sulawesi selatan Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/sulawesi-selatan/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 25 Jun 2025 14:54:52 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 sulawesi selatan Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/sulawesi-selatan/ 32 32 135956295 Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (1) https://telusuri.id/dari-bali-ke-banggai-1/ https://telusuri.id/dari-bali-ke-banggai-1/#comments Wed, 05 Feb 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45529 Saya selalu terpikat dengan kisah-kisah menarik yang hidup di setiap sudut negeri ini. Berbekal latar belakang di bidang kesehatan masyarakat, saya punya mimpi sederhana, tetapi besar, untuk dapat memahami lebih dalam tentang pelayanan kesehatan dasar...

The post Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Saya selalu terpikat dengan kisah-kisah menarik yang hidup di setiap sudut negeri ini. Berbekal latar belakang di bidang kesehatan masyarakat, saya punya mimpi sederhana, tetapi besar, untuk dapat memahami lebih dalam tentang pelayanan kesehatan dasar di tempat-tempat yang acap luput dari perhatian.

Kali ini, langkah kaki membawa saya melintasi pulau-pulau di bagian tengah hingga timur Indonesia. Mulai dari Bali, Maluku, sampai Sulawesi. Perjalanan ini adalah upaya saya pribadi menyelami kehidupan di daerah-daerah yang jauh dari ingar-bingar kota. Saya ingin menggali seberapa jauh pelayanan kesehatan dasar dapat menyentuh masyarakat di pulau-pulau terpencil dan terluar, sembari memahami dinamika budaya lokal dan tantangan lingkungan.

Setiap tempat yang saya kunjungi memiliki realitas berbeda. Namun, benang merahnya sama, yakni tantangan aksesibilitas. Pulau-pulau terluar dan terpencil sering kekurangan dokter dan tenaga medis, yang menyebabkan masyarakat harus menempuh perjalanan jauh untuk mendapatkan perawatan medis, terutama dokter spesialis. Minimnya pilihan transportasi medis darurat juga menjadi hambatan besar bagi masyarakat yang ingin berobat. 

Bagi saya, ini bukan sekadar catatan perjalanan, melainkan upaya kecil untuk membawa suara dari mereka yang jauh, tetapi sangat dekat di hati.

Warna-warni kapal nelayan di pesisir pantai utara Bali/Hera Ledy Melindo

Menyisir Pesisir Utara Pulau Bali

Pagi itu, saya berdiri di pantai dan bersiap dengan tas ransel yang terasa berat. Namun, rasa keingintahuan saya jauh lebih besar. Perjalanan pertama kali ini membawa saya ke dua daerah pesisir utara Buleleng. Saya ingin melihat bagaimana masyarakat di sana menjalani kehidupan mereka, khususnya berkaitan dengan kesehatan dan lingkungan yang sering menjadi tantangan di daerah terpencil.

Setibanya di Desa Kayu Buntil Barat, angin laut menyambut saya dengan lembut. Di balik panorama pantai yang memukau, saya mulai melihat tantangan yang dihadapi masyarakat. Saat berbincang dengan Pak Made, seorang warga setempat, ia menunjukkan drainase yang langsung mengalir ke pantai.

“Malaria sering menyerang di sini, apalagi waktu musim hujan,” kata Pak Made menunjuk genangan air di sekitar rumahnya. Bekas gigitan nyamuk di lengannya menjadi saksi nyata perjuangan mereka melawan penyakit ini.

“Kalau sakit, biasanya bagaimana, Pak?” tanya saya penasaran.

“Banyak yang tidak punya BPJS atau Kartu Indonesia Sehat (KIS). Jadi, kalau sakit, ya, [baru] panggil bidan kalau sudah parah. Biayanya Rp50.000 sehari,” jawabnya.

Ia tampak pasrah, tetapi ada rasa bangga saat bercerita tentang puskesmas setempat yang aktif memberikan penyuluhan dan melakukan fogging jika ada laporan demam berdarah. Percakapan kami berakhir di tepi pantai, diiringi deburan ombak. Dari Pak Made, saya belajar tentang ketangguhan dan usaha mereka tetap bertahan meski dalam keterbatasan.

Momen diskusi seputar kesehatan dengan nelayan-nelayan Kayu Buntil Barat dan Celuk Buluh/Adipatra Kenaro Wicaksana & Hera Ledy Melindo

Hari berikutnya, saya melanjutkan perjalanan ke Desa Celuk Buluh. Suasana terasa berbeda. Drainase yang lebih baik, air bersih dari PDAM, dan jamban di setiap rumah menunjukkan kondisi kesehatan lingkungan yang lebih baik dibanding Kayu Buntil Barat. Masyarakat mendapatkan kebutuhan pangan sehari-hari di pasar yang hanya berjarak satu kilometer dari desa.

Di sini saya bertemu Pak Ketut, seorang nelayan yang tengah bersiap melaut. Ia bercerita tentang tradisi unik warga sebelum melaut.

“Sebelum berlayar, kami minum jamu dari kunyit, jahe, dan ayam kampung. Ini untuk stamina, biar kuat di laut,” katanya sambil tersenyum. Saya tertawa kecil, kagum dengan tradisi yang masih bertahan di tengah modernitas. Namun, kehidupan nelayan tidak selalu mulus. “Kalau musim paceklik, kami kerja serabutan, kadang jadi kuli bangunan,” tambahnya. 

Tidak hanya tentang kesehatan, masyarakat Celuk Buluh juga peduli terhadap lingkungan. Tempat pengelolaan sampah reduce, reuse, dan recycle (TPS3R) baru saja dibangun di desa tersebut. Meski belum sepenuhnya beroperasi, fasilitas ini menjadi simbol harapan bagi pengelolaan sampah yang lebih baik.

“Tempat ini bisa menampung hingga 20 ton sampah. Harapannya, desa kami jadi lebih bersih,” ujar seorang petugas yang saya temui.

  • Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (1)
  • Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (1)

Cerita Nelayan hingga Pangan Lokal di Pangkajene Kepulauan

Langkah berikutnya membawa saya ke pesisir barat Sulawesi Selatan. Saya bergerak dari kemegahan tradisi Hindu Pulau Dewata menuju kehidupan sederhana di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep).

Perjalanan membelah laut ini tak hanya tentang keindahan, tetapi juga kenyataan hidup yang keras. Kapal kayu sederhana menjadi satu-satunya alat transportasi menuju Desa Sailus, Kecamatan Liukang Tangaya. Ombak membelai halus perahu, tetapi di kejauhan, langit mendung seakan menjadi pengingat.

Di Desa Sailus, saya bertemu dengan Pak Ali, seorang nelayan yang sedang menyiapkan jaring. “Kami di sini makan apa yang ada, biasanya ikan layang atau makanan sederhana seperti sabal,” katanya sambil tersenyum. Sabal adalah pangan lokal tradisional khas Pangkep yang dibuat dari kelapa parut dan nasi.

Di Pulau Sailus, warga biasa mengolah sabal, pangan lokal khas Pangkep (kiri) dan memilah ikan-ikan hasil tangkapan nelayan untuk makanan sehari-hari/Adipatra Kenaro Wicaksana

Cerita Pak Ali membawa saya ke sisi lain dari kehidupan masyarakat setempat. “Kalau ingin makan daging, harus pesan dari Sumbawa,” lanjutnya, menekankan sulitnya akses pangan di wilayah ini. Jarak ke Sumbawa, Nusa Tenggara Barat memang jauh lebih dekat daripada pusat pemerintahan Pangkep.

Dalam sebuah kunjungan ke Puskesmas Sailus, saya berbincang dengan salah satu petugas kesehatan. Ia menjelaskan bahwa fasilitas di sana sangat terbatas. “Kami hanya punya dua genset untuk listrik, dan ambulans roda tiga yang sering rusak,” keluhnya. Ia juga menyebutkan bahwa pembangunan rumah sakit sedang berjalan, tetapi lokasinya jauh dari permukiman utama, menyulitkan akses bagi masyarakat apabila ingin berobat.

Percakapan dengan warga dan kader kesehatan memberikan gambaran lebih jelas tentang tantangan di Pulau Sailus. Kasus stunting, yang masih menjadi momok, tampak seperti rahasia yang sulit terungkap. “Puskesmas jarang sekali melakukan penyuluhan. Kalau posyandu, paling hanya empat bulan [dalam] setahun,” ungkap seorang kader kesehatan dari Desa Sailus yang terlihat lelah, tetapi masih semangat berbagi cerita.

Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (1)
Kondisi tempat pelayanan kesehatan Pulau Sailus/Adipatra Kenaro Wicaksana

Di pesisir pantai, sampah plastik mengotori permukaan pasir putih. Beberapa pemuda setempat, yang sedang duduk santai, berbicara tentang kebiasaan masyarakat yang masih membuang sampah ke laut. 

“Kadang kami tidak punya pilihan,” katanya, seolah meminta pengertian. Hal ini menjadi pengingat nyata bahwa perubahan perilaku membutuhkan lebih dari sekadar ajakan. Dibutuhkan fasilitas dan edukasi yang berkelanjutan.

Mereka melanjutkan cerita tentang harapan di masa depan. “Saya berharap ada program beasiswa dari desa. Beberapa teman ada yang bercita-cita kuliah jadi apoteker atau guru, karena di sini sangat kurang [orang dengan] profesi tersebut,” ujar seorang pemuda yang saya ajak berdialog. 

Meski tantangan besar masih ada, asa untuk perubahan tampak nyata dalam semangat mereka. Dari sabal yang sederhana hingga perjuangan mengatasi stunting, masyarakat di pulau kecil Sailus mengajarkan perjuangan mereka untuk bertahan dan berkembang di tengah keterbatasan. 

Dari pulau terpencil di Pangkep, saya melanjutkan langkah ke Pulau Sapeken. Pulau di ujung timur Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur.

Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (1)
Pantai pasir putih di Sailus yang sayangnya banyak dijumpai sampah anorganik/Adipatra Kenaro Wicaksana

Melihat Sapeken dari Kacamata Kesehatan

Perjalanan di Pulau Sapeken sebelumnya telah saya ceritakan secara lengkap di TelusuRI dengan judul Sapeken: Pulau Kecil dengan Kisah Besar di Timur Madura. Singkatnya, Sapeken adalah gambaran nyata perjuangan masyarakat kepulauan dalam menjaga kesehatan di tengah keterbatasan.

Di puskesmas utama, saya mendapati permasalahan kesehatan yang mencuat berupa dominasi penyakit-penyakit kronis, seperti stroke, asam lambung, dan kolesterol. Disentri dan tifoid juga menjadi ancaman yang terus muncul. Meski angka stunting relatif rendah, sulitnya akses pangan bergizi, khususnya daging-dagingan, menjadi tantangan tersendiri.

Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (1)
Layanan kesehatan bergerak di atas kapal Gandha Nusantara 02 yang berlabuh di Sapeken/Adipatra Kenaro Wicaksana

Satu satunya harapan adalah pelayanan kesehatan bergerak yang hanya datang empat kali dalam setahun, terutama untuk operasi kecil dan kontrol penyakit. Namun, itu belum cukup. Minimnya fasilitas, kebiasaan membuang sampah ke laut, serta keterbatasan tenaga kesehatan menambah kompleksitas masalah di pulau ini.

Sapeken adalah potret sebuah perjuangan untuk bertahan hidup. Di pulau kecil ini, Sapeken menyimpan kisah-kisah besar penuh kesederhanaan.

(Bersambung)


Terima kasih kepada Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB University (PKSPL IPB) dan Bapak Dadang Herdiansyah, SKM., M.Epid., selaku Tenaga Ahli Kesehatan Masyarakat yang telah memberikan kesempatan saya untuk menjelajahi potret kesehatan dasar di pulau-pulau kecil di Indonesia.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/dari-bali-ke-banggai-1/feed/ 1 45529
Perjalanan Mematahkan Mitos ke Pulau Selayar https://telusuri.id/perjalanan-mematahkan-mitos-ke-pulau-selayar/ https://telusuri.id/perjalanan-mematahkan-mitos-ke-pulau-selayar/#respond Sat, 10 Aug 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42488 Entah sejak kapan, tetapi yang pasti cerita-cerita perihal Luwu dan Selayar telah lama saya dengar. Mungkin sejak SMP dulu. Anekdot “orang Luwu tidak boleh ke Selayar” membuat Selayar menjadi kabupaten terakhir di Sulawesi Selatan yang...

The post Perjalanan Mematahkan Mitos ke Pulau Selayar appeared first on TelusuRI.

]]>
Entah sejak kapan, tetapi yang pasti cerita-cerita perihal Luwu dan Selayar telah lama saya dengar. Mungkin sejak SMP dulu. Anekdot “orang Luwu tidak boleh ke Selayar” membuat Selayar menjadi kabupaten terakhir di Sulawesi Selatan yang belum pernah saya kunjungi.

Ada potongan sejarah yang mendasari sampai istilah tersebut tumbuh di antara masyarakat Luwu. Padahal secara geografis, Luwu berupa daratan seluas 3.000 km2 dan berada sangat jauh dari Selayar. Sekitar 333 km jika ditarik garis lurus. Namun, perjalanan yang menghubungkan keduanya bisa ditempuh sekitar 18–19 jam dengan bergonta-ganti moda transportasi: bus, mobil, motor, hingga kapal feri.

Setelah lebaran Idulfitri (11/4/2024), saya mencoba perjalanan panjang perdana ke Selayar. Saya cukup beruntung ditemani beberapa teman mengajar di pelosok Maros saat masih kuliah dulu. Ada Kak Bagus, Kak Wiwi, Kak Yasmin, Kak Jannah, Kak Nono, Kak Fajar, Kak Mifta, seorang teman asli selayar bernama Kak Yudi, dan seorang teman yang kebetulan sedang berada di Selayar saat kami ke sana. 

Perjalanan Darat Palopo–Makassar–Bulukumba

Di titik jemput bus di jalan poros lintas provinsi daerah Binturu, Kak Bagus telah menunggu di sana bersama satu tas besar dan sebuah daypack. Barang bawaannya banyak, karena dia akan langsung kembali ke tempat kerjanya di daerah Papua setelah dari Selayar. Setengah jam menunggu, bus kami akhirnya tiba dan berangkat sekitar pukul 20.30 WITA.

Palopo–Makassar menjadi perjalanan darat terpanjang dengan waktu tempuh  9 jam penuh. Kami tiba di Makassar keesokan harinya pada pukul 06.00 WITA. Setelah menaruh seluruh oleh-oleh dari kampung, saya langsung berangkat ke titik kumpul, yaitu rumah seorang teman di Jalan Paropo. Di sini, kami menunggu minibus yang disewa untuk mengantarkan kami ke Bulukumba sejauh 160-an kilometer atau lebih dari empat jam perjalanan.

Ada enam orang yang berangkat dari Makassar. Satu orang lainnya berangkat dengan motor dari Bone, satu orang berangkat dari Bantaeng, dan satu orang sudah menunggu di rumahnya di Bulukumba. Adapun seorang lagi sudah berada di Selayar selama seminggu. Ia menghabiskan libur panjang lebaran bersama keluarga. 

Sopir rental kami sudah datang, yang ternyata dia adalah teman sekelas Kak Wiwi di Bulukumba. Kami banyak berbincang dan menertawakan hal-hal acak selama perjalanan. Setibanya di rumah Kak Wiwi di kawasan Desa Alla, kami hanya beristirahat kurang dari 15 menit lalu melanjutkan perjalanan ke Pelabuhan Bira dengan diantar adik Kak Wiwi.

Perjalanan Mematahkan Mitos ke Pulau Selayar
KMP Takabonerate yang melayani rute Bira-Selayar/Nawa Jamil

Nyaris Tertinggal Kapal

Pelabuhan Bira berjarak 30–40 menit dari Desa Alla. Kami berjalan dengan perasaan waswas takut tertinggal kapal terakhir ke Selayar yang berangkat pukul 14.00 tepat. Sementara kami sudah cukup dekat dengan pelabuhan, tetapi belum sampai juga. Beberapa teman terus menelepon, menanyakan plat nomor dan meminta kami untuk melaju lebih cepat.

Kami memasuki gerbang pelabuhan pukul 14.10. Terlihat di kejauhan kapal seperti siap lepas landas, tetapi belum. Ini membuat semua yang berada di mobil merasa lega. 

“Mobil antar penumpang, Pak!” seru kami begitu dicegat oleh salah seorang petugas di pos jaga. 

“Oh, iya. Cepat mi dek! Aduh!” Timpalnya dengan sedikit mengeluh atas keterlambatan kami. 

Mobil mengantar kami tepat di depan pintu rampa yang akan segera tertutup. Begitu turun dari mobil dan pamit sepenuh hati pada adik Kak Wiwi, kami langsung berlari menuju pintu. Di sana seorang teman yang sedari tadi kukuh menahan agar kapal bisa menunggu lima temannya, kini bisa bernapas lega. Beberapa orang menyoraki kami.

Setelah memastikan semuanya aman, kami masuk ke bagian atas kapal karena semua dek penumpang sudah penuh. Baru saja menaruh tas dan duduk sebentar, kapal langsung melaju. Menandakan kami orang terakhir yang ditunggu. Bukan sebuah kebanggaan, tetapi pengalaman mengejar kapal pertama saya ini cukup seru juga.

Cerita di Atas Kapal

Kru kapal memberi kami satu set makanan berat, terdiri dari nasi, potongan kecil ayam, dan sedikit sayur. Meskipun porsinya cukup sedikit, tapi Kak Jannah, teman kami dengan cekatan membawa bekal lauk-pauk melimpah yang tersisa dari momen lebaran keluarganya. Ia langsung mengubah nasi kotak biasa kami menjadi makanan mewah yang kaya protein dan lemak.

Sambil makan, saya berusaha membuka percakapan dengan Kak Yudi. Dulu kami hanya bertemu sekali di Pulau Lanjukang saat melakukan salah satu kegiatan relawan hasil kolaborasi antarkomunitas. Berawal dari banyak percakapan liar, lalu berakhir dengan satu ajakan, “Nanti kalau ke Selayar kabari saja, nah!”

Akhirnya hari saya berkunjung ke Selayar tiba. Cukup beruntung Kak Yudi, orang asli Selayar dan pemandu wisata, bisa menemani kami dalam perjalanan ini selama beberapa hari ke depan. Jadwal yang begitu mepet membuat saya tidak sempat berbincang banyak dengan Kak Yudi.

Kapal sudah berlayar setengah jalan. Usai memakan jatah nasi dan lauk yang dibawa Kak Jannah dari rumah, saya lalu mengambil tempat di samping Kak Yudi yang saat itu tengah tenggelam dalam isapan rokoknya.

“Maaf, ya, Kak. Tadi Kak Yudi lama menunggu di daerah Bantaeng,” terang saya memulai percakapan. 

“Oh, tidak apa-apa, kok, Kak,” balasnya. 

Selama mengarungi Laut Flores, kami bercerita banyak tentang Selayar dan perjalanan pertamaku ke kepulauan tersebut. Tentu, perihal mitos orang Luwu tidak boleh ke Selayar menjadi topik pertama yang kulontarkan kala itu.

”Kak Yudi, aku kan orang Luwu nih, Kak. Kakak pernah dengar tidak tentang mitos kalau orang Luwu enggak boleh ke Selayar?”

Kak Yudi terlihat sedikit terkejut. Alisnya sedikit naik mengetahui aku dari tanah Luwu. “Oh, ya? Kamu orang Luwu, toh?”

Dari perspektif orang Selayar, Luwu merupakan satu daerah yang berkaitan erat dengan Selayar. Ada banyak sejarah yang melatarbelakangi lahirnya mitos tersebut. Namun, sebagai orang asli Selayar, Kak Yudi pun tidak mengetahui perihal larangan itu.

“Kalau yang kutahu, sih, orang Selayar tidak pernah berjodoh (dalam hal ini menikah) dengan orang Luwu, tetapi mitos yang kamu bilang tadi saya kurang tahu.”

Ia lalu melanjutkan, “Tapi memang Pulau Selayar ini punya sejarah yang kental dengan kepercayaan orang Luwu, juga kisah dalam Kitab La Galigo.”

  • Perjalanan Mematahkan Mitos ke Pulau Selayar
  • Perjalanan Mematahkan Mitos ke Pulau Selayar

Hikayat We Tenri Dio 

Ada banyak sumber dan versi tentang Pulau Selayar, serta kedekatannya dengan Sawerigading. Pelayaran menjadi kata kunci atau benang merahnya. I Malaniki, raja pertama Selayar, dalam beberapa versi disebut We Tenri Dio, anak dari Sawerigading. Dikisahkan Sawerigading dan sang istri, We Cuddai beserta ketiga anaknya, La Galigo, We Tenri Dio, dan We Tenri Balobo melakukan perjalanan bersama dari Cina ke Luwu lalu singgah di Selayar.

Terdapat perbedaan pendapat dari sebab persinggahan mereka. Ada sumber yang mengatakan perahu mereka mengalami kecelakaan di laut hingga terdampar di Selayar. Versi lain menyebut perahu Sawerigading hendak mengganti layar di pulau ini. Ada pula yang bilang perahu tersebut memang dijadwalkan untuk berlabuh sementara di Selayar. 

Singkat cerita, atas restu dari kedua orang tuanya, We Tenri Dio memutuskan menetap di Kepulauan Selayar. Di Selayar, We Tenri Dio yang orang Luwu kemudian dikenal sebagai I Muri I La Judiu Nikana La Tenri Dio menjadi raja pertama di Putabangun, kerajaan tertua di Pulau Selayar. Ia menikah dan menetap hingga akhir hayatnya di Selayar. Makamnya berada di sebuah kuburan tua dengan nisan di utara, menandakan kuburan ini telah ada sebelum ajaran Islam masuk ke Selayar. Ia dimakamkan bersama tiga kuburan lainnya, salah satunya Lalaki Sigayya, sang suami.

Di pulau ini juga ditemui salah satu jejak kapal Sawerigading, Gong Nekara. Konon, gong ini merupakan salah satu bagian dari kapal Sawerigading yang berfungsi sebagai pertanda saat kapal hendak singgah di pelabuhan-pelabuhan. Gong ini dipercaya hanya ada sepasang di seluruh dunia, yaitu di Vietnam dan Pulau Selayar serta merupakan sepasang “suami-istri”.

Setelah menyelidiki sejarah Selayar dan Luwu, saya sampai pada satu kesimpulan. Tidak pernah ada larangan yang membatasi kedua masyarakat dari tanah berbeda itu saling mengunjungi satu sama lain.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Perjalanan Mematahkan Mitos ke Pulau Selayar appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/perjalanan-mematahkan-mitos-ke-pulau-selayar/feed/ 0 42488
Cerita Lima Hari di Parepare https://telusuri.id/cerita-lima-hari-di-parepare/ https://telusuri.id/cerita-lima-hari-di-parepare/#respond Thu, 08 Aug 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42475 Butuh tujuh tahun bagi Rifkah, seorang teman, untuk mengajak saya mencicipi sebuah pekerjaan yang benar-benar baru bagi saya, yaitu sebagai enumerator. Pekerjaan yang memerlukan keahlian berkendara. Rifkah, yang selama itu pula sudah menggeluti bidang ini,...

The post Cerita Lima Hari di Parepare appeared first on TelusuRI.

]]>
Butuh tujuh tahun bagi Rifkah, seorang teman, untuk mengajak saya mencicipi sebuah pekerjaan yang benar-benar baru bagi saya, yaitu sebagai enumerator. Pekerjaan yang memerlukan keahlian berkendara. Rifkah, yang selama itu pula sudah menggeluti bidang ini, berani mengajak saya bergabung karena memperhitungkan kemampuan saya dalam komunikasi seperti komunikasi. Selain itu, kebetulan banyak teman kuliah saya juga di lokasi survei—Parepare, Sulawesi Selatan. 

Cobami dulu. Sapatau bisa saya ajak tandem di Makassar, kalau lincah mako (Coba ikut saja dulu. Mana tahu kita bisa jadi pasangan survei di Makassar kalau kamu sudah jago),” kata Rifkah lewat telepon.

Setelah penuh pertimbangan, akhirnya saya mengiyakan tawarannya. Saat itu saya juga sedang butuh tambahan uang untuk memperbaiki laptop yang rusak. Apalagi di Parepare nanti ada rumah teman saya. Saya pikir untuk urusan tidur setidaknya sudah aman.

Masalahnya kemudian, saya tidak bisa mengemudikan moda transportasi apa pun. Kecuali sepeda pancal, yang tidak saya miliki. Namun, jika punya pun, mengayuh sepeda ke Parepare sepertinya akan butuh lebih dari dua hari. Terlebih saya pernah membuat kehebohan di jalanan Pare, Kediri, Jawa Timur, karena bersepeda seperti orang mabuk arak. Banyak miring dan rentan keluar jalur.

Perjalanan Malam ke Parepare

Dua orang akhirnya bersedia memberi tumpangan. Satu orang akan berangkat malam itu juga, sedangkan satunya lagi menunggu sampai Subuh tiba. Saya memilih ikut jalan malam biar tidak diburu waktu untuk mengurus keperluan survei paginya di tempat yang asing bagi saya. Tentu saja saya sudah siap berbagi uang bensin dan camilan di perjalanan nanti. 

Senin malam (6/5/2024), pukul 21.00 WITA, saya janjian dengan Raiz—teman baru si pemberi tumpangan. Setelah mandi, makan malam, dan mengemas barang bawaan untuk lima hari lima malam, saya diantar menuju tempat kami janjian. 

Perjalanan malam selama jam dimulai. Untuk memecah rasa canggung antara saya, Raiz, dan adiknya, kami banyak bicara di sepanjang jalan sejauh 154,2 km. Basa-basi tentu saja, mulai asal universitas hingga bagaimana kami bisa berakhir sebagai sesama pemula di lembaga survei bernama LRI. Fokus tujuan lembaga ini untuk mengetahui pilihan dan aspirasi politik masyarakat terkait calon-calon pemegang kebijakan, yang akan bertarung di Pilkada serentak November 2024 nanti.

Saya menyukai atmosfer dari perjalanan bersama teman baru. Meskipun agak jengkel juga dengan ruas jalan Kabupaten Pangkep–Barru yang minim pencahayaan dan penuh lubang. Saat siang saja rentan celaka, apalagi kalau gelap gulita. Ditambah ulah pengendara truk yang mengemudinya seperti kejar setoran. 

Di tengah segalara riak, pukul 01.14 WITA kami tiba juga di Parepare. Saya turun di rumah teman dan berpisah untuk memulai urusan kami masing-masing keesokan harinya.

Cerita Lima Hari di Parepare
Saya di lokasi survei di kawasan Bacukiki, Parepare/MIftahul Aulia

Bertemu Orang Baru dan Masalah Jam Karet

Saya tidak menyangka aplikasi ojek daring di gawai saya akan berguna di Parepare. Memanfaatkan itu, saya menuju ke kantor Kelurahan Galung Maloang, Kecamatan Bacukiki.

Saya tidak tahu, tapi citra buruk staf kelurahan yang jutek dan jarang senyum, tidak saya temukan di sini. Justru yang membuat saya gondok setengah mati adalah harus menunggu surat izin yang dipegang rekan kerja—leader saya—untuk ditandatangani lurah. Surat itu sebagai pelicin agar kami bisa berseluncur mewawancarai warganya.

Surat izin tersebut berlaku tanggal 6—10 Mei 2024. Dalam rentang waktu lima hari yang singkat itu, 44 surveyor yang terpencar di empat kecamatan (Bacukiki, Bacukiki Barat, Soreang, dan Ujung) harus mewawancarai 10 responden yang terhimpun dalam satu kelurahan.

Sesuai kesepakatan kerja, kami seharusnya ada di lokasi pukul 09.00 WITA, tapi sang leader baru tiba pukul 13.00 WITA. Dalam kondisi seperti itu, mau tidak mau saya dipaksa belajar mengelola emosi. Meskipun pagi saya dimulai dengan jadwal yang berantakan di kota orang. Sambil menunggu dan misuh-misuh, saya sempat mengintip mesin pencari dan mengetik di gawai: sejak kapan istilah jam karet mulai ada?

Saya tidak menemukan informasi spesifik. Namun, saya jadi tahu bahwa ternyata di antara beberapa negara, Indonesia cukup dikenal dengan konsep elastisitas waktunya. Kata Parhan dkk. (2022), sebagian besar masyarakat Indonesia menganut konsep waktu polikronik, yakni teori yang menganggap bahwa waktu bisa terulang kembali. Makanya kadang ada saja yang suka menunda pekerjaan hingga melahirkan sikap toleran terhadap waktu alias ngaret. 

Cerita Lima Hari di Parepare
Barista Gudmud sedang mengerjakan pesanan pengunjung/Miftahul Aulia

Menikmati Kanse 

Untung saja, malamnya saya diajak ketemu oleh teman untuk mengusir perasaan kesal. Lokasinya di kedai kopi Gudmud Jl. Sulawesi, sekitar 15 menit perjalanan dari tempat saya. Dari jok belakang vespa ojek daring, saya mengamati Parepare. Meskipun letaknya di tepi laut, saya baru sadar bahwa sebagian besar wilayah Parepare ternyata berbukit-bukit dan cukup padat bangunan. Saya menyukai bentuk bangunan-bangunan tua khas kolonial yang tetap dipertahankan. Meski kata bapak ojek, sudah banyak juga bangunan baru yang perlahan menggilas habis persawahan.

Tiba di Gudmud, saya memesan kopi aren. Saya duduk di kursi kayu di sudut ruangan yang tak seberapa luas, tetapi memanjakan mata. Ada toples kaca kedaung yang menampung kombucha serta buku di atasnya. 

Sembari memerhatikan tangan barista bekerja, saya mengkonfirmasi ke teman, “Saya perhatikan, rumah di Parepare banyak yang bawahnya batu terus atasnya rumah panggung begini.”

Ia menimpali, itu salah satunya untuk mengantisipasi banjir yang kadang tiba-tiba saja meluap padahal hujan hanya sebentar. Saya baru tahu, Parepare ternyata sering dilanda banjir. Penyebabnya drainase mampet. 

Perasaan saya membaik. Kekesalan yang tadinya menumpuk menguap entah ke mana. Tidak salah kedai ini bernama Gudmud. Saya juga diajak menikmati kuliner khas Parepare. Namanya kanre santang (kanse). Artinya makanan bersantan. Olahan beras yang diberi santan. Mirip dengan pembuatan nasi uduk oleh masyarakat Sunda. 

Rasanya gurih. Berpadu dengan pedas dari sepotong ikan tuna goreng berbumbu dan telur rebus. Ditambah mi goreng, perkedel, dan sambal. Sempurna sekali di lidah saya yang menyukai cita rasa kuat dan menantang. 

Hampir Kena Pelecehan

Dua hari berikutnya saya memutuskan untuk memulai hari dengan menyantap makanan enak lebih dulu. Pagi pertama dengan semangkuk bakso kuah coto, lalu pagi berikutnya nasi kuning. Nasi kuning ini adalah hadiah setelah saya jalan menanjak 10 menit dari tempat saya menginap di Bacukiki.

Selesai makan, saya kembali berjalan kaki. Berbagi jalanan dengan kendaraan yang melaju cepat. Hingga tiba-tiba seorang pengendara berhenti di samping saya. Menawari tumpangan dan mengaku ojek. Sempat menolak, tapi saya naik juga dengan pertimbangan lokasi survei yang akan saya tuju—Desa Lariang Nyarangnge (Lanyer)—butuh 20 menit berkendara. Bisa dipastikan jika nekat lanjut jalan kaki, saya akan kehabisan energi untuk berkeliling mencari rumah responden di atas bukit. 

Apesnya, saat motor mulai tancap gas, saya ditanya beragam pertanyaan dan pernyataan aneh. Satu yang paling mengganggu adalah ketika orang ini bilang tubuh saya sangat bagus. Ia memperlambat laju motornya, mulai memundurkan bagian tubuh bawahnya dan mendekat ke arah saya.

Berusaha tetap tenang, saya ingat di jalan menuju lokasi survei ada kantor keamanan. Akhirnya saya minta diturunkan saja di sana dengan dalih ada urusan. Meski sempat menolak dan tidak mau menghentikan motornya, saya meronta dan sedikit memaksa dengan memukul. Barulah ia berhenti dan mematikan mesin motor. Saya lalu menyodorkan uang dan memberikan nama serta nomor yang salah saat ia minta Whatsapp saya. Lantas saya berjalan meninggalkannya tanpa menoleh.

Setibanya di pos keamanan, dengan wajah bingung petugas melihat saya datang. Entah bagaimana, tubuh saya mendadak lemas. Sambil menangis tersedu dan suara bergetar, saya menjelaskan kondisi saya kepada petugas tersebut. 

Tanpa saya minta, dia inisiatif memelototi pengendara tadi yang ternyata menunggu saya. Ia tidak beranjak dari tempatnya. Mungkin karena segan dilihat terus oleh petugas keamanan, orang itu akhirnya pergi sambil menoleh memerhatikan saya.

Saya tidak pernah menyangka akan mendapat pengalaman tidak menyenangkan seperti ini. Padahal sebelumnya saya bertemu dengan beberapa tukang ojek dan warga yang ramah. Mereka menawari tumpangan karena melihat saya jalan kaki dan menggendong ransel. 

Meski begitu, perjalanan lima hari saya di Parepare tetap menyenangkan. Pertemuan dengan beberapa teman baru berkarakter unik, warga yang ramah, panorama yang indah, sapi-sapi gemuk dan anjing yang malu-malu, serta kulinernya yang sedap di lidah pasti akan menjadi salah satu momen yang saya rindukan.


Referensi

Parhan, M., Maharani, A. J., Haqqu, O. A., Karima, Q. S., dan Nurfaujiah, R. (2022). Orang Indonesia dan Jam Karet: Budaya Tidak Tepat Waktu dalam Pandangan Islam. Sosietas: Jurnal Pendidikan Sosiologi. Vol. 12, No. 1 (2022), hal. 25–34. https://doi.org/10.17509/sosietas.v12i1.48065.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Cerita Lima Hari di Parepare appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/cerita-lima-hari-di-parepare/feed/ 0 42475
Yang Tersisa dari Jejak Manusia Purba Sulawesi https://telusuri.id/yang-tersisa-dari-jejak-manusia-purba-sulawesi/ https://telusuri.id/yang-tersisa-dari-jejak-manusia-purba-sulawesi/#respond Fri, 07 Jun 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42123 Membaca tulisan-tulisan Eko Rusdianto memang selalu menyenangkan. Sama seperti buku Eko yang kubaca sebelumnya—Tragedi di Halaman Belakang—buku Meneropong Manusia Sulawesi: Di Antara Pencarian Leluhur, Ramalan, Hingga Ancaman Ekologi membawa para pembacanya melihat lebih dekat tempat-tempat...

The post Yang Tersisa dari Jejak Manusia Purba Sulawesi appeared first on TelusuRI.

]]>
Membaca tulisan-tulisan Eko Rusdianto memang selalu menyenangkan. Sama seperti buku Eko yang kubaca sebelumnya—Tragedi di Halaman Belakang—buku Meneropong Manusia Sulawesi: Di Antara Pencarian Leluhur, Ramalan, Hingga Ancaman Ekologi membawa para pembacanya melihat lebih dekat tempat-tempat yang begitu akrab bagi orang-orang Sulawesi.

Buku setebal 181 halaman itu merupakan kumpulan tulisan dengan satu benang merah: jejak manusia purba dan yang tersisa dari mereka. Terdiri dari 16 tulisan, buku dengan ukuran huruf cukup besar ini akan membawa pembacanya pada petualangan arkeolog, keseruan lapangan mereka, dan ancaman dalam mempertahankan jejak-jejak purbakala yang masih ada hari ini. 

Sampul depan buku ini cukup menarik. Dua hewan endemik Sulawesi yang kini jarang ditemukan—kutebak anoa dan babi hutan—berdiri di antara tumbuhan belukar dan rumput-rumput tinggi, serta mulut gua yang menggambarkan sebagian besar isi buku ini. Berpindah dari sampul, Eko juga menyediakan kata pengantar yang tak kalah menarik, dinamainya “Tersesat Kenikmatan Tulisan”. Ia menceritakan perihal arkeologi yang sempat ia geluti di kampus sebelum berpindah ke jurusan jurnalistik setelah dirinya ingin menjadi wartawan. Akan tetapi, Eko tetap melanjutkan kecintaannya terhadap arkeologi. Setidaknya buku ini lahir dari sana. 

Yang Tersisa dari Jejak Manusia Purba Sulawesi
Ilustrasi menarik pada sampul depan buku/Nawa Jamil

Lukisan Purba Kampung Biku

Seperti judulnya, buku ini terdiri dari 16 tulisan pencarian jejak-jejak purba di tanah Sulawesi di tengah ancaman ekologi hari ini. Berasal dari tahun yang beragam, 16 tulisan tersebut ditulis Eko sepanjang perjalanannya menelusuri jejak purba Sulawesi.

Ada beberapa tulisan yang menarik (bahkan semuanya), seperti “Kampung Biku dan Lukisan Babi Purba Sulawesi”. Kampung Biku bukan pertama ini kudengar. Sewaktu menyelesaikan kuliah magister dengan konsentrasi Manajemen Bencana, Kampung Biku nyaris menjadi salah satu wilayah penelitianku. Sebab salah seorang teman di masa lalu sempat bercerita terkait resiliensi unik warga di kampung ini. 

Kampung Biku berada di dalam lembah kecil di atas bentangan karst Maros–Pangkep. Jika musim hujan tiba, air akan menggenangi daerah ini dan menyebabkan banjir setinggi tiang-tiang rumah. Penyebabnya ketiadaan saluran air turun di antara bentangan batuan karst yang membentuk lembah tersebut. Adaptasi selama puluhan tahun membuat para penduduknya dapat membaca tanda-tanda alam dan memperkirakan kapan musim hujan akan datang.

Dari cerita seorang kawan yang pernah berkunjung ke sini, saya kembali mendengar Kampung Biku hari ini lewat penceritaan Eko Rusdianto. Lebih mengagumkan lagi, ternyata di Kampung Biku terdapat lukisan purba agung di salah satu guanya, yakni Leang Tedongnge. Gaya bercerita Eko begitu hidup. Ia seolah membawa para pembacanya menyusuri Leang Tedongnge, lalu menemukan lukisan babi dengan dua ornamen telapak tangan di bagian atas punggung belakangnya. 

Pencarian Rumah Wallace di Maros

Tulisan berjudul “Menelisik Jejak Wallace di Maros” menjadi favorit saya, karena seperti bagian kecil dari buku-buku Enid Blyton 5 Sekawan. Layaknya detektif, Eko dan Kamajaya Saghir mencari rumah yang ditinggali Alfred Russel Wallace sewaktu mengunjungi Maros pada Juli–November 1857. 

Wallace menuliskan tentang kedatangannya di Maros dalam buku The Malay Archipelago, termasuk serangkaian cerita hingga dirinya mendiami hunian yang berada “di kaki sebuah bukit yang ditutupi hutan”. Eko bercerita, ia dan temannya mencari Amasanga, daerah yang bersisian dengan gunung karst, daerah yang konon yang sempat ditinggal Wallace di masa lalu. 

Ketika mendatangi titik Amasanga pada peta kuno Belanda, Eko menemukan tempat itu telah banyak berubah menjadi pabrik semen milik PT Semen Bosowa. Tidak jauh dari titik tersebut terdapat kampung bernama Ammasangeng, tetapi keterkaitan kampung ini dengan titik Amasanga tidak dapat dipastikan. Setelah mencari ulang, mereka kembali turun ke lapangan, menyusuri daerah lain bernama Tompokbalang. Di sana, ia bertemu seorang warga bernama La Saing (60).

“Di sana, dulu ada rumah orang Belanda yang selalu diceritakan nenek saya,” katanya.

Begitu sampai pada penyampaian La Saing, saya tidak dapat membendung rasa haru tersebut. Meskipun sedikit kecewa mengetahui rumah tersebut telah rata dengan tanah dan hanya tersisa jejak-jejaknya saja, tetapi tetap saja, menemukan dan berdiri di titik sejarah adalah hal yang besar. 

Di tempat itu, Eko dan temannya kembali membaca buku The Malay Archipelago. “Kira-kira 50 yard (sekitar 100 meter) dari kaki bukit di bawah rumah saya, terdapat lubang dalam yang berada di alur sebuah sungai dan menjadi sumber air. Setiap hari saya mandi di situ menggunakan ember air dan mengguyurkannya di sekujur badan saya,” tulis Wallace. Lalu persis seperti yang dituliskan Wallace dalam bukunya, Eko dan temannya juga menemukan titik yang dimaksud.

Namun, dalam subtulisan yang diberi judul “Napak Tilas Wallace Terancam Hilang”, Eko menceritakan bagaimana ia mendengar suara dentuman dinamit dari PT Semen Bosowa. Ledakan yang terjadwal tiap pukul 12 siang. Sekitar 400 meter dari lokasi bekas pondok Wallace ini terdapat lubang galian tanah dan satu mobil eskavator yang bekerja, dan beberapa mobil truk pengangkut tanah yang sibuk. Ancaman ini sungguh nyata. Apalagi menurut penuturan dari buku ini, bukit tempat rumah Wallace di masa lalu ini beberapa kali ditawar untuk dibeli.

Yang Tersisa dari Jejak Manusia Purba Sulawesi
Bagian halaman yang mengulas dampak buruk perubahan iklim pada jejak prasejarah di Sulawesi/Nawa Jamil

Pertanyaan-pertanyaan Lainnya

Buku ini benar-benar menyenangkan, seperti buku sejarah yang dibalut petualangan-petualangan arkeologis. Beberapa gua dalam tulisan Eko sangat mudah dijangkau, bahkan Leang-Leang telah terbuka untuk para wisatawan sejak puluhan tahun lalu.

Ada banyak pertanyaan tentang kehidupan jauh sebelum generasi kita ada di bumi hari ini, salah satunya kehidupan purba puluhan ribu tahun yang lalu. Lewat buku ini, Eko sedikit menyingkap pertanyaan-pertanyaan. Mengapa orang purba membuat lukisan tangan? Mengapa mereka bermigrasi? Dari mana mereka berasal? Mengapa mereka tinggal di bentangan karst Sulawesi ini?

Eko tidak hanya menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan menyediakan jawaban berbagai ahli arkeologi dalam buku ini. Ia juga menyisipkan pertanyaan-pertanyaan penting yang mesti dijawab bersama atas ancaman-ancaman ekologi yang nyata. Sejauh mana kita akan bergerak untuk melindungi yang tersisa dari jejak-jejak manusia Sulawesi di masa lalu?


Judul Buku: Meneropong Manusia Sulawesi; Di Antara Pencarian Leluhur, Ramalan, Hingga Ancaman Ekologi
Penulis: Eko Rusdianto
Editor: Wawan Kurniawan
Perancang sampul: Rara Bijda
Tata Letak: Armin
Penerbit: Penerbit Akasia, Gowa
Tahun Terbit: Cetakan pertama, Desember 2021
Tebal Halaman: x + 171 halaman
ISBN: 978-623-98085–1-8


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Yang Tersisa dari Jejak Manusia Purba Sulawesi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/yang-tersisa-dari-jejak-manusia-purba-sulawesi/feed/ 0 42123
Semangkuk Coto Makassar dan Kerinduan dalam Perantauan https://telusuri.id/semangkuk-coto-makassar-dan-kerinduan-dalam-perantauan/ https://telusuri.id/semangkuk-coto-makassar-dan-kerinduan-dalam-perantauan/#respond Tue, 21 May 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41976 Semangkuk coto sangat dekat dengan keseharian orang-orang Makassar. Sekitar delapan tahun merantau di kota ini, coto telah menjadi elemen penting dan opsi utama. Sewaktu kuliah di Universitas Hasanuddin beberapa tahun lalu, coto menjadi teman selepas...

The post Semangkuk Coto Makassar dan Kerinduan dalam Perantauan appeared first on TelusuRI.

]]>
Semangkuk coto sangat dekat dengan keseharian orang-orang Makassar. Sekitar delapan tahun merantau di kota ini, coto telah menjadi elemen penting dan opsi utama. Sewaktu kuliah di Universitas Hasanuddin beberapa tahun lalu, coto menjadi teman selepas rapat kepanitiaan sampai tengah malam. Kami menikmati Coto Pintu Dua yang menyediakan semangkuk kecil coto, ketupat gratis, dan bebas tambah kuah. Kami cukup membayar sekitar Rp15.000 untuk sebuah mangkuk daging rebus berempah, tempat yang hangat, dan cerita yang hidup di tengah malam. 

Saya juga menikmati rasa coto kuah putih. Di Makassar, kita dengan mudah mendapatkan aneka variasi bumbu coto, seperti kuah putih yang gurih dari kacang tanah, coto dengan kuah yang pekat, atau juga coto dengan cita rasa manisnya yang khas. Di kota ini, coto menghidupi seluruh kalangan. Kita masih dengan mudah menikmati semangkuk Coto Daeng Sutte seharga Rp8.000, sampai coto dengan Rp30.000-an per mangkuknya. 

Fakta-fakta Unik tentang Coto

Begitu mendarah dagingnya makanan ini di keseharian orang Makassar, konon coto dipercaya telah hidup sejak zaman Kerajaan Bantaeng. Semuanya berawal ketika seorang juru masak bernama Toak memanfaatkan jeroan kerbau yang kala itu jarang sekali digunakan sebagai bahan masak hidangan kerajaan. Jeroan-jeroan tersebut kemudian ia ramu dengan berbagai rempah lokal dan sambal tauco dari pedagang Tiongkok di masa itu. Kini, coto tak hanya berisi jeroan, tetapi juga daging. Meskipun begitu, orang-orang banyak menyukai coto dari isian jeroannya. Saya pun selalu memesan coto dengan paru kering ataupun daging sekali waktu.

Dua tahun lalu, saya sempat terlibat dalam penyusunan buku Ensiklopedia Pangan Olahan SulSelBar. Salah satu makanan yang tidak terlewat adalah coto khas daerah Makassar. Tidak seperti tanah Jawa, sayangnya kuliner yang begitu beragam dari Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat masih sangat jarang dituliskan. Bahkan sewaktu melakukan penelitian lapangan di Kota Palopo, saya kesulitan mencari rujukan literasi, bahkan di perpustakaan kota sekalipun. Kebanyakan pengetahuan tentang kuliner lokal baru diwariskan secara lisan, turun temurun—yang entah kapan akan hilang tak bersisa, jika tidak dijaga dan dituliskan. 

Dari ensiklopedia ini, saya mengetahui beberapa fakta unik tentang coto, seperti fakta kecil, bahwa makanan ini awalnya diperuntukkan bagi warga miskin di sekitar istana. Mengingat bahan utama pembuatan makanan ini berupa aneka jeroan, salah satu bagian tubuh kerbau yang tidak dilirik sebagai bahan hidangan kerajaan.

Semangkuk Coto Abah

Beberapa hari lalu, selepas menyelesaikan pekerjaan lapangan di daerah Antang, saya hendak pulang ke rumah saat siang. Di jalan, saya melihat papan besar dengan aksen warna merah dan tulisan “Coto Abah”, salah satu merek coto dengan cabang yang cukup masif di Makassar.

Baru sekitar 50 meteran, aroma coto yang kaya rempah dan jam makan siang membuat saya bergegas memarkirkan motor dan masuk ke warung sederhana ini. Di dalam, sebuah menu cukup besar dipajang tepat di dinding belakang kasir. Seporsi coto sedang dibanderol Rp12.000, sedangkan untuk mangkuk besar Rp18.000.

“Bu, pesan satu coto mangko’ besarta’, isinya paru to’ ,” pinta saya. To’ merupakan istilah makassar pengganti “saja” atau “hanya”.

“Oh, iya,” tanggapnya singkat, lalu menuju dapur yang terletak di depan toko. 

Saya pun beranjak, mencari kursi kosong di antara orang-orang yang tengah menikmati makan siang mereka. Saya menemukan satu kursi kosong di antara deretan meja panjang. Hal lain yang kusuka dari warung makan sederhana ini adalah kita berkesempatan duduk bersama orang asing. Sembari sesekali membantu satu sama lain—mengoper tisu, memberi sambal, atau kecap manis. Seperti hari ini, saya duduk semeja dengan sepasang orang tua dan tiga anaknya yang masih kecil. Mungkin berusia sekitar 6–12 tahun. 

Kelebihan lain dari warung coto adalah penyajiannya yang cepat. Tidak sampai lima menit, semangkuk coto dengan paru kering yang menggiurkan sudah tersaji di depanku. Langkah pertama adalah mencicipi kuahnya. Coto Abah kebetulan menggunakan kuah putih seperti Coto Fly Over dan Coto Abdesir. Biasanya, warna putih dari kuah coto ini berasal dari perpaduan air beras dan santan. Beberapa resep mengganti santan dengan susu. 

  • Semangkuk Coto Makassar dan Kerinduan dalam Perantauan
  • Semangkuk Coto Makassar dan Kerinduan dalam Perantauan

Secara pribadi, saya begitu menikmati coto dengan isian paru. Beberapa warung coto memiliki teknik pengolahan parunya sendiri. Ada yang merebus basah, ada pula yang menggoreng paru mereka sampai kering dan “kriuk”. Saya lebih menyukai paru kering seperti cara pengolahan di warung Coto Abah ini. Parunya terlihat mengambang di air coto putih yang tampak kental, begitu menggugah selera. 

Sama seperti di setiap warung coto kota ini, warung Coto Abah juga menyediakan sambal tumis, kecap manis, semangkuk penuh irisan jeruk nipis, dan ketupat yang tertata rapi di piring-piring rotan. Lidah orang Makassar sangat akrab dengan jeruk nipis. Segala jenis makanan terasa kurang lezat tanpa kehadiran rasa kecut dari jeruk nipis. Kami senang dengan kehadiran jeruk nipis di soto, coto, sate, sup konro, sop saudara, bahkan nasi goreng.

Bertahun-tahun tinggal di kota ini, saya sudah terbiasa dengan jeruk nipis di aneka makanan. Bahkan saya juga kerap menawarkan warung coto legendaris kepada teman-teman dari luar Makassar ketika mereka datang berkunjung. Bagi orang-orang yang tinggal di kota ini, coto bukan sekadar makanan. Ia adalah identitas yang hadir di setiap momen keseharian. Coto selalu membangkitkan kerinduan ketika berada jauh dari Makassar, menjadi yang selalu dicari dalam perantauan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Semangkuk Coto Makassar dan Kerinduan dalam Perantauan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/semangkuk-coto-makassar-dan-kerinduan-dalam-perantauan/feed/ 0 41976
Melihat “Passandeq” Menjadi Guru di Pesisir Selat Makassar https://telusuri.id/melihat-passandeq-menjadi-guru-di-pesisir-selat-makassar/ https://telusuri.id/melihat-passandeq-menjadi-guru-di-pesisir-selat-makassar/#respond Mon, 29 Apr 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41789 Kebudayaan serupa ikan yang hidup di laut lepas yang selalu dibicarakan sebagai kekayaan alam. Dikuras untuk menghidupi manusia, tetapi tidak jarang pula diabaikan kondisi lingkungan hidupnya. Padahal dalam lembaran negara telah diamanatkan bahwa negara memajukan...

The post Melihat “Passandeq” Menjadi Guru di Pesisir Selat Makassar appeared first on TelusuRI.

]]>
Kebudayaan serupa ikan yang hidup di laut lepas yang selalu dibicarakan sebagai kekayaan alam. Dikuras untuk menghidupi manusia, tetapi tidak jarang pula diabaikan kondisi lingkungan hidupnya. Padahal dalam lembaran negara telah diamanatkan bahwa negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia, dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.

Mandar, salah satu suku bangsa di Nusantara yang budayanya berorientasi laut di antara suku bangsa maritim lainnya, seperti Makassar, Bugis, Bajau, Madura, dan Buton. Melalui buku Orang Mandar Orang Laut (KPG, 2005), Muhammad Ridwan Alimuddin menyebut keulungan bahari suku Mandar bisa ditemukan pada bentuk teknologi perikanan yang mereka kembangkan seperlunya untuk mengatasi tantangan alam yang terbentang di depan mereka.

Muhammad Ridwan Alimuddin menyebut bahwa laut “dalam” adalah pembeda antara Mandar dan lima suku bangsa bahari lainnya di Indonesia. Menurutnya, jika kita meneliti peta kedalaman laut Indonesia, Mandar adalah satu-satunya suku bahari yang langsung dihadapkan ke laut dalam terbuka tanpa gugusan pulau. Setidaknya, kedalaman itu mencapai 100-2000 meter di bawah permukaan laut.

“Jika boleh dikata sifat kebaharian suku Mandar bukan muncul dari hiruk-pikuk perebutan kekuasaan politik, militer, atau ekonomi, melainkan lewat cara yang bersahaja namun konkret, yakni menghadapi tantangan alam dengan mengembangkan teknologi untuk mengatasinya,” tulis Muhammad Ridwan Alimuddin.

Salah satu teknologi perikanan yang menjadi warisan budaya Mandar adalah perahu sandeq. Perahu yang menurut antropolog maritim, Horst Liebner, sebagai puncak revolusi perahu bercadik khas Austronesia. Dahulu, perahu sandeq digunakan untuk menangkap ikan dan berdagang sampai Selat Malaka, Laut Sulu, Papua, dan Pulau Jawa.

Cerita keulungan itu ternyata perlahan berubah sejak nelayan mulai mengenal motorisasi perahu. Posisi perahu sandeq yang bertenaga angin dan ramah lingkungan sebagai perahu warisan budaya mulai tergeser posisinya. Kondisi ini mendorong lahirnya upaya pelestarian sandeq, terutama mewariskan nilai budaya maritim yang terkandung di dalamnya.

Tahun 1995, bermula dari tugas Horst Liebner untuk meneliti tentang pembuatan perahu Sandeq. Setelah satu perahu yang Horst Liebner teliti selesai dibangun di Tanangan, Majene, hari itu juga langsung didorong ke laut dan mengapung-apung di depan kampung. Horst Liebner lalu bertanya pada nelayan yang baginya dianggap teman, “Sekarang kita bikin apa dengan perahu itu?” Para nelayan waktu itu justru memberi jawaban untuk dibuat lomba. Horst Liebner lalu bertanya balik ingin lomba ke mana, yang kembali dijawab dari Majene ke Makassar. Mereka pun membuat lombanya dalam rangka HUT RI Ke-50. Lomba perahu tersebut yang kini dikenal dengan nama Sandeq Race..

Melihat "Passandeq" Menjadi Guru di Pesisir Selat Makassar
Deretan perahu sandeq pangoli yang akan digunakan peserta Student on Sandeq/Abdul Masli

Student on Sandeq, Pelajaran Pemajuan Kebudayaan dari Mandar

Selasa pagi (08/08/2023), angin kencang berembus, mengingatkanku pada lirik lagu Mandar “Wattu Timur di Pamboang” gubahan Andi Syaiful Sinrang dan HM Abdullah yang dulu biasa saya dengar lewat saluran TV kabel. Hari itu, awal mula Student on Sandeq (SOS) dilaksanakan, sebuah upaya pewarisan nilai budaya di atas laut oleh para passandeq (orang yang mengemudikan perahu sandeq) kepada generasi muda.

Saya memperoleh informasi dari Nasa, seorang teman yang menjadi panitia pelaksana, saat dalam perjalanan dari Tammerodo menuju Banggae, Majene. Kuputuskan singgah di Pamboang, berjalan menyusuri lorong menuju Dapur Mandar, menyaksikan kegiatan yang menghadirkan nelayan Mandar sebagai pelaku budaya untuk mengajarkan anak sekolah tentang semesta laut. Khususnya budaya maritim dan perahu sandeq.

Saya tiba di lokasi pukul 09.30, lalu berdiri di atas tanggul pesisir Pantai Pamboang, tepat samping Dapur Mandar. Saya mengarahkan pandangan ke laut melihat enam perahu sandeq pangoli berjejer di pantai. Jenis perahu sandeq yang biasa digunakan menangkap ikan dan mencari telur ikan terbang dengan menghanyut di tengah laut. Nelayan menyebutnya motangnga. Pada dinding perahu tertulis nama masing-masing sandeq, yakni Dewa Ruci, Buah Kurma, Cari Selamat, Palippis Indah, Bintang Laut, dan Sahara.

Setengah jam menunggu, rombongan peserta telah tiba. Kulihat Ridwan, Nasa, dan beberapa panitia keluar dari Dapur Mandar menyapa para passandeq. Nasa menyerahkan kaos bertuliskan SOS dan lukisan sandeq di depannya kepada passandeq. Saya menyapa mereka, berjabat tangan, kemudian bergabung ke lokasi untuk mengikuti kegiatan pembukaan. Terlihat para panitia giat menyiapkan acara pembukaan, para siswa dari enam sekolah sibuk registrasi dan duduk bercerita di halaman depan Dapur Mandar. Tidak lama, mereka diminta untuk mengganti baju dengan seragam yang telah disiapkan. Semua berlangsung cepat.

Melihat "Passandeq" Menjadi Guru di Pesisir Selat Makassar
Seorang Passandeq melintas di pantai belakang Dapur Mandar/Abdul Masli

Student on Sandeq ini adalah bagian awal dari rencana jangka panjang. Kalau dulu Sandeq Race dimulai tahun 1995 dan hari ini alhamdulillah masih berlangsung, sudah lebih 20 tahun, bahkan hampir 30 tahun. Kali ini idenya adalah semua SMA, SMK, dan MA yang sekolahnya di pesisir itu punya perahu sandeq,” ucap Muhamad Ridwan Alimuddin, penulis buku Sandeq: Perahu Tercepat Nusantara terbitan Penerbit Ombak tahun 2013 dalam sambutannya.

“Ini, kan, di sekolah sudah ada [ekstrakurikuler] sepak bola, voli, takraw, pramuka; kenapa tidak ada kegiatan berlayar? Kebetulan ada juga kegiatan Merdeka Belajar, jadi bisa dikonversi ke nilai. Nah, yang akan menjadi guru-guru itu para passandeq. Jika sebelumnya sudah ada kegiatan seniman masuk sekolah—kalau tidak salah seniman itu mengajar dan ada gajinya—maka kegiatan ini serupa dengan itu, sehingga passandeq tidak akan jual sandeq-nya kalau ada program seperti itu. Terus teman-teman (siswa) juga akan belajar berlayar dan dalam event-event tertentu, misalnya Hardiknas atau 17 Agustus, itu berlomba. Namun, lombanya bukan cuman kecepatan, tapi dinilai bagaimana kolaborasi di atas perahu sandeq. Jadi, akan ada kolaborasi yang indah antara pelajar dan para passandeq. Dengan cara itu bisa memperpanjang umur perahu sandeq, dan mungkin akan bertambah,” lanjutnya.

SOS melibatkan tiga sawi untuk satu perahu yang akan mewariskan pengetahuannya kepada masing-masing lima siswa dari enam sekolah yang diundang, yakni SMK Labuang, SMK Balanipa, SMAN 1 Tinambung, SMAN 1 Majene, SMAN 2 Majene, dan SMAN 3 Majene. Keenam sekolah ini berada di pesisir Mandar. Siswa menginap di lokasi untuk mengikuti berbagai rangkaian acara, mulai dari praktik memasang layar sandeq, melayarkan perahu, tali temali, navigasi pelaut Mandar, dan sebagainya. Pengalaman berlayar itu mereka tulis menjadi sebuah warisan pengetahuan. Posisi pencatatan setiap peristiwa dipandang penting agar nanti bisa menjadi pengetahuan yang diwariskan bagi generasi selanjutnya.

“Intinya, kegiatan ini bukan melahirkan siswa untuk jadi nelayan atau passandeq—kalau ada yang mau itu malah lebih bagus—tapi bagaimana karakter ke-pelaut-an itu dimiliki oleh kita.” Muhammad Ridwan Alimuddin diam sebentar. Rasa haru nampaknya memenuhi ruang hatinya hingga menitikkan air mata. Kemudian lanjut bicara dengan suara bergetar. 

“Jadi, di passandeq itu, komunitas maritim secara umum, banyak sekali yang punya pengetahuan atau ussul kalau bagi orang Mandar, misalnya tiba sebelum berangkat, terus harus berpikir positif. Hal itu harus kita miliki juga. Paling penting adalah passandeq itu cukup inovatif, apa pun masalah di laut itu mereka bisa atasi. Nah, di kehidupan sehari-hari kita juga harus bisa seperti itu, harus berpikir positif, berkolaborasi, misalnya kalau di laut kita melihat orang mengalami kerusakan perahunya itu harus dibantu. Semangat-semangat seperti itu juga harus dimiliki oleh generasi Mandar. Jadi, kita tidak cuma bangga sebagai cucu pelaut ulung.”

Usai rangkaian acara formal pembukaan, para peserta memasuki rangkaian pertama proses belajar semesta budaya bahari Mandar. Kurang setengah jam matahari tegak lurus di atas kepala, praktik belajar dimulai dengan memasang layar perahu di pinggir pantai. Siswa yang sebelumnya telah dibagi menjadi enam kelompok sesuai jumlah sekolah yang diundang mulai praktik. Passandeq sebagai guru mereka menjelaskan, memberi contoh, lalu dipraktikkan oleh siswa. Layar berupa terpal putih dengan lukisan di tengahnya dibentangkan di pasir, pada sisi lainnya dijahit ke tiang layar menggunakan tali. Proses ini berlangsung cukup cepat, kurang lebih dua puluh menit, satu per satu layar telah terpasang pada tiang layar, yang kemudian diangkat bersama-sama untuk dipasang pada perahu.

Kusaksikan wajah siswa yang mengikuti kegiatan, beserta orang-orang yang turut menyaksikan kegiatan ini. Ada kebahagiaan, antusias, euforia, bercampur menjadi satu. Kolaborasi antara siswa dan passandeq, terjalin harmonis seperti yang telah disampaikan oleh Muhammad Ridwan Alimuddin dalam sambutannya.

Contoh yang Diharapkan untuk Pelestarian Kebudayaan Lainnya

Pukul 11.40 satu perahu yang lebih awal memasang layar mulai membuka layar dan berlayar di perairan yang tidak jauh dari pantai. Lima lainnya ada yang masih sibuk memasang tiang layar, bahkan ada yang masih menjahit layar ke tiangnya. Dua puluh menit berlalu, semua perahu siap berlayar. Namun, tiba-tiba salah satu perahu sandeq mengalami kerusakan. Pada jarak sekitar 50 meter dari pinggir pantai, perahu yang diikuti oleh siswa SMAN 1 Tinambung, yakni sandeq Buah Kurma, tiang layarnya patah. Mereka pun kembali dengan mendayung hingga ke pinggir pantai.

Menyikapi kasus tersebut, Muhammad Ridwan Alimuddin menyampaikan untuk belajar langsung memperbaiki perahu rusak. Kasus kerusakan perahu biasa terjadi, pengalaman ini justru bisa menjadi pengalaman berbeda bagi peserta dibanding yang lainnya. Mereka bisa belajar lebih dalam mengenai pengetahuan keperahuan.

Melihat "Passandeq" Menjadi Guru di Pesisir Selat Makassar
Kondisi perahu sandeq Buah Kurma yang tiang layarnya patah/Abdul Masli

Student on Sandeq serupa perahu yang mengarungi gelombang perubahan zaman. Ia wujud nyata dari inisiatif baik dan keteguhan masyarakat yang orientasi budayanya maritim. Ia menjadi penanda upaya pemajuan kebudayaan yang berpijak pada keseharian masyarakat untuk mencapai kemandirian. Masyarakat pemilik dan penggerak kebudayaan, maka sejatinya mereka tidak dilepaskan dari perkembangan kebudayaannya.

Perkembangan kebudayaan sepatutnya tidak dipisahkan dari perkembangan masyarakatnya. Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan menempatkan masyarakat sebagai pemilik dan penggerak kebudayaan nasional. Masyarakat sebagai pelaku aktif kebudayaan, dari tingkat komunitas sampai industri. Mereka pihak yang paling akrab dan paling paham tentang kebutuhan dan tantangan untuk memajukan ekosistem kebudayaan.

Student on Sandeq menjadi contoh praktik baik dari realisasi strategi kebudayaan berupa perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan sumber daya kebudayaan yang tidak lepas dari konteks warganya. Nelayan sebagai pelaku dan pemilik pengetahuan mewariskan nilai budaya, peneliti atau pemerhati kebudayaan hadir sebagai fasilitator yang menjembatani nelayan, pemerintah, dan generasi muda. Sementara itu, pemerintah hadir memfasilitasi pelaksanaan kegiatan dengan memberikan dukungan materiel dan jaminan keberlanjutan program. Generasi muda yang terlibat mengikuti kegiatan belajar dan merefleksikannya untuk diambil pembelajaran dan nilai-nilai budaya di dalamnya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Melihat “Passandeq” Menjadi Guru di Pesisir Selat Makassar appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/melihat-passandeq-menjadi-guru-di-pesisir-selat-makassar/feed/ 0 41789
Menelusuri Tempat-Tempat yang Kerap Termakan Kesibukan Kota Makassar https://telusuri.id/menelusuri-tempat-tempat-yang-kerap-termakan-kesibukan-kota-makassar/ https://telusuri.id/menelusuri-tempat-tempat-yang-kerap-termakan-kesibukan-kota-makassar/#respond Mon, 04 Mar 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41279 Siapa sangka, jalan kaki mengikuti rute-rute yang rutin dilalui tiap harinya dengan kendaraan bisa menjadi pengalaman yang sangat berbeda. Seperti hari Minggu beberapa waktu lalu, saat saya mengikuti aktivitas jalan pagi bersama Teman Jalan Makassar...

The post Menelusuri Tempat-Tempat yang Kerap Termakan Kesibukan Kota Makassar appeared first on TelusuRI.

]]>
Siapa sangka, jalan kaki mengikuti rute-rute yang rutin dilalui tiap harinya dengan kendaraan bisa menjadi pengalaman yang sangat berbeda. Seperti hari Minggu beberapa waktu lalu, saat saya mengikuti aktivitas jalan pagi bersama Teman Jalan Makassar (@temanjalan.mks). Kami melintasi jalanan sekitar Karebosi Link sampai ke Jalan Sulawesi, lalu kembali melewati pasar-pasar tradisional yang berusia belasan tahun lebih. Semua dimulai dari gerakan Teman Jalan Makassar, gerakan yang mempertemukan sejumlah orang untuk menghabiskan pagi berjalan-jalan bersama, mengikuti rute dengan sejarah Kota Makassar yang ditawarkannya. Saya cukup beruntung lulus sebagai salah satu peserta Teman Jalan, sebab konon katanya cukup sulit untuk lulus pada percobaan pertama. 

Berdasarkan jadwal yang dibagikan via Instagram, kami harus berkumpul sebelum pukul enam pagi di dekat Indomaret Jl. Ahmad Yani, Makassar. Waktu itu langit masih cukup gelap. Sekitar setengah jam sebelum waktu yang ditentukan, saya berangkat dari rumah dengan jarak tempuh sekitar 20 menitan. Saat tiba dan memarkirkan kendaraan di lokasi titik kumpul, saya melihat beberapa orang telah hadir. Salah seorang lalu memberi tiap orang yang baru datang—termasuk saya—sebuah zine dari Teman Jalan Makassar edisi kali ini. 

Menelusuri Tempat-Tempat yang Kerap Termakan Kesibukan Kota Makassar
Zine dari Teman Jalan Makassar yang memuat foto, rute, dan informasi sejarah/Nawa Jamil

Zine-nya cukup sederhana, dengan desain yang unik dan tentunya informatif. Zine ini menyajikan beragam informasi, seperti rute jalan kali ini, informasi titik-titik yang akan kami singgahi, serta satu halaman berisi permainan bingo, dengan hadiah bagi lima orang tercepat yang berhasil menyelesaikannya. 

Saat mulai berjalan, saya langsung mendekati seorang perempuan yang tampak sendiri, seperti diriku. Kami berkenalan. Namanya Yuni, seorang pekerja swasta yang tinggal tidak jauh dari Jalan Sulawesi.

Menelusuri Tempat-Tempat yang Kerap Termakan Kesibukan Kota Makassar
Tampak gerbang makam Pangeran Diponegoro/Nawa Jamil

Dari Pasar Sentral ke Makam Pangeran Diponegoro

Pemberhentian pertama kami berada di sekitar Pasar Sentral. Tidak banyak sejarah yang diceritakan di sini, kecuali bagaimana jalan-jalan sekitar pasar begitu ruwet dan membingungkan. Belum lagi begitu banyak polisi yang siap menilang jika ada pengendara yang salah jalan. 

Selanjutnya kami meneruskan jalan ke arah utara, menuju makam Pangeran Diponegoro. Awalnya saya sama bingungnya dengan orang awam lain, bagaimana makam seorang pahlawan nasional yang lahir, besar, dan berperang di Jawa dimakamkan di tanah Sulawesi. Sejarah memang menyenangkan. Selagi melihat langsung bangunan-bangunannya, kami juga mendengarkan cerita-cerita menarik. 

“Ada perjalanan panjang yang dilalui oleh Pangeran Diponegoro hingga dimakamkan di kota ini. Dulu saat zaman penjajahan Belanda, ia diasingkan setelah pertarungan sengit yang berlangsung sampai 1830. Pangeran Diponegoro diasingkan ke Manado, lalu ke Makassar setelahnya di tahun 1833. Ia menetap di Makassar, tepatnya di Benteng Fort Rotterdam sampai akhir hayatnya di tahun 1855,” jelas pemandu.

Kaki kami kembali melangkah, kemudian berhenti beberapa kali pada titik-titik jalan dengan bangunan bersejarah sepanjang rute makam Pangeran Diponegoro—Pasar Butung. Kami mengunjungi sejumlah lorong tersembunyi, melihat arsitektur pecinan yang begitu kental, serta bagaimana bangunan-bangunan itu tampak tua, tetapi kokoh. Cat dinding yang mengelupas, besi rumah yang teroksidasi, berkarat, dan menguning. Satu hal yang kuperhatikan dari ruko-ruko lama di pecinan, yakni mereka memasang teralis besi rapat dan memenuhi balkon lantai dua, sehingga siapa pun yang melihatnya akan langsung teringat kembali ke masa kerusuhan 1997.

Sejarah di Masjid Tua

Saat rute dari Pasar Sentral Ke Butung, kami sempat berbelok ke arah sebuah masjid tua dua tingkat berwarna putih. Masjid ini cukup besar dengan kubah setengah lingkaran sempurna. Kami masuk lewat pintu belakang. Ada pagar tembok tebal dengan lubang pendek hanya sekitar satu meter sehingga kami melewatinya dengan menunduk. Setelah itu, kami lalu berjalan keluar area masjid.

Saya menemukan satu keunikan di sini. Terdapat sebuah rumah yang cukup mewah dibangun di dekat menara masjid, sehingga lingkungan masjid menjadi sangat samar. Halaman rumah ibadah ini juga ditempati beragam aktivitas umum, terlihat dari benda-benda yang tertinggal di sana. Saya membayangkan halaman masjid ini kerap digunakan berkumpul saat sore, misal anak-anak bermain dan para ibu rumah tangga bersosialisasi. 

Dari masjid, kami memasuki satu lorong yang seolah meneriakkan “sejarah”. Lorong ini cukup kecil, tidak akan muat mobil. Diapit bangunan-bangunan tinggi membuat lorong ini sejuk dan dingin. Di ujung lorong, tampak tiga orang pria tua duduk bercengkerama akrab. Dari senyum dan keramahannya, tampaknya mereka telah terbiasa dengan kehadiran Teman Jalan Makassar.

Pemandu memberi penjelasan, “Bangunan-bangunan ini cukup unik di masa lalu. Dulu saat orang-orang datang dan menetap, mereka menyekat satu bangunan rumah persegi panjang ini ke dalam beberapa sekat yang diisi oleh tiap-tiap keluarga. Jadi, sebenarnya mereka tidak membangun masing-masing, melainkan satu bangunan besar yang disekat.”

Salah seorang peserta lalu bertanya, “Jadi, mereka yang tinggal dalam satu bangunan itu keluarga, kak?”

“Belum tentu juga, tetapi yang pasti mereka ini merupakan komunitas yang hidup dan resilient bersama. Sebagian mungkin masih dalam satu garis keturunan, tetapi beberapa juga tidak.”

Kembali ke Karebosi

Setelah dari Pasar Butung, kami lalu meneruskan perjalanan ke arah Selatan. Jalan pulang ke titik awal kami di Lapangan Karebosi. Kami berhenti di sejumlah bangunan tua terbengkalai. Bangunan-bangunan ini begitu jaya pada masanya, seperti satu bangunan yang dulu difungsikan sebagai kampus, tetapi kini setengah rata dengan tanah. Satu lagi bangunan dengan arsitektur atap yang unik, konon dulunya merupakan gedung kesenian atau teater. Bangunan lain yang kami singgahi adalah sebuah bangunan panjang dengan rerumputan tinggi. Sebuah plang musik masih cukup terbaca dan terpasang di depan pintu masuknya. Kak Yuni, salah seorang peserta kemudian berceletuk. 

“Dulu saya pernah les piano di sini,” ungkapnya.  

Sepanjang Jalan Sulawesi merupakan jalanan yang paling kusuka, selain pengalaman memasuki Pasar Bacan dan melihat-lihat penganan olahan babi dan babi-babi mentah. Di Jalan Sulawesi, kami saling bertukar informasi makanan enak yang harus dicicipi turis yang berkunjung ke Makassar, seperti Ayam Goreng Sulawesi, Sop Saudara, ataupun nasi goreng nonhalal yang konon paling enak di sekitar situ. 

Saya tidak pernah membayangkan jalan pagi sejauh tujuh kilometer, menyusuri jalan-jalan yang biasanya sibuk, bisa menjadi sebuah pengalaman menyenangkan. Apalagi bersama orang-orang yang asyik. Dan juga Kak Yuli, telah memberikan banyak informasi tentang bangunan-bangunan, yang kerap luput dari orang-orang kota yang serba cepat.  

Ternyata, jalan kaki membuat kita melihat semuanya lebih detail. Mempertanyakan satu-dua hal yang biasanya luput. Sebuah pengalaman jalan yang tidak biasa, tetapi tentu saja menyenangkan!


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menelusuri Tempat-Tempat yang Kerap Termakan Kesibukan Kota Makassar appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menelusuri-tempat-tempat-yang-kerap-termakan-kesibukan-kota-makassar/feed/ 0 41279
Kabar Ceria sekaligus Cemas dari Pulau Bonetambu di Hari Sabtu https://telusuri.id/kabar-ceria-sekaligus-cemas-dari-pulau-bonetambu-di-hari-sabtu/ https://telusuri.id/kabar-ceria-sekaligus-cemas-dari-pulau-bonetambu-di-hari-sabtu/#respond Thu, 15 Feb 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41160 Mengunjungi Pulau Bonetambu selalu menjadi agenda akhir pekan kesukaan saya. Menyeberangi lautan selama hampir sejam, bertemu dengan anak-anak pulau yang sudah meneriaki nama kakak-kakak gurunya bahkan sebelum kami bersandar di dermaga. Di bulan November dan...

The post Kabar Ceria sekaligus Cemas dari Pulau Bonetambu di Hari Sabtu appeared first on TelusuRI.

]]>
Mengunjungi Pulau Bonetambu selalu menjadi agenda akhir pekan kesukaan saya. Menyeberangi lautan selama hampir sejam, bertemu dengan anak-anak pulau yang sudah meneriaki nama kakak-kakak gurunya bahkan sebelum kami bersandar di dermaga. Di bulan November dan matahari yang terik sedari pagi, rombongan kami yang terdiri dari enam relawan Sikola Cendekia Pesisir (SCP) dan beberapa peserta dari salah satu yayasan, bersama-sama menaiki perahu berkapasitas 70 orang milik Haji Rasul, seorang pemilik kapal dari Pulau Barrang Lompo—sama-sama terletak di kawasan Kepulauan Spermonde dan perairan Selat Makassar.

Perjalanan menuju Pulau Bonetambu dari dermaga Pelabuhan Paotere, Makassar memakan waktu sekitar satu jam. Saat kami tiba, air laut tidak begitu tinggi sehingga kapal tidak bisa bersandar di dermaga. Pada situasi seperti ini, solusi terbaik adalah seorang awak kapal memakai gabus besar menuju dermaga, lalu mengomunikasikan dengan salah satu warga untuk meminjam jolloro, kapal panjang dan ramping untuk menjemput kami. 

Kabar Ceria sekaligus Cemas dari Pulau Bonetambu di Hari Sabtu
Pelabuhan Paotere saat Sabtu pagi sebelum berangkat ke Pulau Bonetambu/Nawa Jamil

Sewaktu menunggu giliran menaiki jolloro, saya duduk di samping Haji Rasul, sang kapten kapal. Kami pun sempat berbincang kecil. “Kemarin waktu pemberangkatan relawan naik kapal ta’ juga tidak bisa sandar di dermaga, ya, Aji?”

Haji Rasul menangguk. “Begini memang selalu, Dek, apalagi kalau berangkat menuju siang. Pasti air laut itu sudah turun, tidak cukup untuk kapal sandar di dermaga. Pasti kandas.”

Ia lalu melanjutkan, “Apalagi daerah bibir pantainya pulau ini sama sekali tidak dibersihkan. Ada banyak karang dan dangkal. Jadi kalau air laut surut sedikit saja, saya sudah tidak berani sandar di dermaga.”

Kami tidak banyak berbincang. Setelah sekitar 15 menitan, jolloro kembali bersandar di samping kapal kami, selesai membawa rombongan pertama ke pulau. Saya pun naik ke jolloro. Dari kejauhan, saya dapat melihat dermaga penuh dengan anak-anak yang telah menunggu kedatangan kami. Kata temanku kemudian, anak-anak menunggu sejak pagi. Mereka terlihat senang dan melambaikan tangan seraya kami tiba di dermaga. 

Anak-anak menyambut meriah. Hatiku sangat penuh dengan tingkah lucu mereka yang berebut untuk menggandeng tanganku. Kusapa wajah-wajah yang tidak asing, beberapa anak juga menegurku.

“Halo, Kak Nawa,” sapanya.

Kabar Ceria sekaligus Cemas dari Pulau Bonetambu di Hari Sabtu
Haji Rasul menakhodai masker saat mengemudikan kapal miliknya menuju Pulau Bonetambu/Nawa Jamil

Menghadapi Antusiasme Anak-anak

Selama beberapa jam ke depan, sebagian besar kegiatan akan dilakukan di sekolah dasar, kecuali makan siang relawan secara bergantian. Kegiatan ini dimulai dengan pengenalan relawan. Kala itu, saya bertanggung jawab di kelas 5 dan 6 yang digabung dalam satu ruangan untuk memastikan kelas berjalan kondusif. Sementara sesi mengajar diserahkan sepenuhnya kepada dua relawan dari yayasan. 

Kelas 5 dan 6 memang belajar di satu ruangan yang menyatu dengan ruang guru (lebih mirip bilik darurat yang hanya dipisahkan dengan triplek putih). Terdapat sekitar 20 anak dari dua jenjang kelas tersebut. Tidak sebanyak murid di sekolah-sekolah yang umum dijumpai di kota. Selama sejam, kami akan bersenang-senang di dalam kelas: belajar baca, tulis, hitung, dan sedikit bahasa Inggris yang ternyata cukup disenangi anak-anak. 

Mengajar anak-anak di dalam kelas memang cukup tricky. Kita harus sigap membaca tanda-tanda kebosanan, hilang fokus, dan tentu menyiapkan materi ajar yang menarik. Setiap anak unik dengan caranya sendiri, sehingga membutuhkan pendekatan yang berbeda pula. Ada yang senang dipuji, ada yang malu-malu, ada pula yang senang bermain dan mengganggu temannya. Beberapa pengalaman mengajarku membuatku mengerti bagaimana memperoleh perhatian mereka tanpa melukai pita suara, seperti games, tepuk-tepukan yang variatif, serta memberikan apresiasi untuk setiap hal kecil dan baik yang mereka lakukan. 

Tidak terasa, waktu sudah mendekati siang. Seperti briefing sebelumnya, anak-anak akan diberi makan siang sementara beberapa relawan akan santap siang di rumah Bu RW secara bergantian. Setelah itu permainan berlangsung di luar ruangan. Anak-anak bermain bersama sejumlah kakak relawan, sedangkan sebagian relawan lain sibuk mempersiapkan penyerahan bingkisan untuk setiap anak. Bingkisan-bingkisan itu terdiri dari tas sekolah, perlengkapan sekolah, dan beberapa camilan sehat. 

Anak-anak menerimanya dengan bersemangat. Sebagian di antaranya menyerobot karena saking senangnya. Setelah berfoto bersama, mereka menolak pulang ke rumah mereka dan justru menemani kami ke dermaga. Sayangnya, kami tidak menginap seperti kegiatan-kegiatan sebelumnya.

  • Kabar Ceria sekaligus Cemas dari Pulau Bonetambu di Hari Sabtu
  • Kabar Ceria sekaligus Cemas dari Pulau Bonetambu di Hari Sabtu

Kekosongan-kekosongan yang Muncul Setelahnya

Kegiatan berbagi dalam bentuk materi menjadi sesuatu yang sangatlah lumrah ditemui, mengingat Indonesia dengan gelar negara berpenduduk paling dermawan di dunia. Sama seperti kegiatan berbagi di Pulau Bonetambu ini, saya melihat begitu banyak kesenangan yang terpancar dari mata anak-anak. Tas punggung yang baru dibagikan bahkan langsung mereka pakai dengan bersemangat.

Membantu dan berbagi memang menyenangkan. Hal baik ini selalu memenuhi hati dengan perasaan hangat. Namun, saya sedikit khawatir. 

Kekhawatiran ini muncul suatu hari, ketika beberapa orang berbagi sepatu untuk anak-anak gunung yang terbiasa tidak memakai alas kaki mewah itu. Donasi materi membiasakan anak-anak dengan kehadiran sepatu itu hingga dipakai setiap hari. Lambat laun, sepatu tersebut mengikis, solnya makin rapuh, dan akhirnya rusak. Yang terjadi setelahnya, lebih dalam dari sekadar alas kaki, kini anak-anak gunung menolak berangkat sekolah tanpa sepatu yang sebelumnya tidak menjadi persoalan. 

Selain itu, pembagian berupa materi akan selalu menjadi hal baik, tetapi: “apakah anak-anak membutuhkan sepatu baru tiap tahun, atau kehadiran guru penuh waktu, ruang belajar nyaman, materi ajar yang menyenangkan dan aplikatif, atau bahkan perubahan pola pikir orang tua mereka bahwa sekolah itu penting?” 

Makin terlibat dengan niat membantu, makin saya sadar bahwa sistem dan perbaikan dari akar menjadi kunci utama perubahan. Tidak sekadar materi yang mengambang di permukaan air, menciptakan kekosongan demi kekosongan di bawahnya. Tidak mudah, apalagi untuk teman-teman relawan yang hanya modal nekat dan rasa kemanusiaan. Namun, bukan berarti tidak mungkin untuk mulai menyentuh hal-hal fundamental di masyarakat pulau. 

Kabar Ceria sekaligus Cemas dari Pulau Bonetambu di Hari Sabtu
Perjalanan pulang dari Pulau Bonetambu ke Makassar/Nawa Jamil

Cerita saat Pulang

Kami berusaha kembali ke Kota Makassar lebih cepat, sebab makin malam biasanya ombak akan makin besar. Berbeda saat pergi, kali ini saya langsung mengambil tempat duduk di samping Haji Rasul. Saya berniat berbincang banyak hal dengan beliau tentang teknik mengemudikan kapal. Tentu satu jam tidak cukup, apalagi beliau lebih senang bercerita tentang pengalaman merantau dan anak-anaknya dibanding soal kapal. 

Di bagian kemudi saya duduk bertiga, yaitu Haji Rasul, saya, dan satu relawan SCP, Kak Yaya. Perbincangan kami berlangsung menyenangkan, terutama perihal fenomena nikah muda yang kerap terjadi di pulau, dan bagaimana Haji Rasul keukeuh menasihati kami untuk segera menikah. Saya tidak berkomentar banyak, sebab beliau memberi nasihat karena peduli. Terlihat jelas dari matanya yang dikelilingi kulit keriput. 

Perjalanan pulang cukup menantang. Ombak lumayan besar, sehingga beberapa relawan yang duduk di bagian depan kapal langsung bergegas pindah ke dalam.

Kami kembali menginjakkan kaki di Pelabuhan Paotere sesaat sebelum Magrib. Disambut lembayung senja dan kumandang azan masjid. Setelah berpisah dengan rombongan yang kami kawal pada keberangkatan ini, kami pun menutup perjumpaan dengan semangkuk Coto Flyover, Makassar yang menghangatkan jiwa sampai ke tulang


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kabar Ceria sekaligus Cemas dari Pulau Bonetambu di Hari Sabtu appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kabar-ceria-sekaligus-cemas-dari-pulau-bonetambu-di-hari-sabtu/feed/ 0 41160
Serunya Perayaan Hari Disabilitas Internasional di Bulukumba https://telusuri.id/serunya-perayaan-hari-disabilitas-internasional-di-bulukumba/ https://telusuri.id/serunya-perayaan-hari-disabilitas-internasional-di-bulukumba/#respond Mon, 18 Dec 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40569 Di antara perjalanan dan tempat-tempat yang menyenangkan, sepertinya momen perayaan Hari Disabilitas Internasional (HDI) di Bulukumba pada awal Desember menjadi yang terbaik sepanjang tahun 2023. Lanskap Bulukumba dengan tebing dan jalur lintas provinsi di pinggiran...

The post Serunya Perayaan Hari Disabilitas Internasional di Bulukumba appeared first on TelusuRI.

]]>
Di antara perjalanan dan tempat-tempat yang menyenangkan, sepertinya momen perayaan Hari Disabilitas Internasional (HDI) di Bulukumba pada awal Desember menjadi yang terbaik sepanjang tahun 2023. Lanskap Bulukumba dengan tebing dan jalur lintas provinsi di pinggiran laut memang cantik. Namun, yang paling berkesan adalah perjalanan dan rangkaian kegiatan Hari Disabilitas Internasional yang dilaksanakan di ballroom Hotel Agri. Satu rangkaian acara dengan malam sebelumnyaa di mes Pemerintah Kabupaten Bulukumba di area wisata Pantai Bira.

Rombongan dari Makassar berangkat sekitar pukul 10.00 WITA dengan tiga jenis kendaraan. Bus medium yang ditumpangi anak-anak dan orang tua dari Komunitas Orang Tua Anak Down Syndrome (KOADS), mobil berkapasitas 16 orang yang diisi beberapa panitia menaiki mobil berkapasitas maksimum 16 orang, dan satu minibus Avanza putih. Pagi itu, cuaca cerah dengan jejak-jejak hujan yang baru saja reda. Bau tanah yang menyenangkan tercium syahdu. Orang-orang yang tidak kukenal tampak sibuk membungkus hadiah permainan lomba. Aku membantu membungkus dengan kertas kopi sewarna, sedangkan beberapa orang lainnya tampak sibuk mengatur barang-barang bawaan mereka di bagasi bus. 

Emon, seorang teman tuli dan guru bahasa isyaratku di Pusat Bahasa Isyarat Indonesia (Pusbisindo) tampak melambaikan tangannya. Ia bersemangat begitu melihatku muncul dari bagian belakang rumah titik kumpul kami. 

“Kamu ikut juga?” tanyanya dengan bahasa isyarat. 

Aku mengangguk, “Nanti aku ikut di mobil kamu.” 

Perjalanan ke Bulukumba

Kami tidak banyak berbincang. Selain situasi sedang sibuk-sibuknya, saya juga cukup kikuk setelah dua bulan lebih tidak berkomunikasi dengan bahasa isyarat. 

Kami menaiki mobil Avanza berwarna putih, menempuh perjalanan sekitar 162 kilometer ke Bulukumba. Emon menawarkan untuk lewat rute Galesong, lalu berbelok ke Bontonompo Selatan. Akan tetapi, kami harus menjemput satu orang lagi tepat setelah melewati Jembaran Kembar Gowa. Jadi, rute kami harus melewati Kabupaten Gowa, kemudian menyusuri jalanan menuju Kabupaten Takalar. Perjalanan kami berlangsung menyenangkan.

Saya belajar sangat banyak kosakata baru dalam bahasa isyarat. Misalnya menyebut “Kota Makassar” dengan memperagakan passapu, ikat kepala merah khas Makassar. Mengisyaratkan huruf “J” untuk Kabupaten Janeponto, yang diikuti kedua tangan dikepal dan sejajar di depan dada. Oh iya, bahasa isyarat Kabupaten Bulukumba juga sangat identik dengan ciri khas daerah ini, yakni dengan memberikan gerakan ombak.

Pengalaman mendampingi Emon di kursi depan, seorang teman tuli yang pandai mengemudi, membuat saya banyak menggunakan bahasa isyarat saat harus mengarahkan arah. Juga memberitahukan hal-hal kecil selama perjalanan, seperti “kita singgah di apotek terdekat”, “menyetirnya pelan-pelan saja”, dan “ayo, singgah beli minuman dingin dulu.”

Perjalanan Makassar—Bulukumba berjalan lancar dan menyenangkan. Rombongan kami berhenti di Mesjid Besar Jeneponto untuk makan siang bersama dan melanjutkan perjalanan sekitar pukul 14.00 WITA. Karena menaiki mobil terkecil, memungkinkan kami untuk singgah ke area kota Bulukumba. Kami mengambil beberapa perlengkapan, seperti air galon untuk konsumsi selama di Bira, serta baju kaus sablonan yang dipesan khusus untuk acara HDI ini. 

Malam Hari Penuh Tawa

Rombongan kami menjadi yang terakhir tiba di Bira. Anak-anak dan para orang tua telah menikmati acara berenang sejak sebelum matahari tenggelam. Saat memarkirkan kendaraan kami, beberapa rombongan tampak basah kuyup karena baru tiba dari Pantai Bira dengan berjalan kaki. Mereka tampak senang sekaligus kelelahan. 

Setelah beristirahat dan makan malam, lepas Isya kami berkumpul di selasar lantai dua yang luas dan terbuka tanpa atap. Ada lampu tali LED yang menambah suasana cantik malam hari. Mes yang kami tempati merupakan akomodasi milik Pemerintah Kabupaten Bulukumba. Tampaknya masih sangat baru, bahkan beberapa bagian mes masih dalam proses pembangunan.

Selasar yang kami gunakan malam ini merupakan bagian atas mesdengan teralis pengaman dari besi hollow yang dicat hitam legam. Tingginya cukup ideal dan sulit dijangkau anak-anak. Selasar ini cukup lebar, sekitar 6×3 meter dan lantainya sudah berkeramik meski agak licin. Angin pantai bertiup kencang beberapa kali, membawa kabar bau-bauan laut yang tidak sempat kudatangi sore tadi.

Acara malam ini penuh dengan tawa. Saya berterima kasih kepada adik-adik dari KOADS yang memenuhi hati kami dengan banyak cinta dan tingkah lucu yang tulus. Down Syndrome merujuk pada kondisi kelainan kromosom 21 yang menyebabkan keterlambatan perkembangan dan intelektual. Bersama orang tua mereka kami banyak menari dan bermain aneka ragam permainan. Mulai dari lomba memindahkan pipet tercepat, sampai permainan berebut kursi yang diganti dengan rebutan kertas HVS sebagai tempat pijakan. 

Merayakan Perbedaan 

Pada permulaan hari jelang acara puncak, orang-orang di kamar kami bangun lebih cepat dari kamar-kamar lain. Setelah bergantian mandi di toilet seadanya, kami lalu berangkat menuju lokasi acara yang berjarak satu jam dari mes tersebut.

Perjalanan pagi ini berlangsung lancar. Jalan masih sangat sepi. Kami hanya berpapasan dengan anak-anak berseragam sekolah yang dapat dihitung jari. Suasana pagi dan langit kemerahan menjadi teman kami sepanjang perjalanan, sampai tibalah kami di Hotel Agri. Saat tiba, tempat parkir masih kosong. Hotel ini kelihatan sepi.

Setelah bertanya pada salah satu petugas yang kebetulan lewat, kami diarahkan menuju lokasi acara. Sebuah ruangan superbesar dengan pintu kaca. Begitu kami masuk, kursi-kursi dibalut sarung putih sudah tersusun rapi. Begitu halnya dengan empat meja di bagian belakang. Saya menemukan kawan saya sedang sibuk mengemasi dua camilan manis dan sebotol air mineral ke dalam kotak putih polos. 

Serunya Perayaan Hari Disabilitas Internasional di Bulukumba
Sambutan Ketua Panitia Syamsul Iman dalam acara puncak peringatan Hari Disabilitas Internasional di Bulukumba/Nurul Jamil

Sekitar pukul sembilan pagi lewat belasan menit, acara pun dimulai. Saya cukup beruntung berkesempatan menangkap momen-momen menggemaskan selama acara berlangsung. Terutama ketika anak-anak melakukan beragam pentas seni, seperti Angngaru’—tari tradisional—hingga menyanyi. Selama dua hari bersama anak-anak dari pagi di Makassar, sampai pulang sore hari ini, saya melihat bahwa perlu pendekatan baru dalam mewujudkan inklusivitas di masyarakat kita.

Disabilitas sangat akrab dengan label negatif hanya karena mereka berbeda. Dalam penyampaian singkat dari Kak Syarif, seorang disabilitas netra pada sesi paparan singkatnya, menyatakan orang dengan disabilitas seringkali mengalami stigma miring dalam kehidupan sehari-harinya. Prosesnya berlangsung dalam empat tahap: labelisasi, lalu stereotifikasi, kemudian segregasi atau pemisahan orang-orang dengan disabilitas dari lingkungan mereka, hingga tahap akhir, yakni diskriminasi.

Saya sampai pada satu penyadaran saat mendengar pemaparan Kak Syarif siang itu. Bukankah seluruh tahap pemberian stigma tersebut sangatlah sepihak? Hanya dari orang nondisabilitas kepada orang dengan disabilitas saja, bukan? Lalu kenapa hal ini bisa terjadi dan bertahan sangat lama? 

Sebagai seorang fisioterapis, sebuah profesi kesehatan dengan fokus utama rehabilitasi gerak dan fungsi gerak, saya cukup sering berjumpa dan menangani kasus-kasus anak dengan disabilitas, seperti cerebral palsy, spektrum autis maupun sindrom down dengan keterlambatan tumbuh kembang, atau kasus-kasus delay development pada anak lainnya. Latar belakang saya membuat perspektif pribadi tentang disabilitas dengan kacamata yang medis sekali. Padahal sebenarnya disabilitas hari ini sangat kolot jika pendekatannya hanya sebatas medis. Perlu pendekatan yang lebih komprehensif dan holistik dalam mendukung keikutsertaan disabilitas yang bermakna dalam masyarakat kita. 

Sederhananya, melihat disabilitas hanya dari satu kacamata kuda medis saja, secara singkat akan langsung memberikan pandangan ketidakberdayaan hanya karena kondisi medis yang ada pada mereka. Padahal, berbeda tidak selalu berarti lebih buruk. Perlu ada usaha ekstra dari kita dalam mewujudkan inklusivitas yang bermakna. Karena berbeda, mereka memerlukan pendekatan yang berbeda pula. Namun, hal tersebut sama sekali tidak mengurangi hak mereka dalam menikmati segala fasilitas dan kesempatan-kesempatan dalam hidup. 

Serunya Perayaan Hari Disabilitas Internasional di Bulukumba
Kak Syarif, teman netra yang mengisi materi tentang labelisasi pada kawan-kawan disabilitas/Nurul Jami

Pertanyaan Baru

Kami lekas pulang kembali ke Makassar selepas acara. Kami tiba sekitar pukul 20.00 WITA, setelah sebelumnya mampir makan malam di Bakso Adi Bontonompo.

Perbincangan kami berlanjut sembari menikmati bakso keju dan urat yang komposisinya sangat pas. Di tengah perbincangan, Kak Syarif bercerita tentang aktivitas alam yang ia gemari, yaitu mendaki gunung.

Mendengar bagaimana Syarif pergi ke banyak tempat dan menikmati banyak hal, membangkitkan perasaan bahagia dalam hati saya, sehingga memunculkan pertanyaan baru, “Bagaimana menikmati alam dengan cara berbeda?” 

Menggali pertanyaan tersebut dalam kacamata teman disabilitas adalah semangat baru, yang lahir dari pertemuan singkat dua hari di Bulukumba dan tujuan petualangan selanjutnya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Serunya Perayaan Hari Disabilitas Internasional di Bulukumba appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/serunya-perayaan-hari-disabilitas-internasional-di-bulukumba/feed/ 0 40569
Menyusuri Leang Saripa di Kabupaten Maros https://telusuri.id/menyusuri-leang-saripa-di-kabupaten-maros/ https://telusuri.id/menyusuri-leang-saripa-di-kabupaten-maros/#respond Sat, 02 Dec 2023 06:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40070 Bersama langit yang semakin sore, kami berangkat beriringan setelah dua jam menunggu di titik kumpul—rumah salah seorang kawan di daerah Sudiang, Kota Makassar. Kami berkendara dengan motor, sekitar tujuh kendaraan, melintasi kemacetan ujung Kota Makassar...

The post Menyusuri Leang Saripa di Kabupaten Maros appeared first on TelusuRI.

]]>
Bersama langit yang semakin sore, kami berangkat beriringan setelah dua jam menunggu di titik kumpul—rumah salah seorang kawan di daerah Sudiang, Kota Makassar. Kami berkendara dengan motor, sekitar tujuh kendaraan, melintasi kemacetan ujung Kota Makassar sebelum berbelok ke arah Bantimurung, Kabupaten Maros. Hari ini, kami berencana mendirikan tenda dan menginap semalam, lalu melakukan susur gua di Leang Saripa. Leang Sapira merupakan salah satu dari puluhan gua yang berada dalam kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Sulawesi Selatan. 

Motor kami berjalanan beriringan dari area Sudiang sampai di sepanjang poros Bantimurung. Karena keterlambatan beberapa orang berkumpul di titik kumpul tadi, alhasil kami menjumpai azan Magrib di jalan sehingga harus menepi ke Masjid Babul Jannah di Desa Alatengae untuk memberi ruang bagi kawan-kawan yang melaksanakan salat.

Beberapa yang tidak salat kala itu duduk-duduk di selasar masjid, beberapa lagi merokok di parkiran. Langit sudah mendekati gelap dengan sedikit jingga di ufuk. Suara merdu muazin memenuhi langit. Hingga langit benar-benar gelap dan orang-orang keluar dan berjalan pulang, kamipun kembali melanjutkan perjalanan yang tersisa 15 km lagi. 

Leang Saripa
Kegiatan memasak di kemah/Nawa Jamil

Jalan yang kami lewati ini merupakan jalan alternatif lintas provinsi yang menghubungkan Kabupaten Maros dan Bone. Tak heran, kami seringkali berpapasan dengan truk belasan roda selama perjalanan. Meski sempat salah tempat dan berakhir di lokasi proyek galian berdebu dengan tanah merah dan jejak ban truk di mana-mana, kami akhirnya tiba di lokasi kemah setelah menelepon Kak Sugar—pengelola wisata sekaligus pemandu selama kami di Gua Saripa.

Meski tiba saat malam hari, lanskap lapangan luas yang dikelilingi batuan karst dan stalaktit di mulut kecil gua cukup terlihat saat kami meneranginya dengan lampu yang tersedia. Tak jauh dari stalaktit, dan sedikit atap gua menjorok keluar, ada sebuah bale-bale dari bambu. Katanya, tempat tersebut acap digunakan pengunjung untuk memasak. Mengikuti saran pengelola, kami juga memasak makan malam di sana. Meletakkan dua kompor besar dan satu tenda berisi ransum, lalu sepetak tanah kecil itu kami sulap menjadi dapur selama dua hari ke depan.

Bepergian dengan kawan-kawan saat akhir pekan dan menghabiskan malam bersama, tak lengkap rasanya tanpa suara senandung dari masing-masing orang. Kami, bernyanyi bersama. Tetap terdengar asyik meski agak sumbang. Pun, kami juga berbagi cerita-cerita yang lebih mendalam satu sama lain.

Malam menjadi cukup panjang, hingga pukul satu pagi saya memutuskan memejamkan mata. Dari dalam tenda, sayup-sayup kudengar beberapa orang masih berbincang dan bergurau hingga pagi menjelang.

  • Leang Saripa
  • Leang Saripa
  • Leang Saripa
  • Leang Saripa

Cerita menarik Gua Saripa di pagi hari

Saat hari sudah pagi, dan teman-teman sedang sibuk senam, saya melipir, tertarik melihat sepasang anak kecil yang tampak penasaran dengan kamera mirrorless milik saya. Kedua anak itu, seorang kakak perempuan dan adik laki-lakinya adalah anak dari Kak Sugar. Mereka sedang duduk di bale-bale, menemani kakek mereka yang juga mertua dari Kak Sugar.

“Kek, kita’ orang asli sini?” tanyaku, membuka percakapan kami. (Kita’ merupakan sapaan serupa ‘anda atau kamu dalam bahasa Makassar yang lebih sopan.)

“Iya, saya asli sini, dari dulu, anakku juga, istrinya Sugar juga lahir dan besar di sini.”

“Berarti sudah lama sekali ya, Kek. Ini gua sudah dari tahun berapa dibuka untuk wisata susur begini?”

Kakeknya tampak mengingat-ingat. “Sudah lama, dulu sekitar tahun 2000-an, ada mahasiswa pecinta alam dari Makassar. Mereka susur gua ke dalam, setelah itu, kasih tanda juga di depan. Dulu gua ini belum ada namanya, mereka sering sebut Gua Saripa sampai sekarang.”

“Tapi, sebenarnya ini dulu bukan Gua Saripa,” 

Aku menjadi bingung memendam pertanyaan, lalu jika bukan Gua Saripa, apa namanya?

“Gua Saripa yang asli di sebelah sana,” katanya, menunjuk ke arah kedatangan kami.”

“Oh, ini bukan Gua Saripa?”

Kakek menggeleng. “Bukan, tapi Gua Saripa letaknya di dekat sini juga, dekat persawahan di sana.”

  • Leang Saripa
  • Leang Saripa

Perbincangan kami berlangsung kurang lebih tiga puluh menit. Dari beliau, saya banyak mendengar cerita-cerita Gua Saripa di masa lalu. Misalnya, gua ini berfungsi sebagai tempat bersembunyi sewaktu tragedi genosida tahun 1950. Konon, beberapa pribumi bersembunyi di dalam gua ini, hingga periode perburuan golongan ekstrimis agama tertentu itu mereda.

Itu dulu. Kontras dengan keadaan beberapa tahun belakangan. Orang-orang di desa berkumpul di mulut gua saat musim kemarau hanya sekadar untuk menghabiskan waktu siang, merasakan angin sepoi-sepoi dan suhu dingin di antara stalaktit dan stalagmit.

Seperti tempat-tempat yang berumur tua, gua ini juga memiliki banyak cerita mistis. Salah satu yang terkenal yakni cerita tentang ikan transparan yang konon tinggal di danau dalam gua. Beberapa pengunjung pernah menyaksikan langsung keberadaannya.

Sang kakek juga sempat menceritakan peristiwa longsor yang terjadi di bagian luar gua sekitar tahun 2010-an. Sebuah pecahan batu gua yang cukup besar masih dapat dilihat di bagian samping gua, antara tangga menuju mulut gua dan lokasi kemah kami. 

Spelunking cave

Aktivitas yang cukup ektrem ini nyatanya digemari banyak pecinta alam di Kota Makassar. Kawasan Taman Nasional Bantimurung memang kerap menjadi lokasi susur gua (spelunking cave) bagi pecintanya yang berasal dari sekitar Sulawesi Selatan, bahkan luar negeri. Kawasan ini mencuri banyak perhatian sebagai kawasan karst terbesar dan terindah kedua di dunia. Selain karena bentang alamnya, jejak sejarah manusia purba yang tersebar di beberapa kawasan membuatnya tidak habis untuk terus ditelusuri. Salah satu yang menggemparkan yakni penemuan kerangka manusia purba ‘Besse’ pada kedalaman dua meter di Desa Wanua Waru, Kabupaten Maros, tahun 2015.

Saya sempat menanyakan perihal hal ini, siapa tahu gua yang akan kami masuki dalam beberapa jam ini memiliki jejak peninggalan sejarah di dalamnya, tetapi nihil.

Gua Saripa terdiri atas 3 bagian utama, yakni Aula 1, Aula 2, dan mata air yang membentuk danau yang berada di dalam gua. Sebelum memasuki gua, kami mendapatkan arahan dari Kak Sugar dan Kak Yusuf, dua orang yang akan memandu kami memasuki gua.

Leang Saripa
Stalakmit di mulut Gua Saripa/Nawa Jamil

Dari penuturan Kak Sugar, medan susur di dalam gua ini tidak terlalu sulit. Kami akan melewati dua bagian aula yang lapang, katanya lebih luas dari area kemah kami ini. Dua area lapang tersebut dinamai Aula 1 dan Aula 2. Selain itu memberikan informasi mengenai medan di dalam gua, Kak Sugar juga memberi kami arahan terkait hal-hal yang tidak boleh dilakukan di dalam gua.

Sekitar pukul sembilan pagi, kami memulai perjalanan. Menaiki puluhan anak tangga sebelum sampai di mulut gua. Kak Sugar berjalan paling depan, sementara Kak Yusuf sebagai sweeper di barisan paling belakang. Rombongan kami berjumlah sekitar 12 orang dengan mayoritas perempuan tanpa pengalaman susur gua sebelumnya.

Sejauh ini, medan yang kami lewati tidak sulit. Begitu melewati mulut gua, kami berhadapan dengan atap gua yang rendah dengan banyak stalagmit. Agak berbahaya jika tidak berhati-hati. Untuk melewatinya, kami harus berjalan jongkok sekitar 100 meter sebelum sampai di Aula 1, area gua yang begitu lapang, dingin, dan lembab. Sedihnya, saya mendapati vandalisme di beberapa titik. Coretan nama-nama orang menempel di dinding gua.

Leang Saripa
Bebatuan dalam cerita rakyat yang diyakini warga sekitar/Nawa Jamil

Setelah melewati Aula 1, jalan terbagi dua. Kami mestinya melewati jalan sebelah kiri untuk sampai ke Aula 2, tetapi setelah pemandu kami mengeceknya, ternyata ada penyempitan jalur sehingga kami harus melewati jalur sebelah kanan. Di jalur ini, terdapat jurang yang dalamnya mencapai tiga meter tepat di sisi kanan. Sementara itu, pijakan kaki kami sangat sempit, hanya setapak yang hanya bisa dilalui satu orang. Hal ini tentu saja membuat saya cukup khawatir. 

Rombongan berhenti tepat di depan jalur tersebut. Seperti sebelumnya, Kak Sugar dengan satu teman lelaki memeriksa keamanan jalur di depan terlebih dulu. Setelah dinyatakan aman, baru rombongan kembali melintas.

Seorang teman yang telah berjalan lebih dulu kembali dengan napas tersengal-sengal dan muka pucat. Aku yang masih menunggu giliran pun bertanya. 

“Kenapa, Kak?”

“Tidak ji. Mauka keluar karena sesak kurasa di dalam.” Katanya singkat. 

Iya berniat kembali ke Aula 1 sendiri. Namun, hal itu tidak diizinkan. Si kakek kemudian menemaninya. Saya juga mengikuti dari belakang, sebab kakek akan kembali bersama rombongan. Jadi saya merasa setidaknya harus menunggunya, berjaga-jaga jika ada kejadian yang tidak terduga. 

Alhasil, perjalanan susur gua pertamaku berakhir sebelum sampai di Aula 2. Sangat menyenangkan mendengar cerita anak-anak lain yang berhasil sampai ke danau dalam dan bermain air di sana. Terlihat dari baju mereka yang basah kuyup dan penuh tanah merah bahkan sampai ke bagian kepala. 

***

Setelah beristirahat, kami memutuskan menunggu hingga lepas waktu salat Zuhur sebelum memulai perjalanan pulang ke Kota Makassar. Meskipun saya tidak sampai ke dalam danau, tetapi menyaksikan gua dengan medan yang cukup berbahaya membuat diri ini bertekad menguatkan mental terlebih dulu sebelum kembali mencoba aktivitas ektrem ini. Seperti tempat-tempat indah lainnya di dalam kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Leang Saripa sama cantik dan ramahnya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menyusuri Leang Saripa di Kabupaten Maros appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menyusuri-leang-saripa-di-kabupaten-maros/feed/ 0 40070