sumatra Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/sumatra/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 25 Jun 2025 14:57:38 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 sumatra Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/sumatra/ 32 32 135956295 Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah https://telusuri.id/surat-terbuka-menentang-rencana-deforestasi-pemerintah/ https://telusuri.id/surat-terbuka-menentang-rencana-deforestasi-pemerintah/#respond Fri, 07 Feb 2025 00:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45564 Wacana membuka 20 juta hektare lahan hutan yang keluar dari lisan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni seperti tidak menunjukkan marwah kementerian yang mengurusi hutan. Sekalipun itu untuk dalih mendukung proyek ambisius food estate, memperkuat cadangan...

The post Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah appeared first on TelusuRI.

]]>
Wacana membuka 20 juta hektare lahan hutan yang keluar dari lisan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni seperti tidak menunjukkan marwah kementerian yang mengurusi hutan. Sekalipun itu untuk dalih mendukung proyek ambisius food estate, memperkuat cadangan pangan, energi, dan air. Hal ini diperparah pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang menyamakan perkebunan sawit dengan hutan, yang menganggap deforestasi bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan.

Riset Satya Bumi menyebut daya dukung tampung lingkungan hidup untuk perkebunan sawit di Indonesia sudah mendekati ambang batas. Angka ambang batas atas (cap) sawit di Indonesia adalah 18,15 juta hektare, dengan daerah cakupan terluas ada di Pulau Sumatra dan Kalimantan, yang luasannya sudah melampaui kebutuhan (surplus). Sementara menurut data MapBiomas, luas perkebunan sawit saat ini sudah mencapai 17,7 juta hektare. Daripada memaksakan ekspansi sawit, mestinya pemerintah memerhatikan tata kelola yang lebih baik.

Arah kebijakan yang tidak memiliki sensitivitas pada alam tersebut berpeluang menimbulkan bahaya berupa bencana ekologis, mengancam ketahanan dan diversifikasi pangan lokal, serta merebut ruang hidup masyarakat adat. Belum lagi pemusnahan habitat satwa-satwa endemis yang populasinya sudah makin kritis.

Padahal, keanekaragaman hayati dan masyarakat yang majemuk justru menjadi nilai plus Indonesia. Masyarakat atau komunitas adat lokal, yang telah hidup berharmoni dengan hutan secara turun-temurun, terbukti mampu melestarikan tegakan hutan—baik itu hutan tropis di daratan maupun hutan mangrove di kawasan perairan—sekaligus menjaga ekosistem kehidupan di dalamnya. 

Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah

Deforestasi untuk pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit oleh PT Permata Nusa Mandiri (PNM) di wilayah adat Namblong, Distrik Nimbokrang, Kabupaten Jayapura. PT PNM mendapatkan izin lokasi seluas 32.000 hektare dari Bupati Jayapura Mathius Awoitauw pada 2011. Kemudian izin konsesi kawasan hutan dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan lewat SK.680/MENHUT-II/2014 tanggal 13 Agustus 2014 dengan luas wilayah 16.182,48 hektare. Kawasan seluas itu telah mencaplok lebih dari separuh wilayah adat suku Namblong seluas 53.000 hektare yang membentang di Lembah Grime. Izin konsesi tersebut kemudian dicabut oleh Menteri Kehutanan Siti Nurbaya Bakar lewat SK.01/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2022. Namun, aktivitas PT PNM masih berjalan. Pembabatan hutan terus berlangsung dan ratusan hektare lahan berhutan milik sejumlah marga telah rata dengan tanah. Meski belum ada kegiatan penanaman, tetapi perusahaan yang tidak memiliki kantor tetap itu telah menyiapkan bibit-bibit sawit siap tanam. Keberadaan industri ekstraktif ini sedang “dilawan” oleh masyarakat lokal dengan beragam cara, di antaranya pengelolaan sumber daya alam oleh Badan Usaha Milik Masyarakat Adat (BUMMA)/Foto oleh Deta Widyananda

Inilah cara kreatif “menjual” hutan tanpa harus membabat hutan

Pengalaman dari perjalanan ekspedisi Arah Singgah oleh TelusuRI di Sumatra, Kalimantan, dan Papua dalam dua tahun terakhir telah memberikan sudut pandang nyata soal harmoni manusia dan alam, serta tantangan internal-eksternal yang bisa mengancam eksistensinya. TelusuRI ingin mengajak pemerintah maupun para pemangku kepentingan dengan kesadaran penuh untuk bercermin dari jalan hidup para local champion dan masyarakat adat tersebut. Mereka cerdas dan bijak dalam memanfaatkan hasil hutan dan mendapat keuntungan ekonomi, tetapi tanpa harus merusak hutan.

Inilah cara-cara mereka, yang (seharusnya) bisa menjadi pedoman nyata pemerintah agar lebih kreatif dan bijaksana dalam membuat kebijakan ramah lingkungan.

1. Ekowisata Tangkahan, Langkat, Sumatra Utara

Sepanjang 1995–2000, sekitar 400 hektare hutan di Tangkahan dibabat habis oleh pembalakan liar. Masyarakat dan cukong bekerja sama dalam bisnis kotor pada balok-balok kayu damar senilai jutaan rupiah. Padahal, kampung di pinggiran Sungai Sei Batang Serangan ini berbatasan langsung dengan kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Satu dari lima taman nasional tertua di Indonesia, satu-satunya tempat empat mamalia besar endemis berada dalam satu ‘rumah’: harimau, gajah, orang utan, dan badak.

  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah

Pada 2001, sejumlah pembalak liar mulai menemukan kesadaran dan berubah haluan, yang kemudian membentuk komunitas pemuda Tangkahan Simalem Ranger tanggal 22 April. Salah satu inisiatornya adalah Rutkita Sembiring. Tugas utamanya antara lain menghentikan illegal logging, juga mengajak rekan-rekan pembalak untuk bertobat dan mencari jalan hidup yang lebih baik.

Inisiatif tersebut lalu berkembang melahirkan Lembaga Pariwisata Tangkahan (LPT). Terinspirasi dari ekowisata Bukit Lawang, yang telah membuktikan upaya “menjual” hutan tidak dengan menebang, tetapi melalui ekowisata. LPT menggerakan ekonomi alternatif dan merestorasi alam melalui ekowisata berkelanjutan. Sampai sekarang, LPT bekerja sama dengan Conservation Rescue Unit (CRU) dan TNGL, yang bertanggung jawab menampung gajah-gajah sumatra di Pusat Latihan Satwa Khusus (PLSK) Tangkahan. Gajah-gajah tersebut umumnya dievakuasi dari konflik manusia-satwa di Aceh-Sumatra Utara. Di PLSK, sejumlah induk dan anak gajah dirawat oleh mahout (pawang gajah), yang juga bertugas memberi edukasi konservasi kepada para tamu LPT, baik domestik maupun mancanegara.

2. Kelompok Tani Hutan Konservasi, Langkat, Sumatra Utara

Tidak hanya di Tangkahan. Selama lebih dari tiga dekade, riwayat perusakan kawasan penyangga TNGL  juga merambah 16.000 hektare hutan di daerah pedalaman Besitang. Alih fungsi lahan yang masif mengubah area hutan menjadi perkebunan kelapa sawit dan karet. Mafia tanah pun merajalela, konflik horizontal antara masyarakat dengan pemangku kawasan konservasi tak terelakkan.

  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah

Pada 2017, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan membentuk program Kelompok Tani Hutan Konservasi (KTHK) sebagai upaya memulihkan kawasan. Terdapat 16 KTHK yang masing-masing beranggotakan petani mitra sekitar dengan cakupan lahan mencapai hampir 1.000 hektare. Setiap petani diberi lahan garapan seluas dua hektare untuk menanam komoditas hasil hutan bukan kayu (HHBK), seperti durian, jengkol, cempedak, aren, petai, dan rambutan. Tanaman-tanaman HHBK ini disebut juga Multi-Purpose Tree Species (MPTS). Program KTHK membuat masyarakat anggota kemitraan tersebut memiliki potensi ekonomi alternatif sekaligus merestorasi kawasan hutan, sehingga tidak lagi bergantung pada perambahan, pembalakan, maupun sawit.

Salah satu kelompok yang masih aktif sampai sekarang adalah KTHK Sejahtera pimpinan Hatuaon Pasaribu. Mantan guru yang getol menggalakkan semangat konservasi dan ekonomi restoratif di tengah keterbatasan dan masih adanya ancaman mafia tanah. Sejauh ini, Pasaribu dan para anggota maupun sejumlah kelompok lainnya telah membuktikan hasil positif dari KTHK. Mereka hanya perlu dukungan pemerintah untuk menjamin keamanan pekerjaaan di lapangan, serta menjangkau akses pasar dan sarana-prasarana budidaya lebih luas lagi.

3. Hutan Mangrove Teluk Pambang, Bengkalis, Riau

Bertahun-tahun, setidaknya sampai 2002, Desa Teluk Pambang, Kabupaten Bengkalis rutin dihajar rob setengah meter setiap Oktober–Desember. Permukiman, rumah penduduk, dan lahan pertanian terendam air asin. Produktivitas karet menurun. Air kelapa tidak lagi segar. Hutan mangrove menyusut akibat perambahan dan pembalakan liar oleh panglong, perusahaan penebangan kayu setempat. Data mencatat, terjadi penurunan luas hutan mangrove sebanyak 5,25 persen di Pulau Bengkalis dalam kurun waktu 1992–2002. Dari sekitar 8.182,08 hektare pada tahun 1992 menjadi 6.115,95 hektare pada tahun 2002.

  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah

Situasi itu menggerakkan hati Samsul Bahri, seorang nelayan kecil berdarah Jawa untuk menyelamatkan ekosistem mangrove. Pada 2002, ia mulai membudidayakan dan menanam bibit-bibit mangrove di hutan rawa belakang rumahnya. Dua tahun kemudian, Samsul membentuk dan mengetuai Kelompok Pengelola Mangrove (KPM) Belukap, yang diperkuat surat keputusan Bupati Bengkalis saat itu. Selain Belukap, juga ada KPM Perepat yang dipimpin M. Ali B. Dua kelompok ini merupakan pelopor pengelolaan mangrove dengan skema perhutanan sosial.

Lambat laun, 40 hektare hutan mangrove berhasil direstorasi. Pohon tertingginya bisa mencapai 20 meter. Banjir rob sudah berkurang signifikan. Kerja kerasnya mendapat atensi pemerintah dan sejumlah lembaga nirlaba internasional, yang kemudian memberi bantuan pendanaan kegiatan dan advokasi sampai terbentuknya legalitas Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Teluk Pambang. Kini, bukan hanya konservasi semata, Samsul dan masyarakat Teluk Pambang menatap masa depan ekonomi restoratif melalui ekowisata dan perdagangan karbon dari 1.001,9 hektare ekosistem mangrove yang telah merimbun.

4. Kampung Merabu, Berau, Kalimantan Timur

Masyarakat suku Dayak Lebo di Kampung Merabu adalah jagawana ekosistem karst Sangkulirang-Mangkalihat. Ekosistem karst terbesar di Kalimantan. Meski dikepung sawit yang tumbuh menjamur di kampung tetangga, orang-orang Merabu masih gigih mempertahankan hutan yang menjadi sumber penghidupan utama mereka. Sebab, Dayak Lebo lama dikenal sebagai suku pemburu dan peramu obat-obatan tradisional. Madu hutan alami juga jadi salah satu produk unggulan. Sejak 2014, ekowisata menjadi sumber ekonomi alternatif yang dikelola berbasis masyarakat dan berkelanjutan.

  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah

Perbukitan karst Sangkulirang-Mangkalihat benar-benar jadi berkah untuk Merabu. Selain menyimpan jejak prasejarah lewat gua-gua purba, kawasan ini juga memiliki bentang alam yang menjadi daya tarik wisata, seperti Danau Nyadeng dan Puncak Ketepu. Pengelolaan ekowisata berada di tangan Badan Usaha Milik Kampung (BUMKam). Sudah tak terhitung tamu yang datang untuk berwisata di Merabu, terutama mancanegara.

Program menarik yang memanfaatkan nilai hutan Merabu adalah adopsi pohon. Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Kerima Puri. selaku penanggung jawab program, telah menghimpun hampir 300-an pohon yang diadopsi oleh banyak pihak, mulai dari turis biasa, lembaga nirlaba, hingga instansi pemerintahan. Rata-rata jenis pohon yang diaopsi antara lain damar, meranti merah, dan merawan. Nama yang disebut terakhir diadopsi sejak 2016 oleh Vidar Helgesen, Menteri Iklim dan Lingkungan Hidup Norwegia periode 2015–2018. Dana hasil adopsi pohon tersebut kemudian dialokasikan untuk biaya sekolah anak-anak Merabu dan biaya sosial warga kampung yang kurang mampu.

5. Ekowisata Malagufuk, Sorong, Papua Barat Daya

Suku Moi merupakan komunitas adat terbesar di Kabupaten Sorong, gerbang barat Tanah Papua. Masyarakat Moi dikenal dengan tradisi egek, yang membatasi atau melarang kegiatan-kegiatan ekonomi tertentu di hutan maupun kawasan pesisir, agar kelestarian alam dan keanekaragaman hayatinya terjaga. Meski sejumlah daerah di Sorong sudah beralih fungsi menjadi area pertambangan maupun perkebunan kelapa sawit, ada satu titik yang masih keras mempertahankan tanah ulayatnya, yaitu Malaumkarta Raya. 

  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah

Di antara lima kampung, hanya Malagufuk yang menempati pedalaman rimba Hutan Klasow. Sisanya berada di pesisir. Jalan kaki sejauh 3,5 kilometer di atas jembatan kayu adalah satu-satunya cara mencapai Kampung Malagufuk. Keterisolasian ini justru jadi nilai lebih Malagufuk, yang kemudian mendunia karena daya tarik ekowisata pengamatan burung (birdwatching). Terdapat lima spesies cenderawasih yang bisa ditemukan di Malagufuk, yaitu cenderawasih kuning-kecil, cenderawasih kuning-besar, cenderawasih raja, cenderawasih mati kawat, dan toowa cemerlang. Tidak hanya cenderawasih, burung-burung endemis lainnya juga ada, antara lain julang papua, mambruk, dan kasuari. Satwa unik seperti nokdiak atau landak semut dan kanguru tanah juga bisa ditemukan di sini.

Perputaran ekonomi restoratif melalui ekowisata dirasakan oleh seluruh elemen masyarakat gelek (marga) Kalami dan Magablo di Malagufuk. Mulai dari pemandu, pengelola homestay, porter, hingga juru masak terlibat di dalamnya. Masyarakat Malagufuk mampu melihat nilai lebih dari hutan mereka tanpa harus merusak hutan. Keberagaman potensi burung dan satwa di Malagufuk mengundang turis pegiat birdwatching lintas negara. Di Papua, Malagufuk kini jadi destinasi pengamatan burung paling populer selain Raja Ampat, Pegunungan Arfak, dan Jayapura.

6. BUMMA Yombe Namblong Nggua, Jayapura, Papua

Inisiatif luar biasa dalam mewujudkan ekonomi restoratif berbasis masyarakat lahir di Kabupaten Jayapura. Tepatnya di Lembah Grime, kawasan adat suku Namblong seluas 53.000 hektare yang menempati tiga distrik: Nimbokrang, Nimboran, dan Namblong. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Mitra BUMMA, dan Samdhana Institute berkolaborasi dengan masyarakat adat Namblong membentuk Badan Usaha Milik Masyarakat Adat (BUMMA) Yombe Namblong Nggua pada 12 Oktober 2022. Per Oktober 2024 lalu, BUMMA resmi berbadan hukum Perseroan Terbatas (PT), dengan 44 Iram (pemuka marga) sebagai pemegang saham. 

  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah

BUMMA Yombe Namblong Nggua merecik harapan ekonomi kerakyatan di tengah tekanan deforestasi akibat alih fungsi lahan perusahaan kelapa sawit PT Permata Nusa Mandiri (PNM), yang hak konsesinya sudah dibatalkan pemerintah sejak 2022 lalu. Langkah progresif tersebut pertama di Papua, seiring penetapan pengakuan ribuan hektare hutan adat Namblong oleh pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Selain Jayapura, BUMMA juga dibentuk di Mare, Kabupaten Maybrat, Papua Barat Daya.

Pendirian BUMMA muncul atas keinginan mengelola sumber daya alam berbasis masyarakat adat secara berkelanjutan. Setidaknya terdapat tiga sektor unggulan yang dikerjakan, yaitu budi daya vanili, ekowisata, dan perdagangan karbon melalui restorasi hutan—termasuk memulai penanaman sagu di lahan-lahan terdampak konsesi sawit.

Jalan Panjang Pengakuan Hutan Adat di Sorong dan Sorong Selatan
Hamparan hutan tropis di kawasan ekowisata Malagufuk, Sorong, yang dijaga dan disakralkan berdasarkan ketentuan adat. Sebatang pohon pun akan sulit dipulihkan dan butuh waktu lama untuk tumbuh seperti semula, apalagi jika sampai 20 juta hektare hutan hilang/Deta Widyananda

Tunggu apa lagi, Pak Presiden dan Pak Menteri?

Contoh riil di akar rumput tersebut mestinya sudah lebih dari cukup sebagai bukti agar pemerintah membuka mata lebar-lebar. Pemahaman sederhana soal keseimbangan ekosistem mestinya juga sudah didapat jika memang pernah melewati masa pendidikan sekolah dasar. Bahwa jika memutus satu rantai dalam ekosistem, maka akan menghapus entitas kehidupan yang bergantung padanya. Sebagaimana menghilangkan pohon-pohon pembentuk ekosistem pemberian Tuhan. Tidak hanya akan memusnahkan habitat keanekaragaman hayati, tetapi juga identitas kebudayaan masyarakat lokal yang bergantung pada hutan.

Dampak keserakahan dan ambisi akibat menjadikan lahan hutan sebagai ladang bisnis telah nyata merusak segala lini kehidupan yang menjadi hak rakyat. Suku-suku adat terusir dari tanahnya sendiri, satwa-satwa endemis mengais-ngais makanan di tempat yang tidak semestinya—karena hutannya sudah hilang. Belum lagi konflik antara manusia dan satwa, yang sudah amat sering terjadi hingga soal bencana ekologis yang akan timbul. Banjir bandang, sungai meluap, dan tanah longsor merenggut banyak hal, yang seringkali hujan lebat maupun cuaca ekstrem menjadi sasaran tuduhan pemerintah, yang tutup mata pada masalah sebenarnya: hilangnya pohon-pohon di hutan sebagai penyerap dan penahan air.

Ayolah, Pak Presiden dan Pak Menteri. Masyarakat adat dan komunitas lokal lebih memahami hutan mereka. Mereka hanya perlu pengakuan legal dan pendampingan, agar hutan alami yang menghidupi mereka terjaga sampai anak cucu. Sebab, jika masih tutup mata, slogan Indonesia sebagai paru-paru dunia sejatinya sudah menjadi sekadar romantisme belaka. Setop mengoceh soal Indonesia yang kaya sumber daya alam, jika kebijakan-kebijakan di tingkat elite tidak berpihak pada alam itu sendiri.


Foto sampul oleh Deta Widyananda


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/surat-terbuka-menentang-rencana-deforestasi-pemerintah/feed/ 0 45564
Hutan Harapan: Harta Karun Hutan Dataran Rendah Terakhir Sumatra https://telusuri.id/hutan-harapan-harta-karun-hutan-dataran-rendah-terakhir-sumatra/ https://telusuri.id/hutan-harapan-harta-karun-hutan-dataran-rendah-terakhir-sumatra/#respond Wed, 26 Jul 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39416 Minggu kedua di bulan Juni, menjelang matahari terbenam, Eki Aprilia Resdiyanti Devung dan tiga temannya bersiap menuju Sungai Meranti. Peralatan penelitian tersimpan di dalam tas dan bersiap-siap untuk menyalakan senter kepala. Suara jangkrik bersahut-sahutan seakan...

The post Hutan Harapan: Harta Karun Hutan Dataran Rendah Terakhir Sumatra appeared first on TelusuRI.

]]>
Minggu kedua di bulan Juni, menjelang matahari terbenam, Eki Aprilia Resdiyanti Devung dan tiga temannya bersiap menuju Sungai Meranti. Peralatan penelitian tersimpan di dalam tas dan bersiap-siap untuk menyalakan senter kepala. Suara jangkrik bersahut-sahutan seakan menyambut kedatangan mereka ketika mulai memasuki hutan. Mahasiswa Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) itu bersiap meneliti keanekaragaman amfibi di Hutan Harapan.

Sayup-sayup terdengar suara katak dan kodok di tengah riuhnya suara jangkrik. Keempat mahasiswa tersebut dengan saksama mendengarkan sumber suara katak di antara rimbun dedaunan dan tumpukan serasah. Cuaca yang cerah memudahkan langkah mereka bergerak di dalam hutan untuk mencari sumber suara itu. Sekitar pukul sembilan, Eki melihat seekor katak mini di antara tumpukan serasah, yang ciri-ciri fisiknya belum tertulis dalam buku panduan identifikasi jenis amfibi.

Secara perlahan-lahan, Eki mendekati katak tersebut lalu mengangkatnya dengan tangan kosong. Ia menuturkan, “Panjang katak ini kurang dari dua sentimeter dan kami tidak menemukan deskripsi fisiknya di buku panduan.”

Perempuan berusia 22 tahun itu segera menempatkan katak mini ke dalam kantong plastik spesimen sementara dan membawanya ke kamp Hutan Harapan. Mungkinkah katak mini ini jadi temuan baru bagi dunia? Eki dan teman-temannya pun memutuskan untuk mengirim temuan tersebut ke Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Bogor.

Hutan Harapan: Harta Karun Hutan Dataran Rendah Terakhir Sumatra
Kegiatan trekking menelusuri jalur gajah di Hutan Harapan/hutanharapan.id

Eki dan teman-temannya berada di kawasan yang menguntungkan

Hutan Harapan seluas hampir seratus ribu hektar ini merupakan surganya keanekaragaman hayati di Sumatra. Burung Indonesia, Royal Society for Protection of Birds (RSPB), dan BirdLife International mendirikan konsesi restorasi ekosistem pada 2008. Pendirian konsesi merupakan upaya untuk memulihkan kawasan tersebut dari ancaman degradasi. Pembentukan PT Restorasi Ekosistem Indonesia (REKI) untuk mengelola konsesi dan saat ini memiliki sekitar 170 karyawan.

Walaupun menghadapi berbagai tekanan, seperti pembalakan liar, perambahan, dan kebakaran, sebagian besar Hutan Harapan masih tertutup oleh hutan dataran rendah yang lebat. Dipterocarpaceae, potion tinggi yang tumbuh ke arah langit hingga ketinggian enam puluh meter, mendominasi pemandangan. Di kanopi pepohonan itu, owa-owa bernyanyi dengan merdu. Burung-burung cantik nan langka silih ganti hinggap dan menetap. Tak Ingin beranjak dari kawasan hutan. Sejauh ini teridentifikasi 307 spesies burung di Hutan Harapan, di antaranya sempidan yang langka, rangkong, pentis kumbang, dan burung paruh kodok.

Sementara di bawah pohon, harimau Sumatra mencari mangsa dan tapir memberi makan anaknya. Keberlangsungan flora dan fauna tersebut tidak dapat terpisahkan dari keberadaan sumber air. Air adalah garis kehidupan hutan ini dengan empat sungai mengalir ke dalamnya. Dua sungai utama, Meranti dan Kapas, berasal dari luar konsesi dan meluncur seperti ular berwarna cokelat keemasan dari barat ke selatan. Dua yang lebih kecil, Kandang dan Lalan, berasal dari batas-batas konsesi dan berkelok-kelok ke arah timur. Sebagian besar publik dan masyarakat sekitar tidak mengetahui daerah tangkapan air di Hutan Harapan ini.

Seiring waktu, setiap sungai telah mengembangkan jaringan anak sungai, rawa, dan vegetasi teplannya sendiri. Bukan hanya satwa liar karismatik, seperti harimau, gajah, dan beruang madu yang mencari perlindungan di daerah lembap ini; ratusan spesies juga bergantung pada tangkapan air untuk keberlangsungan hidup mereka. Bangau storm, bangau paling langka di dunia, terlihat di pepohonan bengkok di dataran banjir. Tidak kurang dari sepuluh spesies raja udang menghuni sungai dan danau.

Hutan Harapan: Harta Karun Hutan Dataran Rendah Terakhir Sumatra
Burung raja udang punggung merah (Ceyx rufidorsa)/hutanharapan.id)

Daerah tangkapan air bukanlah domain eksklusif para peneliti

Lebih dari dua dekade Musadat (43) terpesona oleh makhluk kecil yang menjadikan Hutan Harapan sebagai rumah mereka. Sebagai staf ekowisata di PT REKI, ia memimpin tur di sepanjang hutan yang berawa dan banjir selama safari malam.

“Ada satwa yang menghabiskan seluruh hidupnya hanya pada satu pohon,” jelasnya sambil memeriksa lubang di batang yang ditumbuhi bromeliad, “ambil contoh katak kayu manis. Warnanya kecokelatan dengan titik-titik putih di sekujur tubuhnya yang halus. Suaranya khas seperti mencuit berulang dan kemudian berhenti sejenak. Sangat sulit ditemukan.”

Selama safari malam, Musadat secara teratur bertemu kijang, kancil, musang, dan rusa. Mereka datang untuk minum di anak sungai atau mencari makan di vegetasi yang subur. Pada siang hari, lebih banyak lagi penghuni hutan bermunculan: primata, burung, serta sejumlah besar kupu-kupu dan capung dengan warna-warna yang sangat cerah. Reptil juga sering menyimpan air.

Musadat akrab dengan 71 spesies yang ditemukan di Hutan Harapan, seperti king cobra, kura-kura kaki gajah, cecak terbang, dan biawak air tawar. Banyak keanekaragaman hayati yang bersembunyi di bawah air. Sebanyak 123 spesies ikan teridentifikasi selama survei pada 2018. Spesies ikan tersebut adalah endemik Sumatra. Sungai Meranti dan Kapas tidak banyak memperlihatkan kekayaan spesies ini karena mendung sepanjang tahun. Di sisi lain, sungai Lalan, sumber tadah hujan di tengah hutan, memiliki air yang sangat jernih dan menjadi tempat nongkrong kesukaan Musadat.

Hutan Harapan: Harta Karun Hutan Dataran Rendah Terakhir Sumatra
Salah satu spesies ikan di sungai Hutan Harapan/hutanharapan.id

Kualitas air sebagai penyebab melimpahnya aneka spesies

Suhu dan pH air menunjukkan kondisi optimal anak pertumbuhan kehidupan akustik,” kata Kepala Departemen Enviro, Research, and Development PT REK Elva Gemita. Perempuan lulusan S-2 konservasi University of Kent, Inggris ini menginstruksikan timnya untuk memantau sungai-sungai, yang pengambilan sampelnya berasal dari perairan dangkal sungai Kandang, dan juga Kapas yang terkadang bisa mencapai kedalaman 15 meter.

“Kami berencana melakukan penelitian tentang capung dalam waktu dekat. Capung juga merupakan indikator kualitas air yang sangat baik,” terang Elva.

Vegetasi di zona inti Hutan Harapan tetap utuh, khususnya cabang-cabang daerah tangkapan air menunjukkan keanekaragaman hayati yang tinggi. Namun, ketika sungai Latan dan Kandang memasuki konsesi zona mata pencaharian, hutan riparian telah digantikan oleh tanaman pangan dan pohon kelapa sawit.

“Kondisi ini sangat berpengaruh terhadap populasi satwa dan juga meningkatkan erosi tanah yang menyebabkan banjir,” kata Elva. Di hilir, tempat pertemuan sungai Kapas dan Meranti, banjir bisa menjadi bencana besar bagi puluhan ribu keluarga yang tinggal di perkotaan Sumatra Selatan. Oleh karena itu Elva menekankan perlunya segera memulai perlindungan dan rehabilitasi bantaran sungai.

Hutan Harapan: Harta Karun Hutan Dataran Rendah Terakhir Sumatra
Julang emas (Aceros undulatus) bertengger di pohon tinggi/hutanharapan.id

Suku Batin Sembilan

Penemuan katak mini oleh Eki menginspirasi lebih banyak orang untuk menjelajahi keanekaragaman hayati di Hutan Harapan. Tim peneliti lain baru-baru ini memasuki wilayah terpencil di Hutan Harapan dan menemukan empat spesies amfibi yang baru bagi sains. Penulisan deskripsi empat spesies tersebut masih berlangsung.

Masih banyak spesies lain yang memerlukan penelitian lebih lanjut, seperti kupu-kupu, capung, dan makhluk kecil lainnya. Tak menutup kemungkinan untuk jenis mamalia atau burung endemik yang belum teridentifikasi masuk dalam daftar spesies baru. Tantangan terbesar saat ini adalah melindungi Hutan Harapan agar spesies seperti katak mini tidak punah sebelum sempat ditemukan.

Kelompok Batin Sembilan nomaden berkelana di sepanjang sungai Meranti, tempat penemuan spesies katak baru oleh Eki dan timnya. Kehidupan mereka tidak dapat dipisahkan dari air. Konon nama “Batin Sembilan” berasal dari sembilan sungai yang membelah wilayah adat mereka. Masing-masing keluarga dari tiga kelompok Batin Sembilan nomaden itu mengikuti ritme arus, naik dan turun menurut musim. Para wanita mengumpulkan rotan jernang dan damar dari pohon Dipterocarpaceae yang mereka temukan di antara sebaran kerikil di tepi sungai dan menjualnya di pasar lokal. Para pria memancing atau berburu dengan tombak. Ikan seluang dan ikan gabus adalah sumber makanan dan protein utama yang mudah mereka dapat. Lebih jauh ke timur, di tepi sungai Lalan, orang Batin Sembilan telah menetap dan membudidayakan ubi jalar, ubi, dan pisang.

Modot (23) dan Dul (30) termasuk dalam kelompok ini. Mereka juga merupakan anggota komunitas patroli yang bekerja dengan PT REKI untuk melindungi Hutan Harapan dari perambahan. Di waktu senggang, mereka memancing dan mengumpulkan rotan yang tumbuh di sepanjang danau. “Sungai adalah sumber kehidupan kami, Batin Sembilan,” kata Modot, “makanan dan air minum kami berasal dari sungai. Dulu kami minum langsung dari sungai menggunakan daun-daun besar dari pepohonan di hutan. Sekarang kami harus merebusnya dahulu,” kenang Modot sembari tersenyum.

Bagi Modot, Lalan adalah tempat yang istimewa karena begitu damai dan tenteram. “Ketika saya masih kecil, saya pernah melihat harimau minum dari sungai ini. Pengalaman itu sepertinya tidak akan terulang lagi, tetapi saya masih melihat beruang, rusa, dan burung besar minum di sungai Lalan,” tutur Modot. Dul yang duduk di samping mengangguk setuju dengan ceritanya.

“Hewan-hewan itu seperti kito, mereka butuh air samo seperti kito,” tegas Dul.

Teks: Joren Vanderhorst dan Hospita Yulima S.
Foto: Hutan Harapan (hutanharapan.id)


Tulisan ini diikutsertakan dalam kampanye “TelusuRI Sungai dan Mangrove Indonesia” untuk memperingati Hari Mangrove Internasional 26 Juli dan Hari Sungai Nasional 27 Juli


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Hutan Harapan: Harta Karun Hutan Dataran Rendah Terakhir Sumatra appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/hutan-harapan-harta-karun-hutan-dataran-rendah-terakhir-sumatra/feed/ 0 39416
Sepenggal Kisah dari Tanah Rafflesia (2) https://telusuri.id/sepenggal-kisah-dari-tanah-rafflesia-2/ https://telusuri.id/sepenggal-kisah-dari-tanah-rafflesia-2/#respond Sat, 18 Feb 2023 04:00:33 +0000 https://telusuri.id/?p=37284 Momen terbaik dalam hidup tak datang begitu saja. Butuh lebih dari sekadar tekad untuk mencapainya dan merasakan setiap detiknya. Saya menyeberang jalan, memarkir motor, melepas jaket, dan siap mengalami salah satu momen sakral itu. Usai...

The post Sepenggal Kisah dari Tanah Rafflesia (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Momen terbaik dalam hidup tak datang begitu saja. Butuh lebih dari sekadar tekad untuk mencapainya dan merasakan setiap detiknya. Saya menyeberang jalan, memarkir motor, melepas jaket, dan siap mengalami salah satu momen sakral itu. Usai menyapa seorang lelaki penjaga parkir, saya bertanya ke mana arah menuju sang bunga. Lelaki itu memanggil temannya, menyuruhnya untuk mendampingi saya melihat bunga. Kami menjauh dari jalan raya, masuk ke dalam hutan.

Jalan setapak itu curam, sedikit licin karena beberapa hari lalu cuaca didominasi hujan. Sulit dipercaya, kami berada hanya beberapa meter dari jalan raya, namun rasanya sudah jauh sekali dari hiruk pikuk. Suara jalanan menghilang, berganti riuh bunyi para penghuni rimba. Dari kejauhan, lolongan siamang dan cicit burung terdengar bergantian. Belantara Sumatera menghembuskan nafasnya.

Cukup jauh kami berjalan, sekitar sepuluh menit. Sambil memperhatikan setiap langkah, saya mengajak sang pemandu mengobrol. Namanya Pak Ariyanto, warga sekitar Liku Sembilan. Dirinya bersama beberapa orang lainnya biasa membentangkan “banner” ala kadarnya di tepi jalan. Para pengendara yang melintas dapat melihatnya dengan mudah. Mereka tak menarik biaya dengan nominal tertentu kepada pengunjung yang ingin melihat Rafflesia mekar, cukup pemberian sukarela saja.

Rafflesia mekar di Bengkulu
Seorang warga membentangkan banner ala kadarnya/Asief Abdi

Kami berhenti. Tanah yang kami pijak masih miring. Ranting yang saya gunakan sebagai tongkat memudahkan saya menjaga keseimbangan. Pak Ariyanto menunjuk ke beberapa arah. “Itu yang masih kol,” katanya. Kol adalah istilah penduduk setempat untuk kuncup bunga Rafflesia yang belum mekar—dalam biologi disebut knop. Memang, bentuk kuncup itu menyerupai kol. Kuncup-kuncup seukuran kol itu dipagari—terutama yang besar. Selain untuk menandai, pagar-pagar itu dipasang guna mencegahnya terinjak oleh orang yang melintas. “Ada juga orang iseng yang merusak kuncup-kuncup itu,” tuturnya saat saya mengamati kol itu lebih dekat. 

Lelaki gondrong itu juga memperingatkan saya untuk tidak menyentuh kuncup-kuncup bunga. Konon, jika disentuh, kuncup-kuncup itu akan gagal mekar. Mati bahkan sebelum mereka terbangun dari tidurnya. Meski tidak percaya, saya menurut saja. Mitos-mitos semacam itu seringkali efektif untuk mencegah tangan-tangan jahil manusia. 

Pak Ariyanto menunjuk lagi ke suatu arah. “Itu bunga yang mekar, tapi sayang, sudah cukup lama,” katanya. Saya mengikuti arah yang ditunjuknya, memicingkan mata, mencoba mencari warna merah darah dengan bintik-bintik. Hidung saya mengendus-endus udara—kalau saja ada aroma daging busuk. Tak ada!

Kami mendekat. Hati saya yang tadinya merekah, bersiap untuk mekar, layu seketika saat melihat bunga Rafflesia di depan saya. Saya benar-benar sedang berhadapan dengan bunga bangkai secara harfiah. Bunga itu nyaris menjadi bangkai. Warna merahnya menggelap, kelopak-kelopaknya lemas meski tak lepas. Tak ada aroma busuk menguar dari rongga bunganya, ironis sekali.

“Yang itu sudah hari kedelapan—Rafflesia mekar selama tujuh hari—makanya sudah begitu,” jelas Pak Ariyanto. Saya bertanya kalau-kalau ada bunga lain yang mekar di sekitar kami. Saya bahkan rela meski harus menyusuri hutan lebih dalam lagi. Akan tetapi, lelaki itu hanya menggeleng. Tidak ada, tak ada bunga lain yang sedang mekar—kalau pun ada, pasti tersembunyi di rimbun pepohonan. Hanya kuncup-kuncup bunga yang siap mekar beberapa minggu dan bulan ke depan. Saya menghela napas. Barangkali ekspektasi saya yang terlalu tinggi. Saya tak bisa menyalahkan alam—apalagi Pak Ariyanto. Sepertinya, keberuntungan saya hanya sampai di sini.

  • Rafflesia mekar di Bengkulu
  • Rafflesia mekar di Bengkulu

Dengan mencoba tetap tersenyum, saya mengamati bunga yang sedang membusuk itu. Saya memang gagal merasakan apa yang Joseph Arnold alami sekian tahun silam, tapi bagaimanapun saya toh masih beruntung bisa berhadapan langsung dengan bunga terbesar itu. Saya menyentuhnya, seperti jamaah haji menyentuh ka’bah, menciumnya layaknya hajar aswad. Sudah saya bilang, ini adalah misi suci. Benar saja, diameter bunga ini nyaris satu meter.

Lolongan siamang masih menggema, mengisi udara di sekeliling. Demikian pula gemerisik dedaunan, cicit burung, dan suara berisik serangga. “Kalau orang sini bilang ini tumbuhan apa, Pak?” saya bertanya. “Ada yang bilang itu wadah sirih orang dulu,” jawabnya.

Bagaimanapun, Rafflesia adalah nama latin pemberian orang Eropa untuk tumbuhan ini, dan layaknya tumbuhan lainnya, saya yakin, bunga ini pasti punya nama lokal. Banyak orang mengenalnya sebagai bunga bangkai. Namun, nama itu hanya akan membuatnya rancu dengan bunga bangkai lainnya, yaitu Amorphophallus. Keduanya memiliki aroma busuk guna mengundang serangga penyerbuk.

Layaknya pohon beringin, Rafflesia juga memiliki mitos lokal. Menurut penuturan Pak Ariyanto, bunga ini memiliki roh penunggu. “Nah, si roh ini senang kalau ada orang yang melihat. Jadi, itulah kenapa kalau ada orang yang mau lihat, kami antar,” paparnya. Dirinya juga menceritakan bahwa beberapa waktu lalu ada pengunjung congkak yang menolak diantar karena mengaku sudah tahu lokasinya tapi akhirnya tersesat juga. 

Saya tidak tahu Rafflesia jenis apa yang ada di hadapan saya. Diperlukan pengamatan yang lebih teliti pada bagian-bagiannya untuk memastikan spesiesnya. Mungkin banyak orang hanya tahu Rafflesia arnoldii dan mengira hanya itu jenis bunga ini. Tidak, terdapat beberapa jenis Rafflesia di dunia—R. arnoldii merupakan yang terbesar, tersebar di hutan hujan Asia Tenggara, mulai dari perbatasan Myanmar dan Thailand, Indonesia, Malaysia, serta Filipina. Di Indonesia, persebaran bunga ini tidak hanya di Sumatera, tapi juga di Jawa dan Kalimantan. Dari 25 jenis Rafflesia di dunia, 12 di antaranya ada di Indonesia. Rimba Sumatera menyimpan 10 spesies tumbuhan parasit ini.

Bunga Rafflesia Mekar
Bunga Rafflesia sedang mekar/Gabrella Juli

Rafflesia adalah holoparasit, artinya, parasit seutuhnya. Tumbuhan ini telah kehilangan kemampuan berfotosintesis dalam perjalanan evolusinya. Alih-alih, Rafflesia lebih suka mengisap langsung nutrisi siap pakai dari inang yang ditumpanginya, layaknya benalu. Tumbuhan inangnya pun spesifik. Saat saya tanya Pak Ariyanto tentang batang tumbuhan ini, dengan polosnya dia menunjuk sulur-sulur kayu di bawah bunga. “Itu akarnya,” katanya. Akar yang dimaksud itu sebenarnya adalah tumbuhan lain yang menjadi inang Rafflesia, yaitu Tetrastigma, liana—tumbuhan kayu menjalar—dari keluarga anggur (Vitaceae). Biji-biji kecil Rafflesia masuk ke dalam batang tumbuhan inang, tumbuh di dalamnya layaknya hantu yang merasuki tubuh, menancapkan haustorium—sejenis akar pada tumbuhan parasit—dan mengisap nutrisi dari dalam. Suatu simbiosis parasitisme.

Begitulah Rafflesia hidup. Jutaan tahun evolusi telah membentuk mekanisme yang demikian aneh namun adaptif. Meskipun demikian, interaksi semacam ini membuatnya sangat bergantung pada keberadaan inang. Hal itu membuat hilangnya habitat Tetrastigma juga berarti musnahnya Rafflesia. Parahnya lagi, Tetrastigma—meski bukan parasitadalah tumbuhan menjalar yang juga butuh inang—yaitu pohon lain—untuk dipanjat. Dalam sebuah ekosistem, interaksi antarmakhluk hidup tak pernah berdiri sendiri, melainkan berhubungan dan kompleks. Demikian eksistensi bunga raksasa ini sangat rentan akan kepunahan.

Interaksi spesifik semacam ini juga menyulitkan upaya budidaya Rafflesia di luar habitatnya. Sofi Mursidawati, ahli botani Kebun Raya Bogor, mengakui bahwa menumbuhkan Rafflesia di luar habitatnya bukan hal mudah, sebab preferensi yang berbeda antara tumbuhan parasit dan inangnya. Dengan tingkat kematian kuncup yang tinggi, dirinya hanya bisa menumbuhkan 16 individu sepanjang sepuluh tahun terakhir. Secercah harapan untuk upaya konservasi Rafflesia. Namun, bukan hanya itu faktor yang mengancam kelestarian sang bunga raksasa dari muka bumi. 

Rafflesia adalah tumbuhan berumah dua, artinya alat reproduksi jantan dan betinanya terletak pada bunga yang berbeda. Sederhananya, ada bunga jantan dan betina. Sebuah bentukan jutaan tahun evolusi yang ironisnya kini justru mempersulit perkembangbiakannya. Jika dalam suatu populasi hanya terdapat bunga betina—atau sebaliknya—maka penyerbukan akan sulit terjadi. Terlebih jika bunga-bunga itu tidak mekar serentak atau malah gagal mekar.

Lebih dari itu semua, ancaman yang lebih nyata bagi Rafflesia—juga flora dan fauna lainnya—tidak lain adalah deforestasi dan alih fungsi lahan. Bagi saya, bentang alam Sumatera indah sekaligus menyedihkan secara bersamaan. Sistem pertanian monokultur mengancam ekosistem hutan hujan tropis Sumatera. Pastinya, kini lebih banyak kelapa sawit di Sumatera ketimbang Rafflesia yang tersisa. Lucu sekali jika kelak spesies ini punah dan hanya bisa kita lihat dalam bentuk karakter Pokemon Vileplume—Ruffresia, nama aslinya di Jepang.

Ada baiknya kita ingat kembali bahwa kepunahan bersifat selamanya—setidaknya sebelum para ilmuwan berhasil membangkitkan kembali spesies-spesies yang telah punah. Seperti yang dituliskan Elizabeth Kolbert dalam bukunya yang berjudul Kepunahan Keenam, bumi kini kembali memasuki masa kepunahan massal setelah sekian juta tahun, di mana biodiversitas di bumi menurun drastis. Semoga manusia menyadarinya sebelum bencana mengerikan itu menyapu bentuk-bentuk kehidupan di bumi.

Rafflesia mekar di Bengkulu
Pengunjung melihat Rafflesia/Asief Abdi

Pak Ariyanto juga mengeluhkan kurangnya perhatian pemerintah akan ikon Bengkulu itu. “Kami juga tidak diberi fasilitas oleh pemerintah untuk mengembangkan ekowisata ini. Ya kami upayakan sendiri,” katanya. Mereka bahkan hanya menggunakan karung bekas untuk membuat spanduk pengumuman bagi para pelintas. Sebenarnya, yang perlu dilakukan pemerintah sederhana saja, yakni mencegah deforestasi secara masif oleh para pemilik modal.

Saya pikir, warga bisa mengembangkan metode ekowisata secara mandiri. Menjaga ketersediaan hutan berarti melindungi keberadaan penghuninya. Lagipula, budidaya kelapa sawit—juga industri kertas dan tambang—besar-besaran sudah cukup membuat tubuh Sumatera compang-camping dan membuatnya monoton. Luas kebun kelapa sawit, boleh jadi malah lebih luas ketimbang hutan yang tersisa di Sumatera kini. Hutan Sumatera termasuk dalam sebelas wilayah di dunia yang berkontribusi terhadap lebih dari 80% deforestasi secara global hingga 2030.

Terdengar teriakan dari kejauhan. Tampaknya, rekan Pak Ariyanto memberi isyarat bahwa ada pengunjung lain yang hendak turun menengok bunga. Sepasang muda-mudi dari Kota Bengkulu datang dan berswafoto dengan bunga bangkai yang teronggok. Sesekali terdengar suara cekikikan mereka. Saya menyingkir, memberi ruang lebih untuk mereka lalu melihat sekeliling. Lolongan siamang makin nyaring, daun-daun berderai dipukul angin. Aroma dedaunan dan lembap rimba mengisi setiap ruang. Sesekali, serangga-serangga aneh merayap di lantai hutan. Saya hirup dalam-dalam udara sebelum berpisah dengan Tanah Rafflesia.

***

Daftar Bacaan

BBC News Indonesia. 2015. Hutan Sumatera dan Kalimantan Sumbang Deforestasi Global. bbc.com

Hidayati, Siti Nur dan Walck, Jeffrey. 2016. A Revief of the Biology of Rafflesia: What do We Know and What’s Next. Buletin Kebun Raya Vol. 19 No. 2

Kim, Shi En. 2021. Cutivating the World’s Largest, Stinkiest Flower is no Small Talk. National Geographic.com

Kolbert, Elizabeth. 2020. Kepunahan Keenam. Jakarta, Gramedia Pustaka Utama

Royal Botanic Garden. Rafflesia arnoldii. powo.science.kew.orgSusatya, Agus. 2011. Rafflesia. Pesona Bunga Terbesar di Dunia. Direktorat Kawasan Konservasi dan Bina Hutan Lindung


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Sepenggal Kisah dari Tanah Rafflesia (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sepenggal-kisah-dari-tanah-rafflesia-2/feed/ 0 37284
Sepenggal Kisah dari Tanah Rafflesia (1) https://telusuri.id/sepenggal-kisah-dari-tanah-rafflesia-1/ https://telusuri.id/sepenggal-kisah-dari-tanah-rafflesia-1/#comments Fri, 17 Feb 2023 04:00:48 +0000 https://telusuri.id/?p=37283 “… here I rejoice to tell you what I consider as the greatest prodigy of the vegetable world… to tell you the truth, had I should, I think I have been fearful of mentioning the...

The post Sepenggal Kisah dari Tanah Rafflesia (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
“… here I rejoice to tell you what I consider as the greatest prodigy of the vegetable world… to tell you the truth, had I should, I think I have been fearful of mentioning the dimensions of this flower, so much does it exceed every flower I have ever seen or heard of… now for the dimensions which are the most astonishing part of the flower. It measures a full yard across…” (Dr. Joseph Arnold)

Rafflesia mekar di Bengkulu
Jalanan basah Liku Sembilan saat saya melintas pertama kali/Asief Abdi

Hari itu hati saya patah. Pasalnya, saat melintasi jalan raya Liku Sembilan lepas Kepahiang menuju Taba Penanjung, tak ada satu pun tulisan Rafflesia mekar dibentang warga. Barangkali, sakit hatinya lebih dari ditinggal kekasih. Suasana makin sendu dengan hujan yang nyaris seharian. Bagi kalian, mungkin terdengar berlebihan, tapi bagi saya, melihat bunga langka itu menjadi salah satu misi suci saya berkunjung ke Bengkulu. 

Di tempat ini, bunga raksasa itu bukan sekadar flora langka dan dilindungi. Seperti totem suku-suku primitif, simbol-simbolnya bertebaran di mana-mana. Rafflesia menjadi nama perguruan tinggi, rumah sakit, bus, hingga warung makan. Rasanya menyedihkan jika saya hanya bisa melihat replikanya yang terbuat dari semen di pinggir jalan raya.

Hati saya semakin panas saat seorang teman menunjukkan foto Rafflesia tengah mekar yang ia tengok beberapa waktu lalu. Ah, tak bisa seperti ini. Saya sudah menempuh jarak Madura–Bengkulu dengan bus nyaris tiga hari perjalanan, rasanya akan sangat sia-sia perjalanan panjang ini. Bagaimanapun, dalam kunjungan singkat ke tanah Sumatra ini, saya harus melihat bunga agung itu, spesies yang pernah diperebutkan para penjelajah.

Rafflesia dalam Sejarah

Jika membaca kembali buku IPS atau Biologi, tumbuhan yang dikenal sebagai bunga bangkai ini bernama latin Rafflesia arnoldii. Fakta yang lebih umum dikenal orang yaitu bunga ini pertama kali ditemukan oleh dua orang Inggris, Thomas Stamford Raffless dan Joseph Arnold, di belantara Sumatera, tepatnya di Bengkulu pada 1818 silam.

Di sebuah sudut rimba, seorang buruh Melayu melihat suatu tumbuhan aneh yang berwujud bunga belaka. Temuan itu dilaporkannya kepada Joseph Arnold, seorang dokter dan penjelajah Inggris yang saat itu sedang melakukan ekspedisi di Sumatera. Penasaran, tim ekspedisi itu pun melibas hutan selama dua hari perjalanan, menyusuri Sungai Manna untuk melihat tumbuhan itu di suatu daerah bernama Pulo Lebbar. Saat melihatnya, Arnold terkejut dengan ukurannya yang tak biasa, begitu besar dan menakjubkan—seperti kelak ia ceritakan dalam suratnya.

Bunga Rafflesia Mekar
Bunga Rafflesia sedang mekar/Gabrella Juli

Busuk tapi indah. Barangkali dia tak terlalu peduli dengan bau bangkai yang menyeruak dari rongga bunga itu, meskipun lalat-lalat berdengung di sekitarnya. Bunga itu seperti hantu, tanpa daun maupun batang, hanya bunga yang mekar pada akar-akar menjalar. Mata sang dokter pasti terbelalak dan berbinar secara bersamaan, yakin bahwa dirinya telah menemukan misteri alam yang belum diketahui siapa pun. Dia yakin, dirinyalah sang penemu spesies adiluhung nan ajaib itu. Saat dipublikasikan nanti, mata dunia akan tertuju padanya. Akan tetapi, di sisi lain kepulauan Hindia Timur, seseorang telah melihatnya lebih dulu.

Pada 1797, dua dekade sebelum Arnold terkesima dengan temuannya di Bengkulu, seorang penjelajah berkebangsaan Prancis, Louis Auguste Deschamps melakukan ekspedisi ke Pulau Nusakambangan. Di sana, Deschamps bertemu dengan bunga sejenis, tapi lebih kecil. Boleh jadi, Deschamps sama takjubnya dengan Arnold saat berhadapan langsung dengan bunga tersebut. Matanya memicing, abai dengan bau busuk yang menyeruak. Sang penjelajah mencatat dan mengumpulkan spesimen koleksinya selama masa ekspedisi. 

Setahun kemudian, Deschamps pulang ke negerinya. Akan tetapi, saat memasuki perairan Inggris, kapalnya dicegat. Pihak Inggris yang saat itu tengah berperang melawan Prancis merampas semua catatan dan koleksi Deschamps, termasuk bunga tersebut. Setelah melihat temuan dan catatan Deschamps, para botanis Inggris sadar bahwa penjelajah Prancis itu telah menemukan keajaiban alam, sebuah mukjizat evolusi yang barangkali, lebih pantas menjadi temuan Inggris alih-alih negeri lainnya. Nahas bagi orang Prancis itu, semua koleksinya berakhir di tangan Inggris dan tersimpan di museum.

Nasib baik seolah berpihak pada Inggris. Meskipun Arnold akhirnya meninggal  karena malaria tak lama usai penemuannya yang fenomenal itu, Inggris toh tetap beruntung. Tugas Arnold di Sumatera diambil alih oleh William Jack, yang juga seorang dokter dan penjelajah. Dengan segera, ia menyelesaikan draf deskripsi temuan pendahulunya itu. Dia sadar bahwa tulisannya akan mengukir sejarah dunia, di mana negerinyalah yang akan menjadi sang penemu. Dirinya tahu, meskipun Deschamps telah kehilangan semua catatannya, orang Prancis itu bisa saja mengungkapnya terlebih dahulu kepada dunia. Apalagi beredar rumor bahwa Prancis akan segera menerbitkan temuan Deschamps. Di masa lalu, di mana waktu berjalan lebih pelan, suatu kompetisi ilmiah tengah berlangsung.

Perlombaan usai pada 1820 ketika Robert Brown—seorang botanis Skotlandia terkemuka—mengumumkan nama spesies tumbuhan itu. Bunga raksasa yang dicatat Arnold di pedalaman Bengkulu akhirnya diberi nama Rafflesia arnoldii, diambil dari nama Thomas Stamford Raffles, gubernur jenderal Inggris di Bengkulu dan Joseph Arnold. Empat tahun kemudian, spesies yang ditemukan Deschamps di belantara Nusakambangan juga terbit dengan nama Rafflesia patma. Orang Prancis itu kalah juga dan harus tunduk pada nama Raffles. Sudah pasti sang gubernur senang namanya disematkan pada suatu genus tumbuhan—meskipun saya ragu dia pernah melihatnya langsung di rimba Sumatera dan hanya menumpang nama. Inggris telah memenangkan ajang ilmiah yang politis ini, mengukuhkan negeri itu sebagai pelopor di bidang sains.

Kembali Mencari Rafflesia

Hari pertama di tahun 2023 adalah kesempatan terakhir saya untuk menengok Rafflesia. Esok saya harus pulang dan itu artinya jika hari ini gagal, saya tak tahu lagi bagaimana harus menggambarkan perasaan saya. 

Setelah ngirup—makan pempek dengan cuko, kebiasaan baru saya selama di Bengkulu—saya meminjam motor teman untuk berkeliling. Honda Scoopy itu membawa saya melesat melintasi jalan raya Curup yang tak terlalu ramai. Hawa dingin bisa saya rasakan dari balik jaket. Sejuk namun tak menusuk.  

Sebelum berangkat, saya mencari informasi tentang keberadaan bunga itu. Saya ikuti beberapa akun instagram Komunitas Peduli Puspa Langka (KPPL) di Bengkulu. Komunitas ini bergiat di bidang pelestarian sekaligus penggerak ekowisata Rafflesia dan Amorphophallus. Mereka rajin mengunggah foto dan informasi seputar bunga yang mekar di daerah masing-masing. Saran saya, bagi kalian yang ingin menyaksikan bunga raksasa itu, coba hubungi mereka terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk berangkat. 

 

Rafflesia mekar di Bengkulu
Yang memupuk harapan saya, Rafflesia mekar/Asief Abdi

Satu per satu saya kirimi pesan, siapa tahu mereka bisa memberi saya petunjuk. Akan tetapi, sepertinya keberuntungan masih jauh dari saya. Balasan mereka sebatas, ”Maaf, untuk saat ini belum ada yang mekar,” atau “Ado, Bang, tapi takutnyo sudah busuk.” Sayang sekali, sungguh menyedihkan. Namun, saya tetap berterima kasih kepada mereka dan mendukung upaya luhur mereka.  

Jalanan berubah sepi. Hiruk pikuk kendaraan hilang, kebun di kanan kiri kian panjang. Saya memasuki wilayah bernama Tebing Penyamun. Terbit was-was di kepala kalau-kalau di tengah jalan saya dibegal penyamun sungguhan. Jalanan menjadi semakin asing. Benar saja, saya kesasar. Jika seharusnya saya menuju Bengkulu Tengah, kini saya malah berada di jalur menuju Pagar Alam. Setelah menanyakan arah pada warga sekitar—yang bahasanya tidak terlalu saya pahami—saya memutar arah, kembali ke Kepahiang. 

Setelah berbalik arah sekitar 18 kilometer, akhirnya saya kembali ke jalur yang benar. Jalanan mulai berliku dengan hutan di sisi kanan dan kirinya. Saya memasang mata, lebih awas dari biasanya. Ini hari terakhir, tak boleh gagal. Benar saja, siang itu mata saya melihat sesuatu. Sebuah karung bekas bertuliskan Rafflesia Mekar terbentang. Saya tak bisa menggambarkan perasaan saya kala itu. Barangkali seperti peziarah yang tiba di tujuan. Semacam perasaan rindu yang tak terjelaskan, layaknya rindu orang beriman kepada sang nabi.

***

Daftar Bacaan

BBC News Indonesia. 2015. Hutan Sumatera dan Kalimantan Sumbang Deforestasi Global. bbc.com

Hidayati, Siti Nur dan Walck, Jeffrey. 2016. A Revief of the Biology of Rafflesia: What do We Know and What’s Next. Buletin Kebun Raya Vol. 19 No. 2

Kim, Shi En. 2021. Cutivating the World’s Largest, Stinkiest Flower is no Small Talk. National Geographic.com

Kolbert, Elizabeth. 2020. Kepunahan Keenam. Jakarta, Gramedia Pustaka Utama

Royal Botanic Garden. Rafflesia arnoldii. powo.science.kew.org

Susatya, Agus. 2011. Rafflesia. Pesona Bunga Terbesar di Dunia. Direktorat Kawasan Konservasi dan Bina Hutan Lindung


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Sepenggal Kisah dari Tanah Rafflesia (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sepenggal-kisah-dari-tanah-rafflesia-1/feed/ 1 37283
Kedai Kopi Tolu, Cita Rasa Kopi Sumatra Utara di Jakarta https://telusuri.id/kedai-kopi-tolu-cita-rasa-kopi-sumatra-utara-di-jakarta/ https://telusuri.id/kedai-kopi-tolu-cita-rasa-kopi-sumatra-utara-di-jakarta/#respond Fri, 13 Jan 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36974 Kedai Kopi Tolu lahir atas kerinduan menikmati kebersamaan dengan keluarga sembari menyeruput kopi lokal (Sumatera Utara) di kampung halaman dan duduk bersama di teras rumah. Di tanah rantau, di antara penatnya ibukota yang semakin menghimpit...

The post Kedai Kopi Tolu, Cita Rasa Kopi Sumatra Utara di Jakarta appeared first on TelusuRI.

]]>
Kedai Kopi Tolu lahir atas kerinduan menikmati kebersamaan dengan keluarga sembari menyeruput kopi lokal (Sumatera Utara) di kampung halaman dan duduk bersama di teras rumah. Di tanah rantau, di antara penatnya ibukota yang semakin menghimpit para pencari secercah kehidupan, kenangan indah akan kampung tersebut memacu semangat untuk membuka kedai kopi yang menyajikan biji – biji kopi pilihan dari Sumatera Utara. Selain itu,kopi dikenal sebagai demokrasi ala akar rumput, mampu menjadi pemersatu semua pihak, dan saya mengharapkan dengan bukanya Kedai Kopi Tolu mampu menyatukan kita semua sebagai “saudara sekopi”.

Pemilihan nama Kopi Tolu didasari dengan latar belakang adat istiadat saya sebagai suku Batak. Dalam bahasa Batak, tolu berarti tiga. Dalam adat istiadat Batak,ada sebuah filosofi yang berbunyi Dalihan Na Tolu, yang apabila diartikan secara bahasa adalah “tungku berkaki tiga”. Karena berkaki tiga, keseimbangan mutlak dibutuhkan, jika ada satu yang kurang, maka tungku tidak akan bisa berdiri tegak. Dalihan na tolu menjadi dasar yang meliputi hubungan kekerabatan (perkawinan dan darah) dalam satu kelompok masyarakat Batak. Dalihan Na Tolu dalam masyarakat Batak diterapkan dalam sebuah konstruksi sosial ke dalam tiga hal: somba marhulahula (sikap hormat kepada keluarga pihak istri), elek marboru (sikap mengayomi perempuan), manat mardongan tubu (sikap berhati-hati kepada yang semarga). Inti ajaran Dalihan Na Tolu adalah kaidah moral berisi ajaran saling menghormati, menghargai dan menolong. 

Di dalam keluarga, ada ajaran bahwa perempuan itu layaknya seperti tanah. Tugasnya merawat kehidupan serta menyayangi benih yang tumbuh di dalamnya. Tanah yang harus dirawat, disayangi dan juga dihormati. “Lahir dari seorang Ibu, berpulang ke pelukan Ibu Pertiwi.”

Tolu yang berarti tiga juga menjadi dasar pemilihan biji kopi. Kedai Kopi Tolu menyajikan tiga jenis biji kopi Sumatera Utara terbaik dari tiga perempuan atau tanah yang berbeda dan cita rasa yang berbeda.

Yang pertama, kopi Sidikalang. Sesuai namanya, kopi Sidikalang merupakan kopi yang berasal dari daerah Sidikalang, Kabupaten Dairi. Tingkat kafein kopi ini adalah termasuk yang tinggi, berkisar hingga 80%.Kopi ini punya aroma yang coklat dan ada sedikit rasa manis pada after taste-nya. Tingkat keasamannya pun cenderung rendah, jadi tidak akan mengiritasi lambung.

Kedua adalah kopi Mandailing berasal dari daerah Kabupaten Mandailing Natal, yang memiliki ketinggian sekitar 0-2.145 meter diatas permukaan laut. Karakteristik kopi ini ada pada aroma dan after taste rempah, bunga, coklat, dan buah-buahan. Karakteristik ini diperoleh karena memang tanah sekitar Mandailing Natal banyak didominasi oleh perkebunan. Kopi ini mempunyai tekstur kental dan tingkat keasaman yang juga rendah sehingga aman dikonsumsi bagi yang lambungnya tidak terlalu kuat.

Terakhir, ada kopi Lintong yang berasal dari daerah Lintong Nihuta, Kabupaten Humbang Hasundutan, Tapanuli Utara. Kopi ini mempunyai aroma yang kuat dari paduan rempah dan herbal, juga aroma pedas Kalau penikmat kopi bisa lebih dalam menghayati rasanya, juga akan ditemukan sedikit percikan rasa kacang dan coklat. Walaupun aromanya tajam, tekstur dari kopi Lintong ini berbanding terbalik saat dicicipi. Selain itu, kopi Lintong punya tekstur yang kental dengan tingkat keasaman yang sedang.

  • kedai kopi tolu
  • kopi
  • kopi tolu

Ketiga biji kopi terbaik Sumatera Utara ini menjadi sorotan utama Kedai Kopi Tolu untuk membawa para penabuh-penabuh rindu di tanah rantau dan rasa yang dihadirkan menghidupkan bagian kecil di otak yaitu hippocampus, mengingat kembali kenangan indah di kampung halaman dan juga membawa siapapun yang ingin merasakan nikmatnya kopi lokal Sumatera Utara yang sudah mendunia serta berpetualang ke dalam pelukan tanah Batak.

Sambil meracik kopi, saya teringat sepenggal lirik dari lagu Lisoi yang diciptakan oleh Nahum Situmorang

Dongan sa par ti naonan, o parmitu

Dongan sa pang kila laan, o lotutu

Arsak rap mangka lu pahon, o parmitu

Tole marap mangandehon, o lotutu

Lisoi, lisoi, lisoi, liso, Lisoi, lisoi.

Teman satu perasaan, oh peminum

Teman satu dalam kesedihan

Kesedihan sama-sama kita lupakan

Mari kita sama-sama menyanyi

Lisoi, lisoi, lisoi, liso, Lisoi, lisoi.

Kopi Tolu juga merupakan cara saya untuk merawat kenangan indah dengan bapak yang telah mendahului, juga merakit kembali kepingan-kepingan puzzle hidup di mana saya tumbuh. Kalian yang berada di sekitar Jabodetabek, bisa mencoba untuk mampir ke Kedai Kopi Tolu yang beralamat di  Jl. Raya Casablanca No.8, RT.12/RW.4, Menteng Dalam, Kec. Tebet, Kota Jakarta Selatan, tepatnya di seberang Mall Kota Kasablanka.

“Minum kopi mungkin tidak bisa menghilangkan separuh masalah hidup kita, setidaknya kita lupa ada masalah apa.”

Mari kita menyanyi dan merayakan apa saja di Kopi Tolu. Jangan lupa untuk berkunjung!

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kedai Kopi Tolu, Cita Rasa Kopi Sumatra Utara di Jakarta appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kedai-kopi-tolu-cita-rasa-kopi-sumatra-utara-di-jakarta/feed/ 0 36974
Bersepeda ke Monumen Kilometer Nol Indonesia https://telusuri.id/bersepeda-ke-monumen-kilometer-nol-indonesia/ https://telusuri.id/bersepeda-ke-monumen-kilometer-nol-indonesia/#respond Mon, 12 Dec 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36611 Bersepeda ke Monumen Kilometer Nol Indonesia yang berada di ujung barat Indonesia, tak pernah terpikirkan olehku sebelumnya. Monumen yang menandakan titik 0 kilometer Indonesia ini seharusnya berada di Pulau Rondo—karena berada paling luar di barat Indonesia—yang...

The post Bersepeda ke Monumen Kilometer Nol Indonesia appeared first on TelusuRI.

]]>
Bersepeda ke Monumen Kilometer Nol Indonesia yang berada di ujung barat Indonesia, tak pernah terpikirkan olehku sebelumnya. Monumen yang menandakan titik 0 kilometer Indonesia ini seharusnya berada di Pulau Rondo—karena berada paling luar di barat Indonesia—yang berbatasan langsung dengan Nikobar, India. Namun, karena aksesnya tidak memungkinkan dan alasan keamanan, Pulau Weh menjadi tempat berdirinya monumen ini.

“Tujuan itu statis, tapi proses untuk mencapai tujuan tersebut yang dinamis.”

Prinsip itu yang aku pegang sampai saat ini ketika aku sedang bertualang ke mana pun. Berawal dari mimpi, semua bisa jadi pasti. Asalkan kita mau berusaha dan menikmati setiap proses untuk mencapai tujuannya.

Perjalanan ini membawaku untuk menembus garis batas ujung negeri pada akhir bulan Juni 2022. Selepas dari Medan, dan beberapa hari sebelumnya aku mengunjungi Danau Toba dan Pulau Samosir, aku memutuskan melanjutkan perjalanan ke provinsi paling ujung Pulau Sumatra yaitu Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Di sana, ada kawan-kawan dari mahasiswa pencinta alam Universitas Syiah Kuala, yaitu Mapala Leuser yang bersedia “menampungku”.

Pulau Weh terlihat dari pinggiran pantai kota ketika kami sedang melihat matahari terbenam. Aku bulatkan niat dan tekad untuk mencoba hal lain untuk menuju ke sana. Sebetulnya, ada banyak transportasi yang bisa dipakai untuk menuju Sabang, namun yang terlintas di benakku adalah sepeda.

Yang terbesit dalam pikiranku adalah, tempat tujuan bukan menjadi hal paling penting, tetapi bagaimana perjalanan untuk mencapai tempat tujuan tersebut. Toh, sepeda pun merupakan alat transportasi yang ramah lingkungan, bukan? 

Bang Fuad, salah satu kawan dari Mapala Leuser dengan baik hati berkenan meminjamkan sepedanya untuk aku pakai beberapa hari ke depan. Malam harinya, kami mengambil sepeda di rumah indekosnya. Esok pagi akan menjadi hari yang panjang bagiku.

Banda Aceh pagi itu sangat sendu. Hujan rintik sedari subuh tak membuat niatku untuk mengayuh sepeda luntur. Aku tutup pintu Sekretariat Mapala Leuser saat para penghuninya masih terlelap. “Bro, aku berangkat dulu ke Sabang ya,” pesan kukirimkan kepada Fiqra yang mungkin baru akan membacanya ketika sudah bangun tidur. Tali sepatu aku ikat kencang, tak lupa helm sebagai peralatan safety, ku pakai. Kayuhan pedal sepeda pertama pun aku mulai.

Gerimis menemani awal perjalananku bersepeda di kota ini. Beberapa menit berselang, aku melipir terlebih dahulu ke suatu kedai kopi di pinggir jalan, tak jauh dari Masjid Baiturrahman. Seperti biasanya, pagi hari, setiap kedai kopi di Banda Aceh selalu ramai. Ada polisi, pegawai, anak kuliahan, semuanya sibuk dengan secangkir kopinya masing-masing. Semangkuk nasi uduk dan secangkir kopi sanger cukup untuk mengisi awal tenagaku ini. Aku lanjutkan kayuhan sepeda ini menuju ke salah satu pelabuhan yang bisa mengantarku menyebrangi lautan.

kapal penyebrangan
Kapal laut penyebrangan rute Banda Aceh-Pulau Weh/Zufar Fauzan

Pelabuhan Ulee Lheue sudah padat oleh calon penumpang yang ingin menyebrang ke Pulau Weh. Aku bergegas pergi ke loket pembelian tiket yang tak jauh dari pintu gerbang pelabuhan. Sebuah pengumuman terdengar dari pengeras suara, menginformasikan kapal masih tertahan dan belum bisa berlayar seperti waktu biasanya karena terjadi badai dan gelombang ombak yang tinggi. Rasa cemas menghampiriku, apa boleh buat, semoga perjalanan ini baik-baik saja.

Setelah menunggu cukup lama di pelataran parkir bongkar muat kendaraan, akhirnya para penumpang boleh masuk ke dalam kapal bernama KMP Aceh Hebat 2. Ada rombongan komunitas motor, wisatawan asing yang menggunakan sepeda motor sewaan, dan ada juga pasangan yang sedang bermesraan di atas jok. Hanya aku seorang diri yang menggunakan sepeda di balik kerumunan kendaraan yang memadati parkiran di dalam kapal. Aku taruh sepeda di samping mobil dan motor yang berjajar rapih.

Satu jam kemudian, kapal mulai berlayar menembus lautan untuk menuju Pulau Weh. Aku pergi ke atas kapal, mencari tempat untuk bisa bersandar dan meluruskan kaki sambil mengistirahatkan badan. Pulau Nasi dan Pulau Breueh di sebelah timur terlihat dengan jelas di seberang hamparan biru sana. Perlahan sinyal tenggelam membuat diri ini terlelap sebentar.

Setelah lebih satu jam, kapal mulai bersandar di Pelabuhan Balohan, pintu masuk untuk menuju ke Kota Sabang. Suasana Pelabuhan Balohan cukup ramai, mungkin karena banyak wisatawan juga yang pergi ke tempat ini. Aku buka Google Maps untuk mengarahkan jalan ke pusat kota. Gerbang “Selamat Datang di Kota Sabang” membuat aku semakin semangat untuk melanjutkan perjalanan ini.

Gapura Sabang
Gapura pintu masuk di Kota Sabang/Zufar Fauzan

Baru saja beberapa menit mengayuh, aku dihadapkan dengan tanjakan yang sangat terjal. Aku menelan ludah. Niat sudah terkumpul, aku pindahkan ke gigi satu, dan perlahan betisku mulai tersiksa karena tanjakan ini. Beberapa kendaraan silih berganti menyusulku sembari memberi klakson tanda memberi semangat. Alhamdulillah, masih ada yang perhatian juga kepadaku!

Terik sang mentari tepat di atas peraduan. Rumah penduduk masih menemaniku di samping kiri dan kanan jalan. Aku melipir ke salah satu warung di pinggir jalan. Es jeruk dan beberapa sereal makanan ringan cukup untuk mengisi kembali tenagaku sekaligus untuk menunggu baterai telepon genggam terisi penuh. 

Pemandangan sudah berganti dari bebetonan menjadi pepohonan. Sesekali terlihat hamparan laut diujung sana. Aku banyak menghabiskan waktu untuk berhenti mengambil gambar yang memanjakan mata. Betisku sempat terasa tegang, kram menghajar kakiku. Beberapa kali aku harus turun dari sepeda dan mendorongnya untuk melewati tanjakan demi tanjakan terjal. Maklum, aku sudah lama tidak melakukan olahraga ini. Rutinitas sehari-hariku jauh dari kegiatan olahraga. Apa boleh buat, kupaksakan apa yang harus aku selesaikan ini.

Tepat pukul empat sore, aku sampai di Pantai Iboih. Memang, tujuanku hari ini adalah beristirahat satu malam terlebih dahulu sebelum tujuan terakhirku ke Monumen Titik Nol. Pantai ini cocok untuk checkpoint karena ramai dan banyak akomodasi untuk beristirahat.

Aku segera mencari tempat makan, karena sedari siang perutku belum terisi. Pulau Rubiah terlihat di seberang pantai ini. Wisatawan silih berganti ke tepian pantai setelah menyebrang kembali dari pulau. Memang, Pantai Iboih dan Pulau Rubiah adalah spot wisatawan terkenal di Sabang. Banyak pengunjung yang datang untuk menikmati keindahan bawah air dengan snorklingdiving, atau sekedar berenang di tepian pantai. 

  • Pulau Rubiah
  • pemandangan laut

Setelah membayar makan dan minum, aku bertanya kepada ibu penjaga warung dan suaminya. Aku meminta saran tempat penginapan dengan harga yang terjangkau. Perlu diketahui, di sini, harga sewa penginapan untuk satu malam paling murah ada pada kisaran harga Rp250.000–Rp300.000. Tentu, aku perlu memutar otak soal ini. Ibu penjaga warung menyarankan supaya aku bertanya juga ke penginapan di paling ujung deretan kios-kios penjualan souvenirKatanya, aku bakal menemui penginapan dengan harga murah di sana.

Aku kemudian bertanya kembali, kali ini kepada salah satu ibu yang sedang duduk di depan warung dari arahan sebelumnya.. Dengan muka melas, aku menanyakan harga penginapan. Ibu tersebut bilang kepadaku ada kamar seadanya, ia hanya menyewakan bersama fasilitas kipas angin dan kamar mandi luar, harganya hanya Rp100.000.

Bagiku, harga segitu lebih dari cukup. Apalagi aku sedang malas mencari pelataran tempat yang bisa aku tumpangi secara gratis. Belum lagi, aku harus beristirahat cukup karena perjalanan esok hari masih panjang. Ternyata kedatanganku dengan sepeda membuat perhatian orang-orang sekitar. Seperti biasa, pertanyaan dari mana, mau ke mana, dan lain sebagainya. Jawabanku membuat mereka antusias.

Aku lalu segera membersihkan tubuh dan tidur lebih cepat malam ini. Aku bergumam, semoga esok pagi tidak telat bangun dan semoga badan tidak pegal-pegal.

Pagi hari itu, kayuhanku langsung berhadapan dengan jalan menanjak kembali. Untungnya, udara segar masih menyertai rimbunnya pepohonan. Kawasan menuju Monumen Kilometer Nol Indonesia merupakan kawasan hutan lindung, tidak heran jika aku melihat hutan yang begitu lebat dengan udara sejuk. Terlihat beberapa gerombolan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sedang bermain di beberapa pohon yang ada di pinggir jalan. Rombongan motor Harley dengan suara keras bergantian menyusulku dari belakang. Aku tersenyum, mungkin tujuan kami sama tapi “perjuangan” kami untuk mencapai tujuan tersebut berbeda.

Entah berapa putaran kayuhan yang aku tempuh untuk sampai di sini. Plang yang menunjukkan bahwa aku sudah memasuki kawasan wisata Monumen Kilometer Nol Indonesia terlihat. Aku kencangkan kayuhan sepeda. Deretan warung cinderamata berjajar rapih, aku izin kepada salah satu bapak penjaga untuk membawa sepedaku masuk ke dalamnya. 

Monumen dengan ketinggian sekitar 43 meter ini terpampang di depan mata. Terdapat dua lingkaran seperti angka nol dan di dua sisi angka terdapat rencong yaitu pisau atau belati khas Aceh. Aku pergi ke atas monumen ini dengan melewati beberapa tangga. Hamparan laut nan luas terpampang di sana, menandakan tempat ini daratan terakhir ujung batas kawasan Nusantara. 

Tugu kilometer nol
Sampai di Monumen Kilometer Nol, Sabang/Zufar Fauzan

Aku mengingat kembali apa yang telah aku jalani, mulai dari awal perjalanan yang aku tempuh hingga akhirnya tiba di sini, juga merenungi apa yang telah aku jalani untuk hidup ini. Perjalanan ini mengajariku bahwa proses tidak akan mengkhianati hasil. Terima kasih telah bertemu, ujung barat Indonesia. Izinkanlah aku suatu saat bertemu pasanganmu di ujung timur Indonesia sana. Semoga.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Bersepeda ke Monumen Kilometer Nol Indonesia appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/bersepeda-ke-monumen-kilometer-nol-indonesia/feed/ 0 36611
Filosofi di Sepiring Dekke Na Niarsik dalam Adat Batak https://telusuri.id/filosofi-di-sepiring-dekke-na-niarsik-dalam-adat-batak/ https://telusuri.id/filosofi-di-sepiring-dekke-na-niarsik-dalam-adat-batak/#respond Sun, 06 Mar 2022 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=33032 Apa yang ada di pikiran kita jika melihat seekor ikan yang telah dimasak kemudian disajikan di depan mata? Terlihat sangat lezat, dan tentu saja ingin sekali langsung menyantapnya. Tak ada yang salah, makanan yang sudah...

The post Filosofi di Sepiring Dekke Na Niarsik dalam Adat Batak appeared first on TelusuRI.

]]>
Apa yang ada di pikiran kita jika melihat seekor ikan yang telah dimasak kemudian disajikan di depan mata? Terlihat sangat lezat, dan tentu saja ingin sekali langsung menyantapnya. Tak ada yang salah, makanan yang sudah dimasak memang ditujukan untuk disantap. Tetapi ada yang berbeda dari adat Batak dalam melihat sepiring ikan, terutama ikan mas arsik atau dekke na niarsik yang disajikan. Hidangan khas Batak satu ini selalu ada dalam tiap prosesi adat yang dijalankan. Ikan mas arsik bukan hanya sekadar masakan biasa, filosofi yang dipegang orang Batak yakni simbol akan berkat hidup selalu dipegang tiap hidangan satu ini disajikan.

Jika di Korea, kimchi adalah menu wajib di setiap rumah, pun sama halnya dengan ikan mas arsik untuk tiap rumah tangga yang ada di kampung halaman Sumatera Utara sana. Cita rasa yang dimiliki ikan mas arsik ini sangat khas. Ada rasa asam yang kecut, asin, pedas, dan tentu saja yang membuat ikan mas arsik lebih istimewa adalah adanya campuran andaliman, asam gelugur dan bunga rias (atau biasa dikenal dengan kecombrang). 

Lapo (rumah makan khas Batak) mana yang tidak menyajikan makanan khas satu ini? Percaya atau tidak, memasak dekke na niarsik ini harus memiliki kemahiran yang cukup tinggi dalam meramunya. Siapapun dia yang dapat memasak hidangan satu ini pasti memiliki nilai lebih di mata keluarga.

Ikan Arsik
Ikan mas arsik/Ruth Stephanie

Filosofi mendalam untuk sepiring dekke na niarsik

Makanan Batak termasuk salah satu yang memiliki sejarah yang cukup panjang. Terlebih untuk kuliner khas satu ini. Dekke na niarsik adalah salah satu makanan yang menjadi bagian dari adat Batak yang tentu saja memiliki cerita dari mulai kelahiran, perkawinan, hingga meninggal. Angka ganjil dalam sajian dekke na niarsik ini juga memiliki filosofi masing-masing. Satu ekor dekke (ikan) melambangkan untuk mereka yang baru saja menikah, tiga ekor untuk pasangan yang baru saja memiliki anak, lima ekor untuk mereka yang baru saja memiliki cucu. Hingga tujuh ekor dekke hanya diperuntukkan untuk pemimpin bangsa Batak.

Pemberian dekke na niarsik ini juga tidak bisa asal diberikan, tidak sembarang orang boleh memberikannya. Lantas siapakah yang memiliki hak memberikan dekke kepada orang yang tengah menjalankan acara adat? Jawabannya adalah hanya hula-hula atau kerabat dari pihak istri/perempuan saja yang boleh memberikannya (biasa dikenal dengan sapaan tulang), orang tua kandung istri, saudara laki-laki istri, dan komunitas marga pihak istri. 

Ikan Arsik
Dekke na niarsik/Kate.id

Oleh karena itu, karena kuatnya adat Batak ini maka pemilihan ikan masnya pun juga harus yang terbaik dan tetap dalam keadaan utuh mulai dari kepala hingga ekor. Pemilihan ikan mas juga memiliki kepercayaan bahwa ikan mas dikenal hidup di air jernih, juga ikan yang suka sekali berenang beriringan, memiliki usia yang panjang di kawasan Danau Toba.

Dalam penyajian dekke na niarsik, sisiknya pun tidak boleh dibuang, dan tidak boleh dipotong-potong. Selain itu juga disajikan dalam posisi berenang atau kepala menghadap ke orang yang akan menerimanya. Bila jumlahnya lebih dari satu, maka dekke harus diletakan sejajar. Mengapa demikian? Ikan yang sejajar dan menghadap ke penerima diartikan bahwa dalam kehidupan dapat berjalan beriringan menuju arah dan tujuan yang sama. Selain itu juga jika ada permasalahan yang menghalangi dapat diselesaikan secara bersama oleh setiap anggota keluarga. 

Ikan Arsik
Arsik di Lapo/Ruth Stephanie

Orang Batak juga percaya penyajian dekke tidak boleh dipotong-potong karena orang yang menerimanya tidak akan memperoleh keturunan. Begitulah filosofi gambaran utuh kehidupan bagi adat Batak dalam sepiring sajian dekke na niarsik. Makanan lezat khas Batak satu ini sangat mudah didapatkan di tiap lapo yang telah berjamur di berbagai kota besar, khususnya di Jakarta.

Kuliner khas Indonesia memang kaya akan budaya yang tentu saja diturunkan dari tradisi panjang kehidupan masyarakat. Hal seperti inilah yang seharusnya semakin membuat kita bangga menjadi bangsa Indonesia, yang kaya akan budaya bahkan hingga ke ranah kuliner atau makanan.

Di daerah kamu, ada kuliner khas apa?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Filosofi di Sepiring Dekke Na Niarsik dalam Adat Batak appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/filosofi-di-sepiring-dekke-na-niarsik-dalam-adat-batak/feed/ 0 33032
Singgah ke Rumah Kelahiran Bung Hatta https://telusuri.id/singgah-ke-rumah-kelahiran-bung-hatta/ https://telusuri.id/singgah-ke-rumah-kelahiran-bung-hatta/#respond Tue, 22 Feb 2022 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=32815 Bung Hatta, sapaan yang sangat akrab sekali di telinga. Seorang lelaki kelahiran Ranah Minang ini memiliki pengaruh besar untuk Indonesia. Lahir di sebuah rumah yang terbilang cukup mewah pada zamannya, berada di Jalan Soekarno-Hatta, Kelurahan...

The post Singgah ke Rumah Kelahiran Bung Hatta appeared first on TelusuRI.

]]>
Bung Hatta, sapaan yang sangat akrab sekali di telinga. Seorang lelaki kelahiran Ranah Minang ini memiliki pengaruh besar untuk Indonesia. Lahir di sebuah rumah yang terbilang cukup mewah pada zamannya, berada di Jalan Soekarno-Hatta, Kelurahan Tangah Sawah, Kota Bukittinggi. Tangah Sawah atau Aua Tajungkang yang saat ini menjadi nama sebuah kelurahan dahulu kalanya memanglah sawah yang terbentang luas. Tangah yang berarti tengah dalam bahasa minang dan sawah yang menghampar luas menghadap gagahnya Gunung Marapi. 

Bayi mungil yang diberi nama Mohammad Hatta lahir di sebuah kamar rumah berlantai dua pada tanggal 12 Agustus 1902, dilahirkan oleh seorang ibu yang bernama Siti Saleha dan ayah bernama Muhammad Djamil. Saat saya berkunjung ke rumah kelahirannya, potret wajah ibu Bung Hatta terpampang rapi di dinding rumah. Menurut informasi yang saya dapatkan dari pemandu, ayah Bung Hatta merupakan keturunan ulama tarekat dari Batuhampar, Kabupaten 50 Kota yang berdekatan dengan Kota Payakumbuh. Namun saat Bung Hatta menginjak usia tujuh bulan, ayahnya meninggal dunia. 

Rumah Bung Hatta
Potret rumah Bung Hatta/Atika Amalia

Saat memasuki Rumah Kelahiran Bung Hatta, pengunjung tidak dikenakan biaya sepeserpun. Seperti rumah pada umumnya area depan terdapat paviliun, sudah ada pemandu yang menyambut dengan ramah dan sebelum masuk pengunjung harus melepas alas kaki kemudian mengisi buku tamu. Layaknya museum, perabotan pun masih asli peninggalan orang tua Bung Hatta, layout rumah masih sama seperti dahulu walaupun saat ini rumah itu sudah replika karena bangunan asli rubuh. 

Dilansir dari laman portal kemlu.id rumah asli tempat Bung Hatta dilahirkan sudah runtuh di tahun 1960-an, tetapi atas gagasan Ketua Yayasan Pendidikan Bung Hatta, rumah tersebut dibangun ulang sebagai upaya mengenang dan memperoleh gambaran masa kecil sang proklamator di kota Bukittinggi. Penelitian pembangunan ulang dimulai dari bulan November 1994 dan dimulai pada tanggal 15 Januari 1995. Rumah ini diresmikan pada tanggal 12 Agustus 1995, bertepatan dengan hari lahir Bung Hatta sekaligus dalam rangka merayakan 50 tahun Indonesia Merdeka. 

  • Rumah Bung Hatta
  • Rumah Bung Hatta
  • Rumah Bung Hatta
  • Rumah Bung Hatta
  • Rumah Bung Hatta
  • Rumah Bung Hatta
  • Rumah Bung Hatta

Di area depan paviliun, terdapat sebuah kamar yang dijadikan ruang baca Bung Hatta, sebuah kamar kecil dengan satu dipan dan meja belajar. Tempat ini jadi ruang favorit bagi Bung Hatta untuk membaca selain di selasar lantai dua, yang terdapat satu bangku goyang tepat menghadap ke Gunung Marapi. Kalau kata ‘anak jaman now’, saat itu Bung Hatta membaca buku With a Mountain View. Teduh dan indah sekali tentunya.

Setelah disambut oleh ruang baca di lantai satu, pemandu mengajak saya untuk masuk ke area utama, yaitu ruang tamu. Semua tamu yang datang hanya boleh sampai sini. Sementara ruang keluarga, dapur, ruang makan merupakan area privasi dan terpisah sehingga tamu yang datang tidak bisa melihat aktivitas pemilik rumah. Saya kagum dengan denah yang betul-betul menjaga privasi keluarga. 

Selain itu di area ini juga terdapat beberapa kamar paman-paman Bung Hatta. Saya lalu menuju area belakang. Saat keluar rumah, saya terlebih dahulu memakai alas kaki yang terbuat dari kayu, dalam bahasa Minang bernama tangkelek (bakiak). Lalu sebuah taman dengan satu lumbung padi dan lesung menyambut.

  • Rumah Bung Hatta
  • Rumah Bung Hatta
  • Rumah Bung Hatta
  • Rumah Bung Hatta
  • Rumah Bung Hatta

Dahulu kala, masyarakat Minangkabau mata pencahariannya adalah bertani, memanfaatkan lumbung padi untuk menyimpan padi-padi mereka. Padi dijemur hingga kandungan air berkurang agar semakin awet lalu ditumbuk di dalam lesung untuk mengeluarkan biji beras. Namun berbeda dengan sekarang. Saat panen, padi langsung dibawa ke huller atau penggilingan kemudian dijemur dan siap digiling dengan mesin, setelahnya biji beras yang keluar sudah cukup bersih dan bisa disimpan didalam karung dalam waktu yang lebih lama. 

Di area belakang rumah, terdapat satu bangunan dengan beberapa ruangan. Semua pintunya menghadap halaman. Kamar bujang yang merupakan kamar Bung Hatta berada paling pinggir, lalu di sebelahnya dapur, kamar mandi, garasi bendi, kandang kuda, dan paling belakang terdapat kolam ikan Konon dulunya kolam ikan ini sangat luas, namun sekarang hanya tersisa sedikit saja. Air yang dipergunakan pun masih menggunakan air sumur,  alirannya masih sama seperti dahulu, namun bedanya semenjak rumah itu di pugar dan bangunan harus mundur, akhirnya sumur berada di dalam kamar. Tapi sumurnya masih aktif dan airnya pun bersih. Di garasi bendi masih tertata rapi bendi yang pernah mengantarkan Bung Hatta untuk hijrah bersekolah ke ELS di Padang (kini SMA Negeri 1 Padang). 

Bergerak beberapa langkah dari dapur saya diajak masuk kedalam ruang makan. Terdapat beberapa jendela dan sebuah tangga menuju lantai dua rumah. Area lantai dua inilah menjadi area privat. Terdapat kamar dimana Bung Hatta dilahirkan, kamar orang tua dan kamar perempuan. Bagian luar terdapat selasar yang dijadikan Bung Hatta untuk membaca. Beliau menghabiskan masa kecilnya di rumah ini hingga berusia 11 tahun sampai akhirnya menyongsong masa depannya dari dari satu kota ke kota lain hingga ke luar negeri. Walaupun saat ini Bung Hatta sudah tiada, bukti sejarah yang masih ada akan terus jadi pengingat untuk kita semua, bahwa teruslah belajar dan kejarlah ilmu sampai kapanpun.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Singgah ke Rumah Kelahiran Bung Hatta appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/singgah-ke-rumah-kelahiran-bung-hatta/feed/ 0 32815