sumenep Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/sumenep/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 25 Jun 2025 14:54:52 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 sumenep Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/sumenep/ 32 32 135956295 Beranda, Kopi, dan Etika Bertamu Masyarakat Sumenep https://telusuri.id/beranda-kopi-etika-bertamu-masyarakat-sumenep/ https://telusuri.id/beranda-kopi-etika-bertamu-masyarakat-sumenep/#respond Fri, 07 Mar 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45881 Siang itu, saat libur tahun baru, saya pergi mengantar ibu dengan motor, bersilaturahmi ke teman lamanya di desa sebelah. Teman ibu itu menyilakan kami duduk di beranda rumahnya. Betapa pun ia kaya, tetapi ia tak...

The post Beranda, Kopi, dan Etika Bertamu Masyarakat Sumenep appeared first on TelusuRI.

]]>
Siang itu, saat libur tahun baru, saya pergi mengantar ibu dengan motor, bersilaturahmi ke teman lamanya di desa sebelah. Teman ibu itu menyilakan kami duduk di beranda rumahnya.

Betapa pun ia kaya, tetapi ia tak mengubah begitu saja bentuk rumahnya; masih nuansa kuno yang oleh orang Madura disebut Roma Pacenan, rumah dengan fitur beranda yang luas sebagai tempat untuk menjamu tamu. Saya pun bertanya banyak tentang beranda. Teman ibu bercerita perihal beranda.

Percakapan ibu dengan teman lamanya sungguh begitu karib, diselingi tawa dan canda khas masa lalunya yang kadang tidak saya pahami. Keduanya seperti tengah meluapkan rasa rindu yang selama ini tertahan. Semua luap dalam aktivitas bertamu siang itu.

  • Beranda, Kopi, dan Etika Bertamu Masyarakat Sumenep
  • Beranda, Kopi, dan Etika Bertamu Masyarakat Sumenep

Filosofi Beranda bagi Orang Sumenep

Bagi orang Sumenep, Madura, beranda bukan semata fitur eksterior bangunan untuk orientasi estetik. Juga tidak sekadar transformasi desain fasad dari imaji-imaji artistik. Lebih dari itu, ia adalah manifestasi dari karakter ramah pemiliknya. Lambang rasa empati. Atribut kesolidan yang dicandrakan untuk menunjukkan rasa sosial yang tinggi.

Beranda dibangun sebagai podium kultur guna merepresentasikan spirit kesetiakawanan melalui aktivitas moy-tamoyan (kegiatan bertamu), yang biasanya berlangsung dengan komposisi percakapan seputar aktivitas keseharian. Tentu saja dilengkapi dengan seruputan kopi, hidangan camilan, dan nyala rokok yang mengepulkan asap. Semua larut dalam cakap yang setara, upaya menarik simpul temali ukhuwah, agar kian erat dan kuat.

Di beranda, denah posisi antarkursi tamu ditaja saling berhadap-hadapan, meja berada di tengah-tengah sebagai pola sekat minimalis dengan fungsi pokok sebagai tempat saji aneka suguhan. Sehingga dengan posisi seperti itu, percakapan bisa dimungkinkan untuk lebih energik dan komunikatif karena tamu dan tuan rumah bisa saling tatap atau bermuwajahah.

Bagi orang Sumenep, menatap wajah lawan bicara adalah sebuah etika, agar si lawan bicara merasa betul-betul diresapi, direspons, dan dihormati dengan baik. Kecuali ketika lawan bicara adalah orang-orang yang disegani, seperti kiai, guru, mertua, dan lainnya, maka hendaknya direspon dengan cara menunduk takzim. Demikian beranda bagi orang Sumenep dimaknai sebagai tempat pergulatan beragam bentuk etika guna menghadirkan eksistensi diri sebagai manusia yang berbudaya. Beranda juga sebagai bukti historis untuk menaut temali persaudaraan di tengah konfigurasi wilayah hunian yang terpecah-pecah karena terpisah oleh bentang ladang sebagaimana yang digambarkan Ma’arif (2015: 131).

Dari beranda dan percakapan ringan itulah kemudian muncul gagasan-gagasan brilian, rencana-rencana prospektif, yang bersintesis membentuk muara konsensus dari beragam perspektif. Sebagai masyarakat agraris, topik yang sering diperbincangkan di beranda—terutama oleh masyarakat desa—biasanya lebih pada kupasan perihal pertanian. Obrolan seputar etos dan mekanisme kerja agraris itulah yang menggebukan spirit berdiskusi masyarakat Sumenep kian hidup di beranda. Bahkan di masa penjajahan, beranda jadi sentra komunikasi bagi tumbuhnya embrio perjuangan, yang diimplementasikan jadi perlawanan-perlawanan heroik dalam rangka meredam praktik-praktik kolonial yang mengancam kehidupan bangsa dan negara.

Konon, orang Sumenep yang rumahnya tak memiliki beranda, bisa disimpulkan sebagai orang yang cenderung individualis, kurang membuka pintu untuk aktivitas sosial, dan seperti dengan sengaja membuat garis demarkasi yang berjarak dengan interaksi warga pada umumnya. Maka orang-orang menjadi sungkan untuk bertamu.

Kalaupun misalnya di dalam rumah itu ada ruang tamu khusus, tetapi bagi orang Sumenep, ruangan interior lebih dipahami sebagai wilayah privasi, macam semesta mini bagi aktivitas intern keluarga yang bersifat rahasia, atau sebagai tempat barang-barang yang tak boleh dijangkau publik. Itulah alasan deduktif yang lahir atas pertimbangan konstruksi kultur azali yang dianggap—mendekati—suci.

Kiri: Tuan rumah menyajikan kopi dengan posisi gagang cangkir searah tangan kanan tamu. Kanan: Di Sumenep, rokok yang disuguhkan dengan posisi korek ada di atas bungkusnya, itu pertanda rokok tak boleh diambil, tamu yang paham etika akan mengabaikan rokok tersebut. Berbeda jika korek ditaruh di samping bungkus rokok/A. Warits Rovi

Konstruksi Etika di balik Secangkir Kopi

Tradisi bertamu, kopi, dan beranda merupakan media silaturahmi integratif dari budaya luhur yang memiliki rasa sosial yang tinggi. Aktivitas bertemu dan bertamu dimafhumi sebagai ruang berbagi rasa antarjiwa yang didapuk sebagai pondasi primer dalam membangun hubungan yang harmonis, mempererat tali solidaritas, hingga menciptakan ruang komunikasi yang mutualistis.

Spirit bertemu dan bertamu ini oleh tetua Sumenep—dan Madura secara umum—sampai diabadikan dalam pantun lawas yang biasa diucapkan ketika seseorang dengan orang lain lama tidak bertemu: abit ta’ ajamu, orongnga lencak daja; abit ta’ atemmu, kerrongnga tada’ pada. Isi pantun tersebut jika diayak ke dalam redaksi bahasa yang sederhana akan bermakna seperti ini: kita lama tidak bertemu, betapa beratnya rasa rindu.

Rindu adalah emosi personal yang tumbuh kuat karena adanya faktor keterikatan yang intim antara batin ke batin. Kondisi psikologis ini tumbuh dari embrio cinta yang dahsyat—berbiak sebagai taja substantif dalam menakar dan menakir spirit kebersamaan bahkan hingga pada sendi-sendi yang menjurus ke medan kemanusiaan yang terdalam.

Di sela obrolan hangat yang terus berlangsung, kemudian teman ibu itu menyuguhi kami kopi dan camilan. Betapa hati-hatinya ia menurunkan cangkir kopi dari talam ke atas meja, lantas tak lupa memutar cangkir itu perlahan hingga gagangnya tepat sejalur dengan posisi tangan kanan tamu.

Di beranda, konstruksi etika didemonstrasikan sebagai nilai-nilai luhur yang konkret dan elegan. Hal itu bisa dilihat dari cara tuan rumah menyajikan suguhan. Dimulai dengan menyuguhkan secangkir kopi dengan posisi gagang cangkir tepat sejajar dengan tangan kanan si tamu, dengan maksud agar mudah diminum; menjulur rokok yang bungkusnya sudah dibuka, lengkap dengan korek apinya lalu diletakkan secara berjajar. Sebab, jika korek api ditaruh di atas bungkus rokok, hal itu bagi orang Sumenep dimaknai sebagai larangan agar tamu tidak mengambil rokok itu.

Tuan rumah juga disarankan untuk tidak melihat mulut tamu yang mengunyah makanan agar tamu tak merasa sungkan. Si tamu juga punya senarai etika tersendiri; ia tidak boleh mencicipi suguhan tuan rumah sebelum si tuan rumah menyilakan untuk dinikmati. Si tamu tidak etis memakan suguhan tuan rumah dalam porsi yang banyak seperti di rumahnya sendiri.

Selain itu, si tamu tidak etis berbincang tema-tema jorok saat bercakap-cakap, juga tak boleh bercakap dengan suara dan tawa yang nyaring. Si tamu tidak sopan bila menyantap makanan dengan acuh tak acuh, semisal hanya mengulek-ulek hingga berantakan tapi cuma dimakan sedikit, dan masih banyak etika lain dalam aktivitas bertamu. Intinya, beranda adalah ruang demonstrasi etika sekaligus atribut sensitivitas sosial yang merepresentasikan kecenderungan jiwa luhur pemiliknya.

Beranda, Kopi, dan Etika Bertamu Masyarakat Sumenep
Tata letak beranda rumah masyarakat Sumenep di masa sekarang untuk menerima tamu/A. Warits Rovi

Menjaga Ruang Temu di tengah Modernisasi

Namun, pada dinamika roda evolusi yang berputar—etika yang maujud sebagai produk kultur—tak melulu berdiri di umpak yang konstan. Ia secara perlahan bermetamorfosa pada  replika baru, tetapi tetap hadir dalam substansi sebagai rumusan nilai-nilai standar umum antara wajar dan tidak atau benar dan salah. Seiring masuknya desain rumah dengan arsitektur kontemporer, maka dengan perlahan, dalam waktu yang agak lama, warga Madura juga mulai adaptif dengan ruang tamu indoor. Walau di luar itu, hati orang Sumenep sebenarnya juga masih tak bisa menampik suara nostalgia beranda—yang keberadaannya tetap lekat dalam hati—dengan ragam kenikmatan esoterisnya yang tak terduakan.

“Tapi di sini cuma rumahku yang masih setia pada bentuk kuno dengan beranda seperti ini. Rumah yang lain sudah modern. Tanpa beranda. Sekadar teras mini untuk dua kursi ala-ala kota yang cukup menghidupkan suasana mengobrol suami-istri, tak representatif jika untuk tamu. Karena saat ini, anak-anak muda tak lagi suka ngobrol di beranda, mereka lebih memilih kafe-kafe,” ucapnya pada ibu, memantul respons yang semipahit bagi diri saya mengingat saya juga termasuk anak muda. Namun, setelah saya pikir dengan cermat, apa yang ia ucapkan itu memang betul.

Seiring dengan evolusi ruang tamu, di luar telah berkelindan laju perubahan cara bertamu yang bermutasi dari rumah ke kafe-kafe. Titik magnetis spirit bertamu di kafe-kafe sebenarnya tetap sama dengan yang di beranda, yaitu adanya faktor kebiasaan ngopi. Ya, lagi-lagi perihal kopi. 

Mutasi hasrat bertamu dari beranda ke kafe-kafe sebenarnya masih tergolong perubahan evolusi yang wajar. Meski dalam satu sisi sedikit merenggangkan kekariban esensial yang kulturnya diwariskan melalui aktivitas moy-tamoyan di beranda, tetapi bertamu di kafe masih melangsungkan sua jasad yang saling berinteraksi secara tatap muka dan melibatkan komunikasi langsung, sehingga interaksi psikologis masih lebih kuat terbangun. 

Lantas bagaimana dengan evolusi hasrat bertamu generasi Alpha di masa depan? Bisa dimungkinkan layar gawai bakal jadi ruang tamu virtual, kopi sudah malih wujud ke bentuk yang artifisial, dan keakraban akan mewujud dalam takar yang semi, semu, bahkan mungkin maya. Dan saat itulah beranda bakal jadi artefak masa lalu yang abadi dalam folder historis—yang mungkin dirindukan atau malah mungkin ditertawakan. Sebab, pada galibnya, masing-masing zaman memiliki eksistensi dan konstruksi etika tertentu yang tidak statis.

Setelah obrolan dirasa cukup, saya sengaja mengajak ibu untuk pulang dengan alasan tertentu. Sebab, obrolan ibu bagai kapal yang tak kunjung menemukan dermaga, terus berlanjut dan berlanjut. Etika tamu adalah tahu diri; siapa tahu tuan rumah masih ada acara, tamu tak boleh terlalu lama agar rencana tuan rumah tak terganggu.


Referensi:

Ma’arif. (2015). The History of Madura. Yogyakarta: Araska.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Beranda, Kopi, dan Etika Bertamu Masyarakat Sumenep appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/beranda-kopi-etika-bertamu-masyarakat-sumenep/feed/ 0 45881
Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (1) https://telusuri.id/dari-bali-ke-banggai-1/ https://telusuri.id/dari-bali-ke-banggai-1/#comments Wed, 05 Feb 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45529 Saya selalu terpikat dengan kisah-kisah menarik yang hidup di setiap sudut negeri ini. Berbekal latar belakang di bidang kesehatan masyarakat, saya punya mimpi sederhana, tetapi besar, untuk dapat memahami lebih dalam tentang pelayanan kesehatan dasar...

The post Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Saya selalu terpikat dengan kisah-kisah menarik yang hidup di setiap sudut negeri ini. Berbekal latar belakang di bidang kesehatan masyarakat, saya punya mimpi sederhana, tetapi besar, untuk dapat memahami lebih dalam tentang pelayanan kesehatan dasar di tempat-tempat yang acap luput dari perhatian.

Kali ini, langkah kaki membawa saya melintasi pulau-pulau di bagian tengah hingga timur Indonesia. Mulai dari Bali, Maluku, sampai Sulawesi. Perjalanan ini adalah upaya saya pribadi menyelami kehidupan di daerah-daerah yang jauh dari ingar-bingar kota. Saya ingin menggali seberapa jauh pelayanan kesehatan dasar dapat menyentuh masyarakat di pulau-pulau terpencil dan terluar, sembari memahami dinamika budaya lokal dan tantangan lingkungan.

Setiap tempat yang saya kunjungi memiliki realitas berbeda. Namun, benang merahnya sama, yakni tantangan aksesibilitas. Pulau-pulau terluar dan terpencil sering kekurangan dokter dan tenaga medis, yang menyebabkan masyarakat harus menempuh perjalanan jauh untuk mendapatkan perawatan medis, terutama dokter spesialis. Minimnya pilihan transportasi medis darurat juga menjadi hambatan besar bagi masyarakat yang ingin berobat. 

Bagi saya, ini bukan sekadar catatan perjalanan, melainkan upaya kecil untuk membawa suara dari mereka yang jauh, tetapi sangat dekat di hati.

Warna-warni kapal nelayan di pesisir pantai utara Bali/Hera Ledy Melindo

Menyisir Pesisir Utara Pulau Bali

Pagi itu, saya berdiri di pantai dan bersiap dengan tas ransel yang terasa berat. Namun, rasa keingintahuan saya jauh lebih besar. Perjalanan pertama kali ini membawa saya ke dua daerah pesisir utara Buleleng. Saya ingin melihat bagaimana masyarakat di sana menjalani kehidupan mereka, khususnya berkaitan dengan kesehatan dan lingkungan yang sering menjadi tantangan di daerah terpencil.

Setibanya di Desa Kayu Buntil Barat, angin laut menyambut saya dengan lembut. Di balik panorama pantai yang memukau, saya mulai melihat tantangan yang dihadapi masyarakat. Saat berbincang dengan Pak Made, seorang warga setempat, ia menunjukkan drainase yang langsung mengalir ke pantai.

“Malaria sering menyerang di sini, apalagi waktu musim hujan,” kata Pak Made menunjuk genangan air di sekitar rumahnya. Bekas gigitan nyamuk di lengannya menjadi saksi nyata perjuangan mereka melawan penyakit ini.

“Kalau sakit, biasanya bagaimana, Pak?” tanya saya penasaran.

“Banyak yang tidak punya BPJS atau Kartu Indonesia Sehat (KIS). Jadi, kalau sakit, ya, [baru] panggil bidan kalau sudah parah. Biayanya Rp50.000 sehari,” jawabnya.

Ia tampak pasrah, tetapi ada rasa bangga saat bercerita tentang puskesmas setempat yang aktif memberikan penyuluhan dan melakukan fogging jika ada laporan demam berdarah. Percakapan kami berakhir di tepi pantai, diiringi deburan ombak. Dari Pak Made, saya belajar tentang ketangguhan dan usaha mereka tetap bertahan meski dalam keterbatasan.

Momen diskusi seputar kesehatan dengan nelayan-nelayan Kayu Buntil Barat dan Celuk Buluh/Adipatra Kenaro Wicaksana & Hera Ledy Melindo

Hari berikutnya, saya melanjutkan perjalanan ke Desa Celuk Buluh. Suasana terasa berbeda. Drainase yang lebih baik, air bersih dari PDAM, dan jamban di setiap rumah menunjukkan kondisi kesehatan lingkungan yang lebih baik dibanding Kayu Buntil Barat. Masyarakat mendapatkan kebutuhan pangan sehari-hari di pasar yang hanya berjarak satu kilometer dari desa.

Di sini saya bertemu Pak Ketut, seorang nelayan yang tengah bersiap melaut. Ia bercerita tentang tradisi unik warga sebelum melaut.

“Sebelum berlayar, kami minum jamu dari kunyit, jahe, dan ayam kampung. Ini untuk stamina, biar kuat di laut,” katanya sambil tersenyum. Saya tertawa kecil, kagum dengan tradisi yang masih bertahan di tengah modernitas. Namun, kehidupan nelayan tidak selalu mulus. “Kalau musim paceklik, kami kerja serabutan, kadang jadi kuli bangunan,” tambahnya. 

Tidak hanya tentang kesehatan, masyarakat Celuk Buluh juga peduli terhadap lingkungan. Tempat pengelolaan sampah reduce, reuse, dan recycle (TPS3R) baru saja dibangun di desa tersebut. Meski belum sepenuhnya beroperasi, fasilitas ini menjadi simbol harapan bagi pengelolaan sampah yang lebih baik.

“Tempat ini bisa menampung hingga 20 ton sampah. Harapannya, desa kami jadi lebih bersih,” ujar seorang petugas yang saya temui.

  • Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (1)
  • Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (1)

Cerita Nelayan hingga Pangan Lokal di Pangkajene Kepulauan

Langkah berikutnya membawa saya ke pesisir barat Sulawesi Selatan. Saya bergerak dari kemegahan tradisi Hindu Pulau Dewata menuju kehidupan sederhana di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep).

Perjalanan membelah laut ini tak hanya tentang keindahan, tetapi juga kenyataan hidup yang keras. Kapal kayu sederhana menjadi satu-satunya alat transportasi menuju Desa Sailus, Kecamatan Liukang Tangaya. Ombak membelai halus perahu, tetapi di kejauhan, langit mendung seakan menjadi pengingat.

Di Desa Sailus, saya bertemu dengan Pak Ali, seorang nelayan yang sedang menyiapkan jaring. “Kami di sini makan apa yang ada, biasanya ikan layang atau makanan sederhana seperti sabal,” katanya sambil tersenyum. Sabal adalah pangan lokal tradisional khas Pangkep yang dibuat dari kelapa parut dan nasi.

Di Pulau Sailus, warga biasa mengolah sabal, pangan lokal khas Pangkep (kiri) dan memilah ikan-ikan hasil tangkapan nelayan untuk makanan sehari-hari/Adipatra Kenaro Wicaksana

Cerita Pak Ali membawa saya ke sisi lain dari kehidupan masyarakat setempat. “Kalau ingin makan daging, harus pesan dari Sumbawa,” lanjutnya, menekankan sulitnya akses pangan di wilayah ini. Jarak ke Sumbawa, Nusa Tenggara Barat memang jauh lebih dekat daripada pusat pemerintahan Pangkep.

Dalam sebuah kunjungan ke Puskesmas Sailus, saya berbincang dengan salah satu petugas kesehatan. Ia menjelaskan bahwa fasilitas di sana sangat terbatas. “Kami hanya punya dua genset untuk listrik, dan ambulans roda tiga yang sering rusak,” keluhnya. Ia juga menyebutkan bahwa pembangunan rumah sakit sedang berjalan, tetapi lokasinya jauh dari permukiman utama, menyulitkan akses bagi masyarakat apabila ingin berobat.

Percakapan dengan warga dan kader kesehatan memberikan gambaran lebih jelas tentang tantangan di Pulau Sailus. Kasus stunting, yang masih menjadi momok, tampak seperti rahasia yang sulit terungkap. “Puskesmas jarang sekali melakukan penyuluhan. Kalau posyandu, paling hanya empat bulan [dalam] setahun,” ungkap seorang kader kesehatan dari Desa Sailus yang terlihat lelah, tetapi masih semangat berbagi cerita.

Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (1)
Kondisi tempat pelayanan kesehatan Pulau Sailus/Adipatra Kenaro Wicaksana

Di pesisir pantai, sampah plastik mengotori permukaan pasir putih. Beberapa pemuda setempat, yang sedang duduk santai, berbicara tentang kebiasaan masyarakat yang masih membuang sampah ke laut. 

“Kadang kami tidak punya pilihan,” katanya, seolah meminta pengertian. Hal ini menjadi pengingat nyata bahwa perubahan perilaku membutuhkan lebih dari sekadar ajakan. Dibutuhkan fasilitas dan edukasi yang berkelanjutan.

Mereka melanjutkan cerita tentang harapan di masa depan. “Saya berharap ada program beasiswa dari desa. Beberapa teman ada yang bercita-cita kuliah jadi apoteker atau guru, karena di sini sangat kurang [orang dengan] profesi tersebut,” ujar seorang pemuda yang saya ajak berdialog. 

Meski tantangan besar masih ada, asa untuk perubahan tampak nyata dalam semangat mereka. Dari sabal yang sederhana hingga perjuangan mengatasi stunting, masyarakat di pulau kecil Sailus mengajarkan perjuangan mereka untuk bertahan dan berkembang di tengah keterbatasan. 

Dari pulau terpencil di Pangkep, saya melanjutkan langkah ke Pulau Sapeken. Pulau di ujung timur Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur.

Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (1)
Pantai pasir putih di Sailus yang sayangnya banyak dijumpai sampah anorganik/Adipatra Kenaro Wicaksana

Melihat Sapeken dari Kacamata Kesehatan

Perjalanan di Pulau Sapeken sebelumnya telah saya ceritakan secara lengkap di TelusuRI dengan judul Sapeken: Pulau Kecil dengan Kisah Besar di Timur Madura. Singkatnya, Sapeken adalah gambaran nyata perjuangan masyarakat kepulauan dalam menjaga kesehatan di tengah keterbatasan.

Di puskesmas utama, saya mendapati permasalahan kesehatan yang mencuat berupa dominasi penyakit-penyakit kronis, seperti stroke, asam lambung, dan kolesterol. Disentri dan tifoid juga menjadi ancaman yang terus muncul. Meski angka stunting relatif rendah, sulitnya akses pangan bergizi, khususnya daging-dagingan, menjadi tantangan tersendiri.

Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (1)
Layanan kesehatan bergerak di atas kapal Gandha Nusantara 02 yang berlabuh di Sapeken/Adipatra Kenaro Wicaksana

Satu satunya harapan adalah pelayanan kesehatan bergerak yang hanya datang empat kali dalam setahun, terutama untuk operasi kecil dan kontrol penyakit. Namun, itu belum cukup. Minimnya fasilitas, kebiasaan membuang sampah ke laut, serta keterbatasan tenaga kesehatan menambah kompleksitas masalah di pulau ini.

Sapeken adalah potret sebuah perjuangan untuk bertahan hidup. Di pulau kecil ini, Sapeken menyimpan kisah-kisah besar penuh kesederhanaan.

(Bersambung)


Terima kasih kepada Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB University (PKSPL IPB) dan Bapak Dadang Herdiansyah, SKM., M.Epid., selaku Tenaga Ahli Kesehatan Masyarakat yang telah memberikan kesempatan saya untuk menjelajahi potret kesehatan dasar di pulau-pulau kecil di Indonesia.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/dari-bali-ke-banggai-1/feed/ 1 45529
Gastrosensori Sumenep: Seberapa Otoriter Masak Pae dan Cake? (2) https://telusuri.id/gastrosensori-sumenep-seberapa-otoriter-masak-pae-dan-cake-2/ https://telusuri.id/gastrosensori-sumenep-seberapa-otoriter-masak-pae-dan-cake-2/#respond Thu, 30 Jan 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45489 Seonggok kue kentang digenangi kuah merah kental dengan bermacam olahan; saya belum mencoba satu per satu. Namun, setelah saya bedah, saya melihat ada potongan daging sapi, lidah sapi, ampela, kubis, dan wortel, mengingatkan saya dengan...

The post Gastrosensori Sumenep: Seberapa Otoriter Masak Pae dan Cake? (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Seonggok kue kentang digenangi kuah merah kental dengan bermacam olahan; saya belum mencoba satu per satu. Namun, setelah saya bedah, saya melihat ada potongan daging sapi, lidah sapi, ampela, kubis, dan wortel, mengingatkan saya dengan sayuran capcai—yang lebih serampangan dibandingkan kuah masak pae. Bau kentang memahkotai segala aroma di piring saya.

Sangarnya bau kentang, ternyata, setelah saya cecap tidak membunuh rasa-rasa lain yang merangkulnya. Masak pae kiranya sering kena fitnah karena wujudnya menyamai kuah capcai. Saya juga awalnya menstigma sebelum mencicipinya. Kuah masak pae, bagai langit dan bumi, berbeda dengan capcai. Kaldu sapi mencubit titik mulut di mana liur terbit. Ia tidak menendang, cenderung kalem seperti malaikat pencabut nyawa yang datang tanpa diketahui, mengagetkan, dan pasti. Padahal dari awal saya menyangka paling ini rasanya kentang doang. Dan, sebagaimana menghadapi malaikat pencabut nyawa, alih-alih protes atau banyak tanya, orang umumnya bakal kehilangan kata-kata.

Kaldu sapi, saat itu saya langsung memijat kepala yang tidak pusing, membuat saya keblinger dengan matematika perbumbuan Sumenep karena kaldu itu berdansa dengan wortel dan kubis. Kubis mungkin tidak akan seaneh itu dengan kaldu sapi, mengingat biasanya kubis juga mengambang di kuah rawon, tapi wortel, tak pernah terbayangkan bagi saya sebelumnya. Bukan berarti antara kaldu sapi, wortel, dan kubis saling adu belati di lidah, ketiganya menyatu di lidah saya. 

Detail irisan masak pae dengan rasa yang seimbang/Putriyana Asmarani

Rasa yang Presisi

A mengamati saya bukan seperti ilmuwan pada mencit, atau anak haram tertua Usher (The Fall of The House of Usher) pada kera percobaan. Seperti Prometheus saat menghidangkan sapi panggang pada Zeus, Prometheus mengamati perubahan wajah Zeus dengan saksama, sebab ia mengibuli Sang Ilah. Tatapan A juga jeli laiknya perempuan psikopat Julia Jayne yang menyeduh teh buat bahan ritual pagan (The Midnight Club).

A menyantap hidangannya, matanya awas, akhirnya keluarlah kalimat sakti itu: “Gimana rasanya?”

“Diam dulu kau,” tanggapku. Kalaupun Franz Kafka nongol saat itu buat mengajak saya kencan, saya akan mencampakkannya. A tak terkecuali.

Rasanya seperti Siddhartha saat meditasinya beres, ia kembali segar dan dengan itu merumuskan penciptaan dan kemanusiaan. Saya menemukan presisi rasa yang matematis dan imbang.

Kuah kaldu sapi yang meriah netral dicerna dengan kue kentang. Irisan daging tidak terlalu menonjol, tidak arogan di atas piring meskipun itu yang bikin masak pae mahal. Daging tidak dipotong gendut kotak seperti dadu, apalagi tipis ceper tak berbentuk seperti kuah-kuah daging pada umumnya. Daging dipotong persegi panjang sebagaimana wortel.

Kalau dilihat-lihat, piring ini seperti orbit tata surya, meskipun Saturnus bercincin, semua planet pada dasarnya bundar. Tidak ada pola yang ingkar, tidak ada rasa yang dominan sehingga membunuh rasa lainnya. Cake tidak asal cemplung, penciptaan semesta juga tidak asal taruh. Saya tidak bisa mengampuni diri sendiri setelah berkata, “Paling ini kayak capcai rasanya.”

“Jadi, gimana rasanya?” A mengulangi. Kalau saya menyuruhnya diam di saat ia menggenggam garpu, itu artinya saya cari mati. Jadi, saya harus menjawabnya.

“Rasanya kayak … reinkarnasi, binasa lalu diciptakan kembali.” 

Eksperimen perpaduan rasa cake yang tampilannya mirip capcai/Putriyana Asmarani

Cake yang Cendekia

Masak pae menjadi dosa akhir tahun yang tak terampuni, terutama setelah saya membandingkannya dengan capcai. Meskipun begitu, saya masih belum insaf. Saya keras kepala, mungkin ini menjadi alasan mengapa dongeng lisan kebanyakan menghukum orang keras kepala. Dilihat dari bentuknya, cake terlihat lebih capcai dari masak pae. Alasan saya menyantap masak pae dulu setelah itu melirik cake, adalah saya yakin cake rasanya sangat capcai, kesimpulannya, cake bisa menyulut emosi. 

Masalahnya, dengan menjadikan masak pae santapan pertama, itu berarti saya mengubur kesan masak pae dengan cake yang rasanya sesuai prediksi BMKG. Masak pae yang mengesankan hanya akan menjadi Minggu malam yang tak lagi menarik bagi Senin pagi. Saya menyingkirkan piring masak pae yang tandas dengan melankolis seperti cara Richard II melepaskan takhta untuk diduduki Henry Bolingbroke: singkat, padat, ngenes.

Lesu saya melihat ada potongan kembang kol, wortel, sawi, dan komposisi mirip capcai lainnya. Sangat mirip, hanya saja tidak ada irisan pentol dan sosis. Yang membuat cake tidak bisa disebut capcai adalah ada irisan tipis bacon halal dari daging entah apa, tahu goreng, dan taburan keripik kentang. Kuah cake, setelah saya obok-obok, tidak sekental masak pae. Betul, secepat ini orang bikin dosa besar setelah insaf beberapa detik yang lalu, “Ini, mah, capcai banget.”

A banting setir, ia mengganti strategi perangnya yang tadinya Lao Tzu banget, sekarang ala Seneca. Itu berarti, demi mensyukuri realita yang akan datang, orang harus merespons dengan kemungkinan terburuk, “Kan, bentuknya memang capcai banget,” katanya dengan senyum jahil. 

Untuk menghadapi hidangan tertentu, saya sama psikopatnya dengan Fernandez, kucing kompleks selingkuhan Siti, yang meneliti bahkan mempermainkan buruan, membunuh mencit perlahan sampai binatang itu tandas. Pertama, saya mencicipi kuah. Kedua, saya sandingkan irisan bacon dengan wortel, selanjutnya wortel, tahu, dan keripik kentang, begitu seterusnya sampai semua bahan berdesakan dalam satu sendok makan. Saya penasaran struktur komposisi apa yang timpang atau imbang saat bersanding, bahan apa yang tidak terasa signifikan tapi justru itu menjadi penyempurna, dan seterusnya.

Tekstur capcai agak berlendir, barangkali ulah maizena. Yang berlendir itu memandikan potongan kembang kol dan brokoli yang kerap dipotong asal. Kuah yang sedap dari capcay biasanya tidak terbit dari saripati bahan yang berkelindan bersama, karena itu, rasa sedap kuah, musnah ketika sayur irisan tebal dikunyah. Ketika makan capcai mulut saya seolah berada di medan laga, rasa apa yang menang, rasa apa yang kalah. Cake, lagi-lagi saya khilaf, bukan saudara kembar capcai. Maka dari itu, saya tak layak mendapatkan pengampunan warga Sumenep.

Alasan legit kenapa tahu goreng (bukan tahu godok) meringkuk di antara tumpukan bahan lainnya, menurut saya tahu goreng lebih berpori dibandingkan tahu godok, sehingga dalam komposisi ini, tahu goreng punya kontribusi untuk menadah rasa, bukan menyimpang rasa. Orang Sumenep kiranya cukup brilian untuk memilih tahu goreng, karena menonjolkan bahwa yang dimakan saat ini adalah tahu cake, bukan tahu biasa. Tentunya, tahu godok cenderung menetralkan rasa dan membawa kesan akhir yang akan terbatas pada ‘sekadar tahu’. Sebab, ia tak terlalu berpori untuk menyerap gugus rasa atau merembeskan saripatinya pada makanan.

Kembang kol, bagi saya, adalah bahan paling keras kepala. Bahan ini cenderung mencolok, mau digeprek berlumur sambal tomat, atau bahkan dihantam sambal bawang yang menjenuhi hidung, kembang kol tidak akan mati rasa. Jadi, memasukkan kembang kol dalam rangkaian komposisi cake, sama seperti merekrut anggota radikal ketika regu ini didominasi fundamentalis. Meskipun hanya terdapat lima iris kembang kol, anggota radikal ini bisa saja merevolusi hidangan satu piring.

Anehnya, kembang kol takluk di bawah kekuasaan cake. Khusus soal hidangan, saya selalu terkesan dengan santapan otoriter. Semakin otoriter, semakin cendekia wajah kuliner. Kalau tidak otoriter begini, saya bisa beli kembang kol sendiri, merebusnya sendiri, dan seterusnya. Kembang kol di cake, menjadi siluman yang hampir tak dikenali di lidah saya.

Saya mesem. A mengangguk-angguk. Siapa sangka strategi distopia Seneca bisa bekerja di industri makanan semacam ini. Saya menandaskan cake seperti anak SMA yang lagi kasmaran. Saya suka cake yang tidak terlalu berlendir, ia pekat karena rempah dan lagi-lagi menggunakan kaldu ayam, bukan sayuran yang diguyur air tawar seperti capcai.

Kalau dibandingkan antara masak pae dan cake, masak pae juaranya. Mungkin karena tekstur lembut kentang memulihkan tendangan kuah yang pekat akan kaldu dan rempah, kelembutan ini hadir sebagai penyeimbang yang jitu. Kentang di cake hadir sebagai taburan gorengan, memberi kesan gurih yang melatari semangkuk komposisi basah, sehingga taburan kentang goreng ini cenderung kalah. 

Tidak banyak pertentangan sensasi rasa ketika dan pascamakan masak pae dan cake. Karena saya pemuja hidangan otoriter, tentunya masak pae sangat Napoleonik. Permisi, bisa jadi Joseph Stalin minder melihat otoritarianisme bekerja dalam semangkuk masak pae. Intinya, saya cengar-cengir meninggalkan Resto Amanis, saya yang tadinya sudah sekacau usai gempa tektonik berubah menjadi kuntilanak di musim semi yang memetik sekuntum mawar merah buat genderuwo yang ia cintai.

Gimana dengan pakta gak-akan-balikMadura yang kau bikin kemarin sore itu?” A bertanya. Sebab, sesungguhnya ia tahu jawabannya, A berhasil. 

“Gawat, aku harus hidup. Aku tak bisa pastikan, nanti kalau sudah tewas, koki di surga bisa bikinin aku masak pae dan cake, atau enggak.”

“Hiduplah, lagian … belum tentu kamu masuk surga!”


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Gastrosensori Sumenep: Seberapa Otoriter Masak Pae dan Cake? (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/gastrosensori-sumenep-seberapa-otoriter-masak-pae-dan-cake-2/feed/ 0 45489
Gastrosensori Sumenep: Seberapa Otoriter Masak Pae dan Cake? (1) https://telusuri.id/gastrosensori-sumenep-seberapa-otoriter-masak-pae-dan-cake-1/ https://telusuri.id/gastrosensori-sumenep-seberapa-otoriter-masak-pae-dan-cake-1/#respond Wed, 29 Jan 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45476 Tentu saja bakal nongol di kepala, kiranya kudapan istimewa macam apa yang enaknya di makan siang hari kalau sore mau kiamat. Mari kita pikirkan bersama. ‘Cecunguk laknat’ (istilah untuk babu atau orang kere sebagaimana John...

The post Gastrosensori Sumenep: Seberapa Otoriter Masak Pae dan Cake? (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Tentu saja bakal nongol di kepala, kiranya kudapan istimewa macam apa yang enaknya di makan siang hari kalau sore mau kiamat. Mari kita pikirkan bersama.

‘Cecunguk laknat’ (istilah untuk babu atau orang kere sebagaimana John Steinbeck Tikus dan Manusia menjabarkan) tak bakal kebagian Henry IV Dudognon Heritage Cognac Grande Champagne barang seciprat. Jangankan percikannya, nonton konyak ini dilelang, kalau dituang warnanya kayak apa, tak bakal tahu. Bukan konon katanya, diproduksi sejak 1776, disegel selama lebih dari seratus tahun, botol berlapis emas 18 karat, bercokol 4.100 mata berlian, dilelang seharga empat belas juta euro. Jangankan momen kelahiran, ternyata sampai kiamat nanti, orang kere hanya akan bisa memandangi orang bakir ongkang-ongkang minum konyak dengan pemandangan gunung meledak.

Esai ini tidak akan bahas konyak. Sebagai gantinya masak pae dan cake, semacam kudapan pengganjal perut yang kalau dipikir-pikir, okelah kiranya saya rekomendasikan pada raja-ratu seantero Madura yang dikebumikan di Asta Tinggi untuk bangkit dari kubur demi mencicipinya.

Gastrosensori Sumenep: Seberapa Otoriter Masak Pae dan Cake? (1)
Kompleks Keraton Sumenep/Putriyana Asmarani

Ajakan Mencoba Masak Pae dan Cake

Satu peleton satan yang mengisi sudut-sudut remang di bantaran kebun siwalan kota Sumenep saat itu tak bakal kaget kalau ada orang macam saya bermuram durja di tanggal tragis 13 Desember 2024. Angka tiga belas di akhir tahun, waktu yang tepat untuk menyudahi segala, tak yakin ada rebirth apalagi transformasi seperti yang diharapkan Nietzsche (bagian death of the self dalam karya Thus Spoke Zarathustra). Namun, sahabat saya A (inisial sebab saya menyayanginya dan di esai ini ada kemungkinan saya akan menodainya, he-he) sejak subuh yang basah sebab hujan memilih geram dan garang, yakin kalau saya secara simbolik (pinjam istilah ‘symbolic death’ Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness) sudah binasa. 

Dalam keadaan lantak, A menceletuk, “Kamu harus nyobain campor!“

Mungkin baginya saya terlihat darurat. Butuh pertolongan pertama. Saya tak lupa pernah dengar ini dari mana, tapi senjata satu-satunya yang paling ampuh untuk melelehkan orang keras kepala adalah dengan menyenangkan perutnya. Saat itu saya sedang membalik-balik halaman disertasi Seno Gumira Ajidarma Panji Tengkorak: Kebudayaan dalam Perbincangan dengan tatapan kosong melompong. Seolah Dajjal sudah lolos dari jeruji, lalu nangkring di pundak saya, badan saya gampang oleng sebab bumi yang saya pijak tengah gonjang-ganjing, mungkin itu yang dilihat A. 

“Madura begitu kejam padamu, baik delapan tahun yang lalu saat kau bertandang ke Pulau Bawean, berak di atas lubang jamban, sangat purba dan setelah itu kau tak berak selama tujuh hari, sekarang…,” A berhenti sejenak tanpa bernapas laiknya saktah dan dunia tak seribet ilmu tajwid, menyadari mungkin saya tak tertolong saat ini. Ia menutup kalimatnya dengan, “Madura masih kejam padamu.” 

“Kalau warungnya tutup gimana? Mengingat ini hari Jumat dan warga Sumenep adalah kaum beriman?”

“Kita dobrak sama-sama, kita pakai kekerasan,” tanggap A, lalu ia merevisi, “ada juga pilihan lain, namanya masak pae dan cake, kalau ditimbang-timbang daripada campor karena mukamu itu sudah sekacau tsunami, masak pae dan cake kayaknya pas untuk situasi gawat. Dengan begitu, kau bisa menghadapi bencana dengan elegan.”

Mengingat sebelum berangkat perang seorang kesatria harus memilih tunggangan terbaiknya, saya nyengir membayangkan masak pae dan cake. Lagi pula, keadaan saya jauh lebih buruk dari Perang Anglo-Zulu, dengan kekuatan militer seadanya Zulu tetap melawan, mereka tahu bakal kalah menghadapi pertempuran ini. Saya tak punya optimisme. Zulu masih ada harapan kemenangan, saya berangkat untuk kalah.

Namun, A cukup berhasil. Pikiran saya yang suntuk kemelut tiba-tiba terbentang layar baru, imaji bentuk makanan semarak muncul, warna-warni santapan meriah berletupan laiknya kembang api, wanginya pun juga ikut terbayang. Bodo amat kalau tak minum konyak empat belas juta euro atau mengemut kue daulat yang hanya disajikan saat upacara pemberkahan Yang Dipertuan Agong.

Selama perjalanan, sekitar setengah jam dari Guluk-Guluk ke area Alun-alun Sumenep, A mendaras berjibun jenis makanan. Awalnya ia gigih spoiler soal campor, saya bersikukuh campor mirip soto hanya saja kecambahnya digoreng. Di titik tertentu saya memang kerap menguras kesabaran A, saya selalu berpikir kuliner Madura tak bakal menyingkur dari kuliner Jawa Timur. Malah, saya sok berpendapat kalau kuliner Madura ngikut-ngikut pola kuliner Jawa Timur.

Dari kiri ke kanan: tampilan campor yang mirip soto, sepiring bulud, dan isian sambal bulud/Dokumentasi A

Hal ini berlanjut ketika A membahas kudapan bulud. Saya bilang itu seperti lemper, kalau lemper isi daging ayam pakai beras ketan, bulud pakai beras punel biasa, luarnya digoreng, isiannya sambal. Pada akhirnya saya masih mengajak A baku hantam, bulud adalah lemper versi anarkis. 

A masih berperikemanusiaan yang meskipun kadang-kadang adil, ia cukup beradab, kalau tidak saya pasti sudah menelantarkan saya di tambak udang. Mau se-anarkis apa pun bulud, ia tidak bisa disebut lemper. Bulud memang kudapan orang kere, bukan berarti saya berhak mengatainya. A mengaduk isi galeri, lalu memberi saya gambaran nyata versi ia bikin sendiri dan versi yang biasa dijual di pinggir jalan. Kehidupan ini memang sebuah arus, ada hulu, ada hilir. Bukan berarti bulud hanyut begitu saja mengikuti pamor lemper, tapi bulud adalah bulud, lemper adalah lemper, titik. Begitulah, kesimpulan ini digertak dengan semburan platonik. 

Dari omelan itu, A cukup patriotik untuk mengatakan, “Dan meskipun kau pulang nanti membawa cendera mata nestapa, kujamin kamu bakal kangen Sumenep.”

“Kangen tragedinya?” Saya memotongnya dengan nyeri. 

“Kangen masak pae dan cake. Cintailah makanan, meskipun nantinya cuma jadi tinja. Allah lebih senang berfirman dengan menyebut sungai madu dan susu berkali-kali di kitab suci daripada mengumbar janji ketemu cowok ganteng di surga nanti.”

Seporsi cake (kiri) dan masak pae khas Sumenep/Putriyana Asmarani

Kesan Pertama

A benar. A harus menjadi orang bener sebab kawannya enggak bener. Ini bukannya terdengar seperti beban, tetapi memang beban betulan. Kami tiba di jam paling terik hari itu. Musim di Madura tampaknya gampang move on, tiba-tiba gerah seolah hujan yang beringas subuh tadi tidak terjadi sama sekali.

Resto Amanis megah rebah di Jl. KH. Wahid Hasyim No. 51, Sumenep. Sebetulnya saya mengira A akan cari warung pinggir jalan, mengingat kami berdua adalah sejenis manusia yang hemat pangkal selalu miskin. Namun, saya yakin A punya alasannya sendiri, salah satunya karena penampakan saya yang sudah tak bisa dibedakan dengan banjir bandang. Ia tak bakal tega membuat saya makan diasapi rokok dari pengunjung warung pinggiran. Mungkin dalam hatinya sudah terpahat wacana, “Mampuslah dengan cara paling megah.”

Setelah itu saya meletakkan takdir di telapak tangan A. Ia dengan gesit mempelajari buku menu, gayanya seperti ibu negara. Kelakuan ini sangat A, mengingat kawannya sudah lebih remuk dari rengginang lorjuk kena bogem Hulk, hanya dengan satu tarikan napas ia siap pesan ini-itu, lengkap dengan minuman dan porsi tambahan untuk dibawa pulang. Ini pekerjaan magis, tak semua orang bisa sakti begini. Kalau ditanya mau ngapain A sepuluh tahun mendatang, ia sudah menemukan jawabannya setelah berkedip sekali. 

“Waduh, ini di luar prediksi BMKG,” ungkap A setelah pesanan terhidang. “Biasanya masak pae dan cake itu jadi sepiring. Tapi kok ini dipisah?” A melirik saya, tampak khawatir jangan-jangan bakal tak sesuai dengan harapannya. 

Di muka bumi ini, saya tak tahu insan penyabar selain A, tetapi itu bukan berarti orang bisa dengan enteng cari gara-gara dengannya. A bisa saja menendang Mars keluar dari orbitnya kalau ada orang menjahilinya. Untungnya, saat itu kami kelaparan sebab sebelumnya jalan-jalan mengunjungi beberapa tempat, kami hanya saling pandang sebentar merespons dua piring, saking laparnya kami bisa saja menggerogoti meja dan kursi, jadi makanan yang kami hadapi segera menghadapi eksekusi. 

Nafsu hewani sebab lapar teramat, baru kali ini, tidak menjadikan saya seperti kucing kompleks bernama Siti yang menggasak curut got dengan membabi-buta. Tiba-tiba ada semacam rem cakram, dengan perlentenya saya menciduk kuah lalu menyesapnya seperti adegan romansa berkelas. Sebentar kemudian saya tertegun.

Piring pertama, masak pae, bermuatan sepotong kue kentang yang sudah dihaluskan dan dipanggang dengan suhu entahlah, karena terlihat garing di atas tapi tidak gosong di bagian bawah. Dua cabe rawit tergeletak di permukaan kue kentang. Kalau dilihat-lihat keduanya terlalu mencolok untuk rebah begitu saja di atasnya. Namun, dengan begitu kue kentang terlihat lebih berwarna seperti sepetak pasar malam di hamparan padang pasir.

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Gastrosensori Sumenep: Seberapa Otoriter Masak Pae dan Cake? (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/gastrosensori-sumenep-seberapa-otoriter-masak-pae-dan-cake-1/feed/ 0 45476
Keraton Sumenep dan Salam Bayi dalam Kandungan https://telusuri.id/keraton-sumenep-dan-salam-bayi-dalam-kandungan/ https://telusuri.id/keraton-sumenep-dan-salam-bayi-dalam-kandungan/#comments Tue, 28 Jan 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45464 Berkunjung ke Museum Keraton Sumenep seperti kembali ke masa lampau. Meski aku bukan pelaku sejarah, setidaknya aku sedikit tahu bagaimana keadaan Sumenep pada zaman kerajaan. Kompleks bangunan ini mulanya Keraton Sumenep yang dialihfungsikan sebagai museum....

The post Keraton Sumenep dan Salam Bayi dalam Kandungan appeared first on TelusuRI.

]]>
Berkunjung ke Museum Keraton Sumenep seperti kembali ke masa lampau. Meski aku bukan pelaku sejarah, setidaknya aku sedikit tahu bagaimana keadaan Sumenep pada zaman kerajaan. Kompleks bangunan ini mulanya Keraton Sumenep yang dialihfungsikan sebagai museum. Berada di sebelah timur Taman Bunga Sumenep, tarif masuk yang dipatok pun terjangkau, yaitu enam ribu rupiah untuk anak-anak dan sepuluh ribu rupiah untuk dewasa.

Senin pagi (7//1/2025) aku, David, dan Ibna mengunjungi situs bersejarah itu. Kami melihat, mengamati, bertanya, dan mengabadikan beberapa momen di tempat yang menyimpan barang-barang berharga, yang kini jadi pajangan sekaligus saksi tanah Sumenep berada di tangan-tangan raja.

Museum Keraton Sumenep dibagi menjadi beberapa bagian. Ada yang boleh dikunjungi, ada juga titik-titik lain yang hanya terbuka untuk orang-orang tertentu, semisal tamu bupati. Di titik pertama, aku disambut foto raja-raja Sumenep. Aku menatap satu per satu dengan saksama lalu berhenti di foto Bindara Saud, raja ke-30 Sumenep yang memerintah selama 1750–1762.

  • Keraton Sumenep dan Salam Bayi dalam Kandungan
  • Keraton Sumenep dan Salam Bayi dalam Kandungan

Secuil Ingatan Raja-raja Sumenep di Masa Kecil

Di kompleks pertama yang bangunannya berseberangan dengan keraton, sang pemandu menjelaskan kisah raja-raja Sumenep serta berapa lama mereka berkuasa. Salah satu yang membuatku berdecak kagum adalah keberadaan kereta kencana My Lord yang didapat dari Sir Thomas Stamford Raffles. Menurut sang pemandu, kereta itu diberikan sebagai tanda terima kasih kepada Sultan Abdurrahman (Sultan Pakunataningrat) karena bersedia menerjemahkan naskah berbahasa Sansekerta ke bahasa Inggris.

Kereta tersebut berdiri gagah di atas karpet merah. Setiap kerangkanya masih kokoh seakan menunjukkan bahwa sejarah tidak akan pernah lapuk ditelan zaman. Selain My Lord, ruangan tersebut rupanya juga dipenuhi dengan beberapa benda berharga, seperti satu set kursi dan meja marmer dari Eropa yang ditaksir peninggalan abad XVIII. Tak jauh dari pintu masuk, sebuah mushaf Alquran terpajang dalam kaca. Menariknya, Alquran tersebut ditulis tangan dalam kurun waktu enam bulan dan memiliki panjang empat meter serta berat 500 kg.

Aku yang lahir di tanah Sumenep merasa sangat minim soal pengetahuan tentang sejarah tanah kelahiran sendiri, terutama nama-nama raja yang memerintah di daerah ujung timur Pulau Garam ini. Seingatku, terakhir kali berkunjung ke museum ini saat kelas 6 MI (setara SD) dan kemarin adalah yang kedua kalinya. Sebelum keluar dari bangunan pertama, aku sempat melihat daftar raja-raja Sumenep dan catatan-catatan penting mereka selama memegang pemerintahan.

Dari sekian banyaknya raja, ada dua nama yang hingga detik ini masih melekat dalam ingatan. Pertama adalah Ario Banjak Wide (Aria Wiraraja). Dalam catatan dia dikenal sebagai raja Sumenep yang memerintah pada 1269–1292. Keratonnya berdiri di tanah Batuputih, kurang lebih 18 kilometer dari kota. Tercatat sebagai raja pertama Sumenep, Aria Wiraraja juga memiliki peran penting dalam mendirikan kerajaan Majapahit.

Raja selanjutnya tentu saja adalah Joko Tole, sebuah nama yang mengingatkanku pada masa kanak-kanak. Joko Tole selalu menjadi dongeng di langgar sehabis salat Isya. Konon, Joko Tole dibesarkan oleh seorang empu, lantaran Potre Koneng yang diketahui hamil tanpa seorang suami diusir dari kediamannya. Semasa tidak lagi tinggal di rumah, Potre Koneng berdiam di Gua Bukit Payudan dengan hari-hari ditemani perutnya yang semakin buncit.

“Joko Tole sakti mandraguna. Dia punya kuda terbang,” memoriku terputar pada suatu malam saat guru mengaji bercerita di teras langgar. Aku yang bersandar di pilar sesekali menoleh ke jalan setapak dekat sumur, berharap bapak lekas datang menjemput. Tiba-tiba ingatan itu hilang ketika pemandu mengajak ke lokasi kedua di bagian utara.

Dari tabel daftar nama-nama raja di papan museum pertama, aku baru tahu bahwa nama asli Joko Tole adalah P. Setjoadingrat III. Keratonnya berdiri di Banasare Lapataman dan berkuasa selama 45 tahun, tepatnya pada 1415–1460. Dia tertulis sebagai raja ke-13 Sumenep yang terkenal dengan berbagai cerita dan aksi heroiknya.

Replika Kereta My Lord

Keraton Sumenep dan Salam Bayi dalam Kandungan
Kereta My Kord/Helmy Khan

Sebelum masuk ke museum kedua, aku disambut dua meriam di kanan-kiri Labang Mesem dengan moncong menganga, seperti hendak memuntahkan bola api. Kedua meriam itu hitam legam, menjelma sepasang prajurit yang bersiap menjadi penjaga sekaligus penyambut tamu paling depan sebelum wisatawan masuk ke titik museum kedua dan ketiga.

Setelah melewati halaman yang luas, terlihat cermin berukuran besar. Cermin itu menjulang tinggi dengan jelas menggambarkan apa saja yang ada di hadapannya.

“Dulu, sebelum bertemu raja biasanya berkaca dulu di cermin ini,” ucap pemandu memulai percakapan di lokasi museum kedua.

Di samping cermin itu terdapat sebuah kereta yang sama persis dengan kereta My Lord. Menurut pemandu, kereta tersebut merupakan replika dari kereta pemberian Raffles dan digunakan ketika hari-hari besar Sumenep. Kata pemandu pula, dulu kereta replika itu dibuat karena kuda tidak mau bergerak ketika dijadikan penarik kereta My Lord.

“Kudanya takut. Tidak mau bergerak,” jelasnya lalu menyilakan masuk ke ruangan pertama di museum kedua.

Dalam bangunan ini ada banyak peninggalan bersejarah yang sebagian besar berisi pusaka, seperti celurit, keris, tombak beserta lemari penyimpanan setinggi lima meter, pedang, baju besi, dan pakaian keluarga keraton yang terbuat dari kulit macan.

Di samping itu, bukti mengakarnya agama Islam di masa kepemimpinan Sultan Abdurrahman sangat kental. Hal itu terlihat dari keterlibatan Sultan Abdurrahman sendiri. Ia menulis 30 juz Alquran pada tahun 1811. Berdasarkan keterangan, raja ke-32 Sumenep itu menulisnya di atas kertas ponoragan (lontar) dengan tebal 11 cm serta memiliki berat 14 kg.

Sebelum meninggalkan lokasi kedua, di teras bagian barat pemandu menunjukkan beberapa buah arca yang dipercaya bahwa agama selain Islam pernah menjadi keyakinan di tanah Sumenep. Meski beberapa bagian terdapat kerusakan, arca tersebut berdiri kokoh dihiasi bunga lotus.

Keraton Sumenep dan Salam Bayi dalam Kandungan
Mushaf Alquran yang ditulis Sultan Abdurrahman/Helmy Khan

Salam Bayi dalam Kandungan 

Tepat pukul 08.37 WIB aku menapakkan kaki di kediaman Bindara Saud, rumah raja ke-30 Sumenep yang kini beralih fungsi sebagai titik ketiga museum. Bangunan ini berdiri kokoh menghadap ke selatan. Temboknya tebal, sangat tebal, tidak lumrah seperti bangunan pada umumnya.

Sebelum melangkah lebih dalam pemandu terlihat merapal mantra. Kemenyan yang dibawa dari titik lokasi kedua masih tetap berada di tangannya. Bangunan itu dicat warna kuning, di depan masing-masing jendela terdapat dua set kursi serta dua pasang pakaian terpajang rapi dalam lemari kaca.

Dahulu kala bangunan ini dipercaya sebagai saksi keajaiban Bindara Saud semasih berada dalam kandungan Nyai Nurima. Peristiwa itu terjadi ketika sang ibunda sedang menunaikan salat, di luar Kiai Abdullah menguluk salam. Lantaran tak kunjung mendapat jawaban sampai salam ketiga, secara ajaib Bindara Saud menjawab salam tersebut dan memberi tahu bahwa sang bunda sedang menunaikan ibadah.

Keraton Sumenep dan Salam Bayi dalam Kandungan
Rumah Bindara Saud yang masih terjaga keasliannya/Helmy Khan

“Pada salam ketiga, Bindara Saud menjawab salam tersebut dan memberi tahu bahwa uminya sedang salat,” ucap pemandu sambil membenarkan posisi kacamatanya. Peristiwa tersebut menjadi asal mula nama Bindara Saud. Saud dari bahasa Madura nyaot atau berarti ‘menjawab’.

Pemandu bilang bangunan itu masih terjaga keasliannya. Hanya ada sedikit perubahan, seperti genting yang telah diganti, tembok yang mengelupas telah diplamir, serta ditambah penerang modern dibeberapa sudut.

Titik ketiga di museum ini merupakan bangunan paling kecil. Tak banyak barang-barang peninggalan terdahulu yang tersimpan. Hanya beberapa dengan ukuran kecil, seperti stempel kerajaan, wayang kulit, koteka, barang pemberian suku Asmat, gading gajah, lemari, serta alas kaki yang terbuat dari kayu mentaos yang digunakan pada masa pemerintahan Sultan Abdurrahman.

  • Keraton Sumenep dan Salam Bayi dalam Kandungan
  • Keraton Sumenep dan Salam Bayi dalam Kandungan

Setelah berkunjung ke tiga titik museum, pemandu tidak lagi menemani rombonganku. Ia memberi keleluasaan untuk melihat-lihat di area museum. Sebelum kembali ke tempat semula di loket pendaftaran, ia menyarankan agar kami tidak masuk ke area yang telah menjadi ketentuan. 

Di kompleks museum yang dibangun oleh Louw Phia Ngo, arsitek asal Cina, kami menyusuri bagian-bagian yang masih belum disinggahi, seperti Galeri Andhap Asor dan Taman Sare yang ketiga pintunya diyakini memiliki keistimewaan. Ada kepercayaan dapat membuat awet muda, mudah mendapatkan jodoh dan keturunan di pintu pertama; lalu dapat meningkatkan karier dan kepangkatan di pintu kedua; serta dapat meningkatkan iman dan ketakwaan di pintu ketiga.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Keraton Sumenep dan Salam Bayi dalam Kandungan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/keraton-sumenep-dan-salam-bayi-dalam-kandungan/feed/ 1 45464
RAKARA Residensi Cerpen: Ekspedisi Merawat Budaya https://telusuri.id/rakara-residensi-cerpen-ekspedisi-merawat-budaya/ https://telusuri.id/rakara-residensi-cerpen-ekspedisi-merawat-budaya/#respond Wed, 22 Jan 2025 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45427 Menjadi salah satu dari 15 peserta terpilih RAKARA Residensi Cerpen 2024, mengantarkan saya ke Desa Andulang di Kecamatan Gapura, Sumenep. Acara pada 27–28 Desember 2024 tersebut diinisiasi oleh Komunitas Damar Korong, bekerja sama dengan MWC...

The post RAKARA Residensi Cerpen: Ekspedisi Merawat Budaya appeared first on TelusuRI.

]]>
Menjadi salah satu dari 15 peserta terpilih RAKARA Residensi Cerpen 2024, mengantarkan saya ke Desa Andulang di Kecamatan Gapura, Sumenep. Acara pada 27–28 Desember 2024 tersebut diinisiasi oleh Komunitas Damar Korong, bekerja sama dengan MWC NU Gapura.

Sebagai orang Sumenep, saya termasuk jarang menyentuh daerah timur Madura itu. Ya, tempat saya dan lokasi acara terpaut jarak yang cukup jauh. Karenanya, perjalanan yang semula saya perkirakan bakal lancar-lancar saja, ternyata harus dilalui dengan berat. Itu tidak terlepas dari sulitnya mencari transportasi umum dari kota Sumenep, apalagi menjelang salat Jumat.

Sebagai daerah yang tidak dilalui jalan provinsi, sebenarnya bisa dimaklumi jika situasi ini terjadi. Sedikitnya mobilisasi ke arah timur itu berkorelasi dengan jumlah transportasi umum di sana. Beruntung, ketika saya sedang menunggu angkutan umum di daerah Bengkal, seorang pengemudi pikap beserta istrinya dengan baik hati menawarkan tumpangan. Saat itu, azan Jumat sudah berkumandang.

Perjalanan dari Bengkal menuju kantor MWC NU Gapura—titik kumpul peserta—memakan waktu seperempat jam. Saat saya tiba di lokasi, khatib di masjid kantor sudah membacakan khotbah kedua. Saya bernapas lega, karena masih bisa menunaikan ibadah rutin tersebut.

Selepas salat, Kak David (Daviatul Umam), Kak Helmi Khan, dan Kak Ibna Asnawi menyambut saya. Sudah ada beberapa peserta yang bersiap diantar menuju lokasi residensi. Sebagai fasilitas awal, saya diberikan sebuah kaus dan tanda pengenal peserta.

Dari MWC NU Gapura, kami meluncur ke Andulang, tepatnya Madrasah Nurul Anwar yang menjadi tempat acara. Perjalanan memakan waktu selama lima menit. Memasuki madrasah, spanduk yang menampilkan wajah 15 peserta menyambut kami.

RAKARA Residensi Cerpen: Ekspedisi Merawat Budaya
Pembukaan dan sesi pelatihan RAKARA Residensi Cerpen 2024/Fathurrozi Nuril Furqon

Hari Pertama Residensi

Jelang salat Asar, RAKARA Residensi Cerpen 2024 resmi dibuka oleh Kepala Desa Andulang Pak Rimawi. Dalam sambutannya, beliau menyampaikan bahwa penamaan “rakara” merujuk pada filosofi daun lontar (siwalan) yang juga disebut rakara dalam bahasa Madura. Tikar rakara sebagai salah satu produk daun lontar mencerminkan upaya saling sulam dan saling silang, sehingga kuat menjadi tikar untuk melingkar. Filosofi tersebut kemudian melahirkan slogan acara: “Duduk sama tabah, berdiri sama marwah”.

Pembukaan sore itu langsung dilanjutkan dengan  pelatihan cerpen yang berisi teori-teori dasar. Pemateri sesi pertama ini adalah cerpenis dan para pegiat sastra hebat Jawa Timur, yaitu Dr. Achdiar Redy Setiawan, Pak Matroni Muserang, dan Pak Siswanto. 

Sore itu, saya sendiri sebenarnya sudah agak mengantuk karena perjalanan sejak pagi yang cukup melelahkan. Namun, ternyata pemateri cukup apik dalam menyampaikan materi, sehingga kantuk itu pun berubah antusias. Hal itu berlanjut pada sesi kedua di malam harinya.

Sesi kedua berisi penyampaian teori cerpen lanjutan. Pemateri sesi ini adalah Pak Bernando J. Sujibto, Pak A. Warits Rovi, dan Pak Khoirul Umam. Dalam sesi ini, residensi diramaikan dengan kedatangan tiga peserta kehormatan sekaligus peninjau acara, yang salah satunya adalah Alindya Quira Azzahra, cerpenis cilik putri Dr. Didik. Walau anak itu kelihatan agak pemalu, tapi ada rasa kagum dalam hati karena di umur yang masih muda ia sudah mau mengasah keterampilan di bidang literasi. 

RAKARA Residensi Cerpen: Ekspedisi Merawat Budaya
Hasil kerajinan polo’ di pekarangan rumah Obe’ Aji/Fathurrozi Nuril Furqon

Hari Kedua: dari Olah Tubuh hingga Ekspedisi Polo’

Hari kedua dimulai dengan agenda jalan-jalan di sekitar madrasah. Namun, tidak berlangsung lama, karena panitia mengumumkan agar para peserta segera kembali untuk melakukan olah tubuh. Ya, olah tubuh, bukan olahraga.

Di kegiatan satu ini, panitia khusus mendatangkan Kak Latief, aktivis teater, untuk menjadi instruktur. Ia dengan semangat memandu para peserta melakukan olah tubuh ala anak teater, dimulai dari olah kepala, tangan, pinggang, hingga kaki. Walaupun kedengarannya menarik, olah tubuh ala anak teater nyatanya lebih sulit dari olah-olah lain.

Setelahnya, para peserta bersiap-siap melakukan studi lapangan ke tempat para perajin polo’. Sebelum berangkat, dari 15 peserta dibagi rata menjadi tiga kelompok. Saya masuk kelompok kedua, yang didampingi oleh Kak Latief dan Kak David. 

Kami berangkat dari madrasah menuju tempat perajin polo’ dengan jalan kaki. Walau cukup jauh dan melelahkan, tetapi sebenarnya patut disyukuri. Sebab, pemandangan sepanjang jalan jadi lebih leluasa dinikmati.

Setiap kelompok akan menemui perajin polo’ yang berbeda. Kelompok kami mengunjungi Bu Habiye—akrab dikenal Nyai Amma—dan anaknya, Bu Junaida. Kedua perajin polo’ itu masih kerabat dekat dari Kak Latief.

Rombongan kami disambut hangat oleh kedua perajin yang sudah sepuh itu. Kebetulan saat kami datang, keduanya baru selesai menginjak-injak adonan tanah liat dan pasir yang akan dibuat jadi gerabah polo’. Dengan senyum terkembang, keduanya menyilakan kami duduk di atas tikar, sembari menyuguhkan teh dan biskuit sari kelapa.

Kepada kami, Nyai Amma mengungkapkan keprihatinannya atas masa depan dunia pekattaan—sebutan untuk para perajin polo’. Tahun berlalu, semakin sedikit anak muda yang mau meneruskan usaha gerabah Madura. Rata-rata anak muda sekarang lebih suka terjun ke dalam bisnis ritel toko kelontong Madura daripada harus bersusah payah mewarisi usaha polo’ , yang makin ke sini makin berkurang pamornya. Fenomena getir itu kian pahit dikecap ketika beberapa perajin sepuh wafat, yang kemudian berimbas pada penghentian produksi beberapa jenis gerabah. 

Bincang-bincang kebudayaan itu berlangsung sejam. Walau lebih banyak diisi dengan percakapan di luar topik polo’, tapi kami cukup senang. Kami memutuskan undur diri ketika Kak Latief mengingatkan bahwa ada destinasi lain yang perlu dituju.

RAKARA Residensi Cerpen: Ekspedisi Merawat Budaya
Foto bersama Obe’ Aji (tengah bertopi dan sarung merah)/Fathurrozi Nuril Furqon

Destinasi kedua adalah kediaman pengepul polo’, yang ternyata juga masih kerabat Kak Latief. Pengepul itu oleh masyarakat Andulang biasa dipanggil obe’ (kakek) Aji. Di kediaman beliau, kami diperlihatkan gerabah-gerabah Madura, seperti kattah, polo’, pennay, peltheng, dan cobhik. Di sana, gerabah dibedakan jadi dua, yaitu yang sudah dan belum dibakar.

Di kesempatan itu, saya bertanya musabab para perajin gerabah Madura lebih akrab disebut pekattaan daripada pepolo’an, mengingat baik di residensi maupun dari respon masyarakat, eksistensi polo’ lebih mencolok daripada kattah. Obe’ Aji hanya bisa bilang tidak tahu. Sebagai pengepul, yang ia ketahui polo’ adalah komoditas yang paling banyak permintaannya.

Ketidaktahuan Obe’ Aji berlanjut ketika saya menanyakan sejarah Desa Andulang sebagai sentra pembuatan polo’. Menurutnya, sejarah itu begitu samar, karena sejak dahulu sekali, Andulang sudah menjadikan polo’ sebagai napas kebudayaan yang sangat menyatu dengan keseharian masyarakat. 

RAKARA Residensi Cerpen: Ekspedisi Merawat Budaya
Sesi drafting di Pantai Bintaro/Fathurrozi Nuril Furqon

Berkunjung ke Pantai Bintaro

Dari kediaman Obe’ Aji, para peserta dibawa ke Pantai Bintaro yang lokasinya cukup jauh dari Andulang. Letak pantai yang kami tuju lumayan tersembunyi. Kami harus melintasi sepanjang garis Pelabuhan Bintaro, lalu memasuki area persawahan sebelum sampai di pantai. 

Pasir yang putih dan lembut cukup menggoda untuk dijajal, apalagi airnya cukup jernih. Sayang sekali, beberapa menit kemudian hujan datang tanpa aba-aba. Para peserta dan panitia berjejalan berteduh di bawah kanopi-kanopi pohon, yang walaupun cukup rimbun, tetapi tidak mampu membuat kami selamat dari belaian air hujan.

Hujan itu berlangsung kurang lebih setengah jam. Ketika reda, para peserta kemudian dibagi ke dalam empat kelompok yang masing-masing ditemani satu pembimbing. Kali ini, saya kembali tergabung dalam kelompok kedua bersama tiga peserta lain. Pembimbing kami adalah sastrawan beken, Pak Faidi Rizal Alief.

Siang itu, sesi dikhususkan untuk bimbingan drafting bakal cerpen yang harus dibuat para peserta selepas residensi. Kami berempat diminta membuat blurb atau sinopsis, serta dua paragraf pertama bakal cerpen kami. Sayangnya, kegiatan itu pun tidak bisa khusyuk karena tubuh kami dijadikan “santapan” para nyamuk di pantai.

Kami akhirnya diajak pulang panitia seiring mendung menggulung cerahnya langit. Hujan kembali deras ketika kami baru menyusuri garis pelabuhan yang panjang sekali. Saya yang sudah kuyup segera mencari tempat berteduh. Untungnya, karena saya berjalan paling awal, saya segera bisa sampai ke barung (sejenis gubuk). Beberapa saat setelahnya, menyusul satu per satu peserta dan panitia setelah tunggang langgang berlari.

RAKARA Residensi Cerpen: Ekspedisi Merawat Budaya
Hujan-hujanan di perahu majheng/Fathurrozi Nuril Furqon

Karena sudah kepalang basah, tidak seru rasanya tidak menyelam sekalian. Beberapa peserta—tidak termasuk saya—memutuskan bermain air hujan di antara perahu-perahu majheng yang sedang berlabuh. Menyenangkan sekali melihatnya. Sayang, saya tidak bisa ikut serta karena tidak kuat dingin.

Setelah puas, Pak Sofyan RH Zaid menawari kami ngopi di warung dekat barung. Tentunya kami senang menerima tawaran beliau. Di antara kepul panas kopi dan asap rokok, beliau menyampaikan bahwa residensi serupa akan dilaksanakan lagi tahun 2025. 

Besar kemungkinan residensi yang akan datang adalah residensi puisi. Rencananya, residensi akan dilaksanakan di “pulau oksigen” Gili Iyang dan diperluas jangkauan pesertanya untuk wilayah Jawa-Madura. Saya menyambut baik kabar tersebut, mengingat Jawa-Madura merupakan lumbung penyair di Indonesia. Akan sangat menyenangkan rasanya memperebutkan tiket residensi dengan banyak penulis puisi kedua daerah tersebut.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post RAKARA Residensi Cerpen: Ekspedisi Merawat Budaya appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/rakara-residensi-cerpen-ekspedisi-merawat-budaya/feed/ 0 45427
Semalam di Gili Iyang, Si Pulau Oksigen https://telusuri.id/semalam-di-gili-iyang-si-pulau-oksigen/ https://telusuri.id/semalam-di-gili-iyang-si-pulau-oksigen/#respond Mon, 30 Dec 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=44795 Bagaimana rasa udara di tempat berkadar oksigen tertinggi? Apakah lebih segar dan helaan kita bakal lebih dalam? Atau tubuh akan lebih energik usai bernapas? Pertanyaan-pertanyaan itu muncul di benak saya pada suatu pagi di Pelabuhan...

The post Semalam di Gili Iyang, Si Pulau Oksigen appeared first on TelusuRI.

]]>
Bagaimana rasa udara di tempat berkadar oksigen tertinggi? Apakah lebih segar dan helaan kita bakal lebih dalam? Atau tubuh akan lebih energik usai bernapas? Pertanyaan-pertanyaan itu muncul di benak saya pada suatu pagi di Pelabuhan Dungkek, Sumenep. Pandangan saya mengarah ke sebuah daratan di seberang timur, yaitu Gili Iyang, si Pulau Oksigen.

Lantaran kadar oksigennya yang disebut-sebut paling tinggi nomor dua di dunia, konon, warga di pulau tersebut dapat hidup lebih sehat dan panjang. Agaknya, Odeng, kawan saya yang tempo hari mengajak ke Kangean, begitu penasaran soal itu. Alhasil, kami pun berkunjung ke Gili Iyang.

Semalam di Gili Iyang, Si Pulau Oksigen
Para awak gagah berani berdiri di tepi perahu/Asief Abdi

Menyeberang ke Gili Iyang

Usai menunggu sekitar satu jam hingga kapal penuh muatan, akhirnya sang juru mudi menyalakan mesin. Sampan pun memutar haluan dan melaju. Meski sempit, selat yang kami lintasi sama sekali tak ramah. Ombak mengempas, menggoyang badan perahu hingga miring. Untung motor penumpang sudah diikat kuat oleh kru kapal. Kalau tidak, mungkin motor saya sudah nyemplung ke laut. 

Para awak dengan gagah berdiri di tepi sampan. Kaki mereka cekatan mencari pijakan, sementara tangan mengikat terpal penutup agar serpih ombak tak mengguyur penumpang. Setengah jam kemudian, gerombolan dara laut menyambut saat perahu mendekati pulau. Burung-burung itu terbang rendah di atas permukaan, menukik, lalu melayang lagi dengan ikan kecil di paruh.

“Kami tak berlayar kembali. Cukup buat kami hari ini. Nanti coba ke pelabuhan satunya saja. Ingat, sebelum jam satu siang,” kata seorang awak ketika semua penumpang sudah turun. Saya mengangguk. Dan pelabuhan itu pun sontak sepi.

Tak jauh dari dermaga, terpampang penunjuk arah ke tempat-tempat wisata di Gili Iyang. Kami tak punya banyak waktu. Dua jam saja atau kami akan menghabiskan malam di pulau kecil ini. Dan jika ada tempat yang wajib dikunjungi, itu adalah Titik Oksigen.

Semalam di Gili Iyang, Si Pulau Oksigen
Titik Oksigen Gili Iyang/Asief Abdi

Bernapas di Titik Oksigen

Titik Oksigen tak ubahnya halaman warga yang terbengkalai. Kami bahkan tak sadar saat melewatinya. Kondisi area tersebut menyedihkan. Gazebo-gazebo peneduh tampak usang. Salah satunya bahkan reyot. Sebuah pohon berdiri tegak, menaungi tugu mini bertuliskan “Titik Oksigen”. Saya berdiri di situ, memejamkan mata, lalu menghela napas. Apa ini? Rasanya biasa saja. 

Kami beralih ke sebuah warung di kawasan itu.  Dengan percaya diri, Misnariah,  perempuan penjaga warung tersebut mengaku berusia 106 tahun.  Saya dan Odeng berpandangan sambil memegang gorengan. Yang benar saja. Omong kosong! Menurut taksiran kami, paling-paling umurnya lima puluhan. Kabar tentang oksigen Gili Iyang yang sanggup membuat penghuninya hidup lebih panjang memang santer beredar di internet. Meski begitu, bisa jadi itu cuma gimik

Sudah lepas tengah hari. Jika tak ingin ketinggalan kapal, sebaiknya kami bergegas ke pelabuhan. Namun, Odeng punya ide lain. Anak itu tak rela hanya menghabiskan satu dua jam di pulau ini. Saya punya firasat sepertinya kami bakal bermalam di sini. Lalu, alih-alih menuju pelabuhan, kami malah beranjak ke tempat lain, mengikuti papan penunjuk jalan.

Semalam di Gili Iyang, Si Pulau Oksigen
Pondok-pondok wisata yang mangkrak/Asief Abdi

Objek Wisata yang Tak Siap

Kami bertolak menuju Batu Canggah. Tempat itu adalah tebing karang ikonis pulau ini. Untuk ke sana, kami harus keluar dari jalan utama dan menerobos tegalan. Jejeran cottage menyambut kami. Keadaannya menyedihkan. Pondok-pondok itu agaknya mati sebelum sempat berfungsi. Padahal, fasilitas tersebut sudah dilengkapi pendingin udara. Saya masuk ke salah satunya dan mendapati sebuah spring bed yang barangkali tak seorang pun pernah rebahan di atasnya. 

Ketika tiba di Batu Canggah, kami tak menemukan apa pun selain tulisan “Tutup”. Mungkin, saking sepinya, si petugas sampai enggan berjaga. Kami mencoba masuk, tapi pagar di sekeliling gerbang terlampau tinggi untuk dilompati. Kondisi serupa juga terjadi di Pantai Ropet di sisi selatan pulau. Tempat itu juga mangkrak.

Setelah merasa cukup—akhirnya, kami bertolak ke pelabuhan. Terdapat lebih dari satu pelabuhan di Gili Iyang dan masing-masing punya jadwal kapal sendiri-sendiri. Agaknya dermaga-dermaga itu adalah milik perorangan yang juga si empunya kapal, sebab kapal dari pelabuhan satu tak parkir di pelabuhan lain.

Di pelabuhan, rupanya bukan cuma kami yang hendak menyeberang. Seorang pemuda sedang duduk di tempat parkir dengan ransel dan kardus. Dia warga asli Gili Iyang yang hendak merantau ke Bali. Tanah ranggas ini sepertinya tak menjanjikan apa pun untuknya selain memaksanya melaut. Kami mengobrol hingga tampak sebuah kapal merapat ke tepi.

Namun, ketika kami berjalan mendekat, sang nakhoda berseru, “Ombaknya terlalu kuat. Tak mungkin kami kembali. Lebih-lebih, sore nanti air bakal surut. Kapal bisa kandas. Besok saja.” Sepertinya si pemuda perantau kudu bersabar sehari lagi, begitu pula kami yang harus mencari tempat menginap untuk malam nanti. “Usai azan Subuh, pastikan kalian sudah di sini,” sang nakhoda mewanti-wanti. 

Kami berhenti di sebuah masjid, tak jauh dari pelabuhan. Di tengah hawa terik, masjid itu seperti oase di tengah gurun. Salman, sang takmir, usai menanyakan dari mana dan hendak ke mana dua orang asing di depannya, menawarkan bantuan. “Masjid ini terbuka untuk musafir. Kalian bisa bermalam di sini,” katanya. Lalu, lewat obrolan dengan lelaki tambun itu, saya tahu kalau orang Gili Iyang punya legenda lokalnya sendiri tentang muasal pulau mereka.

Semalam di Gili Iyang, Si Pulau Oksigen
Motor roda tiga, angkutan umum di Gili Iyang/Asief Abdi

Legenda Sèrè Èlang dan Obrolan di Dermaga

Konon, Gili Iyang pertama kali ditemukan bukan oleh orang Madura, melainkan orang Bugis, yakni Daeng Massale. Alkisah, setelah berhari-hari melintasi segara, pelaut itu akhirnya menemukan pulau dengan posisi tertentu dari matahari. Sang Daeng pula yang melindungi pulau tersebut dari serangan penjajah. Menurut legenda setempat, tokoh sakti itu menghilangkan Gili Iyang dari pandangan penjajah hanya dengan selembar daun sirih. “Begitulah pulau ini disebut Sèrè Èlang (Sirih Hilang),” tutur Salman. 

Pulau-pulau kecil di timur Sumenep memang unik. Agaknya, gili-gili mungil itu dulunya menjadi persinggahan suku-suku dari Sulawesi hingga akhirnya menetap. Hal tersebut tercermin dalam kisah Sirih Hilang tadi. Daeng merupakan gelar khas suku Bugis. Entah masih ada atau tidak suku asal Makassar itu di Gili Iyang, tapi mereka turut menghuni pulau-pulau lain di Sumenep macam Masalembu dan Kangean. 

Selepas membereskan urusan tidur malam nanti, kami bertolak ke dermaga untuk melihat matahari tenggelam. Di antara banyak dermaga, kami memilih yang terpanjang. Air laut yang surut menampakkan wajah asli pesisir Gili Iyang yang penuh batu karang. Tak ayal pulau ini sepi pengunjung. Pantainya jauh dari kata molek. Di tepi laut yang surut, beberapa orang menggotong karung dan duduk mencangkung sambil mengais-ngais. Mereka jelas tak tengah buang hajat. Mungkinkah mereka sedang mengumpulkan kerang?

Dari atas dermaga, saya menyapa seorang wanita tua tepat di bawah saya. Ia tampak sibuk mengumpulkan sesuatu. Rupanya, bukan kerang atau tiram yang dia himpun, melainkan pasir. “Buat bangun rumah, Cong (sapaan Madura yang berarti ‘nak’ untuk laki-laki’),” kata dia sambil mengayak lalu memasukkan pasir ke dalam wadah. Pantas pantai ini tak berpasir.

Semalam di Gili Iyang, Si Pulau Oksigen
Seorang warga mengumpulkan pasir laut/Asief Abdi

Matahari kian jatuh. Memandang ke langit barat di jam-jam seperti ini menyadarkan saya akan cepatnya waktu berlalu. Seorang pria menyapa saya yang kala itu sedang khusyuk menikmati tenggelamnya sang surya.

Pak Mohan, pria itu, adalah seorang guru SD di pulau ini. Sudah seperempat abad lebih ia rela hidup berjauhan dari keluarganya di Jawa demi mengajar di daratan kecil ini. Sampai-sampai ia sudah seperti warga asli Gili Iyang. “Siapa yang tak kenal saya? Semua orang di pulau ini tahu Pak Mohan,” kelakarnya. Walau sudah berusia lima puluh tahun, lelaki itu tampak lebih muda dari umurnya. 

“Awet muda itu gampang. Asal hati gembira dan enggak stres,” kata dia.

“Tunggu! Jangan-jangan sampean selalu gembira dan bebas stres karena enggak tinggal bareng istri, Pak?” canda saya. Lelaki itu terbahak sambil geleng-geleng kepala. Sepertinya terkaan saya benar.

Bagi lelaki kocak itu, kabar perihal penduduk Gili Iyang yang awet muda dan berumur panjang tak sepenuhnya benar. “Murid-murid saya banyak yang mukanya boros. Beberapa bahkan terlihat lebih tua dari saya,” katanya. Ia lalu menjelaskan bahwa hal itu mungkin efek dari iklim pesisir yang keras, di mana orang-orang dipaksa melaut dan bekerja di bawah sengatan matahari. 

“Tapi memang di titik oksigen itu, kalau pagi hari, udaranya segar betul,” imbuhnya. Saya teringat pemuda perantau yang saya temui siang tadi. Barangkali, hijrah ke kawasan lain adalah opsi terbaik. Dan ketika para pemuda pulau memilih pindah, wajar rasanya jika pulau ini akhirnya lebih banyak dihuni kaum manula yang mungkin memang bisa hidup lebih bugar sebab minimnya polusi.

Semalam di Gili Iyang, Si Pulau Oksigen
Senja di dermaga/Asief Abdi

Tak terasa, matahari telah tenggelam seutuhnya. Ketika cahaya terakhir lenyap di ufuk barat, kami beranjak. Kegelapan menyelimuti. Tanpa sinar lampu motor, kami bisa nyungsep di mana saja. Seperti Kangean, listrik Gili Iyang bergantung penuh pada generator listrik bertenaga diesel. Kendati begitu, raungan mesin tersebut tak sanggup menerangi seisi pulau. Alhasil, warga harus puas dengan penjatahan listrik harian. Jika setengah pulau malam ini menyala, separuhnya harus mengalah. 

Di masjid, Usman menuntun kami ke sebuah bilik berdinding triplek khusus musafir. Untunglah kami tak perlu membayar. “Lepas tengah malam, listrik bakal mati total. Kalau mau isi daya, sebaiknya sebelum itu,” ujar sang takmir. 

Saya terjaga tepat tengah malam karena kandung kemih saya penuh. Begitu membuka pintu, tak ada setitik pun cahaya lain di sekeliling kecuali lampu masjid yang masih benderang berkat panel surya. Dalam kegelapan seperti ini, gemintang di langit tampak lebih banyak. Saya buru-buru ke kamar mandi dan lekas kembali ke bilik. Di luar, angin darat bertiup kencang dan malam kian pekat.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Semalam di Gili Iyang, Si Pulau Oksigen appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/semalam-di-gili-iyang-si-pulau-oksigen/feed/ 0 44795
Meneroka Manuskrip Arkais Agung Darma dan Integrasinya dalam Aliran Batik Billapora https://telusuri.id/meneroka-manuskrip-arkais-agung-darma-dan-integrasinya-dalam-aliran-batik-billapora/ https://telusuri.id/meneroka-manuskrip-arkais-agung-darma-dan-integrasinya-dalam-aliran-batik-billapora/#respond Sun, 22 Dec 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=44655 Mencari jejak manuskrip kuno di suatu desa merupakan pekerjaan yang tidak mudah. Namun, hal itu tidak terjadi ketika saya mencari keberadaan manuskrip di Desa Billapora Barat, Ganding, Sumenep. Selain langsung menemukan empunya manuskrip, jumlah yang...

The post Meneroka Manuskrip Arkais Agung Darma dan Integrasinya dalam Aliran Batik Billapora appeared first on TelusuRI.

]]>
Mencari jejak manuskrip kuno di suatu desa merupakan pekerjaan yang tidak mudah. Namun, hal itu tidak terjadi ketika saya mencari keberadaan manuskrip di Desa Billapora Barat, Ganding, Sumenep. Selain langsung menemukan empunya manuskrip, jumlah yang saya dapati dalam perbendaharaan desa juga tidak main-main, yaitu sebanyak 53 manuskrip.

Mudahnya manuskrip di desa yang berada di pelosok Sumenep ini ditemukan, tidak terlepas dari kesadaran para ahli waris terkait nilai historis yang terkandung di dalam manuskrip itu sendiri. Dalam perjalanannya, kesadaran akan konservasi manuskrip kuno tumbuh pada pertengahan tahun 2020, ditandai dengan kiriman status Facebook salah seorang ahli waris, yaitu Lora Badrus Shaleh, atau lebih beken dipanggil Raedu Basha. Ia adalah pengasuh Ponpes Darussalam Billapora, sekaligus penyandang titel “Sastrawan Santri”. 

Lewat status tersebut, Lora Badrus menunjukkan “gerbung”, sejenis peti tua yang kerap dijadikan sebagai tempat penyimpanan barang pusaka. Gerbung itu merupakan peninggalan leluhurnya, yang konon memiliki kemiripan dengan gerbung yang berada di Keraton Sumenep. 

Gerbung itu berisi manuskrip-manuskrip kuno, dan berada di rumah induk (rumah sesepuh) keluarganya yang kurang mendapatkan perawatan. Karenanya, tak mengherankan jika saat gerbung dibuka, kondisi manuskrip cukup mengkhawatirkan. Debu menempel di antara lembar manuskrip yang tercecer dan campur aduk dengan kitab kuning, dan buku lainnya. Beberapa bahkan tampak hilang di sejumlah bagiannya, baik karena aus dimakan zaman maupun karena raib dalam perut rayap.

Meneroka Manuskrip Arkais Agung Darma dan Integrasinya dalam Aliran Batik Billapora
Sertifikat terhadap kumpulan manuskrip Agung Darma Billapora/Fathurrozi Nuril Furqon

Upaya Konservasi Manuskrip Agung Darma

Puncak konservasi terjadi pada pertengahan Agustus 2023, saat seluruh elemen keluarga besar Agung Darma di Billapora mencapai satu suara untuk menyelamatkan manuskrip-manuskrip pusaka keluarga. Mereka bersepakat untuk menggandeng tim DREAMSEA, BRIN, dan Hamburg University dalam proses malih rupa manuskrip, yang awalnya berbasis kertas menjadi dokumen digital. 

Proses malih rupa memakan waktu tiga hari. Selama itu, tim menginap di rumah Haji Djumali, salah satu ahli waris Agung Darma yang kediamannya berada dekat dengan rumah induk. Dalam rentang itu pula, dari total 53 manuskrip di rumah induk, 36 manuskrip berhasil dilakukan digitalisasi. Sisa dari jumlah tersebut merupakan manuskrip-manuskrip yang telah demikian rusak, sehingga tidak memungkinkan untuk digitalisasi. 

Manuskrip-manuskrip yang terselamatkan mayoritas merupakan mushaf Alquran. Lebih dari itu merupakan manuskrip-manuskrip berupa kitab keagamaan, primbon, kumpulan catatan, surat-surat, ilmu wayang, ilmu gramatikal Arab, mamaca dalam berbagai bahasa (Jawa, Madura, Belanda, Cina, dan Arab), serta amalan-amalan.

Manuskrip-manuskrip tersebut ditulis dalam aksara Arab, Jawa/Carakan Madura, dan pegon. Kertas yang dipakai merupakan kertas daluang dan kertas Eropa. Lalu, terdapat ruang kosong dalam seluruh manuskrip yang berfungsi sebagai tempat menuliskan catatan, yang umumnya berupa doa-doa. Poin terakhir inilah yang menjadi ciri khas utama dari manuskrip Agung Darma.

Sebenarnya jumlah keseluruhan manuskrip dalam perbendaharaan keluarga besar Agung Darma, lebih dari jumlah tertera di atas. Selain terdapat manuskrip yang raib dan rusak, terdapat pula beberapa manuskrip yang dibawa oleh anggota lain keluarga besar. Mereka tersebar di berbagai penjuru Madura, bahkan Jawa. 

Proses pencarian manuskrip-manuskrip itu merupakan pekerjaan yang teramat sulit, karena Agung Darma merupakan tokoh yang hidup lebih dari 200 tahun lalu. Anak-anaknya yang berjumlah 10 orang kemudian menyebar ke berbagai daerah. Maka, mengidentifikasi keturunan Agung Darma merupakan sesuatu yang mendekati kemustahilan. Sebab, dalam hal silsilah keluarga, pengetahuan terkait itu hanya diwariskan secara oral atau lisan, dan jarang sekali ada keluarga yang menuliskan bagan kekerabatannya dalam bentuk tulisan. Hal demikian tidak terkecuali dialami oleh keluarga besar Agung Darma.

Meneroka Manuskrip Arkais Agung Darma dan Integrasinya dalam Aliran Batik Billapora
Informasi tentang tempat lokakarya BLKK Darussalam Billapora Timur/Fathurrozi Nuril Furqon

Manuskrip dalam Tarikh

Terkait jumlah manuskrip yang bisa dikatakan “melimpah”, peran sosok Nyai Raden Ayu Sumiro Ing Sumenep atau Gung Sumi tidak bisa diabaikan. Beliau adalah cicit Sunan Giri yang hidup pada abad ke-17 Masehi. Alkisah, pada tahun 1636 M, Giri Kedaton diserang oleh Kesultanan Mataram Islam di bawah komando Pangeran Pekik dari Surabaya. Penyerangan yang membuahkan kekalahan Giri Kedaton itu menimbulkan kegusaran bagi para anggota keluarga besar Sunan Giri, tak terkecuali Gung Sumi.

Mendapati tidak ada lagi masa depan cerah di Giri Kedaton, Gung Sumi memutuskan lari ke Madura, tepatnya ke sebuah daerah yang kelak bernama “Billapora”. Saat itu, Billapora masih berupa alas, dan hanya ditempati oleh beberapa orang saja. Orang-orang tersebut nonmuslim. Memang, saat Gung Sumi datang, Madura masih belum seluruhnya tersentuh tangan-tangan suci para dai, dan juga kerajaannya berada di bawah hegemoni penguasa yang belum sepenuhnya memprioritaskan Islam. Keadaan itu menggerakkan jiwa pendakwah dalam diri Gung Sumi. 

Jerih payah Gung Sumi dibayar tuntas dengan masuk Islamnya enam orang di Billapora. Mereka bernama Uni, Uti, Uli, Ulha, Tera, dan Terak. Bersama mereka, Gung Sumi memulai pembabatan alas di Billapora untuk didirikan pemukiman warga. 

Lalu dari mana asal manuskrip-manuskrip tersebut? Menurut Lora Badrus, sebagian manuskrip merupakan koleksi Giri Kedaton yang dibawa Gung Sumi saat terjadinya penaklukan. Sebagian lainnya, merupakan hasil pemikiran Gung Sumi sendiri.

Khazanah itu kemudian diwariskan turun-temurun sampai ke cucunya, Agung Darma. Pada masa Agung Darma, koleksi manuskrip bertambah karena ia mendapat hadiah beberapa manuskrip dari sultan Islam pertama di Kerajaan Sumenep, Sultan Abdurrahman Pakunataningrat. Memang hubungan antara keduanya begitu harmonis. Agung Darma yang bernama asli Abdillah merupakan penasihat Sultan Abdurrahman.

Keseluruhan manuskrip kemudian ditaruh di rumah Agung Darma, bukan rumah Gung Sumi. Beberapa manuskrip pun diimbuhi dengan tulisan yang menyebutkan bahwa manuskrip itu adalah kepunyaan Agung Darma. Dari sana, penamaan Manuskrip Agung Darma pada manuskrip-manuskrip di rumah induk keluarga Lora Badrus, bisa dirunut asal mulanya.

Meneroka Manuskrip Arkais Agung Darma dan Integrasinya dalam Aliran Batik Billapora
Kegiatan membatik oleh para santri di BLKK Darussalam Billapora Timur/Fathurrozi Nuril Furqon

Keunikan Manuskrip

Manuskrip Agung Darma menunjukkan beberapa perbedaan antara disiplin keilmuan di zamannya dan disiplin keilmuan modern. Itu ditunjukkan lewat manuskrip tentang gramatikal Arab, yang menurut Lora Badrus terdapat perbedaan antara materi nahwu shorrof di manuskrip dengan materi serupa di kitab-kitab kontemporer. Lalu di kitab tentang amalan-amalan, terdapat beberapa ilmu yang tidak bisa ditemukan lagi saat ini, sebagai misal; amalan membuat pencuri tersesat.

Dari itu semua, yang paling fenomenal barangkali ditemukannya bentuk wayang kuno dalam salah satu Manuskrip Agung Darma. Menurut Agus Iswanto, salah satu peneliti BRIN yang terlibat dalam digitalisasi manuskrip, wayang tersebut berbeda dengan wayang-wayang lain di Nusantara, dan baru ditemukan di Billapora. Wayang itu memiliki bentuk dasar seperti wayang di Jawa, dengan salah satu tangan tokoh wayang digambarkan sedang memegang pedang—hal yang jarang ditemukan pada bentuk wayang lain. Lalu, dalam wayang Billapora, wajah tokoh wayang tidak digambarkan dengan detail. Sebagai gantinya, wajah tokoh wayang digambarkan memakai penutup wajah serupa zirah. Detail lainnya terletak pada gambar baju tokoh wayang yang mana tidak memakai pakaian era kerajaan kuno Jawa, tetapi memakai pakaian bermotif kotak-kotak.

Temuan itu, mengusik jiwa kreatif dalam diri Lora Badrus untuk memanifestasikan gambar-gambar dan ornamen-ornamen dalam manuskrip menjadi batik. Sejak disadarinya keberadaan Manuskrip Agung Darma di rumah induk, ia mulai merintis produk batik bernama Batik Gung Sumi. Dasar pemikirannya begitu sederhana, seperti yang ia sampaikan, “Mereka makek batik, tau terhadap sejarah desa, selesai.”

Meneroka Manuskrip Arkais Agung Darma dan Integrasinya dalam Aliran Batik Billapora
Contoh gambar sketsa wayang Billapora/Fathurrozi Nuril Furqon

Malih Rupa Manuskrip Jadi Batik

Awalnya, batik Gung Sumi hanya menampilkan corak yang merupakan adaptasi dari ornamen-ornamen penghias pinggiran kertas manuskrip. Namun, sejak ditemukannya Wayang Billapora pada tahun 2023, ia mulai berimprovisasi dengan menambahkan gambar wayang itu ke dalam batik-batik yang ia buat. Proses pembuatan batik pun mengalami transformasi. Dari yang awalnya menggunakan teknik batik celup, berubah menggunakan teknik batik tulis. Alasannya karena sebelum 2023 gambar di manuskrip begitu abstrak sehingga tidak mudah ditiru. Namun, ketika digitalisasi telah rampung, gambar pun menjadi lebih jernih.

Dalam proses produksinya, batik Gung Sumi sebagai usaha yang baru dirintis tidak dijadikan semacam pabrik yang terus menuntut diproduksinya barang dalam jumlah tertentu selama periode tertentu pula. Sebagai jalan keluar, ia memberdayakan santri-santrinya untuk mengikuti pelatihan membatik. Pelatihan dilaksanakan pada pukul 13.00-15.00 WIB, kadang pula malam. Batik itu diselesaikan dalam jangka waktu kondisional, dengan waktu paling cepat setengah bulan. 

Pembuatan batik pertama-tama melewati proses pembuatan desain atau pola batik terlebih dahulu. Desain dibuat di atas kertas kope’an (layangan), lalu dijiplak ke kain katun jenis primisima. Jika telah selesai, maka batik siap ditulisi lewat proses nyanting. Batik yang telah ditulisi kemudian melewati tahap pewarnaan.

Meneroka Manuskrip Arkais Agung Darma dan Integrasinya dalam Aliran Batik Billapora
Pembuatan sketsa batik Billapora/Fathurrozi Nuril Furqon

Harga satuan batik Gung Sumi dibanderol dari harga Rp300.000 hingga Rp500.000. Untuk proses pemasaran, Lora Badrus bekerja sama dengan Universitas Indonesia, almamater istrinya, Ny. Iffah Hannah. Berdasarkan ceritanya, batik Gung Sumi telah tersedia di UI Store dan Kopma UI. Selain itu, batik Gung Sumi juga akan diikutsertakan dalam bazar budaya di UI. 

Ikhtiar Lora Badrus melestarikan Manuskrip Agung Darma lewat Batik Gung Sumi merupakan proses yang tidak akan selalu berjalan lancar. Dalam fase perintisan, memang masih belum banyak yang bisa ia tunjukkan kepada khalayak ramai. Namun, jika ia istikamah melangkah, maka cita-citanya untuk menjadikan Billapora masyhur dengan budayanya, lambat laun pasti tercapai jua.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Meneroka Manuskrip Arkais Agung Darma dan Integrasinya dalam Aliran Batik Billapora appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/meneroka-manuskrip-arkais-agung-darma-dan-integrasinya-dalam-aliran-batik-billapora/feed/ 0 44655
Sapeken: Pulau Kecil dengan Kisah Besar di Timur Madura https://telusuri.id/sapeken-pulau-kecil-dengan-kisah-besar-di-timur-madura/ https://telusuri.id/sapeken-pulau-kecil-dengan-kisah-besar-di-timur-madura/#respond Tue, 10 Dec 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=44494 Perjalanan ini bermula dari pelabuhan kecil di ujung timur Madura. Tujuannya jelas, yaitu Pulau Sapeken. Sebuah pulau yang masuk kedalam kriteria pulau terluar dari wilayah Madura. Keingintahuan saya tentang kehidupan di sana membawa saya menyusuri...

The post Sapeken: Pulau Kecil dengan Kisah Besar di Timur Madura appeared first on TelusuRI.

]]>
Perjalanan ini bermula dari pelabuhan kecil di ujung timur Madura. Tujuannya jelas, yaitu Pulau Sapeken. Sebuah pulau yang masuk kedalam kriteria pulau terluar dari wilayah Madura. Keingintahuan saya tentang kehidupan di sana membawa saya menyusuri perjalanan yang tak hanya penuh dengan pesona alam, tetapi juga cerita-cerita masyarakat lokal yang begitu kental.

Ketika pertama kali mendengar nama Pulau Sapeken, saya membayangkan sebuah pulau kecil yang sepi, jauh dari keramaian. Namun, begitu kaki ini menginjak tanahnya, ternyata kenyataannya jauh berbeda. Pulau ini, meskipun hanya seluas sekitar 3,5 kilometer persegi, ternyata penuh dengan kehidupan. Bahkan, beberapa orang yang pernah berkunjung ke Sapeken menyebutnya sebagai “pulau metropolis.”

Saat menyusuri gang-gang kecil di antara rumah-rumah penduduk, saya mendapati betapa berbedanya Sapeken dibandingkan dengan bayangan saya tentang pulau terpencil dan terluar. Penduduk di sini sangat ramah, meskipun banyak dari mereka berasal dari latar belakang yang berbeda.

Sapeken: Pulau Kecil dengan Kisah Besar di Timur Madura
Nelayan mengangkut jala berisi hasil tangkapan di bibir pantai Sapeken/Adipatra Kenaro Wicaksana

Menyelami Dinamika Demografi Sapeken

Kecamatan Sapeken terdiri dari sembilan desa dan 33 pulau kecil lainnya. Bayangkan, dari 33 pulau itu, hanya lima yang tidak berpenghuni. Jadi, sisanya? Penuh dengan cerita dan kehidupan yang tersebar di antara pulau-pulau tersebut. Desa Sapeken sendiri juga mencakup beberapa pulau kecil, seperti Pulau Sadulang Besar, Pulau Sadulang Kecil, Pulau Saular, Pulau Saebus, dan Pulau Saur. Semua pulau ini menjadi bagian dari ekosistem sosial dan budaya yang unik.

Menurut BPS Kecamatan Sapeken (2022), populasi penduduk pulau ini sekitar 10.359 jiwa, baik laki laki maupun perempuan. Tak heran jika Pulau Sapeken terasa begitu padat. Dari kejauhan, deretan rumah-rumah di sepanjang pantai terlihat begitu rapat, seperti puzzle yang saling melengkapi.

Pulau Sapeken ini memang hanya memiliki satu dusun, tetapi kehidupan di sini sangat dinamis. Setiap sudutnya seperti dipenuhi energi, entah dari para nelayan yang baru pulang melaut, ibu-ibu yang sibuk di pasar, atau anak-anak yang berlarian di jalan-jalan sempitnya.

Memang, dengan penduduk yang padat dan berbagai macam gaya hidup, masyarakat Sapeken bisa dibilang “metro kepulauan.” Berbeda dengan pulau lain yang biasanya lebih tenang dan seragam, di sini kehidupan terasa lebih hidup. Ada tiga masjid yang menunjukkan kehidupan keagamaan yang dinamis. Banyak aliran keorganisasian Islam, seperti NU, Persis, dan Muhammadiyah. Umat nonmuslim hanya sekitar 0,5 persen.

Uniknya, penduduk di Pulau Sapeken justru berbahasa Sulawesi (cenderung bahasa Bajau, bahasa Mandar, dan sebagian kecil berbahasa Bugis), bukan berbahasa Madura. Sebab, dalam sejarahnya populasi penduduk Sapeken memang merupakan pendatang dari daerah Makassar (dulu Ujung Pandang). 

Ketika itu, orang Kampung Bajo dari Sulawesi Selatan sedang melaut untuk mencari ikan dan menetap di Pulau Sapeken. Hal tersebut yang menjadi tradisi maritim dan mengakar kuat, sehingga membuat Sapeken menjadi salah satu pusat perikanan yang paling penting di wilayah ini.

Pernah suatu waktu, Drs. Abdul Muiz Aliwafa, yang dulu pernah menjabat wakil bupati Sumenep, memberi sambutan saat peresmian Kantor MWC NU Sapeken dengan logat Madura. Namun, para tamu undangan malah kebingungan. Ternyata, banyak yang tidak paham bahasa Madura yang dipakai. Akhirnya, ia beralih menggunakan bahasa Indonesia.

Sapeken: Pulau Kecil dengan Kisah Besar di Timur Madura
Aktivitas nelayan saat melaut di perairan Pulau Sapeken/Adipatra Kenaro Wicaksana

Menyatu dalam Kehidupan Nelayan

Begitu tiba di dermaga, aroma laut dan ikan segar seraya menyambut. Para nelayan dengan ramah menyapa kami, dan di sinilah narasi perjalanan saya di Sapeken benar-benar dimulai. Setiap sudut dermaga disesaki aktivitas nelayan yang baru saja kembali dari laut. Kapal-kapal kecil mereka penuh dengan ikan yang siap dijual di pasar lokal atau dikirim ke tempat-tempat yang lebih jauh.

Aktivitas di pulau kecil ini tak kalah sibuk dengan kota-kota besar. Di pagi hari, suara klakson perahu nelayan dan obrolan riuh di pasar lumrah jadi pemandangan sehari-hari. Laut yang mengelilingi pulau tidak hanya menjadi sumber penghidupan, tetapi juga bagian dari kehidupan sehari-hari. Di sini, saya benar-benar merasakan bagaimana hubungan masyarakat antara laut dan kehidupan sehari-hari sangat erat. Laut bukan hanya sebagai sumber mata pencaharian, melainkan juga bagian dari identitas masyarakat.

Sapeken yang berada di ujung timur wilayah Kabupaten Sumenep, Madura, dikenal sebagai lumbung ikan yang penting di kawasan ini. Sapeken menjadi rumah bagi para nelayan yang sehari-harinya mengarungi laut demi membawa hasil tangkapan terbaik.

Muhandis Sidqi menjelaskan secara mendalam peran Pulau Sapeken dalam bukunya Pulau Sapeken: Lumbung Ikan di Timur Madura (2013). Di buku terbitan Kementerian Kelautan dan Perikanan itu, peran Pulau Sapeken dalam menopang industri perikanan sangat besar. Laut di sekitarnya dikenal memiliki kekayaan biota laut yang melimpah, berkat arus laut yang stabil dan ekosistem terumbu karang yang sehat. Para nelayan setempat memanfaatkan kondisi ini untuk menjadikannya pusat perikanan yang hidup. Bukan hanya untuk Madura, melainkan juga bagi wilayah-wilayah lain di sekitarnya.

Saking eratnya, hampir setiap keluarga di Sapeken menggantungkan hidupnya pada hasil tangkapan ikan. Selain dijual di pasar lokal, ikan-ikan dari Sapeken juga dikirim ke berbagai daerah lain, termasuk Surabaya dan Bali. Tak heran jika Muhandis Sidqi menyebut pulau ini sebagai lumbung ikan. Setiap hari, kapal-kapal pengangkut hilir mudik, membawa ikan segar keluar dari pulau. 

Sapeken: Pulau Kecil dengan Kisah Besar di Timur Madura
Hasil tangkapan ikan nelayan Sapeken, di antaranya teri, layang, sampai tongkol/Adipatra Kenaro Wicaksana

Dari Pantai yang Sunyi, hingga Mangrove yang Asri

Pulau ini bukan cuma tentang ikan. Sapeken juga menyimpan pesona alam yang begitu memikat. Saya sempat mengunjungi pantainya. Hanya ada deru angin dan suara ombak di sana. Pulau ini menawarkan pemandangan pantai-pantai sepi yang begitu tenang, pasir putihnya begitu halus di bawah kaki. Sementara air laut yang jernih berkilau diterpa sinar matahari seolah mengajak siapa pun yang datang untuk sejenak melupakan hiruk piruk kehidupan.

Keindahan alam Sapeken tidak berhenti hanya pada pantainya saja. Di sisi lain pulau, terdapat hutan mangrove yang luas dan asri. Akar-akar mangrove yang menjulur di bawah permukaan air membentuk habitat bagi berbagai jenis satwa laut. Hutan mangrove di Sapeken juga berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem pulau ini. Selain melindungi garis pantai dari abrasi, juga memberikan tempat berlindung bagi ikan-ikan kecil.

Pantai dan mangrove di Pulau Sapeken seakan memberi penegasan. Bukti nyata bahwa pulau ini tidak hanya sebagai pusat perikanan, tetapi juga destinasi wisata alam yang menakjubkan.

Upaya Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Pulau

Selama perjalanan mengelilingi Desa Sapeken, saya juga berkesempatan melihat langsung bagaimana pelayanan kesehatan berlangsung. Ada sebuah bentuk inisiatif yang luar biasa, yaitu kapal layanan kesehatan. Meski beroperasi hanya empat kali dalam setahun, kapal kesehatan tersebut memberikan berbagai jenis pelayanan medis dasar serta lanjut, mulai dari operasi bedah hingga kontrol kesehatan rutin. 

Keterbatasan transportasi dan sumber daya kesehatan hanya dapat diatasi dengan pelayanan kesehatan bergerak. Saya jadi semakin sadar betapa pentingnya solidaritas dan kerja sama di daerah-daerah terpencil.

Menurut saya, pelayanan kesehatan bergerak di daerah terpencil seperti Sapeken adalah contoh nyata dari dedikasi yang luar biasa dalam memberikan akses kesehatan yang layak bagi masyarakat. Mengingat tantangan geografis—pulau-pulau terpisah oleh lautan—dan sulitnya akses transportasi, program ini merupakan solusi cerdas dan sangat efektif.

Pelayanan kesehatan bergerak di Sapeken mengajarkan saya bahwa inovasi kesehatan bukan hanya tentang teknologi maju, melainkan juga adaptasi dan keberanian untuk menjangkau masyarakat di pelosok negeri. Cerita tentang kapal kesehatan yang datang seperti “penyelamat” bagi warga Desa Sapeken adalah bukti nyata, bahwa layanan ini sangat penting untuk memastikan setiap orang, di mana pun mereka berada, memiliki hak yang sama atas kesehatan.

Sapeken mungkin kecil, tetapi kisah dan kehidupan di dalamnya sangat besar. Rasanya, tak cukup sehari untuk bisa benar-benar memahami dan merasakan setiap detak kehidupan di pulau ini. Dengan semua keramaiannya, Sapeken tetap menawarkan daya tarik yang membuat saya ingin terus kembali.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Sapeken: Pulau Kecil dengan Kisah Besar di Timur Madura appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sapeken-pulau-kecil-dengan-kisah-besar-di-timur-madura/feed/ 0 44494
Cukong Cina, “Bandul”, dan Perdagangan Tembakau di Madura https://telusuri.id/cukong-cina-bandul-dan-perdagangan-tembakau-di-madura/ https://telusuri.id/cukong-cina-bandul-dan-perdagangan-tembakau-di-madura/#respond Mon, 18 Nov 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=43064 Selalu saya terkenang akan percakapan petani tua dan muda itu: duduk-duduk sambil minum kopi robusta—mungkin sisa hari sebelumnya—di gazebo. Mereka menggunjingkan ihwal “daun emas” yang harganya cukup tinggi. Mereka menengadah ke arah sinar matahari, yang...

The post Cukong Cina, “Bandul”, dan Perdagangan Tembakau di Madura appeared first on TelusuRI.

]]>
Selalu saya terkenang akan percakapan petani tua dan muda itu: duduk-duduk sambil minum kopi robusta—mungkin sisa hari sebelumnya—di gazebo. Mereka menggunjingkan ihwal “daun emas” yang harganya cukup tinggi. Mereka menengadah ke arah sinar matahari, yang panasnya mencapai tiga puluh satu derajat Celsius. 

Percakapan kedua petani itu: harga tembakau yang kadang naik, tapi juga kadang turun. 

Sejarah Tembakau di Madura

Dilansir dari laman berita Liputan6 (2/6/19), tembakau di Madura pertama kali diperkenalkan pada masa penjajahan Kolonial Belanda kira-kira abad ke-19. Meskipun muasal “daun emas”—begitu orang Madura menjuluki tembakau—bukan dari Madura, Pulau Garam ini dikenal sebagai salah satu penghasil tembakau berkualitas tinggi. Sejak masa itu, tembakau menjadi salah satu komoditas yang dibudidayakan secara luas oleh petani Madura, terutama di wilayah seperti Pamekasan dan Sumenep. Sebab, kedua wilayah tersebut lebih cocok untuk ditanami tembakau daripada dua kabupaten lainnya, Sampang dan Bangkalan.

Tembakau menjadi salah satu sumber penghasilan utama bagi petani di Madura, khususnya selama musim kemarau, ketika mereka sulit untuk menanam padi. Budidaya tembakau memberikan alternatif pendapatan bagi petani di luar musim tanam padi. Sebab itu, tembakau memiliki peran penting dalam perekonomian masyarakat Madura, khususnya di wilayah perdesaan.

Abad ke-20, tembakau Madura semakin berkembang, terutama setelah Indonesia merdeka. Banyak pabrik rokok dan cerutu di Jawa yang menggunakan tembakau Madura sebagai bahan baku. Tembakau Madura juga diekspor ke berbagai negara, termasuk Eropa dan Asia. Di Pamekasan, tembakau menjadi produk unggulan yang mendukung perekonomian lokal.

Cukong Cina, “Bandul”, dan Perdagangan Tembakau di Madura
Salah satu lahan perkebunan tembakau yang dikelola petani Madura/Wardedy Rosi

Dalam pengolahan lahan, petani Madura masih menggunakan cara-cara tradisional, seperti membajak sawah menggunakan cangkul biasa. Untuk petani yang memiliki modal lebih, biasanya menggunakan traktor. Kondisi tanah—sebagian besar wilayah timur Madura kering dan berkapur—membuat para petani lebih memilih menanam tembakau ketimbang padi, karena tanahnya tidak terlalu subur. Hal ini juga disetujui oleh Bernard H.M. Vlekke, sejarawan Belanda penulis buku Nusantara: Sejarah Indonesia. Varietas tembakau khas Madura disebut tembakau Madura atau sering dikenal dengan nama tembakau Pamekasan. Ciri khasnya antara lain berdaun tipis dan aromatik. 

Pemilihan bibit menjadi penentu hasil tembakau yang akan dipanen. Biasanya—atau mungkin kebanyakan—para petani tembakau di Madura memilih bibit opot dan malatè. Bagi petani yang menginginkan pohon tembakau tinggi, biasanya akan memilih bibit opot. Jika ingin daun lebat, bibit malatè jadi pilihan. Maka, pemilihan bibit menjadi cukup krusial bagi petani-petani Madura. 

Seiring berjalannya waktu, Madura kini menjadi pemasok tembakau terbesar di Indonesia. “Siapa yang enggak kenal tembakau Madura?” tukas petani muda kepada saya sambil mengepulkan asap rokok dari mulutnya. “Bahkan, ketika kamu bertamu ke rumah orang saat musim kemarau, petani tembakau akan beramah-tamah dengan membagikan tembakau hasil panennya. Itu disebut nggalih.

Sejarah tembakau di Madura mencerminkan peran betapa pentingnya daun emas itu dalam perekonomian dan budaya petani Madura. Tembakau tidak hanya menjadi sumber penghasilan, tetapi juga bagian dari identitas sosial masyarakat Madura. Meskipun tantangan zaman modern terus muncul, tembakau tetap memiliki tempat khusus dalam kehidupan masyarakat Madura sampai sekarang. 

Hubungan antara cukong-cukong etnis Cina dengan bandul (pedagang tembakau Madura) merupakan salah satu aspek penting dalam sejarah perdagangan tembakau di Indonesia, terutama pada masa kolonial dan pascakolonial. Peran cukong Cina dalam perdagangan tembakau di Madura bisa ditilik dari berbagai sudut pandang, termasuk aspek ekonomi, sosial, dan budaya.

Hubungan Bandul dengan Cukong Cina

Pada masa kolonial Belanda, cukong-cukong Cina memainkan peran penting sebagai perantara dalam perdagangan tembakau di Indonesia, khususnya Madura. “Cukong” merupakan sebutan bagi para pengusaha atau pedagang besar yang sering kali memiliki akses langsung ke pasar dan modal yang lebih besar dibanding pedagang lokal (petani). Mereka bertindak sebagai pengumpul dan distributor hasil bumi, termasuk tembakau, yang kemudian dijual ke pasar yang lebih luas. Sementara itu, bandul adalah sebutan orang-orang untuk mereka yang menjadi penghubung antara petani Madura dengan cukong Cina. 

Di Madura, cukong-cukong Cina selalu bertindak sebagai pedagang perantara antara petani tembakau lokal dengan pasar yang lebih besar, baik untuk ekspor maupun industri rokok di Jawa. Petani tembakau di Madura umumnya memiliki keterbatasan dalam hal akses pasar, modal, dan jaringan perdagangan. Oleh karena itu, cukong-cukong Cina, dengan modal yang lebih besar dan jaringan dagang yang lebih luas, menjadi penampung utama tembakau para petani dan menjualnya ke pabrik rokok besar atau pasar internasional.

Hubungan antara cukong Cina dengan petani tembakau di Madura kerap berlangsung dalam bentuk kerja sama yang saling menguntungkan, meski tidak selalu berimbang. Cukong-cukong Cina menyediakan modal awal atau ijon kepada petani tembakau. Ijon merupakan bentuk pembiayaan di mana petani menerima uang di muka sebelum musim panen. Sebagai imbalannya, mereka berjanji untuk menjual hasil panen kepada cukong dengan harga yang sudah ditentukan sebelumnya.

Model ijon sering menguntungkan cukong karena mereka bisa membeli tembakau dengan harga lebih rendah. Bagi petani, sistem ini memberikan akses ke modal yang sangat diperlukan untuk biaya budidaya tembakau. Namun, ada juga sisi negatifnya. Karena sering terikat dengan bandul, dan bandul terikat dengan cukong Cina, para petani terjebak dalam lingkaran utang yang sulit dihindari. Cukong-cukong Cina acap kali mendominasi perdagangan tembakau di Madura, khususnya Pamekasan dan Sumenep. Kontrol atas jalur distribusi dan perdagangan tembakau membuat mereka memegang kekuasaan ekonomi yang cukup signifikan. Cukong-cukong ini sering memiliki akses ke pabrik rokok besar di Jawa, seperti Surabaya, Kediri, dan Malang; pusat industri rokok di Indonesia.

Dominasi cukong-cukong Cina dalam perdagangan tembakau bukan hanya karena jaringan perdagangan mereka yang luas, melainkan juga karena keterampilan mereka dalam berbisnis. Mereka mampu mengatur distribusi tembakau dari tingkat lokal, nasional, hingga internasional; menjadikannya sebagai pemain kunci dalam industri ini.

Hubungan antara cukong-cukong Cina dengan bandul dan petani tembakau Madura juga memiliki dimensi sosial-budaya. Di satu sisi, relasi tersebut merupakan hubungan ekonomi yang saling menguntungkan. Namun, di sisi lain, terdapat dinamika sosial yang kompleks antara etnis Cina dengan masyarakat lokal Madura. Pada masa kolonial, cukong-cukong Cina sering dipandang sebagai kelas sosial yang lebih tinggi karena kekayaan dan akses mereka ke pasar. Hal tersebut menciptakan ketimpangan sosial yang tinggi. Akan tetapi, cukong-cukong Cina yang menetap di Madura menyatu dengan budaya lokal. 

Kehadiran cukong Cina dalam perdagangan tembakau memberikan dampak signifikan pada perekonomian Madura. Mereka berperan membantu petani lokal menjual hasil panen ke pasar yang lebih luas. Ini berdampak positif terhadap pendapatan petani, meskipun cukong kerap lebih diuntungkan secara finansial. Selain itu, cukong Cina juga mempekerjakan orang-orang Madura yang tidak bertani tembakau ketika musim kemarau. Bahkan, untuk dapat bekerja di penampungan atau gudang cukong Cina, seseorang harus memiliki keterampilan, seperti membuat conto sebagai sampel ke perusahaan rokok ternama yang ada di Indonesia. Jenjang karier dalam pekerjaan ini dimulai dari peran penjemur, penimbang, hingga pembuat conto. Biasanya para pembuat conto memiliki tempat khusus untuk bekerja. Waktu bekerjanya pun lebih panjang daripada pekerja-pekerja yang lain.

Cukong Cina, “Bandul”, dan Perdagangan Tembakau di Madura
Para pekerja membuat bentuk conto sebagai sampel yang akan dikirim ke pabrik-pabrik besar/Diskominfo Kabupaten Sumenep

Di sisi lain, kerugian para petani Madura tak sepenuhnya karena anjloknya harga yang dipasang cukong Cina. Ada faktor lain. Para bandul meraup keuntungan tanpa sepengetahuan para petani, yaitu dengan cara memalsukan timbangan saat hendak menimbang hasil panen. Hal ini sebenarnya sudah acap terjadi di kalangan petani “daun emas”. Tak kalah penting, monopoli cukong dalam perdagangan tembakau juga menciptakan ketergantungan ekonomi. Banyak petani Madura yang terikat sistem ijon dan sulit lepas dari cengkeraman cukong, sehingga memengaruhi kesejahteraan petani dalam jangka panjang.

Setelah Indonesia merdeka, peran cukong Cina dalam perdagangan tembakau terus berlanjut meskipun dengan perubahan tertentu. Dulu, di era Orde Baru, pemerintah Indonesia memperketat pengawasan terhadap perdagangan dan industri tembakau. Namun, cukong Cina masih tetap memainkan peran penting sebagai pedagang perantara. Saat ini, sistem perdagangan telah berubah dengan adanya perusahaan-perusahaan besar yang langsung membeli tembakau dari petani. Meski begitu, warisan sejarah hubungan antara cukong Cina dengan bandul tetap berlangsung dalam pola perniagaan dan jaringan distribusi tembakau di Madura.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Cukong Cina, “Bandul”, dan Perdagangan Tembakau di Madura appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/cukong-cina-bandul-dan-perdagangan-tembakau-di-madura/feed/ 0 43064