sumatra barat Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/sumatra-barat/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Thu, 29 May 2025 04:06:40 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 sumatra barat Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/sumatra-barat/ 32 32 135956295 Menapak Jejak Kejayaan dan Nestapa di Museum Goedang Ransoem https://telusuri.id/menapak-jejak-kejayaan-dan-nestapa-di-museum-goedang-ransoem/ https://telusuri.id/menapak-jejak-kejayaan-dan-nestapa-di-museum-goedang-ransoem/#respond Tue, 27 May 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47232 Sawahlunto akan mematahkan ekspektasi orang-orang yang menganggap bahwa daerah dengan label ‘kota’ adalah wilayah besar yang penuh kesibukan. Nyatanya, kota berjuluk ‘Kota Arang’ ini justru menawarkan hidup yang tenang, santai, dan jauh dari hiruk-piruk—slow living...

The post Menapak Jejak Kejayaan dan Nestapa di Museum Goedang Ransoem appeared first on TelusuRI.

]]>
Sawahlunto akan mematahkan ekspektasi orang-orang yang menganggap bahwa daerah dengan label ‘kota’ adalah wilayah besar yang penuh kesibukan. Nyatanya, kota berjuluk ‘Kota Arang’ ini justru menawarkan hidup yang tenang, santai, dan jauh dari hiruk-piruk—slow living kata orang zaman sekarang.

Sawahlunto hari ini ibarat orang dewasa yang sudah lelah dengan ambisi dan persaingan kehidupan, ia sudah selesai dengan semangat mudanya. Jauh sebelum mencapai ketenangan ini, ia telah melewati masa-masa penuh gejolak dengan gelimang kekayaan, kemakmuran, juga masa kelam yang pahit.

Dulu, Sawahlunto hanyalah daerah antah-berantah di pedalaman Pulau Sumatra, hingga W.H. de Greve, dalam petualangannya pada tahun 1868 menemukan tempat ini.1 Geolog muda Belanda itu menemukan lapisan batu bara di Ulu Aie, daerah aliran Batang Ombilin yang saat itu belum berpenghuni.2

Temuan ini diabadikan dalam publikasi berjudul Het Ombilin-kolenveld in de Padangsche Bovenlanden en het Transportstelsel op Sumatra’s Westkust tahun 1871.3 Diceritakanlah ihwal ratusan juta ton emas hitam yang bersemayam di rahim bumi Sawahlunto, titik balik sebuah wilayah yang sebelumnya nyaris tak dikenal menjadi salah satu kota penghasil batu bara berkualitas di dunia, mengubah nasib kota ini selamanya.4

Menapak Jejak Kejayaan dan Nestapa di Museum Goedang Ransoem
Potret Sawahlunto masa lampau yang terpajang di Museum Goedang Ransoem/Adzkia Arif

Masa itu, Sawahlunto benar-benar jaya—dari cerita orang tua di sini. Entah lebih masyhur mana kota ini daripada Batavia. Wilayah ini bahkan mendapat julukan Belanda Kecil.

Antropolog asal Amerika Serikat, Susan Rodgers menerangkan bahwa sebagai tanah jajahan, Sawahlunto menempati posisi elit bahkan di antara orang-orang Belanda itu sendiri. Kelas sosial orang-orang kulit putih yang ada di sini berada pada tingkatan yang berbeda.5 Begitulah suksesnya Sawahlunto kala itu, 600.000 ton batu bara yang dikeluarkan dari perutnya membuat 90% kebutuhan energi di Hindia Belanda dapat tercukupi.6

Pascakepergian Belanda, hingga pusat pertambangan di Sawahlunto dikelola oleh PT Bukit Asam UPO, kemakmuran itu mulai memudar. Sebab, cadangan batu bara mulai menipis. Tahun 2001 menjadi titik transformasi selanjutnya bagi Sawahlunto demi menyongsong kehidupan pascatambang. 

Persiapan terus dilakukan. Pada tahun 2019 Sawahlunto ditetapkan menjadi salah satu kota Warisan Dunia UNESCO dengan nama Ombilin Coal Mining Heritage of Sawahlunto. Banyak bangunan yang menjadi saksi sejarah kejayaan dan kesibukan kota ini pada masa lalunya, salah satunya adalah Museum Goedang Ransoem.

Menapak Jejak Kejayaan dan Nestapa di Museum Goedang Ransoem
Potret kesibukan di dapur umum pada masa lampau/Adzkia Arif

Hiruk-piruk dalam Catatan Sejarah

Lokasi Museum Goedang Ransoem agak tersembunyi di sudut kota. Pendatang baru tak akan menemukannya tanpa pemandu atau bertanya pada warga lokal. Begitu memasuki museum, kita seolah berada dalam mesin waktu. Melihat masa lalu sedang memamerkan keperkasaan dan kesuksesan luar biasa dari kota ini.

Gedung ini dibangun Belanda sebagai dapur umum untuk memenuhi kebutuhan makan para pekerja tambang. Bayangkan betapa sibuknya dapur ini karena harus memasak 3,9 ton beras setiap harinya untuk ribuan pekerja.7

Kita dapat menemukan papan menu terpajang di dinding. Isinya informasi makanan untuk disantap tiap harinya oleh para pekerja. Pada hari-hari tertentu mereka akan disajikan menu daging, jeroan, roti goreng, dan telur asin. Pada hari-hari biasa, mereka akan mendapat nasi, ikan asin, sayur, dan lepeh-lepeh (sejenis cemilan atau teman makan nasi seperti tumisan).

Ketel raksasa buatan firma Senking, perusahaan alat masak terkenal yang berasal dari Jerman, masih bisa kita lihat di sini. Sebelumnya, ketel-ketel ini berada di rumah warga dan digunakan sebagai penampungan air. Ini karena alih fungsi gedung pada tahun 1950 sebagai kantor administrasi tambang batu bara ombilin. Barulah pada saat akan dijadikan museum, ketel ini diambil dan ditata kembali di museum.8

Ketel yang ada terdiri atas dua jenis dengan fungsi yang berbeda. Satu untuk memasak air dan satu lagi untuk memasak nasi. Teknologi yang digunakan untuk memasak sangat canggih pada masanya. Uap panas yang berasal dari tungku pembakaran raksasa yang berada di luar gedung ini dialirkan dengan pipa besi ke bagian bawah tungku dapur utama.

  • Menapak Jejak Kejayaan dan Nestapa di Museum Goedang Ransoem
  • Menapak Jejak Kejayaan dan Nestapa di Museum Goedang Ransoem

Berjalan di dalam museum, udara terasa sejuk namun sunyi. Seakan memberikan kesempatan untuk kita merenung dan mereka ulang kejadian di masa lalu yang terjadi di sini. Adegan sejarah dalam kepala kita akan menjadi lebih nyata dengan adanya foto dan cerita kejadian masa lalu yang disediakan pengelola. Ada pula QR code yang bisa dipindai untuk melihat video dokumentasi kegiatan di dapur ini. Video-video ini juga dapat dilihat pada saluran Youtube Southeast Asia Museum Services, dan saluran “bidang warisan budaya” yang dikelola oleh Dinas Kebudayaan Kota Sawahlunto.

Di kompleks Museum Goedang Ransoem juga terdapat pabrik es, pabrik kedua di Sumatra Barat setelah Padang. Pada masa kolonial, e dari pabrik digunakan untuk memenuhi kebutuhan kompeni Belanda, rumah sakit dan masyarakat, hingga didistribusikan ke Padang, Bukittinggi, dan Solok.9

Inilah yang saya suka dari museum sejarah. Mereka menampilkan kecanggihan di masa lalu yang bahkan membuat kita takjub meski hidup pada zaman yang jauh di depan. Saya selalu bertanya, kenapa hanya sejarahnya saja yang bertahan melintasi zaman, sementara kejayaannya tidak?

Ada yang berpendapat, daerah bekas jajahan Belanda memang begini. Berbeda dengan bekas jajahan Inggris yang lebih maju. Entah memang begitu adanya, atau sebenarnya hanya menjadi pembenaran atas kegagalan mengelola warisan kejayaan dari masa lalu?

Dari kiri ke kanan: Pakaian koki dan mandor yang bekerja di dapur umum. Menu makanan yang disajikan di dapur umum untuk para pekerja tambang ombilin, ada menu harian dan menu khusus yang lebih mewah. Tungku pembakaran yang ada di belakang gedung utama Museum Goedang Ransoem, yang berfungsi sebagai sumber uap panas untuk dialirkan menggunakan pipa ke dapur utama/Adzkia Arif

Noda Hitam dalam Catatan Sejarah Kejayaan

Dalam gemerlap kejayaan, ada noda hitam yang tak akan bisa terhapus dari catatan sejarah. Pada salah satu lemari kaca yang ada di ruangan ini, terdapat batu nisan tanpa nama milik ‘orang rantai’. Sejarah perbudakan kelam yang mengutuk pertambangan batu bara ombilin. Mereka adalah pekerja tambang yang dipaksa bekerja dengan cara tak manusiawi. Kondisi kaki dan badan yang dirantai satu sama lain agar tak ada yang kabur. Bagi Belanda kala itu, mereka adalah orang-orang pembuat onar.

Beberapa orang rantai di Sawahlunto adalah orang yang menentang Belanda dan dijadikan tawanan politik. Sementara yang lainnya adalah pelaku kriminal atau dianggap sebagai “penjahat”.10

Orang rantai juga tak diterima oleh masyarakat karena propaganda Belanda tentang keburukan mereka. Mereka mati dan dikuburkan tanpa identitas, tak diberi nama. Hanya angka, dan dipisahkan dari pemakaman masyarakat umum.

Bagaimana rasanya mati di tempat asing, tempat ketika hidup kita telah diasingkan? Hingga akhir hayat, nama kita pun tak pernah disebut lagi, digantikan hanya dengan angka.

  • Menapak Jejak Kejayaan dan Nestapa di Museum Goedang Ransoem
  • Menapak Jejak Kejayaan dan Nestapa di Museum Goedang Ransoem

Kini jadi Destinasi Wisata Sejarah

Mengunjungi Goedang Ransoem menjadi salah satu pengalaman paling berkesan bagi saya setelah tiga tahun tinggal di Sawahlunto. Melihat sisi lain kota yang saat ini hanya meninggalkan kisah untuk diceritakan. Goedang Ransoem adalah saksi sebuah kota yang telah melewati masa kekosongan, memimpin kejayaan, hingga meninggalkan sunyi yang mengajarkan banyak hal.

Bagi yang ingin berkunjung, museum ini beralamat di Jl. Abdurrahman Hakim, Tanah Lapang, Kecamatan Lembah Segar, Kota Sawahlunto, Sumatra Barat. Jalan menuju lokasi bagus dan luas, tetapi padat penduduk. Untuk tempat parkir tak perlu khawatir, museum ini punya kantung parkir yang luas untuk mobil keluarga ataupun bus pariwisata. 

Tiket masuknya sangat terjangkau, hanya Rp10.000 untuk orang dewasa, dan Rp7.000 untuk anak-anak. Tak hanya itu, museum ini juga memiliki IPTEK Center yang menyediakan permainan edukatif yang menarik untuk anak-anak. Layak untuk dikunjungi!


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

  1. R. A. van Sandick, “Het laatsche hoofdstruk van de Ombilin-guestie”, (Amsterdam: De Indische Gids, 14 Jrg (1892). ↩︎
  2. Erwiza Erman, “Membaranya Batubara: Konflik Kelas dan Etnik Ombilin-Sawahlunto-Sumatra Barat (1892—1996)”, (Depok: Desantara, 2005), h. 29. ↩︎
  3. Widjaja Martokusumo, “The Ex-Coal Mining City of Sawahlunto Revisited: Notions on Revitalization, Conservation and Urban Development”, makalah dalam Seminar on Recent of Research Works at the School of Architecture, Planning and Policy Development ITB, Bandung, 17 April 2008. ↩︎
  4. Andi Asoka dkk., “Sawahlunto Dulu, Kini, dan Esok. Menyongsong Kota Wisata Tambang yang Berbudaya”, (Padang: Pusat Studi Humaniora Unand, 2005), h. 9-10. ↩︎
  5. Susan Rodgers, “A Nederlander woman’s recollections of colonial and wartime Sumatra: from Sawahlunto to Bankinang interment camp”, Indonesia, 79, April 2005. h. 99-100 ↩︎
  6. Carin van Empel, “Dark mine. Labour conditionsof coolies in the State coal mines of West Sumatra”, dalam Vincent J. H. Houben, J. Thomas Linblad, dkk. Coolie Labour in Colonial Indonesia. A Studi of Labour Relations in the Outer Islands, c. 1900-1940, (Wiesbaden: Harrassowitz, 1999), h. 179. ↩︎
  7. Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat, (2020, 2 Oktober), “Cerita Dari Gudang Ransum Sawahlunto”, Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat, https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbsumbar/cerita-dari-gudang-ransum-sawahlunto/. ↩︎
  8. Dinas Kebudayaan Kota Sawahlunto, (2024, 3 November), “Pabrik Es Museum Goedang Ransoem”, Bidang Warisan Budaya, https://www.youtube.com/watch?v=vQ42u8vB61k. ↩︎
  9. Ibid. ↩︎
  10. Dahlia Braga Yova, Abdul Rahman, dan Maisatun Najmi, “Ekspositori Orang Rantai Sawahlunto”, Cinelook: Journal of Film, Television and New Media, 2024, Volume 2(2), DOI: http://dx.doi.org/10.26887/cl.v2i2.4653. ↩︎

The post Menapak Jejak Kejayaan dan Nestapa di Museum Goedang Ransoem appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menapak-jejak-kejayaan-dan-nestapa-di-museum-goedang-ransoem/feed/ 0 47232
Masjid Tuo Kayu Jao, Masjid Tua Berusia Ratusan Tahun di Sumatra Barat https://telusuri.id/masjid-tuo-kayu-jao-sumatra-barat/ https://telusuri.id/masjid-tuo-kayu-jao-sumatra-barat/#respond Mon, 10 Mar 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45895 Menyambut rentetan tanggal merah di akhir Januari 2025, saya dan istri berniat mengajak anak kami pergi liburan. Sebagai orang tua yang sama-sama bekerja, ini adalah kesempatan yang pas untuk membawanya bepergian dan mendapat hiburan, selain...

The post Masjid Tuo Kayu Jao, Masjid Tua Berusia Ratusan Tahun di Sumatra Barat appeared first on TelusuRI.

]]>
Menyambut rentetan tanggal merah di akhir Januari 2025, saya dan istri berniat mengajak anak kami pergi liburan. Sebagai orang tua yang sama-sama bekerja, ini adalah kesempatan yang pas untuk membawanya bepergian dan mendapat hiburan, selain bermain bola dan memetik rambutan yang sedang berbuah di halaman rumah.

Setelah berdiskusi cukup lama, kami sepakat untuk pergi berdarmawisata ke daerah Alahan Panjang, Kabupaten Solok, Sumatra Barat. Kami memilih tempat ini untuk menghindari lokasi wisata lainnya yang sudah overtourism. Saya dan istri lebih suka tempat yang santai. Namanya juga pergi untuk healing, jangan sampai kami malah stres karena harus terjebak macet dan berenang di lautan manusia.

Pada hari Senin (27/1/25) pukul 09.00 WIB, dengan mengendarai mobil, saya dan keluarga sudah memasuki kawasan Alahan Panjang. Menyusuri jalan yang masih mulus, menghirup udara segar ditemani panorama alam yang hijau dan asri sepanjang jalan.

Masjid Tuo Kayu Jao, Masjid Tua Berusia Ratusan Tahun di Sumatra Barat
Hamparan kebun teh milik PT Perkebunan Nusantara di kawasan Alahan Panjang/Adzkia Arif

Bagi saya, kawasan Alahan Panjang sangat nyaman dan tidak terlalu padat pengunjung bila dibandingkan dengan lokasi wisata favorit lainnya di Sumatra Barat. Tujuan kami adalah wisata petik stroberi yang ada di kawasan ini. Mengingat anak kami suka sekali buah merah tersebut, tentu ia akan senang juga apabila bisa memetiknya langsung di kebun. 

Dalam perjalanan ke sana kami disambut oleh hamparan perkebunan teh yang hijau. Katanya melihat warna hijau dapat menghilangkan lelah mata dan mengurangi stres akibat bekerja.

Memacu mobil pada kecepatan 60 km/jam sambil mengamati sisi kiri dan kanan jalan, saya melihat sebuah gapura berwarna hitam putih yang menarik perhatian. Gapuranya cukup tinggi dan muat dilewati oleh satu badan mobil. Di atasnya terdapat tulisan “Selamat Datang, Masjid Tuo Kayu Jao”.

Melihat itu saya teringat pada konten berjudul “5 Masjid Terindah di Sumatera Barat” yang muncul di Instagram, salah satunya adalah Masjid Tuo Kayu Jao. Maka saya pikir, setelah memetik stroberi kami harus singgah ke tempat ini.

Masjid Tuo Kayu Jao, Masjid Tua Berusia Ratusan Tahun di Sumatra Barat
Pintu masuk menuju Masjid Tuo Kayu Jao/Adzkia Arif

Masjid Tua dengan Alam yang Asri

Sekembalinya dari memetik stroberi, saya menunaikan hasrat untuk singgah dan melihat Masjid Tuo Kayu Jao. Lokasi di Nagari Batang Barus, Kecamatan Gunung Talang, Kabupaten Solok.

Masuk melewati gapura, saya menyetir mobil dengan pelan karena yang dilalui adalah jalan desa padat penduduk. Melewati jalan lurus menurun sekitar satu kilometer, saya bertemu turunan jalan yang cukup curam dan berbelok. Di bawah sanalah bangunan Masjid Tuo Kayu Jao berada. Melihat kondisi medan yang dilalui, saya sarankan bagi yang ingin ke sini untuk menggunakan sepeda motor atau mobil keluarga saja, kendaraan besar seperti bus wisata tampaknya tak bisa masuk dan mencapai lokasi.

Melihat langsung Masjid Tuo Kayu Jao, betul kata video Instagram yang saya lihat itu, masjid ini indah dan membawa suasana dari masa lampau yang damai. Seluruh bangunan terdiri dari material kayu dengan warna hitam yang khas serta atap dari ijuk yang sudah ditumbuhi lumut, memperkuat kesan klasik dari masjid yang dibangun dengan bentuk empat persegi dan atap bergonjong.

Melihat bentuknya, arsitektur Masjid Tuo Kayu Jao jelas dipengaruhi oleh corak Minangkabau. Pada zaman dahulu, masjid ini tidak hanya digunakan untuk ibadah dan syiar Islam saja, tetapi juga sebagai tempat musyawarah tiga jorong (desa) yang berada di sekitar masjid. Masjid ini juga difungsikan sebagai tempat musyawarah untuk menentukan strategi dalam melawan penjajah, bahkan digunakan sebagai tempat penyimpanan senjata rahasia. (Harun dkk, 2019).

Udara di sekitar masjid sangat sejuk. Diramaikan suara aliran sungai yang terdapat di samping masjid, sekaligus menjadi sumber air di sini.

Saya masih berada di masjid hingga azan zuhur berkumandang. Sewaktu mengambil wudu untuk menunaikan salat, dinginnya air terasa sangat segar dan menghilangkan rasa lelah. Tak lama setelah azan selesai dikumandangkan, jemaah mulai datang dan mengisi saf-saf masjid, baik laki-laki maupun perempuan.

  • Masjid Tuo Kayu Jao, Masjid Tua Berusia Ratusan Tahun di Sumatra Barat
  • Masjid Tuo Kayu Jao, Masjid Tua Berusia Ratusan Tahun di Sumatra Barat

Kisah Turun-temurun Berusia Ratusan Tahun

Selesai beribadah, rasa ingin tahu saya tentang masjid ini membuat saya memberanikan diri untuk menyapa imam yang memimpin salat Zuhur berjemaah tadi. Namanya Dani Darmansyah, Imam Nagari Batang Barus yang biasa memimpin salat jemaah disini. Saya awali percakapan dengan menanyakan tahun pendirian Masjid Tuo Kayu Jao.

“Kalau tahunnya itu, sekitar tahun 1419, Pak. Dari cerita nenek ke nenek, masjid ini sudah dibangun oleh leluhur dari zaman dahulu,” cerita Pak Dani.

Kalau dihitung dalam angka, usia masjid sudah sekitar enam abad, tepatnya 606 tahun. Tak ada lagi manusia hidup yang melihat sendiri pembangunan masjid ini, makanya hanya bisa diketahui melalui kisah yang diceritakan secara turun-temurun.

Namun, dalam jurnal Harun dkk (2016) berjudul “Pelestarian Bangunan Masjid Tuo Kayu Jao di Sumatera Barat”, dituliskan bahwa masjid dibangun sekitar tahun 1567. Jika dihitung, maka usia masjid saat ini kurang lebih 458 tahun.

Kayu yang menjadi material bangunan masjid ini bernama kayu jao. Saya terkagum dengan kokohnya bangunan masjid ketika mengetahui bahwa materialnya tak pernah diganti sejak awal dibangun. Hal ini juga termaktub dalam jurnal Suwito dan Sari (2022), bahwa Masjid Tuo Kayu Jao tetap terjaga keaslian bangunannya tanpa ada perubahan pada struktur dan arsitekturnya.

Meski ada lubang-lubang rayap di badan kayu, ketika dipukul masih terasa kokoh dan kerasnya kayu pada bangunan ini. Ketika disentuh, kayu ini terasa dingin, membuat masjid terasa sejuk. Pak Dani menambahkan, yang pernah diganti dari masjid ini hanya tiang tengahnya saja. Itu pun bukan karena lapuk, melainkan karena tiang yang begitu besar sehingga menyulitkan penerangan di sisi-sisi dalam masjid.

“Ceritanya dahulu, tiang tengah itu adalah sebatang kayu, saking besarnya, baru bisa dipeluk jika ada empat orang dewasa yang berpegangan tangan melingkari tiang tersebut,” kata Pak Dani.

  • Masjid Tuo Kayu Jao, Masjid Tua Berusia Ratusan Tahun di Sumatra Barat
  • Masjid Tuo Kayu Jao, Masjid Tua Berusia Ratusan Tahun di Sumatra Barat
  • Masjid Tuo Kayu Jao, Masjid Tua Berusia Ratusan Tahun di Sumatra Barat

Kandungan Falsafah pada Arsitektur Masjid

Tak puas hanya dengan mendengar cerita dari Pak Dani, saya juga mewawancarai Pak Awal. Nama lengkapnya Aguswal Rianto. Beliau merupakan pengurus masjid ini.

Dengan semangat Pak Awal menceritakan bahwa Masjid Tuo Kayu Jao dibangun oleh Syekh Masyhur. Hal ini juga tertera dalam situs web kebudayaan.kemdikbud.go.id, masjid ini dibangun oleh dua orang tokoh, yaitu Angku Masaur (Angku Masyhur) dan Angku Labai. 

Pak Dani menjelaskan setiap bagian pada bangunan masjid dibuat dengan nilai falsafah yang kuat. Tangga, jendela, dan tiang yang ada pada masjid, memiliki jumlah ganjil yang menggambarkan rukun Islam dan rukun salat. Memang kedua rukun ini jumlahnya ganjil, rukun Islam ada lima, sedangkan rukun salat ada tiga belas.

Beralih ke atap masjid, dengan gonjong ciri khas bangunan tradisional Minangkabau yang dibuat tiga tingkat. Ketiga tingkatan ini bermakna Tigo Tungku Sajarangan, yaitu niniak mamak, alim ulama, dan cadiak pandai. Dalam falsafah adat Minangkabau, Tigo Tungku Sajarangan merupakan konsep kepemimpinan dalam tatanan kehidupan sosial masyarakat.

Niniak mamak merupakan pemimpin yang mengatur adat istiadat dan menjaga tradisi masyarakat Minangkabau. Alim ulama bertugas memimpin dalam aspek spiritual dan moral masyarakat, sedangkan cadiak pandai merupakan kelompok intelektual yang memiliki pengetahuan serta wawasan luas untuk memberi saran pembangunan dan kemajuan masyarakat Minangkabau.

  • Masjid Tuo Kayu Jao, Masjid Tua Berusia Ratusan Tahun di Sumatra Barat
  • Masjid Tuo Kayu Jao, Masjid Tua Berusia Ratusan Tahun di Sumatra Barat
  • Masjid Tuo Kayu Jao, Masjid Tua Berusia Ratusan Tahun di Sumatra Barat

Beberapa Kisah Spiritual dari Masjid Tuo Kayu Jao

Mimbar masjid pernah dipindahkan ke masjid yang lebih besar oleh pemerintah. Pak Dani bercerita, pasca mimbar dipindahkan, masjid ini terasa seperti bergetar tiap harinya. Sampai ada jemaah masjid yang bermimpi bahwa tetua masjid marah karena mimbarnya dipindahkan. Akhirnya setelah mimbar dikembalikan ke tempat asalnya, masjid tak lagi bergetar.

Ada lagi cerita dari Pak Awal, masjid ini posisi mihrabnya selalu bergeser mengikuti arah kiblat. Ia meyakinkan hal ini dapat diuji sendiri oleh para jemaah, boleh diukur dengan aplikasi pencari arah kiblat atau alat lainnya. Jika pada masjid lain, pergeseran kiblat membuat karpet harus diubah posisinya. Lain halnya dengan Masjid Tuo Kayu Jao, bangunan masjid akan bergeser sendiri mengikuti perubahan arah kiblat.

Pak Dani menyarankan, jika ingin merasakan sensasi beribadah yang lebih khusyuk, cobalah datang melaksanakan salat malam di sini. Suasana malam yang hening dan sepi, akan membawa kita dalam kondisi yang begitu tenang untuk bersujud dan meminta ampunan pada Sang Maha Pengampun Dosa.


Referensi

Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat. (2019, 30 Agustus). Masjid Tuo Kayu Jao. [Artikel]. https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbsumbar/masjid-tuo-kayu-jao.
Harun, D. F., Antariksa, & Ridjal, A. M. Pelestarian Bangunan Masjid Tuo Kayu Jao Di Sumatera Barat. (2016). Jurnal Mahasiswa Jurusan Arsitektur Universitas Brawijaya, Vol. 4, No. 2. https://arsitektur.studentjournal.ub.ac.id/index.php/jma/article/view/208.
Harun, D. F., Antariksa, & Ridjal, A. M. (2019). Pelestarian Arsitektur Bangunan Masjid Tuo Kayu Jao Sumatera Barat. Yogyakarta: Maha Karya Pustaka.
Suwito, R. A. & Sari, D. M. (2022). Motion Graphic Masjid Tuo Kayu Jao di Jorong Kayu Jao, Nagari Batang Barus, Kecamatan Gunung Talang, Kabupaten Solok, Sumatera Barat. DEKAVE: Jurnal Desain Komunikasi Visual Universitas Negeri Padang, Vol. 12, No. 3. http://dx.doi.org/10.24036/dekave.v12i3.118368.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Masjid Tuo Kayu Jao, Masjid Tua Berusia Ratusan Tahun di Sumatra Barat appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/masjid-tuo-kayu-jao-sumatra-barat/feed/ 0 45895
Perjalanan Sehari Keliling Pulau Angso Duo https://telusuri.id/perjalanan-sehari-keliling-pulau-angso-duo/ https://telusuri.id/perjalanan-sehari-keliling-pulau-angso-duo/#respond Sat, 21 Dec 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=44645 Hanya punya waktu sebentar di Pariaman? Singgahlah ke Pulau Angso Duo! Salah satu pulau yang terhampar di kawasan Pantai Gandoriah, Kelurahan Pasir, Kecamatan Pariaman Tengah, Kota Pariaman, Sumatra Barat ini menawarkan wisata bahari dan sejarah...

The post Perjalanan Sehari Keliling Pulau Angso Duo appeared first on TelusuRI.

]]>
Hanya punya waktu sebentar di Pariaman? Singgahlah ke Pulau Angso Duo! Salah satu pulau yang terhampar di kawasan Pantai Gandoriah, Kelurahan Pasir, Kecamatan Pariaman Tengah, Kota Pariaman, Sumatra Barat ini menawarkan wisata bahari dan sejarah unik yang bisa dinikmati dalam sehari.

Usai menghadiri acara di Kota Padang, saya menemui Ratih di Stasiun Simpang Haru. Sahabat semasa kuliah di Solo ini mengajak saya liburan ke Pariaman, kota kelahirannya. Rencananya kami akan mengunjungi Pulau Angso Duo yang terkenal dengan panorama alamnya itu. 

Perjalanan dari Kota Padang menuju Pariaman menggunakan kereta membutuhkan waktu sekitar dua jam. Tiba di Stasiun Pariaman, kami berjalan kaki menuju arah Pantai Gandoriah. Di pantai terdapat perahu-perahu yang menjadi moda transportasi menuju Pulau Angso Duo. Jarak antara kedua tempat ini hanya sekitar dua kilometer saja, sehingga keberadaan Pulau Angso Duo terlihat jelas dari bibir pantai.  

Perjalanan Sehari Keliling Pulau Angso Duo
Perahu-perahu yang bersandar di Pantai Gandoriah, siap mengantar wisatawan ke Pulau Angso Duo/Laily Nihayati

Menyeberang ke Angso Duo

Harga sewa perahu per penumpang Rp50.000 pergi-pulang, sudah termasuk tiket masuk Pulau Angso Duo. Satu perahu muat untuk enam orang penumpang.

Setelah membayar tiket, kami dan penumpang lainnya bergegas naik perahu. Saat mesin perahu dinyalakan, semua penumpang sudah duduk di bangku dan siap berangkat menuju Pulau Angso Duo.

Perahu pun bergerak pelan meninggalkan dermaga pantai. Musik Minangkabau mulai mengalun, iramanya yang rancak membuat hati semakin semarak. Sepanjang perjalanan kami terhibur dengan keindahan pemandangan laut yang biru, diiringi perahu-perahu kecil yang berlalu-lalang. 

Tanpa terasa 20 menit telah berlalu, perahu kami akhirnya merapat ke pulau cantik berhias pohon-pohon nyiur. Penumpang sudah tidak sabar turun dari perahu demi melihat pasir putih dan jernihnya air di Pulau Angso Duo. 

Saya pun turun. Begitu menjejakkan kaki di air laut yang dangkal, tampak ikan-ikan kecil menari kian kemari seolah menyambut kedatangan kami. Ratih langsung menggandeng tangan saya dan mengajak berlari menuju jembatan yang menghubungkan ke pintu gerbang Pulau Angso Duo. 

Kami berfoto sejenak di bawah tulisan Angso Duo, sebelum melangkahkan kaki memasuki areal pulau. Ratih menginformasikan, pulau ini memiliki luas keseluruhan sekitar 5,13 hektare, dengan 1,25 hektar di antaranya berupa hamparan pasir putih yang lembut. Angso Duo juga sering dijuluki Pulau Harapan. Mitosnya, siapa pun yang berhasil mengelilingi pulau ini bakal terkabul harapannya. Saya semakin tidak sabar untuk segera menjelajahinya. 

  • Perjalanan Sehari Keliling Pulau Angso Duo
  • Perjalanan Sehari Keliling Pulau Angso Duo

Jejak Ulama Syekh Katik Sangko di Pulau Angso Duo

Kami berjalan menelusuri jalan setapak. Di kanan dan kiri terdapat pohon-pohon yang meneduhi perjalanan. Sekitar 50 meter, langkah kami terhenti di depan makam yang panjangnya mencapai 4,5 meter. Saya bertanya-tanya dalam hati, berapakah tinggi orang yang dimakamkan di sini hingga makamnya begitu panjang? 

Petugas penjaga Pulau Angso Duo, Samsul Bahri, menjawab rasa penasaran saya. Dia bilang, makam panjang tersebut adalah tempat peristirahatan terakhir Syekh Katik Sangko dan istrinya. 

Samsul Bahri lalu menceritakan sosok Syekh Katik Sangko, yang merupakan kerabat sekaligus pengawal dari Syekh Burhanuddin Ulakan, seorang ulama legendaris asal Pariaman. Nama Syekh Burhanuddin dikenal sebagai penyebar tarekat Syattariyah yang sangat berpengaruh di daerah Minangkabau. Mengutip dari situs Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Syekh Burhanuddin lahir pada 1646 dengan nama Pono. Ibunya bernama Nili, bersuku Guci, sedangkan ayahnya bernama Pampak dari suku Koto. Ia lahir di wilayah Pariangan, dekat Kota Padang Panjang, dan besar di wilayah Sintuk, Lubuk Alung, pesisir Sumatra Barat.

Masa kecil Pono belum banyak mengenal ajaran Islam, lantaran mayoritas masyarakat pesisir Sumatra Barat saat itu masih menganut agama Hindu dan Buddha. Ketertarikan Pono pada agama Islam bermula ketika ia diajak ayahnya berniaga dengan pedagang muslim Gujarat.

Ketika beranjak dewasa, Pono memutuskan untuk menjadi mualaf dan berniat mendalami agama Islam. Pedagang Gujarat tersebut menyarankan dia untuk merantau dan berguru  kepada Syekh Abdurrauf Singkil, seorang mufti berpengaruh di Kerajaan Aceh. 

Pono lantas mengajak Katik Sangko berlayar menuju Aceh dan bertemu dengan Syekh Abdurrauf Singkil. Di sanalah mereka diajarkan tentang Alquran,  hadis, bahasa Arab, tafsir,  fikih, tauhid, akhlak, dan tasawuf. Mereka juga mempelajari tarekat Syattariyah dari Syekh Abdurrauf Singkil. Ulama inilah yang kemudian memberikan gelar Syekh Burhanuddin pada Pono.

Perjalanan Sehari Keliling Pulau Angso Duo
Cungkup makam Syekh Katik Sangko/Laily Nihayati

Setelah 10 tahun menuntut ilmu, Syekh Burhanuddin dan Katik Sangko memutuskan kembali ke Minangkabau untuk berdakwah, menyebarkan apa yang mereka pelajari selama di Aceh kepada masyarakat. Selain menjadi ulama, mereka juga turut berjuang melawan penjajahan Belanda (VOC). Syekh Burhanuddin dan Katik Sangko bahu-membahu membantu Kerajaan Pagaruyung yang terlibat konflik dengan Belanda. 

Semasa hidup mereka, Pulau Angso Duo kerap menjadi markas, tempat berteduh, dan bermusyawarah dalam menyebarkan ajaran Islam serta mengatur siasat menghadapi penjajah Belanda. Konon penamaan pulau ini juga terinspirasi dari kedua tokoh tersebut. Saat berdakwah, Syekh Katik Sangko dan Syekh Burhanuddin kerap mengenakan jubah putih panjang, yang apabila tertiup angin akan melambai serupa kepak angsa dari kejauhan. Gambaran dua angsa atau “angso duo” dalam bahasa Minang inilah yang dijadikan nama pulau. Jika Syekh Katik Sangko dimakamkan di Angso Duo, Syekh Burhanuddin yang meninggal pada 20 Juni 1704 (usia 58 tahun) dimakamkan di daerah Ulakan, dekat dengan surau miliknya.

Hingga kini, banyak orang dari berbagai kota yang datang untuk berziarah ke makam Syekh Katik Sangko sekaligus rekreasi. Terlebih, sejak tahun 2022, gubernur dan wakil gubernur Sumatra Barat menetapkan Pulau Angso Duo sebagai Daya Tarik Wisata Unggulan (DTWU). Penetapan ini menjadi bagian program dari pencanangan Visit Beautiful West Sumatra 2023, sehingga Pulau Angso Duo terus dikembangkan agar lebih menarik dengan fasilitas yang lebih lengkap. Contohnya, pembangunan penginapan.

Perjalanan Sehari Keliling Pulau Angso Duo
Surau yang dibangun untuk mengenang jasa ulama sekaligus panglima perang Katik Sangko/Laily Nihayati

Sumur Bertuah Berusia Ratusan Tahun

Tak jauh dari makam, terdapat surau yang didirikan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Pariaman untuk tempat beribadah bagi wisatawan yang berkunjung ke Pulau Angso Duo. Kami pun menyempatkan salat Zuhur di surau Katik Sangko yang berbentuk rumah panggung itu.

Selepas salat, Ratih mengajak saya menengok sumur tua yang disebut-sebut bertuah oleh masyarakat setempat. Sumur yang sudah ada sejak zaman kolonial Belanda ini memiliki kedalaman sekitar dua meter. Demi keamanan dan keselamatan pengunjung, di sekeliling sumur diberi pagar.

Air dari sumur tua tersebut dipercaya bisa mengobati berbagai penyakit. Meskipun belum ada penelitian mengenai kandungan air sumur dan kemanjuran khasiatnya, banyak peziarah yang penasaran mencobanya. Samsul Bahri menceritakan, pernah ada pengunjung dari Sumatra Utara yang mengambil air sumur untuk membantu pengobatan lumpuh dan rematik. 

“Apakah benar-benar mujarab, saya juga tidak tahu,” ungkapnya.

Perjalanan Sehari Keliling Pulau Angso Duo
Sumur tua yang dipercaya bertuah oleh masyarakat/Laily Nihayati

Menikmati Keseruan Wisata Bahari

Kami meneruskan perjalanan menyigi sisi-sisi lain Pulau Angso Duo. Karena perut sudah keroncongan, saya dan Ratih memutuskan untuk mencari kedai. Ada banyak pilihan makanan. Kami memilih menu hidangan laut dan segelas kelapa muda yang menyegarkan. Usai urusan perut beres, kami mengabadikan momen liburan di studio foto alam yang menyediakan lokasi-lokasi menarik.

Hari pun beranjak senja. Sembari menunggu perahu menjemput, kami menjajal keseruan bermain banana boat dan jet-ski. Tidak hanya wahana itu saja yang bisa dinikmati. Beberapa wisatawan ada juga yang asyik snorkeling, berenang, berkeliling pulau, atau sekadar bermain ayunan di tepi pantai. Segala aktivitas bisa dilakukan selama jam operasional pulau, yaitu pada pukul 08.00 sampai dengan 17.00 WIB.

Tatkala mentari perlahan menuju peraduannya, kami bergegas pulang. Kembali ke Pariaman membawa kenangan berkesan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Perjalanan Sehari Keliling Pulau Angso Duo appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/perjalanan-sehari-keliling-pulau-angso-duo/feed/ 0 44645
Menapaki Jejak Tan Malaka di Rumah Kelahirannya https://telusuri.id/menapaki-jejak-tan-malaka-di-rumah-kelahirannya/ https://telusuri.id/menapaki-jejak-tan-malaka-di-rumah-kelahirannya/#respond Fri, 19 Jul 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42363 Tan Malaka, seorang pelopor kemerdekaan Indonesia, lahir dari rahim Pandam Gadang, Lima Puluh Kota, Sumatra Barat pada 2 Juni 1897. Siapa sangka, di akhir hayatnya Tan Malaka mati dieksekusi tanpa proses peradilan pada 21 Februari...

The post Menapaki Jejak Tan Malaka di Rumah Kelahirannya appeared first on TelusuRI.

]]>
Tan Malaka, seorang pelopor kemerdekaan Indonesia, lahir dari rahim Pandam Gadang, Lima Puluh Kota, Sumatra Barat pada 2 Juni 1897. Siapa sangka, di akhir hayatnya Tan Malaka mati dieksekusi tanpa proses peradilan pada 21 Februari 1949 di Selopanggung, Kediri, Jawa Timur, karena perlawanannya terhadap pemerintah Republik Indonesia yang dianggap kompromis terhadap Belanda (Haryanto via Tirto.id, 2023).

Tempat masa kecil Tan Malaka itu bernama Nagari Suliki. Tepatnya Gunuang Omeh, sebuah negeri yang terletak di sisi selatan Kota Padang dan Payakumbuh. Nagari Suliki didukung dengan sumber daya dan keelokan alamnya. Hal itu dapat dilihat dari letak geografis Nagari Suliki yang dialiri sungai dan dikelilingi perbukitan.  

Di negerinya, Tan Malaka dikenal dengan nama lengkap Ibrahim Gelar Datuk Sutan Malaka. Terlahir dari seorang ibu bernama Rangkayo Sinah Simabur, salah satu putri dari keluarga yang terpandang, dan ayah bernama H. M. Rasad Bagindo Malano yang memiliki latar sebagai buruh tani.

Tan Malaka kecil tumbuh dengan ketangkasan dan kecerdasan berbasis pendidikan surau yang ada di sebagian besar wilayah Minangkabau silam. Maka ia pun tangkas pula dalam hal mengaji dan silat, seperti penuturan Zulfikar Kamaruddin—keponakan Tan Malaka dari garis ayah—dalam wawancara Mata Najwa: Kisah Bapak Republik Tan Malaka di Metro TV (12/7/2017).

Menapaki Jejak Tan Malaka di Rumah Kelahirannya
Tampak depan rumah Tan Malaka/Raja Syeh Anugrah

Kontradiksi

Namun, kebesaran Tan Malaka ternyata berbanding terbalik dengan kondisi rumahnya. Saya mendapati kondisinya amat memilukan. Bagi orang-orang yang pertama kali berkunjung ke rumahnya, seperti saya, spontan akan mengatakan, “Betapa tidak terawatnya rumah ini.”

Bahkan sekadar plang jalan yang menunjukkan “Rumah Tan Malaka” saja tidak ada sama sekali. Informasi itu hanya tertulis di dinding rumah warga yang sukar untuk orang ketahui. Sementara di aplikasi Google Maps, terdapat dua titik “Rumah Kelahiran Tan Malaka” yang mengantarkan ke tempat asing.

Alhasil, sebelum ke tempat sebenarnya, saya dan Kak Wina—seorang kakak senior di salah satu lembaga relawan sekaligus orang lokal dari Limo Puluh Koto—kala itu nyasar sekitar 4–5 km. Atau bisa dikatakan titik yang hendak kami tuju sudah jauh terlewat.

Jalanan yang tidak begitu lebar, berliku, dipenuhi kebun-kebun masyarakat, dan rumah-rumah yang jarang membuat kami agak kesulitan. Hal itu membuat kami harus kembali berputar setelah titik tuju yang tadi cukup jauh terlewat. Barulah akhirnya kami tiba di rumah kelahiran Tan Malaka yang berlokasi tepat di Gunuang Omeh, Suliki.

Setiba di sana kami mendapati hamparan halaman membentang, bangunan dengan ciri khas rumah Gadang, tiga buah kuburan, tiang bendera yang tengah berkibar, dan patung Tan Malaka tegak dengan gagahnya. Letaknya tak jauh dari tepi jalan raya Suliki.

Namun, di Lokasi saya tidak mendapati satu orang pun yang berjaga maupun yang sekadar memberikan informasi mengenai sejarahnya. Meskipun begitu saya masih bisa masuk karena memang tidak dikunci. Di dalam rumah terdapat beberapa buku koleksi yang sama sekali tidak terawat, foto-foto Tan Malaka, dan sederet orang-orang yang menyandangkan gelar Tan Malaka.

Kala menyaksikan betapa tidak terawatnya rumah Tan Malaka, sejenak saya bergidik, “Apakah cahaya sejarah di negeri ini sudah tidak hidup lagi sebagaimana esensi kesohoran namanya di tanah air ini?”

Merawat Sejarah

Sejarah kerap dianggap sangat membosankan. Di dalam sejarah hanya berkisah cerita masa lalu. Padahal jika dipahami benar, mereka yang membaca sejarah adalah orang-orang yang memiliki pandangan besar ke masa depannya. Sebab ia telah mengetahui bagaimana orang-orang terdahulu berjuang untuk peradaban.

Berdasarkan hasil diskusi ringan saya dengan beberapa teman dari Lima Puluh Kota, sebelum saya benar-benar pergi ke rumah Tan Malaka, sebagian di antara mereka tidak mengetahui benar siapa Tan Malaka dan peran besarnya terhadap bangsa. Ditambah keberadaan Tan Malaka di Suliki yang seharusnya dapat menjadi mercusuar informasi sejarah, justru malah tidak dihiraukan begitu saja.

Padahal ketika saya dan Kak Wina ke rumah Tan Malaka, di tangga rumahnya berdiri sebuah bangunan kecil yang tidak permanen bertuliskan “BPCB (Badan Pelestarian Cagar Budaya)”. Bahwa memang benar, rumah Tan Malaka telah masuk ke dalam situs cagar budaya. Akan tetapi, skala perawatannya tidak berlanjut.

Jika kita tarik kembali ke masa lalu. Masa kecil Tan Malaka di negeri Suliki dihabiskan di surau, yakni sebuah tempat di mana sistem pendidikan tradisional Minangkabau dijalankan. Aktivitasnya seputar mengaji, bersilat, dan mendalami agama Islam. Dari sana kemudian Tan Malaka melanjutkan sekolah guru di Kweekschool, Bukittinggi yang sekarang berganti menjadi SMAN 2 Bukittinggi.

Selepas ia lulus, Tan Malaka disarankan oleh G. H. Horensma, gurunya di Kweekschool, untuk melanjutkan studi ke Belanda. Karena kendala ekonomi yang dihadapi, masyarakat negeri Suliki itulah yang turut membantu meringankan biaya Tan Malaka untuk berangkat ke Belanda, termasuk Horensma yang meminjamkan uangnya.

Tan Malaka memang dianggap sebagai komunis oleh sebagian orang. Namun, bukankah ia sudah menuliskan di autobiografinya “Dari Penjara ke Penjara”: saya di depan manusia adalah komunis, jika di depan Tuhan saya adalah seorang muslim, sebab di antara manusia banyak setan-setan. Penuturan dari keponakan Tan Malaka bahkan menyebut ia adalah seorang penghafal Quran.

Jadi, artian komunis memang ada betulnya disebabkan bergabungnya Tan Malaka ke dalam Komunis Internasional di Uni Soviet kala itu. Tan Malaka kemudian menyandang posisi sebagai perwakilan Partai Komunis di Asia. Itu pun tidak lama, Tan Malaka kemudian beralih dari kiblat komunis di Rusia setelah ia memberikan pendapat agar adanya perhatian khusus terhadap Pan-Islamisme. Namun, hal itu tertolak dan membuat Tan Malaka berjalan di garis ideologinya sendiri.

Sekiranya ini sekelumit kisah dari kesohoran Tan Malaka. Masih banyak hal lainnya, seperti saat Tan Malaka menjadi guru di perkebunan tembakau di Deli, Sekolah Rakyat di Semarang, hingga mengonsep Republik dan mendorong agar Indonesia merdeka seratus persen tanpa kooperatif. Sebab ucapnya, “Bahwa tuan rumah tidak akan berunding dengan maling yang ada di rumahnya.”

Merawat sejarah tidak hanya merawat ingatan singkat manusia, tetapi juga merawat pengetahuan masyarakat dari generasi ke generasi. Tujuannya agar tetap mengenal siapa itu Tan Malaka yang berasal dari negerinya, Suliki.

Luruskan Niat ke Rumah Tan Malaka

Saya sangat menyarankan bagi siapa pun yang hendak pergi ke rumah Tan Malaka, hal paling utama adalah luruskan niat. Ini agaknya remeh-temeh, tetapi memang benar. Bagi seseorang yang berniat baik untuk ke rumahnya, maka akan ada saja kemudahan.

Dari Kota Payakumbuh berjarak sekitar 33 km dengan waktu tempuh satu jam. Kalau dari Padang lebih jauh lagi, jaraknya 150 km dengan durasi perjalanan hampir empat jam. Di rumah Tan Malaka sama sekali tidak ada sistem tiket. Ini bukan objek wisata sejarah, melainkan lawatan minat khusus bagi yang hendak menapaki jejak kesejarahannya.

Untuk selanjutnya, pahami medan perjalanan dan baca-baca biografi Tan Malaka, agar ketika berada di sana kita dapat memahami esensi sejarah yang melekat pada rumah Tan Malaka dan pusaranya. Hal ini untuk jaga-jaga pula jika setibanya di sana sama sekali tidak mendapati penjaga yang dapat memberikan informasi, setidaknya kisah masa kecil Tan Malaka.

Terlebih informasi yang sama sekali tak tertulis di dalam buku-buku ilmiah maupun garapan sejarawan. Seperti ketika orang tua Tan Malaka meninggal dunia, ia tidak dapat pulang ke negeri Pandam Gadang. Atau informasi dari Ayah Kak Wina yang asli dari Lima Puluh Kota, yang menyebutkan bahwa Tan Malaka memiliki kemampuan mengubah wajah. Dan dialah yang menjadi imam salat kala orang tuanya wafat.

Meski kondisi rumah Tan Malaka sangat memprihatinkan, saya rasa pada bagian halaman di rumahnya masih ada yang merawat. Begitu pun kuburannya. Hanya saja saya berandai-andai adanya tindakan tepat dari pihak yang tepat dan memberikan perhatian lebih pada peninggalan sejarah.

Peninggalan sejarah bukan bermakna mesti ditinggalkan, melainkan diperhatikan. Terlebih Badan Pelestarian Cagar Budaya sudah menancapkan namanya sendiri. Keberlanjutan pelestarian tentu menjadi hal yang sangat diharapkan. Kita berbicara sejarah dan ingatan yang mesti terus dirawat.


Referensi:

Haryanto, A.  (2023, 2 November). Biografi Tan Malaka dan Kisah Hidup Sang Pahlawan Nasional. Tirto.id. Diakses pada 27 Mei 2024 dari https://tirto.id/biografi-tan-malaka-dan-kisah-hidup-sang-pahlawan-nasional-ggw8.
Metro TV. Mata Najwa: Kisah Bapak Republik Tan Malaka (1). Youtube Video. 12 Juli 2017. Dari https://youtu.be/JwpUQxWJEVg?si=ryf3SRc6QzjKzo59.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menapaki Jejak Tan Malaka di Rumah Kelahirannya appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menapaki-jejak-tan-malaka-di-rumah-kelahirannya/feed/ 0 42363
Kasih Tak Sampai di Gunung Padang Kota Padang https://telusuri.id/kasih-tak-sampai-di-gunung-padang-kota-padang/ https://telusuri.id/kasih-tak-sampai-di-gunung-padang-kota-padang/#respond Sat, 09 Dec 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40319 Dari perbukitan seserpih cerita membangkitkan ingatan pada kisah Siti Nurbaya dan Samsul Bahri.  Jika mengetik ‘Gunung Padang‘ di laman pencarian, kita dibawa pada informasi tentang situs Gunung Padang yang berada di Jawa Barat. Akan berbeda...

The post Kasih Tak Sampai di Gunung Padang Kota Padang appeared first on TelusuRI.

]]>
Dari perbukitan seserpih cerita membangkitkan ingatan pada kisah Siti Nurbaya dan Samsul Bahri. 

Kasih Tak Sampai di Gunung Padang Kota Padang
Akses jalan dari bawah ke puncak Gunung Padang/Eka Herlina

Jika mengetik ‘Gunung Padang‘ di laman pencarian, kita dibawa pada informasi tentang situs Gunung Padang yang berada di Jawa Barat. Akan berbeda hasilnya kalau menggunakan kata kunci ‘Wisata Gunung Padang di Kota Padang‘, maka sebuah cerita tempat dan informasi menarik dengan sekelumit kisah legendaris Siti Nurbaya yang kita jumpai.

Gunung Padang merupakan sebuah bukit yang terletak di Kota Padang, Sumatera Barat; menjadi perpaduan antara keindahan alam, jejak sejarah, dan kisah roman.

Saya tidak tahu apakah kisah novel Sitti Nurbaya: Kasih Tak Sampai mengenai Siti Nurbaya dan Samsul Bahri karya Marah Rusli benar-benar ada. Namun, sementara ini mari abaikan persoalan kebenaran kisah legendaris tersebut. Ada yang lebih menyenangkan kala menjadikan perbukitan ini sebagai destinasi ketika mampir ke Padang Kota Tercinta, Kujaga dan Kubela.

Memulai pagi di Bukit Gunung Padang

Pagi atau sore menjadi waktu terbaik untuk menelusuri kawasan wisata Gunung Padang, yang juga terkenal dengan sebutan Bukit Siti Nurbaya. Alasannya sederhana, yakni untuk menghindari cuaca panasnya Kota Padang yang akan membuat cepat lelah dan banjir keringat.

Gunung Padang merupakan sebuah bukit kecil dengan ketinggian sekitar 80 meter di atas permukaan laut (mdpl). Letaknya  di seberang selatan dari muara Batang Arau—salah satu sungai di Padang. Warga lokal kerap menyebutnya Gunung Padang, karena bisa dibilang tempat tertinggi yang ada di pusat kota. 

Gunung Padang merupakan salah satu spot populer bagi warga lokal untuk melakukan kegiatan jogging di akhir pekan. Selain panorama alam yang menyenangkan, Gunung Padang menyimpan cerita legenda cinta Siti Nurbaya dan jejak sejarah masa penjajahan Jepang.  

Untuk bisa memasuki kawasan ini, kita membayar biaya tiket masuk sebesar Rp5.000 per orang. Butuh sekitar 20 hingga 30 menit melakukan perjalanan ke puncak bukit. Ada Taman Siti Nurbaya di sana. Jika kamu pernah membaca novel Marah Rusli, tempat ini terasa tidak asing lagi. Novel tersebut mendeskripsikan gambaran Taman Siti Nurbaya dengan baik.

Sebagai warga lokal saya akan memberikan saran. Mulailah berjalan santai dari jembatan Siti Nurbaya menuju arah Gunung Padang. Kamu akan menemui suasana Kota Padang yang tenang, serta pelabuhan dan rumah penduduk yang terkesan humanis dan damai. 

Selepas pintu gerbang, kita akan menjumpai beberapa rumah nelayan. Kemudian terdapat jalan setapak dengan pemandangan laut. Kita bisa melihat asyiknya beberapa orang yang sibuk memancing. 

Jejak peninggalan era penjajahan Jepang

Di tengah perjalanan ke puncak Gunung Padang terdapat peninggalan era penjajahan Jepang. Kita akan menemui beberapa bunker yang bisa membuat penasaran.

Sayangnya tak ada informasi lebih lanjut soal jejak sejarah tersebut. Bungker pertama berdekatan dengan rumah penduduk. Bungker kedua tak jauh dari bungker pertama yang berfungsi sebagai gudang. 

Dari literasi yang saya baca di Wikipedia, bunker yang berdekatan dengan permukiman penduduk disebut dengan Pilboks. Memiliki ruangan cukup luas dan terdapat meriam besi besar yang kira-kira dibangun sekitar tahun 1942—1945. Sementara yang kedua memiliki bentuk seperti rumah, bertuliskan “BOW” dan memiliki dua ruangan tak beratap. 

Trek menuju ke atas tidak terlalu terjal, meski kadang cukup melelahkan. Terdapat anak tangga yang memudahkan berjalan kaki. Beberapa kali saya melipir ke tempat ini. Sekadar merasakan suasana alam yang sejuk dan melepaskan kelelahan dari hiruk pikuk Kota Padang. Saya juga kerap menjumpai rombongan keluarga yang membawa anak kecil hingga ke puncak. 

“Capek,“ begitu suara keluhan terdengar dari mulut bocah berusia sekitar tujuh tahun. Dan, memang benar adanya orang dewasa paling jago berbohong. Seperti yang dilakukan oleh ibu sang bocah.

“Seentar lagi nyampai kok,” jawab sang ibu. Dia tetap menyuruh anaknya mendaki.  Padahal masih ada puluhan anak tangga yang mesti dilalui.

Kasih Tak Sampai di Gunung Padang Kota Padang
Cerita singkat Siti Nurbaya dan Samsul Bahri/Eka Herlina

Makam Siti Nurbaya

Sebelum mencapai puncak, terdapat sebuah celah batu dengan tangga menurun. Di situ ada keterangan bahwa lorong di bawahnya merupakan makam Siti Nurbaya. Sulit untuk memastikan ada atau tidaknya sosok Siti Nurbaya, mengingat karakter tersebut berasal dari karya sastra novel.

Seperti banyak orang tahu, Siti Nurbaya adalah karakter dalam roman klasik Marah Rusli berjudul Sitti Nurbaya: Kasih Tak Sampai. Di kisah ini, ia dipaksa menikah dengan Datuk Maringgih, yang usianya jauh di atasnya untuk melunasi utang ayahnya. Di sisi lain, Siti Nurbaya sedang menjalin kasih dengan Samsul Bahri.

Meskipun Samsul Bahri pergi meninggalkan Siti Nurbaya demi melanjutkan pendidikan, tetapi Siti—yang sudah menikah dengan Datuk Maringgih—tetap mengirim surat ke Samsul. Siti ketahuan oleh suaminya. Ia pun diracuni dan meninggal dunia. 

Hancur hati Samsul Bahri mendengar berita pujaan hatinya tersebut. Untuk membalas dendam, Samsul Bahri pun bergabung menjadi pasukan Belanda dan terjadilah peperangan yang berujung saling membunuh. Begitulah sekilas kisah roman legendaris Siti Nurbaya.

Sebagai warga lokal yang senang jalan-jalan, saya tidak terlalu tertarik turun ke lorong tersebut untuk sekadar menengok makam Siti Nurbaya.

Kaki saya selalu tidak sabar menapaki anak tangga menuju puncak. Di tempat itulah saya bisa melepas lelah. Menikmati lanskap Kota Padang seraya menyeruput sebotol air mineral.

Kasih Tak Sampai di Gunung Padang Kota Padang
Area taman Siti Nurbaya di puncak Gunung Padang/Eka Herlina

Taman Siti Nurbaya

Dari puncak Gunung Padang, terhampar Taman Siti Nurbaya seluas kira-kira 180 meter persegi. Menyambut kedatangan saya yang kelelahan usai menapaki anak tangga. Napas saya cukup ngos-ngosan menyadari kenyataan betapa lemahnya tubuh ini. 

Kesejukan taman dengan naungan pepohonan yang rindang dan asri, membuat suasana nyaman untuk melepaskan lelah. Taman ini menawarkan pemandangan indah dan menyejukkan saat bersantai. Di sebelah utara dan timur, kita dapat menikmati pemandangan Kota Padang. Ke arah selatan panorama Pantai Air Manis dan Pulau Pisang. Sementara di sisi barat, hamparan laut lepas Samudra Hindia melambai-lambai.

Di perbukitan inilah, terpampang sebuah slogan. “PADANG KOTA TERCINTA,” sebuah identitas ibu kota Provinsi Sumatra Barat dan sering terlihat ketika menelusuri Pantai Padang. 

Puas menjelajah Gunung Padang, menyeruput secangkir es kopi di sebuah kedai kopi kekinian di kawasan Sungai Batang Arau adalah pilihan baik untuk menutup lelah usai naik-turun anak tangga. Batang Arau cocok jadi tempat singgah sembari memandang lepas kapal-kapal yang berlabuh di sepanjang muara sungai.

Kasih Tak Sampai di Gunung Padang Kota Padang
Kawasan Sungai Batang Arau/Eka Herlina

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kasih Tak Sampai di Gunung Padang Kota Padang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kasih-tak-sampai-di-gunung-padang-kota-padang/feed/ 0 40319
Erupsi Marapi dan Prioritas Keselamatan Wisata Pendakian Gunung https://telusuri.id/erupsi-marapi-dan-prioritas-keselamatan-wisata-pendakian-gunung/ https://telusuri.id/erupsi-marapi-dan-prioritas-keselamatan-wisata-pendakian-gunung/#respond Fri, 08 Dec 2023 07:54:49 +0000 https://telusuri.id/?p=40350 Gunung Marapi, di Sumatra Barat, erupsi pada Minggu lalu (03/12/2023). Sekurangnya 75 pendaki dilaporkan terjebak saat erupsi terjadi. Berdasarkan keterangan resmi otoritas berwenang, yang dikutip sejumlah media nasional, hingga Rabu (60/12/2023) petang, sebanyak 23 pendaki...

The post Erupsi Marapi dan Prioritas Keselamatan Wisata Pendakian Gunung appeared first on TelusuRI.

]]>
Gunung Marapi, di Sumatra Barat, erupsi pada Minggu lalu (03/12/2023). Sekurangnya 75 pendaki dilaporkan terjebak saat erupsi terjadi. Berdasarkan keterangan resmi otoritas berwenang, yang dikutip sejumlah media nasional, hingga Rabu (60/12/2023) petang, sebanyak 23 pendaki tewas.

Sebagaimana dikutip dari CNN Indonesia (06/12/2023), Kepala Bidang Kedokteran dan Kesehatan Polda Sumatera Barat, Komisaris Besar Polisi Lisda Cancer, menyampaikan hampir semua korban erupsi Gunung Marapi yang meninggal maupun selamat mengalami luka bakar pada tubuhnya.

Pelajaran apa yang dapat kita petik dari tragedi erupsi Gunung Marapi ini?

Prioritas keamanan umum

Ditilik dari manfaat pribadi, melakukan aktivitas wisata sesungguhnya bukan sekadar bersenang-senang semata, tetapi juga berguna bagi pengembangan diri. Setidaknya dengan melakukan perjalanan wisata, termasuk wisata pendakian gunung, selain dapat semakin mengenal diri kita, menambah percaya diri, meningkatkan kemandirian serta tanggungjawab dan memperluas wawasan, juga membuat diri kita semakin toleran dan terbuka.

Sebagai warga Indonesia, tentu saja kita semestinya bersyukur telah dianugerahi negara yang memiliki ribuan pulau dengan beragam suku bangsa, panorama alam, serta aneka seni dan budaya yang sangat beragam. 

Di satu sisi, ini menjadi modal berharga bagi pengembangan industri pariwisata kita. Di sisi lain, ini juga menjadi peluang bagi kita untuk dapat mengenal lebih jauh lagi tentang negara kita tercinta sehingga dapat ikut meningkatkan wawasan kebangsaan diri kita.

Namun demikian, apapun jenis perjalanan wisata yang ditawarkan dan menjadi pilihan kita, aspek keamanan dan keselamatan harus selalu menjadi prioritas utama. Setiap pengelola destinasi wisata maupun wisatawan seyogianya senantiasa menempatkan aspek keamanan dan keselamatan di urutan pertama.

Khusus dalam konteks pengelolaan destinasi wisata, ada beberapa hal yang wajib menjadi perhatian para pengelola destinasi wisata terkait dengan aspek keamanan dan keselamatan ini.

Pertama, keamanan dan keselamatan umum. Ini adalah prosedur dan sistem yang secara umum dapat diandalkan untuk menjaga keamanan dan keselamatan publik, termasuk keamanan dan keselamatan para wisatawan. Elemen-elemen dari keamanan umum ini, antara lain penerangan yang memadai di sekitar area wisata, penyediaan papan petunjuk serta peringatan yang jelas dan mudah dimengerti, keberadaan perangkat kamera pengawas, adanya para petugas keamanan yang berpatroli secara teratur, baik dengan seragam resmi maupun dengan pakaian preman, dan penyediaan nomor layanan khusus (hotline) untuk pelaporan dengan pelayanan prima. 

Kedua, proteksi darurat bencana. Bencana, baik itu karena dipicu faktor alam maupun faktor manusia, dapat saja datang secara tiba-tiba. Setiap pengelola destinasi wisata sudah seharusnya memiliki prosedur baku terkait hal-hal paling buruk yang mungkin saja dapat menimpa kepada wisatawan yang berkunjung ke tempatnya.

Ketiga, asuransi. Adalah wajib hukumnya untuk para pengelola destinasi wisata mengasuransikan setiap wisatawan yang berkunjung dan/atau menggunakan jasa wisata mereka.

Keempat, informasi yang akurat dan andal. Wisatawan perlu diberi informasi yang akurat dan andal mengenai langkah dan prosedur kedaruratan yang perlu mereka ambil, tatkala terjadi hal-hal darurat saat sedang melakukan aktivitas wisata.

Kelima, perlindungan dan bantuan hukum. Pengelola destinasi wisata ada baiknya menyediakan pula bantuan serta perlindungan hukum yang memadai bagi para wisatawan. Tujuannya mengantisipasi kemungkinan masalah-masalah hukum, yang bisa saja menimpa para wisatawan saat mereka berwisata. 

Dengan lima prioritas tersebut, diharapkan para pengelola destinasi wisata dapat meminimalisasi terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Khususnya bagi para wisatawan tatkala sedang melakukan aktivitas wisata. 

Pelajaran dari erupsi Gunung Marapi

Tewasnya puluhan pendaki saat erupsi Gunung Marapi tentu sangat kita sesalkan. Peristiwa tragis ini semestinya dapat dihindari jika pengelola destinasi wisata pendakian, yaitu Taman Wisata Alam (TWA) Marapi, mengutamakan aspek keamanan dan keselamatan.

Sayangnya, aspek keamanan dan keselamatan ini tampaknya kurang dijadikan sebagai prioritas. Padahal, berdasarkan laporan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Marapi masih berstatus level II alias Waspada sejak 3 Agustus 2011. Dan status tersebut masih belum berubah saat Gunung Marapi meletus pada 3 Desember 2023 lalu. Dengan status tersebut, PVMBG memberikan rekomendasi pendakian tak mendekati kawasan kawah, yaitu sejauh tiga kilometer.

Ade Edward, Ahli Geologi Vulkanologi, sebagaimana dikutip Mongabay (05/12/2023) mengatakan semestinya pihak terkait tidak memberikan izin kepada pendaki. Akan tetapi, yang terjadi sebaliknya.

Menurutnya, pembukaan jalur TWA Gunung Marapi untuk pendakian mestinya dilarang karena status gunung level II sejak 2011. Artinya, kata Ade, gunung itu sewaktu-waktu dapat meletus. Maka radius tiga kilometer dari puncak itu tidak boleh ada wisatawan kecuali petugas.

Jatuhnya korban saat erupsi Gunung Marapi mesti menjadi pelajaran berharga bagi para pengelola wisata pendakian di negara kita. Sebagai negara yang berada di jalur Cincin Api, Indonesia memiliki sedikitnya 129 gunung api yang berstatus aktif. Gunung-gunung ini senantiasa menarik para wisatawan, baik itu lokal maupun mancanegara untuk melakukan pendakian.

Berkaca pada tragedi Gunung Marapi, para pengelola wisata pendakian gunung di Indonesia sudah saatnya mengutamakan keamanan dan keselamatan. Mereka harus lebih memperketat izin pendakian ketika otoritas berwenang telah mengeluarkan rekomendasi pendakian. Di sisi lain, para wisatawan pendakian perlu pula lebih menyadari keselamatan diri mereka. Caranya adalah memerhatikan secara saksama status gunung yang hendak didaki. Bagaimanapun, tak ada pendakian yang seharga nyawa.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Erupsi Marapi dan Prioritas Keselamatan Wisata Pendakian Gunung appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/erupsi-marapi-dan-prioritas-keselamatan-wisata-pendakian-gunung/feed/ 0 40350
Kudo Bendi: Eksis Melintasi Zaman (2) https://telusuri.id/kudo-bendi-eksis-melintasi-zaman-2/ https://telusuri.id/kudo-bendi-eksis-melintasi-zaman-2/#respond Thu, 13 Jul 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39288 Kuda bendi yang saya tumpangi melaju menembus jalanan utama kota. Embusan angin yang sedikit menusuk kulit membuat Azzahra sesekali memeluk lengannya. Seperti turis baru saja rasanya. Melalui telepon genggam, saya melihat temperatur udara sore itu...

The post Kudo Bendi: Eksis Melintasi Zaman (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Kuda bendi yang saya tumpangi melaju menembus jalanan utama kota. Embusan angin yang sedikit menusuk kulit membuat Azzahra sesekali memeluk lengannya. Seperti turis baru saja rasanya. Melalui telepon genggam, saya melihat temperatur udara sore itu sekitar 23°C. Cukup dingin bagi kami yang biasa merasakan suhu sore di atas 30°C. Tak mengapa. Tetap menyenangkan. 

Son memberikan nomor telepon genggamnya pada saya. Sebelum menurunkan kami, ia berujar, “Beko kalo nio naiak bendi baliak, a talepon sajo awak, buliah wak japuik sajo ka rumah, jadi indak payah na beko jalan ka pasa mancari bendi, a bia kaliliang-kaliang adiak baliak (nanti kalo mau naik bendi lagi, bisa telepon saya saja, saya bisa jemput ke rumah, jadi tidak perlu susah jalan ke pasar buat cari bendi, nanti bisa keliling-keliling lagi).”

“A jadih pak, beko kalo nio naiak bendi liak, wak talepon apak yo, jan maha-maha ongkosnyo dak, Pak! (Baik, Pak, nanti kalau saya naik bendi lagi, saya akan telepon Bapak, tetapi ongkosnya jangan mahal-mahal ya, Pak!),” jawab saya sembari turun dan memberikan sejumlah uang. 

Kudo Bendi: Eksis Melintasi Zaman (2)
Melintasi jalanan dengan menaiki kuda bendi/Atika Amalia

Strategi Kusir Bendi Menarik Penumpang

Semenjak banyaknya transportasi modern yang semakin bertambah, sejalan dengan kepentingan individu yang berbeda, peminat kuda bendi cenderung menurun drastis. Setiap kusir bendi harus memiliki strategi baru untuk memikat penumpang agar memanfaatkan jasa mereka sebagai sarana transportasi. Seperti Son, yang mempunyai trik dengan memberikan nomor telepon pada penumpang bendinya. Ia berharap penumpang tersebut dapat lebih mudah mencari Son ketika ingin kembali berjalan-jalan dengan bendi.

Tarif kuda bendi yang kita bayarkan adalah tarif yang lebih dahulu disepakati di awal. Penentuan penghitungan tarif berdasarkan tujuan dan jarak tempuh. Son harus berpacu dengan penyedia jasa transportasi lainnya, agar kebutuhan rumah tangga dan perawatan kuda dapat terpenuhi.

“Samanjak urang-urang banyak nan mambali onda kredit, lah jarang bana ado nan nio naiak bendi (semenjak orang-orang banyak yang membeli motor secara kredit, jadinya jarang yang mau naik bendi lagi),” tutur Son.

Menurut dia, masyarakat yang tadinya menggunakan jasa bendi, sekarang beralih ke transportasi modern, seperti sepeda motor. Apalagi kendaraan roda dua sangat mudah untuk mendapatkannya. Jika tidak punya uang untuk membeli sepeda motor secara tunai, dealer akan menawarkan kredit kepada calon pembeli. Hal ini semakin memengaruhi minat masyarakat terhadap kuda bendi. 

“Yo kini bendi ko masih ado, tapi indak sabanyak dulu lai, nan banyak naiak bendi ko kini you urang-urang wisata, parantau nan pulang kampuang atau anak-anak ketek (ya, bendi ini sekarang masih ada, tetapi tidak sebanyak dulu, peminat bendi itu sekarang adalah orang-orang wisata, perantau yang pulang kampung, atau anak-anak kecil),” Son berbicara pergeseran segmen penumpang kuda bendi.

Bagi Son, jasa bendi yang ia tawarkan bukan lagi mata pencaharian utama. Pagi hingga siang hari, Son melakukan pekerjaan lain. Baru sorenya mencari penumpang dengan kuda bendi. 

Dalam kesempatan berbeda, Riko, kusir bendi yang pernah saya temui, menceritakan hal serupa. Terjadi penurunan jumlah peminat dan penumpang kuda bendi, sehingga berpengaruh pada jumlah pemasukan harian para kusir. Perawatan dan pemberian pakan untuk kuda-kuda harus terus berjalan, sementara uang masuk para kusir bendi tidak sebanyak dahulu. 

Riko yang berprofesi sebagai kusir bendi lebih dari 20 tahun ini punya strategi pemasaran yang berbeda dengan Son. Setiap penumpang yang naik bendinya akan ia tawarkan untuk perjalanan pulang dan pergi. Jadi, Riko akan mengantarkan penumpang ke tujuan kemudian menunggu penumpangnya selesai. Selanjutnya ia membawa penumpang itu kembali ke tempat awal sehingga bisa menambah pemasukan. 

“Dari pado baliak kosong, jadi ancak tungguan se penumpang ko, rato-rato kan urang-urang ko balanjo sabanta jadi beko pulang baliak baok balanjonyo (Daripada balik harus kosong, mending penumpangnya ditungguin saja, rata-rata mereka belanja kan sebentar jadi nanti pulang kembali bawa penumpang itu lagi dan barang belanjaannya),” ujar Riko.

Kudo Bendi: Eksis Melintasi Zaman (2)
Riko memperlihatkan jambul yang terpasang di kepala kuda/Atika Amalia

Tantangan Besar untuk tetap Bertahan

Pada kesempatan lain, saya juga pernah menumpang salah satu bendi─saya lupa nama kusirnya─beliau menuturkan bahwa perawatan kuda juga harus optimal. Sama seperti manusia, ada makanan utamanya, yaitu sagu dan rumput, kemudian camilan macam pisang dan sayur-sayuran, juga vitamin.

Kuda juga memiliki waktu istirahat siang. Untuk memenuhi kebutuhan kuda, beliau memiliki cara sendiri untuk menarik pelanggan. Jadi, siang hari kuda beroperasi seperti biasa sesuai jalur permintaan penumpang. Kemudian malam harinya, beliau akan memasangkan kuda yang berbeda pada bendi yang sama dan menghiasinya dengan lampu kelip-kelip. Sang kusir juga menyalakan musik sehingga penumpang merasakan perbedaan suasana saat menaiki kuda bendi.

“Awak ado duo kuda, jadi kuda iko siang beko kuda yang ciek lai malam. Tapi bendi yang dipakai samo, tingga di bukak tu pasang ka kuda cieklai, iduikan lampunyo (saya punya dua kuda, jadi siang saya pakai kuda yang ini, kalau malam pakai kuda satunya lagi. Tapi, bendi yang dipakai sama, nanti dibuka kudanya terus dipasangkan ke kuda yang satunya lagi, lampu hiasan bendi dinyalakan),” tuturnya. 

“Jadi, kita harus kreatif, ya, Pak?” saya menyahut.

“Iyo harus bapikia wak, kalo indak tu dak ado nan nio naiak bendi lai (iya, kita harus berpikir, jika tidak, gak ada lagi yang mau naik bendi),” jawab beliau sembari menarik tali pengikat kuda.

“Tapi bendi ko terlalu maha tarifnyo Pak daripado wak naiak ojek (tetapi bendi ini tarifnya terlalu mahal, Pak, daripada naik ojek),” kelakar saya.

“iyo batua, baa dak kamaha, makan kuda ko se banyak, pisang tu untuk sneknyo se sasikek tu ha, pisang bara kini, alun lo biaya lain-lainnyo, ditambah yang naiak dak banyak lai (iya, betul, bagaimana tidak mahal, kuda itu makannya banyak, pisang untuk camilan saja sekali makan itu habis satu sisir, sementara harga pisang juga mahal, belum lagi biaya lainnya yang juga semakin tinggi),” jelas beliau sambil tertawa.

Saya menyadari, bendi sebagai alat angkut tradisional yang masih bertahan hingga saat ini, adalah sesuatu yang cukup istimewa di tengah gempuran berbagai jenis transportasi modern. Persaingan kuda bendi pun cukup ketat. Tarif jasanya yang bisa dua kali lipat lebih mahal daripada ojek daring membuat peminatnya semakin menurun.

Para kusir bendi harus lebih kreatif dan berinovasi untuk menarik pelanggan kembali menggunakan jasanya. Selain itu, sebagai pengguna, saya berpendapat bahwa tarif yang sedikit lebih mahal sama halnya dengan membeli kenangan dan merawat budaya. Saya tidak merasa rugi terhadap harga yang saya bayarkan.

Melalui tulisan ini, saya mengajak masyarakat agar terus melestarikan kendaraan tradisional, seperti kuda bendi dengan pelbagai cara. Baik itu menumpang maupun mempromosikan kuda bendi melalui media apa pun dalam bentuk tulisan dan gambar. Tujuannya merawat salah satu warisan budaya Indonesia agar tidak punah.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kudo Bendi: Eksis Melintasi Zaman (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kudo-bendi-eksis-melintasi-zaman-2/feed/ 0 39288
Kudo Bendi: Eksis Melintasi Zaman (1) https://telusuri.id/kudo-bendi-eksis-melintasi-zaman-1/ https://telusuri.id/kudo-bendi-eksis-melintasi-zaman-1/#respond Wed, 12 Jul 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39277 Tahun ini adalah kedua kalinya saya pulang ke tanah kelahiran, Payakumbuh. Kota yang menjadi saksi perjalanan hidup hingga remaja. Raut wajah lelah ibunda dengan rambut yang hampir seluruhnya memutih menyambut kepulangan saya. Betapa tidak, saya...

The post Kudo Bendi: Eksis Melintasi Zaman (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Tahun ini adalah kedua kalinya saya pulang ke tanah kelahiran, Payakumbuh. Kota yang menjadi saksi perjalanan hidup hingga remaja. Raut wajah lelah ibunda dengan rambut yang hampir seluruhnya memutih menyambut kepulangan saya. Betapa tidak, saya pulang untuk melihat ayahanda yang sedang dalam masa pemulihan pasca kecelakaan lalu lintas beberapa bulan sebelumnya.

Langit biru menyapa saya sore itu. Angin segar pepohonan seolah mengusap lembut wajah. Gerombolan burung-burung kecil sesekali melintas melewati atap rumah. Kambing-kambing yang akan pulang ke kandang mengembik kegirangan tanda perut sudah kenyang. Dan penjaja makanan malam sudah mulai mempersiapkan lapak dagangan. 

“Damai dan nyaman sekali,” gumam saya dalam hati.

Saya mengajak putri kecil saya, Azzahra, melihat salah satu sungai yang berada tak jauh dari rumah ibunda. Ia bernyanyi kecil dan sekali-sekali meloncat kegirangan. Itulah yang saya lihat darinya. Senang sekali tampaknya. Hari-hari sore yang biasanya penuh dengan hiruk pikuk suara kendaraan ibu kota, tetapi kali ini berbeda. Sebuah pemandangan baru baginya. 

“Seru, ya?” ucapku.

“Ada sungai di sana,” jawab Azzahra dengan wajah yang masih berbinar. Kadang-kadang ia gosokkan sandal jepit merah yang baru saya beli di warung ke rerumputan. Mencari bunga putri malu untuk ia sentuh.

Gak ada putri malu, Bunda,” ujarnya.

“Belum kelihatan, ya, dari tadi.” Saya sambil menunduk untuk melihat sekitar.

Kami berjalan kaki menyusuri pinggir sungai hingga tiba di Jembatan Batang Agam. Sebuah jembatan yang penuh sejarah. Letaknya berada tepat di antara Monumen Ratapan Ibu dan rumah potong hewan. Masyarakat kota lalu-lalang, beberapa kudo bendi (kuda bendi) tampak memacu kecepatannya menuju pusat kota. Seketika ada ide di kepala saya untuk mengajak Azzahra berkeliling kota dengan kendaraan tradisional tersebut. Sembari menunggu waktu magrib tiba. 

Kudo Bendi: Eksis Melintasi Zaman (1)
Kuda bendi dan penumpangnya di depan pertokoan dekat Pasar Tradisional Ibuh/Atika Amalia

Asal Usul Kuda Bendi

Sekilas kuda bendi tampak seperti kendaraan tradisional lain yang ada di beberapa kota di Indonesia, seperti Yogyakarta, Lombok, Manado, dan Jakarta. Kereta roda dua yang ditarik kuda tersebut memiliki peran vital dalam kehidupan masyarakat Minangkabau di masa lampau. Pada akhir abad ke-19, transportasi di Sumatra Barat adalah yang paling maju di antara daerah-daerah di luar Jawa.

Mula-mula kereta api menjadi angkutan umum sejak 1893. Hal ini distimulasi oleh penemuan deposit batubara di Ombilin pada tahun 1868. Lalu 19 tahun kemudian Parlemen Belanda memutuskan membangun jalur kereta api untuk sarana transportasi batubara dari Sawahlunto ke Pelabuhan Emmahaven Padang. Menurut Colombijn (dalam Sufwan, 2017), kota-kota di pedalaman semakin terbuka dari isolasi, sebab jalan trem meluas ke daerah-daerah yang terpencil sekalipun.

Tidak lama berselang, angkutan mobil didatangkan dari Singapura sejak 1904. Catatan sejarah mengatakan bahwa pada awal 1920-an terdapat lebih dari 3.000 angkutan mobil di Sumatra Barat. Di akhir dasawarsa yang sama, jumlah mobil telah mencapai angka 7.000. Asnan (dalam Sufwan, 2017) menyebut angkutan mobil terus tumbuh seiring terus tumbuhnya jalan raya.

Sejak akhir abad ke-19, dapat dikatakan bahwa modernisasi transportasi telah berhasil dilakukan pemerintah kolonial Belanda. Angkutan massal modern menggantikan angkutan tradisional, seperti pedati, bendi, atau kuda beban. Bahkan hingga pertengahan abad ke-20, nyaris hanya bendi yang bertahan sebagai alat angkut manusia, meskipun dalam skala terbatas.

Perubahan Jenis dan Fungsi Bendi dari Masa ke Masa

Masa kolonial Belanda, menurut Ishakawi (dalam Vivindra dkk, 2015), menjelaskan bahwa bendi mengalami beberapa perubahan. Pertama adalah kereta kuda yang dibawa oleh petinggi bangsa Belanda dan beroda empat. Selanjutnya berubah lagi menjadi kereta kuda beroda dua dengan sebutan “sado”. Jenis kereta kuda ini yang jadi awal dari bendi tradisional di Sumatra Barat.

Pada masa itu kendaraan atau transportasi belum begitu banyak, sehingga bendi merupakan barang mewah. Hanya golongan tertentu saja yang memiliki bendi itu, seperti orang-orang kaya, penguasa, pejabat pemerintah, dan tokoh masyarakat.  Kemudian fungsi bendi saat itu adalah sebagai kendaraan petinggi dan pejabat dalam melaksanakan tugas. Sehingga bendi lebih memiliki makna sebagai kendaraan pribadi yang dapat melambangkan kekuasaan, kekuatan, penguasa, dan status sosial. Lalu setelahnya bendi menjadi transportasi umum hingga saat ini.

Bendi memiliki beberapa jenis. Pertama, terem atau terent. Kata “terem” berasal dari “trem”, yaitu kereta yang berjalan dengan tenaga listrik atau lokomotif kecil dan merupakan salah satu angkutan kota di Eropa. Kemungkinan berasal dari bahasa Inggris “train” (kereta), yang karena mendapat pengaruh oleh dialek bahasa Minangkabau, masyarakat menyebutnya terem. Namun, maksud terem di sini adalah bendi yang memiliki empat roda dan ditarik oleh dua ekor kuda. Orang Belanda menyebutnya dengan terem atau terent atau bendi Balando.

Kedua adalah sado, sejenis bendi yang ditarik oleh kuda. Bentuknya hampir sama dengan bendi. Sado memiliki dua macam, yaitu sado tetap dan sado bersambung. Ketiga, bogi, berbentuk lebih kecil dari bendi. Ciri-ciri bogi antara lain memiliki bak berukuran kecil dan satu buah tempat duduk, tidak memiliki tenda, dan ditarik oleh seekor kuda.

Kudo Bendi: Eksis Melintasi Zaman (1)
Bogi atau bendi yang pernah Bung Hatta naiki. Koleksi Museum Rumah Kelahiran Bung Hatta/Atika Amalia

Bogi oleh sebagian orang disebut bugih. Fungsinya selain sebagai kendaraan pribadi orang-orang ternama masa lalu, juga merupakan salah satu bentuk permainan rakyat yang dikenal dengan nama pacu bogi atau pacu darap. Muhammad Hatta atau Bung Hatta pernah diantarkan menggunakan bogi dari kediamannya di Bukittinggi menuju Kota Padang untuk melanjutkan sekolah di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Sekolah menengah pertama (SMP) pada zaman pemerintah kolonial Belanda di Indonesia. Bogi yang digunakan untuk mengantar Bung Hatta adalah kendaraan milik keluarga.

Keempat, bendi yang masih terpakai hingga saat ini, memiliki bentuk yang lebih sempurna dari pendahulunya. Satu kuda menarik kereta yang beroda dua, mempunyai atap penutup dan berhias pelbagai aksesoris dan hiasan menarik.

Berkeliling Kota Payakumbuh Naik Kuda Bendi 

Saya dan Azzahra berjalan kaki sekitar 150 meter dari Monumen Ratapan Ibu menuju gapura bertuliskan “Pasar Tradisional Ibuh”, Payakumbuh. Tampak ada dua kuda bendi yang masih menunggu penumpang. Hari-hari biasa kuda bendi lebih banyak jumlahnya. Mungkin karena waktu itu sudah sore dan juga masa Ramadhan, sehingga sebagian telah kembali ke kandang. 

Seorang kusir bendi menyapa ketika saya mendekat. Saya memintanya untuk mengantar kami berkeliling melewati beberapa ruas jalan. Di kesempatan ini saya juga tidak ingin kena pakuak, istilah yang sering masyarakat Sumatra Barat gunakan jika harga barang atau jasa melebihi harga normal. Salah satu caranya adalah dengan membuat kesepakatan harga di awal sebelum berangkat. Tidak ada harga yang pasti jika menggunakan kuda bendi, jadi pengguna harus menawarnya terlebih dahulu. 

Son, kusir bendi pertama yang Azzahra temui, adalah orang yang ramah pada anak-anak. Saat menaiki bendi kami melihat berbagai aksesoris dan hiasan yang sangat menarik perhatian orang, terutama anak-anak. Pada kepala kuda terpasang sebuah aksesoris berupa jambul merah. Son menganalogikannya seperti manusia memakai bando (bendo). Melalui penjelasan Son, Azzahra semakin antusias.

Hal menarik lainnya dari kuda bendi adalah terdapat bantal kecil berwarna merah untuk sandaran penumpang. Ada juga dekorasi seng dan ukiran motif bunga-bunga di beberapa bagian luar dinding bendi. Selain itu, masyarakat juga berkelakar bahwa bendi adalah kendaraan mahal dengan menyebut inisial BMW, yaitu Bendi Merah Warnanya.  

“Azza seru gak naik bendi?” saya menggodanya 

“Naik bendi itu seru, bendinya lucu,” sahutnya sembari tertawa girang.

Kudo Bendi: Eksis Melintasi Zaman (1)
Dekorasi menarik di bagian penumpang kuda bendi/Atika Amalia

Kami mengelilingi beberapa jalanan, yang akhirnya kembali menghidupkan memori masa kecil saya. Orang tua saya dulu pernah mempunyai tiga kuda bendi yang menjadi alat jasa transportasi. Seorang kusir membawa kuda bendi dengan sistem bagi hasil, lalu kusir tersebut akan merawat kuda. Selang beberapa tahun kemudian, orang tua menjual bendinya setelah seekor kudanya mati karena kecelakaan di salah satu kandang tempat penitipan kuda. 

Sore itu, saya dan Azzahra mendapat kesenangan berbeda. Saya mengingat kembali memori-memori manis masa kanak-kanak setelah melintasi berbagai tempat, di antaranya Jalan Arisun, tugu Adipura, melihat Masjid Muhammadiyah, dan menatap Gunung Sago dari kejauhan. Azzahra sedang membangun memori dengan pengalaman barunya menumpangi kudo bendi. 

Referensi

Asnan, Gusti. 2003. Kamus Sejarah Minangkabau. Padang: Pusat Pengkajian Islam Minangkabau.
Colombijn, Freek. 2006. Paco-paco Kota Padang. Yogyakarta: Ombak.
Ishakawi. 2010. Ranah Seni. Jurnal Seni dan Desain, Vol 03(02), 1-13.
Sufwan, F. H. (2017). Kuda Bendi di Kota Payakumbuh, Sumatera Barat Hingga Akhir Abad Ke-20. Mozaik Humaniora, 17 (1), 53.
Vivindra, R. D., Syamsir, S., & Nurman, N. (2015). Eksistensi Bendi dalam Perspektif Budaya di Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat. Humanus. Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu Humaniora, 14(1), 71-79.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kudo Bendi: Eksis Melintasi Zaman (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kudo-bendi-eksis-melintasi-zaman-1/feed/ 0 39277