sumba Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/sumba/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 11 Oct 2022 06:30:40 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 sumba Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/sumba/ 32 32 135956295 Menonton Tradisi Pasola di Kodi, Sumba Barat Daya https://telusuri.id/menonton-tradisi-pasola-di-kodi-sumba-barat-daya/ https://telusuri.id/menonton-tradisi-pasola-di-kodi-sumba-barat-daya/#respond Mon, 17 Oct 2022 16:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=35313 Sumba, punya banyak hal untuk saya ceritakan. Selain mempunyai alam yang elok, Sumba menyimpan beragam kebudayaan yang tersimpan di desa-desa adat yang masih mempertahankan tradisi dan warisan para leluhur. Februari lalu, saya berkunjung ke Sumba...

The post Menonton Tradisi Pasola di Kodi, Sumba Barat Daya appeared first on TelusuRI.

]]>
Sumba, punya banyak hal untuk saya ceritakan. Selain mempunyai alam yang elok, Sumba menyimpan beragam kebudayaan yang tersimpan di desa-desa adat yang masih mempertahankan tradisi dan warisan para leluhur. Februari lalu, saya berkunjung ke Sumba untuk melakukan penelitian tugas akhir kuliah. Saya tinggal di rumah seorang kenalan yang juga turut membantu dalam penelitian. Lokasi rumahnya di Desa Ate Dalo, Kecamatan Kodi.

Di desa ini terdapat kampung adat yang berdasar tradisi lisan masyarakat Kodi merupakan kampung pertama di Kodi. Namanya adalah Kampung Bukubani. Di sini, terdapat puluhan rumah adat dengan tanah luas di tengahnya. Biasnya, masyarakat menggunakannya untuk melaksanakan ritual. 

Di Kodi, masyarakat tampak belum begitu terjamah oleh modernitas. Semua hal masih tampak tradisional, terlihat dari rumah-rumah adat yang masih berdiri kokoh hingga tradisi dan agama lokal—marapu, yang masih lestari.

Sumba sendiri terkenal dengan kebudayaan megalitikum yang masih lestari sampai sekarang. Di sekeliling kampung, rumah adat, dan di halaman tengah terdapat susunan bebatuan alam yang merupakan makam. Masyarakat setempat menyebutnya kubur batu. Beberapa di antaranya tampak tua. Ternyata, makam tersebut merupakan makam dari leluhur pertama orang Kodi.

Pasola Sumba
Warga menonton pasola di Lamboya, Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur via TEMPO/Seto Wardhana

Ini adalah pengalaman pertama saya tinggal bersama masyarakat Kodi dan melihat secara langsung beragam tradisi serta kebudayaan mereka. Nah, salah satu pengalaman yang cukup berkesan untuk saya yakni saat mengikuti perayaan nyale dan ritual pasola. Dua tradisi dan budaya ini Perayaan nyale dan ritual pasola adalah tradisi tahunan yang juga banyak menarik minat wisatawan. Keduanya, dilakukan oleh masyarakat Kampung Bukubani sebagai ungkapan syukur atas panen.

Perayaan nyale merupakan momentum saat orang-orang akan pergi ke pantai untuk menangkap nyale atau cacing laut. Nyale dipandang sebagai simbol berkat dan kesuburan. Pasola sendiri, merupakan sebuah permainan adat  yang menggunakan lembing kayu yang digunakan untuk menjatuhkan lawan dari kuda yang ditunggangi. Mirip seperti “peperangan” berkuda antara dua kubu. Konon ritual ini memang merupakan sarana untuk latihan perang karena pada waktu itu perang suku cukup sering terjadi. Tombak asli digunakan pada waktu itu sebelum akhirnya dilarang oleh kolonial Belanda dan menggantinya dengan lembing kayu. Pasola tahun ini diadakan pada tanggal 25 Februari.

Perayaan nyale dan ritual pasola di Kodi dimulai sejak pagi hari. Sebelum fajar orang-orang berbondong-bondong ke Pantai Bukubani untuk menangkap nyale. Melalui nyale rato (tetua adat dan pemimpin religius Marapu) dapat melihat dan memprediksi hasil panen yang akan didapat. Jika nyale cukup berisi dan banyak akan ada berkat yang melimpah dari panen. Sebaliknya jika nyale kurus dan sedikit akan menjadi pertanda buruk seperti kemarau panjang dan musim lapar. Nyale yang telah ditangkap kemudian akan dibawa pulang untuk dimasak dan setelah ritual pasola akan dimakan bersama para kerabat.

Pasola Sumba
Pengendara kuda melempar lembing dalam permainan tradisional suku Sumba “Pasola”, di Kecamatan Kodi, Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur (NTT) via TEMPO/Seto Wardhana

Pasola adalah saat dimana orang-orang keturunan Kodi akan pulang di manapun mereka berada. Entah di perantauan sedang menempuh pendidikan atau bekerja orang Kodi akan menyempatkan waktu pulang, bertemu dengan sanak saudara dan merayakan sekaligus melaksanakan pasola. Jadi pasola memang merupakan momen yang dinantikan. Saya merasa momen ini seperti tradisi mudik setiap kali lebaran.

Saat hari pelaksanaan ritual pasola, rumah-rumah di Kampung Bukubani dipenuhi oleh kerabat dan tamu baik dari kenalan ataupun wisatawan. Orang Kodi akan senang hati mengajak dan menerima tamu. Saat saya bertamu ke salah satu rumah di Kampung Bukubani, saya dijamu dengan sirih pinang dan kopi. 

Sirih pinang sendiri merupakan jamuan utama bagi orang Kodi ketika bertamu. Ketika pasola, sirih pinang juga akan ditaruh di beberapa kubur batu sebagai jamuan kepada para leluhur. Saat bertamu di Kodi, seseorang akan dianggap tidak sopan dan tidak akan mendapat berkah kalau tidak memakan sirih pinang. 

Rasa sirih pinang ini terbilang cukup memabukkan dan membuat pusing bagi saya dan mungkin orang yang tidak biasa memakannya. Maka kalau memang tidak kuat untuk memakannya sebaiknya kita meminta izin kepada tuan rumah untuk tidak memakannya.

Pagi menjelang siang sudah terdapat banyak sekali kuda di halaman Kampung Bukubani. Penunggang kudanya ada yang lelaki dewasa, remaja, bahkan anak-anak. Mereka menggunakan pakaian adat berupa sarung atau kain. Warnanya ada yang merah, orange, kuning hijau. Kemudian beberapa menggunakan semacam mahkota yang terbuat dari kain dan kulit kayu. 

Kuda-kuda dihiasi dengan potongan-potongan kain dan lonceng yang diikat di leher atau di kaki. Saat mengendarai kuda, orang Kodi menggunakan cara tradisional, tidak menggunakan pelana. Saat pasola akan dimulai dan para penunggang bersiap menuju lapangan pasola, para rato terlebih dahulu menyanyikan syair adat untuk mengundang leluhur dan meminta berkat selama jalannya pasola

Orang-orang yang berada di Kampung Bukubani berbondong-bondong pergi ke lapangan untuk menyaksikan pertempuran pasola. Di lapangan pasola sudah dipadati oleh banyak penonton. Jumlahnya ratusan lebih. Terlihat di pinggir-pinggir lapangan ada tenda-tenda kecil yang terbuat dari bambu dan terpal sebagai tempat untuk berjualan makanan dan minuman. Tribun kecil  juga sudah sesak oleh para penonton yang berdesak-desakan. Di tengah teriknya matahari orang berdesak-desakan ingin berada di paling depan untuk bisa jelas menyaksikan pasola, mereka sampai rela memanjat pohon, pagar dan berdiri di atas mobil serta kubur batu untuk mendapatkan pemandangan yang jelas.

Pasola Sumba
Pengendara kuda melempar lembing dalam permainan tradisional suku Sumba “Pasola”, di Kecamatan Kodi, Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur (NTT) via TEMPO/Seto Wardhana

Pasola dibuka oleh Rato Nale, para peserta masih belum melakukan aksinya yang gagah. Mereka seakan melakukan pemanasan terlebih dahulu dengan mengitari lapangan sambil sesekali melempar lembing. Kedua kubu akan bergantian melempar lembing. Ada yang membawa satu bahkan ada yang lebih. Seiringan dengan para penunggang kuda yang melempar lembing, penonton mulai ikut memanaskan acara dengan berteriak dan bersorak. Tak kalah seru para penunggang juga bersorak layaknya orang Indian di film barat. Melalui gestur dan sorakan itu penunggang menantang lawan supaya terpancing. Semakin lama para peserta mulai menyerang lawan secara bergantian dengan cepat. Sesekali kedua kubu beristirahat dan menurunkan tempo lalu menaikannya lagi. Ketika ada yang berhasil menjatuhkan lawan, penonton akan semakin bersemangat bersorak dan berteriak. Matahari semakin panas tapi antusiasme penonton tak kalah juga. 

Ketika ritual pasola, cedera atau pertumpahan darah tidak bisa dihindari. Masyarakat Kodi percaya percikan darah selama pasola mendatangkan kesuburan. Ketika matahari semakin terik terlihat kuda sudah mulai kelelahan dan mulai sulit dikendalikan. Pengendara yang jatuh bisa saja terinjak-injak oleh kuda. Cedera seperti patah tulang, cedera leher, kebutaan sering terjadi. 

Saya sendiri menyaksikan ada penunggang kuda yang melempar lembing dan mengenai mata lawannya. Lukanya tampak cukup parah. Katanya kematian pun bisa saja terjadi, tetapi jarang. Kalaupun ada, konon itu karena penunggang kuda sering melakukan perbuatan yang dilarang adat.

Pasola berlangsung sekitar 3–4 jam. Siang sekitar jam setengah satu acara pasola ditutup oleh Rato Nale. Hal yang unik, orang-orang yang terluka selama pasola tidak dibawa ke rumah sakit tetapi akan diobati secara tradisional oleh Rato. Dipercaya luka-luka tersebut bisa langsung sembuh selama 2–3 hari saja.

Setelah pasola, saya mampir ke Kampung Bukubani dan ikut makan bersama di sana. Tuan rumah membakar ayam yang ternyata itu juga dipersembahkan kepada leluhur. Harum ayam bakar dan nyale keluar dari dapur yang ada di tengah rumah. 

Di beberapa rumah sekitar juga terlihat kepulan asap yang keluar. Ada juga yang memotong babi untuk dibakar dan dimakan bersama. Seperti biasa sebelum dijamu dengan makan sirih pinang serta kopi adalah hidangan utama. Kemudian saya bersama tamu-tamu yang lain dijamu dengan ketupat-ketupat serta ayam dan nyale.Perayaan nyale dan pasola merupakan perekat relasi persaudaraan masyarakat Sumba, wisatawan, dan semua yang terlibat. Ketika selesai bertamu mereka akan sangat akrab mengingatkan kita “Jangan lupa datang lagi tahun depan semoga berkat dari Kodi sampai juga ke rumahmu.”


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menonton Tradisi Pasola di Kodi, Sumba Barat Daya appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menonton-tradisi-pasola-di-kodi-sumba-barat-daya/feed/ 0 35313
Mampir ke Destinasi Wisata Ini Pas di Sumba https://telusuri.id/mampir-ke-destinasi-wisata-ini-pas-di-sumba/ https://telusuri.id/mampir-ke-destinasi-wisata-ini-pas-di-sumba/#comments Sun, 21 Feb 2021 07:17:35 +0000 https://telusuri.id/?p=27133 Daya tarik wisata Nusa Tenggara Timur tak hanya komodo saja. Ada banyak sekali adat dan budaya tersimpan di sana, khususnya di Sumba. Beberapa waktu lalu, media sosial sempat ramai dengan video iklan Ferrari Portofino dengan...

The post Mampir ke Destinasi Wisata Ini Pas di Sumba appeared first on TelusuRI.

]]>
Daya tarik wisata Nusa Tenggara Timur tak hanya komodo saja. Ada banyak sekali adat dan budaya tersimpan di sana, khususnya di Sumba. Beberapa waktu lalu, media sosial sempat ramai dengan video iklan Ferrari Portofino dengan latar keindahan tanah Sumba. Bukit Hiliwuku di Sumba Timur, Hutan Pinus di Sumba Tengah, Kampung Adat Megalitikum Prai Ijing di Sumba Barat, dan Pantai Ratenggaro di Sumba Barat Daya tampak dalam iklan yang mengusung konsep mengendarai Ferrari Portofino di tempat-tempat indah di dunia.

Selain tempat-tempat tersebut, kamu juga bisa lho berkunjung ke beberapa tempat lain di Sumba. Nih, TelusuRI kasih rekomendasinya!

Danau Weekuri di Sumba Barat Daya
Wisatawan bermain air di Danau Weekuri via TEMPO/Aditia Noviansyah.

Danau Weekuri

Tempat wisata di Sumba yang pertama adalah Danau Weekuri yang berada di Kalena Rongo, Kecamatan Kodi Utara, Kabupaten Sumba Barat Daya, NTT. Salah satu kawasan wisata andalan Sumba ini memiliki warna air yang sangat jernih, bahkan bisa dengan jelas melihat dasar danaunya. 

Danau ini bisa digunakan untuk berenang. Jadi ketika kamu kepanasan selama perjalanan, bisa langsung menceburkan diri ke air danaunya yang segar. Selain itu yang menarik dari tempat ini adalah bebatuan karangnya, rasanya seperti sedang berada di laut ketika berenang di sana. 

Kampung Tarung

Rumah adat dengan atap jerami dan berbentuk unik ini memang menjadi gambaran dari Kampung Tarung. Kampung yang terletak di puncak bukit yang menghadap ke Kota Waikabubak ini juga bisa masuk dalam tempat yang wajib untuk dikunjungi. Selain tatanan rumah-rumah yang berbentuk aestetik, kamu juga akan menjumpai masyarakat yang masih memegang erat kebudayaannya.

Kampung Tarung
Kampung Tarung via Flickr/Monica Renata

Rumah-rumah yang masih asli di kampung ini dibangun tidak menggunakan pasak atau paku besi. Hanya dibuat dengan sederhana dan selalu membagi bagian rumahnya menjadi 3 bagian, atas untuk roh leluhur dan makanan, tengah untuk tempat tinggal manusia, dan paling bawah untuk hewan ternak.

Jika kamu datang ke tempat ini pastikan untuk meminta izin dahulu ke pemimpin adat kampung atau yang disebut dengan Rato, ya!

Taman Kincir Angin Maubokul

Sumba memang terkenal dengan lahan perbukitan yang luas dan membentang. Itulah mengapa angin di atas bukitnya cukup kencang dan tanpa halangan. Hal inilah yang menjadi alasan dibangunnya kincir-kincir angin yang dikenal dengan nama Taman Kincir Angin Maubokul. 

Sebetulnya, dibangunnya Taman Kincir Angin ini memang bukan sebagai tempat wisata karena tujuan utamanya untuk mengaliri listrik di sebuah desa terpencil yaitu Desa Kamanggih. Namun sejak selesai dibangunnya taman kincir membuat wisatawan datang untuk berfoto.

Desainer Taman Kincir Angin Maubokul tak lain adalah Ricky Elson, ia memiliki keahlian dibidang mobil listrik dan memiliki banyak paten. Oh ya, Ricky adalah orang Indonesia lho! 

Taman Nasional Manupeu Tanah Daru

Taman Nasional Manupeu Tanah Daru (TNMT) ditetapkan pemerintah menjadi Taman Nasional pada tahun 1998 dengan luas sekitar 87.984 hektar. Setidaknya ada 118 jenis flora, 87 jenis aves, 57 jenis kupu-kupu dan berbagai fauna lain hidup di dalamnya. 

Taman Nasional Manupeu Tanah Daru memiliki banyak tempat wisata yang tersimpan di dalamnya seperti Air Terjun Matayangu, Air Terjun Lapopu, Pantai Aili, Pantai Maloba, Gua Liang Bakul, dan Gua Kanabuwulang.

Pantai Walakiri

Berpindah ke daerah Sumba Timur tepatnya di Watumbaka, Kecamatan Pandawai, Sumba Timur, NTT juga memiliki tempat wisata yang tak kalah menarik yaitu Pantai Walakiri. Pantai ini memang seperti pantai lainnya, namun yang berbeda adalah pohon mangrove yang tumbuh di pesisirnya.

Pantai Walakiri
Pantai Walakiri via Flickr/Andres Guerrero

Saat air laut sedang surut maka pohon-pohon mangrove bisa terlihat sampai bagian bawahnya sehingga terlihat seperti pohon legenda yang jarang ditemui. Tak heran jika Pantai Walakiri ini selalu ramai dikunjungi wisatawan. Waktu terbaik untuk datang ke tempat wisata ini adalah saat mendekati matahari terbenam.

Pantai Padadita

Salah satu pantai yang bisa diakses dengan mudah menggunakan mobil adalah Pantai Padadita, terletak di Jalan Airlangga Padadita Timur, Waingapu, NTT. Pantai ini dikelola oleh Padadita Beach Hotel dengan fasilitas dan tatanan yang sangat bagus. 

Pondokan-pondokan beratap jerami tertata rapi, kebersihan pun juga terjaga, serta pemandangan yang sangat indah dari pantainya memang sangat rekomendasi untuk dikunjungi. Mau melihat sunrise atau sunset dari tempat ini, semuanya bagus!

The Twin Canyon Tanggedu

Tak hanya pantai dan perbukitan saja, di Sumba bagian Utara terdapat tempat wisata unik yang bernama Twin Canyon Tanggedu. Lokasinya di Desa Ndapayami, Kecamatan Kanatang, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. Air terjun dengan warna airnya putih kebiruan ini enak dipandang.

Konturnya yang berupa bebatuan cadas membuat Twin Canyon semakin apik. Di beberapa lokasi air terjunnya memungkinkan wisatawan untuk melompat dari atas air terjunnya, menantang untuk dikunjungi kan. Tapi sebelum melompat, pastikan dulu jika area tersebut dalam, ya!

Air Terjun Waimarang

Air Terjun Waimarang, jika dilihat sekilas mirip dengan Danau Yucatan yang berada di Meksiko. Air terjun ini dikelilingi oleh tebing-tebing batu. Ada tiga tingkatan air terjun dan yang sering digunakan untuk berfoto itu adalah tingkatan pertama (dihitung dari bawah). Tidak ada biaya tiket masuknya, namun untuk parkir mobil adalah Rp10 ribu dan parkir motor Rp5 ribu. 

Dari tempat parkirnya pengunjung diharuskan trekking terlebih dahulu untuk sampai ke lokasi air terjunnya. Jadi, kamu bisa mempersiapkan peralatan seperti sepatu atau sandal gunung dan perbekalan yang ringan, ya!

Kompleks Makam Megalitik

Beberapa desa di Sumba yaitu Desa Pasunga, Desa Gallu Bakul, dan Desa Ana Bura dekat Waikabubak terdapat Makam Megalitik yang besar dan terawat. Di tempat ini terdapat batu-batuan yang diukir menggambarkan bangsawan yang wafat pada zaman dahulu. 

Salah satu ukirannya bergambar kepala suku dan istrinya yang diperkirakan sudah ada sejak 1926. Konon dari cerita masyarakatnya, dulu sampai mengorbankan 150 kerbau saat mereka dimakamkan. Bentuk-bentuk dari setiap sudut Makam Megalitik ini sangat artistik dan tidak bisa ditemukan di daerah lain. Maka dari itu jika kamu sedang singgah di Sumba sebaiknya berkunjung ke tempat ini juga, ya!

Nusa Tenggara Timur, menyimpan ragam tempat wisata alam dan budaya. Kalau suka petualangan, provinsi ini pas buat kamu masukkan dalam wishlist tujuan perjalanan. Sebagai catatan, sebaiknya membawa perlengkapan tambahan seperti senter dan kartu sim beda operator karena masih banyak tempat yang minim penerangan serta tidak terjangkau semua layanan operator seluler. 

Waktu yang tepat untuk berkunjung ke Sumba adalah sepanjang tahun karena setiap bulannya akan ada event serta kegiatan menarik di kampung-kampung adatnya. 

The post Mampir ke Destinasi Wisata Ini Pas di Sumba appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mampir-ke-destinasi-wisata-ini-pas-di-sumba/feed/ 1 27133
Antara Kampung Raja Prailiu dan Bukit Wairinding https://telusuri.id/matahari-terbenam-di-bukit-wairinding/ https://telusuri.id/matahari-terbenam-di-bukit-wairinding/#respond Thu, 22 Mar 2018 03:14:41 +0000 https://telusuri.id/?p=7483 Hari itu saya tiba di Pulau Sumba, tempat teman semasa kuliah saya bekerja. Teman saya itu bernama Benny. Dia bekerja untuk LSM Burung Indonesia dan sudah dua tahun ini ditempatkan di Pulau Sumba. Saya dijemput...

The post Antara Kampung Raja Prailiu dan Bukit Wairinding appeared first on TelusuRI.

]]>
Hari itu saya tiba di Pulau Sumba, tempat teman semasa kuliah saya bekerja. Teman saya itu bernama Benny. Dia bekerja untuk LSM Burung Indonesia dan sudah dua tahun ini ditempatkan di Pulau Sumba.

Saya dijemput di Bandara Umbu Mehang Kunda, Waingapu, Sumba Timur. Ternyata kawan lama saya itu tidak sendiri. Dia membawa temannya, orang Sumba asli yang juga anggota LSM Burung Indonesia. Namanya Romi, anak dari suku Anakalang,¹ Sumba Tengah. Singkat cerita, dibawalah saya untuk beristirahat sebentar di rumah kerabat Romi di Kampung Raja Prailiu.

wairinding
Bahan baku kain tenun Sumba/Ardi Yasa

Kampung itu sangat kaya akan nilai budaya, mulai dari sejarah bangunan, makam batu, sampai, yang paling membuat saya tertarik, kain tenun Sumba. Di kampung itu saya mendapati banyak perempuan yang sedang membuat kain tenun Sumba.

Corak dan pola kain tenun Sumba yang mengesankan

Yang mengesankan dari kain Sumba Timur ini adalah corak dan polanya. Tiap gambar—kuda, ayam, dan lain-lain—memiliki cerita masing-masing. Kerumitan dan keindahannya membuat kain tenun Sumba dihargai lumayan mahal, sekitar satu sampai tiga juta rupiah. Barangkali, lain kali saja saya membeli kain tenun Sumba.

Setelah istirahat sebentar di Kampung Raja, kami meneruskan perjalanan. Saya akan numpang menginap di kantor Burung Indonesia di Sangalaki, Sumba Tengah.

wairinding
Seorang perempuan Sumba di Kampung Raja Prailiu sedang menenun/Ardi Yasa

Tetapi, sebelum ke sana, saya mesti menyaksikan sesuatu yang selama ini hanya bisa saya “lihat” di tulisan atau foto orang, yakni sunset di Bukit Wairinding. Melihat matahari terbenam di Wairinding memang jadi tujuan utama saya jalan-jalan ke Sumba Timur.

Kami pun melaju dengan motor ke Wairinding dan tiba di sana sebelum sunset. Bagi saya yang terbiasa melihat pemandangan khas Jakarta—gedung pencakar langit dan lampu mobil yang sedang antre karena macet—Wairinding tampak luar biasa.

Saya terpukau melihat perbukitan hijau yang menghampar begitu luas sampai ke cakrawala. Angin sejuk yang berhembus dan kehangatan matahari yang sedang menuju peraduan membuat momen sunset di Wairinding itu susah untuk dilupakan.

wairinding
Berpose dengan kain tenun Sumba yang sudah jadi/Ardi Yasa

Keceriaan anak-anak Wairinding

Karena saat itu masih jam 4 sore, kami pun duduk menanti sunset ditemani biskuit yang dibawa oleh teman saya. Tak lama berselang, lewatlah beberapa anak kecil membawa jeriken penuh air yang baru diambil dari sumur.

Teman saya pun mengajak mereka untuk ikut menikmati sunset. Setelah mengantarkan air ke rumah masing-masing, mereka pun bergegas kembali ke Bukit Wairinding. Mereka ceria dan bersemangat. Sebentar saja, kami langsung akrab. Mereka juga tak ragu-ragu bercerita tentang kegiatan sehari-hari mereka—sekolah dan membantu orangtua.

wairinding
Anak-anak Wairinding yang bersemangat/Ardi Yasa

Membantu mengambil air ke sumur termasuk tugas harian mereka. Ternyata, sumur itu terpaut beberapa bukit dari tempat kami duduk. Lumayan jauh. Namun anak-anak Sumba itu sudah terbiasa melakukannya.

Teman saya pun menawarkan biskuit kepada anak-anak itu. Mereka sangat suka biskuit. (Ternyata itulah alasan kenapa teman saya selalu membawa biskuit kemana-mana.) Anak-anak Sumba senang biskuit—sementara orang-orang tua di Sumba sangat menggemari kopi.

Dihangatkan oleh cahaya keemasan matahari dan keceriaan anak-anak Sumba, hari pertama saya di Nusa Cendana sungguh menyenangkan.


[1] Pada 09/05/18 pukul 11.18 dikoreksi dari “Sangalaki” menjadi “Anakalang” agar sesuai dengan tulisan kedua tentang Sumba yang dikirimkan oleh kontributored.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Antara Kampung Raja Prailiu dan Bukit Wairinding appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/matahari-terbenam-di-bukit-wairinding/feed/ 0 7483
Jalan Panjang Menuju Nusa Cendana https://telusuri.id/perjalanan-menuju-pulau-sumba/ https://telusuri.id/perjalanan-menuju-pulau-sumba/#respond Fri, 09 Mar 2018 02:55:23 +0000 https://telusuri.id/?p=7175 Peluit tanda kereta akan diberangkatkan dibunyikan oleh petugas stasiun. Suaranya memecahkan keheningan stasiun di pagi hari. Suasana masih lengang sekali. Keretaku perlahan mulai melaju, meninggalkan areal stasiun. Kereta berangkat dari Yogyakarta pukul 6 pagi dan...

The post Jalan Panjang Menuju Nusa Cendana appeared first on TelusuRI.

]]>
Peluit tanda kereta akan diberangkatkan dibunyikan oleh petugas stasiun. Suaranya memecahkan keheningan stasiun di pagi hari. Suasana masih lengang sekali. Keretaku perlahan mulai melaju, meninggalkan areal stasiun. Kereta berangkat dari Yogyakarta pukul 6 pagi dan akan tiba di Banyuwangi pukul 6 sore.

Suara-suara seperti inilah yang aku rindukan. Ketika roda kereta api bergesekan dengan rel dan kereta dipacu dalam kecepatan tinggi, akan muncul suara khas yang takkan bisa kita nikmati ketika menaiki bis, mobil, motor, bahkan kapal laut atau pesawat sekali pun.

sumba

Suasana gerbong KA Mutiara Timur Tambahan/Oky

Gerbong yang sedikit bergoyang dan cuaca hujan di luar membuat bulir-bulir air menyelimuti kaca jendela. Di balik kaca, hamparan persawahan hijau yang jadi ciri khas jalur kereta di Indonesia bergerak semakin cepat. Perjalanan ini pun terasa semakin penuh makna.

Menuju Banyuwangi menumpang KA Mutiara Timur Tambahan

Dua belas jam perjalanan aku tempuh dari Yogyakarta menuju Banyuwangi menumpang KA Mutiara Timur Tambahan. Ini aku lakukan demi budget traveling murah meriah menuju Pulau Sumba. Maklum, sedang high season. Harga tiket pesawat jadi tak masuk akal.

Suasana kereta tak terlalu ramai. Kursinya juga empuk dan dinginnya pas sehingga perjalanan lumayan panjang itu tak terasa melelahkan.

Kereta yang kutumpangi adalah kereta ekonomi premium, jenis baru dalam dunia perkeretaapian Indonesia. Kursinya tidak tegak sembilan puluh derajat seperti kereta ekonomi biasa, bisa diatur kemiringannya seperti bangku kereta eksekutif. Dan, yang paling penting, harganya lebih ekonomis ketimbang eksekutif.

sumba

Pemandangan dari dalam gerbong kereta/Zizi

Dalam perjalanan panjang menuju Sumba itu, aku ditemani seorang sahabat yang selalu mau kuajak jalan-jalan susah selama dua tahun ini. Namanya Abel, teman sekantor.

Akhirnya kami pun tiba di Stasiun Banyuwangi Baru pukul 6 sore. Hujan masih menyelimuti ketika kami menginjakkan kaki di stasiun paling ujung Pulau Jawa itu. Bau tanah yang khas ketika hujan melengkapi akhir dari etape awal perjalanan kami. Tak menunggu lama, aku bergerak melangkahkan kaki menuju Pelabuhan Ketapang untuk menyeberang dari Pulau Jawa ke Pulau Bali.

Setiba di Gilimanuk

Hembusan angin laut dan bau asap mesin kapal menyambut kedatanganku di Gilimanuk. Jangkar kapal dilempar. Deru suara mobil mulai terdengar.

Petugas dan beberapa orang polisi sudah menunggu di pintu pemeriksaan. Identitas seluruh penumpang yang turun dari kapal mesti diperiksa demi alasan keamanan.

sumba

Abel “selfie” di warung/Abel

Setelah itu aku pun bergegas keluar dari kapal menuju terminal untuk nyambung naik bis hingga Terminal Ubung Denpasar, Bali. Terminal Gilimanuk malam itu sangat gelap. Anjing-anjing yang berkeliaran membuat terminal itu tampak semakin menyeramkan.

Para agen dan kondektur bis wara-wiri menawarkan tumpangan. Tapi bis-bisnya tampak menyedihkan, tak satu pun yang menarik untuk dinaiki.

“Ayo! Ini bis ke Ubung. Masnya mau ke mana? Nanti kalau malam-malam udah nggak ada lagi bisnya,” tawar seorang kondektur bis pada kami. Saya bilang padanya bahwa kami mau makan dulu, mengisi perut dan menambah tenaga untuk melanjutkan perjalanan. Lagian, entah kenapa Abel dan aku juga tak yakin dengan penawaran itu.

Kami pun buru-buru pergi meninggalkan areal terminal untuk mencari restoran atau warung makan. Perut kami sudah keroncongan. Maklum, selama 12 jam belum ada suplai makanan berarti yang masuk ke dalam tubuhku.

Menginap di sebuah warung di Gilimanuk

Tidak henti-hentinya anjing menggonggong saat aku melewati jalan keluar terminal yang minim penerangan. Abel ternyata takut sekali dengan anjing. Aku tak tahu, entah dia punya pengalaman buruk dengan anjing sewaktu kecil atau memang sudah fobia anjing sejak lahir.

Kujatuhkan pilihan pada warung makan yang tak terlalu jauh dari areal terminal. Di warung itu kami menandaskan dua porsi nasi goreng dan satu botol besar air mineral.

Selesai makan malam, suasana sekitar jadi semakin sepi. Tak lama kemudian, orang-orang yang tadi menawarkan bis kepada kami kembali menghampiri. Dia datang tiba-tiba—tentu saja aku kaget.

bandara ngurah rai

Bandara Ngurah Rai/Oky

Kembali kutolak tawaran mereka seraya menambahkan dengan hati-hati bahwa kami berdua ingin istirahat dulu sampai esok pagi. Suasana jadi semakin tak enak. Dadaku berdetak cukup kencang, bingung memikirkan bagaimana nasib kami besok.

Jadi, ceritanya sebelum orang-orang itu datang ibu baik hati yang menjaga warung itu memberi saran pada kami untuk melanjutkan perjalanan esok pagi saja. Menurutnya tidak aman kalau pergi sekarang. Kami pasti akan dioper-oper. Setelah mempertimbangkan, akhirnya kami menuruti nasihat sang ibu.

Paham bahwa kami sedikit terintimidasi dengan kehadiran orang-orang itu, ibu itu pun mencoba melindungi kami dengan menyebutkan nama anaknya yang katanya cukup disegani di sekitar Pelabuhan Gilimanuk.

Ia juga mempersilakan kami tidur di warungnya. Langsung saja kami menggelar lapak di bagian belakang warung agar tersembunyi dari orang-orang terminal dan anjing-anjing yang berkeliaran di sana. Untung kami makan di warung ibu itu. Kalau tidak, entah ke mana nasib akan membawa kami malam itu.

Meninggalkan Gilimanuk, menuju Denpasar

Waktu di jam menunjukkan pukul empat pagi. Kami bergegas bangun. Setelah memastikan bahwa situasi aman, kami menyelinap masuk lewat samping terminal. Alasannya jelas, yakni agar tidak bertemu orang-orang yang semalam marah-marah ke kami berdua karena tidak jadi menaiki bisnya ke Ubung.

Untungnya kami berdua tidak bertemu mereka. Seorang petugas pelabuhan yang punya kenalan supir juga mencarikan tumpangan buat kami. Bis itu pun segera menderu kencang membawa kami meninggalkan Gilimanuk. Kanan-kiri sepanjang jalan sepi. Semua masih terlelap dalam selimut hangat masing-masing.

Bis itu cuma sampai Terminal Mengwi. Dari sana, kami melanjutkan perjalanan ke Terminal Ubung naik Bis Damri. Di dalam bis umum “plat merah” itu lagi-lagi Abel dan aku dipertemukan dengan orang baik yang mempermudah perjalanan kami. Ia dari Probolinggo, hendak ke Nusa Dua di Kabupaten Badung.

tambolaka

Terbang ke Tambolaka/Oky

Pagi itu Ubung diguyur hujan lumayan deras. Setiba di sana, kami langsung berteduh—pilihan terbaik kala itu. Lalu, orang yang kami ajak ngobrol dalam Damri tadi menawaran sesuatu pada kami, yakni tumpangan ke Bandara I Gusti Ngurah Rai. Dari bandara internasional yang sibuk itu, kami akan naik pesawat jam 12 siang ke Bandara Tambolaka di Sumba Barat Daya. Tentu saja tawaran itu kami terima.

Setelah melaju selama sekitar 45 menit, akhirnya kami tiba di Bandara Ngurah Rai. Hujan masih deras, tapi bandara itu tetap saja ramai. Tampaknya, Bali yang beberapa waktu lalu kelabu karena letusan Gunung Agung memang masih jadi magnet bagi manusia-manusia yang perlu undur diri sejenak dari dinamika dunia. (Mungkin juga karena sekarang adalah masa liburan Natal dan Tahun Baru.)

Akhirnya terbang juga ke Sumba

Suatu kali, seorang politisi Amerika Serikat dari Partai Republik, Roy Matz Goodman, pernah berkata seperti ini, “Remember that happiness is a way of travel, not a destination. Dalam perjalanan panjang ke Sandalwood Island (Nusa Cendana, julukan Pulau Sumba), aku baru bisa memahami perkataan Goodman.

Tujuan traveling barangkali memang bukan hanya sekadar mengunjungi sebuah destinasi lalu mengambil foto setiap sudut tempat yang kita kunjungi, namun mengalami perjalanan itu sendiri kemudian mengambil makna dari momen-momen baru yang tercipta.

sumba

Bandara Tambolaka, Sumba Barat Daya/Oky

Yang lebih penting lagi, traveling mengeluarkan seseorang dari zona nyaman, mengantarkannya ke pengalaman-pengalaman baru yang akan bisa membuat kepribadian seorang individu berkembang.

Pengumuman-pengumuman silih berganti disuarakan di corong bandara. Beberapa menit lagi, pesawatku akan take-off menuju Pulau Sumba, tujuan utama kami. Aku membatin, “Belum sampai di Sumba saja sudah banyak hal tak terduga dan memompa adrenalin yang terjadi padaku.”

Apakah nanti di Sumba aku juga akan mengalami momen-momen luar biasa? Apakah akan masih ada orang baik yang akan “mengawal” perjalananku? Ah, biarkan saja waktu yang menjawabnya. Tapi, aku selalu yakin bahwa selama aku di Indonesia akan selalu ada orang baik yang kujumpai di jalan.

Satu setengah jam berlalu sejak pesawatku tinggal landas. Tak terasa burung besi itu sudah melayang-layang di langit Pulau Sumba. Kuintip lewat jendela, tampaknya cuaca cukup cerah di Tambolaka.

Pesawatku perlahan mulai menurunkan ketinggian, bersiap-siap untuk mendarat. Dari bawah, terdengar bunyi khas yang keluar dari roda pesawat sedang dikeluarkan. Sebentar kemudian pesawat mendarat sempurna di Bandara Tambolaka. Aku pun berdebar-debar membayangkan petualangan yang akan kulakukan di Sumba.


Baca tulisan Oky Hertanto yang lain di sini.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Jalan Panjang Menuju Nusa Cendana appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/perjalanan-menuju-pulau-sumba/feed/ 0 7175
Kalau Mau Menyaksikan “Sunset” Menawan, Jangan Traveling ke Pulau Sumba pas Musim Hujan https://telusuri.id/jangan-traveling-ke-pulau-sumba-pas-musim-hujan/ https://telusuri.id/jangan-traveling-ke-pulau-sumba-pas-musim-hujan/#comments Wed, 14 Feb 2018 03:52:02 +0000 https://telusuri.id/?p=6565 Nggak pernah terlintas dalam pikiran saya untuk traveling ke Pulau Sumba di Nusa Tenggara Timur. Apalagi waktu itu akhir tahun 2017. Libur akhir tahun, pastinya harga tiket pesawat dan hotel melonjak tinggi sekali. Tapi akhirnya...

The post Kalau Mau Menyaksikan “Sunset” Menawan, Jangan Traveling ke Pulau Sumba pas Musim Hujan appeared first on TelusuRI.

]]>
Nggak pernah terlintas dalam pikiran saya untuk traveling ke Pulau Sumba di Nusa Tenggara Timur. Apalagi waktu itu akhir tahun 2017. Libur akhir tahun, pastinya harga tiket pesawat dan hotel melonjak tinggi sekali.

Tapi akhirnya saya nekat ke sana bersama seorang sahabat. Karena kebetulan sebelum berangkat ke Sumba menghadiri pernikahan teman kantor di Magelang, kami berangkat ke Sumba dari Yogyakarta.

pulau sumba

Seorang remaja Sumba berpose bersama kuda/Oky Hertanto

Niat saya untuk ke Sumba waktu itu sudah sangat kuat sekali sehingga mahalnya harga nggak saya pedulikan—bujet saya juga pas-pasan. Saya cuma mau lihat perbukitan di Sumba dan hamparan padang sabana yang legendaris itu, seperti di film “Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak.”

Tulisan ini adalah oleh-oleh dari Sumba.

Satu jam penerbangan dari Pulau Bali

Pulau Sumba berada di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kalau terbang dari Pulau Bali, hanya perlu waktu 1 jam untuk mencapai Tambolaka, Sumba Barat Daya. Untuk ke Waingapu sekitar 1,5 jam. (Dari Jakarta, jarang sekali ada penerbangan langsung menuju Pulau Sumba. Kebanyakan maskapai penerbangan transit di Denpasar, Bali.)

Untuk menginap, banyak pilihan hotel di Sumba Barat Daya yang bisa dipesan lewat aplikasi seperti Traveloka, tiket.com, atau booking.com. Jangan takut, hotel di Sumba Barat Daya sudah bagus-bagus semua, pelayanannya juga sangat ramah.

pulau sumba

Bandar Udara Tambolaka yang arsitekturnya mirip rumah di Desa Ratenggaro/Oky Hertanto

Salah satunya adalah Hotel Sinar Tambolaka. Hotel ini juga punya persewaan sepeda motor dan mobil beserta supir dan pemandu wisata. Harga sewa motor waktu saya ke sana adalah Rp 50 ribu per hari, sementara mobil Rp 500-600 ribu per hari sudah sama bensin dan supir.

Banyak opsi untuk menjelajahi Pulau Sumba. Kamu bisa mulai berkelana dari Sumba Barat Daya dan mengakhiri perjalanan di Sumba Timur, atau sebaliknya. (Sumba Barat Daya adalah wilayah yang baru mengalami pemekaran, jadi agak sedikit tertinggal dibanding Sumba Barat (Waikabubak) dan Sumba Timur (Waingapu). Tetapi, destinasi wisatanya keren-keren, misalnya Danau Weekuri dan Kampung Adat Ratenggaro.)

Danau Weekuri, danau air asin berwarna hijau toska

Perjalanan menuju ke Danau Weekuri dari Tambolaka berlangsung sekitar 1-1,5 jam perjalanan. Akses menuju ke sana cukup baik. Jalanan sepi sekali, nggak seperti Jakarta yang termasyhur dengan kemacetannya. Kalau bingung memilih persimpangan, tinggal buka GPS saja. Saya jamin kamu pasti akan tiba di Danau Weekuri.

Danau Weekuri terletak di Desa Kalena Rongo, Kecamatan Kodi Utara, Kabupaten Sumba Barat Daya. Dari Tambolaka, jaraknya sekitar 60 kilometer.

pulau sumba

Pemandangan Danau Weekeri/Oky Hertanto

Weekuri adalah danau air asin yang cukup unik, soalnya berwarna hijau toska. Danau itu berbatasan langsung dengan laut dan kelilingi oleh tebing karst berlapis sabana. Warga sekitar percaya bahwa Danau Weekuri terbentuk dari air laut yang terpercik melalui karang dan menembus ke daratan.

Di Danau Weekuri saat ini sudah ada fasilitas jembatan kayu supaya kamu lebih nyaman jalan-jalan mengelilingi danau. Dulu, pengunjung mesti jalan di atas batuan karst yang tajam. Kegiatan favorit di Danau Weekuri adalah—tak lain dan tak bukan—berenang! Saya yakin begitu sampai di sana kamu akan segera menceburkan diri ke dalam danau.

Di dekat Danau Weekuri juga terdapat Pantai Mandorak yang pemandangannya nggak kalah indah.

Desa Adat Ratenggaro dan Pantai Pero

Setelah mengunjungi Danau Weekuri, kamu bisa mampir ke Desa Ratenggaro untuk melihat rumah-rumah khas Sumba. Waktu ke sana, saya main ke permukiman yang tak jauh dari Pantai Pero. Untuk masuk ke desa itu nggak dipatok biaya, hanya suka rela saja. Buat menghormati masyarakat tempatan, kamu mesti meluangkan waktu untuk bersilaturahmi dengan kepala desa atau tetua di sana.

Rumah-rumah tradisional di Desa Ratenggaro/Oky Hertanto

Meskipun rumah adatnya sungguh megah, menjulang tinggi ke atas, kehidupan di desa itu sederhana sekali, berbeda sekali dengan kita yang tinggal di kota-kota besar di Indonesia. Satu hal yang saya perhatikan saat berinteraksi dengan warga lokal, meskipun berperawakan sangar, orang Sumba itu murah senyum dan ramah-ramah.

Tidak jauh dari Desa Adat Ratenggaro ada Pantai Pero. Garis pantainya cukup panjang dan deburan ombaknya lumayan kuat. Pantai ini jadi lokasi favorit pemuda-pemudi Sumba untuk bercengkerama. Ada satu hal menarik dari anak muda Sumba: mereka suka berkeliling naik motor—sambil bawa gandengan!

Menuju Bukit Wairinding di Sumba Timur

Sepanjang perjalanan ke bagian timur Pulau Sumba, kamu akan melihat seberapa tertinggalnya Sumba Barat Daya dibandingkan Sumba Barat dan Sumba Timur. Untuk menuju ke Sumba Timur kamu bisa naik mobil travel dari hotel. Ongkosnya sekitar Rp 100 ribu per orang.

Destinasi paling mainstream di Sumba Timur yang jadi tujuan hampir setiap orang yang main ke Sumba adalah Bukit Wairinding. Pertama kali ke sana, kamu pasti terpana dan tak bisa berkata-kata—seperti yang saya alami. Bagaimana nggak terpana melihat perbukitan sabana yang bergelombang dan membentang luas sampai cakrawala?

Menurut saya, inilah spot foto paling surealistis di Sumba. Istimewanya, kalau kamu difoto di Bukit Wairinding—diambil dari angle mana pun menggunakan kamera jenis apa pun—hasilnya pasti akan bagus. Nggak percaya? Ke sana saja langsung dan rasakan sendiri.

pulau sumba

Menatap Bukit Wairinding/Abel

Bukit Wairinding ini letaknya nggak terlalu jauh dari Kota Waingapu, kurang lebih 45 menit sampai 1 jam perjalanan menggunakan mobil atau motor.

Nggak terlalu jauh dari pinggir jalan, patokan buat ke Wairinding adalah sebuah warung bercat biru. Parkir saja kendaraanmu dekat warung itu, lalu mulai trekking ke Bukit Warinding. Di sana banyak anak kecil yang bisa mengantar kamu ke Bukit Wairinding. Kamu bisa menggunakan jasa mereka (hitung-hitung kasih uang jajan) atau bisa jalan sendiri ke bukit itu. Jangan lupa mengisi buku tamu di depan plang bertuliskan “Bukit Wairinding.”

Juni sampai Juli adalah waktu terbaik untuk berkunjung

Sebenarnya di dekat sini ada Pantai Walakiri tempat kamu bisa melihat magical sunset. Sayangnya, pas saya ke sana cuaca kurang bersahabat.

Jadi, kalau mau melihat sunset keren, jangan ke Sumba pas musim hujan. Menurut obrolan dengan warga lokal, waktu terbaik buat melancong ke Sumba adalah bulan Juni sampai Juli. Di waktu-waktu itu Sumba jarang diselimuti awan, sehingga setiap hari kamu bisa melihat sunset yang menawan.


Baca tulisan Oky Hertanto yang lain di sini.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kalau Mau Menyaksikan “Sunset” Menawan, Jangan Traveling ke Pulau Sumba pas Musim Hujan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/jangan-traveling-ke-pulau-sumba-pas-musim-hujan/feed/ 14 6565
Traveling ke Sumba? Kunjungi 7 Destinasi Wisata Ini Saja https://telusuri.id/7-destinasi-wisata-di-sumba/ https://telusuri.id/7-destinasi-wisata-di-sumba/#respond Wed, 07 Feb 2018 02:30:28 +0000 https://telusuri.id/?p=6403 Sadar nggak sih akhir-akhir ini Sumba sering banget diekspos media. Bahkan ada dua film yang menjadikan Sumba sebagai lokasi syuting, yakni Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak dan Susah Sinyal. Alhasil, para pejalan pada penasaran...

The post Traveling ke Sumba? Kunjungi 7 Destinasi Wisata Ini Saja appeared first on TelusuRI.

]]>
Sadar nggak sih akhir-akhir ini Sumba sering banget diekspos media. Bahkan ada dua film yang menjadikan Sumba sebagai lokasi syuting, yakni Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak dan Susah Sinyal. Alhasil, para pejalan pada penasaran sama destinasi wisata di Sumba, Nusa Tenggara Timur.

Kalau kamu termasuk golongan yang penasaran, kamu ada di tempat yang tepat. Nih, TelusuRI kasih bocoran 7 destinasi wisata di Sumba yang bakalan seru banget buat kamu kunjungi.

1. Desa Adat Ratenggaro, Sumba Barat Daya

wisata di sumba

Kampung Adat Ratenggaro via SkyGrapher.id/Giovanni Mansilla

Ciri khas Desa Adat Ratenggaro adalah bentuk rumahnya. Bangunan rumah di desa ini punya atap yang sekilas tampak seperti Topi Seleksi-nya Hogwarts. Tingginya juga minta ampun, mencapai sekitar 20 meter. Makanya dari jauh permukiman Ratenggaro ini tampak seperti kumpulan tombak.

Dari Ibukota Sumba Barat Daya, Tambolaka, kamu bisa mencapai Desa Adat Ratenggaro dalam waktu sekitar 1,5 jam. Ada dua pilihan: travel dan bis. Kalau naik travel, tentu saja kamu bisa minta tolong buat diantar langsung ke lokasi. Kalau naik bis, turunlah di Bondo Kodi, kemudian lanjutkan perjalananmu naik ojek.

2. Bukit Tanarara, Sumba Timur

wisata di sumba

Pemandangan dari Bukit Tanarara via SkyGrapher.id/Ovela Yosef

Tanarara berarti tanah merah. Tanah di sini memang berwarna agak kemerah-merahan. Tapi, yang bikin orang penasaran buat ke Tanarara adalah perbukitan berselimut rumput—sabana—yang jadi pemandangan otentik Pulau Sumba.

Di satu titik di puncak bukit di Tanarara ada kubur batu yang dari jauh tampak seperti Stonehenge di Salisbury Plain, UK. Tapi, bedanya, kubur batu di Tanarara diberi ukiran khas Sumba. Kalau yang ini dilihat aja, dipegang jangan.

3. Bendungan Kambaniru, Sumba Timur

wisata di sumba

Sungai di areal Bendungan Kambaniru via SkyGrapher.id/Prayudhi M Ajawaila

Destinasi wisata di Sumba yang satu ini instagrammable banget. Dari Bendungan Kambaniru, kamu bakal melihat sebuah sungai yang mengalir menerobos lembahan di antara bukit-bukit gersang. Kamu seperti melihat Yin dan Yang—tandus dan subur sekaligus.

Pastinya gradasi warna yang dihasilkan bakal indah banget kalau ditangkap sama kamera kamu. Makanya, kalau ke Sumba, luangkan waktu buat ke sini. Bendungan Kambaniru terletak di Kelurahan Lamba Napu, Kecamatan Kambera, Sumba Timur.

4. Air Terjun Tanggedu, Sumba Timur

wisata di sumba

Suasana Air Terjun Tanggedu via SkyGrapher.id/Prayudhi M Ajawaila

Lazimnya wilayah yang bentang alamnya karst, Sumba punya banyak sungai dan air terjun yang keren. Batuannya berwarna coklat terang dan airnya hampir toska. Salah satunya ya Air Terjun Tanggedu ini. Sekilas Air Terjun Tanggedu mirip Air Terjun Sri Gethuk di Gunung Kidul. Bedanya, air dan tebing Air Terjun Tanggedu lebih “bersih.”

Letaknya nggak jauh-jauh amat dari Waingapu, hanya terpaut sekitar 46 kilometer, di sebuah desa bernama Tanggedu. Tapi, kalau ke sana menyetir sendiri, kamu mesti selalu waspada sebab beberapa ruas jalannya baru sekadar dikeraskan, belum diaspal.

5. Air Terjun Koala(t), Sumba Timur

wisata di sumba

Koala di Air Terjun Koala via SkyGrapher.id/Leonora Adelia Suryani

Sebagian menyebutnya Koalat, sebagian lagi Koala. Tapi air terjun yang dimaksud sama saja. Lho, kok namanya bisa Air Terjun Koala? Bukannya koala itu hewan endemik Australia? “Mungkin karena dulu ada master kung fu Koala yang bertapa di sana?” Kamu keseringan nonton Kung Fu Panda!

Kamu bakal paham alasan di balik penamaan air terjun ini setelah melihat penampakannya dari atas. Jadi, ada susunan batu di aliran air terjun itu yang mirip koala yang lagi bosan nangkring di pohon. Lumayan lucu, sih. (Nice try!) Letaknya di Desa Maidang, Kecamatan Kambata Mapambuhang, Sumba Timur—kayaknya sih di sana susah sinyal.

6. Laguna Weekuri, Sumba Barat Daya

wisata di sumba

Laguna Weekuri via SkyGrapher.id/Radityo Wahyu

Destinasi wisata di Sumba yang satu ini bakal mengingatkan kamu sama sebuah pulau di sebelah selatan Malang. “AUSTRALIA?!” Bukan. Kejauhan. Mending nggak usah disebut. Sensitif. Ntar kamu juga bakal, “Oh, iya! Iya! Yang itu!”

Weekuri adalah sebuah laguna, tempat terkumpulnya air laut yang menerobos lewat celah-celah karang penghalang. Kombinasi warnanya aduhai seperti suara Nella Kharisma. Kalau saja dulu Sumba sudah terkenal, mungkin film The Beach yang dibintangi Leonardo DiCaprio bakalan di-take di sini. Di mana sih tempatnya? Desa Kalenarogo, Kecamatan Kodi Utara, Sumba Barat Daya.

7. Pantai Mandorak, Sumba Barat Daya

wisata di sumba

Kontras warna indah di Pantai Mandorak via SkyGrapher.id/Ovela Yosef

Buat penduduk setempat, Pantai Mandorak adalah di mana perahu mereka tertambat. Buat pejalan, destinasi wisata di Sumba yang satu ini adalah sebuah tempat yang bakalan terus lekat dalam kenangan.

Yang istimewa dari pantai berpasir putih yang terletak di Desa Pero Batang, Kecamatan Kodi, Sumba Barat Daya, ini adalah karang yang menghalangi gelombang dahsyat menghantam pantai (makanya dijadikan tempat parkir perahu).

Jadi, sudah punya gambaran mau ke mana saja pas di Pulau Sumba?

The post Traveling ke Sumba? Kunjungi 7 Destinasi Wisata Ini Saja appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/7-destinasi-wisata-di-sumba/feed/ 0 6403
Menonton “Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak” di Pembukaan 12th Jogja-NETPAC Asian Film Festival https://telusuri.id/marlina-the-murderer-in-four-acts/ https://telusuri.id/marlina-the-murderer-in-four-acts/#comments Thu, 09 Nov 2017 02:00:23 +0000 http://telusuri.id/?p=3478 Ketika diajak Nyonya untuk menonton Marlina the Murderer in Four Acts (Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak), saya tak punya ekspektasi apa-apa. “Genrenya apa?” Ketika saya tanya padanya, ia menjawab, “Sate Western.” Makhluk apa pula...

The post Menonton “Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak” di Pembukaan 12th Jogja-NETPAC Asian Film Festival appeared first on TelusuRI.

]]>
Ketika diajak Nyonya untuk menonton Marlina the Murderer in Four Acts (Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak), saya tak punya ekspektasi apa-apa.

“Genrenya apa?” Ketika saya tanya padanya, ia menjawab, “Sate Western.” Makhluk apa pula itu? Semacam BBQ? Karena tak punya gambaran sama sekali, akhirnya tanggal 7 November kemarin saya manut saja untuk nonton di salah satu bioskop yang terbilang baru di Yogyakarta.

Setiba di sana, lobi bioskop sudah penuh. Entah kenapa hari itu para calon penonton tampak tidak biasa. Dandanan mereka lain—unik, ajaib, artsy. Saya merasa seperti sedang antre masuk aula konser Taman Budaya Yogyakarta, atau pembukaan pameran lukisan di Bentara Budaya, atau konser kelususan mahasiswa ISI. Banyak yang gondrong.

Saya sempat menggerutu dalam hati karena filmnya telat dimulai. Bukan apa-apa. Karena acara pemutaran film ini diadakan di bioskop, dan berbayar, saya menduga filmnya akan mulai tepat waktu, pukul 13.00. Tiba di sana sekitar 10 menit sebelum jadwal, kami baru masuk studio sekitar 40 menit kemudian.

Digendam Marlina the Murderer in Four Acts

Kekesalan karena film telat diputar mendadak hilang begitu “babak pertama” Marlina dimulai. Film itu begitu membius, adegan-adegannya seperti ajian gendam yang membuat mata, telinga, dan otak terlena. Sinematografinya indah dan elegan. Pas; tak ada yang terasa berlebihan.

Marlina benar-benar memanfaatkan keindahan latar, yakni Pulau Sumba, meskipun tidak mengabadikannya secara vulgar. Saya tak ragu-ragu menyandingkan Marlina dengan film-film lawas seperti The Third Man (1949) atau The Last Emperor (1987), dua dari sedikit film yang disebut-sebut sebagai gambar bergerak yang aspek sinematografinya patut mendapat pujian.

Musik latarnya juga istimewa dan, yang paling penting, ditempatkan pada waktu-waktu yang pas sehingga tak berisik dan mengganggu. Komposisi ala Ennio Morricone yang didominasi raungan trumpet dan buaian akordion begitu menyatu dengan nuansa latarnya, yang kering kerontang seperti di film-film koboi. Kalau saja saya masuk ke studio waktu film sudah dimulai, tanpa melihat posternya, pasti saya akan menyangka kalau ini adalah salah satu film yang dibintangi Clint Eastwood atau Paul Newman.

marlina the murderer in four acts

Babak 2, Perjalanan Marlina (Marsha Timothy) via imdb.com

Marlina adalah film kedua yang saya tonton di bioskop yang bisa membuat mata saya fokus seratus persen ke layar—meskipun duduk di pinggir!—setelah La La Land tahun kemarin (2016). Rasanya, keempat babak dalam film itu berakhir begitu cepat. Begitu Marlina rampung, sebagian besar penonton langsung bertepuk tangan. Tapi ada juga yang cuma diam karena masih terjebak dalam cerita. Kalau saja penonton film berhak minta encore seperti penonton konser musik, saya pasti sudah teriak sekuat tenaga: “ENCORE!”

Perpaduan tangan dingin Mouly Surya, ide cerita Garin Nugroho, dan skenario Rama Adi ternyata menghasilkan sesuatu yang segar. Mereka berhasil membungkus isu-isu berat, feminisme dan ketimpangan, ke dalam sebuah film yang ringan.

Penuh dengan dialog dan adegan lucu, tak terhitung berapa kali saya dibuat tertawa getir oleh Marlina. Hampir tak ada celah kosong pada film ini yang jamak ditemukan dalam film-film Indonesia kebanyakan.

Perkenalkan: genre “Satay Western”

Selepas film, ada sesi perkenalan dari penyelenggara Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) 2017. Kemudian diadakan sesi tanya jawab dengan mereka yang terlibat dalam pembuatan film Marlina.

Sutradara Marlina, Mouly Surya, yang sebelumnya menggarap Fiksi. (2008) dan What They Don’t Talk About When They Talk About Love (2013), sempat ditanyai oleh seorang penonton mengenai asal muasal istilah Satay Western.

Mouly Surya kemudian bercerita bahwa istilah itu dicetuskan oleh Maggie Lee, kritikus film dari majalah film Amerika, Variety, yang menganggap Marlina the Murderer in Four Acts telah melahirkan genre baru di dunia perfilman indonesia. Maggie Lee terinspirasi dari terminologi Spaghetti Western, istilah yang muncul karena film-film Western yang dirilis pertengahan 60-an rata-rata diproduseri dan disutradarai oleh orang-orang berdarah Italia, seperti Sergio Leone. Kalau Italia punya spaghetti, Indonesia punya sate alias satay. Jadilah Satay Western.


“Indonesian director Mouly Surya pioneers a new genre—call it the Satay Western—with this female-driven journey of vengeance and justice.”

—Maggie Lee, Variety


Namun, genre ini pun ternyata terlahir secara tak sengaja. Yunus Pasolang, sinematografer film Marlina the Murderer in Four Acts, bercerita bahwa mulanya ia mengusulkan nuansa seperti dalam lukisan-lukisan renaisans.

Ternyata, setelah berpadu dengan geomorfologi Sumba yang kering kerontang ketika syuting, konsep yang dipilih malah membuat film ini jadi bercorak Western. Menurut Pasolang, suasananya mungkin akan berbeda kalau pengambilan gambar dilakukan pada musim hujan.

Namun, kalau dipikir-pikir, nuansa Western justru terekstraksi dari hal-hal yang tersirat dalam film Marlina, yakni penggambaran betapa tak terjangkaunya daerah Sumba oleh hukum sampai-sampai kekerasan terhadap perempuan seolah-olah sudah jadi makanan sehari-hari, dan orang-orang bebas berkeliaran membawa senjata tajam tanpa khawatir dirazia.

Mengangkat keindahan Sumba dengan cara yang elegan

marlina the murderer in four acts

Anggun Priambodo dan Yoga Pratama dalam “Marlina the Murderer in Four Acts” via imdb.com

Awalnya saya curiga: “Apakah Sumba dipilih belakangan sebagai latar atau memang sejak semula yang menjadi latar adalah Sumba?”

Akhirnya tanya saya terjawab saat sesi Q&A. Dari awal, Garin Nugroho yang mencetuskan ide memang membuat cerita tentang perempuan Sumba. Jadi, Sumba bukan “dipilih,” tapi memang cerita itu “harus” difilmkan di Sumba, pulau sepi di Nusa Tenggara Timur yang hanya terpaut sekitar 1,5 jam perjalanan dari Pulau Bali yang ramainya bukan main.

Berbeda dari film-film lain yang mengangkat destinasi-destinasi wisata baru sebagai latar, Marlina tidak mengekspos lokasi syutingnya secara vulgar. Justru, film ini akan memberi pemahaman pada para penontonnya bahwa di tempat yang mereka sebut sebagai destinasi wisata, ada kehidupan sehari-hari yang berjalan, yang sudah berlangsung, barangkali, sepanjang sejarah umat manusia.

Barangkali para penonton akan terpukau oleh keindahan Pulau Sumba yang terekam dalam film. Namun, cerita Marlina the Murderer in Four Acts yang kuat akan mampu mengalihkan penonton dari Sumba dan kembali fokus ke Marlina.

 

The post Menonton “Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak” di Pembukaan 12th Jogja-NETPAC Asian Film Festival appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/marlina-the-murderer-in-four-acts/feed/ 4 3478