distrik Segun, Klawak, dan Klamono. Namun, Bupati Sorong Johny Kamuru mencabut izin perizinan PT SAS pada 2021, yang diperkuat pencabutan izin pelepasan kawasan dan izin usaha oleh pemerintah pusat pada 2022. PT SAS menggugat balik pemerintah ke PTUN Jakarta karena tidak terima dengan keputusan tersebut.

Selain PT SAS, ada tiga perusahaan kelapa sawit lainnya yang dicabut izinnya oleh Johny Kamuru pada tahun yang sama. PT Cipta Papua Plantation di Distrik Mariat dan Sayosa dengan lahan seluas 15.671 ha, PT Papua Lestari Abadi di Distrik Segun dengan luas lahan 15.631 ha, dan PT Inti Kebun Lestari di Distrik Salawati, Klamono, dan Segun dengan luas lahan 34.400 ha.

Masifnya ekspansi sawit di Sorong terdengar sampai telinga Opi. Ia tidak ingin Malagufuk bernasib sama. Opi menyebut, tidak sedikit di antara spesies burung cenderawasih yang ada di Malagufuk saat ini, sebelumnya berasal dari wilayah adat kampung lain di Sorong yang—sayangnya—hutannya sudah hilang akibat sawit.

“Jadi, itu yang saya takut sebenarnya, kalau misalnya ada kelapa sawit masuk,” ungkap Opi khawatir. Sebab, Hutan Klasow telah menjadi rumah aman bagi cenderawasih. Dan cenderawasih adalah salah satu burung yang membawa dampak peningkatan ekonomi kampungnya lewat ekowisata. “Jangan sampai anak cucu kami tidak melihat cenderawasih lagi, tetapi nanti mereka [hanya] melihat ‘cenderasawit’.”

Ekowisata Malagufuk: Menjaga Rumah Cenderawasih, Bukan “Cenderasawit”
Opi dengan kostum adat suku Moi. Generasi muda sepertinya mengemban tanggung jawab besar untuk menjaga hutan agar ekowisata Malagufuk bisa berkelanjutan/Deta Widyananda

Opi menegaskan, masyarakat Malagufuk akan mati-matian menjaga Hutan Klasow (nama lain hutan Malagufuk). Ia tidak ingin Malagufuk tersentuh industri ekstraktif—seperti sawit atau tambang—sejengkal tanah pun. Jika ada yang nekat masuk hutan berburu burung atau merambah lahan ilegal untuk kepentingan bisnis, itu sama saja memicu genderang perang.

Masyarakat Malagufuk telah lama mewarisi kemampuan nenek moyang dalam memanfaatkan sumber daya hutan seperlunya, lalu memakai hasil hutan tersebut secukupnya. Mulai dari mencari bahan makanan dan minuman, meramu obat-obatan tradisional, sampai dengan menggunakan kayu untuk membangun rumah, gereja, dan gedung sekolah.

Bagi orang Moi, hutan adalah tam sini, yang berarti hutan itu ibu atau mama. Mama sang pemberi segala sumber kehidupan, yang harus dihormati dan diwariskan pengetahuannya secara turun-temurun sampai generasi-generasi selanjutnya. Seorang anak memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga hutan, sebagaimana yang dilakukan orang tuanya.

Selanjutnya, bagaimana nasib Malagufuk di masa depan tergantung pada komitmen dan konsistensi bersama para gelek Kalami-Magablo dalam menjamin keberlanjutan itu. Yang jelas, orang Moi punya rumus hidup seperti kata Opi, “Ko jaga alam, alam akan jaga ko nanti.”


Foto sampul:
Toowa cemerlang, spesies burung pengicau yang termasuk dalam keluarga cenderawasih/Deta Widyananda

Pada Agustus–September 2024, tim TelusuRI mengunjungi Sorong dan Sorong Selatan di Papua Barat Daya, serta Jayapura di Papua, dalam ekspedisi Arah Singgah: Suara-suara dari Timur Indonesia. Laporan perjalanannya dapat Anda ikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Ekowisata Malagufuk: Menjaga Rumah Cenderawasih, Bukan “Cenderasawit” appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/ekowisata-malagufuk-menjaga-rumah-cenderawasih-bukan-cenderasawit/feed/ 0 45214
Hidup Berbudaya ala Suku Moi di Malaumkarta Raya https://telusuri.id/hidup-berbudaya-ala-suku-moi-di-malaumkarta-raya/ https://telusuri.id/hidup-berbudaya-ala-suku-moi-di-malaumkarta-raya/#respond Tue, 07 Jan 2025 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45118 Jauh sebelum republik ini berdiri, suku Moi telah memiliki konsep tata kelola kehidupan berbasis adat dan bernapas selaras dengan alam. Masyarakat lintas generasi di Malaumkarta Raya bersepakat menjadikan kampung-kampung mereka sebagai ruang aman terakhir untuk...

The post Hidup Berbudaya ala Suku Moi di Malaumkarta Raya appeared first on TelusuRI.

]]>
Jauh sebelum republik ini berdiri, suku Moi telah memiliki konsep tata kelola kehidupan berbasis adat dan bernapas selaras dengan alam. Masyarakat lintas generasi di Malaumkarta Raya bersepakat menjadikan kampung-kampung mereka sebagai ruang aman terakhir untuk segala makhluk hidup di Tanah Malamoi.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda & Rifqy Faiza Rahman


Hidup Berbudaya ala Suku Moi di Malaumkarta Raya
Foto udara Kampung Malaumkarta yang berada di pesisir utara Distrik Makbon. Tampak latar perbukitan dan hutan lebat yang bisa tembus sampai Kampung Malagufuk, yang juga termasuk dalam kawasan adat suku Moi bernama Malaumkarta Raya/Deta Widyananda

Sebagai daerah yang berada di wilayah Semenanjung Doberai, atau dikenal juga dengan Semenanjung Kepala Burung Papua, Sorong menjadi pintu gerbang bumi cenderawasih dari sisi barat. Namanya kesohor karena menjadi titik awal menuju wisata bahari Kepulauan Raja Ampat yang mendunia.

Arus lalu lintas pariwisata, perdagangan, dan perkembangan teknologi membuat ibu kota baru Provinsi Papua Barat Daya (pemekaran dari Papua Barat) tersebut selalu tampak sibuk dan menggeliat. Keramaiannya menyamai Jayapura, ibu kota Provinsi Papua. Jejak historis sebagai “Kota Minyak”—terlihat dari peninggalan sumur minyak tua di Klamono oleh perusahaan minyak Belanda Nederlands Nieuw-Guinea Petroleum Maatschappij (NNGPM) pada 1936—kian menguatkan Sorong sebagai kawasan niaga yang sudah menjanjikan sejak masa lampau.

Kondisi tersebut secara kasatmata tampak baik-baik saja, tetapi di sisi lain menyimpan keresahan. Menurut Torianus Kalami (47), tokoh Moi dan ketua Perkumpulan Pemuda Generasi Malaumkarta, modernisasi bisa mengancam eksistensi budaya, khususnya suku Moi yang merupakan komunitas adat terbesar di Kabupaten Sorong. Sasaran kekhawatiran itu terutama tertuju pada generasi muda. Tidak terakomodasinya kurikulum adat di dalam kebijakan pemerintah atau tingkat pendidikan dasar disinyalir jadi penyebab. Bahkan sekolah adat sudah lama vakum, sehingga para tetua tidak menurunkan pengetahuan adat kepada generasi penerus.

Namun, Kaka Tori—sapaan akrabnya—masih menyimpan harapan besar. Pengalaman kerja, jejaring sosial, hingga kiprahnya sebagai mantan anggota legislatif daerah, turut mendorong upaya pelestarian kebudayaan Moi. Salah satu bukti kerjanya adalah berhasil mengegolkan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Sorong Nomor 10 Tahun 2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Moi di Kabupaten Sorong. Payung hukum ini melegitimasi keberadaan suku Moi sebagai komunitas adat dan pemilik hak ulayat yang sah di Tanah Malamoi—sebutan wilayah Sorong. 

Hidup Berbudaya ala Suku Moi di Malaumkarta Raya
Opyor Jhener Kalami dan Soraya Doo, representasi generasi muda suku Moi dengan kostum adat di Hutan Malagufuk. Ciri khas pakaian adat suku Moi, khususnya laki-laki, terletak pada kain merah yang digunakan seperti sarung untuk menutupi cawat/Deta Widyananda

Konsep konservasi alam berbasis adat

Malaumkarta Raya merupakan kawasan wilayah adat gabungan dari lima kampung di Distrik Makbon, yaitu Malaumkarta sebagai kampung induk, lalu empat kampung hasil pemekaran: Suatolo, Sawatuk, Mibi, dan Malagufuk. Nama kampung terakhir telah masyhur sebagai destinasi kegiatan pengamatan burung cenderawasih di Papua. Sebagian besar masyarakat di wilayah ini merupakan bagian dari subetnik Moi Kelim dan berprofesi sebagai nelayan. Selain Kelim, tujuh subetnik Moi lainnya adalah Legin, Abun, Karon, Klabra, Moraid, Sigin, dan Maya.

Malaumkarta memiliki riwayat sejarah yang cukup berliku dan erat dengan peristiwa Pembebasan Irian Barat 1962. Para prajurit Kodam Brawijaya membangunnya sebagai kampung pengungsian dari warga-warga dusun sekitar yang terpencar karena menghindari bahaya semasa pendudukan Belanda di Irian Barat. Termasuk Pulau Um, pulau kecil berpasir putih di seberang Malaumkarta. Kampung baru itu untuk sementara dinamakan Brawijaya.

Sampai akhirnya hasil pemungutan suara dalam Penentuan Pendapat Rakyat tahun 1969 di Jakarta menentukan Irian Barat sah bergabung dengan Indonesia. Irian Barat kemudian berubah menjadi Papua Barat, yang lalu pada 2022 dimekarkan kembali jadi Papua Barat dan Papua Barat Daya. Para delegasi adat pun pulang ke kampung. Sepulangnya prajurit Kodam Brawijaya, masyarakat menyepakati pembentukan nama baru menjadi Malaumkarta. Mala dalam bahasa Moi berarti ‘gunung’—merujuk bukit tinggi berhutan lebat di selatan kampung, Um adalah pulau kecil seluas hampir 4 hektare itu, dan karta yang diambil dari ‘Jakarta’, lokasi tokoh adat yang mengikuti Pepera 1969.

Di balik sejarah panjang tersebut, Kaka Tori menegaskan masyarakat Moi umumnya masih mempertahankan adat yang diwariskan nenek moyang turun-temurun. Bahkan bukan hanya di Malaumkarta Raya, melainkan juga berlaku di kampung-kampung lain di wilayah Sorong Raya. Salah satu yang sangat prinsip adalah penetapan tata ruang atau wilayah adat. 

“Sebelum Indonesia (Kementerian Kehutanan) punya kebijakan atau zonasi kawasan konservasi, orang Moi sudah memilikinya lebih dulu,” tegas pria yang tidak pernah makan nasi seumur hidupnya itu. Kaka Tori menyebut sistem zonasi suku Moi sudah ada sejak zaman nenek moyang. Perlakuannya pun lebih ketat daripada konsep kawasan konservasi yang umumnya kita kenal, seperti cagar alam, suaka margasatwa, dan taman nasional.

Ia mengungkap suku Moi memiliki tiga wilayah adat sesuai cakupan dan peruntukannya, yaitu egek, kofok, dan soo. Jika menggunakan definisi kawasan konservasi ala negara, egek adalah zona pemanfaatan terbatas, sedangkan kofok adalah zona inti, dan soo merupakan zona inti khusus. 

Hidup Berbudaya ala Suku Moi di Malaumkarta Raya
Opyor memandangi pohon merbau atau biasa dikenal dengan sebutan kayu besi, yang diperkirakan berusia ratusan tahun. Biasanya kayu merbau dimanfaatkan secara terbatas oleh masyarakat untuk kebutuhan membangun rumah. Dalam sistem adat suku Moi, pohon-pohon besar seperti ini biasanya digunakan sebagai penanda batas wilayah adat antarmarga atau antarkeluarga/Deta Widyananda

Egek, dalam bahasa Moi berarti larangan. Meskipun demikian, kawasan atau lahan yang ditetapkan sebagai zona egek—misal ladang berkebun, dusun sagu, hutan, dan kawasan perairan sungai atau laut—masih bisa dimanfaatkan seperlunya selama waktu tertentu sesuai kesepakatan adat. Bisa dibilang egek adalah zona terluar dan terbatas. 

Sementara dua zona lainnya memiliki tingkat kesakralan lebih tinggi dibanding egek. Wilayah kofok bisa dibilang sebagai tempat keramat. Di kofok, para sesepuh adat biasa menggunakannya untuk keperluan sekolah atau pendidikan adat, agar kaderisasi maupun regenerasi pemimpin adat terjaga. Adapun soo berhubungan dengan elemen religi atau spiritual, yang sifatnya sangat terlarang untuk sekadar dilewati atau bahkan diakses oleh siapa saja, termasuk ketua adat sekalipun. Wilayah soo juga berarti tempat untuk para arwah.

Sepintas pembagian wilayah adat ala suku Moi tersebut tampak rumit. Namun, tata ruang seperti itu berimplikasi positif pada beberapa aspek penting. Mulai dari pengaturan lahan untuk permukiman penduduk, area berladang atau melaut sebagai sumber pencaharian masyarakat, hingga menjaga ruang hidup keanekaragaman hayati di alam. Setiap marga atau gelek memiliki dan menghormati porsi hak ulayatnya masing-masing.

Sebagai contoh, di kawasan hutan, masyarakat hanya boleh berburu babi hutan. Itu pun menurut Opyor Jhener Kalami (28), pemuda Malagufuk, perburuan babi hutan sudah mulai dibatasi untuk menjaga keseimbangan rantai makanan alam. Kaka Tori memberi contoh menarik yang menggambarkan praktik zonasi ini. 

Misalnya, ada orang dari marga Kalami sedang berburu babi hutan di wilayah adat miliknya. Kemudian ia berhasil menombak seekor babi hutan, tetapi satwa tersebut baru roboh dan mati di lahan adat milik marga Magablo. Maka, si pemburu tidak berhak membawanya pulang. 

“Pemburu itu harus melapor ke pemilik tanah, bahwa babi hutan buruannya jatuh di wilayahnya. Ia hanya boleh mencabut dan mengambil tombaknya setelah meminta izin,” terang Kaka Tori. “Nanti dia akan bilang, ‘Pace, sa kasih mati babi di ko punya tanah. Sa permisi ambil sa punya tombak, babi itu buat ko’. Jadi, begitulah cara orang Moi menghargai wilayah adat.”

  • Hidup Berbudaya ala Suku Moi di Malaumkarta Raya
  • Hidup Berbudaya ala Suku Moi di Malaumkarta Raya
  • Hidup Berbudaya ala Suku Moi di Malaumkarta Raya

Jems Su (27), menunjukkan tiga cara nelayan Malaumkarta menangkap ikan secara ramah lingkungan: (1) memancing dengan kail; (2) menyelam dangkal dengan kacamata selam kayu atau snorkel, lalu menggunakan senapan ikan tradisional (harpun) untuk menembak ikan sasaran; dan (3) menombak di pesisir pantai.

Sementara ketentuan egek di laut tidak kalah ketat. Selama masa egek berlaku, nelayan dilarang menangkap lobster, lola (sejenis keong atau siput laut), dan teripang. Nelayan hanya boleh menangkap hasil laut di luar tiga komoditas tersebut. Lokasi penangkapan ikan pun tidak boleh dilakukan di area-area yang sudah ditetapkan sebagai zona egek. Lobster, lola, dan teripang baru boleh dipanen saat egek sudah dibuka oleh ketua adat dan tokoh masyarakat, yang lazimnya berlangsung pada puncak Festival Egek Malaumkarta Raya. 

Tradisi ini hampir mirip dengan pelaksanaan lubuk larangan atau hutan larangan di masyarakat desa pedalaman di sepanjang Sungai Subayang, kawasan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling, Kampar, Riau. Di sebagian wilayah Papua dan Maluku juga disebut dengan sasi. Tentu akan ada sanksi adat khusus bagi warga yang melanggar aturan egek

Oleh karena itu, metode penangkapan ikan di pesisir Malaumkarta Raya dilakukan secara tradisional. Perahu yang digunakan melaut pun berukuran kecil, dengan mesin tempel maksimal 15 PK atau bahkan hanya mendayung dengan sampan. Maka, sebaran lokasi tangkapan tidak akan sampai ke daerah tembok karang terluar kampung yang berbatasan langsung dengan Samudra Pasifik. Dampak positifnya, ketersediaan ikan untuk makan atau dijual tetap melimpah karena tidak sampai terjadi overfishing.

Hidup Berbudaya ala Suku Moi di Malaumkarta Raya
Kepala Kampung Malaumkarta Jefri Mobalen menjelaskan filosofi kehidupan suku Moi yang berbasis adat/Rifqy Faiza Rahman

Filosofi kehidupan dari pakaian adat

Jefri Mobalen (36), Kepala Kampung Malaumkarta, menjelaskan masyarakat di Malaumkarta Raya masih mempertahankan adat dan jati diri sebagai suku Moi Kelim di tengah kemajuan zaman. Sebab, menurutnya adat memberi dampak positif bagi kehidupan manusia dan menjaga kelestarian alam. Selain sistem zonasi wilayah adat, pakaian adat masih dipertahankan oleh seluruh marga di Malaumkarta Raya.

“Pakaian adat untuk laki-laki dan perempuan berbeda. Masing-masing punya filosofinya sendiri,” jelas pria yang gemar memakai topi pet (flat cap) berwarna merah itu. Busana adat suku Moi biasanya sangat erat saat prosesi pernikahan dan hubungan rumah tangga suami istri.

Kostum adat pria relatif simpel dengan warna senada dan mencolok, yaitu merah. Merah pada kain selendang yang berfungsi sebagai celana atau sarung dengan panjang selutut bisa bermakna keberanian atau larangan. Dengan kata lain, merah juga berarti menyimbolkan egek itu sendiri. 

Hidup Berbudaya ala Suku Moi di Malaumkarta Raya
Ester Salamala (60), seorang mama dari suku Moi yang tinggal di Malaumkarta, difoto dengan pakaian adat serta noken dan tikar (koba-koba) di sisinya/Deta Widyananda

“Jika ada warga yang sedang berburu atau mencari makanan di hutan, lalu melihat kain merah terpasang di pohon, maka dia tidak boleh memasuki kawasan tersebut,” kata Jefri. Artinya, keluarga atau marga pemilik lahan adat tersebut melarang siapa pun memasuki tanahnya. Kain merah tersebut juga digunakan sebagai mahar atau mas kawin dengan jumlah tertentu saat pria Moi hendak melamar perempuan Moi.

Pakaian adat pada perempuan Moi lebih kompleks. Setiap bagiannya mengandung makna mendalam. Seorang perempuan Moi menggunakan kain sarung untuk membalut dan melindungi hampir sekujur tubuhnya. Artinya, lelaki (suami) harus menafkahi istrinya, dalam hal ini memberikan tempat tinggal atau rumah sebagai tempat berlindung. Koba-koba, sejenis tikar dari anyaman daun pandan hutan, disimpan dalam tas noken untuk alas tidur untuk suami-istri. Simbol ini bermakna komitmen menjalani rumah tangga bersama-sama, baik saat susah maupun senang.

Kemudian noken berfungsi sebagai tas atau wadah bagi istri untuk belanja atau menyimpan hasil panen saat berkebun. Tali noken biasanya dikaitkan di dahi. Terakhir, beberapa helai rumput, bunga, atau tanaman lain yang terpasang bak mahkota di kepala, merupakan simbol yang menandakan perempuan Moi baru pulang dari berkebun di hutan atau dusun sagu (istilah untuk menyebut tempat menokok dan meremas sagu). 

“Pakaian adat tersebut akan selalu disimpan rapi dan filosofinya melekat pada suami-istri seumur hidup,” tegas Jefri.

Hidup Berbudaya ala Suku Moi di Malaumkarta Raya
Demianus Magablo (60)—depan, kanan—memimpin Tari A’leing atau alen, sebuah tarian adat khas suku Moi yang bernuansa rancak dan ceria. Ia didampingi Charel Magablo (25), keponakannya, dan diiringi mama-mama di belakang. Tarian yang juga menjadi atraksi pembuka Festival Egek ini biasa ditampilkan untuk menyambut tamu yang berkunjung ke Malaumkarta/Deta Widyananda

Festival Egek: media pelestari kebudayaan

Kaka Tori mengakui, perlu usaha lebih keras dan kolaborasi multipihak untuk melestarikan kebudayaan suku Moi, khususnya di Malaumkarta Raya. Terbitnya peraturan perundang-undangan yang mengakui keberadaan suku Moi pun merupakan hasil perjalanan panjang sejak ia dan Oktovianus Mobalen menginisiasi pendirian Perkumpulan Generasi Malaumkarta (PGM).

Lembaga swadaya masyarakat tersebut telah berdiri lebih dari dua dekade. PGM dibentuk sebagai wadah komunikasi antarwarga Moi di lima kampung se-Malaumkarta Raya. Menurut Kaka Tori, PGM hadir untuk mengadvokasi masyarakat suku Moi di kawasan tersebut dalam hal pemetaan dan pengelolaan wilayah adat, konservasi, serta penyerapan aspirasi masyarakat kepada pemerintah maupun pihak-pihak pemangku kepentingan lainnya.

Selain payung hukum, pencapaian lain yang berhasil diwujudkan oleh kolaborasi PGM bersama pemerintah—kabupaten dan provinsi—maupun lembaga nonprofit lain seperti Yayasan EcoNusa adalah penyelenggaraan Festival Egek. Sebuah festival kebudayaan dengan acara kunci membuka egek dan panen raya hasil hutan maupun laut yang sebelumnya dilarang selama egek

Hidup Berbudaya ala Suku Moi di Malaumkarta Raya
Salah satu adegan dalam tari alen. Para penari membentuk lingkaran dan bergandengan tangan, lalu berputar sembari mengentak-entakkan kaki ke tanah/Rifqy Faiza Rahman

Festival yang digelar satu tahun sekali itu biasanya dibuka dengan pementasan Tari A’leing atau alen. Sebuah tarian khas suku Moi untuk menyambut tamu undangan dari berbagai kalangan, mulai dari masyarakat sipil, pemerintahan, kepolisian, militer, maupun lembaga-lembaga nonpemerintah. Selanjutnya, acara dibuka dengan ritual fie, yaitu upacara adat dengan sejumlah persembahan atau sesaji, untuk memohon izin kepada leluhur dan meminta keselamatan selama memanen hasil laut.  

Saat puncak festival inilah masyarakat diperbolehkan mengambil hasil laut secukupnya. Terutama tiga spesies yang dilarang selama masa egek, yaitu lobster, lola, dan teripang. Itu pun masih ada satu peraturan mengikat yang harus ditaati. Apabila menemukan lobster yang masih bertelur, maka masyarakat harus melepaskannya lagi ke laut. 

Hasil tangkapan tersebut kemudian diperjualbelikan selama festival. Jefri menerangkan, keuntungan ekonomi selama Festival Egek nantinya akan dimanfaatkan untuk keperluan masyarakat dan kampung. “Biasanya juga diprioritaskan untuk kepentingan agama, seperti renovasi gereja atau pembangunan rumah gembala jemaat,” ujar salah satu pembina PGM itu.

Usai kemeriahan festival, para tetua adat kembali memberlakukan egek. Setidaknya berlangsung selama setahun sampai bertemu festival berikutnya. Kearifan lokal ini juga memberi kesempatan kepada alam untuk memulihkan diri, sehingga ekosistem laut tetap terjaga. Meskipun terkadang egek dibuka sewaktu-waktu jika ada kebutuhan mendesak sesuai kesepakatan tokoh adat dan masyarakat Malaumkarta Raya. 

Hidup Berbudaya ala Suku Moi di Malaumkarta Raya
Tim ekspedisi Arah Singgah foto bersama Torinanus Kalami (dua dari kiri) dan Yuliance Yunita Bosom Ulim (tengah) setelah pertemuan dan diskusi seputar kebudayaan Moi di sebuah hotel pinggiran Kota Sorong/Dokumentasi TelusuRI

Bagi Kaka Tori, tujuan dari Festival Egek sejatinya lebih dari sekadar memenuhi kalender budaya dinas pariwisata daerah. Pria yang sedang menempuh studi Magister Antropologi Universitas Cenderawasih Jayapura itu tidak ingin Festival Egek hanya berfungsi sebagai kegiatan seremonial semata.

“Saya ingin Festival Egek menjadi ‘kamus hidup’, yang bisa menjadi tempat belajar bagi siapa pun untuk mengenal dan memahami filosofi kebudayaan suku Moi,” terangnya. Artinya, tidak hanya untuk anak-anak Moi atau orang muda Papua, tetapi juga orang-orang di luar Papua juga boleh ikut memastikan tradisi suku Moi tetap abadi sepanjang masa.

Sebab, orang Moi percaya bahwa alam memiliki peran penting sebagai sumber penghidupan mereka. Alam akan memberi apa pun yang manusia butuhkan, selama manusia menjaga alam. (*)


Foto sampul:
Perempuan Moi dengan kostum adat di Hutan Klasow, Kampung Malagufuk, Sorong/Deta Widyananda

Pada Agustus–September 2024, tim TelusuRI mengunjungi Sorong dan Sorong Selatan di Papua Barat Daya, serta Jayapura di Papua, dalam ekspedisi Arah Singgah: Suara-suara dari Timur Indonesia. Laporan perjalanannya dapat Anda ikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Hidup Berbudaya ala Suku Moi di Malaumkarta Raya appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/hidup-berbudaya-ala-suku-moi-di-malaumkarta-raya/feed/ 0 45118