sumpah pemuda Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/sumpah-pemuda/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Fri, 30 Dec 2022 01:12:53 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 sumpah pemuda Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/sumpah-pemuda/ 32 32 135956295 Melihat Posina Tanae, Titik Tengah Indonesia https://telusuri.id/melihat-posina-tanae-titik-tengah-indonesia/ https://telusuri.id/melihat-posina-tanae-titik-tengah-indonesia/#respond Sat, 31 Dec 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36778 Masih dalam perayaan Hari Sumpah Pemuda oleh teman relawan Sokola Kaki Langit, saya bersama beberapa teman mengunjungi satu-satunya sekolah di desa ini yang berjarak sekitar 20 menit dengan berjalan kaki dari Rumah Indo, sementara beberapa...

The post Melihat Posina Tanae, Titik Tengah Indonesia appeared first on TelusuRI.

]]>
Masih dalam perayaan Hari Sumpah Pemuda oleh teman relawan Sokola Kaki Langit, saya bersama beberapa teman mengunjungi satu-satunya sekolah di desa ini yang berjarak sekitar 20 menit dengan berjalan kaki dari Rumah Indo, sementara beberapa relawan lain menyiapkan lokasi pemeriksaan kesehatan yang akan berlangsung pukul 10.00 WITA.

Trekking singkat dari rumah ke sekolah tidak begitu sulit. Medan secara keseluruhan hanya berupa jalur landai dan turunan curam sebanyak tiga kali. Otot-otot kaki yang masih ngilu dampak perjalanan panjang kemarin membuat saya langsung memikirkan perjalanan pulang selepas kegiatan di sekolah. Saat tiba, beberapa anak-anak terlihat bermain di lapangan sekolah, beberapa lagi duduk-duduk di lorong kelas, dan sisanya lalu-lalang tidak karuan. 

Selain arajang dan Rumah Indo, salah satu motivasi mengunjungi desa dengan akses terisolir ini adalah “titik tengah Indonesia” yang selalu disandingkan dengan Desa Umpungeng. Saya sempat bertanya, “Bagaimana orang-orang bisa tahu bahwa desa ini merupakan titik tengah dari sebuah negara?”

Lalu, seorang relawan berbaju kuning sempat bercerita, bahwa di masa lalu, entah siapa, berhasil menemukan tempat ini. “Jika peta Indonesia dilipat menjadi empat bagian sama besar, maka titik pertemuan dari lipatan tersebut berada di desa ini.”

rute trekking
Pemandangan rute trekking ke Umpungeng/Nawa Jamil

Setelah mengajar dan menyelesaikan agenda bermain dan lomba hari itu, kami diajak ke titik legendaris tersebut. Titik tengah Indonesia disebut posina tanae yang berarti pusat tanah. Titik ini tidak jauh dari sekolah. Kami menaiki jalan tanjakan curam, lalu berbelok ke daerah perkampungan yang cukup padat di atas sekolah. Tidak jauh dari rumah-rumah warga, terdapat satu bidang tanah dengan rumput hijau. Sebuah plang bertulis “batas alas kaki” menyambut kami. 

Tanah lapang tersebut dikelilingi bebatuan rata yang membentuk lingkaran hampir lonjong. Di salah satu bagian lingkaran tersebut terdapat gundukan batu menyerupai tahta, lalu di tengah-tengah lingkaran tersebut terdapat satu batu yang dipagari besi yang bercat merah bata gelap. Situs ini merupakan situs megalitikum bersejarah bernama Garugae. Konon, Garugae—yang hingga saat ini terawat dengan baik—menjadi tempat pertemuan para raja terdahulu dalam bermusyawarah, serta lokasi pelantikan datuk, raja, atau kepala daerah di sini.

“Tidak ada yang tahu kapan dan bagaimana situs ini ada, atau siapa yang meletakkan batu-batu dengan permukaan rata hingga berbentuk seperti ini,” cerita seorang relawan. 

Sayangnya, sangat sulit menemukan literasi atau dokumen yang menceritakan tentang Umpungeng sebagai titik tengah Indonesia, berbeda dengan Sabang dan Merauke sebagai titik barat dan timur Indonesia yang bahkan dengan mudah ditemui di lagu-lagu nasional, bahkan sering terdengar dalam jingle populer salah satu merk mi instan. 

Namun setelah semuanya, titik yang jarang diketahui secara luas ini membawa kesyahduannya tersendiri. Terlepas dari misteri dan peruntukannya di masa lalu hingga sekarang, sebagai seorang yang berkunjung ke sini, saya menemukan salah satu kenikmatan memandangi deretan pegunungan dari rerumputan situs Garugae. 

Keseruan Perayaan Hari Sumpah Pemuda

Terlepas dari segala nilai sejarah dan magis Desa Umpungeng yang cukup terisolir ini, perayaan Hari Sumpah Pemuda merupakan momentum yang mempertemukan banyak relawan, menjadi jembatan yang menakdirkan langkah kami sampai ke desa syahdu ini. 

Secara umum, agenda perayaan sumpah pemuda hari itu terbagi dua: bermain dan rangkaian lomba bersama anak sekolah dasar, serta pemeriksaan kesehatan warga di rumah Pak Dusun. Saya mengikuti rombongan ke sekolah pagi itu. Setelah meminta izin ke guru sekolah, kami menggunakan satu ruang kelas untuk bermain selama satu jam pertama. 

Selama satu jam tersebut, para relawan mengajari anak-anak dari beragam kelas tersebut seni origami, tepatnya cara membuat bunga mawar dari selembar kertas persegi dengan teknik lipat sana-sini. Kelas berlangsung meriah dan sedikit kacau, tetapi pada akhirnya, masing-masing anak berhasil membuat bunga mawar mereka sendiri. 

  • Anak-anak
  • Origami
  • kemiri

Setelah membuat bunga mawar dari kertas, para relawan lalu melangsungkan serangkaian lomba di lapangan sekolah. Lomba ini terdiri dari balap karung dan lomba kelereng yang dibagi per kelasnya. Jumlah siswa tiap kelas yang sangat variatif menjadi tantangan tersendiri. Di kelas empat, kami melaksanakan lomba sampai beberapa kloter sebab siswanya sampai belasan, sementara di kelas dua hanya terdapat dua siswa saja. 

Lomba hari itu berlangsung meriah. Saya bertugas sebagai juri di garis akhir, sesekali mengambil kesempatan untuk mengabadikan anak-anak dan ekspresi senang mereka. Kompetisi kecil hari ini berakhir dengan satu hadiah untuk setiap anak, baik yang berhasil menjuarai, atau yang hanya keluar sebagai peserta. 

Doa Baik Sebelum Pulang

Mengunjungi Umpungeng menjadi salah satu kesyukuran di tahun 2022, setelah hanya mendengarkan nama tempat ini sejak 2019. Meskipun hanya menetap selama tiga hari dua malam, tetapi tempat ini menyajikan perasaan damai yang begitu dekat. Saya merasakan sebuah perasaan yang akrab, seperti telah berada di tempat ini sebelumnya, saat kenyataannya adalah, saya mengunjungi Umpungeng baru kali pertama. 

“Tidak semua orang bisa ke sini. Ketika kita tidak ditakdirkan menginjakkan kaki ke sini, terkadang ada saja halangan [berkunjung] yang ditemui,” kata seorang relawan. 

Saya mengucap suatu doa dalam hati, untuk diizinkan berkunjung ke Umpungeng di masa mendatang. Doa baik untuk berkunjung lagi saya latunkan sesaat setelah melewati sungai pertama yang konon merupakan “gerbang” desa ini.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Melihat Posina Tanae, Titik Tengah Indonesia appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/melihat-posina-tanae-titik-tengah-indonesia/feed/ 0 36778
Keseruan Perayaan Sumpah Pemuda di Desa Umpungeng https://telusuri.id/keseruan-perayaan-sumpah-pemuda-di-desa-umpungeng/ https://telusuri.id/keseruan-perayaan-sumpah-pemuda-di-desa-umpungeng/#respond Fri, 30 Dec 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36767 “Bahkan cukup dengan mengingat kampung ini dan Rumah Indo sudah bisa menghadirkan perasaan damai dalam hati kita.” Ucapan Kak Mei, founder sekaligus relawan Sokola Kaki Langit ini menjadi salah satu yang saya amini diantara banyaknya...

The post Keseruan Perayaan Sumpah Pemuda di Desa Umpungeng appeared first on TelusuRI.

]]>
“Bahkan cukup dengan mengingat kampung ini dan Rumah Indo sudah bisa menghadirkan perasaan damai dalam hati kita.” Ucapan Kak Mei, founder sekaligus relawan Sokola Kaki Langit ini menjadi salah satu yang saya amini diantara banyaknya hal-hal baik yang terjadi selama berkunjung ke Desa Umpungeng yang terletak di Kecamatan Lalabata, Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan. Kak Mei bercerita banyak hal di balkon Rumah Indo pagi itu, saat rekan lain sibuk mengemasi barang-barang mereka, hendak kembali ke Makassar sebelum siang hari.

Bahkan setelah beberapa hari pasca perjalanan ke Umpungeng kemarin, saya masih merasakan sisa-sisa perasaan baik dari desa yang dikelilingi deretan gunung-gunung yang memukau ini. Perjalanan ke Desa Umpungeng dimulai tanggal 28 Oktober, masih dalam rangkaian memperingati Hari Sumpah Pemuda bersama Sokola Kaki Langit, salah satu komunitas pendidikan di Kota Makassar.

Perjalanan Menuju Umpungeng

Perjalanan menuju Umpungeng kami mulai dengan bersepeda motor ke titik kumpul di Pertamina, daerah Sudiang. Saat tiba di sana, rombongan kami sudah nyaris lengkap, tinggal menunggu dua orang lagi. Saya dan Kak Dewi memutuskan menunggu rombongan yang tersisa, sementara beberapa relawan yang telah hadir memutuskan untuk berangkat lebih awal. 

Sekitar 20 menit setelahnya, dua relawan terakhir pun tiba dan kami langsung memulai perjalanan sepanjang 120 km dari Pertamina Sudiang menuju Gattareng di Kabupaten Soppeng, titik kumpul sebelum memulai pendakian ke Desa Umpungeng. Perjalanan dari Makassar ke Barru sebelum berbelok ke arah Pakkae berlangsung mulus dan menyenangkan. Kami berhenti sebentar mengganti sparepart salah satu motor sebelum melanjutkan perjalanan.

Saya mengambil beberapa foto dan mendengarkan kumpulan lagu The Smiths berulang-ulang, sampai motor kami berbelok ke daerah Pakkae dan menemui beberapa meter jalan sedang dalam pengerjaan. 

Sepanjang perjalanan dari Pakkae sampai ke gerbang perbatasan Barru–Soppeng menjadi salah satu yang paling menyenangkan, meskipun beberapa bagian jalan sedang dilakukan perbaikan besar-besaran. Rombongan kami tiba di check point sekitar pukul dua siang. Saat itu, sebagai rombongan yang tiba lebih dulu, kami memutuskan untuk mengisi tenaga sejenak, menyesap kopi dan Indomie rebus dengan tambahan kacang goreng pada kuahnya. Belum habis semangkok, rombongan lain tiba beruntun. Jadilah warung sederhana dengan bale-bale di depannya ini ramai sesak oleh orang-orang yang saling menyapa, bercerita, dan tampak tidak sabar melanjutkan perjalanan ke Desa Umpungeng. 

Perjalanan dari Makassar ke Soppeng
Perjalanan dari Makassar ke Soppeng/Nawa Jamil

Dari warung di Gattareng, rombongan melanjutkan perjalanan dengan sepeda motor menuju Bulu Batu, suatu perkampungan di tengah-tengah sebelum desa tujuan kami. Dari sini, medan semakin sukar. Kami melewati tanjakan beton curam yang sesekali diselingi tikungan tajam. Seolah tidak cukup menantang, jalanan beton di awal ternyata tidak sampai di kampung. 

Kami harus melewati medan batu pengerasan dan tanah merah yang berteman tanjakan serta turunan. Jalur paling menantang selama rute Gattareng menuju Bulu Batu terletak sepanjang hutan pinus. Meskipun begitu, kami berhasil tiba di lokasi tempat memarkirkan motor, sebuah rumah panggung dengan sepasang penghuni rumah yang begitu ramah. Saat kami datang, beliau tengah memecahkan kemiri di bawah rumah. 

Tantangan sesungguhnya dalam perjalanan menuju Umpungeng adalah jalur setelah Bulu Batu. Awalnya perjalanan berjalan lancar dengan medan pendakian yang cukup landai. Lalu secara bertahap setelah turunan di jembatan kedua, medan perlahan menanjak. Beton pun berganti tanah basah, lalu setelah jembatan ketiga, saya mencapai batas pendakian, kakiku tidak dapat menaklukan medan yang menikung dan menanjak di saat bersamaan. Untung saja, setelah tiga tanjakan curam, seorang relawan yang telah tiba sejak Rabu, berbaik hati menjemput kami menuju rumah. 

Rumah Indo dan Arajang

Saya mendengar cerita perihal Rumah Indo jauh sebelum menginjakkan kaki ke sini, sejak bertahun-tahun yang lalu. Orang-orang yang menceritakan rumah ini selalu dengan banyak petualangan, kisah-kisah mistis, dan kerinduan yang baik. 

Rumah Indo berada di ketinggian. Saya menaiki beberapa anak tangga sebelum tiba di tangga depan rumah panggung khas Bugis ini. Sewaktu tiba, langit sudah gelap sempurna. Yang terlihat hanya deretan sandal-sepatu yang terkena cahaya senter gawai secara tidak sengaja. Dengan perlahan, saya menaiki tangga rumah ini. Dua batang pohon pisang dan rumah penuh kain merah menyambut kami yang baru tiba malam itu. 

Momen ini merupakan kali pertama dalam hidup, saya memasuki rumah dengan seluruh bangunan tertutup kain merah seperti Rumah Indo. Sebuah pernyataan berani juga pengingat bahwa tempat yang kami datangi ini bukanlah tempat biasa. Begitu saya memasuki rumah, beberapa relawan tengah beristirahat, beberapa lagi sibuk bertukar cerita perihal keseruan trekking tadi. Mengikuti beberapa relawan lain yang tiba beriringan, saya pun ikut meluruskan kaki di rumah itu, tetapi seorang relawan langsung menegur saya. 

“Maaf kak. Kakinya jangan menghadap ke sana ya kak. Harus ke arah sebaliknya,” tegur seorang relawan. 

Buru-buru saya pun memperbaiki posisi selonjoran, memutar badan ke arah sebaliknya dan membelakangi area kamar tempat arajang disimpan. Arajang, sebuah benda pusaka yang hanya kudengar ceritanya sejak tahun 2019. Benda ini begitu lekat dengan sejarah yang membangun kepercayaan orang-orang disekitarnya, tidak hanya di Desa Umpungeng, melainkan seluruh Kabupaten Soppeng dan beberapa daerah Bugis lainnya. 

Arajang merujuk pada benda atau sekumpulan benda pusaka yang memiliki nilai magis dan dipercaya oleh masyarakat sekitar. Biasanya, benda ini merupakan peninggalan raja atau orang-orang yang memiliki kekuatan dalam memperluas suatu kerajaan di masa lalu. Di Rumah Indo, arajang atau pusaka ini berupa segenggam rambut berwarna merah milik Arung Palakka. Konon, rambut dengan sejarah panjang yang bermula pada 1660-an ini, diberikan kepara Arung Umpungeng, pemimpin desa ini, sebagai wujud penghormatan atas bantuan yang diberikan pemimpin desa ini saat membantu Arung Palakka dan pasukannya bersembunyi dari kejaran Kerajaan Gowa dan Wajo. 

tungku
Tungku di dapur indo/Nawa Jamil

Kisah perihal arajang ini serupa antara kisah-kisah yang kudengar dari para relawan di lokasi dan cerita-cerita yang tertulis dari berbagai sumber. Tertulis dalam suatu tulisan, “Akko iye mupakalebbi Arung Umpungeng iya mupakalebbi, akko iya muparakai Arung Umpungeng iya muparakai, akko iye mucaro Arung Umpungeng iya mucaro,” yang berarti, “Jika ini yang engkau muliakan Arung Umpungeng, saya yang kau muliakan, jika ini yang engkau jaga Arung Umpungeng, saya yang kau jaga, jika ini yang engkau hormati Arung Umpungeng, maka sesungguhnya Zat Kemulianlah yang engkau hormati.” 

Sayangnya, saya tidak bisa melihat benda pusaka ini. Arajang tersimpan rapi di dalam kamar dan hanya dikeluarkan satu kali dalam setahun, pada perayaan Maccera Tana dan Mallangi Arajang yang berarti memberikan persembahan pada tanah dan pencucian benda pusaka. Peristiwa ini biasanya dilakukan pada akhir tahun yang akrab diceritakan para relawan sebagai ‘Pesta Adat Umpungeng’. 

Menurut penceritaan kakak relawan yang telah lama mengunjungi tanah ini, pesta adat menjadi momen teramai Umpungeng. Orang-orang dari berbagai latar belakang dan komunitas, utamanya anak muda Desa Umpungeng yang keluar mencari peruntungan di kota. Saat saya tanya kepastian perayaan adat tahun ini, seorang relawan kemudian menjelaskannya. “Biasanya akhir tahun, November atau Desember. Sekitaran waktu tersebut saat Indo sudah merasa waktu tersebut adalah saat yang tepat.”Indo, merupakan sosok perempuan paruh baya yang tinggal di rumah ini dan menjaga arajang. Tak lama setelah saya tiba dan berbincang sebentar bersama relawan lainnya, sosok Indo yang hanya kudengar lewat cerita tengah berjalan dari arah dapur dengan satu nampan penuh gelas keramik dan seteko teh hangat. Ia meletakkan nampan tersebut dengan senyum tipisnya, sembari berucap agar kami menikmati teh manis hangat tersebut dalam bahasa Bugis (bersambung).

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Keseruan Perayaan Sumpah Pemuda di Desa Umpungeng appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/keseruan-perayaan-sumpah-pemuda-di-desa-umpungeng/feed/ 0 36767
Ale dan Jalan-Jalan https://telusuri.id/ale-dan-jalan-jalan/ https://telusuri.id/ale-dan-jalan-jalan/#respond Thu, 27 Oct 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=35966 Sepanjang mengenalnya, hampir tidak pernah terbit celah cemberut di wajahnya. Rambut ikal yang gondrong menjadi tanda kepala yang selalu melekat. Ditambah kacamata hitam, gayanya bak seorang Bob Marley yang lahir di Larantuka. Alex Lamapaha tersenyum...

The post Ale dan Jalan-Jalan appeared first on TelusuRI.

]]>
Sepanjang mengenalnya, hampir tidak pernah terbit celah cemberut di wajahnya. Rambut ikal yang gondrong menjadi tanda kepala yang selalu melekat. Ditambah kacamata hitam, gayanya bak seorang Bob Marley yang lahir di Larantuka. Alex Lamapaha tersenyum menyambut uluran tangan saya yang menggenggam tangannya. “Panggil Ale saja,” celetuknya sambil mengibaskan rambutnya.

Pertemuan dengan Ale sejatinya diinisiasi oleh Syukron, dalam rangka membantu kami yang akan pergi ke Mekko. Ale mungkin tidak terbayang akan ikut ke Adonara. Begitupun kami. Motor Supra kawan berkelilingnya juga turut serta mendampingi dalam perjalanan ini. Selama di Mekko, Ale memang bisa diandalkan. Bawa karung, bawa motor, angkut tanah, mencangkul, semua coba ia lakukan dengan senang hati. Sayangnya kebersamaan kami dengan Ale tidak begitu lama di Mekko. Usai hari ketiga, Ale memutuskan untuk pulang karena ada beberapa kegiatan yang akan ia ikuti di Larantuka.

Sehabis dari Mekko, terbitlah ide bermalam di rumah Ale setiba di Larantuka. Kebetulan hari itu Ale mengikuti festival makanan tradisional, hingga akhirnya Bapaknya Ale lah yang menyambut kami penuh kehangatan. Sesuai tradisi bertamu di NTT, kami disuguhi kopi manis yang panasnya membuat kami harus menunggu sejenak untuk menghirup air hitamnya. Foto-foto keluarga tergantung di dinding. Ada foto Ale sekeluarga. Ada foto seorang perempuan dengan baju sekolah. Ada juga foto seorang pendeta dengan seorang ustad, entah siapa, saling merangkul.

“Bagus fotonya ini,” celetuk saya kepada Syukron.

Sejenak menghirup aroma kopi, kami mulai mengobrol dengan Bapak Markus Pati soal mangga, soal pekerjaannya, hingga soal pompa mesin. Kebetulan Syukron mengerti banyak soal mesin pompa dan serba serbinya. Tak berapa lama, si Bapak pamit untuk beristirahat. Kami kembali sibuk pada ponsel masing-masing. Hingga hampir tengah malam, barulah Ale muncul dengan membawa beberapa buah tangan.

“Ini kamu harus coba, kue tradisional Larantuka,” tawar Ale pada saya yang membaca bungkus makanannya yang dibuat oleh siswa-siswi SMK. Saya urung mengambil karena teringat sudah membersihkan gigi. Beberapa bungkus makanan lainnya juga ia keluarkan dari kresek. Kami semua sudah terlanjur kenyang malam itu.

Ale Jalan-Jalan
Ale dan Pasir Putih Mekko/Istimewa

Alexander Doni Sesa adalah nama asli dari Ale. Nama panggung lainnya selain Alex Lamapaha adalah Ale Jalan-Jalan, tergantung di mana ia berpijak dan berkegiatan. “Pokoknya nama banyak ini,” celotehnya ketika saya menanyakan nama mana yang sering digunakan.

Ale kecil tumbuh besar di Sandakan, sebuah kota di Kalimantan bagian utara yang berbentuk kepala bebek, kota yang terkenal sebagai kota pelabuhan. Orang tuanya yang merantau dari tahun 1983 mengharuskan Ale kecil untuk tumbuh di luar negaranya hingga ia berusia 6 tahun. Sekembalinya ke Indonesia, Ale tinggal di rumah neneknya, tepatnya di Adonara. 

“Mau jalan tujuh tahun, saya disekolahkan di sana [Adonara]. Bapak dan Mama merantau lagi, balik merantau ke Malaysia.”

Orang tua Ale kembali ke Larantuka, sebuah kecamatan di ujung bagian timur Pulau Flores, dan membeli sebidang tanah untuk dijadikan tempat tinggal dan hingga kini kokoh berdiri. Ale mengenyam pendidikan di Larantuka hingga sekolah menengah akhir, kemudian memutuskan untuk pergi ke luar pulau. Tujuannya adalah Malang. Ale menempuh pendidikan di bidang sejarah dan sosiologi di kampus IKIP Budi Utomo.

“Kenapa milih sejarah?”

“Karena senang aja. Cerita, ingin cari tau di masa lampau dan sosiologi lebih banyak belajar karakter orang di masyarakat. Pokoknya sifat orang-orang di masyarakat.”

Ale Jalan-Jalan
Ketika bertemu orang banyak, Ale mendapatkan energi yang besar untuk bersosialisasi/Istimewa

Seusai kuliah, seperti anak muda yang lain yang coba menjajal kemampuan. Semua lamaran disebar. Guru, CPNS, hingga akhirnya Ale memutuskan untuk hidup di jalan—lebih tepatnya tanpa kecenderungan di bidang apapun, yang juga mengilhami nama Ale Jalan-Jalan. Selama di jalan, Ale aktif berkegiatan di komunitas SimpaSio yang berkecimpung di bidang sosial budaya dan sejarah masyarakat Flores Timur. “Di situ [SimpaSio] juga saya tumbuh berkembang jadi diri sendiri, kenal dengan teman, dan buat kegiatan.” Aktif di komunitas tidak lantas menutup pintu Ale untuk mencoba berbagai hal lainnya. Sambilan lainnya yang ia kerjakan ada di pelabuhan; jadi tukang ojek, jadi buruh kapal, bahkan pemandu.

“Kalau nge-guide dari 2019, tanpa sengaja saya ketemu orang-orang pengendara yang touring dari Aceh, Jawa, pokoknya kalau ketemu mereka [pengendara] saya ajak mampir dulu biar saya arahkan mereka jalan ke mana lagi. Senangnya, bisa kasih kenal daerah kita ke mereka.”

“Saya senang hidup di jalan bisa ketemu orang dari mana-mana. Mau dari luar atau dari daerah sendiri. Dari yang tidak kenal menjadi kenal,” ungkapnya.

Hidup di jalan adalah kelebihan. Bertemu dan berpisah adalah suatu hal yang biasa, tapi dari sanalah rasa persaudaraan itu muncul dan Ale tidak lagi melihat sesuatu sebagai “orang asing”. Pertemuan menjadi ladang cerita, saling bertukar pengalaman, saling bertautan kenangan. Itu juga yang saya rasakan ketika bertemu dengannya. Dirinya sewaktu di Malang sering mengamen dan suatu waktu pernah kena razia Satpol PP. Ale mendapatkan nasihat agar tidak mengulang kegiatannya mencari uang di jalanan. Lantas, Ale mendapatkan banyak teman dari kelompok manusia jalanan; sesama pengamen maupun anak punk. Berulang kali ia menjadi pendengar teman-teman jalanannya.

“Lewat keadaan seperti itu mereka tetap berjuang untuk diri mereka.”

  • Ale Jalan-Jalan
  • Ale Jalan-Jalan

Di kamarnya, pada salah satu sudut ruang dekat jendela dan ranjang, wajah Ale terlukis bagai kartun, lengkap dengan rambut gondrongnya dan sebilah anting di telinganya. Di sudut lainnya, gambar Bob Marley, Sukarno, dan Che Guevara berdampingan dengan gambar angkot, kutipan, juga logo klub sepak bola AC Milan. “Suka reggae?” tanya saya setelah melihat pernak-pernik kamarnya dan warna merah, hijau, dan kuning.

Jawaban sukanya diikuti dengan alasan: ia mencintai musik tersebut karena kedamaian yang dibawanya. “Bob Marley mengajarkan kita damai sepanjang hari, satu hati, tidak boleh ada kebencian di antara kita.” Memang, senandung reggae adalah musik-musik yang digambarkan sebagai musik perdamaian. Sejarahnya, Bob Marley sering meneriakkan gema-gema perjuangan dari lagunya, dalam upaya perlawanan bangsa Afrika atas kolonialisme bangsa kulit putih maupun perdamaian secara universal.

Ale mengajak kami mengitari Larantuka. Dengan meminjam sebuah motor tambahan, kami singgah ke beberapa tempat di Larantuka. Kota ini bagai sebuah pohon besar yang menaungi beberapa rumah ibadah di dalamnya. Saya menyukai bagaimana Adonara terlihat dari sisi timur, di seberang jalan yang langsung menghadap Laut Sawu yang terdesak. Iman Kristen memainkan perannya, menjadi ikon kota dan ikon budaya, tapi tidak mendesak saudaranya untuk pergi, apalagi menginginkannya musnah. Tidak, tidak. Larantuka tidak sekasar itu dalam melebur keberagaman. Dan Ale, mungkin adalah salah satu bentuk anugerah Tuhan dalam menjunjung perbedaan.

***

Pada Agustus 2022, TelusuRI mengunjungi Bali, Kupang, Pulau Sabu, hingga Flores Timur dalam Arah Singgah: Menyisir Jejak Kepunahan Wisata, Sosial, Budaya—sebuah perjalanan menginventarisasi tempat-tempat yang disinggahi dalam bentuk tulisan dan karya digital untuk menjadi suar bagi mereka yang ceritanya tidak tersampaikan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Ale dan Jalan-Jalan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/ale-dan-jalan-jalan/feed/ 0 35966