sumbawa Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/sumbawa/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Sun, 15 Aug 2021 11:07:25 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 sumbawa Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/sumbawa/ 32 32 135956295 Sumbawa dan Keragaman Destinasi Wisata https://telusuri.id/sumbawa-dan-keragaman-destinasi-wisata/ https://telusuri.id/sumbawa-dan-keragaman-destinasi-wisata/#comments Fri, 13 Aug 2021 12:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=28810 Seperti biasa, saya masih mengemban amanah sebagai Pengader Jang Oetama, mengelola agenda-agenda yayasan, terutama Pendidikan Dasar Nasional (DIKSARNAS) yang diadakan bisa 3-4 kali dalam satu tahun. Bulan April kemarin, DIKSARNAS kebagian dilaksanakan di Pulau Sumbawa....

The post Sumbawa dan Keragaman Destinasi Wisata appeared first on TelusuRI.

]]>
Seperti biasa, saya masih mengemban amanah sebagai Pengader Jang Oetama, mengelola agenda-agenda yayasan, terutama Pendidikan Dasar Nasional (DIKSARNAS) yang diadakan bisa 3-4 kali dalam satu tahun. Bulan April kemarin, DIKSARNAS kebagian dilaksanakan di Pulau Sumbawa.

Jika dilihat dari ketertinggalan Pulau Sumbawa pada sektor pendidikan, Sumbawa sangat cocok menyelenggarakan acara ini. Tidak hanya itu, dengan produksi sumber daya alam seperti jagung dan sapi terbaik serta dengan adanya proyek keummatan yaitu pembangunan Masjid Kampus Urup dan pusat pembelajaran gratis, menjadikan Sumbawa semakin berpotensi untuk mengglobal.

Lalu, jika dilihat dari kualitas sumber daya manusia di Sumbawa, harapannya terjadi perbaikan kualitas pendidikan, bisa melahirkan generasi penerus tokoh-tokoh sebelumnya, misalnya tokoh nasional seperti Fahri Hamzah (Wakil Ketua DPR RI 2014-2019), bahkan Tokoh Internasional seperti Prof Din Syamsuddin (Ketum PP Muhammadiyah), pun seperti Dr Zulkiflimansyah yang sekarang menjadi Gubernur NTB; semua tokoh ini berasal dari Sumbawa.

Harapan ini menjadi salah satu topik diskusi dalam perjalanan ke Sumbawa, mengendarai motor Supra X 125 yang sepertinya tak layak pakai untuk perjalanan jauh.

Ketika sampai Pelabuhan Kayangan sore hari, saya berhenti untuk berfoto sebentar. Maklum, ini kali pertama kami ke Sumbawa, termasuk ke Pelabuhan Kayangan. Menjelang magrib kami langsung menyebrang menuju Sumbawa, tidak sampai 2 jam berada di atas kapal. Sore itu, ombak lumayan kencang hingga membuat sedikit pusing.

Pelabuhan Kayangan Lombok/Atmaja Wijaya

Kapal yang kami gunakan pun bersandar di Pelabuhan Poto Tano Sumbawa, tepat ketika hari sudah gelap, dan langit-langit sudah tak lagi dihiasi warna merah  bekas sinar matahari. Perjalanan terus dilanjutkan karena kami harus sampai di lokasi DIKSARNAS yang berjarak sekitar 130 km lebih dari pelabuhan. Dengan penerang lampu motor seadanya, kami menelusuri jalan menggunakan petunjuk Google Maps. Saya tidak biasa mengendarai motor dengan pelan, tapi kali itu terpaksa melakukannya karena keadaan.

Pertama, tentu karena tidak hafal jalan, sebab pertama kali ke Sumbawa. Kadang kaget dengan tanjakan tiba-tiba yang lengkap dengan tikungan. Kedua, sepanjang jalan, sepi luar biasa dan lampu penerang jalan yang sangat langka.

Sepanjang jalan saya berdiskusi dengan kawan yang saya bonceng di belakang sembari menghibur diri untuk mengusir rasa takut.. Diskusi kami soal kondisi Sumbawa yang ternyata jauh dari kemajuan. Bayangkan saja, sepanjang 130-an km lebih perjalanan, setelah melihat pada Google Maps, kamu baru tahu bahwa yang kami menelusuri jalan yang disebelah kirinya pantai dan di sebelah kanannya hutan belantara. Jalan ini menjadi satu-satunya jalan utama menuju Sumbawa Besar yang menjadi pusat kotanya.

Keragaman Destinasi Wisata

Selama hampir satu pekan di Sumbawa, saya banyak meresapi potensi besar pulau ini. Dari sejak menginjakkan kaki pertama hingga kapal kembali berlayar pergi. Salah satu potensi besar yang ada di Sumbawa adalah keragaman destinasi wisatanya.

Alamnya yang masih asri, banyak makam para wali yang bisa menjadi wisata religi, hingga situs bersejarah seperti Istana Dalam Loka, dibawah pimpinan Kesultanan Sumbawa pada masanya.

Lalu, inilah di antara beberapa tempat wisata yang berkesempatan saya kunjungi selama di Sumbawa.

Istana Dalam Loka/Atmaja Wijaya

Istana Dalam Loka

Istana ini berada di Pusat Kota Sumbawa Besar, dibangun pada Tahun 1885. Letaknya persis di sebelah Masjid Agung Nurul Huda. Penjaga Istana Dalam Loka ini menceritakan kepada kami bahwa, istana ini dibangun oleh masyarakat Sumbawa sebagai hadiah untuk Sultan Muhammad Jaluddin Syah III, Sultan Sumbawa pada waktu itu.

Istana ini dibangun dengan nilai-nilai Islam yang kental, tercermin dalam simbol serta punya landasan filosofis yang kuat. Ini bisa kita temukan dari jumlah tiang penyangga istana dalam bentuk panggung, dengan jumlah tiang 99 yang melambangkan nama-nama Allah SWT (Asma’ul Husna). 

Taman Wisata Liang Bukal/Atmaja Wijaya

Taman Wisata Liang Bukal

Taman Wisata Liang Bukal menjadi tempat dilaksanakannya DIKSARNAS Sumbawa, tempat yang menurut saya sangat strategis. Meski sinyal datang pergi, tetapi fasilitas yang nyaman membuat kami betah bermalam di sana.

Ada vila-vila kecil yang di sampingnya terdapat sebuah air terjun serta aliran sungai, pas menjadi tempat refreshing. Udara segar hutan tropis membuatnya menjadi sejuk, penuh keheningan dan ketenangan.

Taman ini dinamakan Liang Bukal yang berarti gua kelelawar, di belakang taman terdapat sebuah gua yang dihuni sang pemangsa malam yaitu kelelawar. Taman ini berlokasi di Desa Batu Tering, Kecamatan Moyo Hulu Kab, Sumbawa Besar. Jarak dari Kota Sumbawa sekitar 29 km.

Makam Dea Syeikh

Wisata religi yang sempat kami kunjungi salah satunya ialah Makam Dea Syeikh. Salah satu mubaligh penyebar Islam pertama di Sumbawa. Makamnya tidak jauh dari lokasi Taman Wisata Liang Bukal, sekira 1 km sebelum sampai Liang Bukal. Di sini terdapat plang yang memberi petunjuk ke arah makam yang berada 100 m lebih dari tepi jalan. 

Pantai Gelora/Atmaja Wijaya

Pantai Gelora 

Selesai acara DIKSARNAS, kami berangkat menuju Pelabuhan Poto Tano untuk menyebrang ke Lombok. Dalam perjalanan pulang, kami singgah ke Pantai Gelora untuk sekedar jalan-jalan, menyempatkan sholat Ashar terlebih dahulu, lalu menikmati kelapa muda dengan cukup membayar Rp10 ribu.

Suasana pantai tenang, bersih, cocok untuk untuk beriang-gembira. Dengan ombak yang pas-pas untuk anak-anak bermain air dan pasir pantai. Pantai Gelora baru diresmikan akhir tahun kemarin, oleh Ketua Umum Partai Gelora yaitu Anis Matta.

Setelah sekitar 30 menit menikmati suasana pantai, kami melanjutkan perjalanan menuju Pelabuhan Poto Tano untuk menyebrang ke Lombok. Bagaimanapun juga, satu pekan di Sumbawa tetap memberikan kerinduan pada kampung halaman.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Sumbawa dan Keragaman Destinasi Wisata appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sumbawa-dan-keragaman-destinasi-wisata/feed/ 1 28810
Orkestra Senja di Pantai Mbawana https://telusuri.id/pantai-mbawana-pulau-sumba/ https://telusuri.id/pantai-mbawana-pulau-sumba/#respond Wed, 09 May 2018 04:31:51 +0000 https://telusuri.id/?p=8580 Sore. Tanpa disadari sore menjadi waktu wajib bagi saya dan dua kawan, Benny dan Romi, untuk menelusuri Sumba. Benny adalah teman kuliah saya yang sekarang menetap di Sumba bersama LSM Burung Indonesia. Romi orang Sumba...

The post Orkestra Senja di Pantai Mbawana appeared first on TelusuRI.

]]>
Sore. Tanpa disadari sore menjadi waktu wajib bagi saya dan dua kawan, Benny dan Romi, untuk menelusuri Sumba.

Benny adalah teman kuliah saya yang sekarang menetap di Sumba bersama LSM Burung Indonesia. Romi orang Sumba dari suku Anakalang, Sumba Tengah. Hari ini kami di Sumba Barat. Kami menginap di permukiman suku Kodi, rumah kerabat Romi.

Jam 2 siang WIT, kami pun bergegas menuju lokasi sunset. Ada satu tempat yang sangat ingin kami kunjungi, Pantai Mbawana namanya. Pantai ini berada di Kecamatan Kodi, Sumba Barat Daya. Referensi untuk ke sana hanya beberapa foto dari media sosial dan Google Maps.

pantai mbawana

Suasana Desa Adat Ratenggaro/Ardi Yasa

Ternyata rute perjalanan menuju Pantai Mbawana melewati sebuah desa kuno yang sudah terkenal sebagai tujuan wisata, yakni Desa Ratenggaro. Atap-atap bangunannya menjulang tinggi, beda sekali dengan rumah adat Sumba yang saya lihat di Anakalang.

Setelah istirahat sebentar di desa ini, kami melanjutkan perjalanan ke Pantai Mbawana. Dua jam memacu motor, kami pun sampai di tujuan.

“Gapura” Pantai Mbawana

Di pos retribusi kecil, seorang pria dewasa dan anaknya tampak sedang duduk berjaga. Kami pun menghampiri pos tersebut, mengisi buku tamu, kemudian membayar Rp 10.000 per orang.

pantai mbawana

Tebing yang menjadi “landmark” alami Pantai Mbawana/Ardi Yasa

Ternyata, Pantai Mbawana terbagi menjadi dua, yakni areal pantai dan areal bukit yang dari sana kamu bisa melihat Pantai Mbawana dari atas. Kami mengunjungi pantainya terlebih dahulu. Untuk bisa sampai ke sana, kami harus menuruni anak tangga yang lumayan terjal dan licin.

Pantai Mbawana sungguh indah. Ada sebuah tebing kolosal yang tengahnya bolong seperti gapura. Pemandangan jadi semakin indah oleh ombak yang menampar tebing-tebing di kejauhan.

Kali ini pantai sedang surut sehingga ombak tak sampai ke gapura. Dari beberapa foto yang saya lihat di media sosial, saat laut sedang pasang ombaknya bisa sampai ke sana.

pantai mbawana

Tebing yang bolong seperti gerbang/Ardi Yasa

Kami pun berjalan mendekati monumen alami itu. Tebing bolong itu sangat kokoh dan tampak megah, cocok sekali dijadikan tempat berfoto.

Di atas bukit

Dari pantai, kami pindah ke bukit. Ternyata jaraknya lumayan jauh sampai-sampai kami harus ke sana menumpang sepeda motor.

Sesampai di bukit, kami nongkrong di sebuah pondok bambu kecil sambil menikmati keindahan pesisir Pantai Mbawana. Pondok ini terasa menyatu dengan suara ombak dan angin, juga kehangatan matahari sore.

pantai mbawana

Pantai Mbawana tampak atas/Ardi Yasa

Saat sedang asyik menikmati detik-detik tenggelamnya matahari, dua orang warga lokal datang bersama beberapa ekor anjing. Mereka bersikap ramah dan ikut duduk bersama kami.

Namun, diam-diam Romi memberitahu saya bahwa kedua orang itu datang karena sedang ada wisatawan—kami bertiga—yang berkunjung ke sini. Mereka datang untuk menjadi “penjaga” keselamatan wisatawan dan, ujung-ujungnya, mereka akan meminta imbalan uang rokok. Kondisi tipikal di destinasi-destinasi “potensial.”

“Nanti kasih saja Rp 10.000 per orangnya. Mereka sudah terbiasa seperti itu,” begitu kata Romi. Saya tak keberatan, sebab uang segitu memang tak ada bandingannya dengan pemandangan indah Pantai Mbawana ini.

pantai mbawana

Warga setempat mencari-cari sesuatu di air laut yang sedang surut/Ardi Yasa

Senja di Pantai Mbawana

Hari semakin sore. Tanpa terasa, matahari mulai turun mendekati garis horizontal di laut. cahaya matahari mulai memberikan pemandangan terbaiknya. Senja begini, keajaiban seolah-olah terus terjadi tanpa henti.

Apalagi suasana saat itu sangat mendukung. Langit cerah, laut surut, dan, di samping saya, ada kawan-kawan yang bisa diajak berbincang.

pantai mbawana

Pondok bambu di atas bukit/Ardi Yasa

Di bawah sana, warga setempat pun mulai memenuhi Pantai Mbawana. Mereka tampak sibuk mengorek-ngorek sesuatu di genangan air laut yang sedang surut. Entah apa yang mereka cari: kerang-kerangan, keong, gurita, atau mungkin teripang?

Tebing ini terlalu tinggi sehingga saya tidak bisa berteriak untuk bertanya pada mereka. Apa pun itu, yang jelas momen ini indah sekali dan sayang jika tidak diabadikan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Orkestra Senja di Pantai Mbawana appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pantai-mbawana-pulau-sumba/feed/ 0 8580
Awas! Jangan Terpana sama 6 Destinasi Wisata Sumbawa Ini https://telusuri.id/6-destinasi-wisata-sumbawa/ https://telusuri.id/6-destinasi-wisata-sumbawa/#respond Sat, 17 Mar 2018 02:30:22 +0000 https://telusuri.id/?p=7387 Tulisan ini kolaborasi antara SkyGrapher dan TelusuRI Bali sudah lama naik daun. Lombok menyusul. Lebih ke timur lagi, nama Flores juga sudah mulai masuk dalam radar para pejalan. Lalu, bagaimana dengan Pulau Sumbawa yang terletak...

The post Awas! Jangan Terpana sama 6 Destinasi Wisata Sumbawa Ini appeared first on TelusuRI.

]]>
Tulisan ini kolaborasi antara SkyGrapher dan TelusuRI


Bali sudah lama naik daun. Lombok menyusul. Lebih ke timur lagi, nama Flores juga sudah mulai masuk dalam radar para pejalan. Lalu, bagaimana dengan Pulau Sumbawa yang terletak di antara Lombok dan Flores? Nah, ternyata di pulau itu juga banyak destinasi wisata, Sob. Kalau nggak percaya, baca dulu deh listicle 6 destinasi wisata Sumbawa berikut.

1. Gunung Tambora

destinasi wisata sumbawa

Padang sabana di kaki Gunung Tambora via SkyGrapher.id/Moonstar Simanjuntak

Barangkali hampir semua pejalan pernah dengar cerita tentang kedahsyatan letusan Gunung Tambora. Letusan itu menghancurkan banyak desa. Tak terhitung jiwa manusia yang melayang. Karena letusan itu juga Napoleon Bonaparte sampai kalah di Pertempuran Waterloo. Kenapa? Karena abu Tambora yang menyelimuti atmosfer bikin musim dingin datang lebih cepat, tidak sesuai perkiraan.

Dua abad setelah “kengerian” itu, Gunung Tambora yang masuk dalam Kabupaten Bima dan Kabupaten Dompu itu malah jadi salah satu destinasi wisata Sumbawa yang diunggulkan. Banyak yang penasaran buat ke sana, entah untuk mendaki atau sekadar menjelajahi sabana di kaki Tambora sambil melihat kuda-kuda sedang asyik merumput.

2. Pantai Lakey

destinasi wisata sumbawa

Jalan berliku di pinggir Pantai Lakey via SkyGrapher.id/Moonstar SImanjuntak

Kalau kamu suka selancar, sekali-sekali kamu mesti coba main ke Pantai Lakey di Kabupaten Dompu. Ombak Lakey spesial karena tergolong sebagai ombak kidal. Selain itu, hal lain yang bikin pantai ini istimewa adalah anginnya yang cocok banget buat wind surfing atau kite surfing.

Destinasi wisata Sumbawa yang satu ini paling pas dikunjungi antara April sampai Oktober. Buat ke sana, terlebih dahulu kamu harus ke Dompu. Dari sana, Pantai Lakey dapat dicapai dalam waktu 30-45 menit.

3. Pantai Maluk

destinasi wisata sumbawa

Pesisir Pantai Maluk via SkyGrapher.id/Irfan Firdaus

Sama seperti Lakey, Pantai Maluk di Kabupaten Sumbawa Barat juga tersohor karena ombaknya. Para peselancar suka ke Pantai Maluk karena ketinggian ombaknya bisa sampai sekitar dua meter! Selain ombak, destinasi wisata Sumbawa yang satu ini juga punya daya tarik lain, yakni penangkaran tukik.

Akses menuju Pantai Maluk lumayan mudah. Dari Mataram, kamu tinggal naik Damri jurusan Mataram-Taliwang-Maluk. Seturun di Maluk kamu tinggal sambung perjalananmu naik ojek.

4. Pantai Kertasari

destinasi wisata sumbawa

Perairan Pantai Kertasari yang jernih dan tenang via SkyGrapher.id/Papudaengoyang

Nama Pantai Kertasari yang terletak di Taliwang, Kabupaten Sumbawa Barat, ini memang belum setenar Pantai Maluk dan Lakey. Dan kayaknya juga nggak apple to apple juga kalau mau dibandingin, soalnya daya tarik destinasi wisata Sumbawa yang satu ini bukanlah ombak yang menggulung, melainkan air lautnya yang tenang.

Pantai Kertasari ini fotogenik banget. Apalagi, di sekitar pantai—kalau waktunya pas—kamu bakal bisa melihat rumput laut sedang dijemur. Selain itu, pantai yang terpaut sekitar 8 kilometer dari Taliwang ini juga adalah lokasi favorit buat mancing.

5. Pulau Kenawa

destinasi wisata sumbawa

Kenawa yang ditutupi padang sabana via SkyGrapher.id/Arie Ritonga

Dari pelabuhan nelayan di Poto Tano, kamu hanya perlu waktu sekitar 25 menit untuk menyeberang ke destinasi wisata Sumbawa yang satu ini. Pulau tak berpenghuni ini tak terlalu besar. Tapi, justru di sana lah letak keunikannya; di pulau yang kecil ini ada sabana dan undakan kerucut yang tampak seperti gunung mini.

Traveling ke Pulau Kenawa, kamu punya dua pilihan: singgah sebentar atau kemping semalam di pulau. Kalau kamu mau kemping, pastikan bahwa kamu membawa logistik yang dibutuhkan. Lupa bawa perlengkapan penting seperti bahan bakar kompor atau baterai, percayalah kamu bakal kesusahan sendiri. Soalnya di pulau itu nggak ada yang jualan.

6. Danau Lebo

destinasi wisata sumbawa

Kabut yang masih menyelimuti Danau Lebo via SkyGrapher.id/Purwanto Joko Astriyo

Sebelum namanya mulai dikenal, destinasi wisata Sumbawa yang satu ini hanya dimanfaatkan penduduk sekitar untuk memancing. Di rerumputan yang memagari Danau Lebo, para penduduk melepas ternaknya untuk merumput.

Danau yang terletak di Taliwang ini jadi habitat beragam jenis flora dan fauna. Salah satu fauna unik yang berkeliaran di Danau Lebo adalah burung pelikan, burung migran yang jauh-jauh terbang dari Benua Australia.

Gimana? Penasaran nggak sama 6 destinasi wisata Sumbawa itu?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Awas! Jangan Terpana sama 6 Destinasi Wisata Sumbawa Ini appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/6-destinasi-wisata-sumbawa/feed/ 0 7387
3 Tradisi Balapan Unik yang hanya Ada di Sumbawa https://telusuri.id/3-tradisi-balapan-unik-di-sumbawa/ https://telusuri.id/3-tradisi-balapan-unik-di-sumbawa/#respond Sun, 12 Nov 2017 02:00:33 +0000 http://telusuri.id/?p=3518 Kalau ngomongin Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, pasti yang langsung terpikirkan olehmu adalah Gunung Tambora. Tapi, selain Tambora, Sumbawa juga punya banyak hal lain yang menarik, termasuk tradisi balapan unik. Nggak percaya? Coba deh simak 3...

The post 3 Tradisi Balapan Unik yang hanya Ada di Sumbawa appeared first on TelusuRI.

]]>
Kalau ngomongin Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, pasti yang langsung terpikirkan olehmu adalah Gunung Tambora. Tapi, selain Tambora, Sumbawa juga punya banyak hal lain yang menarik, termasuk tradisi balapan unik. Nggak percaya? Coba deh simak 3 tradisi balapan unik di Pulau Sumbawa ini:

1. “Barapan kebo” alias karapan kerbau

tradisi balapan unik di sumbawa
Persiapan sebelum “barapan kebo”/Dewie Suwiryo

Barapan kebo (karapan kerbau) adalah hobi yang sudah turun temurun dilakukan orang Sumbawa dari zaman nenek moyang. Karapan ini biasanya diadakan sekali seminggu, pada hari Minggu, di tempat-tempat berbeda yang dipilih oleh panitia. Namun, biasanya karapan kerbau diselenggarakan di Lapangan Srading (Kab. Sumbawa), di Lapangan Srangin (Taliwang, Sumbawa Barat), dan di Lapangan Alas Barat (Kab. Sumbawa Barat).

Untuk mengikuti perlombaan, pemilik wajib membayar uang pendaftaran sebesar Rp 100.000. Hadiahnya lumayan: kambing, lemari, kain sarung, dan kipas angin. Sebelum karapan dilaksanakan, semua pemilik kerbau karapan se-Sumbawa—yang sudah terdata semua—berikut joki akan diundang oleh panitia.

Kerbau yang digunakan untuk karapan hanya kerbau jantan yang dipelihara secara khusus. Mereka hanya ditempatkan di kandang, diberi makan yang banyak, kemudian dilatih dua kali seminggu, yaitu hari Jumat dan Sabtu. Tujuannya supaya kerbau terbiasa berlari kencang dan terarah. Kerbau karapan juga diberi nama unik, seperti Manohara, Piring Terbang, atau Janda Udik.

tradisi balapan unik di sumbawa
Kerbau dan joki sedang beraksi/Dewie Suwiryo

Dalam karapan, kerbau-kerbau harus menjatuhkan kayu yang ada di tengah lapangan. Jika sudah menjatuhkan kayu tersebut, barulah dapat dikatakan berhasil—tentu saja kecepatannya juga diperhitungkan. Karapan dilakukan sampai tiga kali untuk mendapatkan juaranya. Sistem gugur berlaku; kalah, langsung tereliminasi.

Ada kelas-kelas tersendiri dalam karapan kerbau, sesuai ukuran kerbau yang dilombakan. Kerbau besar diadu dengan yang besar (kelas 1) dan yang kecil diadu dengan yang kecil juga (kelas 2). Kerbau tercepat biasanya mampu berlari sejauh 100 meter dalam 9 detik!

Sebelum lomba, prosesi khusus mesti dilakukan terhadap kerbau. Hewan itu dimandikan, didaraskan doa khusus, kemudian didandani dengan pita-pita lucu. Uniknya, kerbau karapan biasanya dijual dengan harga mencapai Rp 50-100 juta/pasang. Jika kerbaunya sudah terbukti kencang, harga bisa sampai di atas Rp 100 juta/pasang.

2. “Main jaran” alias pacuan kuda

tradisi balapan unik di sumbawa
Kuda-kuda mulai dipacu oleh para joki di “barapan kuda”/Dewie Suwiryo

Tradisi balapan unik di Sumbawa selanjutnya adalah main jaran (pacuan kuda). Setiap kali diadakan, acara pacu kuda akan diramaikan oleh anak-anak, remaja, dan orang tua. Pacuan kuda skala besar biasanya dilakukan dua kali setahun dan akan diikuti oleh joki dari seluruh Indonesia bagian tengah-timur mulai dari Lombok, Bima, sampai Sumba. Sementara, pacuan kuda skala kecil hanya dilakukan di daerah saja. Hari-harinya pun berubah-ubah tak menentu. Di Kabupaten Sumbawa, main jaran diselenggarakan di Lapangan Angin Laut, Desa Penyaring, Moyo Utara.

Pacuan kuda skala besar biasanya berlangsung 7 hari pada April atau Mei. Pacuan kuda biasanya dibagi menjadi tiga kelas. Biaya pendaftarannya berbeda, antara Rp 300-700 ribu. Kalau karapan ayam dan kerbau jokinya orang dewasa, pacuan kuda ini jokinya adalah anak kecil berumur antara 5-9 tahun.

tradisi balapan unik di sumbawa
Seorang joki cilik/Dewie Suwiryo

Para joki sudah dilatih sejak mereka usia 4 tahun. Sekali membawa kuda, mereka dibayar Rp 100-200 ribu/putaran. Semakin sering menunggangi kuda dalam satu event balapan, semakin banyak uang yang mereka kumpulkan. Makanya, meskipun risikonya jatuh dan patah tulang, mereka tidak jera. Mereka berani bawa kuda setinggi 100-150 cm, tak peduli meskipun mereka masih kecil.

Event pacu kuda besar biasanya berhadiah uang, kuda, sapi, televisi, kulkas, bahkan motor—tergantung sponsor. Sebelum mengikuti lomba, kuda-kuda harus dites kesehatannya oleh tim kesehatan yang disediakan panitia. Kuda akan dimandikan dan didandani oleh pemiliknya, lalu disiram dengan air cabe di bagian pantat supaya larinya makin kencang. Pacuan akan dimenangkan oleh kuda yang tercepat di tiap kelas. Yang kalah, seperti karapan kerbau, akan langsung tersingkir.

Kuda jantanlah yang dilombakan. Jika dijual, kuda pacuan bisa laku ratusan juta, apalagi kalau langganan juara. Kuda juga diberi nama unik, misalnya Thunder, Halilintar, Dewi Angin, Pencakar Langit, dan lain-lain.

3. “Barapan ayam” alias karapan ayam

sumbawa
Sepasang ayam yang akan dilombakan sedang dipamerkan/Dewie Suwiryo

Ayam yang dalam budaya lain disabung, di Sumbawa disuruh balapan. Barapan ayam (karapan ayam), salah satu dari tradisi balapan unik di Sumbawa ini, digemari oleh segala kalangan, dari mulai anak-anak, remaja, sampai orang tua. Karapan ayam skala besar biasanya dilakukan sekali seminggu, setiap Sabtu. Sedangkan penyelenggaraan skala kecil harinya tak tentu.

Karapan ayam biasanya diselenggarakan di Lapangan Desa Padak, Kecamatan Alas Barat, mulai pukul 15.00 WITA sampai selesai. Jumlah pesertanya bisa sampai 30. (Perlombaan skala besar biasanya mencapai 200.) Untuk mengikuti perlombaan, setiap peserta wajib mendaftarkan ayamnya dan membayar Rp 20.000.

Hadiah pertandingan ini biasanya kain, selimut, perkakas rumah tangga, dan lain-lain. (Pada perlombaan skala besar, hadiah utama biasanya kambing.) Undangan karapan ayam biasanya disampaikan secara lisan, sebab semua sudah tahu siapa saja yang biasanya ikut karapan.

barapan ayam sumbawa
“Barapan ayam”/Dewie Suwiryo

Ayam, seperti kerbau dan kuda jagoan yang ikut karapan, juga diberi nama yang unik oleh para pemiliknya, seperti Gadis Khayangan, Zulkarnain, dan lain-lain. Yang diperbolehkan ikut bertanding hanya ayam kampung jantan. Kelas yang dipertandingkan pun banyak, dari kelas 1 sampai 6, sesuai ukuran ayam. Kelas 1 adalah ayam yang paling besar.

Dalam karapan ayam, setiap pasangan ayam yang sudah diikat harus melewati daun lontar (saka) yang ada di tengah lapangan. Jika sudah melewati saka tersebut barulah ayam itu dapat dikatakan berhasil. Selanjutnya, untuk menentukan siapa pemenang, tentu waktu tempuhlah yang diperhatikan. Selain itu, di sisi kanan dan kiri juga dipasang rambu daun lontar. Apabila melewati daun lontar di samping, peserta dinyatakan gugur. Ayam yang menang langsung diumumkan di akhir perlombaan. Ayam karapan biasanya dijual seharga Rp 2-4 juta/pasang.

Gimana? Seru ‘kan 3 tradisi perlombaan unik di Sumbawa itu?

The post 3 Tradisi Balapan Unik yang hanya Ada di Sumbawa appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/3-tradisi-balapan-unik-di-sumbawa/feed/ 0 3518
Kuda-Kuda Kekar Desa Mantar Sumbawa https://telusuri.id/kuda-kuda-kekar-desa-mantar-sumbawa/ https://telusuri.id/kuda-kuda-kekar-desa-mantar-sumbawa/#comments Wed, 12 Apr 2017 06:45:31 +0000 http://telusuri.org/dev/?p=658 “The horse, with beauty unsurpassed, strength immeasurable and grace unlike any other, still remains humble enough to carry a man upon his back.”—Amber Senti Dalam benak saya yang pertama muncul ketika mendengar nama Sumbawa adalah...

The post Kuda-Kuda Kekar Desa Mantar Sumbawa appeared first on TelusuRI.

]]>

“The horse, with beauty unsurpassed, strength immeasurable and grace unlike any other, still remains humble enough to carry a man upon his back.”—Amber Senti

Dalam benak saya yang pertama muncul ketika mendengar nama Sumbawa adalah kuda. Ya, sekian lama hidup di Jawa, saya seringkali mendengar orang minum susu kuda liar sumbawa dengan harapan bisa seganas dan selama mamalia itu saat melakukan proses reproduksi dengan pasangannya. Namun, saya bahkan tidak melihat satu ekor kuda pun ketika tiba di Pelabuhan Pototano dan dalam perjalanan menuju Pulau Kenawa.

Saya baru melihat kuda berkeliaran layaknya kambing di Jawa dan sapi di Bali ketika berkunjung ke Desa Mantar. Menurut Ibu Ari, kami (saya dan Asong) harus mengunjungi desa ini. Selain karena desanya yang unik, pemandangan yang bagus dan sejarahnya, desa ini juga jadi tempat syuting film Serdadu Kumbang. Walaupun sampai saat ini saya belum pernah menonton film yang disutradarai oleh Ari Sihasale itu.

Rasanya saya ingin merutuki keputusan bodoh kami berdua saat melintasi perjalanan menuju desa dengan ketinggian 630 mdpl ini. Semua berawal dari celetukan saya pada Asong kalau foto saat traveling tidak pakai backpack itu kurang keren. Asong, yang dalam perjalanan ini melepas keperawanan ransel Deuter Air Contact 55+10, memutuskan membawa tas tersebut yang bermuatan tenda dan segala perangkat survival demi bentuk rucksack yang oke saat difoto, sementara hanya sebagian kecil barang-barang yang ditinggal di rumah Ibu Ari.

Ini bencana, teman-teman….

Jalan sepi menuju Desa Mantar/Rio Praditia

Jalan ke Mantar hanya cocok dilewati oleh mobil 4WD dan motor trail. Selepas melewati jalan becek di tengah perkebunan, jalan yang dihadapi menjadi terjal dengan tekstur pasir, kapur dan batu. Revo milik Asong meraung-raung melaju di jalan yang sisi kiri-kanannya jurang. Kami yang mengendarainya terguncang-guncang saat roda menghajar batu-batu sebesar kepala. Saya yang dibonceng juga harus menanggung berat ransel yang lari ke sana kemari setiap manuver motor salah. Bahu rasanya lecet juga kelu, tulang belakang serasa bergeser.

Parahnya, walaupun kami membawa tas besar, hanya ada air tidak sampai setengah liter yang terbawa. Panas matahari jam dua siang membakar kulit dan debu-debu memekatkan pernapasan juga rongga mulut. Kami kehabisan air dalam waktu singkat.

Di jalan-jalan mendekati desa tingkat kemiringan semakin kejam. Saya berulang kali harus turun dan berjalan kaki menggendong tas gunung sambil terus mengenakan helm. Jika saja tas ini tidak lagi baru dan harganya tidak dua juta dua ratus ribu rupiah, rasa-rasanya sudah saya lempar jauh-jauh ke jurang.

Desa Mantar benar-benar memikat. Memasuki desa kami disambut gedung sekolah dasar. Rimbun pepohonan memayungi jalan. Tak lama, kami menjumpai danau kecil kehijauan yang jadi tempat warga memancing, juga kuda yang berkeliaran ikut minum di sana. Asong benar-benar excited melihat kuda, berulang kali ia berucap, “Hey, man.. itu kuda, man.” Saya yang sudah kelelahan dan dehidrasi hanya sanggup mengangguk-angguk lesu.

Rumah-rumah tradisional di Desa Mantar yang sudah doyong/Rio Praditia

Memasuki permukiman warga, kami langsung mencari rumah Kepala Desa untuk meminta izin agar diperkenankan masuk dan berkeliling. Sayang, saat itu beliau tidak ada, kami disambut oleh istrinya yang akan segera menyampaikan kedatangan kami ketika ia datang dari kota. Tidak lupa Asong berfoto dulu di depan rumahnya ketika beranjak pergi.

Seperti rumah-rumah tradisional Indonesia umumnya, rumah-rumah di Desa Mantar terbuat dari kayu dan berbentuk rumah panggung. Hal ini sebagai bentuk adaptasi nenek moyang untuk menghindari serangan binatang buas. Fondasi yang berupa sambungan-sambungan kayu tanpa paku dan berdiri di atas batu membuat rumah sangat fleksibel terhadap guncangan seperti gempa. Terkadang kita mengagungkan arsitektur Barat tanpa sadar bahwa nenek moyang kita sudah memiliki pengetahuan yang lebih tepat untuk tinggal di nusantara yang kaya namun rawan bencana.

Kami mampir sebentar di warung warga untuk membeli air dan makanan ringan. Pak Husein pemilik warung yang sedang menganyam bambu, ditemani cucunya yang sedang tidur di ayunan, bercerita pada kami, “Di Mantar orang-orangnya agak beda dengan orang di bawah, karena nenek moyang kami berasal dari banyak suku, ada Jerman, Portugis, Arab dan Jawa.” Ia yang melihat rasa penasaran saya melanjutkan, “Kapal yang mereka tumpangi karam saat melewati Selat Alas sehingga membuat permukiman di sini.” Ia juga bercerita tentang tujuh orang putih yang tidak pernah berkurang dan bertambah di Mantar. Bila satu orang putih lahir ke dunia, maka satu dari tujuh orang itu akan mati, bisa saja sakit tiba-tiba walaupun hari sebelumnya masih sehat walafiat.

Berpose di salah satu rumah di Desa Mantar

Berpose di salah satu rumah di Desa Mantar/Rio Praditia

Pak Husein menyarankan kami untuk datang ke lokasi syuting (saya lupa ia menyebut tempat itu apa) yang berada di ujung desa. Berdasarkan petunjuknya kami keluar desa dan masuk ke sawah warga. Mayoritas penduduk Mantar bertani, berladang dan beternak. Mereka berladang dan menanam padi gogo untuk menyesuaikan dengan kondisi geografis yang kering. Sepanjang kami menyusuri sawah yang habis panen, sapi, kerbau, kuda, kambing dalam gerombolan besar bebas hidup tanpa terikat. Mereka makan sisa-sisa tanaman yang masih berakar. Saya merasa seperti tidak sedang di Indonesia, seakan-akan berada dalam setting film koboi di Texas, Amerika.

Kami tidak tersesat, kami hanya menemukan banyak jalan baru yang tidak membawa pada tujuan.

Sadar jalan yang kami lalui hanya berakhir buntu, saya mulai melihat ke kiri-kanan. Hanya ada sapi dan kuda yang memandang curiga. Kami coba berbalik arah, berjalan agak memutar, dan untung saja bertemu lelaki tua yang asyik membelah bambu di depan pondokannya. Tahu kami tersesat, ia berbaik hati mengantar. Kami menyusuri jalan sambil berbagi cerita. Setelah Asong banyak bertanya, bapak yang saya lupa namanya ini mengaku memiliki banyak kuda. Menurutnya, bagi masyarakat Mantar, kuda sumbawa itu selain sebagai alat transportasi juga dijadikan makanan di acara-acara tertentu. Juga sebagai tabungan bila warga butuh uang cepat untuk pendidikan anak, biaya berobat saat sakit atau ongkos naik haji. Kuda sumbawa sangat diminati orang luar Sumbawa sehingga mudah menjualnya. Di luar itu semua, kuda adalah status sosial, semakin banyak kuda yang dimiliki semakin naik status sosial seseorang.

Akhirnya melihat kuda/Rio Praditia

Hal ini mengingatkan saya pada sebuah artikel di The Jakarta Post pada tahun 2011 tentang kuda sebagai sumber daya genetik (SDG). Kementerian Pertanian RI menetapkan kuda di Sumbawa sebagai salah satu bangsa atau subbangsa kuda di Indonesia. Rumpun Kuda Sumbawa dikenal kerena kemampuan adaptasinya pada lingkungan tertentu yang cukup baik mengingat kuda sumbawa adalah kuda yang adaptif pada kondisi daerah spesifik pada iklim mikro (seperti Pulau Sumbawa).

Percakapan sebentar itu menemani perjalanan saya menuju spot paling favorit di Mantar. Berada di ujung tebing yang terbuka, saya bisa melihat matahari yang mulai condong ke barat di atas Selat Alas. Pelabuhan Pototano beserta pulau dan laguna yang mengitari serasa menantang untuk disinggahi. Saya menyesal kenapa hanya punya sedikit libur untuk menikmati Sumbawa, suatu hari saya akan datang lagi untuk lebih mengenal pulau ini.

Tepat jam 16.30 kami turun ke Pototano, memperhitungkan jalan pulang yang akan jauh dari kata aman bila dilewati pada malam hari. Kuda-kuda di Mantar mengajarkan kami banyak hal; dengan segala keanggunan dan kekuatannya, ia tetap rendah hati untuk membawa manusia di punggungnya.


Artikel ini sebelumnya dimuat di blog pribadi Rio Praditia.

The post Kuda-Kuda Kekar Desa Mantar Sumbawa appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kuda-kuda-kekar-desa-mantar-sumbawa/feed/ 1 658
Pulau Kenawa, Percakapan tentang Manusia, Alam, dan Iman https://telusuri.id/pulau-kenawa/ https://telusuri.id/pulau-kenawa/#respond Sun, 19 Mar 2017 01:02:35 +0000 http://telusuri.org/dev/?p=772 “The journey is the destination.” —Dan Eldon Bayangan tubuh kami sudah memanjang ke timur saat menjejakkan kaki di pasir putih pulau yang berada di seberang Pelabuhan Pototano ini. Ransel dan peralatan snorkeling segera diturunkan dari...

The post Pulau Kenawa, Percakapan tentang Manusia, Alam, dan Iman appeared first on TelusuRI.

]]>

“The journey is the destination.”

Dan Eldon

Bayangan tubuh kami sudah memanjang ke timur saat menjejakkan kaki di pasir putih pulau yang berada di seberang Pelabuhan Pototano ini. Ransel dan peralatan snorkeling segera diturunkan dari kapal. Setuntas melempar muatan maka tak berlama-lama kapal itu segera meninggalkan kami berdua, saya dan asong. Saya takjub, pantai dengan gradasi kristal bening sampai biru tua, saujana mata memandang hanya rumput hijau keemasan bergoyang diterpa angin laut dengan latar bukit kecil meruncing.

Swedia, Sampah, dan Kenawa

Asong sudah tidak sabar untuk basah. Setuntas membongkar muatan di hut yang tersedia di sepanjang pesisir pantai, ia segera memasang snorkel dan terjun ke air. Saya memilih untuk susur pantai dan mengelilingi pulau. Dahi langsung mengernyit ketika menemukan banyak sekali sampah di sudut-sudut pantai.

Beberapa jam yang lalu di teras rumahnya, Ibu Arif, penjaga Kantor Dinas Perikanan dan Kelautan, bercerita tentang komentar pejalan mancanegara yang berkunjung ke Pulau Kenawa. Mereka mengaku langsung jatuh cinta dengan keragaman bawah lautnya juga sabana dan kontur bukit di pulau ini. Di lain sisi, mereka mengeluhkan sampah yang memenuhi pesisir pantai.

Terang Ibu Arif, “Saya selalu menegaskan kepada setiap pengunjung untuk membawa pulang sampah yang mereka hasilkan di sana.” Ia melanjutkan, “Saya rasa pengunjung selalu bertanggung jawab atas kebersihan pulau, namun ada hal lain yang di luar kendali kami.”

Menaiki perahu menuju Kenawa/Rio Praditia

Hampir setiap bulan, staf dinas dan nelayan pergi ke Pulau Kenawa untuk gotong royong membersihkan sampah. Setiap kali, lebih dari dua puluh karung sampah terkumpul. Meskipun demikian, keesokan harinya Kenawa akan penuh sampah lagi. Sebagian besar sampah di pantai pulau ini datang terbawa arus ombak, sebagian kecil ulah pejalan tidak bertanggung jawab. “Penumpang di kapal penyeberangan biasa membuang sampah ke laut, sedangkan warga di sisi lain Pulau Sumbawa biasa membuang sampah ke sungai yang terbawa ke laut,” geram ibu Arif. “Sekeras apa kami berusaha Kenawa tidak akan bisa bebas sampah bila orang-orang masih membuang sampah ke laut,” tutup perempuan yang sedang mengandung itu.

Selain pejalan yang datang via Pelabuhan Pototano, pengunjung juga datang dari kapal pesiar yang biasa membuang jangkar di dekat Pototano. Mereka turun dari kapal pesiar menggunakan perahu kecil untuk island hopping. “Saya sebagai orang Indonesia malu bertemu pengunjung kapal pesiar asal Swedia. Setiap mereka datang, mereka pasti sukarela memunguti sampah yang memenuhi pulau dan pesisir desa nelayan, lalu mengumpulkannya di tempat sampah dekat kantor dinas. Kami orang sini yang mengambil keuntungan dari pulau-pulau ini malah semena-mena buang sampah sembarangan.” Ungkap Ibu Arif yang memiliki anak pintar bernama Oval ini.

Pariwisata Kenawa dan Kelestarian Alam

Dulu sekali, sangat mudah menemukan ikan di sekitar Pototano. “Ikan segini ini masih dianggap kecil dan berenang bebas di pinggir pantai,” terang Ibu Arif sambil menggunakan tangannya sebagai perbandingan. Sayangnya, beberapa belas tahun lalu, nelayan menggunakan bom dan potasium sebagai cara singkat mendapatkan ikan. Terumbu karang banyak yang rusak dan bibit-bibit ikan mati. Bom dan racun membuat keberlangsungan kehidupan bahari di sana terhenti. Bila terumbu karang rusak dan bibit ikan mati maka tidak ada lagi sumber kehidupan di sana. Ikan-ikan yang tersisa mengungsi ke daerah lain, yang biasa datang juga sudah tidak lagi berkunjung. Sekarang nelayan harus pergi jauh ke tengah untuk mencari ikan. “Penyesalan dan kesadaran memang selalu datang terlambat,” pungkas Ibu Arif sambil menghela napas.

Di Kapal/Rio Praditia

Dengan semakin ramainya kunjungan turis ke Pulau Kenawa dan pulau-pulau di sekitarnya dan penyuluhan tanpa lelah dari dinas tentang pentingnya terumbu karang, nelayan mulai sadar untuk menjaga terumbu karang. Sekarang nelayan di desa ini tidak lagi menggunakan bom dan racun, mereka sadar dengan adanya terumbu karang maka ikan akan semakin mudah didapat. Di lain sisi, terumbu karang yang terjaga akan menarik semakin banyak wisatawan, tentu saja akan menambah penghasilan nelayan yang menyewakan perahu untuk mengantar pengunjung untuk island hopping. Kesejahteraan meningkat dan alam tetap terjaga.

Memang belum semua nelayan di Sumbawa sadar. Banyak nelayan dari luar Desa Pototano datang dan menggunakan dua alat destruktif tersebut. Namun, staf dinas dengan bantuan TNI AL berulang kali menahan dan menenggelamkan perahu mereka bila kedapatan melakukan hal tersebut.

Percakapan tentang Tuhan

Asong nampak lelah menenteng snorkel setelah berjam-jam berenang dengan penghuni laut. Matahari sudah condong ke barat, sinarnya terhalang bukit tinggi yang diselimuti ilalang. “Coy, kayaknya keren kalau kita bangun tenda di atas bukit kecil itu.” Selain bukit tinggi, terdapat satu bukit kecil di tengah-tengah pulau, dari sana kita bisa melihat sekeliling. Saya langsung menyanggupinya, “OK, coy. Besok pagi pasti asik, tuh, liat sunrise dari sana.” Kami langsung berlari riang berlomba-lomba untuk duluan sampai di sana seperti anak kecil.

Dalam hitungan belasan menit, tenda sudah berdiri, api sudah dinyalakan. Angin berhembus sejuk mengiringi lembayung yang kian kelam. Langit biru berganti dengan malam pekat yang dihiasi pecahan bintang di seluruh permukaannya. Saat cahaya artifisial tidak ada, maka langit selalu menampilkan sisi terindahnya bahkan saat berawan. Ditemani kopi panas dan roti murah kami melamun bodoh, asyik dengan pikiran masing-masing.

Berjalan di tepi pantai/Rio Praditia

Asong membuka percakapan.

“Coy, orang Eropa enak, ya? Kerja satu tahun bisa jalan-jalan tiga tahun.”

“Iya, sih. Jaring pengaman sosial mereka bagus. Walaupun pulang ke negara sudah kehabisan duit, di sana mereka ngga akan kelaparan.”

“Tapi, Coy, orang Eropa kebanyakan ngga beragama. Mereka percaya moral itu lebih penting daripada iman.”

“Ngga semua, sih. Tapi kebanyakan begitu. Mungkin karena hidup mereka sudah enak, ngga mungkin kesusahan dan kelaparan, hidup nyaman dan aman, mereka ngga butuh banyak doa pada Tuhan soalnya negara sudah menyediakan. Filsafat dan ilmu pengetahuan juga sudah bisa menjelaskan fenomena alam yang dulu dianggap kemarahan dan kemurahan Tuhan.”

Asong mengangguk-angguk, “Bener juga.”

“Tapi bukannya kita juga baru ingat Tuhan kalau lagi susah aja? Memang kalau kita bahagia kita bersyukur pada Tuhan? Koe isih ke gereja ora, cuk?

“Ora’e. Males aku,” ungkap Asong yang dilanjut tawa lepas.

“Aku juga ora. Nah, kita aja yang hidupnya susah, baru senang dikit udah lupa Tuhan.”

“Iyo yo. Cen asu tenan ki menungso. Ora menungso ding—kita sing asu tenan.” (iya ya. Benar-benar brengsek manusia ini.  Bukan manusia, tapi kita yang brengsek)

Selanjutnya keheningan memenuhi udara. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing tentang Tuhan.

Pulau Kenawa

Mencari ketenangan/Rio Praditia

Langit berbintang perlahan tertutup awan hitam. Hujan rintik-rintik datang dengan anggun. Kami tak menyangka awan hitam bisa datang secepat itu. Secepat mungkin kami mengamankan seluruh peralatan yang tercecer di depan tenda.

Dalam hitungan detik, hujan mengguyur Pulau Kenawa tanpa ampun. Desir ombak terdengar makin ganas dihajar angin badai. Geledek bergemuruh dan petir menyambar-nyambar di lautan. Kami mulai cemas.

Tenda yang awalnya kami yakini terpasang sempurna mulai miring dihajar angin. Pasak satu per satu tercerabut karena tidak kuat menahan cover. Cover luar dihajar angin dan dihempas hujan, alhasil tidak lagi mampu menahan air. Tenda kami mulai kebanjiran. Kami sibuk menahan tenda dan memegangi frame supaya tidak patah dan terbang. Kami bergantian memegangi tenda dan mengemas seluruh perlengkapan ke dalam ransel gunung. Bila terjadi hal-hal yang diinginkan kami segera bisa menyelamatkan semua barang-barang itu.

Dari dalam tenda terlihat  petir menyambar lautan. Cahayanya seperti blitz lighting studio saat pengambilan foto memakai toga wisuda. Angin semakin tidak ramah. Tenda terangkat-angkat tanpa kendali. Andai kami tidak di dalam tenda tersebut, mungkin tenda dan seluruh isinya sudah melayang-layang di udara.

Dalam kepanikan itu, saya mendaraskan doa meminta pertolongan pada Tuhan supaya badai cepat berlalu.

Seperti percakapan beberapa belas menit sebelum badai—“Tapi bukannya kita juga baru ingat Tuhan kalau lagi susah aja?”

FIN                             

Pulau Kenawa Pemandangan dari ketinggian

Pemandangan dari ketinggian/Rio Praditia

Perjalanan ini dimulai dari celoteh di obrolan dua minggu lalu tentang ke mana kami akan pergi untuk mengisi libur Kuningan dan Galungan selama tiga hari. Pada awalnya ada empat orang yang berniat melakukan perjalanan ini, yaitu Asong, Galuh, Rara, dan saya. Namun, karena satu dan lain hal, Galuh dan Rara tidak jadi ikut. Perjalanan dari Denpasar kami mulai pukul 22.00 WITA. Setelah menunggangi motor selama 40 menit kami tiba di Pelabuhan Padang Bai. Dari sana, kami membelah Selat Lombok selama 4,5 jam menggunakan kapal ferry untuk menuju Pelabuhan Lembar. Tepat pukul 04.30 WITA, kami mulai menjajal jalan Lombok dari ujung terbarat menuju Pelabuhan Kayangan di ujung paling timur. Lanskap Lombok yang hijau menghibur segala indra sehingga 5 jam di atas motor jadi tidak terasa. Terakhir, kami berdiri di atas kapal ferry menyusuri Selat Alas. Sekitar pukul 11.30 WITA kami tiba di Pelabuhan Pototano, Sumbawa.

Pelabuhan Pototano sungguh unik. Selama ini dalam benak saya, pelabuhan pasti dijejali oleh warung-warung dan penjual makanan dan minuman yang hilir mudik. Namun, berbeda dengan pandangan itu. Pelabuhan Pototano sangat sepi bahkan untuk mencari warung nasi saja kami perlu menyusuri jalan desa dulu. Bila warung saja sulit ditemukan, maka jangan harap menemukan penginapan di area sekitar pelabuhan. Lalu di mana kita bisa menemukan penginapan? Penginapan bisa ditemukan di Alas, sekitar satu jam perjalanan dari pelabuhan ini.

Sesuai petunjuk seorang kawan di Bali, kami menuju Kantor Dinas Kelautan dan Perikanan untuk menanyakan perahu yang akan digunakan menuju Pulau Kenawa. “Wah, Dek. Cuma berdua saja,” tanya Bu Arif setelah kami memperkenalkan diri. Saat itu, Pak Arif yang menjadi Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan sedang mengikuti diklat di Bogor, sehingga istrinya yang menyambut kami.

Untuk menuju Pulau Kenawa kita harus menggunakan perahu yang mampu menampung hingga sepuluh orang. Sehingga mau satu, dua, atau sepuluh orang kami harus membayar Rp. 350.000. Untuk menyiasati biaya tersebut maka kami berniat menunggu siapa tahu ada pejalan lain yang datang ke Sumbawa dan berniat pergi ke pulau tersebut. Malang, sampai jam 16.00 WITA tidak ada satu orang juga yang datang. Mau tidak mau kami berangkat dan membayar ongkos perahu yang tidak ramah bagi kantong dua pejalan minim budget ini. Ibu Arif berbelas kasih, melihat duit kami sedikit dan tidak ada orang lain untuk berbagi biaya maka ia menggratiskan biaya sewa dua snorkel.

Jujur, saya suka pergi ke pantai tetapi saya bukan orang yang rela mati-matian menghabiskan energi, waktu, dan biaya untuk pergi ke tempat jauh dan pulau-pulau terpencil untuk snorkeling atau diving demi melihat keindahan bawah laut. Saya lebih suka ke hutan dan gunung atau pergi ke desa untuk mengobrol dengan warga lokal. Setiap pergi ke pantai saya lebih senang jalan-jalan menyusuri pantai, membaca buku, dan melamun bodoh saat mulai bosan. Begitu juga dengan ajakan ke Pulau Kenawa ini, awalnya saya tidak tertarik untuk ikut, namun karena perjalanan yang jauh akan menggunakan motor maka saya tertarik. Pulau Kenawa hanya bonus, yang saya sebenarnya nikmati adalah pengalaman membelah pulau dan melintas dua selat untuk menuju tempat ini menggunakan motor.


Artikel ini sebelumnya dimuat di blog pribadi Rio Praditia


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Pulau Kenawa, Percakapan tentang Manusia, Alam, dan Iman appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pulau-kenawa/feed/ 0 772