sulawesi Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/sulawesi/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Mon, 03 Apr 2023 10:33:08 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 sulawesi Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/sulawesi/ 32 32 135956295 Main-main di Detakata https://telusuri.id/main-main-di-detakata/ https://telusuri.id/main-main-di-detakata/#respond Thu, 06 Apr 2023 04:00:05 +0000 https://telusuri.id/?p=38154 Mengandalkan ingatan, siang ini saya cukup percaya diri menjadi pengganti Google Maps, dan mengarahkan Nu’—sobat jalanku, yang berkendara pelan dan selalu hati-hati, melaju menyusuri sepanjang Jalan Ratulangi. Berhenti sejenak di lampu merah, lalu belok kiri...

The post Main-main di Detakata appeared first on TelusuRI.

]]>
Mengandalkan ingatan, siang ini saya cukup percaya diri menjadi pengganti Google Maps, dan mengarahkan Nu’—sobat jalanku, yang berkendara pelan dan selalu hati-hati, melaju menyusuri sepanjang Jalan Ratulangi. Berhenti sejenak di lampu merah, lalu belok kiri ke Hj. Bau, menuju Arief Rate, dan melewati Taman Segitiga yang sepi. Makassar memang sedang terik, dan siapa juga yang mau duduk di taman minim pohon, serta berisik lalu lalang kendaraan di jalan raya yang semrawut. Apalagi jika tenggorokan kering karena ikut puasa. 

Misi saya hari ini, menuntun Nu’ dan motornya tiba dengan selamat di Toko Buku Detakata yang berlokasi di Jalan Boto Lempangan No 57.

Tidak jauh dari taman, kami mengambil jalan belok kanan dua kali, dan berhenti tepat di depan sebuah bangunan bergaya modern. Dengan penanda di atasnya bertuliskan Bothlaim Space, dan beberapa usaha jejaring yang bernaung di bawah atapnya.

Sudah benar ini tempatnya.

Detakata yang akan kami tuju, berada di salah satu pintu ruangan kecil di lokasi ini. Tapi, kami sedikit bingung mengenai parkiran. Akhirnya saya bertanya pada seorang yang kebetulan berada di jalan masuk, “parkirnya di mana?” dan ia menjawab, “Iya di situ.”

Di situ yang dia maksud adalah parkir di bahu jalan.

Saya yakin, dengan ketenaran dan niat orang-orang nongkrong di banyak pilihan space instagramable-nya, parkir on street ini akan sangat padat. Tapi ya sudahlah, toh parkiran seperti ini ada banyak.

Toko Buku Detakata
Space Baku Tukar Artani/Aul Miftah

Setelah mengamankan helm di tempat helm, kami mampir sebentar ke Toko Curah Artani. Masuk melalui pintu utama, yang ternyata adalah kafe, dengan orang-orangnya yang sibuk membersihkan sebelum menemui para pelanggannya. Tepat di sebelah kanan, tidak jauh dari pintu utama, sebuah pintu geser membawa kami terhubung ke Artani. 

Singkat saja, dan kami telah bertukar sapa, juga berbagi informasi seputar daun mint, sereh kering, oregano, serta teh hijau dengan dua penjaga Toko Artani. Sambil menyerahkan beberapa buku untuk kegiatan baku tukar. 

Jadi, buku-buku dan pakaian yang saya bawa, akan memperoleh kancing. Kancing yang menjadi tiket untuk ditukar dengan buku atau pakaian milik orang lain. Semacam berburu thrift, tapi tanpa mengeluarkan uang. Hanya barang yang ditukar dengan barang layak pakai lainnya. Dan, saya telah mendapatkan bacaan juga pakaian baru, tanpa perlu menumpuk yang sudah jarang terpakai di rumah.

Karena waktu sudah menunjukkan pukul 14.00, saya dan Nu’ bergegas menuju Detakata untuk kegiatan selanjutnya. Detakata berada di belakang Artani. Hanya butuh beberapa langkah, dan mata sudah bisa menjangkau seluruh ruangannya yang tidak seberapa luas, melalui pintu dan jendela kaca yang transparan. 

Di dalam, sudah ada beberapa orang yang duduk menunggu agenda main-main. Kami akan meluangkan waktu sampai sore nanti untuk membuat pembatas buku bersama Kairascraft. Bahannya dari herbarium. Koleksi spesimen tumbuhan utuh atau bisa berupa bagian tumbuhan yang diawetkan. Mulanya herbarium digunakan untuk keperluan penelitian ilmiah, dan media belajar klasifikasi tanaman. Tapi, karena ada peluang cuan dan ramai peminatnya, perlahan herbarium mulai dijadikan aksesoris estetik. 

Ada banyak macam bunga yang disediakan Kaira. Bunga-bunga yang ia keringkan dengan cara dibungkus tisu, lalu menyembunyikannya di antara halaman-halaman buku. Mulai dari tanaman paku, daun paria, ilalang, sampai edelweis juga ada.

Saya baru tahu, edelweis ternyata sudah menjadi komoditi juga. Bisa dibeli secara resmi di Desa Wisata Edelweis Wonokitri, yang berada di pintu masuk kawasan Gunung Bromo. Harganya entah berapa. Selain tanaman, ada juga kupu-kupu yang diawetkan. Kalau kupu-kupu ini, di Bantimurung, Maros, tempatnya. Cantik. Tapi, agak aneh di mata saya yang lebih suka melihat kupu-kupu hidup dan terbang. 

Agenda Bikin-bikin pembatas buku pun dimulai. Intim, karena terbatas hanya untuk sepuluh peserta. Ali dan Najwa jadi peserta paling lucu, muda, dan bersemangat. Di atas kertas laminating, isi kepala dan perasaan disulap menjadi karya pembatas buku yang rupa-rupa warnanya. 

Macam-macam herbarium saling berpadu. Bertemu juga dengan sayap kupu-kupu. Dan tulisan tangan untuk mengabadikan momen.

Detak dan Kata

Meski sempat ada drama mati lampu, dan adegan mencungkil mesin laminating pakai obeng, karena ada-ada saja pembatas buku yang menolak keluar. Bikin-bikin ini tetap menyenangkan. Dan semua orang punya pembatas buku hasil tangannya sendiri.

Membuat pembatas buku, tentu saja harus ada bukunya. Makanya secara bergiliran, setiap individu yang ikut main-main tadi, menceritakan alasannya memilih satu buku berjudul apa saja yang mereka ajak berpetualang ke Detakata.

Jihan membawa Wonderful Life karya Amalia Prabowo. Buku bersampul biru cerah yang menceritakan tentang anak disleksia, yang tidak hanya sulit melafal kata dan merangkai kalimat, tapi juga susah membaca, menulis, dan berhitung. Tapi, malah membuat orang tuanya menemukan dunia yang penuh warna, imajinasi, dan kegembiraan. Kata Jihan, buku ini menjadi motivasinya kuliah jurusan Pendidikan Khusus. 

Di antara banyaknya pilihan buku, ada satu buku yang berkesan bagi pembacanya. Dan secara ajaib mampu mengubah cara melihat sesuatu, bahkan dunia. Pikiran semacam itulah yang melahirkan nama Detakata.

Detak yang identik dengan tanda kehidupan, bersanding dengan kata. Kata yang bisa saja ada karena perasaan marah, sedih, senang, bingung, kritis, bahkan mungkin mabuk. Segala persoalan hidup yang menjadi huruf-huruf di kertas, dibawa ke mana saja, menghuni rak buku, dan bertemu dengan pembaca. 

Detakata berharap seperti itu dari namanya. 

Detak Kedua

Dan ya, dari apa yang saya temui di kunjungan pertama, banyak kata-kata berseliweran di tempat ini. Ulasan buku dari kawan ke kawan. Rekomendasi bacaan tentang pangan lokal. Sampai obrolan tentang jalur transportasi umum yang ternyata cukup murah, tapi mulai sepi pengguna. Beda dari awal-awal mereka beroperasi karena masih gratis.

Berkunjung ke Detakata tidak melulu berarti harus jajan buku. Kamu yang ngiler melihat banyak buku baru yang menggoda untuk dibaca, tapi berat di dompet, mungkin bisa ikut program Detak Kedua dulu.

Mengantar buku-buku lamamu yang hanya nangkring di rak buku, dan sudah tidak mau kamu baca berulang kali, untuk bertemu pemilik barunya di Detakata. Detak Kedua akan menampung dan mempertemukan buku-buku lamamu di sebuah rak khusus. Dan melabeli mereka dengan harga yang sudah kamu tentukan. 

Mereka menerima buku milikmu pada setiap Jumat dan Minggu. Dan akan menghubungimu jika lolos kurasi. Lalu melaporkan hasil penjualan bukumu jika laku. Selambat-lambatnya 30 hari setelah bukumu menghuni Detakata.

Udah. Kamu bisa membeli buku baru dengan hasil penjualan buku lamamu. Jika tidak laku? Keputusan ada di kamu. Mau tetap menyimpannya atau membawanya pulang kembali bersamamu. Lalu, mulai menabung untuk membeli buku baru idamanmu. Seperti saya yang akan bersabar menabung lebih lama, sampai bisa menjemput semua buku bertema pangan lokal di Detakata. hihi..

Klub Buku dan Diskusi Buku Momentum

Detakata bisa menjadi tempat melepas diri dari jam-jam siang yang sibuk. Jalanan yang sengkarut, yang membuat hampir semua orang berkerut dan saling klakson. Menepi sebentar untuk mencari kawan diskusi buku yang sudah banyak kamu baca juga bisa. Karena mereka juga punya klub buku.

Tapi, untuk bisa terhubung di jaringan telekomunikasinya, kamu sebaiknya ikut diskusi luringnya lebih dulu. Lagi-lagi, pesertanya terbatas hanya sepuluh orang. Agar diskusi bisa lebih dekat, dan semua individu dapat bagian bercerita. 

Klub bukunya bakal membahas satu buku yang disepakati sama-sama. Dibaca dulu terus ketemu lagi untuk saling bertukar opini di waktu yang sudah ditentukan. Tapi, kalau kamu mau temanya yang lebih bebas, kamu bisa ikut diskusi buku momentumnya. 

Akhirnya, meski baru berusia dua bulan, Detakata hampir selalu hidup dan berdetak setiap hari menyambut para pengunjung barunya. Mendengar cerita mereka, dan kadang-kadang malah masuk feed Instagram-nya. Tidak perlu malu-malu buat mampir. Bulan puasa begini juga enak buat ngabuburead. Mereka buka pukul 13.00-21.00 WITA.

Saat saya tanya, kenapa bukanya siang? Katanya sih tidak ada alasan khusus. Tapi ya cukuplah, delapan jam kerja.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Main-main di Detakata appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/main-main-di-detakata/feed/ 0 38154
Bacarita Digital, Tiga Kisah dari Kawasan Timur https://telusuri.id/bacarita-digital-tiga-kisah-dari-kawasan-timur/ https://telusuri.id/bacarita-digital-tiga-kisah-dari-kawasan-timur/#respond Wed, 29 Mar 2023 04:00:28 +0000 https://telusuri.id/?p=37522 April, 2022, sebuah pesan singkat disertai dengan e-flyer terbaca di layar gawai saya. “Ayo ikut ajang ini. Bertiga sama Ais.” Ajang yang dimaksud kawan saya bernama Valen itu adalah lokakarya produksi konten untuk komunitas Indonesia...

The post Bacarita Digital, Tiga Kisah dari Kawasan Timur appeared first on TelusuRI.

]]>
April, 2022, sebuah pesan singkat disertai dengan e-flyer terbaca di layar gawai saya. “Ayo ikut ajang ini. Bertiga sama Ais.” Ajang yang dimaksud kawan saya bernama Valen itu adalah lokakarya produksi konten untuk komunitas Indonesia Timur, namanya Bacarita Digital.

Bacarita, istilah khas yang menyesuaikan aksentuasi orang-orang di tengah dan timur Indonesia, yang populer dipahami sebagai bercerita. Ditambah embel-embel digital, sudah jelas bahwa ajang ini bakal fokus pada penggunaan teknologi, dan output-nya yang akan memanfaatkan sosial media.

Penyelenggaranya Rumata’ Artspace—sebuah rumah budaya yang lahir dari proyek bersama mantan jurnalis Kompas, Lily Yulianti Farid, dengan sutradara film lokal Indonesia favorit saya, 3 Hari untuk Selamanya (2007), Riri Riza. Lokasinya di Jalan Bontonompo, No.12A, Gn. Sari, Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan.

Kalau kamu pernah mendengar Makassar International Writer Festival (MIWF), yakni festival yang menghubungkan penulis lokal, nasional, dan internasional di Benteng Rotterdam Makassar, nah manusia-manusia di Rumata’ ini jugalah para biang keroknya. 

Workshop Bacarita Digital Sesi 1/Arsip Rumata’

Dengan pertimbangan, saya telah lebih dulu mengenal Rumata’ dan beberapa kali menjadi penonton film-film pendek yang mereka tayangkan secara eksklusif, juga sebagai pengunjung MIWF yang sayangnya alfa setelah pandemi, saya pikir mencoba terlibat sebagai calon peserta yang lebih intim akan sangat menyenangkan. 

Apalagi ide yang mereka bawa pada lokakarya Bacarita Digital sebagai upaya menggagas cerita, narasi, dan nilai budaya dari keragaman konteks lokalitas masing-masing daerah peserta adalah peluang besar. Maksud saya, ini kesempatan bagi Indonesia Timur menyuarakan isu-isu terabaikan di tempatnya yang selama ini tertutupi info-info kehidupan selebriti dari Jawa. Atau sekadar berbagi cerita personal menghangatkan hati bahkan mengejek. Hingga resep kuliner khas tradisional yang jarang muncul di layar televisi, dan mengambil tempat dalam pariwisata.

Kami pun mendaftar. Dan tiga individu melebur jadi satu dalam komunitas bernama Dari Halaman Rumah—sebuah komunitas kecil yang baru terbentuk di 2022 demi ajang Bacarita. Komunitas ini memutuskan fokus untuk menghidupkan narasi-narasi ekologis, nilai budaya dan sosial, serta ekonomi bagi manusia-manusia Bugis.

Ide cerita dan data diri kami kirimkan. Hingga tiba hari pengumuman di bulan Juni. Tujuh komunitas dari 29 komunitas di sembilan provinsi yang mendaftar, berhasil lolos ke tahap wawancara. Tujuh komunitas itu berasal dari Sulawesi, Kalimantan, Jayapura, dan Nusa Tenggara Timur. Mereka melangkah maju ke tahap wawancara oleh pihak Rumata’ dan sutradara film dokumenter pendek Ibu Bumi (2020), yang menyoroti partisipasi generasi muda petani Kendeng melawan pabrik semen, Chairun Nissa.

Empat komunitas sayangnya harus gugur. Dan hanya tiga komunitas terpilih yang melanjutkan perjalanan.  Ketiga komunitas itu adalah Hakola Huba (Sumba Barat, Nusa Tenggara Barat), Indonesia Art Movement (Jayapura, Papua), dan Dari Halaman Rumah (Pangkep, Sulawesi Selatan).

Petualangan baru kami pun dimulai pada akhir Juni. Ketiga komunitas bertemu untuk pertama kalinya di Rumata’. Dan mengikuti workshop pra produksi Bacarita Digital sesi pertama selama empat hari pada 30 Juni–3 Juli 2022. Bersama para mentor, yakni Yusuf Radjamuda (Sutradara Film-Palu), Chairun Nisa (Sutradara Film-Jakarta), dan Ratrikala Bhre Aditya (Penulis & Sutradara Film-Jakarta). 

Dan co-mentor Ishak Iskandar (Sinematografer-Makassar), Rahmadiyah Tria Gayathri (Penulis & Sutradara-Palu) dan Rahman Saade (Sinematografer-Makassar). Serta para pemateri, yakni Yandy Laurens (Sutradara), Evi Mariani (Direktur Eksekutif Project Multatuli), M. Nawir (Penulis, Peneliti, dan Pengajar), serta Riri Riza (Sutradara).

Launching perdana konten Bacarita Digital di CGV Panakkukkang, Makassar/Arsip Rumata’

Sesi dua berlanjut di bulan Agustus. Berlokasi di daerah masing-masing komunitas. Didampingi para mentor, co-mentor yang telah dibagi pada sesi pertama. Proses  produksi yang berlangsung singkat selama empat hari. Namun, menyita beberapa bulan untuk proses editing. Hingga akhirnya, karya ketiga komunitas resmi launching perdana pada sesi ketiga Bacarita di 24 Februari 2023 kemarin. 

Ditayangkan di bioskop CGV Panakkukang, Makassar. Suara, wajah, dan cerita para komunitas menggema di sudut-sudut bioskop. Disaksikan puluhan pasang mata. Meski ada sedikit kendala teknis yang agak menyebalkan. Tapi, malam itu berakhir dengan wrap up party yang menyenangkan ditemani steak dan minuman fermentasi nanas. Juga celetukan dan tawa lepas yang besoknya hanya bisa dikenang.

Merawat Ingatan-ingatan Nenek

Kisah yang dibawa Dari Halaman Rumah ke bioskop mungkin yang paling personal. Bercerita tentang perempuan kota yang sakit, dan penat dengan keriuhan Jakarta. Lalu memutuskan pulang ke desa. Tapi, bukan ke rumah orangtuanya. Melainkan ke rumah neneknya yang hidup sendirian di Desa Tabo-tabo, Pangkep. 

Proses Produksi Dari Halaman Rumah/Arsip DHR

Ais, nama perempuan itu, lalu belajar banyak hal. Tentang tanaman yang bisa menyembuhkan lebih baik dari obat-obatan kimia. Tentang tangguhnya seorang wanita paruh baya yang menghidupi ternak dan kebunnya. Saling menghidupi. Ritual-ritual untuk berterima kasih kepada alam dengan sumber dayanya yang melimpah. Hingga betapa memuakkannya pabrik-pabrik semen, dan marmer yang telah merangsek masuk ke desa neneknya. Tentu saja, ada cerita tentang truk-truk pencuri batu dari sungai yang asap hitamnya mencemari udara yang seharusnya menyegarkan. 

Desa dan kota hampir tidak ada lagi bedanya. Tapi, Ais, tidak ingin kehilangan memori-memori magis, dan manis di desa neneknya. Jadilah ia memulai mendokumentasikan si nenek dalam projek bernama merawat ingatan-ingatan nenek. Ingatan yang menjadi konten digital tiga episode berjudul Rumah Diri. Dan bisa disaksikan di laman YouTube Dari Halaman Rumah akhir Maret ini.

Pinang Tumpuk dan Cerita Mama Nela

Sementara, Indonesia Art Movement (IAM) tidak melupakan pinang tumpuk yang menjadi bagian dari identitas masyarakat Papua. Tradisi mengunyah atau makan buah pinang yang diwariskan turun temurun mulai dari anak kecil hingga orang dewasa. Yang konon katanya, buah pinang ini diperkenalkan oleh manusia berbahasa Astronesia yang datang ke pesisir dan pulau-pulau kecil di lepas pantai Papua. Hingga kini menggapai pegunungan. Seperti yang dituliskan Hari Suroto (2010) dalam bukunya “Prasejarah Papua”.

Proses Produksi IAM/Arsip IAM

Dari pinang yang dikunyah, dan lepehan cairan kental berwarna merah yang biasanya diludahkan ke tanah oleh para pengunyah pinang, siapa sangka cerita-cerita justru berdatangan. Kisah asmara yang menggelitik, persoalan ekonomi dan mahalnya harga pinang, sampai larangan memasuki hutan bakau perempuan bagi laki-laki, dan sanksi adat yang menunggu. 

Semuanya dikemas dalam balutan komedi sedikit satir melalui obrolan-obrolan ringan Mama Nela, si penjual pinang tumpuk Kampung Enggros bersama para pelanggannya. Dan bisa kamu jumpai di laman YouTube Indonesia Art Movement, yang tahun ini akan memproduksi Season 1 dengan lima episode. 

Obed Kampung Sodan

Dan, Hakola Huba, atau Sokola Sumba yang berada di bawah payung Sokola Institute ini menjadi komunitas yang pemeran di filmnya cukup banyak. Dengan satu pemeran utama bernama Obed yang menghadapi kecemasan gagal panen. 

Proses Produksi Hakola Huba/Arsip Hakola

Masalahnya kian pelik, tatkala pupuk tidak berhasil ia pinjam dari kerabatnya. Padahal sang kekasih sudah mendesak untuk segera dilamar. Tak habis akalnya, Obed bahkan berniat meminjam uang dan menggadai parang hulu tanduk yang sebenarnya ia siapkan sebagai mahar.

Kisahnya terekam apik dan orisinil karena menggunakan bahasa Laboya sepanjang film. Ditambah pemandangan Kampung Sodan, Sumba Barat, dengan uma mantoko atau rumah menaranya. Dan kebiasaan menyambut tamu dengan tikar, dan suguhan pinang. 

Film fiksi berjudul Obed secepatnya juga akan ditayangkan di laman YouTube agar menemui para penontonnya. 

Bacarita Digital Volume 2

Akhirnya, dunia yang luas ini bisa kita telanjangi dan bawa kemana-mana. Ide dan cerita yang tadinya hanya ada di kepala bisa dibaca dan ditonton banyak orang, melalui benda kecil yang selalu ada di dalam tas. 

Mungkin saja kamu juga tertarik untuk mendokumentasikan kisahmu agar tidak dilupakan, Bacarita Digital Volume 2 akan kembali diadakan. Mengenai akomodasi dan transportasi, kamu tidak perlu khawatir. Karena Rumata’ yang didukung oleh Kemendikbud Ristek akan membiayai full komunitas dari luar Sulawesi Selatan.

Hanya saja, untuk biaya produksi tetap akan diserahkan pada sumber daya mandiri komunitas masing-masing. Jadi, saran saya sih persiapkan alat-alat produksi yang mumpuni seperti kamera DSLR, handy recorder, hardisk, dan laptop.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Bacarita Digital, Tiga Kisah dari Kawasan Timur appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/bacarita-digital-tiga-kisah-dari-kawasan-timur/feed/ 0 37522
Melihat Posina Tanae, Titik Tengah Indonesia https://telusuri.id/melihat-posina-tanae-titik-tengah-indonesia/ https://telusuri.id/melihat-posina-tanae-titik-tengah-indonesia/#respond Sat, 31 Dec 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36778 Masih dalam perayaan Hari Sumpah Pemuda oleh teman relawan Sokola Kaki Langit, saya bersama beberapa teman mengunjungi satu-satunya sekolah di desa ini yang berjarak sekitar 20 menit dengan berjalan kaki dari Rumah Indo, sementara beberapa...

The post Melihat Posina Tanae, Titik Tengah Indonesia appeared first on TelusuRI.

]]>
Masih dalam perayaan Hari Sumpah Pemuda oleh teman relawan Sokola Kaki Langit, saya bersama beberapa teman mengunjungi satu-satunya sekolah di desa ini yang berjarak sekitar 20 menit dengan berjalan kaki dari Rumah Indo, sementara beberapa relawan lain menyiapkan lokasi pemeriksaan kesehatan yang akan berlangsung pukul 10.00 WITA.

Trekking singkat dari rumah ke sekolah tidak begitu sulit. Medan secara keseluruhan hanya berupa jalur landai dan turunan curam sebanyak tiga kali. Otot-otot kaki yang masih ngilu dampak perjalanan panjang kemarin membuat saya langsung memikirkan perjalanan pulang selepas kegiatan di sekolah. Saat tiba, beberapa anak-anak terlihat bermain di lapangan sekolah, beberapa lagi duduk-duduk di lorong kelas, dan sisanya lalu-lalang tidak karuan. 

Selain arajang dan Rumah Indo, salah satu motivasi mengunjungi desa dengan akses terisolir ini adalah “titik tengah Indonesia” yang selalu disandingkan dengan Desa Umpungeng. Saya sempat bertanya, “Bagaimana orang-orang bisa tahu bahwa desa ini merupakan titik tengah dari sebuah negara?”

Lalu, seorang relawan berbaju kuning sempat bercerita, bahwa di masa lalu, entah siapa, berhasil menemukan tempat ini. “Jika peta Indonesia dilipat menjadi empat bagian sama besar, maka titik pertemuan dari lipatan tersebut berada di desa ini.”

rute trekking
Pemandangan rute trekking ke Umpungeng/Nawa Jamil

Setelah mengajar dan menyelesaikan agenda bermain dan lomba hari itu, kami diajak ke titik legendaris tersebut. Titik tengah Indonesia disebut posina tanae yang berarti pusat tanah. Titik ini tidak jauh dari sekolah. Kami menaiki jalan tanjakan curam, lalu berbelok ke daerah perkampungan yang cukup padat di atas sekolah. Tidak jauh dari rumah-rumah warga, terdapat satu bidang tanah dengan rumput hijau. Sebuah plang bertulis “batas alas kaki” menyambut kami. 

Tanah lapang tersebut dikelilingi bebatuan rata yang membentuk lingkaran hampir lonjong. Di salah satu bagian lingkaran tersebut terdapat gundukan batu menyerupai tahta, lalu di tengah-tengah lingkaran tersebut terdapat satu batu yang dipagari besi yang bercat merah bata gelap. Situs ini merupakan situs megalitikum bersejarah bernama Garugae. Konon, Garugae—yang hingga saat ini terawat dengan baik—menjadi tempat pertemuan para raja terdahulu dalam bermusyawarah, serta lokasi pelantikan datuk, raja, atau kepala daerah di sini.

“Tidak ada yang tahu kapan dan bagaimana situs ini ada, atau siapa yang meletakkan batu-batu dengan permukaan rata hingga berbentuk seperti ini,” cerita seorang relawan. 

Sayangnya, sangat sulit menemukan literasi atau dokumen yang menceritakan tentang Umpungeng sebagai titik tengah Indonesia, berbeda dengan Sabang dan Merauke sebagai titik barat dan timur Indonesia yang bahkan dengan mudah ditemui di lagu-lagu nasional, bahkan sering terdengar dalam jingle populer salah satu merk mi instan. 

Namun setelah semuanya, titik yang jarang diketahui secara luas ini membawa kesyahduannya tersendiri. Terlepas dari misteri dan peruntukannya di masa lalu hingga sekarang, sebagai seorang yang berkunjung ke sini, saya menemukan salah satu kenikmatan memandangi deretan pegunungan dari rerumputan situs Garugae. 

Keseruan Perayaan Hari Sumpah Pemuda

Terlepas dari segala nilai sejarah dan magis Desa Umpungeng yang cukup terisolir ini, perayaan Hari Sumpah Pemuda merupakan momentum yang mempertemukan banyak relawan, menjadi jembatan yang menakdirkan langkah kami sampai ke desa syahdu ini. 

Secara umum, agenda perayaan sumpah pemuda hari itu terbagi dua: bermain dan rangkaian lomba bersama anak sekolah dasar, serta pemeriksaan kesehatan warga di rumah Pak Dusun. Saya mengikuti rombongan ke sekolah pagi itu. Setelah meminta izin ke guru sekolah, kami menggunakan satu ruang kelas untuk bermain selama satu jam pertama. 

Selama satu jam tersebut, para relawan mengajari anak-anak dari beragam kelas tersebut seni origami, tepatnya cara membuat bunga mawar dari selembar kertas persegi dengan teknik lipat sana-sini. Kelas berlangsung meriah dan sedikit kacau, tetapi pada akhirnya, masing-masing anak berhasil membuat bunga mawar mereka sendiri. 

  • Anak-anak
  • Origami
  • kemiri

Setelah membuat bunga mawar dari kertas, para relawan lalu melangsungkan serangkaian lomba di lapangan sekolah. Lomba ini terdiri dari balap karung dan lomba kelereng yang dibagi per kelasnya. Jumlah siswa tiap kelas yang sangat variatif menjadi tantangan tersendiri. Di kelas empat, kami melaksanakan lomba sampai beberapa kloter sebab siswanya sampai belasan, sementara di kelas dua hanya terdapat dua siswa saja. 

Lomba hari itu berlangsung meriah. Saya bertugas sebagai juri di garis akhir, sesekali mengambil kesempatan untuk mengabadikan anak-anak dan ekspresi senang mereka. Kompetisi kecil hari ini berakhir dengan satu hadiah untuk setiap anak, baik yang berhasil menjuarai, atau yang hanya keluar sebagai peserta. 

Doa Baik Sebelum Pulang

Mengunjungi Umpungeng menjadi salah satu kesyukuran di tahun 2022, setelah hanya mendengarkan nama tempat ini sejak 2019. Meskipun hanya menetap selama tiga hari dua malam, tetapi tempat ini menyajikan perasaan damai yang begitu dekat. Saya merasakan sebuah perasaan yang akrab, seperti telah berada di tempat ini sebelumnya, saat kenyataannya adalah, saya mengunjungi Umpungeng baru kali pertama. 

“Tidak semua orang bisa ke sini. Ketika kita tidak ditakdirkan menginjakkan kaki ke sini, terkadang ada saja halangan [berkunjung] yang ditemui,” kata seorang relawan. 

Saya mengucap suatu doa dalam hati, untuk diizinkan berkunjung ke Umpungeng di masa mendatang. Doa baik untuk berkunjung lagi saya latunkan sesaat setelah melewati sungai pertama yang konon merupakan “gerbang” desa ini.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Melihat Posina Tanae, Titik Tengah Indonesia appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/melihat-posina-tanae-titik-tengah-indonesia/feed/ 0 36778
Keseruan Perayaan Sumpah Pemuda di Desa Umpungeng https://telusuri.id/keseruan-perayaan-sumpah-pemuda-di-desa-umpungeng/ https://telusuri.id/keseruan-perayaan-sumpah-pemuda-di-desa-umpungeng/#respond Fri, 30 Dec 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36767 “Bahkan cukup dengan mengingat kampung ini dan Rumah Indo sudah bisa menghadirkan perasaan damai dalam hati kita.” Ucapan Kak Mei, founder sekaligus relawan Sokola Kaki Langit ini menjadi salah satu yang saya amini diantara banyaknya...

The post Keseruan Perayaan Sumpah Pemuda di Desa Umpungeng appeared first on TelusuRI.

]]>
“Bahkan cukup dengan mengingat kampung ini dan Rumah Indo sudah bisa menghadirkan perasaan damai dalam hati kita.” Ucapan Kak Mei, founder sekaligus relawan Sokola Kaki Langit ini menjadi salah satu yang saya amini diantara banyaknya hal-hal baik yang terjadi selama berkunjung ke Desa Umpungeng yang terletak di Kecamatan Lalabata, Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan. Kak Mei bercerita banyak hal di balkon Rumah Indo pagi itu, saat rekan lain sibuk mengemasi barang-barang mereka, hendak kembali ke Makassar sebelum siang hari.

Bahkan setelah beberapa hari pasca perjalanan ke Umpungeng kemarin, saya masih merasakan sisa-sisa perasaan baik dari desa yang dikelilingi deretan gunung-gunung yang memukau ini. Perjalanan ke Desa Umpungeng dimulai tanggal 28 Oktober, masih dalam rangkaian memperingati Hari Sumpah Pemuda bersama Sokola Kaki Langit, salah satu komunitas pendidikan di Kota Makassar.

Perjalanan Menuju Umpungeng

Perjalanan menuju Umpungeng kami mulai dengan bersepeda motor ke titik kumpul di Pertamina, daerah Sudiang. Saat tiba di sana, rombongan kami sudah nyaris lengkap, tinggal menunggu dua orang lagi. Saya dan Kak Dewi memutuskan menunggu rombongan yang tersisa, sementara beberapa relawan yang telah hadir memutuskan untuk berangkat lebih awal. 

Sekitar 20 menit setelahnya, dua relawan terakhir pun tiba dan kami langsung memulai perjalanan sepanjang 120 km dari Pertamina Sudiang menuju Gattareng di Kabupaten Soppeng, titik kumpul sebelum memulai pendakian ke Desa Umpungeng. Perjalanan dari Makassar ke Barru sebelum berbelok ke arah Pakkae berlangsung mulus dan menyenangkan. Kami berhenti sebentar mengganti sparepart salah satu motor sebelum melanjutkan perjalanan.

Saya mengambil beberapa foto dan mendengarkan kumpulan lagu The Smiths berulang-ulang, sampai motor kami berbelok ke daerah Pakkae dan menemui beberapa meter jalan sedang dalam pengerjaan. 

Sepanjang perjalanan dari Pakkae sampai ke gerbang perbatasan Barru–Soppeng menjadi salah satu yang paling menyenangkan, meskipun beberapa bagian jalan sedang dilakukan perbaikan besar-besaran. Rombongan kami tiba di check point sekitar pukul dua siang. Saat itu, sebagai rombongan yang tiba lebih dulu, kami memutuskan untuk mengisi tenaga sejenak, menyesap kopi dan Indomie rebus dengan tambahan kacang goreng pada kuahnya. Belum habis semangkok, rombongan lain tiba beruntun. Jadilah warung sederhana dengan bale-bale di depannya ini ramai sesak oleh orang-orang yang saling menyapa, bercerita, dan tampak tidak sabar melanjutkan perjalanan ke Desa Umpungeng. 

Perjalanan dari Makassar ke Soppeng
Perjalanan dari Makassar ke Soppeng/Nawa Jamil

Dari warung di Gattareng, rombongan melanjutkan perjalanan dengan sepeda motor menuju Bulu Batu, suatu perkampungan di tengah-tengah sebelum desa tujuan kami. Dari sini, medan semakin sukar. Kami melewati tanjakan beton curam yang sesekali diselingi tikungan tajam. Seolah tidak cukup menantang, jalanan beton di awal ternyata tidak sampai di kampung. 

Kami harus melewati medan batu pengerasan dan tanah merah yang berteman tanjakan serta turunan. Jalur paling menantang selama rute Gattareng menuju Bulu Batu terletak sepanjang hutan pinus. Meskipun begitu, kami berhasil tiba di lokasi tempat memarkirkan motor, sebuah rumah panggung dengan sepasang penghuni rumah yang begitu ramah. Saat kami datang, beliau tengah memecahkan kemiri di bawah rumah. 

Tantangan sesungguhnya dalam perjalanan menuju Umpungeng adalah jalur setelah Bulu Batu. Awalnya perjalanan berjalan lancar dengan medan pendakian yang cukup landai. Lalu secara bertahap setelah turunan di jembatan kedua, medan perlahan menanjak. Beton pun berganti tanah basah, lalu setelah jembatan ketiga, saya mencapai batas pendakian, kakiku tidak dapat menaklukan medan yang menikung dan menanjak di saat bersamaan. Untung saja, setelah tiga tanjakan curam, seorang relawan yang telah tiba sejak Rabu, berbaik hati menjemput kami menuju rumah. 

Rumah Indo dan Arajang

Saya mendengar cerita perihal Rumah Indo jauh sebelum menginjakkan kaki ke sini, sejak bertahun-tahun yang lalu. Orang-orang yang menceritakan rumah ini selalu dengan banyak petualangan, kisah-kisah mistis, dan kerinduan yang baik. 

Rumah Indo berada di ketinggian. Saya menaiki beberapa anak tangga sebelum tiba di tangga depan rumah panggung khas Bugis ini. Sewaktu tiba, langit sudah gelap sempurna. Yang terlihat hanya deretan sandal-sepatu yang terkena cahaya senter gawai secara tidak sengaja. Dengan perlahan, saya menaiki tangga rumah ini. Dua batang pohon pisang dan rumah penuh kain merah menyambut kami yang baru tiba malam itu. 

Momen ini merupakan kali pertama dalam hidup, saya memasuki rumah dengan seluruh bangunan tertutup kain merah seperti Rumah Indo. Sebuah pernyataan berani juga pengingat bahwa tempat yang kami datangi ini bukanlah tempat biasa. Begitu saya memasuki rumah, beberapa relawan tengah beristirahat, beberapa lagi sibuk bertukar cerita perihal keseruan trekking tadi. Mengikuti beberapa relawan lain yang tiba beriringan, saya pun ikut meluruskan kaki di rumah itu, tetapi seorang relawan langsung menegur saya. 

“Maaf kak. Kakinya jangan menghadap ke sana ya kak. Harus ke arah sebaliknya,” tegur seorang relawan. 

Buru-buru saya pun memperbaiki posisi selonjoran, memutar badan ke arah sebaliknya dan membelakangi area kamar tempat arajang disimpan. Arajang, sebuah benda pusaka yang hanya kudengar ceritanya sejak tahun 2019. Benda ini begitu lekat dengan sejarah yang membangun kepercayaan orang-orang disekitarnya, tidak hanya di Desa Umpungeng, melainkan seluruh Kabupaten Soppeng dan beberapa daerah Bugis lainnya. 

Arajang merujuk pada benda atau sekumpulan benda pusaka yang memiliki nilai magis dan dipercaya oleh masyarakat sekitar. Biasanya, benda ini merupakan peninggalan raja atau orang-orang yang memiliki kekuatan dalam memperluas suatu kerajaan di masa lalu. Di Rumah Indo, arajang atau pusaka ini berupa segenggam rambut berwarna merah milik Arung Palakka. Konon, rambut dengan sejarah panjang yang bermula pada 1660-an ini, diberikan kepara Arung Umpungeng, pemimpin desa ini, sebagai wujud penghormatan atas bantuan yang diberikan pemimpin desa ini saat membantu Arung Palakka dan pasukannya bersembunyi dari kejaran Kerajaan Gowa dan Wajo. 

tungku
Tungku di dapur indo/Nawa Jamil

Kisah perihal arajang ini serupa antara kisah-kisah yang kudengar dari para relawan di lokasi dan cerita-cerita yang tertulis dari berbagai sumber. Tertulis dalam suatu tulisan, “Akko iye mupakalebbi Arung Umpungeng iya mupakalebbi, akko iya muparakai Arung Umpungeng iya muparakai, akko iye mucaro Arung Umpungeng iya mucaro,” yang berarti, “Jika ini yang engkau muliakan Arung Umpungeng, saya yang kau muliakan, jika ini yang engkau jaga Arung Umpungeng, saya yang kau jaga, jika ini yang engkau hormati Arung Umpungeng, maka sesungguhnya Zat Kemulianlah yang engkau hormati.” 

Sayangnya, saya tidak bisa melihat benda pusaka ini. Arajang tersimpan rapi di dalam kamar dan hanya dikeluarkan satu kali dalam setahun, pada perayaan Maccera Tana dan Mallangi Arajang yang berarti memberikan persembahan pada tanah dan pencucian benda pusaka. Peristiwa ini biasanya dilakukan pada akhir tahun yang akrab diceritakan para relawan sebagai ‘Pesta Adat Umpungeng’. 

Menurut penceritaan kakak relawan yang telah lama mengunjungi tanah ini, pesta adat menjadi momen teramai Umpungeng. Orang-orang dari berbagai latar belakang dan komunitas, utamanya anak muda Desa Umpungeng yang keluar mencari peruntungan di kota. Saat saya tanya kepastian perayaan adat tahun ini, seorang relawan kemudian menjelaskannya. “Biasanya akhir tahun, November atau Desember. Sekitaran waktu tersebut saat Indo sudah merasa waktu tersebut adalah saat yang tepat.”Indo, merupakan sosok perempuan paruh baya yang tinggal di rumah ini dan menjaga arajang. Tak lama setelah saya tiba dan berbincang sebentar bersama relawan lainnya, sosok Indo yang hanya kudengar lewat cerita tengah berjalan dari arah dapur dengan satu nampan penuh gelas keramik dan seteko teh hangat. Ia meletakkan nampan tersebut dengan senyum tipisnya, sembari berucap agar kami menikmati teh manis hangat tersebut dalam bahasa Bugis (bersambung).

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Keseruan Perayaan Sumpah Pemuda di Desa Umpungeng appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/keseruan-perayaan-sumpah-pemuda-di-desa-umpungeng/feed/ 0 36767
Menyapa Tahun Baru di Gunung Latimojong https://telusuri.id/menyapa-tahun-baru-di-gunung-latimojong/ https://telusuri.id/menyapa-tahun-baru-di-gunung-latimojong/#respond Fri, 23 Dec 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36709 “Cuy, taun baruan naik gunung yuk!” ajak temanku, ketika aku sedang tidur-tiduran di dalam masjid. Saat itu, aku masih duduk di bangku SMA kelas 11. “Ke mana?” tanyaku kepadanya, Argo, yang memang pada saat itu...

The post Menyapa Tahun Baru di Gunung Latimojong appeared first on TelusuRI.

]]>
Cuy, taun baruan naik gunung yuk!” ajak temanku, ketika aku sedang tidur-tiduran di dalam masjid. Saat itu, aku masih duduk di bangku SMA kelas 11. “Ke mana?” tanyaku kepadanya, Argo, yang memang pada saat itu merupakan salah satu sahabat pendakianku. “Latimojong, Sulawesi,” jawabnya dengan semangat. Tanpa berpikir dua kali aku langsung mengiyakan tawaran tersebut. Momen pendakian Gunung Latimojong ini sekaligus menjadi agenda liburan tahun baru 2017.

Gunung Latimojong berada di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Latimojong merupakan gunung tertinggi di Sulawesi dengan puncak bernama Bulu Rantemario di ketinggian 3.478 mdpl.

Pegunungan Latimojong membentang dari selatan ke utara. Bagian baratnya berada di Kabupaten Enrekang, utaranya berada di Kabupaten Tana Toraja. Bagian selatannya, berada di Kabupaten Sidenreng Rappang dan bagian timurnya berada di Kabupaten Luwu hingga pinggir pantai Teluk Bone.

Kami berenam—aku, Argo, Wahyau, Duni, Kar, dan ayahnya Argo—berangkat menggunakan pesawat dari bandara Soekarno-Hatta di Jakarta menuju bandara Sultan Hasanuddin di Makassar. Untuk bisa sampai di Basecamp Gunung Latimojong, kami harus melakukan perjalanan jauh dari Kota Makassar menuju Kecamatan Baraka. 

Dengan kendaraan pribadi yang kami sewa sebelumnya—banyak travel yang menawarkan dengan kisaran biaya 1-2 juta rupiah tergantung negosiasi—perjalanan kami tempuh sekitar 7 jam, sebelum akhirnya tiba di Kecamatan Baraka. Begitu tiba pada malam hari, kami sesegera mungkin mempersiapkan perlengkapan, lalu beristirahat.

Salah satu hal seru di perjalanan menuju Gunung Latimojong adalah kami menumpang mobil jip untuk melanjutkan perjalanan ke Desa Karangan. Jalan yang berliku-liku, naik dan turun menemani perjalanan kami sembari menikmati pemandangan hamparan perbukitan Enrekang. “Hajar… Hajarrr… Eeaaa…” teriak pendaki lain asal Sulawesi menyemangati jip yang kami tumpangi melewati jalan rusak dan berlumpur. 

Beberapa jam kemudian, kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki untuk sampai basecamp di Desa Karangan. Di sinilah pendaki bisa beristirahat sembari mempersiapkan pendakian. Sederhana, basecamp pendakian berbentuk rumah panggung, pemiliknya yakni salah satu warga Desa Karangan. Kami menginap semalam di sana untuk mempersiapkan logistik. Esok paginya, barulah kami memulai pendakian ke Gunung Latimojong.

Pos demi Pos Gunung Latimojong

Pagi hari setelah sarapan dan pemanasan tubuh, kami memulai pendakian dari Desa Karangan menuju Pos 1. Durasinya sekitar 90 menit dengan medan jalan aspal dan tanah. Tak buruk, kendaraan bermotor masih bisa melewati jalan ini. Di kanan kiri jalan, masih banyak rumah dan ladang masyarakat sekitar. Para petani dari desa, biasa pergi ke ladang juga melewati jalan ini. Tutur sapa antara kami dengan warga menghiasi pagi hari. 

Untuk menuju pos selanjutnya, kami membutuhkan waktu sekitar dua jam. Semakin jelasnya suara aliran sungai dan bertemu sebuah jembatan menjadi pertanda bahwa kami akan tiba di sana. Begitu tiba di Pos 2, Gua Pak-Pak menyambut kedatangan kami. Di sini juga terdapat sebuah air terjun yang menjadi salah satu sumber air bagi pendaki.

Perjalanan kami lanjutkan ke Pos 3 dengan durasi sekitar 50 menit. Kami mengeluarkan tenaga lebih saat perjalanan ini karena jalurnya cukup terjal. Dari sini hingga Pos 5, tidak ada sumber air. Oleh karenanya, kami harus menghemat persediaan air yang kami bawa. Beberapa kali kami beristirahat untuk mengatur tempo pernafasan agar tidak terlalu cepat lelah.

  • Hutan lumut
  • Jembatan kayu
  • kabut

Setelahnya, kami bertemu dengan yang cukup datar dan lumayan curam saat menuju Pos 4. Kurang lebih, satu jam kami berjalan di hutan yang banyak tumbuh lumut. Dari sini, kami melanjutkan perjalanan selama dua jam menuju Pos 5. Kaki kami mulai terasa pegal dan kram. Wajar saja, jalur pendakian Gunung Latimojong di dominasi oleh tanjakan semua. Hujan menemani kami begitu tiba, tenda pun langsung kami dirikan. Selain luas, di Pos 5 juga terdapat sumber mata air sehingga cocok untuk camp site.

Makan malam kami siapkan. Usai perut kenyang, tidur menjadi pilihan karena esok kami akan melanjutkan pendakian menuju puncak Gunung Latimojong. Rante Mario kami datang!

Perjalanan Menuju Puncak

Udara dingin dan mata yang masih menahan kantuk harus aku paksakan. Setelah menyiapkan beberapa logistik barang yang akan kami bawa ke puncak, kami melanjutkan perjalanan. Menuju Pos 6, hutan lumut kembali menyambut. Jalur pendakiannya cukup menanjak dengan estimasi waktu 90 menit. Untuk menuju ke Pos 7 pun sama, perjalanan pendakian melewati hutan lumut, yang tampak semakin menarik dalam bidikan lensa kamera.

Balok besar di atas batu bertuliskan “Rantemario 3478 MDPL” menjadi penanda bahwa kami sudah tiba di puncak. Akhirnya, setelah perjalanan panjang, tiba juga kami di sana.

Sebelumnya tidak pernah terpikirkan dalam benakku untuk mendaki gunung di luar Pulau Jawa. Mungkin rasa penasaran mendaki gunung-gunung selain di Jawa menjadi pemantiknya. Apalagi setiap gunung memiliki karakteristik masing-masing. Tentunya, melalui pendakian ini aku merasa makin terpanggil untuk turut melestarikannya. Supaya generasi kita selanjutnya, masih bisa menapakinya.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menyapa Tahun Baru di Gunung Latimojong appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menyapa-tahun-baru-di-gunung-latimojong/feed/ 0 36709
Menyibak Cerita Budaya dan Sejarah Kete’ Kesu di Tana Toraja https://telusuri.id/menyibak-cerita-budaya-dan-sejarah-kete-kesu-di-tana-toraja/ https://telusuri.id/menyibak-cerita-budaya-dan-sejarah-kete-kesu-di-tana-toraja/#respond Wed, 07 Sep 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=35175 Pukul 10.00 WITA, rombongan kami yang berjumlah sepuluh orang dengan lima sepeda motor, melaju menyusuri jalan poros Toraja menuju Desa Kete’ Kesu di Kampung Bunoran, Kelurahan Paepalean, Kecamatan Sanggalangi, Toraja Utara, Sulawesi Selatan. Kami membawa...

The post Menyibak Cerita Budaya dan Sejarah Kete’ Kesu di Tana Toraja appeared first on TelusuRI.

]]>
Pukul 10.00 WITA, rombongan kami yang berjumlah sepuluh orang dengan lima sepeda motor, melaju menyusuri jalan poros Toraja menuju Desa Kete’ Kesu di Kampung Bunoran, Kelurahan Paepalean, Kecamatan Sanggalangi, Toraja Utara, Sulawesi Selatan.

Kami membawa bekal berupa informasi mengenai peninggalan purbakala, beberapa di antaranya yakni mengenai kuburan batu yang berada di Kete’ Kesu dan jajaran rumah adat masyarakat Toraja—Tongkonan, yang diperkirakan sudah berusia ratusan tahun. 

Buah Tangan Khas Toraja di Kios Kompleks Kete_ Kesu
Buah tangan khas Toraja di kompleks Kete’ Kesu/Fatimah Majid

Tiba di Kete’ Kesu

Suasana pagi yang menenangkan di Toraja menyapa kami begitu memasuki Kete’ Kesu. Kios-kios yang menjajakan berbagai buah tangan khas Toraja mulai dari tas, sarung, kaos, gelang, parang, ikat kepala, miniatur rumah tongkonan, ukiran-ukiran khas Toraja, serta kopi Toraja yang sudah terkenal hingga mancanegara ikut menyambut kedatangan kami.

Loket Masuk
Loket masuk/Fatimah Majid

Sebuah loket sederhana dengan ukuran cukup kecil, penuh dengan stiker-stiker yang ditempelkan oleh para pengunjung, menjadi pertanda bahwa mereka telah menginjakkan kaki di salah satu tempat yang menyimpan daya magis dalam kultur yang luar biasa. Kami lalu membayar biaya retribusi sebesar Rp15.000 per orang, sebagai tiket masuk ke lokasi wisata. Belum tersebut termasuk biaya masuk ke dalam kuburan batu.

Cerita tentang Makna Tongkonan

Lumbung Padi (Alang Sura)
Lumbung padi (alang sura)/Fatimah Majid

Saat mulai memasuki Kete’ Kesu, sepanjang mata memandang, saya melihat rumah adat tongkonan yang berjejer rapi berjumlah enam, dibangun menghadap ke arah utara, berhadapan dengan lumbung padi yang disebut alang sura’ yang berdiri di sebelah timur. Jumlahnya ada 12. 

Masyarakat Toraja meyakini bahwa para leluhur mereka berasal dari utara, sehingga rumah adatnya pun dibangun menghadap ke arah tersebut. Bahkan, mereka percaya jika setiap orang yang telah meninggal akan berkumpul kembali dengan arwah leluhur yang berada di utara. 

Tongkonan yang berada di Kete’ Kesu ini berasal dari leluhur Puang Ri Kesu’ serta merupakan salah satu tongkonan layuk tua di Toraja, mempunyai peran dan fungsi sebagai sumber pemerintahan dan kekuasaan adat di wilayahnya pada masa lampau.

Rumah tongkonan di Kete’ Kesu dipenuhi dengan ukiran-ukiran indah, di depan tongkonan terdapat sebuah tiang tempat puluhan tanduk tedong (kerbau) yang disusun berbentuk vertikal. Tanduk-tanduk tedong tersebut melambangkan seberapa sering pemilik rumah melakukan upacara adat serta menjadi penanda kelas sosial dari pemilik rumah. Kerbau di Toraja harganya mencapai ratusan juta, bahkan ada  kerbau yang harganya mencapai satu miliar. Kerbau tersebut adalah kerbau saleko, yang identik berwarna putih dengan corak hitam.

Rumah Tongkonan
Rumah tongkonan/Fatimah Majid

Faktanya, Kete’ Kesu yang kami kunjungi ini menjadi saksi sejarah awal mula keberadaan masyarakat di Tana Toraja. Selain itu, Kete’ Kesu merupakan sebuah desa wisata yang terkenal karena adat serta kehidupan tradisional masyarakatnya yang memegang teguh adat para leluhur.

Ada banyak keunikan dari rumah tongkonan. Beberapa di antaranya yakni, masyarakat membangun rumah tersebut dengan menumpukkan kayu sedemikian rupa sehingga tidak ada paku yang tersemat di rumah ini.

Jika pada umumnya rumah digunakan sebagai tempat untuk beristirahat bagi pemiliknya, namun hal ini tidak berlaku bagi rumah tongkonan. Masyarakat memanfaatkan kolong rumah sebagai kandang untuk hewan ternak. Mereka juga membagi rumah menjadi beberapa bagian, yang salah satu bagiannya digunakan sebagai tempat untuk menyimpan jenazah dari kerabatnya yang belum bisa dikuburkan. Karena Kete’ Kesu sudah menjadi kompleks wisata, maka tidak ada yang menghuni rumah tongkonan di sini.

Keunikan lain dari tongkonan yakni atap rumah yang menjulang, berbentuk seperti perahu tertelungkup, terbuat dari buritan yang berlapis ijuk hitam. Bentuk atap tersebut, diibaratkan seperti tanduk tedong (kerbau). 

Hampir seluruh bagian dari rumah tongkonan punya ukir-ukiran. Ukiran kepala kerbau  berarti kemakmuran. Ada juga ukiran yang berbentuk seperti air, maknanya berhubungan dengan kehidupan dan kesuburan. Selain itu, pada badan tongkonan terdapat ornamen gambar-gambar berukuran kecil yang menceritakan kejadian atau kegiatan tertentu, biasanya ritual-ritual yang sering dilakukan oleh masyarakat Toraja. 

Masyarakat juga menggunakan pewarna alami untuk mengecat tongkonan. Masing-masing warna memiliki makna, seperti warna hitam yang melambangkan kesedihan, warna putih melambangkan kesucian, warna kuning melambangkan kemurnian, serta warna merah yang melambangkan keberanian.

Peninggalan Purbakala di Kete’ Kesu

Desa Kete’ Kesu juga menyimpan berbagai peninggalan purbakala. Peninggalan tersebut berupa kuburan batu yang diperkirakan telah berumur ratusan tahun. Peninggalan tersebut, bisa menjadi bukti kehidupan sebelumnya di kawasan ini.

Rombongan kami memutuskan untuk menyusuri gua yang ada di Kete’ Kesu. Kami melewati kios-kios yang menjajakan berbagai buah tangan khas Toraja, sama seperti yang kami temui sebelum masuk di tempat wisata ini, hanya saja, di sini jumlahnya lebih banyak.

Kuburan Modern (Patane) Untuk Bangsawan
Kuburan modern (patane) untuk bangsawan/Fatimah Majid

Kemudian kami melewati beberapa kuburan modern, yang bagi masyarakat Toraja disebut patane, serta peti mati tradisional yang dihiasi dengan ukiran yang disebut erong. Erong yang berbentuk kepala babi diperuntukkan untuk jenazah perempuan, sedangkan erong jenazah laki-laki berbentuk kepala kerbau.

Kami lalu menaiki anak tangga. Di sepanjang anak tangga, terlihat peti-peti tua tersusun rapi di dinding-dinding gua yang berisi tulang-tulang manusia. Beberapa di antaranya bahkan sudah tidak memiliki penutup sama sekali. Terdapat juga beberapa patung yang diperuntukkan bagi mereka yang sudah meninggal, yang disebut tau-tau, sebagai representasi orang yang dimakamkan dan dipasang di depannya. 

Pemandu wisata yang menemani kami selama di dalam gua menjelaskan banyak hal perihal tradisi pemakaman, mulai dari cerita tengkorak-tengkorak yang terdapat di dalam gua yang diperkirakan sudah berusia ratusan bahkan ribuan tahun, tentang kondisi gua yang dulunya masih aktif dan dipenuhi dengan stalaktit dan stalakmit, hingga kondisinya yang lama kelamaan semakin mengecil. 

Pemandu wisata juga tak lupa mewanti-wanti kami untuk tidak mengganggu apapun yang terdapat di dalam gua. Adat istiadat yang terdapat di tempat ini masih sangat kental, sehingga para pengunjung tidak boleh bertindak sembarangan. Karena, penyelesaian masalah tidak hanya berurusan dengan pihak yang berwajib saja, namun akan mendapatkan peringatan adat yang dilakukan langsung oleh tokoh masyarakat. Hukuman yang akan diberikan cukup bervariasi, tergantung dari perbuatan pelaku dan dapat berupa persembahan hewan untuk disembelih.

Kuburan batu yang terdapat di Kete’ Kesu sendiri sudah tidak difungsikan lagi, namun tetap menerima pengunjung yang ingin tahu lebih dalam akan sejarah kuburan batu yang telah berusia ratusan tahun tersebut.

Penggunaan gua alam (liang) sendiri sebagai tempat penguburan, tidak lepas dari bentuk peringatan dan penghormatan kepada leluhur yang datang pertama kali di Kesu’, yaitu Puang Ri Kesu’ dan menginap di gua alam sebelum membangun tongkonan. Setelah meninggal, jenazah Puang Ri Kesu’ dimasukkan ke dalam erong dan disimpan di dalam gua.

Sisa-sisa Tengkorak yang terdapat di dalam gua
Sisa-sisa tengkorak yang terdapat di dalam gua/Fatimah Majid

Satu fakta yang membuat saya tertegun dan semakin kagum dengan tradisi masyarakat di Tana Toraja yang masih terjaga ini, ketika mengetahui alasan orang Toraja tidak memakamkan mayat di dalam tanah. Alasan mereka, karena orang Toraja tidak ingin memasukkan sesuatu yang mati atau jasad ke dalam sumber makanan mereka.

Perjalanan ke Kete’ Kesu kali ini memberi banyak pelajaran serta menambah ketakjuban saya terhadap kehidupan masyarakat di Tana Toraja. Membuka mata saya bahwa Indonesia benar-benar kaya akan budaya dan tradisi masyarakatnya. Toraja, sebuah tempat di mana masyarakatnya menjaga erat kebudayaan dari para leluhur sampai hari ini, dan sebuah tempat untuk selalu merendahkan diri dan belajar dari orang-orang yang sudah pernah ada, yaitu para leluhur.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menyibak Cerita Budaya dan Sejarah Kete’ Kesu di Tana Toraja appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menyibak-cerita-budaya-dan-sejarah-kete-kesu-di-tana-toraja/feed/ 0 35175
Selamat Pagi dari Negeri di Atas Awan To’Tombi Lolai https://telusuri.id/selamat-pagi-dari-negeri-di-atas-awan-totombi-lolai/ https://telusuri.id/selamat-pagi-dari-negeri-di-atas-awan-totombi-lolai/#respond Wed, 31 Aug 2022 09:00:08 +0000 https://telusuri.id/?p=34963 Setelah menunggu beberapa pekan, akhirnya saya akan benar-benar memulai perjalanan menuju Tana Toraja. Salah satu tempat yang sudah sejak lama begitu ingin saya sambangi. Dalam perjalanan ini saya bersama Nadia—sahabat saya sejak duduk dibangku sekolah...

The post Selamat Pagi dari Negeri di Atas Awan To’Tombi Lolai appeared first on TelusuRI.

]]>
Setelah menunggu beberapa pekan, akhirnya saya akan benar-benar memulai perjalanan menuju Tana Toraja. Salah satu tempat yang sudah sejak lama begitu ingin saya sambangi. Dalam perjalanan ini saya bersama Nadia—sahabat saya sejak duduk dibangku sekolah dasar—serta beberapa temannya yang ia temui saat KKN di Kabupaten Pinrang. Mereka adalah Yusuf, Kak Asriani, Kak Hasrul, Tommy, Kak Evos, Kak Busran, Aswin, dan Kak Songgeng—yang menambah deretan panjang perkenalan saya dengan orang-orang dalam petualangan kali ini.

Kami bertolak dari Kota Pinrang pukul 14.30 dengan lima sepeda motor berboncengan. Sesuai rencana awal, kami seharusnya berangkat dari Pinrang paling lambat pukul 10.00 WITA. Hanya saja karena saya berangkat dari Kabupaten Sidrap dan menemui kendala selama perjalanan, akhirnya saya baru tiba di Pinrang sekitar pukul 1 siang.

Motor kami melaju sepanjang jalan Poros Pinrang menuju Enrekang. Jalanan tampak cukup lenggang, sesekali kami berpapasan dengan beberapa truk besar yang mengangkut barang begitu banyak dan beberapa mobil yang saling susul-menyusul. Setelah beberapa saat, kami singgah sebentar di sebuah warung kecil di daerah Enrekang untuk istirahat dan membeli minuman.

Topografi jalur dari Kabupaten Enrekang menuju Tana Toraja terdiri dari tikungan tajam yang menjadi tantangan tersendiri dalam perjalanan kami, serta beberapa jalanan berlobang, yang membuat kami harus rela menghantam kerasnya jalanan tersebut. Namun, pegunungan karst mendominasi perjalanan kami, yang tampak sangat menakjubkan, serta perpaduan bebatuan alam yang menjulang tajam, mulai dari yang tumpul sampai cadas bergerigi, serta gugusan gunung-gunung hijau dan juga gundukan-gundukan tanah menambah indah panorama sepanjang perjalanan menuju Tana Toraja.

Pukul 16.50 WITA kami berada tepat di depan gapura bertuliskan “Selamat Datang di Tana Toraja”. Gapura ini sekaligus menjadi tanda jika rombongan kami telah memasuki Kabupaten Tana Toraja. Kami kembali melanjutkan perjalanan menuju Makale, sebuah kecamatan yang juga merupakan pusat pemerintahan Kabupaten Tana Toraja.

Ketika tiba di Toraja, saya baru memahami bahwa ternyata Tana Toraja terbagi dalam dua kabupaten, yaitu Kabupaten Tana Toraja dan Kabupaten Toraja Utara. Makale sebagai Ibu Kota Tana Toraja, sedangkan Toraja Utara berpusat di Rantepao. Jarak antara Makale dan Rantepao hanya terpaut setengah jam perjalanan.

Monumen Perjuangan Toraja
Monumen Perjuangan Toraja/Fatimah Majid

Tepat pukul 17.35 WITA, rombongan kami tiba di Monumen Perjuangan Toraja, yang berada di tengah kota. Di sebuah kolam berdiri kokoh patung pahlawan Tana Toraja, Lakipadada. Lakipadada adalah nama pejuang lokal dari Tana Toraja. Kolam ini disimbolkan sebagai monumen perjuangan Toraja yang diresmikan Wapres Jusuf Kalla pada 28 Oktober 2006 lalu. Selain itu, tak jauh dari kolam berdiri kantor DPRD Tana Toraja yang dibangun dengan ciri khas rumah adat Tana Toraja, yaitu rumah tongkonan. Tampak dari sebuah puncak bukit berdiri megah patung Yesus, yang menjadi ikon di Tana Toraja yang juga merupakan patung Yesus tertinggi di dunia.

Monumen perjuangan ini menjadi tempat kami beristirahat dan menikmati jajanan yang sedang mangkal tak jauh dari tempat kami memarkirkan motor. Senja tampak sangat indah dari tempat ini, merah merekah, dengan siluet tanda salib.

Kami kembali menempuh perjalanan menuju To’Tombi. Jarak tempuh dari Monumen Perjuangan Toraja menuju To’Tombi kurang lebih sekitar 30-40 menitan. 

Tiba di To’Tombi Lolai

Tempat Pembelian Tiket Masuk To_Tombi
Tempat pembelian tiket masuk To’Tombi Lolai/Fatimah Majid

To’Tombi Lolai berada di Kampung Lolai, Desa Benteng Mamullu, Kecamatan Kapala Pitu, Kabupaten Tana Toraja Utara, Sulawesi Selatan. Berada di ketinggian 1.300 mdpl dan terkenal dengan julukan negeri di atas awan, dengan suguhan kumpulan awan putih yang memanjakan mata.

Perjalanan menuju To’Tombi dapat ditempuh menggunakan sepeda motor atau mobil, dengan kondisi jalan menanjak dan beberapa tikungan tajam.

Saat di To’Tombi Lolai kami kemudian membayar biaya retribusi sebesar Rp15.000/orang. Jika ingin mendirikan tenda dikenakan biaya Rp200.000/tenda yang disediakan oleh pengelola wisata. Dan dipersilakan mendirikan tenda yang dibawa masing-masing dengan membayar biaya sebesar Rp50.000/tenda.

Fasilitas Cafe di To_Tombi
Fasilitas kafe di To’Tombi/Fatimah Majid

Pengelola To’Tombi menyediakan fasilitas yang terbilang sangat lengkap, mulai dari vila, Toraja traditional house, gazebo, tents, cafe dan juga kantin, flying fox, ruangan untuk salat, toilet dan tempat mandi yang bersih. Kawasan To’Tombi dapat menjadi tempat yang cocok untuk melepas penat.

Setelah selesai membayar biaya retribusi, kami kemudian mengangkut barang bawaan dan segera mendirikan tenda. Setelah selesai mendirikan tenda kami menanak nasi dan menyiapkan perlengkapan makan.

Kami berkumpul di belakang tenda, menikmati makanan yang kami bawa, ayam yang sudah dimarinasi dan direbus serta beberapa bungkus mi instan. Sesekali kami bercanda dengan selera humor yang sama. Setelah selesai makan, beberapa diantara kami menyeruput kopi dengan khidmat, sambil mengamati lanskap sekitar.

Santapan Malam
Santap malam/Fatimah Majid

Saat malam hari udara di To’Tombi Lolai terasa sangat sejuk, dengan hamparan pepohonan pinus dan gulungan kabut yang tebal. Pemandangan Tana Toraja dari To’Tombi memancarkan cahaya yang tampak semarak di malam hari.

Matahari Terbit di To’Tomboi Lolai

To_tombi di Pagi Hari
To’Tombi saat pagi hari/Fatimah Majid

Sekitar pukul 4 pagi, To’Tombi sudah ramai oleh wisatawan. Perlahan fajar mulai menyeruak. Pagi itu, To’Tombi mulai mewujud dan berubah dari siluet menjadi lukisan lanskap yang indah. Gurat-guratnya semakin nyata. Gumpalan awan putih dan warna langit yang merah merekah. Cahaya matahari mengambil alih pagi itu.

Saya kemudian mencari tempat duduk yang nyaman untuk menikmati pemandangan yang menakjubkan ini. Sesekali mengambil beberapa foto dan video.

Setelah cukup lama menikmati panorama matahari terbit. Kami mengambil beberapa foto untuk mengabadikan momen secara bergantian. Sesekali meminta bantuan wisatawan lain untuk memotret rombongan kami.

Usai itu, kami bersiap untuk pulang. Membereskan tenda, membersihkan sampah-sampah dan memastikan tidak ada sampah yang tertinggal. 

Udara pagi itu menenangkan, menuntun perjalanan kami meninggalkan To’Tombi. Dengan hamparan pepohonan pinus yang berjejer sepanjang perjalanan kami. Suasana pedesaan yang selalu dirindukan, berpapasan dengan anak-anak kecil berseragam putih merah menjejak aspal sambil melempar senyum ramah pada kami.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Selamat Pagi dari Negeri di Atas Awan To’Tombi Lolai appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/selamat-pagi-dari-negeri-di-atas-awan-totombi-lolai/feed/ 0 34963
Air Terjun Karawa, Pesona Wisata di Kabupaten Pinrang https://telusuri.id/air-terjun-karawa-pesona-wisata-di-kabupaten-pinrang/ https://telusuri.id/air-terjun-karawa-pesona-wisata-di-kabupaten-pinrang/#respond Sun, 17 Jul 2022 01:47:00 +0000 https://telusuri.id/?p=34557 Pada pertengahan bulan Mei, saat matahari belum sempurna naik di ufuk timur, saya bersama dua sepupu serta beberapa temannya memacu kendaraan dari Kota Pinrang menuju Jalan Poros Polman-Pinrang mendatangi salah satu wisata yang menjadi buah...

The post Air Terjun Karawa, Pesona Wisata di Kabupaten Pinrang appeared first on TelusuRI.

]]>
Pada pertengahan bulan Mei, saat matahari belum sempurna naik di ufuk timur, saya bersama dua sepupu serta beberapa temannya memacu kendaraan dari Kota Pinrang menuju Jalan Poros Polman-Pinrang mendatangi salah satu wisata yang menjadi buah bibir masyarakat Pinrang yakni Air Terjun Karawa.

Berteduh di daerah Leppangang
Berteduh di daerah Leppangang/Fatimah Majid

Rombongan kami berjumlah delapan orang, melaju dengan empat sepeda motor di jalan poros yang penuh sesak oleh kendaraan lain. Belum setengah perjalanan, hujan turun cukup deras. Kami berteduh di salah satu masjid di daerah Lepanggang. Setelah menunggu beberapa saat, kami memutuskan untuk kembali melanjutkan perjalanan dalam kondisi hujan.

Harga Tiket Masuk Air Terjun Karawa

Air Terjun Karawa masih dikelola secara tradisional oleh masyarakat setempat. Untuk masuk ke objek wisata ini, dikenakan tarif relatif murah. Harga tiket anak-anak maupun orang dewasa sama. Begitu juga, tidak ada perbedaan harga untuk hari biasa dan akhir pekan. Harga karcisnya Rp5.000 per orang. Pendapatan dari HTM tersebut nantinya dikelola oleh masyarakat setempat untuk membersihkan sampah-sampah yang ditinggalkan pengunjung juga sebagai biaya perawatan kawasan.

Rute Menuju Air Terjun Karawa

Berdasarkan informasi dari Google Maps, Air Terjun Karawa terletak di Desa Betteng, Kecamatan Lembang, Kabupaten Pinrang. Membutuhkan waktu tempuh sekitar satu jam perjalanan dari Kota Pinrang. Perjalanan melewati Jalan Poros Polman-Pinrang yang dipadati kendaraan roda empat yang melaju kencang. 

Lokasi air terjun Karawa ini cukup strategis, dimana pada bagian selatan berbatasan dengan kota Pare-Pare, sebelah utara berbatasan dengan Tana Toraja, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap) dan Enrekang, dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Polmas.

Pagi itu, kami bertolak dari Kota Pinrang. Untuk bisa sampai di lokasi Air Terjun Karawa, pengunjung akan melewati lokasi PLTU Bakaru yang dapat dikatakan sebagai pintu masuk menuju kawasan wisata tersebut. Begitu belok ke jalan menuju Air Terjun Karawa, kami dibuat takjub dengan pemandangan pegunungan hijau yang berselimut kabut. Rumah-rumah warga tampak menyenangkan, hewan peliharaan mereka berlarian di pekarangan.

Rumah Warga yang Dilalui Menuju Air Terjun Karawa
Rumah warga kami lalui/Fatimah Majid

Setelah cukup lama berkendara, kami berhenti di salah satu rumah warga untuk memarkirkan kendaraan. Kondisi jalan masih becek karena hujan sehingga kendaraan kami tak bisa melewatinya. Akhirnya kami memutuskan untuk berjalan sejauh satu kilometer. Di sepanjang perjalanan kami menjumpai beberapa rumah warga, juga beberapa warung-warung kecil. Untuk biaya parkir di rumah warga dikenakan Rp3.000 untuk setiap kendaraan.

Karena harus berjalan kaki, kami jadi bisa menikmati perjalanan. Kondisi jalan yang masih tanah becek dan bebatuan, serta menanjak tak menyulut kami untuk menyerah. Susana desa begitu asri kami rasakan. Tak jarang, kami berinteraksi dengan masyarakat sekitar yang sibuk dengan aktivitasnya masing-masing.

Suasana Air Terjun Karawa

Air Terjun Karawa
Air Terjun Karawa/Fatimah Majid

Setelah berjalan sejauh kurang lebih satu kilometer, kami tiba di Air Terjun Karawa. Air terjun ini memiliki ketinggian mencapai 50 meter, berada di puncak Gunung Karawa. Air yang mengucur deras, dengan air terjun bertingkat, penuh bebatuan, serta dikelilingi dengan rerimbunan pepohonan besar benar-benar membayar habis perjalanan kami. Dengan ketinggian tersebut, kami bisa mendengar deru air yang turun dari kejauhan. Suasana sangat sejuk, suara kicauan burung merdu menggema. Kami bermain air terjun cukup lama.

Di sini sudah tersedia beberapa fasilitas seperti toilet, gazebo, tempat duduk, tempat ganti pakaian, serta warung makan. Hanya saja, warung makan tidak buka setiap harinya. Selain itu, fasilitas-fasilitas ini juga belum dikelola dengan maksimal oleh masyarakat sekitar.

Pukul 14.20 WITA, kami meninggalkan Air Terjun Karawa. Perjalanan kembali kami tempuh dengan berjalan kaki sejauh satu kilometer. Karena jalan sudah cukup kering dan menurun, perjalanan kami tempuh dengan lebih cepat.

Kami tiba di rumah warga tempat kami memarkirkan kendaraan. Sebelum beranjak pulang, kami membersihkan diri dan mengobrol satu sama lain. Lalu, pas perjalanan pulang, kami berhenti di salah satu warung makan untuk mengisi perut. Setelahnya, barulah kami pulang ke tempat masing-masing.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Air Terjun Karawa, Pesona Wisata di Kabupaten Pinrang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/air-terjun-karawa-pesona-wisata-di-kabupaten-pinrang/feed/ 0 34557
Serba-Serbi Perayaan Hari Jadi Luwu https://telusuri.id/serba-serbi-perayaan-hari-jadi-luwu/ https://telusuri.id/serba-serbi-perayaan-hari-jadi-luwu/#respond Sat, 19 Feb 2022 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=32851 Sehabis magrib, hujan rintik yang sedari sore mengguyur perlahan mereda. Bersama angin malam, saya dan seorang teman menyusuri Jalan Kota Palopo yang sepi selepas hujan menuju Lapangan Gaspa, tempat dilaksanakannya pasar rakyat sebagai salah satu...

The post Serba-Serbi Perayaan Hari Jadi Luwu appeared first on TelusuRI.

]]>
Sehabis magrib, hujan rintik yang sedari sore mengguyur perlahan mereda. Bersama angin malam, saya dan seorang teman menyusuri Jalan Kota Palopo yang sepi selepas hujan menuju Lapangan Gaspa, tempat dilaksanakannya pasar rakyat sebagai salah satu rangkaian perayaan Hari Jadi Luwu Ke-754 yang dirangkaikan dengan Hari Perlawanan Rakyat Luwu Ke-76. Kedatuan Luwu merupakan salah satu dari tiga kerajaan yang tertera dalam kitab I La Galigo. Tanah Bugis dengan masa kejayaan antara abad ke-10 hingga ke-14. Momentum hari jadi Luwu ini juga dirangkaikan dengan peringatan hari perlawanan rakyat luwu ke-76. 

Momentum ini mengingat kembali peristiwa perlawanan rakyat yang dipimpin oleh Andi Djemma saat berperang dengan tentara sekutu yang pada saat itu diboncengi tentara NICA (Netherlands Indies Civil Administration). Sebuah momentum yang mengajak para masyarakat Luwu mengingat kembali perjuangan  para pahlawan dalam mempertahankan keutuhan wilayah NKRI. Tidak hanya pada taraf pikiran, tetapi momentum ini diharapkan juga dapat meningkatkan semangat To Wija Luwu untuk meneruskan perjuangan dan cita-cita luhur para pendahulu. 

Malam puncak dari rangkaian festival hari jadi Luwu ini diselenggarakan dengan meriah di halaman komplek Kedatuan Luwu yang terdiri atas dua bangunan sarat nilai sejarah, yakni Museum Batara Guru dan Istana Langkanae Luwu, terletak di Jalan Andi Jemma No. 1, Batupasi, Kecamatan Wara Utara, Kota Palopo, Sulawesi Selatan. Kompleks bangunan ini juga berseberangan dengan masjid tertua di Tana Luwu, yaitu Masjid Jami Tua yang masih beroperasi normal hingga hari ini. 

Sekitar pukul 18.45 Wita, saya dan seorang teman tiba di Lapangan Gaspa yang tampak cukup ramai. Setelah memarkirkan motor di bahu jalan tepat di depan kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, kami langsung bergerak menuju pintu gerbang pasar rakyat. Lapangan Gaspa yang luas disulap menjadi lokasi pasar penuh hingar-bingar lampu malam. Puluhan stan dengan menjajakan jualan mereka. Beberapa berupa kerajinan UMKM khas budaya Luwu dan Toraja, beberapa lagi berupa stand makanan yang umum ditemui saat mengunjungi pasar malam. 

  • Luwu, Sulawesi
  • Luwu, Sulawesi
  • Luwu, Sulawesi
  • Luwu, Sulawesi
  • Luwu, Sulawesi

Stan pertama yang menarik perhatian kami adalah stan yang memamerkan aneka produk kerajinan Luwu dan Toraja. Begitu melewati gerbang pasar rakyat, kami langsung berbelok ke arah kanan. Stan ini terletak di pojok. Beberapa tas-tas selempang kain bermotif tenun Toraja tampak tergantung, begitu pula dengan kain khas Toraja yang memenuhi stan, tergantung rapi di bagian belakang. Gelang-gelang kayu kecil juga berderetan. Saya tertarik dengan cincin kayu yang dipoles mengkilap. Berwarna coklat tua dan dengan aksen serat-serat kayu yang tampak kentara. Tentu saya tidak bisa menahan diri untuk yang satu ini.

Beberapa stan lain menjual beragam produk UMKM. Salah satu yang menarik adalah aneka produk makanan khas Luwu dengan kemasan kekinian. Sebut saja kopi Limbong, kopi Toraja, serta kopi bisang khas pegunungan Latimojong. Tak hanya produk kopi lokal, di sini juga menjual makanan seperti aneka kripik, dodol, dan makanan tahan lama lainnya. tidak jauh dari stan ini, saya juga sempat mengunjungi stan aneka tas dari bahan plastik daur ulang dari salah satu UMKM lokal Kota Palopo. Selain produk-produk yang hanya ditemui saat pameran, di pasar rakyat justru lebih banyak penjaja aneka makanan ringan dan minuman kekinian, mungkin sekitar 70% dari total keseluruhan stan yang ada. 

Semakin malam, suasana semakin meriah. Setelah memutari beragam stan mulai dari produk UMKM, buah tangan khas Luwu dan Toraja, aneka makanan dan produk pasar malam, hingga pojok arena bermain anak-anak, saya dan Febi—seorang teman yang menemani saya malam itu—memutuskan untuk membeli beberapa camilan ringan dan minuman dingin. Kami membeli beberapa telur gulung dan ubi goreng dengan bumbu jagung tabur, serta dua minuman dingin. Beberapa kali blender si penjual minuman dingin terhenti saat menyiapkan pesanan kami sebab korsleting listrik yang terjadi. Seorang lelaki dari salah satu stan tidak jauh dari pusat listrik akan menarik saklar tiap kali listrik padam. 

  • Luwu, Sulawesi
  • Luwu, Sulawesi
  • Luwu, Sulawesi

Tidak butuh waktu lama sampai pesanan kami datang. Setelah itu, saya dan Febi memutuskan menghabiskan jajanan kami di bagian lapangan basket, satu-satunya tempat di sekitar pasar malam yang penuh dengan kursi plastik kosong. Beberapa pengunjung tampak menikmati jajanan mereka di sana, sembari menunggu dua orang teman yang hendak bergabung menonton panggung malam puncak festival budaya di halaman kedatuan Luwu. 

Saat tengah menikmati cemilan kami, beberapa panitia festival budaya tampak bekerja di sekitar lapangan, memasang spanduk di atas panggung mini, serta merapikan pagar besi hitam di sekitar lapangan. Seorang berkata bahwa lokasi ini harus segera dikosongkan, sebab mereka akan mulai menata kursi-kursi untuk agenda lomba siulan burung keesokan harinya. Alhasil sebelum cemilan kami sepenuhnya habis, saya dan Febi terpaksa mencari tempat makan lain. 

Untung saja kami menikmati suasana pasar malam tidak lama setelah hujan reda saat Magrib. Tidak sampai satu setengah jam, suasana pasar ini dipenuhi sesak. Saking sesaknya, saya, Febi, dan seorang teman berpisah saat berusaha berjalan keluar dari kerumunan orang-orang di pasar malam. 

Setelah bertemu kembali di dekat parkiran, kami lalu berjalan kaki menuju Istana Kedatuan Luwu yang terletak dua blok dari Lapangan Gaspa, tempat acara puncak malam itu berlangsung. Kami berjalan di antara deretan kendaraan yang tidak bergerak sama sekali. Setelah lima menit, kami sampai di gerbang istana. Beberapa polisi berseragam lengkap tampak menjaga di pintu masuk. 

Luwu, Sulawesi
Panggung acara puncak/Nawa Jamil

Waktu menunjukkan angka 20.50 WITA saat kami memasuki halaman istana. Panggung acara masih kosong, tampak beberapa panitia masih sibuk di bagian belakang panggung. Sambil menunggu seorang teman lagi yang hendak bergabung, kami lalu mengunjungi pameran barang kesenian yang letaknya tidak jauh dari panggung utama. Pameran tersebut bernuansa cerah dengan dominasi warna kuning, merah, dan kain putih satin pada langit-langitnya. Para pengunjung tampak menikmati waktu mereka, terutama bapak-bapak yang melihat berbagai keris dan parang dengan seksama sembari bercerita heboh satu sama lain. Kami menikmati berbagai benda-benda pusaka, mulai dari keris, parang, potret lukisan tokoh-tokoh Tana Luwu, serta pameran foto-foto dengan keterangan. Beberapa dari mereka telah memerah dan menguning, beberapa lagi merupakan foto hitam-putih yang tampak sangat tua.

Suasana meriah di sekitar panggung utama menarik perhatian kami. Dua MC dengan meriah membuka perhelatan malam itu dengan penampilan tari mappadendang, tari pembuka yang umum ditemui pada setiap acara-acara formal di Sulawesi Selatan. Beberapa tarian meriah lainnya juga ditampilkan berurutan, termasuk tarian empat etnis serta tari Nusantara. Suasana makin meriah dengan banyaknya penampil malam itu, termasuk Pak Wakyu Sibenteng, seniman lokal sekaligus guru kesenian sewaktu saya duduk di bangku SMA dulu. Pelbagai tarian, nyanyian luwu, dan baca puisi, hingga narasi-narasi perjuangan rakyat Luwu menggema malam itu. Acara berakhir sekitar tengah malam, ditutup dengan penampilan teatrikal yang menakjubkan dari grup teater SMA lokal. 

Hari Jadi Luwu Ke-754 dan Hari Perlawanan Rakyat Luwu ke-76 kali ini dirangkaikan dalam sederet kegiatan yang berlangsung sejak tanggal 17-23 Januari 2022 dengan malam puncak pada 22 Januari. Beberapa agenda dari Pekan Budaya Tanah Luwu bertema Tanra Tellue Patarakkai Sumange’na Luwu ini diantaranya Pasar Rakyat yang berlangsung seminggu penuh, pertunjukan music di Gedung Kesenian Kota Palopo, Parade Fashion Show, pelbagai lomba kesenian, hingga acara Beppa To Riolo, pameran pengenalan jajanan-jajanan orang dulu yang berlangsung di malam yang sama dengan acara pagelaran seni di halaman kedatuan sebagai puncak dari rangkaian pekan budaya Tanah Luwu. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Serba-Serbi Perayaan Hari Jadi Luwu appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/serba-serbi-perayaan-hari-jadi-luwu/feed/ 0 32851
Sulawesi Selatan dan Bissu dalam Buku ‘Calabai’ https://telusuri.id/sulawesi-selatan-dan-bissu-dalam-buku-calabai/ https://telusuri.id/sulawesi-selatan-dan-bissu-dalam-buku-calabai/#respond Wed, 15 Dec 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=31644 Sampai saat ini, membaca buku terkait kebudayaan tanah sendiri masih menyisakan perasaan yang berbeda dari membaca cerita pada umumnya. Sebagai seorang yang menghabiskan seumur hidupnya di Sulawesi Selatan dengan segala budaya Suku Bugis, buku-buku mengenai...

The post Sulawesi Selatan dan Bissu dalam Buku ‘Calabai’ appeared first on TelusuRI.

]]>
Sampai saat ini, membaca buku terkait kebudayaan tanah sendiri masih menyisakan perasaan yang berbeda dari membaca cerita pada umumnya. Sebagai seorang yang menghabiskan seumur hidupnya di Sulawesi Selatan dengan segala budaya Suku Bugis, buku-buku mengenai rincian adat istiadat Sulawesi Selatan, bahasa dan dialog yang akrab  di telinga menjadi prioritas dan tempat tersendiri di hati saya.

Saya pertama kali membaca buku dengan latar tempat Sulawesi berjudul Lontara Rindu karangan S. Gegge Mappangewa, lalu buku Puya ke Puya karangan Faisal Oddang, hingga Natisha dan Gadis Pakarena karangan Khrisna Phabicara. Setiap buku fiksi karangan para penulis tanah Sulawesi selalu diselingi pengetahuan tentang agama to riolo, kebudayaan yang mulai tergerus, suasana kampung pedalaman, sampai keindahan alam dalam gambaran kata-kata. 

Saya senang menjelajahi tanah kelahiran ini, tidak hanya lewat langkah, melainkan juga melalui kata-kata pada kisah-kisah lokal. Salah satu yang saya nikmati adalah buku Calabai: Perempuan dalam Tubuh Lelaki karangan Pepi Al-Bayqunie. 

Calabai (Perempuan dalam Tubuh Lelaki)/Nawa Jamil

Buku ini bercerita tentang sosok Saidi, lelaki yang berasal dari Kampung Lappariaja di Kabupaten Bone, diangkat dari kisah nyata Puang Matoa Saidi. Saidi, anak bungsu lelaki yang paling ditunggu-tunggu ayahnya, justru tumbuh memalukan sebagai seorang calabai. Calabai, sebutan orang Bugis bagi laki-laki yang gemulai layaknya perempuan. Saidi terlahir sebagaimana adanya. Lelaki yang gemai-gemulai itu, membiarkan rambutnya panjang tergerai sebab akan jatuh sakit jika dipotong. 

Diangkat dari kisah nyata/Nawa Jamil

Pada bab awal, penulis membawa kita kepada perjuangan Saidi sewaktu kecil di tengah diskriminasi orang-orang kampung dan penolakan ayahnya terhadap keadaan Saidi yang tumbuh sebagai seorang calabai. Saidi, tidak pernah sengaja bertingkah-laku dengan perawakan calabai, melainkan ruhnya sejak kecil hanya menyukai kegiatan-kegiatan yang seringkali dilakukan perempuan. 

Dalam novel ini, penulis menggambarkan bagaimana batin Saidi tersiksa oleh ejekan teman sekolah, ustaz yang menceramahi dirinya setiap khutbah Jum’at, juga ayahnya yang berusaha menjadikan Saidi laki-laki dengan tindak kekerasan. 

Saidi sebagai lelaki Bugis memutuskan untuk merantau tanpa bekal apapun, hanya sebuah pertanda lewat mimpi yang misterius. Saidi yang kala itu berusia 17 tahun berjalan kaki dari kampungnya di Kabupaten Bone ke Mallawa di Kabupaten Maros. Puluhan kilometer pada akhirnya mengantarkan Saidi ke Segeri di Pangkep, negeri para bissu. Bissu, seorang dengan kedudukan tinggi dalam adat masyarakat Bugis. Merekalah calabai yang menerima penghargaan di tengah-tengah masyarakat karena dianggap sebagai penghubung antara dewata dengan bumi manusia. 

Buku ini membawa para pembaca dalam mengenali budaya Segeri dan Bugis, kaitannya dengan kisah-kisah lama, serta upacara-upacara adat yang masih ada sampai hari ini. pembaca dibawa ke keseharian di Bola Arajang, rumah tempat penyimpanan benda-benda pusaka. Aktivitas para bissu, mulai dari rapat dan mengadakan persiapan acara-acara adat seperti mappalili atau appalili, yakni pesta sebelum dimulainya musim tanam padi, berharap berkah dari sang dewata agar panen para petani sukses dan berkah. Tidak hanya mappalili, upacara-upacara yang sarat akan budaya seperti menre’ bola baru, atau upacara saat pertama kali masuk rumah yang hendak ditinggali, upacara menunaikan hajat, serta upacara-upacara lainnya. 


Sekepul kemenyan dari pengarang/Nawa Jamil

Penulis melalui keseharian Saidi mengajak para pembaca tidak hanya berkenalan dengan budaya-budaya serta adat Bugis yang sarat akan nilai-nilai magis, tetapi juga sikap masyarakat umum terhadap kehadiran para bissu. Digambarkan bagaimana masyarakat-masyarakat yang hidup di sekitar Segeri maupun daerah-daerah lain di Sulawesi Selatan masih sangat memperhitungkan tanda-tanda alam maupun fenomena yang diartikan oleh para bissu. Namun penulis juga menceritakan perihal bagaimana masyarakat dengan identitas agama tertentu begitu mencekal aktivitas adat bissu yang dikaitkan dengan laknat Tuhan, karena tidak bersikap sesuai kodratnya. 

Tidak hanya terkait pro dan kontra bissu dan pelestarian adat Bugis, Saidi, Puang Malolo termuda (wakil pimpinan para bissu) dalam sejarah, tidak hanya berjuang mempertahankan adat Bugis ditengah pelarangan berbagai pihak-pihak tertentu, tetapi juga beliau dengan berani mulai mengenalkan tradisi Sulawesi Selatan ke luar pulau berkaki empat ini, sampai ke Pulau Jawa bahkan ke luar Indonesia. 

Satu hal yang menohok saya sepanjang tulisan dalam buku ini adalah tatkala Saidi bertemu dengan Kiai Kusen dan berdiskusi terkait hakikat seorang tubuh laki-laki dengan jiwa perempuan maupun sebaliknya. “Tidak melaknat naluri, melainkan perilaku”. Satu kalimat singkat itu, membawa penyadaran besar pada diri Saidi, dan sangat mungkin pada para pembaca lainnya. 

Secara garis besarnya, saya menikmati dan berterima kasih kepada penulisnya, Kak Pepi yang terpanggil untuk melanjutkan penulisan buku calabai ini setelah sempat terhenti selama hampir 10 tahun. Tentang sebuah pencarian jati diri seorang Saidi, buku ini membawa nilai-nilai adat Bugis, nilai-nilai sosial yang ada di dalam masyarakat, juga toleransi di tanah Sulawesi Selatan. tidak lupa pula, penggunaan dialog Bugis menjadikan buku ini begitu enak untuk dibaca, khususnya bagi orang-orang yang ingin mengenal kebudayaan Bugis di Sulawesi Selatan. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu
!

The post Sulawesi Selatan dan Bissu dalam Buku ‘Calabai’ appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sulawesi-selatan-dan-bissu-dalam-buku-calabai/feed/ 0 31644