sumatera utara Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/sumatera-utara/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Thu, 15 Jun 2023 08:21:35 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 sumatera utara Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/sumatera-utara/ 32 32 135956295 Batu Katak dan Amorphophallus yang Mekar (2) https://telusuri.id/ke-batu-katak-untuk-melihat-amorphophallus-yang-mekar-2/ https://telusuri.id/ke-batu-katak-untuk-melihat-amorphophallus-yang-mekar-2/#respond Sat, 05 Nov 2022 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36036 Lepas mata air, saya mendapati vegetasi hutan yang mulai rapat. Pohon-pohon menjulang tinggi, jenis tanaman beraneka ragam. Dan di sini pula, kali pertama saya berjumpa dengan Amorphophallus titanum yang masih berbentuk pohon. Usianya kira-kira sekitar...

The post Batu Katak dan Amorphophallus yang Mekar (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Lepas mata air, saya mendapati vegetasi hutan yang mulai rapat. Pohon-pohon menjulang tinggi, jenis tanaman beraneka ragam. Dan di sini pula, kali pertama saya berjumpa dengan Amorphophallus titanum yang masih berbentuk pohon. Usianya kira-kira sekitar 5 tahun, pohonnya menjulang tinggi, hijau, dengan cabang-cabang penuh daun. Awalnya, saya tidak mengira bahwa ini merupakan Amorphophallus mengingat rupa bunganya saat mekar tak memiliki daun.

Masyarakat Batu Katak menyebut Amorphophallus dengan nama “bunga”. Iya, hanya bunga. Bunga sudah merepresentasikan bahwa tanaman tersebut merupakan Amorphophallus, apapun jenisnya.

Dari informasi yang saya dapatkan dari Bang Zuah, Amorphophallus titanum merupakan jenis Amorphophallus terbesar di dunia. Yang paling kecil, namanya Amorphophallus prainii, rupanya seperti A. titanum tetapi ukurannya jauh lebih kecil. Satu lagi, yakni Amorphophallus gigas yang berbentuk seperti mahkota. Ketiganya merupakan jenis bunga bangkai, namun berbeda dengan Rafflesia arnoldii. Di Sumatra, jenis A. titanum dan A. gigas menjadi bunga unggulan karena secara ukuran sama-sama besar. Sedangkan A. prainii, ukurannya hanya sebesar botol air mineral 1500 ml.

Saya sedikit harap-harap cemas karena sekitar tiga puluh menit berjalan, kami belum bertemu dengan satwa apapun. Kecemasan tersebut kemudian berlalu begitu saja saat saya kembali menemukan bunga. Kali ini, masih berbentuk batang bunga, tampak seperti pohon rebung.

“Yang pendek itu akan menjadi bunga,” Bang Darma yang juga pemandu kami menjelaskan kepada saya sambil menunjuk dua bakal bunga di seberang. Membutuhkan waktu kurang lebih sekitar tujuh tahun untuk si bakal bunga menjadi bunga, dan mekar. Siklus hidupnya mulai dari tumbuh batang sekitar empat hingga lima tahun, mati, baru kemudian muncul bakal bunga dan menjadi bunga tunggal, mati lagi, baru keluar bunganya. “Nah, ketika mulai saat mekar (blooming) hingga layu, bunga hanya membutuhkan waktu maksimal 36 jam saja,” terang Bang Zuah.

Tentu, hal ini menjadi magnet untuk menarik wisatawan datang ke sini. Berjumpa dengan bunga yang membutuhkan waktu tujuh tahun untuk mekar, dan hanya memiliki waktu mekar sekitar tiga hingga tujuh hari saja.

Berbeda dengan Rafflesia arnoldii, Amorphophallus tumbuh menyebar, bahkan lokasinya bisa berpindah dari lokasi tumbuh bunga yang pertama. Masyarakat Batu Katak pernah mencoba menanamnya, namun tidak berhasil tumbuh. Jadi, kalau ingin melihat bunga harus trekking ke dalam hutan. Itu pun, belum tentu beruntung bisa bertemu dengan si bunga. 

Saya kemudian teringat cerita seorang kawan yang dua minggu sebelumnya datang ke sini. Hannif bersama rekan-rekan DESMA Center mendadak punya agenda menyusuri hutan lebih dalam, dan beruntung sekali mereka mendapati bunga yang sedang mekar. Padahal, tiga hari sebelumnya mereka sudah survei menyusuri hutan namun hanya bertemu bakal bunga saja. Hari itu, entah, keberuntungan macam apa yang ia dapatkan, membuat saya pada akhirnya iri padanya.

Dari lokasi kami berdiri pula, di atas tebing ada dua batang bunga yang tumbuh besar di sela-sela jurang. Saya melongok ke atas untuk mengamatinya lebih detail. Tak jauh dari situ, Bang Darma kembali meminta kami melongok lebih ke atas lagi, ke sisi sebelah kiri kami berdiri. Kali ini ia memperlihatkan sarang orang utan. Bentuknya seperti sarang burung, tetapi ukurannya jauh lebih besar. Empunya sarang sendiri, entah sedang di mana. Bang Darma juga menunjukkan pohon Ficus, salah satu pohon yang menjadi tujuan orang utan, siamang, dan juga Thomas leaf monkey saat musim buah tiba. “Paling sedikit ada dua orang utan datang kalau pas musim buah,” ujarnya.

Di dalam hutan, cahaya matahari tak banyak masuk. Meski tidak panas, tapi keringat terus mengucur dari kepala hingga menetes ke punggung. Kadang, untuk menaiki bukit, dengkul saya harus bertemu dengan jidat saking tingginya pijakan. Lumayan sekali sebagai permulaan.

Beruntungnya, sepanjang perjalanan belum ada pacet yang menggigit bagian tubuh. Perjalanan lalu kami lanjutkan, kali ini trek bebatuan besar dan kasar ada di hadapan. Saya sendiri cukup kesulitan untuk melewatinya karena selain menanjak, jalurnya juga tidak terlalu kelihatan.

Setelah satu jam perjalanan, kami berhenti sebuah sungai kecil. Airnya bening, dan dingin. Di tengah sungai, terdapat gundukan tanah dan bebatuan, di atasnya terhampar beragam jenis buah segar seperti semangka, pisang, jeruk, rambutan, dan tak lupa nanas! Tentu saja, saya langsung mengambil satu potong besar nanas Medan yang menjadi buah favorit sejak tiba di Langkat. Rasanya asam manis, meski tidak dingin, tapi lebih dari cukup untuk menjadi pemadam dahaga.

“Jika sudah selesai makan, mari kita lanjutkan perjalanannya. Setelah ini kita akan melewati hutan kering.” ucap Pak Hepi.

Saya mengganti sepatu dengan sandal sebelum berjalan kembali, rasa parno akan gigitan pacet memang menggelayuti, membuat saya memakai sepatu, dan mengganti sandal cadangan untuk digunakan saat tubing. Merepotkan dan mempersulit diri sendiri memang. Tapi ya sudahlah.

Kami sudah berjalan sekitar dua puluh menit, lepas dari sungai. Tanah yang kami tapaki masih sama, kering. Vegetasi juga tak serapat sebelumnya. Peacock fern banyak tumbuh di sini, warna daunnya agak berbeda dari yang sebelumnya saya temu di hutan tadi. Kali ini hijau dan biru. Mungkin karena cahaya matahari yang masuk ke sini jauh lebih banyak daripada di dalam hutan. Bang Darma memetik beberapa lembar, lalu mengusap-usapkannya ke tangan. “Ini bisa jadi penangkal nyamuk, lho!” katanya sembari terus mengusapkannya hingga lengan.

Baru sekitar 100 meter berjalan, Kak Ely—yang juga salah seorang peserta famtrip—memberitahu saya beberapa anggrek hutan yang kami temui di pinggir jalur. Ada dua jenis, warnanya kuning dan ungu. Sayang, saya tak mengetahui lebih banyak tentang keduanya. 

Beberapa pohon tumbang menghadang kami setelahnya. Tidak terlalu banyak, namun membuat kami harus membungkuk dan berjalan perlahan hingga pemberhentian selanjutnya yakni bawah pohon kepeng—yang begitu menarik perhatian Ray, Febrian, dan Kak Ely.

  • Buah Kepeng Batu Katak
  • Buah kepeng

Dari jauh, tampak buahnya melekat pada batang pohon, menggerombol seperti anggur, namun ukurannya jauh lebih besar. Nyenengke! Warna buah yang masih mentah yakni hijau, sedangkan yang mulai matang berwarna kuning kecoklatan, mirip kelengkeng. Karena ikut penasaran, saya meminta Ray melemparkan satu buah untuk saya coba. Bang Joe, yang kebetulan membawa pisau, memetik satu untuk saya. Ia mengopernya kepada Ray, sebelum akhirnya berakhir di mulut saya.

Dari dekat, buah kepeng lebih mirip dengan manggis baik dari tekstur buah hingga bijinya, meski ukurannya tak sebesar manggis. Cara mengupasnya pun juga berbeda. Karena tak bisa membelahnya, saya asal mengupasnya dan buru-buru melahapnya. “Berrrrrrr,” reaksi saya saat memakan buah kepeng. Ray bilang, rasanya asam dan ada manisnya. Namun yang saya rasa, hanya asam, sekali. Tapi tetap enak, masih bisa saya nikmati.

Dua ekor Millipede menyambut kami di titik start tubing yang berada di pertemuan antara Sungai Sikelam dan Sungai Berkail. Salah satu binatang yang paling lambat saat berjalan ini mencuri perhatian kami lagi, berpindah dari satu tangan ke tangan lain sebelum melepaskannya kembali ke hutan.

“Wah, wah, wah! Tolong saya, Bang. Tolong,” saya berteriak panik menuju Bang Joe. Beberapa pacet tanpa saya sadari menempel di ujung kaki, hingga paha bawah saya. Mereka seolah menari-nari, menggerakkan badan, meliuk-liuk dan bersiap menghisap darah. Saya sempat kibas-kibaskan kaki ke sungai, namun pacet-pacet itu tak kunjung lepas hingga Bang Joe mencabutnya satu per satu. Akhirnya, di ujung perjalanan trekking ini, saya kena pacet juga. Pasrah.

Semua peserta kemudian bersiap tubing, satu per satu mengenakan life jacket, memasukkan barang-barang ke dalam dry bag, dan duduk manis di atas ban. Selama dua puluh menit, kami menyusuri Sungai Berkail yang hari itu airnya begitu jernih dan arusnya tak begitu besar. Meski begitu, saya tetap terjatuh dari atas ban setelah rombongan kami menabrak rombongan di depan yang tersangkut batu. Sah, basah kuyup.

Usai menyusuri Sungai Berkail, kami tiba di Jungle River—titik akhir dari pengarungan. Di sini, makan siang dengan lauk khas Karo bernama tasak telu menyambut raga lelah karena keseruan trekking dan tubing. Kali ini, tasak telu tersaji bersama ayam bumbu pedas, lalapan daun singkong, labu kukus, serta sambal goreng kentang. Perpaduan yang pas. Kata Bu Lorisma, bumbunya hanya tiga macam.

Sekilas, rupa tasak telu seperti serundeng. Warna coklat mudanya tidak begitu pekat. Serabut-serabut dagingnya tampak seperti kelapa parut. Nyemek, dan empuk. Rasanya pun tidak pedas meski dibumbui dengan cabai merah. Gurih sekali dan terasa sangat enak di lidah.

Batu Katak
Ibu Nurmayanti/Mauren Fitri

Sebagai hidangan penutup, saya mencicipi cimpa dan es kelapa muda selasih. Ini kali pertama saya makan cimpa. Dari luar terlihat seperti lepet, tetapi ternyata isinya jauh berbeda. Cimpa terbuat dari tepung pulut yang diuleni hingga lembek lalu diisi dengan gula merah dan kelapa. Pada adonannya ditambahkan sedikit merica. Daun singkut—daun yang mirip dengan daun pandan, tetapi ukurannya lebih lebar—menjadi pembungkusnya sebelum mengukusnya di atas tungku. Bu Nurmayanti-lah yang memasak sajian cimpa siang hari itu, di tengah kesibukannya, ia masih sempat menceritakan proses pembuatannya kepada saya dan Fani dengan cepat dan semangat.

Semua hidangan tadi saya nikmati di pinggir Sungai Berkail, tepatnya [masih] di Jungle River. Jika datang pada waktu tepat, satwa endemik bisa kita lihat dari sini. Hari itu, kami cukup kesiangan untuk jalan sehingga tidak bertemu dengan satwa, waktu makan mereka sudah lewat begitu penjelasan yang saya dengar dari Bang Zuah. Jika berangkat lebih pagi, sebelum pukul sembilan, dan jika beruntung, kita bisa mendengar suara monyet dan melihat mereka bergelantungan. Lalu, jika meninggalkan Jungle River terlalu sore, sekitar pukul lima hingga pukul enam, satwa juga akan menampakkan diri. Beberapa di antaranya yakni Black handed gibbon dan Yellow handed gibbon yang lumayan langka. Nah, kalau cuaca sedang hujan, biasanya ada biawak besar yang menyeberang.

“Setidaknya kami bisa melihat lingkungan, jalur jalan dan makan dulu lah sebelum bertemu langsung dengan satwanya,” gumam saya.

Para stakeholder, termasuk DESMA, selalu memberikan edukasi, dan masyarakat sepakat tidak ada feeding kepada satwa untuk memancing mereka datang saat ada kunjungan wisatawan. Jadi, kalau memang ke sini, jauhkan ekspektasi bertemu satwa karena menurut saya itu menjadi bonus dari perjalanan menyusuri Batu Katak.

Karena sepanjang jalur trekking kami tidak bertemu dengan bunga yang sedang mekar, malam harinya Bang Zuah memperlihatkan kepada saya dokumentasi Amorphophallus titanum dari gawainya. “Sekilas kayak bunga palsu, ya? Nggak seperti tanaman. Ini ukuran mini memang segitu besarnya, bukan karena efek kamera atau angle pemotretan, ya!” ujar Bang Zuah.

“Ke Batu Katak itu nggak cukup satu hari, Mbak,” kata Bang Zuah menutup obrolan malam itu.


Pada 22-25 September 2022 lalu, TelusuRI mengikuti kegiatan Familiarization Trip Ekowisata Batu Katak, yang diselenggarakan oleh DESMA Center sebagai tindak lanjut dari kegiatan Digitalisasi dan Promosi Ekowisata serta Penguatan Kapasitas Pelaku Ekowisata di Taman Nasional Gunung Leuser, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.

Header foto: Insan Wisata/Hannif Andy


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Batu Katak dan Amorphophallus yang Mekar (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/ke-batu-katak-untuk-melihat-amorphophallus-yang-mekar-2/feed/ 0 36036
Batu Katak dan Amorphophallus yang Mekar (1) https://telusuri.id/ke-batu-katak-untuk-melihat-amorphophallus-yang-mekar-1/ https://telusuri.id/ke-batu-katak-untuk-melihat-amorphophallus-yang-mekar-1/#respond Fri, 04 Nov 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36035 “Di sini, ada itu yang namanya Batu Katak. Tapi batu ini tidak setiap saat bisa terlihat. Mistik, lah! Batunya ada, tapi kalau kita ke sana, nggak kelihatan. Ada hari-hari tertentu untuk bisa melihat batu tersebut....

The post Batu Katak dan Amorphophallus yang Mekar (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
“Di sini, ada itu yang namanya Batu Katak. Tapi batu ini tidak setiap saat bisa terlihat. Mistik, lah! Batunya ada, tapi kalau kita ke sana, nggak kelihatan. Ada hari-hari tertentu untuk bisa melihat batu tersebut. Itu pun harus bersama juru kunci.” Pak Bahagia, seorang pemandu di Ekowisata Batu Katak, menjawab rasa penasaran saya mengenai asal usul nama Batu Katak.

Iya, namanya Bahagia. Orang di sini memanggilnya dengan nama Pak Hepi (Happy), lebih mudah diucapkan. Kami bertemu kembali di perjalanan saat trekking di Gunung Kapur karena saya berjalan cukup lambat dan tertinggal oleh rombongan. Ia menjadi sweeper para peserta yang berada rombongan paling akhir hari itu. Kami tak berbincang banyak, karena saya kemudian berjalan lebih cepat untuk mengejar teman-teman lain di depan dan minggel dengan pemandu lain. Saat briefing sebelum trekking mulai, ia sempat memaparkan beberapa hal terkait Ekowisata Batu Katak.

Awalnya saya kira, nama Batu Katak diambil dari nama batu yang menyerupai katak. Sederhana. Karena memang penamaan tempat di Indonesia kerap kali berdasarkan temuan, atau hal-hal identik yang ada di tempat tersebut. Misalnya saja, Jatingaleh yang mendapatkan nama dari cerita bahwa dulunya ada dua pohon jati yang berpindah. Ngaleh, dalam bahasa Jawa artinya pindah. Atau, Pantai Siung yang namanya diambil dari sebuah tebing mirip dengan siung (taring) binatang. Ada juga kisah Surti yang penuh kasih sayang merawat anaknya yang sakit-sakitan menjadi latar belakang penamaan Pantai Siung (akronim dari kasih biyung; dalam bahasa Indonesia kasih sayang ibu).

Ekowisata Batu Katak
Ekowisata Batu Katak/Mauren Fitri

Pagi itu, setelah melakukan perjalanan kurang lebih 30 menit dari Bukit Lawang Ecolodge—tempat menginap—saya dan rombongan tiba di kawasan Ekowisata Batu Katak yang terletak di Dusun Batu Katak, Desa Batu Jongjong, Kecamatan Bahorok, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Mengutip dari laman resmi Taman Nasional Gunung Leuser, secara pengelolaan, kawasan ini terletak di Resor Bukit Lawang SPTN Wilayah V Bahorok,  BPTN Wilayah III Stabat.

Kawasan ini memiliki potensi hutan yang menjadi “ladang” Amorphophallus atau bunga bangkai, dan juga rumah untuk beberapa satwa endemik seperti orang utan, gibbon, serta siamang. Dari informasi yang saya dapat, ada lebih dari 10.000 bunga Amorphophallus tumbuh di sini. Kebanyakan tumbuh di kawasan Gunung Kapur. Sedangkan untuk bunga Rafflesia arnoldii, tumbuh di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser.

biring manggis
Penari biring manggis/Mauren Fitri

Suara musik mulai terdengar sesaat sebelum pembukaan kegiatan familiarization trip. Empat orang perempuan mengenakan pakaian khas Karo berwarna merah berdiri di ujung pendopo Orchid Bungalow. Sebelum mereka menampilkan tarian biring manggis, kami berbincang sejenak sambil menikmati sirup asam gelugur.

“Apa arti biring manggis, Dek?”

“Hitam manis, Kak!” jawab salah satu dari mereka.

Sirup asam gelugur ini cenderung berasa manis. Tak seperti buahnya yang asam.  Sirupnya berwarna kuning kecokelatan, tapi setelah diolah menjadi minuman, warnanya berubah menjadi kuning seperti warna buahnya. Menyegarkan, seperti sirup-sirup pada umumnya. Apalagi saat tersaji bersama es batu. Sayangnya, butuh waktu cukup lama untuk masyarakat percaya diri bahwa asam gelugur merupakan potensi yang bisa dikembangkan menjadi produk oleh-oleh unggulan. Untuk mereka, produk-produk olahan seperti ini terkesan “biasa”, padahal menurut saya justru ini yang menjadi ciri khas karena jarang ada di tempat lain.

Masyarakat di Langkat biasa menggunakan buah gelugur sebagai pengganti asam jawa saat memasak. Kalau dikeringkan, si asam gelugur bisa jadi pengawet alami. Belakangan, potensi ini dikembangkan menjadi salah satu produk UMKM pilihan. 

Mejuah-juah, mejuah-juah…”

Salam khas masyarakat Karo ini menjadi pembuka yang terucap oleh Zuah Bangun, Program Officer, DESMA Center. Masyarakat di sini biasa menggunakannya sebagai kata ganti halo. “Kalau di Medan kata sapaannya horas, kalau di sini mejuah-juah,” lanjutnya. “Kalau di Langkat, ahoi,” ucap Ibu Lorisma yang berada di sebelah saya menjelaskan lebih detail.

Saya baru kali pertama menginjakkan kaki di Langkat, penasaran dengan suku Batak yang ternyata ada banyak. Tampak dari bahasa sapaannya saja, cukup beragam. “Di Tapanuli Utara itu [sukunya] Batak Toba, kalau Parapat menuju Medan, tepatnya di kawasan Simalungun ada Batak Simalungun. Di sini ada Batak Karo, sama dengan di Berastagi, ada Batak Toba, Batak Mandailing, juga Pakpak yang dia berbatasan dengan Aceh Singkil (Aceh Tenggara). Lalu Tapanuli Selatan, perbatasan antara Sumatera Utara dan Sumatera Barat, punya bahasa yang berbeda meski sama-sama suku Batak,” lanjut Bu Lorisma.

Tak hanya bahasa, ternyata adat, kain, makanan, hingga motif tenun di masing-masing suku Batak ini juga berbeda satu sama lain. Mungkin ini karena berdasarkan benda-benda alam yang ada di sekitar tempat tinggal masing-masing. Namun satu hal yang cukup menarik, ada satu kesamaan di antara seluruh suku Batak yang ada yakni simbol binatangnya. Semuanya sama, yakni cicak.

“Ray itu kan punya biro perjalanan yang namanya Boraspati. Nah, boraspati ini binatang yang sangat diagungkan oleh orang Batak pada umumnya karena melambangkan kemakmuran dan kesuburan. Di semua orang Batak ada.”

Belum selesai kami berbincang, biring manggis hadir menjadi pengantar hari yang bersemangat.

Menurut Bang Zuah, Batu Katak menjadi salah satu tempat terbaik untuk get lost, karena selain tidak ada sinyal selular, orang-orang yang datang ke sini bisa lepas dari pekerjaan. Kebanyakan wisatawan yang ke sini punya kehidupan hectic yang serba cepat, makanya mereka datang untuk lepas dari segala hal tersebut, bukan untuk mencari tempat yang ter-cover wifi dan sebagainya.”

Ia menegaskan, “Sulit untuk seseorang ter-distract sesuatu di sini.”

“Hampir semua wisatawan yang ke Batu Katak, memang mencari hal yang seperti itu. Bukan seperti di Bukit Lawang yang sudah ada treknya. Mereka [wisatawan] lebih suka kegiatan seperti bird watching, mengamati dan melihat yang ada. Kalau dapat melihat satwa ya itu rejeki, kalau nggak ada, dibuat fun aja!” lanjutnya.

Selain trekking di Gunung Kapur, ada beberapa aktivitas seperti trekking Goa Air, camping, tubing Sungai Berkail dan Sungai Sikelam, serta caving ke Goa Sibanyak yang bisa wisatawan jajal ketika berkunjung ke sini.

Agenda saya dan rekan-rekan lainnya hari itu adalah short trekking melintasi hutan Gunung Kapur dengan estimasi waktu kurang lebih dua jam dan tubing di Sungai Berkail. Jika beruntung, di sepanjang jalur trekking kami akan bertemu dengan satwa endemik hingga melihat bunga endemik Amorphophallus yang sudah mekar. Jantung saya berdegup lebih kencang, ini kali pertama kembali trekking semenjak pandemi.

Lubuk larangan
Lubuk larangan di Batu Katak/Mauren Fitri

Usai pembukaan, kami beranjak menuju jalur trekking. Kami berjalan berlawanan arah dengan aliran sungai. Dari atas, airnya tampak bening berwarna hijau. Beberapa orang tampak sedang memancing sembari berbincang satu sama lain. Masyarakat Batu Katak sepakat untuk menerapkan lubuk larangan—salah satu bentuk kearifan lokal dalam memanfaatkan sumber daya perikanan perairan sungai—yang mana masyarakat tidak boleh mengambil ikan di sungai, selain dengan cara memancing.

“Bahkan menangkap ikan dengan menggunakan tangan pun tidak diperkenankan. Jika menangkap dengan sarung tangan, orang bisa mendapatkan ikan cukup banyak, sedangkan memancing, jumlah ikan dapat dihitung,” terang Zuah. Oleh karena itu, lubuk larangan menjadi wujud prinsip konservasi yang dilakukan oleh masyarakat terhadap sumber daya perikanan perairan sungai.

Beberapa tahun lalu, ada program pelepasan 3.000 ikan jurung di Sungai Sikelam dan Bekali. Ikan jurung terkenal sebagai ikan seserahan para raja, karena langka dan tidak bisa dibudidayakan. Satu kilogram, harganya bisa mencapai Rp900.000. Nah, di Batu Katak, hanya dengan memancing, kita bisa mendapatkan ikan jurung. 

“Mancing di sini tidak berbayar, nggak ada rate-nya sama sekali. Masyarakat setiap sore boleh memancing, dan itu tidak dilarang sejauh mereka tidak menyetrum, meracuni, menjala, atau menangkap ikan menggunakan tangan.”

Sebelum masuk hutan, saya melewati jembatan besi, lalu bebatuan menyerupai stalaktit goa yang menyambut di sisi kanan. Warnanya krim, kecokeletan, di beberapa sisi berwarna hijau penuh dengan tumbuhan lumut. Di bawahnya, ada beberapa genangan air sisa hujan semalam, namun tak banyak. Di sisi kiri, air jernih sungai masih tampak dari pandangan. Jarak trekking kami hari itu tidak terlalu panjang, hanya sekitar 3-4 km saja, namun karena trek berliku, banyak tanjakan dan turunan, jadi terasa berjalan lebih dari 10 km.

Kami kemudian memasuki kawasan hutan basah. Vegetasi masih belum begitu rapat, pohon-pohon tinggi belum banyak saya temui. Daun kering menempel pada tanah yang masih basah. Sampai akhirnya saya mulai terperangah. Belum ada 15 menit perjalanan, kami bertemu mata air. Di sini, Pak Hepi mulai menceritakan tentang Gunung Kapur kepada saya dan Pak Johan yang saat itu berada di barisan paling belakang.

Dulunya Gunung Kapur merupakan hutan masyarakat. Hingga pada tahun 1997 sebuah perusahaan membeli lahan di sini sebesar 210 hektare untuk menjadikannya pabrik semen. Karena Gunung Kapur terletak di Batu Katak, masyarakat mengambil kesimpulan jika kawasan berubah menjadi pabrik semen, maka kampung akan hilang. “Ada kemungkinan kampung akan mendapatkan relokasi, entah di mana.”

Menjadikan Batu Katak sebagai kawasan wisata menjadi salah satu cara untuk menyelamatkan kampung. Nilai tambahnya, masyarakat sudah lama menghentikan perburuan dan penebangan liar. Mereka juga berkomitmen untuk bersatu melestarikan hutan kembali. Tahun 2013, Wisata Batu Katak resmi buka. Hingga kini, tak ada pembangunan pabrik semen dan pihak perusahaan mendukung penuh program ekowisata yang masyarakat gagas. Hutan Gunung Kapur pun, beralih fungsi menjadi hutan konservasi dengan kepemilikan tetap di pabrik semen tersebut.


Pada 22-25 September 2022 lalu, TelusuRI mengikuti kegiatan Familiarization Trip Ekowisata Batu Katak, yang diselenggarakan oleh DESMA Center sebagai tindak lanjut dari kegiatan Digitalisasi dan Promosi Ekowisata serta Penguatan Kapasitas Pelaku Ekowisata di Taman Nasional Gunung Leuser, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Batu Katak dan Amorphophallus yang Mekar (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/ke-batu-katak-untuk-melihat-amorphophallus-yang-mekar-1/feed/ 0 36035
Ke Tangkahan tapi Tidak untuk Bertemu Nicholas Saputra https://telusuri.id/ke-tangkahan-tapi-tidak-untuk-bertemu-nicholas-saputra/ https://telusuri.id/ke-tangkahan-tapi-tidak-untuk-bertemu-nicholas-saputra/#respond Sat, 27 Aug 2022 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=34961 Jika kita mengikuti Nicholas Saputra di Instagram atau menonton video klip “Adu Rayu” pasti familiar dengan tempat ini. Video klip tersebut diambil di Tangkahan, sebuah kawasan ekowisata yang merupakan bagian dari Taman Nasional Gunung Leuser,...

The post Ke Tangkahan tapi Tidak untuk Bertemu Nicholas Saputra appeared first on TelusuRI.

]]>
Jika kita mengikuti Nicholas Saputra di Instagram atau menonton video klip “Adu Rayu” pasti familiar dengan tempat ini. Video klip tersebut diambil di Tangkahan, sebuah kawasan ekowisata yang merupakan bagian dari Taman Nasional Gunung Leuser, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.

Tangkahan sendiri dikenal sebagai tempat penangkaran gajah Sumatera dan merupakan habitat alami dari berbagai jenis satwa liar. Tidak hanya itu, lokasi ini juga merupakan pertemuan beberapa sungai yaitu Sungai Buluh, Sungai Batang Serang, dan Sungai Musam di bagian hilirnya. Selain sebagai tempat penangkaran satwa liar, masyarakat lokal juga mengelola wilayah ini sebagai tempat wisata alam dengan berbagai aktivitas seru di dalamnya. 

Jembatan dalam video Adu Rayu
Jembatan dalam video Adu Rayu/Shara Tobing

Lokasi ekowisata Tangkahan bisa dicapai dengan 3 jam berkendara dari Kota Medan dengan membawa kendaraan pribadi. Kalau enggan membawa kendaraan sendiri, kamu bisa juga mencoba kendaraan umum seperti mobil travel dari Pinang Baris. Tarifnya cukup murah, sekitar Rp30.000-Rp50.000 untuk satu kali jalan Dengan menggunakan travel, kamu akan diantarkan langsung sampai ke lokasi penginapan yang kamu tuju. Beberapa penginapan seperti Terarrio Tangkahan bahkan menyediakan jasa penjemputan langsung dari Bandara Kualanamu, Medan.

Ada banyak penginapan yang dikelola secara mandiri oleh masyarakat lokal yang bisa kamu pesan baik langsung melalui pemandu wisata atau marketplace perjalanan. Sebelum masa pandemi, mayoritas masyarakat mengandalkan sektor pariwisata sebagai mata pencaharian utama. Namun karena pandemi COVID-19, banyak masyarakat yang harus beralih mata pencaharian menjadi pekerja di perkebunan sawit yang lokasinya berdampingan dengan wilayah ekowisata Tangkahan. Perubahan mata pencaharian ini diakibatkan oleh turunnya angka wisatawan asing dan lokal akibat dari dilakukannya pembatasan wilayah dan penutupan alur masuk penerbangan luar negeri. 

Berinteraksi langsung dengan para gajah
Berinteraksi langsung dengan para gajah/Shara Tobing

Salah satu aktivitas andalan di wilayah ekowisata ini adalah memandikan dan memberi makan gajah, serta rafting menyusuri sungai. Untuk memberikan makan dan memandikan gajah kamu perlu untuk merogoh kocek sebesar Rp100.000/orang. Kamu dapat berinteraksi langsung dengan beberapa gajah yang ada di penangkaran, memberi makan, berfoto bersama dan bisa pula ikut membantu para pawang memandikan gajah. Kegiatan memberi makan gajah ini dilakukan dua kali sehari di jam 08.00 dan jam 15.00, maka dari itu pastikan kamu datang tepat waktu ya. Semua kegiatan di sini tentunya dilakukan dibawah pengawasan, jadi kamu tidak perlu takut untuk berinteraksi langsung dengan para gajah di sini.

Tidak hanya memberi makan gajah, kamu juga bisa makan siang di tepi sungai sambil menikmati suasana hutan yang masih asri. Lengkap dengan gemericik air sungai, dan tentunya udara segar.

Masyarakat desa sekitar Tangkahan sangat peduli terhadap konsep pariwisata berkelanjutan. Pengelolaan dana retribusi lokasi ekowisata dimanfaatkan dengan sangat apik dan tentunya merata bagi setiap bagian masyarakat. Pengelolaan lokasi ekowisata dilakukan dengan memberdayakan setiap lapisan masyarakat yang ada. Para pemuda misalnya, tergabung dalam sebuah kelompok yang fokus terhadap penyediaan fasilitas ekowisata dan menjadi pemandu wisata bagi pelancong yang datang.

Kelompok perempuan, khususnya para ibu menjajakan makan siang dan jajanan ringan di sepanjang sungai khususnya pada spot yang ramai dengan wisatawan. Selain itu, beberapa pemuda dan kelompok ibu juga diberdayakan untuk melakukan kegiatan pembersihan di sepanjang sungai setiap sore hari untuk memastikan bahwa tidak ada sampah yang berserakan dan mengotori sungai. Selama perjalanan pula, para pemandu wisata tidak henti-hentinya mengingatkan para pengunjung untuk tidak membuang sampah sembarangan.

Selain bertemu dengan gajah, kamu juga bisa mencoba beberapa kegiatan lain seperti rafting dan eksplorasi beberapa bagian sungai seperti air terjun, sumber air panas, hingga camping di tengah hutan. Dengan merogoh kocek sebesar Rp250.000/orang kamu akan dibawa menyusuri sungai dengan rafting, menuju beberapa spot pemandian yang indah serta makan siang di tepi sungai yang tentunya sangat instagramable.

Menuju Pantai Kupu Kupu setelah rafting
Menuju Pantai Kupu-kupu setelah rafting/Shara Tobing

Salah satu spot tersebut yakni Pantai Kupu-kupu. Sesuai dengan namanya, di kala siang hari akan ada banyak sekali kupu-kupu berterbangan di sekitar sungai. Menurut masyarakat sekitar, kupu-kupu ini tertarik dengan bau manusia jadi semakin ramai tempat tersebut maka akan semakin banyak pula kupu-kupu yang bertebangan di sekitar sungai. Oh iya, katanya juga spot ini menjadi tempat favorit Nicholas Saputra loh.

Berhubung lokasi ini ditempuh dengan melewati jalur sungai yang cukup berbatu dan berarus deras, pastikan bahwa kalian menggunakan pakaian dan sendal yang sesuai untuk mempermudah perjalanan. Perlu diingat pula bahwa untuk mengunjungi bagian ini kalian perlu untuk didampingi oleh para pemandu wisata yang paham betul akan kondisi alam. Maklum, kepercayaan lokal masih cukup kuat dipegang oleh masyarakat sekitar. Mereka akan membaca tanda-tanda alam yang menentukan apakah lokasi aman untuk dikunjungi. Jadi jangan sekali-kali iseng pergi sendiri ya. 

Selain mengunjungi Pantai Kupu-kupu, kita juga bisa mengunjungi sumber air panas yang berada di tengah celah tebing batu. Tempat ini terbilang cukup unik sebab hanya muat untuk tiga orang dewasa. Menurut masyarakat, pasir yang berada di air panas ini ampuh untuk mengobati berbagai penyakit kulit dan jerawat, jadi jangan kaget kalau ketika kamu datang ada banyak orang rela mengantre untuk berendam.

Pantai Kupu Kupu
Pantai Kupu-kupu/Shara Tobing

Perjalanan selanjutnya akan membawa kamu ke air terjun di pinggir sungai. Meskipun air terjun ini tidak terlalu tinggi, namun spot ini menjadi lokasi favorit bagi anak-anak kecil. Menariknya, lokasi sungai ini tidak hanya ramai oleh wisatawan, tetapi juga ramai oleh masyarakat sekitar yang menjadikannya lokasi pemandian sehari-hari. Di lokasi ini pula, pemandu wisata telah menyediakan makan siang yang didesain layaknya piknik tepi sungai. Setelah mengunjungi air terjun, kita bisa melanjutkan aktivitas dengan rafting kembali sekitar 15-20 menit melewati aliran sungai yang tenang dan jernih. 

Beberapa homestay milik masyarakat sengaja berlokasi di tengah hutan, masih berada dekat dengan aliran sungai. Tentunya menambah kesan asri. Pemandu wisata yang membawa saya dan keluarga mengatakan bahwa ada banyak sekali wisatawan asing yang memilih untuk menginap di Tangkahan selama berbulan-bulan. Mereka tidak hanya mencari tempat yang mungkin sulit didapatkan dari negara asal namun juga belajar mengenai konservasi hewan liar, hingga belajar budaya dan kultur masyarakat setempat. Tak sedikit yang akhirnya fasih bahasa Indonesia, bahkan bahasa masyarakat setempat setelah berbulan-bulan tinggal di sini. 

Meski belum banyak terdengar, dan bahkan belum menjadi destinasi prioritas di Indonesia, Tangkahan memiliki potensi luar biasa yang menurut saya perlu terus dikembangkan. Wisata edukatif, berbasis pengelolaan masyarakat setempat masih menjadi tantangan tersendiri di Indonesia.

Walaupun para pemandu wisata sangat mengharapkan adanya lonjakan pengunjung yang dapat berkontribusi positif terhadap ekonomi masyarakat setempat, mereka sempat pula mengeluhkan adanya potensi dampak negatif terhadap kondisi alam jika terlalu banyak pengunjung datang. Dengan demikian, mereka sangat mengharapkan adanya bantuan dan perhatian lebih dari pemerintah guna menemukan mekanisme yang tepat dalam pengelolaan pariwisata berkelanjutan di Tangkahan. Setelah mengarungi sungai, pengunjung akan sampai di lokasi terakhir, bagian sungai yang cukup landai dan berbatu. Dari sini pengunjung mobil off-road akan mengantarkan pengunjung kembali ke penginapan.

Perjalanan kali ini sangat bermakna untuk saya. Selain menyusuri alam yang masih sangat terjaga, masyarakat lokal sudah sadar pariwisata sehingga saat berjumpa dengan wisatawan, mereka akan menyapa dengan ramah. Jadi, kapan kamu akan berkunjung ke sini?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Ke Tangkahan tapi Tidak untuk Bertemu Nicholas Saputra appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/ke-tangkahan-tapi-tidak-untuk-bertemu-nicholas-saputra/feed/ 0 34961
Menyusuri Pelaruga di Langkat https://telusuri.id/menyusuri-pelaruga-di-langkat/ https://telusuri.id/menyusuri-pelaruga-di-langkat/#respond Thu, 21 Jul 2022 03:28:00 +0000 https://telusuri.id/?p=34624 Pagi itu, saya bersama dengan keenam teman indekos pergi meninggalkan Kota Medan, melaju menuju suatu tempat yang direkomendasikan Gina. Kebetulan rumah Gina berada di Kabupaten Langkat yang tak jauh dari lokasi yang ingin kami tuju...

The post Menyusuri Pelaruga di Langkat appeared first on TelusuRI.

]]>
Pagi itu, saya bersama dengan keenam teman indekos pergi meninggalkan Kota Medan, melaju menuju suatu tempat yang direkomendasikan Gina. Kebetulan rumah Gina berada di Kabupaten Langkat yang tak jauh dari lokasi yang ingin kami tuju yakni Pelaruga.

Dengan mengendarai sepeda motor, saya menikmati perjalanan selama satu jam lebih. Sebelumnya, saya dan teman-teman menjemput Gina di persimpangan jalan. Sesaat setelahnya, kami melipir ke tepi karena beberapa laki-laki menghentikan motor saya. Berbagai hal muncul di kepala, yang saya ingat hanya orangtua di kampung. Lalu merasa bersalah karena belum meminta izin terlebih dahulu kepada mereka.

Mujurnya, ada warga yang melihat saya dari kejauhan dan memberi isyarat untuk meninggalkan sekumpulan laki-laki tersebut. Saya dan teman-teman mulai panik dan mengikuti langkah warga tersebut. Beliau adalah tokoh masyarakat setempat. Dengan baiknya beliau mengakui saya dan teman-teman sebagai saudara yang ingin berkunjung ke rumahnya kepada sekumpulan laki-laki yang menghentikan sepeda motor tadi. Akan tetapi, tak semudah itu untuk menerima kebaikan orang yang baru dikenal, beberapa pertanyaan juga muncul di kepala saya, “Bisa saja beliau bagian dari sekumpulan laki-laki  yang mencegat kami di jalan, bukan?” Kemudian bantahan itu terpatahkan, sebab Gina mengenali si bapak. 

Perjalanan pun kami lanjutkan dengan rasa takut, senang, dan sedih yang bercampur menjadi satu. Sekitar lima belas menit dari kediaman si bapak, kami sampai di tujuan. Motor telah terparkir rapi, akan tetapi kolam abadi tak kunjung saya temui. Hanya ada sambutan hangat dari sablon ukuran besar yang bertuliskan “Mejuah juah Pelaruga”. Kata mejuah juah sendiri merupakan bahasa Karo yang berarti sejahtera. Biar saya beri tahu dahulu, saya bersama enam rekan lain. Mereka adalah Dina, Ade, Fitri, Lia, Wita, dan Gina. Tak ada satu pun laki-laki di antara kami.

Pemandu Alam Rumah Galuh
Pemandu Alam Rumah Galuh/Anggi Kurnia Adha

Seorang laki-laki kemudian menghampiri dan berkata “Mau ke Pelaruga, Kak?” serentak kami mengiyakan pertanyaannya. Ternyata ia adalah salah satu guide di Pelaruga, namanya Bang Asrul. Dengan membayar lima puluh ribu rupiah, sudah bisa menikmati keindahan Pelaruga. Biaya tersebut sudah termasuk parkir dan guide.

Bang Asrul menjelaskan peraturan selama di Pelaruga dan memberitahu kami untuk membawa satu ponsel saja menuju lokasi. Hal ini dilakukan agar meminimalisir hal-hal yang tak diinginkan. Sebab destinasi yang kami kunjungi adalah wisata air. Selain itu, Bang Asrul juga menjelaskan untuk tidak membuang sampah sembarangan dan berbicara kotor. Tentu saja, sebagai pengunjung kita wajib mematuhinya.

Bang Asrul, Guide di Pelaruga
Bang Asrul, guide di Pelaruga/Anggi Kurnia Adha

Setelah mengurus registrasi dan menitipkan barang-barang, saya dan teman-teman mengikuti langkah kecil Bang Asrul menuju lokasi pertama, “kolam abadi”. Perlahan langkah demi langkah menyusuri jalanan. Kanan dan kiri alam masih asri, hijau, pohon-pohon masih terus bertumbuh. Sesekali terdengar suara kicauan burung yang menjadi asupan energi  tersendiri.

Di tengah perjalanan, kami harus melewati titian yang terbuat dari bambu. Awalnya saya ragu karena takut jatuh, terlebih jika melihat ke bawah. Ada aliran air yang cukup deras. Namun, saya kumpulkan keberanian karena kami semakin dengan tujuan. Saya menandainya dengan suara gemericik air semakin keras, pertanda sumber air semakin dekat.

“Kolam Abadi” dengan airnya yang bening seperti kaca
“Kolam Abadi” dengan airnya yang bening/Anggi Kurnia Adha

Tak lama, kami sampai di sana. Dari kejauhan tampak “kolam abadi” dengan airnya yang bening seperti kaca. Warnanya biru, agak kehijauan. Kedalamannya mencapai hampir 3 meter. Karena sudah mengenakan pelampung, saya tak ragu untuk menceburkan diri, menikmati dingin dan segarnya kolam yang mulai terkenal setelah masuk dalam tayangan program travelling di salah satu stasiun televisi.

Dari sini, Bang Asrul kemudian mengajak saya dan teman-teman menuju titik “wisata” kami selanjutnya. Dengan pakain basah, kami menapaki jalanan naik dan turun untuk sampai tujuan. Ia membawa kami ke sebuah tempat yang lebih tinggi untuk bisa merasakan lompatan menuju aliran kolam. Tanpa berpikir panjang, satu persatu diantara kami pun mencobanya. Tentu saja bukan saya yang pertama mencoba, mengingat kaki baru saja pulih dari operasi.

Tak lupa, Bang Asrul memberi arahan untuk duduk di dalam air dengan saling mengulurkan kaki ke depan dan memegang erat kaki teman-teman. Dengan begitu tubuh kami membentuk seperti rel kereta api atau biasa disebut body rafting, siap melaju dengan arus air menuju Air Terjun Teroh-Teroh, lokasi berikutnya.

Saat mendekati air terjun, kami kembali trekking dengan medan yang cukup miring setelah keluar dari air. Lalu, kami menapaki anak tangga dengan tali yang tergenggam erat di tangan untuk sampai ke permukaan air terjun. Air tampak mengalir deras dari tebing-tebing bebatuan, tanda bahwa kami sudah tiba di Air Terjun Teroh-Teroh. 

Air terjun Teroh-Teroh
Air Terjun Teroh-Teroh/Anggi Kurnia Adha

Kami menepi di salah satu tumpukan kayu besar yang berada di dalam permukaan air. Dengan langkah penuh hati-hati dan saling menggenggam tangan satu sama lain, kami akhirnya bisa berdiri di atas bongkahan kayu besar. Dengan begitu, air dari Air Terjun Teroh-Teroh langsung mengalir dan menyentuh tubuh kami.

Setelah menyusun barisan dengan rapi di bongkahan kayu besar, Bang Asrul mengabadikan kebersamaan kami yang bagaikan tujuh bidadari penghuni air terjun. Sesekali saya dan teman-teman memijat bahu satu sama lain untuk menambah stamina yang sudah terkuras selama perjalanan. 

Sekitar lima belas menit berada di atas bongkahan kayu besar, Bang Asrul mengarahkan kami untuk turun kembali ke dalam air agar tidak terus menggigil kedinginan. Pun, hari semakin gelap. Pertanda kami harus berpisah dengan Air Terjun Teroh-Teroh. 

Anak tangga kembali kami naiki dengan sedikit beban yang semakin bertambah, yaitu baju saya dan teman-teman sudah basah. Sehingga tali kembali menjadi pacuan untuk bisa sampai ke atas. Saya dan teman-teman mengucapkan terima kasih dengan adanya Bang Asrul yang begitu mengayomi dan memaklumi  tingkah laku perempuan seperti saya, Dina, Ade, Fitri, Lia, Wita, dan Gina. 

Perjalanan menyusuri Pelaruga di Kabupaten Langkat akan menjadi perjalanan yang sangat dirindukan. Setelah sampai di posko awal, saya dan teman-teman berbenah diri dan kemudian berpamitan dengan Bang Asrul juga masyarakat setempat. Perjalanan pun kembali dilanjutkan menuju indekos di Medan. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menyusuri Pelaruga di Langkat appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menyusuri-pelaruga-di-langkat/feed/ 0 34624
Sejenak Kembali ke Pangkuan Tanah Asal di Kawasan Toba https://telusuri.id/sejenak-kembali-ke-tanah-asal-di-kawasan-toba-sumatera-utara/ https://telusuri.id/sejenak-kembali-ke-tanah-asal-di-kawasan-toba-sumatera-utara/#respond Tue, 18 Jan 2022 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=32312 Sebagai seseorang berdarah Batak sepertinya tak mungkin jika belum pernah menginjak kaki di tanah asal, yakni di Sumatera Utara. Pendapat tersebut bisa dipatahkan oleh pengalaman saya sendiri. Benar, di tahun 2017 tepat umur saya beranjak...

The post Sejenak Kembali ke Pangkuan Tanah Asal di Kawasan Toba appeared first on TelusuRI.

]]>
Sebagai seseorang berdarah Batak sepertinya tak mungkin jika belum pernah menginjak kaki di tanah asal, yakni di Sumatera Utara. Pendapat tersebut bisa dipatahkan oleh pengalaman saya sendiri. Benar, di tahun 2017 tepat umur saya beranjak dua puluh enam tahun pertama kalinya bagi saya dapat merasakan tanah asal saya sendiri, yakni di Balige, sebuah kota di kawasan Toba, Sumatera Utara.

Hasilnya? Saya terpana menikmati alam yang dimiliki tanah darah asal saya tersebut. Ah, terlalu banyak bergaul dengan gedung-gedung pencakar langit memang saya ini hingga lupa akan keindahan asli alam dan adat yang dimiliki kampung sendiri.

Danau Toba
Pelabuhan Penyeberangan Ajibata/Ruth Stephanie

Menyusuri Beberapa Kawasan di Sumatera Utara untuk Tiba di Balige, dari Medan hingga Parapat

Mendarat dengan selamat di Bandara Kualanamu kerap membuat saya tersenyum, tentu saja karena bahasa yang sering terdengar adalah bahasa Ibu alias bahasa Batak. Ada sedikit rasa malu di diri ini untuk mengakui bahwa saya tidak bisa berbahasa Batak.

Saya malah lebih bisa berbicara menggunakan bahasa orang luar sana, karena tuntutan pekerjaan di ibu kota. Bandara Kualanamu bukan di Medan, pun sama faktanya dengan bandara Soetta yang bukan berada di Jakarta. Hal itu yang sudah saya ketahui, karena memang tahun 2017 lalu adalah perjalanan kedua saya ke Medan. 

Dari Deli Serdang ke kota Medan memang cukup menyita waktu, tapi saat itu saya bisa perkirakan bahwa saya akan tiba di ibu kota Sumatera Utara itu di jam makan siang. Di kepala saya sudah berlarian ide-ide menu makan siang yang akan saya santap. Setibanya di salah satu pool bus trayek Kualanamu-Medan, saya pun turun. Di dalam bus tadi, saya sempat bertanya kepada seorang Inang (Ibu) di mana restoran lokal terdekat dari pool bus ini. Beliau menjawab tentu saja dengan logat Batak yang kental, “Oh, banyaklah lapo di dekat situnya. Tinggal kau pilih. Atau mau bakmi siantar juga ada di sana, banyak.

Alhasil saya memilih bakmi siantar di salah satu rumah makan yang sederhana, tetapi begitu memasukinya terasa wangi rempah menjalar ke indera penciuman ini. Bakmi siantar yang disajikan juga sangat menggoda terlebih saat disantap siang hari. Setelah santap siang, hari ini saya akan bermalam terlebih dahulu di rumah salah satu saudara. Esok harinya akan saya lanjutkan perjalanan menuju Toba. 

Keesokan paginya, saya sudah siap untuk melanjutkan perjalanan. Dengan dilengkapi bekal dari sanak saudara, perjalanan berjam-jam ini pasti akan menyenangkan. Dari jendela mobil saya bisa melihat pemandangan tiap kawasan, seperti Lubuk Pakam, Tebing Tinggi, Pematang siantar, hingga tiba di Parapat. Di kawasan Parapat lah, Danau Toba dapat terlihat begitu menawan. Tentu saja, kesempatan seperti ini tidak akan saya buang begitu saja. Saya berencana untuk menginap satu malam di salah satu penginapan di Parapat.

Setelah selesai mengurus penginapan di salah satu hotel dengan akses langsung ke Danau Toba, saya cepat-cepat mencari apa yang menarik di sini dengan bertanya langsung dengan penduduk sekitar. Jawabannya tentu saja menunjuk ke Desa Wisata Tomok. Kemudian, saya pun bergegas ke Pelabuhan Penyeberangan Ajibata untuk bisa menaiki perahu menuju Tomok.

Di atas perahu berkali-kali saya mengambil gambar melalui kamera ponsel menangkap panorama danau vulkanik terbesar di dunia ini. Faktanya bahwa Danau Toba selain danau vulkanik terbesar di dunia, juga masuk ke dalam daftar 15 danau terbesar di dunia dan masuk ke dalam sepuluh besar danau terdalam di dunia. Bagaimana tidak jika kedalaman danau yang masuk ke beberapa kabupaten ini mencapai sekitar 500 meter.

Setibanya di Tomok, tentu saja saya tidak heran berbagai macam lapak buah tangan berada di sini. Desa Wisata Tomok sudah masuk ke dalam tujuan wisata di kawasan Toba. Di sini terdapat Museum Batak, hingga pertunjukkan boneka Sigale-gale menjadi daya tarik untuk para wisatawan. Di sana pun saya juga menyantap siang, tentu saja dengan makanan khas Batak, ada ikan arsik ditambah sambal tuktuk yang dapat menggoyang lidah para penikmatnya.

Danau Toba
Danau Toba/Ruth Stephanie

Perjalanan Kembali ke Tanah Asal, Balige

Keesokan paginya, setelah selesai menyantap lezatnya lampet dan teh manis hangat, saya akan melanjutkan perjalanan ke Balige. Katanya sih sudah tidak jauh lagi dari Parapat. Benar saja, kurang lebih dua jam saya melewati kawasan seperti Porsea dan Humbang Hasundutan, saya sudah tiba di Kota Balige. Sepanjang perjalanan, salah satu hal yang kerap saya dapatkan adalah bangunan makam dengan ukuran lumayan besar selalu ada di samping rumah penduduk.

Tepat di depan pasar tradisional Balige, saya turun dari mobil carteran yang telah mengantar saya ke sini dari Parapat. Musik khas Batak yang dipasang di dalam pasar jelas bisa saya dengar, ya dapat dikatakan menjadi backsound saat saya berjalan ke arah alamat sebuah rumah sederhana. Beberapa kali bertanya ke pejalan kaki di mana alamat tersebut, sepuluh menit kemudian saya telah tiba di depan rumah tanpa pagar. Ada anak kecil yang keluar masuk dari sana.

Butuh belasan jam menggunakan transportasi udara dan darat, melewati berbagai kawasan yang memiliki kekhasannya masing-masing untuk tiba di tempat ini. Tempat yang seharusnya saya katakan sebagai rumah. Sejenak saya pulang ke pangkuan tanah asal di mana orang tua saya dilahirkan dan dibesarkan, di Toba, Balige, Sumatera Utara.

“Horas!” Kata saya seraya langkah pertama memasuki rumah sederhana itu.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu!

The post Sejenak Kembali ke Pangkuan Tanah Asal di Kawasan Toba appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sejenak-kembali-ke-tanah-asal-di-kawasan-toba-sumatera-utara/feed/ 0 32312
Suasana Bali di Pantai Bali Lestari, Serdang Bedagai https://telusuri.id/suasana-bali-di-pantai-bali-lestari-serdang-bedagai/ https://telusuri.id/suasana-bali-di-pantai-bali-lestari-serdang-bedagai/#comments Sat, 25 Sep 2021 00:52:00 +0000 https://telusuri.id/?p=30543 Random banget seharian bosan di rumah, lihat berita tentang COVID-19 tak ada habisnya. Saya putuskan ikut keluar bersama 3 pasang teman yang sudah berumahtangga. Berusaha menjadi jomblo happy dengan mengendarai motor sendiri.  Setelah mengadakan diskusi...

The post Suasana Bali di Pantai Bali Lestari, Serdang Bedagai appeared first on TelusuRI.

]]>
Random banget seharian bosan di rumah, lihat berita tentang COVID-19 tak ada habisnya. Saya putuskan ikut keluar bersama 3 pasang teman yang sudah berumahtangga. Berusaha menjadi jomblo happy dengan mengendarai motor sendiri. 

Setelah mengadakan diskusi ringan, dan menyelesaikan makan siang kami memutuskan untuk mengunjungi pantai. Sebuah pantai yang sudah lama menjadi pusat perhatian warga Sumatera, khususnya Kota Medan, namanya “Pantai Bali Lestari”. Letaknya juga tak jauh dari kota Medan. Kurang lebih 1 jam untuk sampai di lokasi, tepatnya di Serdang Bedagai. 

Matahari bersahabat hari ini, saya yang mengendarai motor sendiri harus sabar menyaksikan genggaman erat para istri di belakang supirnya masing-masing, yang tak lain adalah suami mereka sendiri. Sedangkan saya, harus bergenggaman dengan setir motor. Tak apa, pikir saya. Kelak juga akan merasakan yang sama. 

Payung Gantung
Payung Gantung/Anggi Kurnia Adha

Setelah menempuh jalanan penuh debu dan angin yang kian masuk ke tubuh, kami pun sampai di Pantai Bali-nya Sumatera. Baru saja memarkirkan motor, lagu khas Jawa sudah berdendang di telinga. Padahal jarak parkiran dengan pintu masuk cukup jauh. Kami pun  disambut dengan ramah oleh pelayan yang mengenakan bunga tepat di belakang telinganya, lengkap dengan pakaian khas Jawa.

Berdirinya pohon pinus dengan sejajar menambahkan suasana yang damai di tepi pantai.  Tidak hanya itu, berbagai patung yang diukir menjadikan pantai ini benar-benar ingin mengenalkan budaya Bali. Di pintu masuk saja sudah berdiri kokoh beberapa patung besar beserta gapuranya. Bukan cuma patung Bali yang menjadi daya tarik, akan tetapi payung-payung yang bergantungan menjadi hal unik. Saya tidak mengerti filosofi payung warna-warni tersebut, yang saya tahu payung berfungsi untuk melindungi diri dari buruknya cuaca.

Patung Bali
Patung Bali/Anggi Kurnia Adha

Perlahan saya mulai mendekati suara yang sedari tadi sudah memanggil ketenangan jiwa. Itu adalah deburan ombak. Meskipun air lautnya tidak sebening Bali, tapi angin laut tetap memberikan ketenangan yang sama. Alam sungguh magis, sebab mampu menyejukkan hanya dengan sekali tarikan napas. 

Deburan ombak beradu keras dengan suara kapal-kapal kecil mencari penumpang yang ingin menyeberang. Tak banyak yang menaiki kendaraan laut tersebut, mungkin karena cuaca yang tak menentu akhir-akhir ini menjadi alasannya. Atau tidak ada pulau di seberang yang bisa dikunjungi. Meski begitu, beberapa remaja terlihat bermain banana boat dengan serunya. Sesekali teriakan dan tawa terdengar nyaring. 

Saya urungkan niat untuk bermain air dan meninggalkan mereka Saya memilih berjalan mengitari tepi pantai, melihat senja mulai menunjukkan rupanya. Perlahan matahari mulai turun, pertanda malam akan segera turun. Semilir angin menyadarkan saya dalam lamunan, bahwa yang saya lihat adalah senja, bukan kenangan bersama mantan. 

Berjalan Mengitari Tepi Pantai
Berjalan Mengitari Tepi Pantai/Anggi Kurnia Adha

Ketika mengitari tepi pantai, saya melihat sebuah patung wanita yang sangat tak asing tokohnya dalam cerita Indonesia. Rambutnya diukir begitu panjang, dengan mengenakan pakaian duyung. Di satu sisi patung itu mirip dengan putri duyung, di sisi lain ia juga terlihat seperti Ratu Roro Kidul. Saya tak memahami apa maksud patung tersebut berdiri kokoh di tepi pantai. Untung saya tak mengenakan baju hijau, seperti yang dikisahkan. Konon katanya Ratu Laut tersebut akan membawa siapa saja ke dunianya yang memakai baju hijau jika di laut. Tak perlu untuk dipercaya, tapi tak salah juga jika tak ingin mengenakan warna baju yang dimaksud. Hidupkan pilihan, apa lagi soal keyakinan. 

Setelah menikmati alam dan segala kemistisannya, saya dan tiga pasang suami istri mulai mengabadikan gambar dan beberapa video. Sudah dipastikan saya yang akan memotret mereka dan sudah jelas bahwa mereka juga yang mengambil gambar saya. Namanya juga manusia, harus saling membutuhkan. Mereka perlu gambar untuk mengenang kebersamaan di pantai, saya perlu juga untuk mengabadikannya di sosial media. 

Icon Pantai Bali Lestari
Icon Pantai Bali Lestari/Anggi Kurnia Adha

Angin sepoi-sepoi membuat daun pinus menari ke kanan dan kiri seirama. Menyejukkan mata melihatnya. Saya pun duduk tepat dikelilingi pohon-pohon tersebut. Ternyata perut mulai menggerutu, waktunya menyantap makanan sesuai dengan isi kantong masing-masing. Kalau di pantai enaknya makan seafood, akan tetapi cuan tak mencukupi. Saya hanya memesan semangkuk mie instan dan secangkir kopi. Perpaduan yang dapat mengenyangkan dan mengurangi rasa kantuk ketika berkendara akan pulang. Maklum, saya masih mahasiswa. Bisa liburan di pantai saja sudah bahagia, apa lagi adanya kopi dan semangkuk mie, inilah definisi jomblo happy

Langit semakin gelap, matahari tak lagi terlihat. Waktunya untuk pulang. Saya lupa, kalau semakin sedikit cahaya, semakin sulit untuk melihat. Silindris ini menjadi tantangan bagi saya agar bisa menaklukan rasa takut. Bila saat perjalanan menuju Pantai Bali Lestari memakan waktu 1 jam. Untuk pulang ke rumah saya harus sabar menempuh waktu kurang lebih 2 jam. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Suasana Bali di Pantai Bali Lestari, Serdang Bedagai appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/suasana-bali-di-pantai-bali-lestari-serdang-bedagai/feed/ 1 30543
Wisata Bah di Bah-Biak, Sumatera Utara https://telusuri.id/wisata-bah-di-bah-biak-sumatera-utara/ https://telusuri.id/wisata-bah-di-bah-biak-sumatera-utara/#respond Wed, 14 Jul 2021 11:30:00 +0000 https://telusuri.id/?p=28688 Akhirnya libur semester tiba. Liburan ini kami gunakan untuk refreshing sekadar menenangkan pikiran dan jiwa. Sekian lama memikirkan tempat mana yang akan dikunjungi, akhirnya saya dan teman-teman memilih sepakat untuk pergi menikmati alam di tempat...

The post Wisata Bah di Bah-Biak, Sumatera Utara appeared first on TelusuRI.

]]>
Akhirnya libur semester tiba. Liburan ini kami gunakan untuk refreshing sekadar menenangkan pikiran dan jiwa. Sekian lama memikirkan tempat mana yang akan dikunjungi, akhirnya saya dan teman-teman memilih sepakat untuk pergi menikmati alam di tempat wisata terdekat dengan rumah kami. Kami pun pergi memilih tempat pemandian yang ada di Bah-Biak, Kecamatan Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Alasan kami memilihnya selain karena dekat adalah tempat ini memiliki destinasi alam yang mampu memanjakan setiap mata pengunjung.

Tempat itu dikenal dengan Air Terjun Bah Biak, air terjun yang memiliki empat aliran jatuhnya air. Ada banyak jejak sejarah yang tertinggal di tempat itu. Mesin pompa air buatan Belanda untuk dialirkan ke rumah penduduk menjadi salah satu buktinya. Air yang langsung diperoleh dari akar pohon membuat tempat indah ini terlihat alami.

Mesin pemompa air buatan Belanda/Cici Silalahi

“Baik buruk itu selalu berdampingan” begitulah kata para warga sekitar jika mereka mendapati pengunjung yang mengeluh ketika hendak turun menuju air terjun. Ada 500 tangga yang harus dijalani untuk sampai ke bawah. “Menguras tenaga memang, itu buruknya tetapi baiknya adalah setiap 100 tangga terlewati, kita akan disuguhkan oleh keindahan alam yang sangat alami.” Begitulah ucap pemuda yang menjadi pemandu wisata tempat itu.

Pemandangan dari atas tangga dengan jumlah 300 anak tangga/Cici Silalahi

Ada banyak yang akan menyegarkan mata dan jiwa, dan didukung suasana hutan yang masih terlihat gelap semakin menambah keasriannya. Ketika tangga ke 200 dilewati, maka pengunjung akan disajikan oleh pemandangan hutan yang memiliki akar pohon berair. Artinya, dari akar pohon itulah sumber air yang akan jatuh menjadi air terjun wisata alam. Nah, sebelum mencapai tangga ketiga ratus, pengunjung akan kembali diperlihatkan oleh mesin pompa air buatan Belanda. Bentuknya yang unik dengan suara yang dihasilkan sangat meyakinkan para pengunjung untuk melihatnya.

Sebelum meninggalkan tangga-tangga ini, seharusnya pengunjung akan merasa kelelahan. Namun tidak pada akhirnya karena percikan air terjun menghilangkan rasa lelah dan membasahi kerongkongan yang kian terasa kering. Sesampainya di dasar, pengunjung akan menikmati suara jatuhnya air terjun dan kesegaran alam yang begitu luar biasa sensasinya.

Di depan air terjun terdapat pula sungai yang sangat jernih dan bersih hasil terusan mata air dari tempat tinggi sebelum daerah Bah ini. Banyak kebiasaan yang dilakukan para pengunjung maupun warga di tempat ini. Saya melihat ada banyak pondok yang didirikan tepat 25 meter dari depan air terjun. Pengunjung dapat menikmati pemandangan alam yang menyegarkan sambil bersantai ria di pondok milik warga. Harganya yang terjangkau dan makanan khas yang disajikan pun semakin mendukung jiwa travel yang meronta-ronta.

“Saya kagum dengan buatan Tuhan di tempat ini. Budaya yang berbeda-beda menjadi tim pengelola kebersihan, perancang, dan penjamin protokol kesehatan. Kekerabatan dan Kerjasama serta gotong royong masih sangat kental,” gumamku.

Sebagai warga yang berada di domisili sekitar destinasi ini, saya merasa bangga dengan sikap masyarakat yang sangat membudaya. Para warga yang sering melihat pengunjung dengan berbagai budaya tidak menjadi fanatik atau terkontaminasi. Salah satu teman saya yang turut mengambil bagian sebagai tim gugus COVID-19 mengarahkan saya untuk naik ke atas lewati tangga gelap. Ternyata ada jalan pintas yang bisa sampai ketempat yang dituju melalui melalui tangga gelap.

“Dekat sih, tapi gelap. Nggak ada yang bisa dilihat-lihat. Pantas saja warga sini berprinsip baik buruk itu selalu berdampingan,” ucap ku padanya.

Tangga gelap memberi pengajaran kepada siapa saja manusia yang mau berjuang dalam mencapai sesuatu. Saya menemukan dari tangga yang belum beraturan banyak tenaga yang harus terkuras. Namun untuk mendapatkan keinginan hati dan penyegaran jiwa, saya dan teman-teman  memilih untuk terus mendaki maupun menuruni tangga ini.

Air Terjun Bah Biak ini juga dikelilingi perkebunan teh milik perusahaan negara. Wisata ini ditutupi oleh bukit-bukit perkebunan sehingga menambah kesejukan alam yang masih sangat alami. Setiap pengunjung yang berasal dari berbagai daerah pasti akan mendapatkan sajian instan untuk menyegarkan pandangan. Bisa juga dikatakan sebagai “obat refreshing.”

Terdapat tim yang akan menyambut para pengunjung. Pengunjung akan membayar Rp10.000 untuk masuk ke daerah destinasi melalui tangga gelap. Alasannya untuk pembangunan tangga yang masih tanah dan akan licin jika hujan datang. Jadi dana yang diberikan pengunjung kepada pihak pemandu wisata sudah dialokasikan kepada pembangunan. Sebenarnya wisata ini sudah lama ingin dibuka hanya karena sebelumnya daerah ini dikelilingi lahan kopi masyarakat, sehingga masyarakat tidak akan mengira daerah ini dapat dijadikan tempat pencaharian.

Seiring berkembangnya zaman dan teknologi, banyak orang yang memiliki gawai melihat perkembangan wisata dan hal inilah yang menjadi pemicu masyarakat dan kepala daerah untuk memulai membuka dan mengembangkan tempat wisata walaupun di daerah terpencil. Menjadi kecil di tempat yang besar tidak masalah, asal tetap berusaha menyalakan pelita di tempat yang gelap dan cahaya itu sendiri yang akan memperkenalkan keistimewaannya. Demikianlah prinsip yang terus digunakan dalam budaya di daerah ini yang terdiri dari beberapa suku dan agama.

Jika hal kecil mampu memberikan peluang untuk menjadi sesuatu yang besar sekali pun proses yang dilakukan akan kontinu, mengapa kita harus memikirkan hal yang terlalu besar dengan proses yang belum kita ketahui bagaimana. Jika destinasi alam yang sederhana dapat menjadi sesuatu yang menghasilkan pembaharuan secara ekonomi, mengapa kita tidak terbuka untuk menjadi salah satu orang yang terlibat di dalamnya?

Wisata Bah di Bah-Biak memberikan tantangan kepada anak-anak muda untuk memikirkan hal-hal baru yang sederhana namun memberikan dampak yang besar bagi siapa saja yang menikmatinya. Salam kreatif anak muda yang senang mengembangkan ilmu dan wawasan dalam dirinya untuk negeri.

The post Wisata Bah di Bah-Biak, Sumatera Utara appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/wisata-bah-di-bah-biak-sumatera-utara/feed/ 0 28688
Mencari Durian ke Teluk Dalam, Nias Selatan https://telusuri.id/perjalanan-ke-teluk-dalam-nias-selatan/ https://telusuri.id/perjalanan-ke-teluk-dalam-nias-selatan/#respond Wed, 18 Sep 2019 09:00:32 +0000 https://telusuri.id/?p=17388 Saat pertama menginjakkan kaki di Nias, hal pertama yang saya bayangkan adalah durian. Nias memang sudah jadi legenda di antara kawan-kawan saya sebagai tempat enak untuk makan durian. Di musim panen, harga buah aromatik itu...

The post Mencari Durian ke Teluk Dalam, Nias Selatan appeared first on TelusuRI.

]]>
Saat pertama menginjakkan kaki di Nias, hal pertama yang saya bayangkan adalah durian. Nias memang sudah jadi legenda di antara kawan-kawan saya sebagai tempat enak untuk makan durian.

Di musim panen, harga buah aromatik itu bisa sangat murah. Mereka bilang harganya akan menyaingi sebungkus Chiki. Beda sekali tentunya dari durian-durian di Kalibata yang harganya balapan dengan steak di restoran mewah.

Sayang, saya tiba di Gunungsitoli bukan saat musim durian. Tapi tak apa. Katanya, di Teluk Dalam, tiga jam perjalanan dari Gunungsitoli, masih ada durian sisa panen musim ini. Kebetulan juga kawan-kawan seperjalanan punya keinginan untuk melihat lompat batu di Desa Adat Bawomataluo yang pernah mejeng di uang seribuan tahun 90-an. Untuk ke Desa Bawomataluo, untungnya, kami mesti lewat daerah Teluk Dalam.

desa bawomataluo
“Boulevard” Desa Bawomataluo/Syukron

Baguslah. Rasa-rasanya saya bisa menuntaskan dua misi dalam satu perjalanan. Misi utama saya, ya, tetap durian.

Pemandangan menuju Nias Selatan

Jadi itu hari saya bangun pagi demi ke Teluk Dalam, Nias Selatan. Sepertinya, bangun pagi adalah rutinitas wajib saat di Nias. Sebelumnya, saya juga bangun pagi untuk ke Alasa, Nias Utara.

Dibandingkan jalan Gunungsitoli-Alasa, jalan ke Teluk Dalam lebih manusiawi. Jalan raya mulus walau tidak terlalu lebar. Seandainya ada acara besar di Nias, tentu jalanan akan macet luar biasa sebab kecilnya jalan itu berbanding terbalik dengan besarnya volume kendaraan.

Tapi sebenarnya kondisi jalan sekarang sudah mendingan. Konon, sebelum tsunami dulu, untuk ke Teluk Dalam perlu waktu hingga enam jam. Sehabis tsunami, jalan dibangun baru dan diaspal sehingga lebih nyaman dan waktu tempuh jadi lebih singkat.

desa bawomataluo omo sebua
Omo sebua di Desa Bawomataluo/Syukron

Ada dua hal yang lumrah di Nias Selatan, tapi tak biasa menurut saya. Pertama, selalu ada makam di pekarangan tiap rumah. Saya tak sanggup membayangkan bagaimana jika rumah-rumah itu dijual: apakah pembelinya mau diberi bonus makam? Hal lumrah kedua adalah baju yang dijemur dengan cara dihamparkan begitu saja di pekarangan, bahkan hingga ke bahu jalan, bukannya digantung. Ketika saya tanya kenapa cucian itu tidak digantung di jemuran, mereka menjawab bahwa ini sudah menjadi kebiasaan.

Melihat tradisi orang Nias di Bukit Matahari

Mobil mulai memperlambat laju. Ternyata kami sudah tiba di Desa Adat Bawomataluo. Tapi, untuk mencapai lokasi, kami mesti meniti sekitar 80 anak tangga. Maklum saja, desa ini memang bertengger di bukit. Bawomataluo sendiri berarti Bukit Matahari.

Hari itu cukup panas, waktu yang pas untuk menghamparkan pakaian. Saya masih geli sendiri membayangkan metode untuk menjemur pakaian yang tadi saya lihat di jalan. Yang terbayang oleh saya adalah proses menjemur ikan asin, tapi ikan asinnya diganti pakaian.

nias
Seorang warga desa Bawomataluo duduk di depan omo hada/Syukron

Sebagai desa wisata budaya, bangunan rumah tradisional (omo hada dan omo sebua) khas Nias dengan fondasi dari kayu-kayu besar di Desa Bawomataluo masih terpelihara di kanan-kiri jalan. Barangkali karena sudah terbiasa dengan turis, dan hari itu juga sepertinya sedang banyak wisatawan yang datang, orang-orang di sana tidak terlalu memperhatikan keberadaan kami.

Gampang sekali membedakan mana orang luar dan mana masyarakat sekitar. Patokannya, jika pakaiannya modis, itu kemungkinan besar adalah turis.

Sepanjang perjalanan masuk, ada beberapa orang yang menawarkan souvenir khas Nias dan jasa lompat batu. Saya baru tahu bahwa lompat batu, tradisi turun-temurun untuk menandakan bahwa anak-anak muda sudah beranjak dewasa, ternyata tidak hanya dipertontonkan pada waktu-waktu tertentu. Kapan saja kita bisa menyaksikannya. Tinggal bernegosiasi dengan pemuda setempat, kita bisa melihat atraksi melompati batu setinggi 2 meter setebal 40 cm itu. Bonusnya adalah baju khas Nias yang bisa kita pakai untuk foto bersama.

Lompat batu di Desa Bawomataluo, Nias/Syukron

Pariwisata membuat semuanya jadi bisa dinegosiasikan. Tradisi yang sakral menjadi mudah untuk disajikan. Semua sudah dikontrol oleh ekonomi. Saya jadi berpikir, apakah memang harus seperti ini untuk [mengembangkan] pariwisata?

Perenungan itu sampai saya bawa dalam perjalanan pulang, juga pertanyaan-pertanyaan lain: Apakah saya mau ke sana untuk kedua kalinya? Bagaimana kalau tak ada lagi wisatawan yang mau ke sana?

Pikiran-pikiran itu membuat saya tenggelam dalam lelapnya tidur. Begitu bangun memasuki Gunungsitoli, seketika saya tersadar: Ah, sial! Saya lupa mencicipi durian di Teluk Dalam.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mencari Durian ke Teluk Dalam, Nias Selatan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/perjalanan-ke-teluk-dalam-nias-selatan/feed/ 0 17388
Perjalanan ke Alasa, Nias Utara https://telusuri.id/perjalanan-ke-alasa-nias-utara/ https://telusuri.id/perjalanan-ke-alasa-nias-utara/#comments Tue, 17 Sep 2019 07:17:47 +0000 https://telusuri.id/?p=17344 Gunungsitoli padahal sudah pukul 6 pagi, tapi masih gelap. Sandi, kawan baru saya, sudah menunggu di depan tempat saya menginap. Pagi ini dia akan membawa saya pergi ke Alasa, Nias Utara. Sekitar dua jam perjalanan...

The post Perjalanan ke Alasa, Nias Utara appeared first on TelusuRI.

]]>
Gunungsitoli padahal sudah pukul 6 pagi, tapi masih gelap. Sandi, kawan baru saya, sudah menunggu di depan tempat saya menginap. Pagi ini dia akan membawa saya pergi ke Alasa, Nias Utara. Sekitar dua jam perjalanan kata dia.

Perjalanan dari Ibu Kota Nias, Gunungsitoli, menuju Alasa membelah bukit dan memang penuh tantangan. Jalanan yang tidak terlalu lebar itu hanya cukup untuk dilewati dua mobil, rusak layaknya permukaan bulan, dan tidak banyak penunjuk arah. Tapi, semua itu bukan halangan bagi Sandi untuk pergi. Dia sudah berulang kali mengendarai motor matic sewaan ke Alasa.

Sandi seperti sudah hafal ruas-ruas jalan mana saja yang berlubang. Kami meliuk-liuk menari saja di atas motor. Juga, tak banyak kendaraan yang lalu-lalang. Makanya saya dan Sandi bisa mengobrol santai, mulai tentang kehidupannya di sebuah kampung di Berastagi, bagaimana ia terkenal sebagai pembalap jalanan lalu bertobat karena kecelakaan, dan serangkaian cerita kenakalan dia lainnya saat sekolah.

andi lintas arta
Sandi, pemuda Berastagi yang sudah dua bulan bertugas memasang jaringan internet di Nias/Syukron

Tapi sekarang dia sudah berbeda. Menurut dia, lebih baik kerja cari duit. Sudah dua bulan anak Berastagi ini “nyasar” ke Nias bekerja sebagai teknisi lapangan pemasangan internet di Lintasarta. Tugas dia adalah memasang jaringan internet di sekolah, puskesmas, hingga kantor kecamatan. Targetnya kali ini adalah memasang jaringan internet di SMP 1 Alasa guna menunjang sarana pendidikan di sekolah yang terhitung cukup terpencil itu.

“Yahobu!” teriaknya pada anak-anak sekolah yang jalan kaki di pinggir. “Yahobu!” balas mereka lagi serempak. Sandi mengatakan bahwa itu adalah sapaan orang sini saat bertemu, seperti manjua jua kalau di kampungnya. Selama berada di Nias, Sandi mengagumi keramahan masyarakat di sini. “Yang penting tau caranya, Bang,” kata dia penuh kode. Hmmm… Saya mulai paham maksud dia saat melewati warung makan dan sepintas melihat orang-orang di sana menikmati tuak.

Anak-anak SD di Nias jalan kaki ke sekolah menelusuri jalan aspal berlubang/Syukron

Perjalanan menggunakan sepeda motor menyusuri jalanan Alasa seperti memutar waktu ke belakang. Rumah-rumah modern dengan dinding semen lambat laun berubah menjadi rumah-rumah kayu tanpa jendela kaca dan teralis besi. Beberapa rumah panggung bundar khas Nias juga tampak masih berdiri tegak. Saya bisa melihat jelas ruang-ruang dalam rumah sepanjang jalan, sebab jendela kayu mereka terbuka dari berbagai sisi. Melihat rumah-rumah kayu dan aktivitas mereka di pagi hari membuat saya tersedot dalam lamunan; sepertinya saya dapat merasakan sensasi tinggal di rumah itu.

Sebagai orang yang pernah tinggal di kota besar layaknya Jakarta, saya terbiasa dengan rumah-rumah serba tertutup. Entah karena alasan keamanan atau menghindari panasnya kota, pagar-pagar rumah di sana tinggi-tinggi, pintu dan jendela rapat seperti sudah lama dilas Iron Man. Kesannya, tak sembarang orang boleh berkunjung. Tapi rumah-rumah sepanjang jalan menuju Alasa punya aura yang berbeda. Pekarangan-pekarangannya asri dan jendela-jendela besar terbuka membuat saya seperti disambut oleh pemilik rumah untuk singgah sekadar minum teh hangat di pagi hari. Beberapa orang tua tampak menikmati paginya, santai tanpa beban.

Tipikal rumah di Nias Utara/Syukron

Lamunan saya dibangunkan hentakan motor. Ternyata Sandi gagal lolos dari lubang.

Sambil nyengir dia bilang, “Maaf, Bang. Ternyata ada lubang baru. Kayaknya kemaren gak ada itu.” Ngeles.

Memasang “jendela dunia” di SMP 1 Alasa

Saya jadi mengerti, selain infrastruktur jalanan, sarana komunikasi dan akses internet juga perlu. Bayangkan bagaimana jadinya kalau sudah aksesnya jauh terus informasi juga susah.

Setiba di SMP 1 Alasa, kami masih menunggu Andi, seorang teknisi yang lebih senior dari Sandi. Sekolah yang berada di Jalan Pendidikan ini ternyata cukup luas, dua kali lapangan sepak bola. Dari obrolan dengan salah seorang guru saya jadi tahu ternyata ada 700-an siswa yang rata-rata adalah anak peladang. Para guru berharap akan ada banyak perubahan positif dengan adanya internet gratis untuk sekolah ini. Guru tidak boleh gaptek informasi.

Berhenti di pertigaan menuju Alasa, Nias Utara/Syukron

Saya sempat berbincang dengan Rachel, siswi kelas 3, yang bercerita bahwa selama ini mereka hanya mengandalkan buku sebagai bahan belajar. Jadi agak susah mengikuti perkembangan materi terbaru. Ketika tahu akan ada internet gratis di sekolah, dia dan teman-temannya sangat antusias. Media sosial tentu sudah terbayang-bayang oleh mereka, juga beragam informasi soal dunia luar karena memang banyak dari siswa-siswi di Alasa yang belum pernah keluar Pulau Nias.

Memasang VSAT di SMP 1 Alasa/Syukron

Tak sampai sejam, mobil Andi sudah sampai. Mereka pun mulai bersiap kerja. Perkakas dan peralatan mulai dikeluarkan. Anak-anak dan para guru mulai mendekat dengan antusias. Yang saya liat, sih, prosedurnya seperti memasang antena parabola. Tapi, setelah saya amati lebih lama, ini bukan pekerjaan yang gampang. Berulang kali mereka pointing antena agar sesuai koordinat dan mengutak-atik perangkat VSAT.

Sekolah yang semula ramai oleh murid lama-lama menjadi sepi, tanda hari sudah mulai sore. Para murid yang tadi setia menunggu, sebab sudah tak sabar mendapat sambungan internet, sudah bubar. Tinggal beberapa orang guru yang masih terlihat.

Akhirnya pemasangan selesai. Besok tinggal menyetel pengaturannya. Sandi dan Andi pun mengemasi perlengkapan mereka. Kata Sandi, kita harus pulang sebelum terlalu malam. Tak ada lampu jalan. Jalanan juga “semi off-road.” Akan sangat berisiko jika hujan tiba-tiba turun dalam perjalanan.

Untuk pulang menuju Gunungsitoli saya yang mengendarai motor. Saya penasaran menguji keahlian yang saya dapat selama bermanuver indah di Jakarta. Jiwa touring saya terpanggil untuk mengeksplorasi daratan Nias naik sepeda motor.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Perjalanan ke Alasa, Nias Utara appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/perjalanan-ke-alasa-nias-utara/feed/ 1 17344
Bernyanyi bersama Biduan Desa Gung Pinto di Kabupaten Karo https://telusuri.id/biduan-desa-gung-pinto/ https://telusuri.id/biduan-desa-gung-pinto/#comments Wed, 13 Jun 2018 09:30:09 +0000 https://telusuri.id/?p=9139 Kenangan di Desa Gung Pinto di Sumatera Utara barangkali adalah salah satu pengalaman tak terlupakan bagi saya. Bulan Oktober tahun lalu, saat penelitian di sekitar Gunung Sinabung, Gung Pinto bukanlah tujuan utama tim riset saya....

The post Bernyanyi bersama Biduan Desa Gung Pinto di Kabupaten Karo appeared first on TelusuRI.

]]>
Kenangan di Desa Gung Pinto di Sumatera Utara barangkali adalah salah satu pengalaman tak terlupakan bagi saya. Bulan Oktober tahun lalu, saat penelitian di sekitar Gunung Sinabung, Gung Pinto bukanlah tujuan utama tim riset saya. Namun, untuk memperkaya data, akhirnya kami berangkat juga ke desa itu.

Kami bertujuh naik mobil dari penginapan di Berastagi. Jalanan menuju Gung Pinto sempit dan berkelok. Tanpa peta, kami berhenti beberapa kali untuk menanyakan letak Desa Gung Pinto. Bahkan kami sempat nyasar di desa mati yang menjadi sepi karena erupsi Sinabung. Rasanya seperti berada dalam film Silent Hill!

gung pinto

Salah satu rumah yang ditinggalkan pengungsi Sinabung/Vidiadari

Akhirnya kami tiba di jalan beraspal yang diapit pohon-pohon jeruk (sebelumnya pemandangan didominasi tanaman sayur). Bang Rei lalu menelepon seseorang. Rupanya ia punya kawan akrab yang tinggal di Gung Pinto.

Kami diminta menunggu di tepi kebun jeruk. Sepuluh menit kemudian kawan Bang Rei itu, Bang Martin, datang dengan sepeda motor. Ia menyuruh kami mengikutinya. Bang Rei bercerita bahwa Bang Martin adalah kawannya saat masih kuliah di Jogja.

Setelah lulus dan jadi sarjana pertanian, ia pulang dan menjadi petani di desanya. Cerita yang jarang saya dengar.

Warung kopi milik biduan

Motor Bang Martin berhenti di depan sebuah warung kopi. Kami turun di sana. Warung itu tak terlalu besar. Bangunannya dari kayu dan hanya diisi oleh tiga meja yang ditemani oleh bangku-bangku panjang.

Ada satu televisi yang menggantung jumawa di sudut ruangan. Di salah satu dinding kayu saya melihat sederet foto yang ditempelkan dengan paku payung. Pemilik warung kopi itu adalah Paten Sembiring alias Sugeng (e nya dibaca taling).

gung pinto

Foto-foto di warung kopi Paten Sembiring/Vidiadari

Panggilan Sugeng didapatnya dari seorang transmigran Jawa yang melihat bahwa mukanya mirip orang Jawa.

Selain membuka warung, Pak Paten ternyata juga seorang pemusik. Ia punya grup musik tradisional gendang kulcapi yang kerap tampil di berbagai tempat, salah satunya di lokasi pengungsian erupsi Sinabung.

“Saya nyanyi biar orang gembira, bang,” ujarnya saat mengajak kami melihat foto-foto yang ditempel di dinding. “Jadi [mereka bisa] lupa dengan kesusahan karena Sinabung erupsi.”

gung pinto

Paten Sembiring sedang membuka buku lirik lagunya/Vidiadari

Beberapa kali Pak Paten dan grup musiknya mengisi acara di radio komunitas setempat. Mereka bahkan membuka kesempatan bagi pendengarnya untuk me-request lagu. “Kalau saya tidak tahu judul lagunya, saya katakan saja, ‘nanti dinyanyikan di lain waktu, sekarang saya belajar dulu.’” Ia pun terkekeh.

Bernyanyi bersama biduan Gung Pinto

Pak Paten lalu mengambil perlengkapan musik yang sedari tadi tergantung di dinding dekat televisi. Ia mengambil sebuah buku tebal berisi daftar lagu dan juga… foto! Di bawah setiap foto ia menuliskan keterangan, mirip dengan caption di instagram—tanpa tagar tentunya.

Bang Martin yang sedari tadi berbincang dengan Bang Rei berkata bahwa kami tak perlu keliling desa untuk mencari data; ia yang mendatangkan warga desa ke warung itu untuk kami wawancarai. Pak Paten tentu saja senang sebab itu artinya kami bisa tetap di sana untuk bernyanyi bersama.

gung pinto

Paten Sembiring sedang memegang kulcapi dan mengajarkan cara memainkan keteng-keteng/Vidiadari

Saya membuka halaman daftar isi, lalu mulai memilih lagu. Kami bernyanyi bermacam genre, mulai dari religi hingga lagu pop Karo. Pak Paten memainkan kulcapi yang bersenar dua. Kawan saya diajarinya keteng-keteng, alat musik tradisional Karo yang terbuat dari bambu.

Kami pun bernyanyi dengan gembira ditemani kopi, jeruk, dan terong belanda hingga pukul 5 sore. Saat pamit untuk kembali ke Berastagi, kami membawa pulang kenangan manis bernyanyi gembira bersama biduan Gung Pinto, Paten Sembiring.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Bernyanyi bersama Biduan Desa Gung Pinto di Kabupaten Karo appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/biduan-desa-gung-pinto/feed/ 2 9139