sumatera barat Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/sumatera-barat/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Thu, 01 Aug 2019 05:05:54 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 sumatera barat Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/sumatera-barat/ 32 32 135956295 Bedanya Taplau Padang Zaman Dulu dan Sekarang https://telusuri.id/taplau-padang/ https://telusuri.id/taplau-padang/#respond Sun, 09 Sep 2018 09:00:15 +0000 https://telusuri.id/?p=10469 Dari dulu sampai sekarang, Taplau Padang (Taplau adalah singkatan dari tapi lauik alias pinggir laut—alias pantai) selalu jadi salah satu tempat nongkrong. Yang nongkrong di sana nggak cuma wisatawan, tapi juga anak-anak muda Padang. Makanya,...

The post Bedanya Taplau Padang Zaman Dulu dan Sekarang appeared first on TelusuRI.

]]>
Dari dulu sampai sekarang, Taplau Padang (Taplau adalah singkatan dari tapi lauik alias pinggir laut—alias pantai) selalu jadi salah satu tempat nongkrong. Yang nongkrong di sana nggak cuma wisatawan, tapi juga anak-anak muda Padang. Makanya, kalau ngomongin Taplau, di benak para perantau Padang pasti bakal muncul nostalgia.

Tapi, ternyata Taplau Padang dulu nggak seperti sekarang, Sob. Apa saja sih bedanya?

Jalurnya masih pendek

Kalau sekarang jalan di Taplau sudah sampai samping Hotel Pangeran Beach, dulu belum sepanjang ini. Dulu cuma sampai pertigaan Jalan Olo Ladang.

Sekarang Taplau makin semarak karena jalurnya diperpanjang, melewati deretan rumah makan sea food dan Danau Cimpago, terus sampai ke samping Hotel Pangeran Beach dan keluar di Jalan Juanda.

taplau padang

“Jalan layang” di barat Taman Budaya/Fuji Adriza

Dulu belum serapi sekarang

Dibanding dulu tentu saja Taplau Padang tidak serapi sekarang. Dulu pedestriannya belum dirapikan. Gerobak para pedagang makanan juga belum serepresentatif sekarang.

Di beberapa sudut, warung makanan yang dahulunya tersebar sekarang sudah dikumpulkan dalam klaster-klaster. Alhasil para pengunjung lebih leluasa menikmati pemandangan Samudra Hindia yang luas dan misterius.

Daerah Taplau dekat Hotel Pangeran Beach jadi markasnya para “surfer”

Sekarang kayaknya masih ada beberapa surfer yang rutin main di Purus yang ombaknya aduhai. Tapi dulu, sebelum jalan aspal besar diperpanjang sampai ke sampai Hotel Pangeran Beach, jauh lebih ramai lagi para peselancar yang bermain di sana.

Spot ombak di Purus itu jadi seperti markasnya para surfer. Mulai main sore hari, mereka bakal menari-nari di atas ombak sampai matahari terbenam.

taplau padang

Monumen IORA

Masih banyak “payung ceper”

Sekarang sih sudah nggak ada lagi. Namun sebelum “dibersihkan” sekitar tahun 2015-2016, di Taplau Padang dekat Danau Cimpago masih banyak lapak-lapak “payung ceper.”

Yang dijual di lapak-lapak payung ceper itu sebenarnya hampir sama dengan yang dijual oleh lapak-lapak lain, yakni makanan dan minuman ringan. Tapi payung ceper ini—karena dipasang begitu rendah—ngasih “privasi” ke orang-orang yang berada di sana.

Dilewati bis-bis besar seperti ANS dan NPM

Kota Padang dulu punya terminal besar di pusat kota. Namanya Terminal Lintas Andalas. Terminal itu kemudian dibongkar—dipindahkan ke Aia Pacah—dan di bekas lahannya dibangun sebuah pusat perbelanjaan, yakni Plaza Andalas.

Bis-bis besar seperti ANS dan NPM yang rutenya ke daerah-daerah di utara Sumatera Barat dulu lewat Taplau. “Lha, nggak macet tuh?” Padat iya, tapi macet jarang banget, soalnya ‘kan dulu kendaraan bermotor nggak sebanyak sekarang juga.

taplau padang

Monumen Merpati Perdamaian/Fuji Adriza

Belum ada Monumen Merpati Perdamaian dan IORA

Kalau kamu ke Taplau Padang sekarang pasti kamu akan menjumpai Monumen Merpati Perdamaian (White Dove Monument) dan Monumen IORA. Nah, kedua monumen itu baru diresmikan sekitar tahun 2016 yang lalu, Sob.

Monumen Merpati Perdamaian ini dibuat dalam rangkaian acara Multilateral Naval Exercise Komodo 2016. Sementara itu IORA dibangun sebagai penanda bahwa Kota Padang jadi penyelenggara pertemuan negara-negara anggota Indian-Ocean Rim Community.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Bedanya Taplau Padang Zaman Dulu dan Sekarang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/taplau-padang/feed/ 0 10469
Menyantap Martabak Mesir Spesial di Restoran Kubang Hayuda https://telusuri.id/restoran-kubang-hayuda/ https://telusuri.id/restoran-kubang-hayuda/#respond Sun, 29 Jul 2018 09:00:48 +0000 https://telusuri.id/?p=9948 Ketika masuk, hidung saya disambut perpaduan aroma rempah yang lembut dan margarin yang gurih. Mustahil untuk tidak lapar setelah mencium aroma itu. Dibanding tiga tahun lalu, suasana Restoran Kubang Hayuda di Jalan M. Yamin Padang...

The post Menyantap Martabak Mesir Spesial di Restoran Kubang Hayuda appeared first on TelusuRI.

]]>
Ketika masuk, hidung saya disambut perpaduan aroma rempah yang lembut dan margarin yang gurih. Mustahil untuk tidak lapar setelah mencium aroma itu.

Dibanding tiga tahun lalu, suasana Restoran Kubang Hayuda di Jalan M. Yamin Padang itu tak berbeda jauh. Nuansa warna interiornya memang berubah jadi merah, namun meja panjang, kursi-kursi nyamannya, bahkan kasirnya masih tetap sama.

restoran kubang hayuda

Etalase depan Restoran Kubang Hayuda/Fuji Adriza

Sesaat setelah mendapatkan bangku, saya dan Abenk langsung memesan makanan legendaris Restoran Kubang Hayuda, yakni martabak mesir. Tak tanggung-tanggung, yang kami pesan adalah dua porsi martabak mesir spesial. Untuk melepas dahaga tak ada yang lebih pas ketimbang segelas jus alpukat dingin.

Namun karena yang kami pesan bukan martabak biasa yang stoknya menumpuk di rak khusus di pojok barat, kami mesti bersabar menunggu sebentar.

Tak lama empat mangkuk kecil cuka diantarkan ke meja kami. Inilah salah satu yang membedakan martabak biasa dengan yang spesial. Martabak biasa hanya disertai dengan satu mangkuk mini cuka, sementara martabak spesial dilengkapi dua mangkuk kuah.

restoran kubang hayuda

Mengisi kulit martabak dengan adonan martabak mesir/Fuji Adriza

Sekitar lima menit kemudian dua porsi martabak mesir spesial yang masih mengepul-ngepul menyusul. Untuk memudahkan konsumen, martabak itu dipotong-potong menjadi enam belas fragmen. Saya langsung mengguyur martabak tebal itu dengan cuka berwarna coklat kehitaman penuh potongan bawang bombay, cabe rawit, dan tomat.

Warisan Haji Yusri Darwis

Sayangnya, meskipun nama Restoran Kubang Hayuda sudah ke mana-mana, tak banyak yang tahu “Hayuda” itu apa. (Saya sendiri selama ini menyangka Hayuda adalah plesetan dari jenama mobil, Hyundai.) Ternyata Hayuda adalah singkatan nama sang pendiri restoran—sekaligus inventor martabak mesir—yakni Haji Yusri Darwis.

Sejarah Restoran Kubang Hayuda diulas panjang lebar dalam skripsi tingkat sarjana Mhd. Rizki Feryan, mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Andalas Padang.

restoran kubang hayuda

Martabak mesir digoreng dengan wajan datar/Fuji Adriza

Restoran Kubang dan martabak mesir barangkali takkan pernah ada kalau Yusri Darwis, pemuda Nagari Kubang, Kabupaten Lima Puluh Kota, tidak merantau ke Bagan Siapi-api, Riau, dan bekerja di warung martabak.

Di kota yang terkenal dengan tradisi bakar tongkang itu Yusri Darwis muda belajar memasak martabak keling sampai akhirnya mendapat ide untuk menambahkan daging dan sayuran ke adonan martabak khas India yang “kering” itu. Ia kemudian menamakan penemuannya sebagai martabak mesir.

Pulang dari perantauan, sambil mengumpulkan modal untuk memulai usaha martabak mesir, Yusri Darwis berjualan martabak manis di Jalan Permindo Padang. Dari sana ia pindah ke Simpang Kandang (menumpang di Bofet Buya sekitar lima tahun) sebelum akhirnya menyewa kedai sendiri di Jalan M. Yamin tahun 1976 dan memulai legenda Kubang Hayuda.

restoran kubang hayuda

Suasana Restoran Kubang Hayuda/Fuji Adriza

Sekarang, empat puluh tahun lebih setelah Restoran Kubang Hayuda berdiri, resep martabak mesir warisan Haji Yusri Darwis telah menyebar ke segala penjuru.

Selalu mampir setiap kali mudik

Haji Yusri Darwis barangkali tak pernah menyangka resepnya akan menyebar ke mana-mana. Cobalah jelajahi Sumatera Barat. Di setiap pasar atau pusat keramaian pasti kamu akan menemukan sekurang-kurangnya sebuah kedai yang menjual martabak mesir.

restoran kubang hayuda

Seporsi martabak mesir spesial/Fuji Adriza

Bagi perantau Minang aroma martabak mesir selalu memancing nostalgia. Lebih dari sekadar makanan pemuas selera, martabak mesir jadi semacam memorabilia yang akan mengingatkan mereka pada rumah, kampung, balai (pasar), dan jalan-jalan sepi tempat mereka dahulu menghabiskan masa kecil dan remaja.

Saat mudik, tentulah kedai-kedai martabak mesir seperti Restoran Kubang Hayuda jadi salah satu lokasi favorit untuk reuni. Saya sendiri selalu menyisihkan waktu untuk mampir ke Restoran Kubang Hayuda untuk menyantap sepiring martabak mesir dan segelas jus alpukat sambil bertukar cerita dengan kawan-kawan lama.

“Masih mau, nggak?” ujar Abenk menawarkan dua potong martabak mesir pada saya. Martabak spesial memang sedikit lebih besar ketimbang yang biasa.

Saya—tentu saja—menyambut tawarannya dengan senang hati.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menyantap Martabak Mesir Spesial di Restoran Kubang Hayuda appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/restoran-kubang-hayuda/feed/ 0 9948
Menumpang KA Minangkabau Ekspres, Kereta Api Bandara Padang https://telusuri.id/kereta-api-bandara-padang/ https://telusuri.id/kereta-api-bandara-padang/#respond Thu, 26 Jul 2018 13:13:54 +0000 https://telusuri.id/?p=9907 Saya tiba di Stasiun Padang, Simpang Haru, sekitar lima belas menit sebelum jam empat sore. Karena masih lengang, saya tak perlu mengantre. Sebentar saja secarik tiket KA Minangkabau Ekspres, kereta api bandara Padang yang baru...

The post Menumpang KA Minangkabau Ekspres, Kereta Api Bandara Padang appeared first on TelusuRI.

]]>
Saya tiba di Stasiun Padang, Simpang Haru, sekitar lima belas menit sebelum jam empat sore. Karena masih lengang, saya tak perlu mengantre. Sebentar saja secarik tiket KA Minangkabau Ekspres, kereta api bandara Padang yang baru beberapa waktu lalu diresmikan, sudah berada di tangan.

Harganya lumayan murah, hanya Rp 10.000. Dibanding Damri dan Tranex yang ongkosnya di atas Rp 20.000 tentu kereta api bandara Padang adalah pilihan yang jauh lebih ekonomis.

kereta api bandara padang

Stasiun Padang, Simpang Haru/Fuji Adriza

Selepas pemeriksaan, saya diarahkan untuk ke ruang tunggu khusus KA Minangkabau Ekspres. Ruang tunggu itu lumayan nyaman meskipun penerangannya agak sedikit lindap.

Sayang sekali saat saya masuk semua bangku sudah ditempati. Daripada bersempit-sempit di dalam atau lesehan di lantai saya menunggu di luar saja sambil melihat-lihat sekitar.

kereta api bandara padang

KA Minangkabau Ekspres/Fuji Adriza

Stasiun Padang yang diresmikan pada dekade terakhir abad ke-19 itu jelas sedang dibenahi. Sebagian sudah selesai—misalnya kanopi bergaya modern di sebelah utara itu—dan sebagian lagi sedang dikerjakan. Ke sini beberapa tahun lagi barangkali saya akan mendapati Stasiun Padang dalam wujud yang berbeda.

KA Minangkabau Ekspres bersih dan nyaman

Menjelang pukul 16.20, terdengar pengumuman bahwa kereta api bandara Padang akan segera diberangkatkan. Bergegas saya naik ke dalam gerbong.

kereta api bandara padang

Pintu otomatis KA Minangkabau Ekspres/Fuji Adriza

Ternyata tidak banyak yang berangkat dari Simpang Haru sore itu sehingga saya tak perlu bersaing untuk mendapatkan bangku. Tak berapa lama setelah saya masuk, pintu ditutup dan kereta mulai melaju.

Gerbong KA Minangkabau Ekspres sangat nyaman. Hawa dingin dari pendingin ruangan sangat kontras dengan Padang yang membara. Bangku empuk bersandaran tingginya mengingatkan saya pada kereta ETS Padang Besar-Kuala Lumpur di Malaysia.

kereta api bandara padang

Suasana gerbong/Fuji Adriza

Di beberapa sudut ada monitor dan rak besi tempat para penumpang bisa meletakkan barang-barangnya. Untuk penumpang berdiri, PT KAI menyediakan pegangan-pegangan yang digantungkan pada besi yang membujur di langit-langit gerbong.

Kamar mandinya pantas diacungi jempol—toilet duduk, wastafel dan cermin, tempat mengganti popok bayi, sabun cuci tangan. Rasa-rasanya toilet KA Minangkabau Ekspres bisa disandingkan dengan kamar mandi pesawat.

kereta api bandara padang

Stasiun Tabing/Fuji Adriza

Jadi atraksi wisata lokal

KA Minangkabau Ekspres berangkat lima kali sehari dari Simpang Haru dan lima kali pula dari Stasiun BIM (Bandara Internasional Minangkabau) di Kabupaten Padang Pariaman. Sepanjang perjalanannya kereta itu akan berhenti di tiga stasiun, yakni Tabing, Duku, dan BIM. Lama perjalanan dari ujung ke ujung sekitar 40 menit.

Karena ongkosnya murah dan perjalanannya sebentar, kereta api bandara Padang jadi salah satu atraksi wisata primadona bagi warga lokal. Kumparan bahkan sampai merilis berita yang berjudul “Kereta Bandara Internasional Minangkabau yang Jadi Magnet Wisata Warga.

kereta api bandara padang

Stasiun Bandara Internasional Minangkabau (BIM)/Fuji Adriza

Maka wajar saja kalau sore itu lebih banyak orang yang hendak piknik ketimbang mereka yang akan berangkat lewat BIM. Alhasil, suasana kereta lumayan meriah, tidak seperti suasana angkutan khas bandara lainnya yang cenderung hening. Orang dewasa asyik mengobrol, sementara anak-anak terpana melihat rumah-rumah, persawahan, dan perbukitan yang berlarian di luar jendela.

Setelah melewati Tabing dan Duku, akhirnya KA Minangkabau Ekspres berhenti di Stasiun BIM. (Stasiun BIM lumayan besar dan dilengkapi dengan pusat informasi.) Dari perhentian terakhir itu saya naik eskalator kemudian jalan kaki beberapa menit lewat koridor nyaman penghubung stasiun dan bandara.

kereta api bandara padang

Jembatan penghubung stasiun dan bandara/Fuji Adriza


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menumpang KA Minangkabau Ekspres, Kereta Api Bandara Padang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kereta-api-bandara-padang/feed/ 0 9907
Nongkrong di Rimbun Espresso & Brew Bar Padang https://telusuri.id/rimbun-espresso-brew-bar-padang/ https://telusuri.id/rimbun-espresso-brew-bar-padang/#comments Tue, 24 Jul 2018 08:44:08 +0000 https://telusuri.id/?p=9872 Saya dan Abenk, sahabat karib sejak kelas 1 SMP, tak kesulitan menemukan Rimbun Espresso & Brew Bar. Letaknya strategis di kawasan ruko Jalan Kis Mangunsarkoro, tak seberapa jauh dari SMA 10 Padang. Kafe dua lantai...

The post Nongkrong di Rimbun Espresso & Brew Bar Padang appeared first on TelusuRI.

]]>
Saya dan Abenk, sahabat karib sejak kelas 1 SMP, tak kesulitan menemukan Rimbun Espresso & Brew Bar. Letaknya strategis di kawasan ruko Jalan Kis Mangunsarkoro, tak seberapa jauh dari SMA 10 Padang.

Kafe dua lantai itu tampak ramai malam itu. Beberapa meja yang ditaruh di teras dikelilingi oleh anak-anak muda yang sedang bercengkerama. Begitu pintu saya dorong, suara obrolan menguar bersama hawa sejuk yang dipancarkan pendingin ruangan.

Lantai satu Rimbun Espresso & Brew Bar bernuansa industrial khas kedai kopi. Sebagian besar mebel terbuat dari kayu yang disangga oleh besi-besi warna hitam. Di dindingnya terpajang beberapa artwork, rak kayu, dan sepeda onthel.

rimbun espresso & brew bar

Beranda depan Rimbun Espresso & Brew Bar/Fuji Adriza

Tapi yang paling menarik perhatian adalah sebuah mesin penyangrai kopi yang ditaruh dekat jendela. Di sampingnya, sejajar dinding, beberapa toples transparan mempertontonkan biji-biji kopi yang baru disangrai. Tulisannya: Kerinci. Ruangan ini adalah lokasi steril, bebas dari asap rokok yang berpotensi mengalterasi aroma kopi.

Di balik meja bar, Noverdy Putra alias Verdy, sang manajer, sedang sibuk melayani transaksi. Saya berkenalan dengan Verdy akhir 2014 di Omah Kopi, Jogja, lewat seorang kawan. Kala itu ia baru lulus dari salah satu perguruan tinggi di Bandung. Tak lama setelah itu ia memantapkan hati untuk kembali ke tanah kelahiran, Sumatera Barat, dan mengelola Rimbun Espresso & Brew Bar ini.

Tangannya menari-nari gesit di atas sebuah tablet dan beberapa mesin EDC untuk mencatat pesanan dan mencetak bukti pembayaran. Di sekitarnya beberapa orang barista asyik meracik minuman. Setelah agak sela barulah ia melotot menyadari keberadaan saya. Kami berjabat tangan. Karena sedang ramai, saya langsung saja memesan dua gelas americano dari biji kopi asal Kerinci.

rimbun espresso & brew bar

Mesin “roasting” kopi/Fuji Adriza

Metamorfosis Rumah Kopi Nunos

Karena areal merokok di lantai satu penuh, saya dan Abenk naik ke lantai dua lewat tangga kayu. Ternyata lantai dua tak kalah ramai. Beberapa kelompok anak muda berkumpul sambil berkelakar. Sebagian besar meja itu dipenuhi gelas plastik besar seperti di gerai-gerai kedai kopi internasional.

Sebagai pelengkap nongkrong, Rimbun Espresso & Brew Bar menyediakan puluhan majalah Rolling Stone yang digantung rapi di dinding. Tapi, agak-agaknya anak nongkrong zaman sekarang sudah tak terlalu meminati bacaan fisik seperti majalah—tak satu pun majalah yang lepas dari kaitan.

rimbun espresso & brew bar

Toples berisi biji kopi yang sudah disangrai (roasted bean)/Fuji Adriza

Mungkin zaman memang sudah berubah. Rimbun sendiri mulanya adalah sebuah kafe yang juga sempat jadi primadona di zamannya, yakni Rumah Kopi Nunos. Sekitar 2014 Nunos moksa. Gantinya adalah dua kafe Rimbun, satu di Bukittinggi (sekarang sudah tutup) dan satu lagi, yang muncul belakangan, Rimbun Espresso & Brew Bar Padang.

Sedikit banyak Verdy bertanggung jawab atas perubahan itu. Ia memperkenalkan beberapa hal baru, misalnya pendataan pesanan secara elektronik dan absensi barista dengan fingerprint. Ia juga membuat Rimbun jadi lebih semarak dengan koleksi CD—yang  bisa dibeli—dan buku serta majalah.

Sepuluh menit setelah kami duduk, dua gelas americano datang. Di tatakan disediakan dua kantong kecil gula, yakni gula merah dan gula pasir. Itulah yang menjadi teman kami mengobrol beberapa jam di Rimbun Espresso & Brew Bar.

rimbun espresso & brew bar

Noverdy Putra di balik meja bar/Fuji Adriza

Ruang bagi anak muda Padang

Loteng Rimbun sedang disulap Verdy menjadi semacam ruang diskusi bernama Pagu (secara harfiah pagu berarti loteng dalam bahasa Minang) yang penuh dengan buku dan CD lagu. Beberapa kali sudah ia mengadakan diskusi buku di sana. Peminatnya lumayan. Sayang sekali sekarang sedang vakum.

Itu adalah jawaban dari kegelisahannya terhadap kurangnya ruang bagi anak muda Padang untuk mengekspresikan diri. Sekitar sepuluh tahun di Bandung yang semarak, Verdy sadar betul pentingnya sebuah ruang publik—secara fisik—bagi anak muda. Dari ruang publik itulah muncul ide-ide kreatif dan kolaborasi.

Tak heran nama Rimbun semakin menggaung, bahkan sampai Ibu Kota Jakarta. Tokoh-tokoh tenar pernah muncul di Rimbun. Verdy menyebutkan tiga nama: Budi Rahardjo (akademisi dan blogger), Riri Riza (sutradara), dan Triawan Munaf (Kepala Bekraf). Namun ia mengklaim bahwa Rimbun tidak membeda-bedakan perlakuan terhadap para pelanggan. Egaliter. Mau terkenal atau tidak mereka akan dilayani dengan sebaik-baiknya.

rimbun espresso & brew bar

Salah satu pojok Rimbun/Fuji Adriza

“Akhir-akhir puasa kemarin kami sampai nambah kursi bakso (kursi plastik),” ia bercerita dengan semangat ketika akhirnya sela dan bisa menghampiri kami. Di pengujung bulan Ramadan, Rimbun mendadak ramai oleh pemuda-pemudi Padang, sebagian besar mahasiswa dari Jawa, yang sedang mudik lebaran.

Verdy tak ragu-ragu menambah kursi plastik. Ia sadar yang dicari dari sebuah kafe lebih dari sekadar kopi itu sendiri—atau ornamen-ornamen kekinian untuk dipotret dan diunggah ke Instagram. Ruanglah yang mereka cari. “Mereka ‘kan sebenarnya cuma mau ketemu teman-temannya,” lanjutnya.

rimbun espresso & brew bar

Nuansa industrial/Fuji Adriza

Beberapa tembakau lintingan mesin tandas selama kami mengobrol. Karena awak Rimbun mesti kembali membuka kedai keesokan pagi jam 8, aktivitas malam ini harus diakhiri. Kami pun berpamitan. Dari Rimbun, saya dan Abenk kembali menelusuri jalanan Kota Padang. Kami lewat Taplau, tempat “gaul” anak muda Padang jauh sebelum Rimbun Espresso & Brew Bar muncul ke permukaan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.


Pemutakhiran terakhir: 24/07/18 17:15

The post Nongkrong di Rimbun Espresso & Brew Bar Padang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/rimbun-espresso-brew-bar-padang/feed/ 2 9872
“Road Trip” Melintasi Sumatera Barat https://telusuri.id/road-trip-melintasi-sumatera-barat/ https://telusuri.id/road-trip-melintasi-sumatera-barat/#comments Mon, 16 Oct 2017 10:33:53 +0000 http://telusuri.id/?p=2886 Kemarin kami mengelilingi Danau Singkarak, danau terluas di Sumatera Barat, menumpang kendaraan roda empat. Cukup mengejutkan bahwa ternyata untuk mengelilingi danau sebesar itu hanya perlu waktu sekitar 1-1,5 jam. Di beberapa titik di pinggir danau,...

The post “Road Trip” Melintasi Sumatera Barat appeared first on TelusuRI.

]]>
Kemarin kami mengelilingi Danau Singkarak, danau terluas di Sumatera Barat, menumpang kendaraan roda empat. Cukup mengejutkan bahwa ternyata untuk mengelilingi danau sebesar itu hanya perlu waktu sekitar 1-1,5 jam.

Di beberapa titik di pinggir danau, saya melihat keramba-keramba ikan dipasang. Budidaya perikanan di pinggiran Singkarak memang lumayan semarak. Ikan khas Danau Singkarak adalah ikan bilih, yang tampilan fisiknya mirip-mirip ikan wader.

Kami juga sempat singgah sebentar di Ombilin, dekat perbatasan Solok dan Tanah Datar, untuk makan sepiring katupek pitalah yang lontongnya besar bukan main. Jadi, ketika kami tiba kembali di Kota Solok yang dingin, hari sudah malam. Kami mesti istirahat sebab esok hari kami akan melakukan road trip melintasi Sumatera Barat.

road trip melintasi sumatera barat
Suasana Pasar Sawahlunto saat road trip melintasi Sumatera Barat/Teguh Fasty Syaputra

“Road trip” melintasi pelosok Sumatera Barat

Soal transportasi publik, perkembangan Sumatera Barat terbalik. Sejak Padang tidak lagi punya terminal sentral dan kendaraan pribadi jumlahnya makin menjadi-jadi, transportasi publik seakan-akan jadi pilihan kesekian.

Akibatnya perusahaan otobis mesti mengetatkan ikat pinggang. Ukuran bis pun semakin menyusut. Lihat saja armada bis ANS Padang-Bukittinggi yang dulunya berupa bis Mercedes-Benz besar sekarang jadi bis-bis mini yang ukurannya hanya sedikit lebih besar dari elf. Tentu saja bis-bis itu masih tetap suka ngetem lama-lama. Kalau tidak, dari mana mereka akan dapat penumpang?

road trip melintasi sumatera barat
Kota Sawahlunto yang berbukit-bukit/Teguh Fasty Syaputra

Maka, untuk urusan jalan-jalan di Sumatera Barat, adalah pilihan paling bijaksana untuk menggunakan kendaraan pribadi. Selain lebih cepat, kamu juga akan bisa menjangkau atraksi-atraksi wisata yang letaknya terpencil, seperti yang kami lakukan hari ini.

Setelah istirahat semalam, kami pun berkendara menyusuri Jalan Lintas Sumatera menuju kota tambang yang dulu sempat berjaya, Sawahlunto. Naik kendaraan pribadi ke Sawahlunto cuma menghabiskan waktu sekitar setengah jam perjalanan, melewati Silungkang yang penduduknya dikenal sebagai penenun dan penganyam handal.

Sisa-sisa kejayaan tambang batubara

Perbukitan yang mengelilingi Sawahlunto itu seolah-olah tak hanya mengisolasi Sawahlunto secara geografis, namun juga menjebaknya di masa lalu. Kota-kota di Sumatera Barat memang lebih banyak yang sepi ketimbang yang ramai. Tapi Sawahlunto lain; saya seperti memasuki kota di film Silent Hill.

road trip melintasi sumatera barat
Rel kereta api di depan Museum Kereta Api Sawahlunto/Teguh Fasty Syaputra

Plang menuju Museum Kereta Api itu membawa kami melintasi pasar tradisional. Sebagian orang menggunakan sarung untuk menahan udara dingin yang sesekali masih berhembus. Saya melihat ke kanan, ke arah permukiman yang terususun di lereng perbukitan: pasti di rumah-rumah itu orang-orang masih asyik kemulan. Kami memarkir mobil di depan Museum Kereta Api yang letaknya tak jauh dari pasar.

Sawahlunto menjual masa lalu; akumulasi dari cerita-cerita semenjak dua abad silam. “Ditaruko” ahli geologi Belanda sekira paruh abad ke-19, Sawahlunto dijadikan kota pada 1 Desember 1888. Empat tahun setelahnya, yakni 1892, kota ini mulai menghasilkan batubara.

Kami pun memasuki Museum Kereta Api Sawahlunto. Di masa-masa puncak kejayaan tambang batubara dulu, museum ini adalah sebuah stasiun terminus, bagian dari jaringan rel kereta api yang menghubungkan Padang, Solok, Sawahlunto, Padang Panjang, Bukittinggi, dan Payakumbuh.

Kantor Bukit Asam/Teguh Fasty Syaputra

Selain satu lokomotif dan lima gerbong tua, museum ini juga menyimpan banyak pernak-pernik perkeretaapian warisan zaman beheula. Selama sekitar satu jam kami berkeliling di antara alat sinyal dan komunikasi, lonceng penjaga, timbangan, dan peninggalan-peninggalan lain yang jadi saksi bisu sejarah dunia perkeretaapian Indonesia.

Lubang Mbah Soero, peninggalan orang rantai

Dari Museum Kereta Api, kami jalan kaki ke kawasan kota tua Sawahlunto. Gedung-gedung tua di sini masih terpelihara dengan baik. Contohnya Gedung Societeit (sekarang dinamakan Gedung Pusat Kebudayaan Sawahlunto) yang di depannya ada kolam air mancur itu.

Kami menuruti plang ke arah Lubang Soero, terowongan tambang batubara pertama di Lembah Segar yang digali pada tahun 1898. Nama “Soero” diambil dari seorang mandor “orang rantai” alias pekerja paksa. Orang rantai berasal dari berbagai kalangan, dari mulai tahanan politik sampai kriminal murni. Dibandingkan orang rantai, para tawanan di film Cool Hand Luke cuma akan tampak seperti segerombolan orang sedang piknik. Orang rantai dirantai di leher, tangan, dan kaki!

Mulut terowongan Lubang Mbah Soero/Teguh Fasty Syaputra

Sebelum masuk Lubang Mbah Soero, kami menunggu sebentar di Gedung Info Box. Di dinding bagunan bertingkat itu, selain kostum lawas pekerja tambang, juga dipajang foto-foto para tokoh yang berasal dari sekitar Sawahlunto, seperti Muhammad Yamin dan Djamaluddin Adinegoro.

Kami dipinjamkan sepatu boots dan helm proyek. Seorang pemandu membuka jalan dan menjelaskan macam-macam tentang Lubang Mbah Soero. Saya lumayan deg-degan ketika menuruni tangga terowongan, meskipun di beberapa titik beberapa lampu kuning temaram dipasang. Lima belas meter di bawah permukaan, sensasinya seperti masuk ke Lubang Japang di Bukittinggi untuk pertama kali. (Lubang Japang yang belum dilapisi semen!)

road trip melintasi sumatera barat
Di dalam Lubang Mbah Soero/Teguh Fasty Syaputra

Saya jadi makin merinding waktu pemandu itu bilang, “Masih ada kerangka-kerangka manusia yang belum digali di dinding terowongan ini.” Untung saja terowongan itu tak terlalu panjang. Jadi, sebentar saja kami bertiga sudah kembali ke permukaan dan diselimuti sinar matahari lagi!

Ke Istana Pagaruyung via Talawi

Yang tak banyak diketahui wisatawan adalah ada jalan yang menghubungkan antara Sawahlunto dan Istana Pagaruyung di Batusangkar, lewat sebuah kecamatan yang bernama Talawi. Kami berkendara lewat jalanan yang sepi. Sekali-sekali, di kanan kiri saya melihat tumpukan batubara dan silo-silo raksasa.

Di Talawi kami berhenti sebentar di makam salah seorang tokoh pendiri negara Indonesia, yakni Muhammad Yamin. Tanpa saya beri tahu pun pasti kamu sudah tahu siapa Muhammad Yamin—dan segala kontroversi tentang dirinya. Selain menjadi salah seorang motor penggerak Sumpah Pemuda, ternyata Yamin juga adalah saudara dari salah seorang tokoh pers nasional, yakni Djamaluddin Adinegoro.

Makam Muhammad Yamin di Talawi yang dilewati saat road trip melintasi Sumatera Barat/Teguh Fasty Syaputra

Kami terus mengikuti jalan sampai akhirnya tiba di Istana Pagaruyung di Batusangkar. Istana berupa rumah gadang raksasa ini telah berkali-kali terbakar dan dibangun ulang. (Oleh sebab-sebab alamiah seperti petir.) Tapi meskipun sudah beberapa kali direnovasi, ciri utama Istana Pagaruyung masih tetap dipertahankan, yakni halaman yang luas bukan main.

Kini halaman itu tampak gersang. Namun dulu pelataran itu cukup asri karena dihiasi tumbuhan. Kalau tidak salah, saya punya foto saat duduk di depan salah satu pohon (barangkali pohon pinang).

road trip melintasi sumatera barat
Istana Pagaruyung di Batusangkar/Teguh Fasty Syaputra

Di sinilah saya pertama kali diizinkan memencet rana tustel oleh ayah. Sebenarnya saya tidak minja izin. Kebetulan saja waktu itu saya yang memegang tustel. Dari dalam Istana Pagaruyung, melalui salah satu jendela, saya mengeker dan membidik ayah yang sedang duduk di luar. (Rugi satu frame!)

Melintasi garis khatulistiwa

Dari Batusangkar, kami meluncur ke arah Padang Panjang. Disaksikan Gunung Marapi dan Singgalang, kemi terus melaju ke Bukittinggi. Berkendara santai, dari Bukittinggi perlu waktu sekitar 1,5 jam untuk ke garis lintang 0 derajat di Bonjol. Kalau kamu belum terbiasa lewat jalan yang kecil, menanjak, dan berliku ala Sumatera, sebaiknya pelan-pelan saja.

Khatulistiwa Bonjol/Teguh Fasty Syaputra

Lagian, buat apa tergesa-gesa. Pemandangan dari Bukittinggi ke Bonjol via Palupuh akan memanjakan matamu—perbukitan hijau, jurang-jurang dalam, dan sawah-sawah sengkedan seperti di Tegallalang, Ubud.

Ketika akhirnya tiba di Bonjol, kesan pertama yang muncul dalam kepala saya adalah: kayaknya cuma kami yang “care” bahwa kami sedang melintasi garis khatulistiwa. Entah orang-orang lain sudah terbiasa (atau tidak tahu) atau bagaimana, yang pasti selain kami tak ada yang berhenti saat melihat gapura persembahan BRI yang bertuliskan, “Anda Melint(a)si Khatulistiwa” yang bahkan dilengkapi terjemahan: “You Are Crossing the Equator.”

road trip melintasi sumatera barat
Tugu Equator/Teguh Fasty Syaputra

Di samping gapura itu ada bangunan logam berupa bola biru raksasa yang berkarat dan bolong di sana-sini. Di sisi lain gapura ada sebuah bangunan berbentuk rumah gadang yang di depannya ada patung Tuanku Imam Bonjol sedang naik kuda. Itu adalah Museum Tuanku Imam Bonjol, salah satu tokoh Perang Paderi. Tapi museum itu sama saja; seperti tak digubris. Padahal isinya lumayan keren, seperti beberapa koleksi jubah dan senjata Tuanku Imam Bonjol

Kami cuma sebentar di sana. Barangkali hanya sekitar satu jam. Kemudian kami kembali “mendaki” garis lintang ke Bukittinggi. Setelah nongkrong beberapa jam di areal Jam Gadang, menjelang tengah malam kami kembali ke Solok lewat Danau Singkarak. Tapi, tak seperti kemarin, kali ini Danau Singkarak yang indah diselimuti gelap malam.

The post “Road Trip” Melintasi Sumatera Barat appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/road-trip-melintasi-sumatera-barat/feed/ 1 2886