sulawesi tengah Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/sulawesi-tengah/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 25 Jun 2025 14:55:50 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 sulawesi tengah Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/sulawesi-tengah/ 32 32 135956295 Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (2) https://telusuri.id/dari-bali-ke-banggai-2/ https://telusuri.id/dari-bali-ke-banggai-2/#respond Thu, 06 Feb 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45545 Setelah perjalanan panjang menyusuri Pangkajene dan Kepulauan, disaksikan deburan ombak musim timur, saya melanjutkan penjelajahan ke wilayah timur Indonesia. Destinasi kami adalah dua pulau di Maluku Barat Daya yang menyimpan ragam budaya, yakni Masela dan...

The post Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Setelah perjalanan panjang menyusuri Pangkajene dan Kepulauan, disaksikan deburan ombak musim timur, saya melanjutkan penjelajahan ke wilayah timur Indonesia. Destinasi kami adalah dua pulau di Maluku Barat Daya yang menyimpan ragam budaya, yakni Masela dan Babar.

Kali ini dimulai lewat jalur udara menuju Maluku hingga Saumlaki, ibu kota Kabupaten Kepulauan Tanimbar. Dari atas ketinggian, gugusan pulau-pulau kecil di Maluku tampak seperti bintik hijau di atas lautan biru. Saat roda pesawat akhirnya menyentuh landasan Bandara Mathilda Batlayeri, saya tahu perjalanan ini akan membawa banyak pelajaran.

Dari Saumlaki menuju Masela dan Babar, jalur laut kembali menjadi pilihan. Kapal yang tidak terlalu besar itu memotong gelombang dengan membawa kami menyusuri lautan lepas selama beberapa jam. Ombak yang menggulung, angin yang menusuk, dan suara mesin kapal yang meraung menjadi teman perjalanan yang tak terlupakan.

Masyarakat Masela dan Babar hidup sederhana dengan sejarah panjang budaya, kesehatan, kondisi geografis, dan keterbatasan fasilitas publik. Saya ingin mencatat detail tentang upaya masyarakat di sana bertahan menghadapi tantangan hidup sehari-hari.

Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (2)
KM Sabuk Nusantara, kapal perintis penghubung pulau-pulau di perairan Maluku dalam jaringan tol laut, yang sangat diandalkan masyarakat/Alin Rahma Yuliani & Hera Ledy Melindo

Menyusuri Jejak Budaya dan Kesehatan di Masela

Pulau Masela menyambut kami dengan udara yang sejuk dan tenang. Setibanya di Desa Iblatmuntah, suasana berbeda langsung terasa. 

Desa ini menyimpan banyak kisah unik, salah satunya keberadaan sumur tua dengan nama lokal Tua Tanyema. Warga setempat percaya, sumur itu tidak pernah kering bahkan saat musim kemarau panjang. Saya bertemu dengan Bu Maria, seorang kader posyandu yang sudah 10 tahun mengabdi.

Tua Tanyema bukan hanya sekadar sumber air, melainkan juga dianggap sakral oleh masyarakat. “Sumur ini sudah ada sejak zaman nenek moyang kami. Airnya tidak pernah habis, bahkan saat musim kemarau,” katanya sambil menatap sumur berair jernih itu.

Melihat prosesi Tari Seka untuk menyambut tamu di Pulau Masela (kiri) dan mengunjungi sumur tua di Desa Iblatmuntah/Adipatra Kenaro Wicaksana

Saya sempat mencicipi air dari sumur tersebut, rasanya segar dan jernih tanpa perlu dimasak. Seperti menyimpan jejak waktu dari masa lampau.

Kemudian saya mengunjungi Puskesmas Pembantu (Pustu) yang sudah rusak selama lebih dari tujuh tahun. “Sekarang, pelayanan dilakukan di balai desa atau rumah kepala desa,” tambah Bu Maria dan Pak Melkisoa Kolabora, Kepala Desa Iblatmuntah. 

Untuk melahirkan, bidan dari puskesmas akan datang langsung ke desa. Namun, dalam banyak kasus, dukun beranak masih menjadi andalan. Uniknya, keberadaan dukun beranak tidak hanya dilihat sebagai solusi darurat, tetapi juga bagian dari tradisi. 

Kondisi bangunan Puskesmas Pembantu Iblatmuntah yang memprihatinkan/Adipatra Kenaro Wicaksana

“Dukun kami bekerja secara sukarela. Mereka tidak hanya membantu persalinan, tetapi juga menangani luka luar dan dalam,” ujar Bu Maria. Tradisi ini tetap hidup berdampingan dengan layanan kesehatan modern yang mulai dikenalkan ke masyarakat. Masalah kesehatan yang sering dikeluhkan, terutama lansia, adalah stroke, asam urat, dan asam lambung.

Kehidupan masyarakat banyak bergantung pada hasil laut, terutama ikan yang menjadi sumber protein utama. Sayur-mayur dan kacang-kacangan juga tersedia meski dalam jumlah terbatas, karena tanah di pulau ini lebih banyak berbatu sehingga sulit untuk bertani. Meski begitu, warga desa tidak menyerah pada keterbatasan. 

Langkah saya berlanjut ke Puskesmas Marsela. Perjalanan ini memberikan gambaran lebih luas tentang cara masyarakat Pulau Masela bertahan di tengah keterbatasan akses kesehatan. Jalanan berbatu dan berlumpur menjadi tantangan tersendiri, terlebih cuaca sedang terik sekali dari biasanya. Pak Toni Walkim, Kepala Puskesmas Marsela yang menemani perjalanan saya, menyebut akses ke puskesmas sering menjadi masalah besar.

Kondisi akses jalan yang cukup menantang dilalui untuk menuju Puskesmas Marsela/Adipatra Kenaro Wicaksana

“Kalau musim hujan, jalan ini bisa tertutup banjir. Kadang puskesmas harus tutup karena tidak ada yang bisa ke sana,” ujarnya sambil menunjuk genangan air yang hampir menutup sebagian jalan.

Setibanya di Puskesmas Marsela, saya disambut oleh bangunan sederhana yang tampak mulai menua. Beberapa bagian dinding terlihat retak, ditopang dengan kayu untuk mencegahnya roboh. “Ini akibat gempa beberapa tahun lalu,” jelas Pak Toni, “dana perbaikan belum turun, jadi kami hanya bisa menahan agar bangunan ini tetap berdiri.”

Di Pulau Masela, masalah sanitasi air bersih menjadi tantangan terbesar. Pak Toni menceritakan dua proyek besar, yakni Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS) dan instalasi PDAM, yang gagal total. 

“Airnya asin dan berlumpur. Salah titik pengeboran menjadi masalah utama,” katanya kecewa. “Banyak yang bergantung pada sumur, terutama saat musim kemarau. Tapi, kami harus bijak menggunakannya agar tidak habis.”

Di akhir perjalanan saya di Marsela, saya duduk bersama warga dan kepala puskesmas di dekat gedung lama puskesmas yang mulanya terletak di bibir pantai. Gedung lama itu kini berkarat akibat paparan air garam, dan rencananya akan dialihfungsikan menjadi tempat rawat inap bagi staf. 

Berlatar suara deburan ombak, kami membincangkan perjuangan masyarakat. “Kami jauh dari segala hal, tapi kami punya semangat untuk bertahan,” kata Pak Toni sambil menatap puskesmas lawas itu.

Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (2)
Gedung rawat inap Puskesmas Letwurung di Babar Timur/Adipatra Kenaro Wicaksana

Refleksi Diri di Ujung Pulau Babar

Perjalanan berikutnya membawa kami ke Pulau Babar, tepatnya di Desa Letwurung. Pulau ini memiliki keadaan yang sedikit berbeda dari Masela. Saya menemui kepala Puskesmas Letwurung, yang berbagi cerita tentang kondisi kesehatan masyarakat. 

“Diare sering terjadi saat musim buah tiba. Anak-anak langsung makan buah tanpa mencucinya,” katanya sambil menunjukkan data yang ia kumpulkan. Meski begitu, Puskesmas Letwurung cukup maju dengan sejumlah fasilitas, seperti panel surya, genset, dan ambulans.

Salah satu hal unik di Babar adalah penggunaan ramuan tradisional untuk kesehatan. Daun sukun, misalnya, dimanfaatkan menjadi teh untuk mengatasi masalah hati, sedangkan daun binahong digunakan untuk luka dan nyeri otot.

“Kami memadukan tradisi dengan medis modern. Itu cara kami untuk memaksimalkan alam dengan kehidupan kita,” jelas Bu Lina, seorang kader kesehatan.

Di Babar, saya juga melihat cara masyarakat memanfaatkan hasil bumi untuk memenuhi kebutuhan pangan. Selain ikan, mereka juga mengonsumsi sayur-mayur seperti talas, ubi, dan kacang hijau. Kehidupan di sini sederhana, tetapi penuh dengan pemanfaatan pangan lokal.

Ketika saya meninggalkan Marsela dan Babar, saya merasa membawa cerita yang layak untuk dibagikan tentang daya juang, budaya, dan harapan dari ujung negeri.

Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (2)
Foto bersama kepala Puskesmas Letwurung/Adipatra Kenaro Wicaksana

Dari Maluku ke Sulawesi Tengah

Dari Maluku Barat Daya, saya melanjutkan ekspedisi ke destinasi berikutnya, yakni Kecamatan Luwuk, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Perjalanan kali ini kembali dimulai dengan jalur udara, membawa saya melintasi lautan biru yang membentang luas. Pesawat mendarat dengan mulus di Bandara Syukuran Aminuddin Amir, Luwuk.

Udara hangat Luwuk menyambut saya, begitu pula semangat untuk mengeksplorasi wilayah ini. Ibu kota Kabupaten Banggai ini tidak hanya terkenal dengan pesona alamnya, tetapi juga menjadi saksi adaptasi masyarakat dengan kehidupan pesisir yang penuh dinamika. Setibanya di Luwuk, saya melangkah ke Desa Mulyoharjo dan Desa Sumberharjo, Kecamatan Moilong.

Lingkungan kampung yang tenang dan asri di kawasan perdesaan Kabupaten Banggai/Adipatra Kenaro Wicaksana

Desa Mulyoharjo dikenal dengan program posyandu yang rutin dilakukan setiap bulan. Kegiatan ini meliputi layanan untuk ibu hamil, balita, hingga lansia. Masyarakat memanfaatkan fasilitas antara lain pemeriksaan tekanan darah tinggi dan pemberian makanan tambahan berbahan lokal, seperti umbi-umbian dan jagung.

Namun, tantangan tetap ada. “Stunting di sini bukan soal kekurangan makanan, tapi pola asuh yang kurang peduli,” jelas Bu Yanti, seorang kader kesehatan. Puskesmas setempat merespons dengan penyuluhan langsung kepada ibu hamil, bahkan melibatkan aparat desa untuk mendatangi warga yang enggan mengikuti posyandu.

Sementara di Desa Sumberharjo, pasar harian menjadi denyut nadi ekonomi sekaligus tempat berkumpul warga. Dari hasil bumi hingga jamu herbal seperti sereh dan kunyit, pasar ini menawarkan ragam kebutuhan hidup.

  • Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (2)
  • Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (2)

Kegiatan penyuluhan dan pelayanan kesehatan langsung di Desa Mulyoharjo dan Desa Sumberharjo, Kecamatan Moilong/Adipatra Kenaro Wicaksana

Selain itu, aktivitas fisik juga menjadi fokus utama desa. Puskesmas sering mengadakan senam lansia dan jalan sehat, bahkan pertandingan voli untuk ibu-ibu. “Ini bukan hanya soal kesehatan, tapi juga mempererat kebersamaan,” kata Bu Nina, kader kesehatan yang aktif di berbagai kegiatan.

Namun, permasalahan kesehatan seperti hipertensi dan asam urat masih banyak dijumpai. Untuk mengatasinya, puskesmas bekerja sama dengan desa mengadakan edukasi tentang pola makan sehat dan program inovatif, di antaranya lomba masak makanan bergizi.

Dari Mulyoharjo hingga Sumberharjo, saya melihat semangat warga dalam menjaga tradisi dan kesehatan tetap hidup. Meskipun tantangan ada, kerja sama antara masyarakat, puskesmas, dan aparat desa menjadi kunci keberhasilan. Kabupaten Banggai bukan hanya tempat, tapi sebuah pelajaran bahwa hidup yang harmonis tetap bisa diwujudkan.


Terima Kasih kepada Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB University (PKSPL IPB) dan Bapak Dadang Herdiansyah, SKM., M.Epid., selaku Tenaga Ahli Kesehatan Masyarakat yang telah memberikan kesempatan saya untuk menjelajahi potret kesehatan dasar di pulau-pulau kecil di Indonesia.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/dari-bali-ke-banggai-2/feed/ 0 45545
Kekayaan Nusantara itu Bernama Halili dan Topi Nunu https://telusuri.id/halili-dan-topi-nunu/ https://telusuri.id/halili-dan-topi-nunu/#respond Wed, 24 Feb 2021 09:30:26 +0000 https://telusuri.id/?p=27203 Di Tanah Celebes, pohon nunu tumbuh di hutan-hutan. Tubuh besarnya mampu menaungi apapun yang ada di bawahnya. Sementara akarnya mampu mengikat tanah. Konon katanya, pohon nunu didiami setan-setan. Maka, tiada orang yang berani menebang. Pada...

The post Kekayaan Nusantara itu Bernama Halili dan Topi Nunu appeared first on TelusuRI.

]]>
Di Tanah Celebes, pohon nunu tumbuh di hutan-hutan. Tubuh besarnya mampu menaungi apapun yang ada di bawahnya. Sementara akarnya mampu mengikat tanah. Konon katanya, pohon nunu didiami setan-setan. Maka, tiada orang yang berani menebang.

Pada zaman prasejarah, ketika serat sintesis belum tercipta, manusia menggunakan pakaian yang terbuat dari alam. Di Sulawesi Tengah, ada karya nusantara yang dibuat dengan tekun oleh para perempuan. Ina Tobani, ditemani Hasna, menceritakan salah satunya kepada saya, tentang Halili dan Topi Nunu, pakaian tradisional dari Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi, yang terbuat dari kulit kayu.

“Dari zaman kita punya orang tua, hanya membuat Halili dan Topi Nunu dari pohon nunu dan tea. Nunu itu artinya beringin. Jadi pohon nunu itu beringin dan tea itu mirip seperti pohon sukun,” ucap Hasna.

Proses Pembuatan Halili dan Topi Nunu

Ina Tobani menceritakan proses panjang pembuatan Halili dan Topi Nunu kepada saya di Rabu siang. 

Lepas musim tanam padi, kulit nunu dipanen pada pertengahan bulan muda, ketika daun pohon nunu sudah tampak mengkilat. Namun jangan sampai terlalu hitam, karena kulit kayu sudah tebal dan keras sehingga sulit untuk dikupas. 

Bagian yang diambil adalah yang berada di antara tulang dalam pohon dan kulit luar. Sementara batang pohon yang dipangkas adalah bagian cabang atau ranting pohon nunu.

Halili dan Topi Nunu
Proses pembuatan Halili dan Topi Nunu/Diyah Deviyanti

“Kami tidak menebang pohon. Hanya mengambil cabang atau rantingnya saja,” Hasna menjelaskan.

Kulit nunu yang sudah berhasil dikupas, lalu dicuci, dan kemudian direbus untuk menghilangkan getah dan kotoran yang menempel. Lepas bersih, kulit kayu dibungkus dengan tanaman belukar bernama daun lebonu, lalu diperam dalam bakul selama tiga malam.

Keesokan paginya, peralatan lain disiapkan. Pembuatan kain kulit nunu memasuki proses selanjutnya; penghalusan kulit nunu dengan cara dipukul-pukul. Dua buah balok kayu diletakkan dengan jarak tertentu di atas ambin di pekarangan. Kayu itu bernama pola

Selembar kayu lain yang lebih lebar dan panjang, tatua, diletakkan di atas kedua pola, sebagai landasan  untuk meletakkan kulit nunu yang akan dipukul. Sebuah kayu panjang dari pelepah enau yang disebut pala berfungsi sebagai alat pemukul.

“Dipukul sampai hancur, sampai dia menjadi lunak, tiada lagi bajari-jari, lalu dipukul lagi deng batu banama ike,” ucap Ina Tobani dengan logat Melayu yang kental.

Tak hanya satu, ada beberapa jenis batu ike yang dipakai untuk menghaluskan kulit kayu. Penghalusan pertama menggunakan batu ike tinahi, merupakan batu ike terbesar yang berfungsi untuk memanjangkan kulit nunu. Dilanjutkan dengan batu ike tiwa yang berfungsi memanjangkan kulit nunu, lalu batu ike pogea untuk melebarkan kulit nunu, dan penghalusan kulit nunu berakhir dengan menggunakan batu ike popapu yang bergerigi besar dan kasar pada bagian belakang sementara sisi lainnya berukuran lebih kecil.

Ina Tobani, perempuan yang sudah membuat kain kulit nunu sejak tahun 1957 itu terus bercerita. Kulit nunu kemudian dijemur di bawah sinar matahari hingga kering. 

Lepas mengering, kulit nunu kemudian diawetkan menggunakan pengawet alami dari pohon ula. Pengawetan ini dimaksudkan untuk menguatkan kulit kayu agar tidak sobek. Pohon yang, semacam buah manggis ini, juga digunakan sebagai pewarna alami untuk menghasilkan warna merah.

Setelah halus seperti kain, kulit nunu kemudian dibersihkan dengan cara direndam ke dalam air, diperas, lalu dijemur hingga kering. Lepas semua usai, barulah kulit nunu dibentuk sesuai dengan pakaian yang ingin dibuat.

“Semua bahan kami ambil dari alam. Pewarna hitam dari lumpur, dan ada kulit kayu tertentu yang menghasilkan warna merah. Kalaupun ingin menggunakan aksesoris, manik-manik dari alam saja. Ada pohon-pohon yang kecil di hutan.” ucap Hasna.

Alam adalah Ibu

  • Halili dan Topi Nunu
  • Halili dan Topi Nunu
  • Halili dan Topi Nunu

Adat istiadat dan budaya nusantara memang selalu berjalan sejajar dengan kelestarian alam. Hidup dalam satu bentangan alam tertentu, membuat masyarakat memiliki filosofi hidup “alam adalah ibu”. Bahwa alam harus dijaga agar terus lestari sampai ke anak-cucu. Mereka mengambil seperlunya, tidak berlebihan, karena menyadari, jika alam rusak, mereka pun akan kehilangan rumah dan segala kebutuhan hidupnya.

Pun yang terjadi pada pembuatan Halili dan Topi Nunu. Tidak ada pohon yang ditebang, tidak ada alam yang rusak. Mereka hanya mengambil ranting-ranting pohon nunu, selain sebagai upaya untuk meremajakan pohon itu sendiri.

“Beringin ini ‘kan perakarannya kuat. Karena kami di pegunungan, daerah-daerah di kemiringan, keberadaan pohon nunu untuk menahan erosi agar tidak longsor,” ucap Hasna.

Ada cerita menarik yang terlontar dari Hasna ketika saya bertanya mengenai mitologi pohon nunu yang, barangkali, dipercaya oleh warga Kulawi. Ia menceritakan bahwa pohon nunu ditakuti oleh warga. Mereka memercayai bahwa pohon nunu dihuni oleh setan-setan.

“Mungkin orang tua kami dulu menciptakan mitos bahwa pohon itu banyak setan agar orang tidak menebang.”

Simbol untuk Konservasi

  • Halili dan Topi Nunu
  • Halili dan Topi Nunu

Di Pulau Jawa, tempat tinggal saya sekarang, pohon beringin juga dipercaya sebagai pohon yang dianggap mistis karena dihuni oleh roh-roh nenek moyang. Di Yogyakarta, pohon beringin memiliki perannya sendiri bagi Kesultanan Yogyakarta. Pohon besar dan rimbun itu dianggap sebagai simbol pengayoman seorang raja untuk rakyatnya. 

Dua pohon beringin yang dipagari berdiri tegak di tengah Alun-alun Utara dan Selatan Yogyakarta. Ringin kurung, begitu masyarakat menyebutnya, dipercaya sebagai gerbang muka dan belakang Keraton Yogyakarta yang dilalui sumbu imajiner antara gunung di utara dan pantai di selatan. Tak heran, masyarakat Yogyakarta memercayai pohon beringin sebagai pohon pusaka.

Saya jadi tergelitik, barangkali sama dengan yang terjadi di pohon nunu, orang Jawa zaman dulu membuat mitos bahwa pohon beringin itu adalah pohon pusaka agar tidak sembarang ditebang. Tidak ada yang tahu pasti.

Pada zaman ketika peradaban kain belum masuk ke nusantara, Halili dan Topi Nunu ini merupakan pakaian sehari-hari, tidak ada yang istimewa. Namun, kini telah bergeser. Pakaian dari kulit nunu itu memiliki peran khusus dalam adat istiadat.

“Kalau sekarang naik derajat menjadi pakaian adat yang digunakan dalam upacara-upacara adat seperti menari dan menerima tamu,” jelas Hasna.

Saya berpendapat, dengan keanekaragam kekayaan alam ini, yang juga sejalan dengan filosofi ibu bumi, membuat nusantara memiliki komoditas Hasil Hutan Bukan Kayu yang juga sangat beragam. 

Selain kain kulit nunu, Hutan Itu Indonesia mencatat dalam hutanitu.id/pesonahutan, tanaman hutan berupa pandan, nipah, bambu, dan rotan memungkinkan untuk diolah menjadi suatu barang yang memiliki nilai jual lebih seperti kain tenun, anyaman, tikar, bahkan sebatas pewarna alami.

Sepi Penerus

Halili dan Topi Nunu

Meski begitu, ada kegundahan yang menderu di benak Hasna. Ia mengkhawatirkan tentang daerah lain yang tidak meneruskan tradisi pembuatan kain kulit ini kepada generasi muda, mengingat pembuatan Halili dan Topi Nunu yang memiliki proses rumit dan panjang.

“Ini soal kepedulian dan minat orang,” ucapnya lantang. Di Pulau Sulawesi, kekayaan Nusantara ini hanya terdapat di Kabupaten Sigi dan Poso. Di Sigi sendiri ada di Kecamatan Kulawi, Lindu, Tipikoro, dan Kulawi Selatan. Sementara di Poso, terdapat di Bada dan Besoa. 

“Di pulau ini tinggal satu-dua tersisa orang seperti Ina Tobani ini yang mau melanjutkan,” Hasna meneruskan keluh kesahnya.

“Bagaimana dengan dukungan pemerintah daerah?” tanya saya kemudian.

Hasna menjawab, “Dukungan pemerintah daerah hanya sebatas membantu dalam hal dokumentasi dan promosi. Belum sampai pada aturan atau himbauan.”

Lagi-lagi, ini masalah yang sudah lumrah terjadi di Indonesia. Tidak maksimalnya dukungan pemerintah membuat banyak karya anak bangsa yang luntur satu demi satu, menghilang dari ingatan. Ditambah dengan kurangnya minat generasi muda untuk meneruskan tradisi nenek moyang. Mereka lebih memilih pergi ke kota-kota besar, bekerja menjadi pegawai, lupa pada akar rumput. Hingga akhirnya tersadar, bahwa sudah tiada lagi pohon nunu dan hijau hutan meranggas menjadi abu-abu kerasnya bangunan.

Jangan sampai.


Artikel ini merupakan kolaborasi TelusuRI dengan Hutan Itu Indonesia.

The post Kekayaan Nusantara itu Bernama Halili dan Topi Nunu appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/halili-dan-topi-nunu/feed/ 0 27203
Jalan Kaki Menelusuri Pulau Kadoda dan Pulau Papan https://telusuri.id/menelusuri-pulau-kadoda-dan-pulau-papan/ https://telusuri.id/menelusuri-pulau-kadoda-dan-pulau-papan/#comments Thu, 27 Jul 2017 20:49:10 +0000 http://telusuri.org/dev/?p=1300 Otak saya berputar ratusan kali sebelum menerima tawaran untuk berjalan kaki menyusuri Pulau Kadoda dan Pulau Papan di Kepulauan Togean, Kabupaten Tojo Una-Una, Sulawesi Tengah. Iming-iming menemukan suasana berbeda di Kepulauan Togean membuat saya akhirnya...

The post Jalan Kaki Menelusuri Pulau Kadoda dan Pulau Papan appeared first on TelusuRI.

]]>
Otak saya berputar ratusan kali sebelum menerima tawaran untuk berjalan kaki menyusuri Pulau Kadoda dan Pulau Papan di Kepulauan Togean, Kabupaten Tojo Una-Una, Sulawesi Tengah. Iming-iming menemukan suasana berbeda di Kepulauan Togean membuat saya akhirnya menganggukkan kepala dan berjalan menyusuri desa di bawah teriknya matahari.

Saya kemudian teringat perjalanan saya tahun lalu ke Pulau Weh, lalu perjalanan-perjalanan lain ke pulau-pulau yang juga lain. Rasa-rasanya tidak ada hal yang membedakan pulau ini dengan pulau-pulau lain yang pernah saya singgahi. Semuanya cuma gundukan tanah yang dikepung lautan. Tapi, setelah hari kedua biasanya saya menemukan sesuatu yang berbeda, yaitu keramahan penduduk sekitar pada wisatawan yang datang sehingga saya merasa seperti berada di kampung halaman. Setiap orang saling menyapa, bahkan menawarkan rumah mereka untuk disinggahi, meskipun saya yakin bahwa di sana belum tentu ada yang bisa saya cicipi. Itulah yang membedakan satu daerah dengan daerah lain—bentuk keramahannya.

Jalan utama/Ridho Mukti

Jalan kaki lintas pulau

OK. Let’s go!” sahut saya sembari menyiapkan bekal minum dan mengambil topi karena konon perjalanan kami menyusuri kampung hingga ke Pulau Papan akan memakan waktu kurang lebih satu jam. Belum lagi saya dan kawan-kawan harus naik kapal ke Pulau Kadoda sekitar setengah jam dari penginapan di Pulau Ketupat.

Setelah mendengar deru kapal selama tiga pulu menit, kami pun tiba. Melompat dari kapal, rombongan kami disambut permukiman dengan rumput hijau yang membentang di halaman depan rumah-rumahnya. Beberapa orang warga terlihat leyeh-leyeh di terasnya. Tidak sedikit pula yang justru mendatangi kami sembari melemparkan senyum lebarnya.

Melihat nuansa pulau yang hijau, saya memperlambat laju kaki untuk mengamati setiap hal unik yang saya temui. Itu contohnya: sebuah sumur berukuran kecil yang ternyata adalah salah satu dari dua sumber air yang cuma tersedia di pulau ini. Seluruh masyarakat Pulau Kadoda dan Pulau Papan mengandalkan mata air yang menurut saya lebih mirip kubangan bekas air hujan daripada sumber kehidupan; airnya berwarna coklat. Pinggiran sumur ini pun dibiarkan sekenanya dan tak ditata supaya jadi lebih menarik. Sungguh ironis menyaksikan kampung yang asri lagi apik seperti ini punya sumber air tawar yang tampak terbengkalai.

Kendaraan pribadi orang Bajo/Ridho Mukti

Tak jauh dari mata air, sebuah jembatan kayu sepanjang kurang lebih 900 meter mengantarkan kami menuju Pulau Papan. Jalurnya berkelok, barangkali karena menyesuaikan dengan batimetri. Di sebelah kanannya tampak beberapa tiang kayu menjulang, yang ternyata adalah sisa-sisa jembatan yang dibangun masyarakat sebelum akhirnya pemerintah datang dan mendirikan jembatan yang lebih kokoh.

Kampung terapung

Siang itu, usai menyusuri jembatan yang membelah lautan, kami tiba di sebuah kampung terapung di tengah samudra. Rumah-rumah pertama yang kami temui terlihat tak setegap jembatan tadi. “Mungkin kalau badai datang, orang-orang lebih memilih berkumpul di jembatan daripada berlindung di pondok mereka,” pikir saya. Benar saja, rupanya fondasi rumah mereka tak sampai satu meter ke dalam. Sangat mungkin untuk tumbang dikalahkan amukan laut lepas atau ditaklukkan faktor “U” alias usia.

Pulau Papan tak seberapa besar. Bahkan saya bisa melihat ujung pulau dengan cukup jelas. Sebuah bukit tak seberapa tinggi berdiri di tengah laut. Mereka menyebutnya sebagai Puncak Batu Karang. Bisa jadi dari situlah orang-orang mulai membangun perkampungan. Semakin menjauh dari bukit, semakin anyar bangunan itu berdiri—atau sebaliknya, mengingat sejarah peradaban suku Bajo yang pernah tinggal di atas kapal.

Laut jadi pekarangan/Ridho Mukti

Meskipun sebagian besar bangunan-bangunan ini terbuat dari papan tua, beberapa tampak lebih modern. Genteng plastik, pintu dan jendela penuh ukiran, serta sebagian dinding yang berbahan batu bata membuat suasana Pulau Papan menjadi berbeda dibanding Kampung Bajo kebanyakan. Jumlahnya memang tak seberapa, tapi sangat menonjol karena berbeda. Parabola berukuran raksasa juga menghiasi bagian depan rumah-rumah bergaya kekinian itu.

“Dulu sebelum ada jembatan ini, anak-anak [kalau] mau sekolah harus berenang dulu ke pulau sebelah,” jelas Pak Amin, penduduk Pulau Papan yang kami temui. “Di sini ada sekolah buat kelas 1 sampai 3. Nah kelas 4 sampai 6 adanya di Kadoda. Jadi gantian, yang masih kelas 1 sampai kelas 3, anak-anak dari Kadoda harus berenang ke sini,” tambahnya. Kalau saja tidak ada motor yang memotong obrolan kami, mungkin saya masih membayangkan anak-anak berumur 8 tahun berenang menyeberang pulau sejauh ratusan meter.

Melihat Indonesia tidak dari linimasa

Lalu saya mengamati sekitar. Sebuah sore yang ramai di kampung yang kecil. Orang-orang berkumpul di halaman depan rumah salah satu warga, bersembunyi dari pendarnya matahari yang menyengat. Pak Amin masih saja mengoceh tentang sejarah Pulau Papan, sembari sesekali melemparkan kekecewaannya kepada pemerintah yang berencana menggusur warga pulau karena dianggap mencemarkan lingkungan.

Pulau Kadoda dan Pulau Papan

Jembatan kayu Pulau Kadoda/Ridho Mukti

“Lalu buat apa dibangun jembatan sepanjang ini kalau akhirnya digusur juga orang-orangnya?” timpal Bobby, salah seorang kawan seperjalanan saya. “Kalau emang mau digusur, mending gak usah dibangun sekalian jembatannya. Mending anggarannya dibuat untuk bikin keramba atau sekolah di Kadoda,” ujarnya berapi-api. Kesal sekali sepertinya dia.

Bobby semakin antusias mendengar cerita lain dari Pak Amin. Ia bahkan mengabaikan saya dan kawan-kawan lain yang lebih memilih berkeliling pulau untuk mengambil gambar. Menjelang gelap, kapal kecil kami telah menunggu. Ia siap mengantarkan kami pulang dan mengakhiri perjalanan hari ini. Tiba-tiba saya teringat pada kata-kata bijak populernya Lao Tzu: “A Journey of a thousand miles begins with a single step.” Barangkali benar. Jika saya tidak mengayunkan langkah pertama dari tempat tidur pagi ini, saya tak akan bertemu dengan orang-orang ramah pulau Kadoda, sumber mata air yang lebih mirip disebut kubangan, atau “mantan” orang-orang laut di Pulau Kadoda dan Pulau Papan yang tak menyerah pada kehidupan. Saya bersyukur bahwa hari itu saya bisa melihat dan merasakan langsung suasana Pulau Kadoda dan Pulau Papan, bukan dari membaca linimasa.

The post Jalan Kaki Menelusuri Pulau Kadoda dan Pulau Papan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menelusuri-pulau-kadoda-dan-pulau-papan/feed/ 6 1300
Terjebak di Poso https://telusuri.id/tana-poso/ https://telusuri.id/tana-poso/#respond Wed, 15 Mar 2017 03:09:37 +0000 http://telusuri.org/dev/?p=821 “Gue harus lanjut jalan, Pol!” ucap saya kepada Deni Gempol setelah dua hari saya undur melanjutkan perjalanan ke Poso. Beberapa kali saya mendengar cerita negatif tentang Tana Poso dari teman-teman. Akan tetapi rasa ingin datang...

The post Terjebak di Poso appeared first on TelusuRI.

]]>
“Gue harus lanjut jalan, Pol!” ucap saya kepada Deni Gempol setelah dua hari saya undur melanjutkan perjalanan ke Poso. Beberapa kali saya mendengar cerita negatif tentang Tana Poso dari teman-teman. Akan tetapi rasa ingin datang ke sana malah semakin membuncah. Cuaca siang Palu cukup membuat saya berkeringat. Gempol mengantar saya dengan vespanya ke perbatasan kota setelah saya pamit dengan Babe, keluarganya, dan teman-teman.

“Saya hanya sampai sini bisa ngantar kamu, Dal!” Kemudian kami berpelukan. Gempol salah seorang saudara di dalam perjalanan saya. Dia juga yang mengajarkan saya cara melakukan perjalanan keliling Indonesia lima tahun lalu di Merauke, tepatnya di Base Camp Sabang-Merauke Chandra Surya. Setelah berpisah dengan Gempol, saya mulai melakukan ritual jalan kaki sembari lirik-lirik ke belakang—mana tahu ada rezeki tebengan mobil ke Poso.

Selang sebentar saya mampir di sebuah warung untuk membeli air mineral. Uang saya hanya tinggal 5.500 rupiah. Jadi hanya bisa membeli air mineral ukuran sedang yang harganya 4000. “Seribu lima ratus rupiah untuk ke Poso? Masa bodo, lah!” ucap saya dalam hati. Seringkali saya kehabisan uang dalam perjalanan. Akan tetapi saya yakin Tuhan akan membukakan jalan, dengan jalan yang sering tidak saya duga. Mungkin karena itulah saya kecanduan melakukan perjalanan di Republik tercinta ini, Indonesia.

Perlahan baju saya mulai basah oleh keringat. Panas terik matahari dan aspal menyatu mencumbu tubuh ini. Langkah demi langkah serta tegur sapa dan senyum penduduk yang saya temui membuat saya tak terlalu merasakan panas yang membakar. Setelah sekitar satu jam berjalan dan belum mendapatkan tumpangan akhirnya saya berhenti untuk istirahat di sebuah pondok pinggir jalan. Di sana sudah ada sudah ada dua orang pria. Mereka juga sedang istirahat setelah melakukan perjalanan dari Poso mengendarai sepeda motor. Sorot mata mereka tajam. Mereka pun mulai menjejali saya pertanyaan-pertanyaan mengenai diri saya, hingga akhirnya mereka meminta saya memperlihatkan KTP.

Hamparan sawah di Tana Poso

Hamparan sawah di Tana Poso/Adal Bonai

Ketakutan-ketakutan mulai mengalir di dalam diri. Apalagi di Poso sedang ada Operasi Tinombala yang dilakukan TNI untuk menumpas kelompok Santoso dan beberapa hari sebelumnya juga terjadi kecelakaan helikopter di Poso. Saya sempat berpikiran untuk kembali dan mengubah rute perjalanan ke arah Tolitoli. Namun saya teringat kembali waktu sebelum masuk tanah Papua tahun 2011 lalu. Beberapa orang teman di Jakarta sempat berkomentar bahwa saya hanya mengantar nyawa ke sana, bertemu dengan orang-orang primitif, dan gerakan radikal OPM. Akan tetapi setelah setahun kurang seminggu saya berkeliling Papua, apa yang saya rasakan selama di sana tidak sama dengan apa yang saya bayangkan sebelumnya.

Setelah istirahat saya melanjutkan perjalanan. Tidak ada satu pun mobil yang berhenti untuk memberikan tumpangan kepada saya. Tidak masalah; saya tetap berjalan kaki. Sekitar setengah jam jalan kaki hujan pun mulai turun dan tiba-tiba saja ada mobil pick-up yang berhenti. “Mau ke mana?” tanya seorang Ibu yang duduk di sebelah sopir. “Saya mau ke Poso,” jawab saya. “Masih jauh. Ayo naik. Tapi cuma sepotong jalan, ya!” balas Ibu itu. Akhirnya saya mendapat tumpangan sepanjang kira-kira 4 km. Di bak, saya duduk mepet kaca belakang agar terlindung dari hujan. Kemudian saya diturunkan dekat pos retribusi DLLAJ. “Minta tolong sama bapak petugas retribusi saja untuk cari tumpangan mobil barang!” ujar ibu itu. Saya pun mengucapkan terima kasih untuk tumpangan dan informasi yang ia berikan.

Di pos retribusi saya berkenalan dengan Pak Darwis, salah seorang petugas yang sedang dinas. Saya pun bisa numpang men-charge ponsel dan juga disuguhi teh hangat. Sembari menunggu hujan reda, kami bercerita tentang daerah Poso yang sedang ramai diberitakan, tentang operasi TNI dan kelompok radikal Santoso. “Poso aman. Kamu datang saja ke sana. Semuanya tidak seperti pemberitaan-pemberitaan di TV,” ucap pria itu, yang semakin membuat saya bersemangat datang ke Poso.

“Bawa bom gak, Mas? Masalahnya saya takut kalau Mas sampai bawa bom.” Kalimat sopir mobil pick-up itu membuat saya terkejut. Padahal saya mau minta tumpangan kepadanya untuk ke Poso. Akhirnya saya memperlihatkan isi tas ransel untuk memastikan bahwa saya aman. Setelah melihat sendiri isi tas, saya dipersilakan naik ke mobilnya. Ipong, begitu namanya. Laki-laki berusia 28 tahun itu setiap hari bolak-balik Poso-Palu untuk mengantar ikan hasil tangkapan nelayan Poso. “Sial… Dia ngebut lagi!” seloroh saya dalam hati ketika ia balap-balapan dengan sesama pick-up ikan.

Rumah Katu/Adal Bonai

Dalam perjalanan saya menghubungi Adhy, anak Babe di Palu, untuk meminta kontak yang bisa dihubungi di Poso. Bagi para pejalan atau pe-touring ada istilah “berbagi saudara.” Saya diberi kontak Bapak Taufik, Ketua Komunitas Motor Antik Poso. Hujan kembali turun dan sekitar pukul 22.00 WITA akhirnya saya tiba di Tana Poso. Saya diturunkan di depan Polres Poso. Saya ucapkan terima kasih banyak pada Ipong. Kemudian saya mendatangi pos piket untuk melapor. Isi tas saya sempat diperiksa. Kata mereka, “Untuk jaga-jaga.” Saya mempersilakan Pak Polisi menggeledah isi tas ransel.

“Adal?” Seorang laki-laki berumur 40-an masuk ke pos piket. “Iya. Saya Adal,” jawab saya. Kemudian dia menghampiri saya lalu kami berjabat tangan. Dia memeluk saya erat sembari berkata, “Selamat datang di Poso, Saudaraku!”

Saudara-Saudara Baru di Rumah Katu

Saya menatap seorang yang tengah asik dengan mimpi-mimpinya, seorang yang pernah dicap oleh negara sebagai teroris. Hembusan nafasnya agak berat. Sudah dini hari akan tetapi mata saya ini masih belum juga bisa diajak kompromi. Kemudian Perlahan-lahan saya mulai beranjak ke tempat tidur sembari berusaha agar gerakan saya tidak mengeluarkan bunyi-bunyian. Setelah kepala saya rebahkan ke atas bantal, saya lalu mulai memandangi wajah orang yang berada persis di samping saya itu. “Bagaimana perasaannya ketika mengeksekusi orang?” Terlintas pertanyaan itu di dalam benak. Saya pernah membaca sebuah berita lama tentang ditembaknya seorang jaksa tahun 2004 silam di Kota Palu—dan sekarang saya tinggal dan sekamar dengan pelakunya!

“Lu jangan lama-lama di Poso. Mending lewatin aja daerah sana,” Bang Syarif berpesan ketika saya masih di Jakarta, sehari sebelum berangkat ke Sulawesi Tengah. Dia juga yang meminjamkan laptopnya kepada saya. Mungkin pesannya tidak saya hiraukan; perjalanan membawa saya bertemu dengan orang-orang yang sama sekali tidak saya duga. Dalam kisah yang digoreskan oleh Yang Maha Sutradara saya digariskan untuk bertahan beberapa waktu di Tana Poso.

“Orang suci punya masa lalu, bangsat juga punya depan.” Kalimat itu spontan keluar dari mulut saya ketika pertama kali bertemu dengan Bang Iin yang menyebut dirinya “mantan.” Saya memang tidak peduli latar belakang masa lalu orang yang saya kenal, mau dia mantan penjahat atau mantan pemberontak sekalipun.

“Rumah Katu Marine Park” untuk Tana Poso/Adal Bonai

Hari ketiga di Tana Poso saya diajak oleh Yayad ke lokasi Rumah Katu Marine Park, sebuah wahana bermain yang dibangun secara swadaya. Menariknya para pengelola adalah “mantan-mantan” lintas agama yang terlibat kerusuhan Poso tahun 2000-an. Lokasinya di Pantai Madale, sekitar 15 menit dengan kendaraan bermotor dari Kota Poso. Di lokasi ini juga ada sarana outbond, flying fox, banana boat, dan juga spot-spot indah untuk snorkeling. Bahkan ada beberapa gazebo dan, tentunya, tempat nongkrong. Ide dan dukungan awal berdirinya Rumah Katu Marine Park ini berasal dari pihak Marinir TNI AL.

Sudah tiga minggu lebih saya hidup dengan teman-teman Rumah Katu dan melakukan apa yang bisa saya perbuat di sana. Banyak hal yang saya pelajari dari Rumah katu, salah satunya adalah tentang arti sebuah perdamaian di dalam perbedaan. Bahkan saya teringat kalimat dari orang tua angkat saya yang juga berbeda keyakinan di Ambon sana: “Adik, kaka, keponakan, dan sanak famili seng (tidak) ada lai, semuanya (kerusuhan) seng ada guna.”

Setiap hari saya selalu bersama Bang Iin. Rasa ingin tahu membuat saya sering mengorek-ngorek masa lalunya dan juga mimpi-mimpinya di Rumah Katu untuk Tana Poso. Rumah Katu Marine Park adalah wadah usaha dan kreativitas yang bertujuan untuk mempererat tali silaturahmi dan persaudaraan dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika antara pemuda-pemuda lintas agama di Tana Sintuwu Maroso. Baginya Rumah Katu adalah langkah awal bagi teman-teman untuk suatu hari bisa berdikari dan saling tolong menolong untuk hal-hal yang positif.

Memang masih banyak pandangan-pandangan miring di tengah masyarakat tentang “mantan.” Akan tetapi alangkah indahnya kita saling merangkul untuk tanah air yang sama-sama kita cintai ini. Bahkan saya semakin yakin bahwa Tana Poso adalah salah satu destinasi yang wajib dikunjungi di Sulawesi Tengah ini. Bagi saya berita-berita negatif tentang Poso sebenarnya tidak sampai seujung kuku benarnya. Saya masih enjoy jalan sendirian dini hari mencari nasi kuning untuk mengobati lapar. Kadang apa yang kita bayangkan belum tentu sama dengan apa yang kita rasakan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Terjebak di Poso appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/tana-poso/feed/ 0 821